• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Aliran Air di Saluran Terbuka

Aliran air dapat terjadi pada saluran terbuka maupun pada saluran tertutup (pipe flow). Pada saluran terbuka, aliran air akan memiliki suatu permukaan bebas yang berkaitan langsung dengan parameter-parameter aliran seperti, kecepatan, kekentalan, gradien dan geometri saluran.

Tipe Aliran pada saluran terbuka yaitu: 1. Aliran Tunak (Steady Flow)

Perubahan volume terhadap waktu tetap Q / t 0 Perubahan Kedalaman terhadap waktu tetap h / t 0 Perubahan Kecepatan terhadap waktu tetap v / z 0

2. Aliran Tak Tunak (Unsteady Flow)

Perubahan volume terhadap waktu tidak tetap Q / t 0 Perubahan Kedalaman terhadap waktu tidak tetap h / t 0 Perubahan Kecepatan terhadap waktu tidak tetap v / z 0

3. Aliran Merata (Uniform Flow)

Besar dan arah kecepatan tetap terhadap jarak Q / s 0 Aliran dengan penampang sama v / s 0 Variabel fluida lain juga tetap h / z 0

4. Aliran Tidak Merata (Non Uniform Flow)

Aliran dengan penampang tidak sama Q / s 0 Pengaruh pembendungan dan variabel fluida lain juga tetap h / t 0

(2)

TUGAS AKHIR

2.1.1 Perilaku Aliran

Tipe perilaku aliran dapat di bedakan dengan bilangan Froude. Menurut bilangan Froude tipe aliran dapat di bedakan menjadi 3 yaitu:

Aliran kritis, jika bilangan Froude sama dengan satu (Fr=1) dan gangguan permukaan misal, akibat riak yang terjadi akibat batu yang di lempar ke dalam sungai tidak akan bergerak menyebar melawan arah arus

Aliran subkritis, jika bilangan Froude lebih kecil dari satu (Fr<1). Untuk aliran subkritis, kedalaman biasanya lebih besar dan kecepatan aliran rendah (semua riak yang timbul dapat bergerak melawan arus).

Aliran superkritis, jika bilangan Froude lebih besar dari satu (Fr>1). Untuk aliran superkritis, kedalaman aliran relatif lebih kecil dan kecepatan relatif tinggi (segala riak yang di timbulkan dari suatu gangguan adalah mengikuti arah arus).

Persamaan untuk menghitung bilangan Froude yaitu:

h g U Fr

.

Dimana: Fr = bilangan Froude

U = kecepatan aliran (m/dtk) g = percepatan gravitasi (m/dtk2) h = kedalaman aliran (meter)

Selain itu juga tipe aliran dapat di bedakan menggunakan bilangan Reynolds. Menurut Bilangan Reynolds tipe aliran di bedakan sebagai berikut:

Aliran Laminer adalah suatu tipe aliran yang ditunjukkan oleh gerak partikel-partikel cairan menurut garis-garis arusnya yang halus dan sejajar. Dengan nilai bilangan Reynolds lebih kecil dari dua ribu (Re<2000).

Aliran Turbulen mempunyai nilai bilangan Reynolds antara dua ribu sampai empat ribu (2000 = Re = 4000), aliran ini tidak mempunyai garis-garis arus yang halus dan sejajar sama sekali.

Aliran Transisi biasanya paling sulit diamati dan nilai bilangan Re lebih besar dari empat ribu (Re>4000).

(3)

TUGAS AKHIR

Persamaan untuk menghitung bilangan Reynolds yaitu:

v l U. Re

Dimana: Re = bilangan Reynolds U = kecepatan aliran (m/dtk) l = panjang karakteristik (meter) v = viskositas kinematik (m2/dtk)

2.1.2 Regime Aliran

Regime aliran yang mungkin terjadi pada saluran terbuka adalah sebagai berikut:

a. Subkritis-Laminer

Apabila nilai bilangan Froude lebih kecil daripada satu dan nilai bilangan Reynolds berada pada rentang laminer

b. Superkritis-Laminer

Apabila nilai bilangan Froude lebih besar daripada satu dan nilai bilangan Reynolds berada pada rentang laminer

c. Superkritis-Turbulent

Apabila nilai bilangan Froude lebih besar daripada satu dan nilai bilangan Reynolds berada pada rentang laminer

d. Subkritis-Turbulent

Apabila nilai bilangan Froude lebih kecil daripada satu dan nilai bilangan Reynolds berada pada rentang turbulent

(4)

TUGAS AKHIR

2.2 Distribusi Kecepatan

Distribusi kecepatan untuk tiap bagian pada saluran tidak sama, distribusi kecepatan tergantung pada : (i) bentuk saluran, (ii) kekasaran saluran, dan (iii) kondisi kelurusan saluran. Dalam penggunaan curent meter pengetahuan mengenai distribusi kecepatan ini amat penting. Hal ini bertalian dengan penentuan kecepatan aliran yang dapat dianggap mewakili rata-rata kecepatan pada bidang tersebut.

Dari hasil penelitian “United Stated Geological Survey” aliran air di saluran (stream) dan sungai mempunyai karakteristik distribusi kecepatan sebagai berikut :

1. Kurva distribusi kecepatan pada penampang melintang berbentuk parabolik

2. Lokasi kecepatan maksimum berada antara 0,05 s/d 0,25 h kedalam air dihitung dari permukaan aliran

3. Kecepatan rata-rata berada 0,6 kedalaman di bawah permukaan air

4. Kecepatan rata-rata 85 % kecepatan permukaan

5. Untuk memperoleh ketelitian yang lebih besar dilakukan pengukuran secara

mendetail ke arah vertikal dengan menggunakan integrasi dari pengukuran-pengukuran tersebut dapat dihitung kecepatan rata-ratanya. Dalam pelaksanaan kecepatan rata-rata dapat diperoleh dengan :

a. mengukur kecepatan pada titik 0,6h kedalaman kecepatan rata-rata = kecepatan pada titik tersebut

b. mengukur kecepatan pada titik 0,2h kedalaman dan 0,8h kedalaman kecepatan rata-rata = 0,5*(kecepatan pada 0,2 h + kecepatan pada 0,8h) c. mengukur kecepatan pada titik pengukuran 0,2 h ; 0,6h dan 0,8h.

kecepatan rata-rata = 0,5*(kecepatan 0,2 h + 2*kecepatan 0,6h + kecepatan 0,8h) Perlu diingat bahwa distribusi kecepatan aliran di dalam alur tidak sama arah horisontal maupun arah vertikal. Dengan kata lain kecepatan aliran pada tepi alur tidak sama dengan tengah alur, dan kecepatan aliran dekat permukaan air tidak sama dengan kecepatan pada dasar alur. Berikut ini disajikan gambar distribusi kecepatan aliran:

(5)

TUGAS AKHIR

Gambar 2.1 Distribusi Kecepatan Aliran

Keterangan : a : teoritis

b : dasar saluran kasar dan banyak tumbuhan c : gangguan permukaan (sampah)

d : aliran cepat, aliran turbulen pada dasar e : aliran lambat, dasar saluran halus f : dasar saluran kasar/berbatu

2.3 Mengukur Kecepatan Aliran

Pada prinsipnya kecepatan aliran dapat diukur dengan dua metode, yaitu: 1. Metode apung

(6)

TUGAS AKHIR 2.3.1 Pengukuran Kecepatan dengan Metode Apung

Prinsip pengukuran kecepatan metode apung adalah :

Kecepatan aliran (U) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U) Dengan U = Up x k

Dimana: Up = kecepatan pelampung (m/dtk)

k = koefisien pelampung

Berikut ini akan di sajikan gambar jenis-jenis pelampung :

Gambar 2.2 Jenis-Jenis Pelampung

2.3.2 Pengukuran Kecepatan dengan Metode Currentmeter

Ada dua tipe current-meter yaitu tipe baling-baling (proppeler type) dan tipe canting (cup type). Oleh karena distribusi kecepatan aliran di sungai tidak sama baik arah vertikal maupun horisontal, maka pengukuran kecepatan aliran dengan alat ini tidak cukup pada satu titik.

Pada penelitian ini kecepatan aliran akan di ukur dengan menggunakan metode currentmeter. Prinsip pengukuran kecepatan pada metode ini yaitu, current-meter diturunkan kedalam aliran air dengan kecepatan penurunan yang konstan dari permukaan

(7)

TUGAS AKHIR dan setelah mencapai dasar sungai diangkat lagi ke atas dengan kecepatan yang sama. Ada 4 cara pengukuran kecepatan aliran yang disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Cara Pengukuran Kecepatan Aliran

Tipe Kedalaman saluran (m) Titik kedalaman pengukuran Kecepatan Rata-Rata(U ) 1 titik 0,0 – 0,6 0,6 h U = U0.6h 2 titik 0,6 – 3,0 0,2 h; 0,8 h U = 0.5* (U0.2h +U0.8h) 3 titik 3,0 – 6,0 0,2 h; 0,6 h; 0,8 h U = 0.25* (U0.2h+ U0.6h +U0.8h) 5 titik > 6,0 S; 0,2 h; 0,6 h; 0,8 h dan B U = 0.1* (US+U0.2h+ U0.6h +U0.8h+UB)

Keterangan : - US di ukur 0,3 m dari permukaan air

- UB di ukur 0,3 m di atas dasar sungai

Kecepatan aliran dihitung berdasarkan jumlah putaran baling-baling per waktu putarnnya. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

b t N a U dimana :

N = jumlah putaran baling-baling t = waktu putaran baling-baling

a dan b adalah nilai kalibrasi alat current-meter

2.4 Menghitung Luas Penampang Aliran

Pengukuran luas penampang aliran dilakukan dengan membuat profil penampang melintangnya dengan cara mengadakan pengukuran kearah horizontal (lebar aliran) dan kearah vertikal (kedalam aliran). Luas aliran merupakan jumlah luas tiap bagian (segment) dari profil yang terbuat. Ada dua cara menghitung luas penampang melintang yaitu:

(8)

TUGAS AKHIR

1. Mean Section Method

Gambar 2.3 Penampang Mean Section Method

- Menghitung luas penampang:

1 1 2 n n n n xb d d a dimana: dn = kedalaman sungai ke n dn+1 = kedalaman sungai ke n+1 bn+1 = lebar seksi n - Menghitung kecepatan : 2 1 n n n dimana:

vn = kecepatan pada seksi ke n

vn+1 = kecepatan pada seksi ke n+1

- Menghitung debit seksi(q) : qn = n x a n

dimana:

n = kecepatan rata-rata seksi n

a

n = luas seksi n

(9)

TUGAS AKHIR - Menghitung debit sungai (Q) :

n i i q Q 1

2. Mid Section Method

Gambar 2.4 Penampang Mid Section Method

- Menghitung luas penampang :

n n n n xd b b a 2 1 dimana : bn = lebar sungai ke n bn+1 = lebar sungai ke n+1 dn = kedalaman seksi ke n

- Menghitung debit seksi(q) : qn = n x

a

n

dimana: n

= kecepatan rata-rata seksi n

a

n = luas seksi n

- Menghitung debit sungai(Q) : n i i q Q 1

(10)

TUGAS AKHIR 2.5 Sungai

Sungai ialah media pengangkut utama yang membawa sedimen dari daratan ke lautan, di mana sedimen tadi akan diendapkan atau terus diangkut ke laut dalam. Namun tidak semua sedimen yang dihasilkan ini diangkut ke laut, tetapi sebagian akan terendap di daratan di bawah pengaruh proses sungai itu sendiri. Morfologi sungai menurut Miall(1977) dapat dibagi menjadi 5 yaitu :

1. Sungai Lurus (straight) 2. Sungai Sinuous

3. Sungai Berburai (braided) 4. Sungai Berliku (meandering) 5. Sungai Anastomosing

Gambar 2.5 Jenis – Jenis Sungai

Berikut ini di sajikan gambar distribusi ukuran sedimen dan jenis angkutan sedimen pada sungai yaitu:

(11)

TUGAS AKHIR

Gambar 2.7 Sungai Lurus dan Sungai Berliku

Pola alur sungai yang utama ialah sungai lurus, sungai berliku dan sungai berburai. Sungai lurus jarang dijumpai dan jika adapun cuma untuk jarak yang dekat saja. Namun terdapat sejenis sungai yang terletak di perantaraan, di antara sungai lurus dan sungai berliku, yaitu sungai sinuous.

Sungai anastomosing dianggap

sebagai jenis khas dari sungai berburai,

yang mana pulau-pulau yang

memisahkan alur sungainya adalah

tetap/stabil. Sungai berburai dan

sungai anastomosing dibedakan

berdasarkan kepada kestabilan delta atau pulau-pulau yang memisahkan alur sungai.

(12)

TUGAS AKHIR

2.6 Gerakan Awal Angkutan Sedimen

Pergerakan awal angkutan sedimen adalah fungsi dari tegangan geser kritis ( cr, critical

shear stress), kecepatan kritis (Ucr, critical velocity) dan gaya angkat.

Tegangan geser kritis ini ada dua macam, yaitu :

1. Gaya yang bekerja (applied forces)

Gaya aliran dan komponen berat partikel dalam arah ke bawah dalam keadaan terendam.

2. Gaya penahan (resisting forces)

Komponen berat partikel terendam lurus terhadap dasar dan gaya – gaya yang timbul antar partikel di sekelilingnya.

Gambar 2.9 Gaya-gaya yang Bekerja pada Suatu Partikel

Dalam suatu partikel sedimen, gaya-gaya bekerja yaitu : 1. Drag force yang bekerja sejajar terhadap dasar

2. Gaya lain yang bekerja tegak lurus tehadap dasar yang dapat mengangkat butiran, yang disebabkan oleh :

a. Perbedaan kecepatan di atas dan di bawah butiran yang menimbulkan gradien tekanan yang cenderung akan mengangkat butiran.

b. Pusaran turbulen yang menimbulkan komponen kecepatan lokal yang

(13)

TUGAS AKHIR 2.7 Perhitungan Angkutan Sedimen

Angkutan sedimen dasar merupakan fungsi dari kapasitas transport aliran. Tujuan perhitungan angkutan sedimen ini yaitu memberikan jumlah maksimum material yang dapat diangkut untuk kondisi aliran dan jenis sedimen tertentu.

Ada beberapa formula dalam perhitungan angkutan sedimen:

1. Menurut Van Rijn (1984)

a. Untuk angkutan sedimen dasar (sb)

1,2 50 2,5 0,5 50

.

1

.

0,005.

.

h

d

s

d

g

U

U

h

U

s

b

cr b. Untuk angkutan sedimen tersuspensi (ss)

0,6 * 50 2,4 0,5 50

.

1

.

.

0,012.

.

h

d

d

s

d

g

U

U

h

U

s

s cr

Dimana : sb : volume transpor sedimen dasar (m2/detik)

ss : volume transpor sedimen tersuspensi (m2/detik)

h : kedalaman aliran (meter)

s : berat spesifik butiran

Rb : jari–jari hidrolis terhadap dasar (meter)

U : kecepatan aliran (m/detik)

Ucr : kecepatan rata – rata kritis aliran (m/detik)

Selanjutnya kecepatan kritis aliran dihitung dengan formula Van Rijn (1984). 1. Untuk 0,5 = d50 = 2,0 mm digunakan rumus :

90 0,6 50 3. 12. . 8,5. d R d Ucr log

b 2. Untuk 0,5 = d50 = 2,0 mm 90 0,6 50 3. 12. . 8,5. d R d Ucr log b 3. Untuk 0,1 = d50 = 0,5 mm 0,1 50 3. 12. . 0,19. d R d Ucr log b

(14)

TUGAS AKHIR Dimana : Ucr : kecepatan rata – rata kritis aliran (m/detik)

d50 : diameter butiran dengan 50% butiran lolos saringan (meter)

d90 : diameter butiran dengan 90% butiran lolos saringan (meter)

Rb : jari-jari hidrolis terhadap dasar (meter)

P A Rb

A : luas basah penampang (meter2)

P : keliling basah penampang (meter)

2.8 Gerusan

Gerusan adalah merupakan erosi pada dasar dan tebing saluran alluvial (Hoffmans and Verheij, 1997). Gerusan merupakan proses semakin dalamnya dasar sungai karena interaksi antara aliran dengan material dasar sungai. Proses penggerusan akan terjadi secara alami, baik karena pengaruh morfologi sungai seperti tikungan sungai atau penyempitan aliran sungai, atau pengaruh bangunan hidraulika yang menghalangi aliran seperti abutment jembatan. (Legono, 1990).

Gerusan yang terjadi pada abutment maupun pilar jembatan adalah merupakan gerusan total (total scour), yaitu kombinasi antara gerusan lokal (local scour) dan gerusan umum (general scour). Bisa juga kombinasi antara gerusan lokal, gerusan umum dan gerusan terlokalisir atau penyempitan (localized scour/constriction scour). Gerusan lokal yang terjadi disekitar abutment jembatan ataupun pilar disebabkan oleh sistem pusaran air (vortex system) karena adanya gangguan pola aliran akibat rintangan, dan gerusan terlokalisir terjadi karena adanya penyempitan penampang sungai oleh adanya penempatan bangunan hidraulika (Yulistiyanto dkk., 1998). Sedangkan gerusan umum yang terjadi melintang sungai di sepanjang saluran yang menyebabkan degradasi dasar disebabkan oleh energi dari aliran air, (Raudkivi dan Ettema, 1983).

Proses gerusan ini bisa menyebabkan erosi dan degradasi disekitar bukaan jalan air (water way openning) suatu jembatan. Degradasi ini berlangsung secara terus menerus hingga dicapai keseimbangan antara suplai dan angkutan sedimen yang saling memperbaiki. Apabila suplai sedimen dari hulu berkurang atau jumlah angkutan sedimen lebih besar

(15)

TUGAS AKHIR daripada suplai sedimen, maka bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan yang begitu menyolok antara degradasi dan agradasi di lokasi dasar jalan air jembatan. Sehingga lubang gerusan (scour hole) pada abutment maupun pilar jembatan akan lebih dalam bila tidak terdapat atau kurangnya suplai sedimen. Demikian juga apabila tidak terdapat bangunan pengendali gerusan di sekitar abutment ataupun pilar, maka dalamnya gerusan tidak bisa direduksi, sehingga kedalaman gerusan bisa mencapai maksimum. Hal ini bisa menyebabkan rusaknya abutment maupun pilar jembatan, seperti yang pernah terjadi pada kasus Jembatan Srandakan Sungai Progo di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk itu, maka perlu adanya kajian laboratorium mengenai gerusan total yang terjadi di sekitar abutment jembatan.

(16)

TUGAS AKHIR

2.8.1 Jenis- Jenis Gerusan

Gerusan yang terjadi pada sungai dapat di golongkan menjadi 3 yaitu: 1. Gerusan umum (general scour)

Yaitu bertambah dalamnya dasar saluran sungai akibat interaksi yang terjadi antara aliran yang terjadi pada sungai dengan material dasar sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya angkutan sedimen pada sungai, yang dapat di bagi menjadi:

Angkutan sedimen dasar adalah pergerakan material lepas dasar sungai yang bergerak mengelinding, bergeser atau melompat-lompat di dasar sungai atau saluran akibat gaya seret aliran.

Angkutan sedimen layang adalah pergerakan material lepas yang berasal dari dasar sungai atau hasil kikisin permukaan daerah tangkapan hujan, bergerak melayang bersama aliran dan dapat mengendap jika gaya berat material tersebut lebih besar daripada kombinasi gaya angkat air dan gaya akibat turbulensi aliran.

Angkutan sedimen kikisan adalah pergerakan material lepas yang berasal dari hasil kikisan permukaan daerah tangkapan hujan, bergerak melayang bersama aliran, sukar mengendap, kecuali ditampungan waduk atau muara sungai.

2. Gerusan lokal (local scour)

Gerusan lokal atau penggerusan setempat adalah penggerusan pada dasar atau tebing sungai yang terjadi setempat di sekitar bangunan akibat peningkatan energi dan turbulensi aliran karena gangguan bangunan atau gangguan alami. Gerusan lokal dapat dibagi menjadi dua yaitu:

Kondisi tidak ada angkutan sedimen (clear water scour)

Yaitu pergerakan sediment hanya terjadi pada sekitar abutmen yang timbul akibat tegangan geser yang terjadi lebih besar daripada tegangan gesar kritis, yang dapat dibedakan menjadi:

(17)

TUGAS AKHIR

a.. Untuk 0,5

cr

U U

yaitu, kondisi gerusan lokal tidak terjadi dan proses transportasi sedimen tidak terjadi.

b. Untuk 0,5 1,0

cr

U U

yaitu, kondisi gerusan lokal terjadi menerus dan proses transportasi sedimen tidak terjadi.

Kondisi ada angkutan sedimen (live bed scour)

Terjadi akibat adanya perpindahan sediment yaitu jika 1,0

cr

U U

3. Gerusan akibat adanya penyempitan di alur sungai (constraction scour)

Gerusan ini terjadi akibat perubahan bentuk morfologi sungai yang semakin menyempit yang sebagian besar di akibatkan adanya bangunan air.

2.9 Parameter yang Berhubungan dengan Gerusan pada Abutment

Parameter yang berhubungan dengan fenomena gerusan yang terjadi pada abutment bisa di golongkan sebagai berikut:

Parameter yang berhubungan dengan geometri saluran yaitu: lebar, bentuk potongan melintang dan kemiringan saluran.

Parameter yang berhubungan dengan abutment yaitu : ukuran, bentuk, orientasi yang berhubungan dengan aliran utama dan kondisi permukaan.

Parameter yang berhubungan dengan angkutan sedimen yaitu: ukuran rata-rata, distribusi ukuran butiran, massa jenis, letak kemiringan sedimen pada saluran dan sifat kohesif.

Parameter yang berhubungan dengan kondisi aliran yaitu: kecepatan rata-rata aliran, kedalaman aliran, kecepatan geser dan kekasaran.

(18)

TUGAS AKHIR

2.9.1 Abutment

Abutment jembatan adalah struktur di ujung-ujung jembatan yang berfungsi sebagai kaki jembatan untuk menyalurkan beban, dalam hal ini struktur tersebut masuk ke dalam sungai. Terdapat berbagi jenis abutment, dimana pemilihan jenis abutment di dasarkan pada analisis kebutuhan kekuatan, analisis ekonomi, analisis lingkungan dan analisis lainnya Macam – macam model abutment disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.2 Macam-macam model abutment

(19)

TUGAS AKHIR Pada penelitian ini model abutment yang digunakan adalah 45° wing-wall dengan tinggi 40 cm yang disajikan sebagai berikut:

°

(20)

TUGAS AKHIR

2.10 Analisis Perhitungan Gerusan pada Abutment

2.10.1 Analisis Nondimensional

Dengan menggunakan prinsip fisika, berbagai peneliti mengkombinasikan parameter dari kedalaman gerusan pada abutment didalam formula nondimensional yang berbeda-beda, seperti formula Garde dkk (1961):

di mana,

Dengan mengabaikan efek dari viskositas, Melville(1992) memberikan parameter nondimensional sebagai berikut:

di mana,

Sturm&Janjua (1994) menggunakan penggantian ratio konstruksi dari ratio konstruksi

saluran untuk mengambarkan penggerusan vertikal pada dinding abutment yang

memberikan parameter nondimensional sebagai berikut:

di mana, , dan = penggantian ratio konstruksi, di definisikan

sebagai ratio pengantian pada awal pendekatan parameter sampai dengan total penggantian.

Lim (1997) memberikan parameter nondimensional untuk penggerusan vertikal pada dinding abutment dengan mengabaikan efek konstruksi saluran, yaitu:

(21)

TUGAS AKHIR

2.10.2 Pendekatan Empiris

Pada pendekatan empiris, parameter yang berhubungan dengan kealaman gerusan pada abutment berkaitan erat dengan analisis dimensional. Dimana pengembangan rumus-rumus kedalaman gerusan pada abutment, dengan menggunakan regresi analisis data eksperimen

Liu dkk(1961) mengamati gerusan pada abutment berbentuk spill dan vertikal pada kondisi clear-water scour adalah:

Untuk abutment berbentuk spill

Untuk abutment berdinding vertikal

Garde dkk (1961) mengembangkan hubungan untuk gerusan yang terjadi pada abutment pada kondisi live-bed scour adalah:

Garde dkk(1963) melanjutkan penelitiannya dan memodifikasi persamaan di atas menjadi:

Dengan menggunakan data eksperimen dan rumus-rumus yang ada, Gill(1972) memberikan persamaan untuk kedalaman gerusan pada abutment adalah:

Pada persamaan di atas di asumsikan c di bagi o pada kondisi live-bed scour. Gill(1972) kemudian mengklasifikasikannya untuk tiga kategori jenis aliran:

(22)

TUGAS AKHIR

Untuk kondisi clear water scour c / o 0

Untuk kondisi angkutan sedimen transpor tinggi c/ o 0

Untuk kondisi kedalaman gerusan ds maksimum c/ o 0

Dengan nilai n bervariasi dari 1,5 sampai 3

Zaghloul&McCorquodale(1975), dengan memperhitungkan efek dari sudut yang dibentuk abutment memberikan persamaan perhitungan garusan pada abutment:

Froelich (1989) menggunakan data penggerusan dari penelitian yang berbeda dengan menggunakan metoda statistik dan mengembangkan persamaan kedalaman gerusan untuk kondisi claer water scour dan live bed scour

Kondisi clear water-scour

(23)

TUGAS AKHIR 2.10.3 Pendekatan Analitik

Laursen (1960,1963) mengembangkan metode analitik untuk menghitung kedalaman gerusan abutment pada jembatan. Laursen menghubungkan kondisi clear water-scour dangan live-bed scour pada abutment berdinding vertikal, yaitu:

Kondisi clear water-scour

Kondisi live-bed scour

Laursen mengasumsikan berturut-turut pada kondisi clear water-scour dangan live-bed scour nilai d1 12 dan 11,5.

Berdasarkan persamaan kontinuitas, bentuk geometri abutmen, dan hukum-hukum yang berlaku untuk pengangkutan endapan pada saluran terbuka, Lim (1997) menyatakan hubungan kedalaman gerusan pada kondisi clear water scour pada abutment adalah:

Di mana,

Nilai Ks di peroleh dari Melville (1992) dan persamaan di atas berlaku untuk nilai X

sampai 2.22

Berdasarkan pada pendekatan Lim(1997), Lim & Cheng (1998) memberikan persamaan pendekatan analitik untuk waktu rata-rata pada kondisi live-bed scour di abutment bersayap adalah:

(24)

TUGAS AKHIR

Kandasamy&Melville(1998), mengembangkan hubungan antara kedalaman gerusan maksimum pada pilar dan abutmen dengan aliran adalah:

Di mana,

K2= 5 , n=1 untuk h/l = 0,04

K2= 1 , n=0,5 untuk 0,04< h/l <1

Gambar

Gambar 2.1 Distribusi Kecepatan Aliran
Gambar 2.2 Jenis-Jenis Pelampung
Tabel 2.1 Cara Pengukuran Kecepatan Aliran  Tipe  Kedalaman  saluran (m)   Titik kedalaman pengukuran  Kecepatan Rata-Rata(U )  1 titik  0,0 – 0,6  0,6 h  U  = U 0.6h  2 titik  0,6 – 3,0  0,2 h; 0,8 h  U  = 0.5* (U 0.2h  +U 0.8h )  3 titik  3,0 – 6,0  0,2
Gambar 2.3 Penampang Mean Section Method
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fagsynet til lærarane vert nok påverka av Kunnskapsløftet, fordi det er kompetansemåla ein lagar kriterium ut i frå når ein skal vurdere, men korleis ein utfører dette arbeidet

Hasil tersebut dapat dilihat pada layanan video streaming vs data (web browsing) yang memiliki perbandingan ukuran packet size terbesar dengan delay sebesar 2,848 ms..

Oleh karena itu, perlu diadakan su atu penelitian tentang identifikasi yang spesifik arsitektur tradisional Jawa terutama pada masa Hindu dengan mahakarya yang sangat

Hasil akhir atau output dari Sistem Informasi akuntansi adalah informasi keuangan dan informasi akuntansi manajemen. Informasi ini disampaikan dalam bentuk laporan keuangan.

Hasil pengujian pada bank dengan Intellectual Capital rendah dan In- tellectual Capital tinggi menunjuk- kan bahwa Non Performing Loan (NPL), Biaya Operasional Per

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa mahasiswa dari suku Banjar mempunyai regulasi emosi positif yang lebih tinggi dari pada

Promosi Kesehatan sebagai gelombang ketiga dari kesehatan masyarakat; berorientasi pada perubahan perilaku kearah tanggungjawab bahwa kesehatan adalah tanggungjawab