• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVAKERAPU MACAN (EpinephelusFuscoguttatus) DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BPBAP) TAKALAR, SULAWESI SELATAN TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNIK PEMELIHARAAN LARVAKERAPU MACAN (EpinephelusFuscoguttatus) DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BPBAP) TAKALAR, SULAWESI SELATAN TUGAS AKHIR"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVAKERAPU MACAN

(EpinephelusFuscoguttatus)

DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BPBAP) TAKALAR, SULAWESI SELATAN

TUGAS AKHIR

HASMAWATI

1222223

JURUSAN BUDIDAYA PERIKANAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKAJENE

DANKEPULAUAN

PANGKEP

2015

(2)

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVAKERAPU MACAN

(EpinephelusFuscoguttatus)

DI BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BPBAP)

TAKALAR,

SULAWESI SELATAN

TUGAS AKHIR

HASMAWATI

12222 223

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Studipada Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene dan Kepulauan

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh Pembimbing

Sri Wahidah, S.Pi., M.SiIr. IkbalIllijas, M.Sc.,Ph.D Pembimbing 1pembimbing II

Diketahui oleh:

Ir.Andi Asdar Jaya, M.Si Ir. Rimal Hamal, S.Pi.M.P

Direktur Ketua Jurusan

(3)

RINGKASAN

HASMAWATI, 12 22 223. Teknik Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Macan

di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, Sulawesi Selatan.

Dibimbing oleh Sri Wahidah dan Ikbal Illijas.

Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas sumber daya perairan yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingginya harga jual serta permintaan pasar baik didalam maupun di luar negeri.Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000 ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy et al.,2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi makanan ikan laut (FAO, 2003).

Manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan gambaran secara langsung mengenai pemeliharaan larva ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.

Penulisan tugas akhir ini berdasarkan hasil kegiatan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) yang dilaksanakan pada tanggal 9 Februari 2015 sampai Dengan 9 Mei 2015. Bertempat di Lokasi 1 dan 2 di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAP), Desa.Mappakalompo, Kecamatan. Galesong, Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan.

Tingkat kelangsungan hidup larva ikan kerapu yang dicapai sebesar 32% dengan jumlah juvenil sebanyak 8.000 ekor. Perkembangan dan pertumbuhan larva ikan kerapu mengalami perubahan pesat, baik warna maupun morfologi mulai sejak menetas sampai hari ke 30. Pertumbuhan panjang dari D1 sampai D30 berkisar 1,49 - 15,1 mm.

Monitoring kualitas air berada pada pada kisaran yang layak untuk pemeliharaan larva ikan kerapu, seperti parameter suhu berkisar 28 oC, pH berkisar 7,7 dan salinitas berkisar 32 ppt.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas lindungan ALLAH SWT,atas segala nikmat dan karuniaNyalah sehingga laporan PKPM yang berjudul “TeknikPemeliharaanLarva Ikan Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)di Balai PerikananBudidaya Air Payau (BPBAP) Takalar ” dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah ditetapkan.Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan baik dalam segi penulisan maupun materi yang terdapat didalamnya.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari segenap pembaca guna membantu dalam penyempurnaan penulisan laporan selanjutnya.

Terima kasih kepada kedua orang tua tercinta atas doanya selama ini yang telah memberikan dorongan dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Ir. Andi Asdar Jaya, M.Si., Direktur Politeknik Pertanian NegeriPangkep.

2. BapakIr. Rimal Hamal, M.P., Ketua Jurusan Budidaya Perikanan.

3. Ibu Sri Wahidah, S.Pi.,M.Si selaku pembimbing pertama dan Ir. Ikbal Illijas, M.Sc.,Ph.D selaku pembimbing kedua.

4. Kedua orang tua dan keluarga tercinta atas dukungan dan materi yang telah mereka berikan.

(5)

5. Serta teman-teman sejurusan dan seangkatanku.

Akhir kata penulis berserah diri kepada ALLAH SWT, dan

senantiasa memonhon petunjuk-Nya. Semoga laporan PKPM ini dapat

berguna bagi pembaca dan semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri.

Pangkep, Agustus 2015

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN

RINGKASAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat ... 2

II. TINJAUN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Morfologi ... 3

2.2 Makanan dan Habitatnya ... 4

2.3 Siklus Reproduksi dan Perkembangan Gonat ... 6

2.4 Kebiasaan Makan ... 7

2.5 Pemilihan Lokasi ... 8

2.6 Pemilihan Larva ... 9

2.6.1 Seleksi Telur ... 9

2.6.2 Persiapan Bak ... 9

2.6.3 Penetasan dan Penebaran Telur ... 9

2.6.4 Pengelolaan Pakan ... 10

2.6.5 Penegelolaaan Kualitas Air ... 10

2.6.6 Penyeragaman Benih (Grading) ... 11

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.2.1 Alat ... 12

3.2.2 Bahan ... 13

3.3 Metode Pengambilan Data ... 13

3.3.1 Data Primer ... 13

3.3.2 Data Sekunder ... 13

3.4 Metode Pelaksanaan ... 13

3.4.1 Persiapan Bak Larva ... 13

3.4.2 Seleksi Telur ... 14

3.4.3 Penetasan Telur dalam Bak pemeliharaan Larva ... 15

(7)

3.5.1 Pakan Larva ... 16

3.5.2 Rotifer ... 16

3.5.3 Penambahan plankton ... 17

3.5.4 Pakan Buatan ... 17

3.5.5 Artemia ... 18

3.6 Pengelolaan Kualitas Air ... 18

3.6.1 Pergantian Air ... 18

3.6.2 Penyiponan ... 19

3.7 Greding ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

4.2.1 Perkembangan Larva ... 21

4.2.2 Tingkat Kelangsungan Hidup ... 23

4.2.3 Pakan ... 23

4.2.3.1 Chlorella ... 24

4.2.3.2 Rotifer ... 24

4.2.3.3 Artemia ... 25

4.2.3.4 Pakan Buatan ... 25

4.2.4 Pengelolaan Kualitas Air ... 26

4.2.4.1 Penyiponan ... 26

4.2.4.2 Pergantian Air ... 26

V. KESIMPULAN dan SARAN ... 5.1 Kesimpulan ... 27

5.2 Saran ... 27 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

Alat yang Digunakan Dalam Pemeliharaan

Larva Ikan Kerapu Macan ... 12 2. Bahan yang Digunakan Dalam Pemeliharaan

Larva Kerapu Macan ... 13 3. Jadwal Penambahan Plankton dan

Pengelolaan Kualitas Air ... 19

4.

HR (hatching Rate) yang Didapatkan Pada

Kerapu Macan ... 21 5. SR (Survival Rate) yang Didapatkan Pada

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. MarfologiIkanKerapuMacan(Ephinephelus Fuscoguttatus) ... 4

2. Seleksi Telur, Penebaran Telur dan Pemberian Antibiotik ... 15

3. Perhitungan dan Pemberian Pakan Rotifer ... 16

4. Perhitungan dan Pemberian Pakan Rotifer ... 16

5. Pemberian Plankton ... 17

6. Pemberian Pakan Buatan Pada Larva ... 17

7. Kultur Artemia ... 18

(10)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas sumber daya perairan yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingginya harga jual serta permintaan pasar baik didalam maupun di luar negeri.Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000 ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy et

al.,2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton total

tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi makanan ikan laut (FAO, 2003). Dewasa ini telah dikenal beberapa spesies ikan kerapu dengan nilai ekonomis yang tinggi seperti ikan kerapu tikus/bebek (Cromileptes

altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leoporus), kerapu lumpur (E. tauvina dan E. suillus) dan kerapu alis/napoleon (Cheilinus undulatus).

Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 80.000 km. Diperkirakan area untuk budidaya laut di sekitar 62.629 ha, dengan produksi tahunan sebesar 890.074 MT. Indonesia adalah produsen utama kerapu,dimana produksi ikan kerapu budidaya pada tahun 1999 sebesar 759 ton, meningkat menjadi 6.493 ton pada tahun 2005 dengan nilai total sekitar Rp. 116.891.489.000. Budidaya kerapu di Indonesia tersebar dari Sumatera sampai Papua dan terkonsentrasi di beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi Utara. Total produksi ikan kerapu di Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur dan Bali pada tahun 2005

(11)

masing-masing sebesar 4.496 ton, 388 ton 24 ton dan 180 ton (DKP, 2006). Ketersediaan benih merupakan komponen penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan dibangun baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu itu. Kawahara & Ismi (2003) melaporkan terdapat 123 unitpembenihan memproduksi benih kerapu macan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Sugama (2003) melaporan bahwa 3,8 juta benih ikan kerapu macan dengan ukuran 5-10cm dihasilkan oleh balai benih ikan di Indonesia pada tahun 2002.

Empat tahun terakhir ini produksi kerapu budidaya mengalami kenaikan, namun dengan pertumbuhan yang kurang signifikan, misalnya secara berturut- turut produksi kerapu budidaya tahun 2008 s/d 2011 adalah5.005 ton, 8.791 ton, 10.397 ton dan 13.000 ton. Produksi ini hanya memenuhi sebahagian kecil dari permintaan pasar Hong Kong yang pada tahun 2010 saja membutuhkan sebanyak 35.000 ton. Sesuai dengan pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan negara pengimpor kerapu, terjadi peningkatan kebutuhan sebesar 17,84% per tahun, sehingga diprediksi kebutuhan pasar Hong Kong pada tahun 2013 adalah sebesar 57.000 ton.

Ikan kerapu macan berhasil dipijahkan pada tahun 1987 dengan tingkat kematian benih masih sangat tinggi. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tingkat kematian dapat ditekan dan berhasil dipijahkan pada tahun 1990 (Kordi, 2001). Sejak saat itu produksi benih ikan kerapu macan dilakukan oleh panti pembenihan (hatchery) untuk memenuhi permintaan benih untuk budidaya. Oleh karena itu, usaha pembenihan ikan kerapu merupakan faktor penting diperhatikan untuk meningkatkan produksi ikan kerapu.

(12)

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui teknik peme - liharaan larvakerapu macan ( E. fuscoguttatus ).

Manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan gambaran secara langsung mengenai pemeliharaan larva ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.

(13)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi

Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower atau carped codMenurut Randall (1987) dalam Antoro, S.dkk.,(1998) menjelaskan sistematika ikan kerapu macan adalah :

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Classis : Osteichtyes Subclassis : Actinopterigii Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Familia : Serranidae Genus : Epinephelus Species : E. fuscoguttatus

Deskripsi oleh Subyakto dan Cahyaningsih (2005) menyebutkan bahwa ikan kerapu macan ini memiliki bentuk tubuh memanjang dan gepeng (compressed), tetapi kadang – kadang ada juga yang agak bulat. Mulutnya lebar serong ke atas dan bibir bawahnya menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi gigi – gigi geratan yang berderet dua baris, ujungnya lancip, dan kuat. Sementara itu, ujung luar bagian depan dari gigi baris luar adalah gigi – gigi yang besar. Badan kerapu macan ditutupi oleh sisik yang mengkilap dan bercak loreng mirip bulu macan. Menurut Kordi (2001) bentuk tubuh ikan kerapu macan menyerupai kerapu lumpur, tetapi tubuh kerapu macan lebih tinggi. Kulit tubuh ikan kerapu macan dipenuhi dengan bintik – bintik gelap yang rapat. Sirip

(14)

dadanya berwarna kemerahan, sedangkan sirip – sirip yang lain mempunyai tepi cokelat kemerahan. Pada garis rusuknya, terdapat 110 – 114 buah sisik. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1.MarfologiIkanKerapuMacan(E. fuscoguttatus)

2.2 Makanan dan Habitatnya

Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain di tentukan oleh jenis makanan yang tersedia. Dari makanan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan tadi akan mempengaruhi sisa persediaan makanan dan sebaliknya makanan yang telah diambilnya akan mempengaruhi pertumbuhan, kematangan bagi tiap-tiap individu ikan serta kelangsungan hidupnya (survival rate). Adanya makanan dalam perairan selain di pengaruhi oleh kondisi biotik dari lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan (Effendie, 2002).

Sunyoto (1994), menyatakan bahwa pada dasarnya ikan kerapu merupakan ikan yang bersifat karnivora. Pada fase larva, ikan kerapu bersifat plantonik dan biasanya memakan berbagai jenis plankton (zooplankton) seperti rotifer,

(15)

Copepoda, Naupli Artemia, udang rebon dll. Benih ikan kerapu umumnya memakan jenis ikan, udang rebon dan cumi-cumi, sedangkan ikan yang berukuran besar memakan ikan dan cumi-cumi yang berukuran besar pula.

Kerapu merupakan ikan karnivora yang cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak, mempunyai kebiasaan makan pada siang hari dan lebih aktif pada pagi hari. Ikan kerapu tergolong ikan buas dan kanibal, mempunyai tingkah laku dan kebiasaan sering berada didasar perairan untuk menunggu mangsanya (Hepher, 1978).

Mortalitas larva sangat dipengaruhi oleh ukuran pakan, yang terdiri atas rotifer yang menetas, branchionus dan capepoda. Selanjutnya dikatakan bahwa jenis-jenis makanan tersebut, apabila dalam waktu yang singkat tidak berhasil ditemukan atau ukurannya tidak sesuai dengan bukaan mulut larva, maka akan terjadi kelaparan dan kehabisan tenaga. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya mortalitas (Gitari, 1995).

DaerahpenyebaranikankerapudimulaidariAfrikaTimur, Kepulauan Ryukyu (Jepang Selatan), Australia, Taiwan (Katayama, 1960). Menurut(WebertdanBeufort1931), di Indonesia ikankerapubanyakditemukan di perairanPulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, PulauBuru dan Ambon.Salah satuindikatoradanyakerapuadalahperairankarang.Indonesia memilikiperairankarang yang cukupluassehinggapotensisumberdayaalamikankerapunyasangatbesar (TahpubolondanMulyadi, 1989). Dalamsiklushidupnyakerapumacanmudahhidup di perairankarangpantaidengankedalaman 0,5-3 m,

(16)

selanjutnyamenginjakmasadewasaberupayakeperairan yang lebihdalamantara 7 - 40 m, biasanyaperpindahaniniberlangsungpadasiangdansenjahari. Telurdan larva bersifatpelagissedangkankerapumudahhinggadewasabersifatdemersal (Tampubolondanmulyadi, 1989). Habitat favorit larva

kerapumacanmudaadalahperairanpantaidekatmuarasungaidengandasarpasirber karang yang banyak di tumbuhipadanglamun (Anynomous, 1991).

2.3 Siklus Reproduksi dan Perkembangan Gonad

Ikan kerapu macan bersifat hermaprodit protogini, yaitu pada tahap perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar atau ketika umurnya bertambah tua. Fenomena perubahan jenis kelamin pada kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran benih (Smith, 1982 dalam Subyakto dan Cahyaningsih, 2005). Bobot kerapu macan betina 3,0 – 4,5 kg dan bobot kerapu macan jantan 5,0 – 6,0 kg ke atas atau ketika kerapu macan jantan sudah mampu menghasilkan sperma untuk membuahi telur ikan betina. Menurut Chen (1991) mengatakan bahwa pada jenis E. Diacanthuskecenderungan perkembangan matang gonad terjadi selama masa non reproduksi yaitu antara umur 2 – 6 tahun. Perkembangan matang gonad terbaik terjadi antara umur 2 – 3 tahun.

Proses pemijahan dilakukan secara bergerombol di perairan Indo Pasifik, puncak pemijahan berlangsung beberapa hari sebelum bulan purnama pada malam hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Beberapa spesies dari ikan kerapu mempunyai musim pemijahan 6 – 8 kali per tahun sedangkan pemijahan pertama

(17)

dkk., 1998). Musim pemijahan ikan kerapu di Indonesia terjadi pada bulan Juni – September dan November – Februari (Sugama, 1999).

2.4 Kebiasaan Makan

Ikan kerapu macan dikenal sebagai predator atau piscivorousyaitu pemangsa jenis ikan –ikan kecil, zooplankton, udang – udangan, invertebrata, rebon dan hewan– hewan kecil lainnya (Kordi, 2001). Ikan kerapu macan termasuk jenis karnivora dan cara makannya memangsa satu per satu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar, sedangkan larva ikan kerapu pemakan larva moluska (trokofor), rotifera, microcrustacea, copepoda dan zoopla-nkton (www.warintekprogressio.or.id, 1996).

Tampubolon dan Mulyadi (1989) menjelaskan bahwa spesies kerapu yang mempunyai panjang usus lebih panjang dibandingkan panjang tubuhnya, diduga memiliki pertumbuhan yang cepat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas dan kebiasaan dalam tingkat pemilihan jenis makanan. Panjang usus relatif ikan kerapu sebagai ikan karnivora berkisar 0,26 – 1,54 meter, selain itu usus ikan kerapu yang di amati memiliki lipatan – lipatan yang dapat menambah luas permukaan usus ikan dan berfungsi sebagai penyerapan makanan.

Utoyo, dkk., dalam Antoro, dkk., (1998) menyatakan bahwa kapasitas penyerapan makanan meningkat dengan meningkatnya luas permukaan dinding usus ikan melalui pengembangan klep spiral lipatan usus. Nybakken dalam Antoro, dkk.,(1998) menambahkan bahwa ikan kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air dan bersifat nokturnal. Selain itu mereka juga mempunyai sifat buruk, yakni kanibalisme yang muncul pada larva yang berumur 30 hari akibat pasokan makanan yang tidak mencukupi.

(18)

2.5 Pemilihan Lokasi

Persyaratan lokasi pembenihan yang baik meliputi faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam memproduksi benih (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) beberapa aspek penting yang harus dipenuhi adalah letak unit pembenihan di tepi pantai untuk memudahkan perolehan sumber air laut. Pantai tidak terlalu landai dengan kondisi dasar laut yang tidak berlumpur dan mudah dijangkau untuk memperlancar transportasi. Air laut harus bersih, tidak tercemar dengan salinitas 28 – 35 ppt. Sumber air laut dapat dipompa minimal 20 jam per hari. Sumber air tawar tersedia dengan salinitas maksimal 5 ppt. Peruntukan lokasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah/Wilayah (RUTRD/RUTRW).

Faktor non teknis merupakan pelengkap dan pendukung faktor – faktor teknis dalam pemilihan lokasi pembenihan. Persyaratan lokasi yang termasuk dalam faktor non teknis meliputi beberapa kemudahan seperti sarana transportasi, komunikasi, instalasi listrik (PLN), tenaga kerja, pemasaran, laboratorium, asrama, tempat ibadah dan pelayanan kesehatan. Selain itu, hal lain yang dapat menunjang kelangsungan usaha yakni adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat, termasuk dukungan masyarakat sekitar (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005).

(19)

2.6 Pemeliharaan Larva

Pemeliharaan larva merupakan kegiatan utama pada usaha pada usaha pembenihan ikan kerapu dalam menghasilkan benih, pengolahan dalam pemeliharaan larva meliputi persiapan bak, pemberian pakan baik pakan hidup maupun pakan buatan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Bak pemeliharaan sebelum digunakan harus dicuci bersih dan disterilkan dengan menggunakan kaporit. Penebaran larva dilakukan dengan dua cara, yaitu penebaran telur atau penebaran larva. Larva D1 diberi fitoplankton jenis Nannocloropsis sp. Pemberian fitoplankton dimaksudkan sebagai penetral kualitas air terhadap gas peracun sebagai rotifer yang diberikan pada larva D3. Kepadatan pakan yang diberikan larva D20 adalah 3-6 induvidu ind/ml. rotifer diberikan hingga D20 hari. Pakan buatan mulai diberikan sedikit demi sedikit pada larva D15. Pengelolaan air dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Penggantian air semakin meningkat dengan bertambanya umur larva (Sutrisno, ddk, 1987).

Pemeliharaan larva kerapu dapat menggunakan bak semen bervolume 0,5 – 10 ton. Larva kerapu seperti jenis larva ikan laut yang lain tidak tahan terhadap perubahan lingkungan yang besar seperti : perubahan suhu, salinitas, pH air dan intensitas cahaya. Dalam pemeliharaan larva, keberhasilan larva untuk memanfaatkan pasokan pakan dari luar terutama pada saat cadangan makanan dari dalam tubuh sudah habis merupakan kunci bagi kelangsungan hidup bagi larva 8 selanjutnya. Masa kritis pertama terjadi pada saat larva mulai buka mulut sampai saat kuning telur habis terserap. Oleh karena itu harus menyediakan pakan awal yang mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran bukaan mulutnya, dalam jumlah

(20)

dan mutu nutrisi yang cukup (Kawahara et al ., 2000).

Menurut Sunyoto dan Mustahal (1997), sebelum larva ditebar, bak-bak untuk pemeliharaan harus disiapkan. Bak-bak diisi air laut yang telah difilter dengan jumlah kira-kira 80% dari kapasitasnya serta dipasok aerasi pada tingkat kecepatan rendah, artinya gelembung-gelembung udara yang keluar diusahakan sekecil mungkin, tetapi tidak berhenti. Sekitar 1 – 2 jam sebelum menetas, telur-telur ditebarkan dengan pelan-pelan ke dalam bak pemeliharaan. Penebaran telur-telur dilakukan pada tingkat kepadatan 50 butir per liter air pemeliharaan.

Panjang tubuh total larva kerapu bebek hampir sama dengan jenis kerapu lainnya, yakni berkisar 1,52 mm. Sedangkan menurut Kohno et al , (1990) pan - jang total larva kerapu bebek, yakni 1,287-1,393 mm. Ketika larva berumur satu hari (D1), saluran pencernaanya sudah mulai terlihat, tetapi mulut dan anusnya masih tertutup dan calon matanya yang transparan sudah terbentuk. Larva berumur dua hari (D2) bersifat planktonis, bergerak mengikuti arus, sistem penglihatannya belum berufungsi, dan masih memiliki kuning telur ( yolk

egg ).

Setelah telur menetas menjadi larva, larva ikan kerapu macan dalam per-kembangannya menjadi juvenil akan mengalami fase kritis (Akademik Perikanan Sidoarjo, 2005) yaitu sebagai berikut :

1. Umur Kritis I

Larva umur 3-7 hari (D3-D7), persediaan kuning telur telah habis, bukaan mulut larva juga masih terlalu kecil untuk memangsa larva seperti Rotifer. Sementara itu, organ pencernaannya belum berkembang secara sempurna, sehingga belum dapat memanfaatkan pakan yang tersedia secara

(21)

maksimal. 2. Umur Kritis II

Kematian larva terjadi pada umur 10-12 hari (D10-D12). Pada saat itu spina calon sirip punggung dan dada mulai tumbuh semakin panjang. Pada fase ini kebutuhan komposisi nutrisinya lebih komplit. Pakan yang diberikan masih sama dengan fase yang sebelumnya.

3. Umur Kritis III

Kematian larva terjadi pada umur 21-25 hari (D21-D25) ketika terjadi metamorfosis, yakni pada saat spina tereduksi menjadi sirip punggung dan sirip dada pada kerapu muda.

4. Umur Kritis IV

Pada fase ini benih berumur lebih dari 35 hari (D35). Sifat kanibalnya sudah mulai nampak, benih yang besar akan memakan benih yang lebih kecil.

2.7 Pemberian Pakan

Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam pertumbuhan ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Sedangkan pakan dibutuhkan oleh ikan sejak mulai hidup yaitu dari larva, dewasa sampai ukuran induk. Pakan buatan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan nutisi, yang di maksud dengan pengetahuan nutrisi adalah pengetahuan mengenai pemberian pakan ikan berdasarkan zat-zat gizi yang dikandungnya. Pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan selain dapat menjamin kehidupan ikan juga akan mempercepat pertumbuhannya (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Tiga jenis pakan yang biasa dipakai untuk pemeliharaan larva adalah rotifer, artemia dan pakan buatan. Ada dua jenis rotifer menurut ukuran

(22)

yaitu SS (super small) dengan ukuran panjang lorica 120-140 μm dan S (small) dengan ukuran panjang lorica 180-200 μm (Sugama et al., 2003). Sebagaimana jenis ikan kerapu lainnya, kerapu bersifat karnivora, terutama memangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikrokrustasea, kopepoda, dan zooplankton untuk larva. Sedangkan untuk ikan kerapu bebek yang lebih dewasa memangsa ikan-ikan kecil, crustacea dan cephalopoda.

Rotifera ( Brachionus Plicatilis) adalah jenis pakan alami yang secara luas telah digunakansebagai pakan awal dalampemeliharaan larva berbagai jenis ikan dan crustacea, karena selain ukurannya yang relatif sesuai dengan bukaan mulut larva, gerak renangnya lambat, dapat di kultur secara massal dan rata-rata reproduksinya tinggi (Lubzens et al., 1989 dalam Fulks dan Main, 1991).

Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha budidaya ikan dan udang, di Indonesia belum ditemukan adanya artemia, sehingga sampai saat ini Indonesia masih mangimpor artemia sebanyak 50 ton/tahun. Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan kerapu juga memerlukan ketersediaan artemia sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa kebutuhan artemia untuk larva ikan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan kista atemia akan semakin meningkat (Daulay, 1998).

Pakan buatan dengan kandungan nutrisi cukup harus diberikan sedini mungkin yaitu setelah larva berumur 15-17 hari, agar tidak terjadi kekurangan

(23)

nutrisi pada larva yang mengakibatkan syndrom kematian pada usia diatas 25 hari atau 25 day syndrome (Sugama et al., 2003). Menurut Nybakken (1988) sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolom air. Kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang dan malam hari, lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Berdasarkan prilaku makannya, ikan kerapu menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan (Randall, 1987).

Sebagai ikan karnivora, kerapu mempunyai sifat buruk yaitu kanibalisme. Kanibalisme merupakan salah satu penyebab kegagalan pemeliharaan dalam usaha pembenihan. Ikan kerapu merupakan hewan karnivora yang memangsa ikan kecil, kepiting, dan udang udangan. Ikan kerapu bersifat karnifora dan cen -derung menangkap/ memangsa yang aktif bergerak di dalam kolam air (Nybakken, 1988 dan Anonim, 2001).

2.8 Panen dan Pasca panen

Kegiatan panen dan pasca panen terutama pengangkutan menjadi faktor penentu mutu benih dilokasi pembesaran. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan guna mendukung keberhasilan panen antara lain persiapan, ukuran dan umur benih, waktu dan cara panen. Ada dua tahap panen dalam usaha pembenihan, yaitu panen benih dari hasil pemeliharaan larva dan panen benih dari hasil pendederan. Transportasi benih yang biasa digunakan ada dua cara yaitu, transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan secara tertutup merupakan cara paling umum digunakan meskipun dalam jarak dekat dan melalui jalan darat karena cara ini lebih aman dan mudah pelaksanaannya. Pengangkutan yang waktu angkutnya lebih dari 20 jam, sebaiknya dilakukan pengemasan ulang terutama pe

(24)

nggantian oksigen. Pengangkutan terbuka digunakan untuk jarak dekat dan jalan yang ditempuh melalui darat ( Dhoe dkk., 2004 ).

Pemanenan dilakukan setelah benih mencapai ukuran 5 - 7 cm atau disebut gelondongan, ukuran ini bisa mencapai masa pemeliharaan 3 - 4 minggu. Persiap an alat panen harus dilakukan untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Adapun alat yang digunakan pada pemanenan benih adalah skop-net, wadah penampung seperti ember, dan waring. Waktu yang tepat dalam melakukan pema nenan yaitu pada pagi dan sore hari. Pemanenan benih diawali dengan pengurang an air dari dalam bak hingga tersisa 1/3 volume awal. Selanjutnya benih digiring dengan waring ke sudut bak untuk mempermudah penangkapannya. Jika benih telah berkumpul di sudut bak maka benih dapat dengan mudah di tangkap dengan skop-net dan di masukkan ke wadah penampung (Akbar dan Sudaryanto, 2001).

Setelah dipanen benih yang akan dipasarkan dipacking menggunakan kantong plastik jenis PL. Ketika benih akan dipacking, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pada saat panen benih harus dalam kondisi dipuasakan atau tidak diberi pakan yang disesuaikan dengan tingkat berat dan ukuran. Benih yang berukuran kurang dari 3 gr dipuasakan 12 – 24 jam sebelumnya sedangkan untuk yang lebih dari 3 gr, 36 – 46 jam menjelang pengangkutan. Kondisi benih demikian sangat aman untuk di packing. Packing dilakukan dengan cara meletakan kantong plastik dalam wadah styrofoam dan diberi batu es secukupnya, kemudian ikan siap untuk dikirim ke tempat tujuan. Biasanya, 1 wadah styrofoam ukuran standart 75 x 42 x 32 cm dapat diisi 8 buah kantong plastik dan cukup diberi 2 buah batu es yang dibungkus kantong plastik berukuran 10 x 15 cm dan koran bekas. Kepadatan setiap kantong antara 20 – 25 ekor (Subyakto dan

(25)

Cahyaningsih, 2005).

2.9 Penyeragaman Benih

Minjoyo dkk.(1998) menyatakan bahwa grading dimaksudkan untuk menyeragamkan ikan peliharaan yang ditempatkan dalam satu wadah dan bukan merupakan jalan pemecahan untuk mengatasi sifat kanibal melainkan mengurangi sifat kanibal. Sifat kanibal menurunkan tingkat populasi dan cara yang paling tepat untuk menguranginya adalah menyediakan pakan secara optimal. Grading pada ikan dilakukan pada waktu larva berumur 35 hari dimana larva sudah menjadi benih.

(26)

III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penulisan tugas akhir ini berdasarkan hasil kegiatan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) yang dilaksanakan pada tanggal 9 Februari 2015 sampai dengan 9 Mei 2015. Bertempat di lokasi 1 dan 2 di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAP), Desa.Mappakalompo, Kec. Galesong, Kab. Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Adapun alat yang digunakan dalam pemeliharaan larva ikan kerapu macan dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat yang di gunakan dalam pemeliharaan larva ikan kerapu macan.

No. Nama Alat Spesifikasi Manfaat

1. Bak penampungan air 10 ton / 3 buah Sebagai tempat untuk menampung air yang telah diteritmen. 2. Pipet tetes 1 buah Mengambil sampel. 3. Tudung saji 10 buah Wadah untuk gereding

dan panen.

4. Gelas ukur 1 buah Mengukur sampel.

5. Saringan 2 buah Menangkap Benih

6. Baskom 4 buah Menampung larva.

7. Sikat sapu 8 buah Membersihkan bak.

8. Frezeer 1 buah Tempat menyimpan

pakan.

9. Gayung/ciduk 1buah Untuk memberikan pakan alami

10. Selang spiral 1 buah Menyipon kotoran di dasar bak pemeliharaan induk dan larva.

11. Aerasi 9 buah Menyuplai oksigen.

12. 13. Bak fiber plastik 2 buah 2 buah

Media kultur artemia. Penutup bak larva 14. Bak pemeliharaan larva 4 buah Media pemeliharaan.

(27)

3.2.2 Bahan

Adapun Beberapa Bahan yang di gunakan dalam pemeliharaan larva ikan kerapu macandapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang di gunakan dalam pemeliharaan ikan kerapu macan.

No Nama Spesifikasi Kegunaan

1. Deterjen Rinso Mensucihamakan

2. Oksalit Desinfektan 3. Vitaliquid, aminoliqid, algamac,scots emulsion,Vitamin C 0,5 ppm Pengkayaan Pakan Rotifer dan Artemia

4. Tio sulfat 5 gram Treatment terhadap residu kaporit 5. Nano gel 200 ml chorella instan

6. Pakan buatan Sumber pakan

buatan (Sumber : Data Primer)

3.3 Metode Pengambilan Data

3.3.1. Data Primer

Mencatat data yang diperoleh dalam kegiatan Praktek di BPBAP Takalar.

3.3.2 Data Sekunder

Mencatat setiap data yang diperoleh baik dari instansi terkait, literatur, wawancara yang berguna sebagai bahan penyusunan laporan.

3.4 Metode Pelaksanaan 3.4.1 PersiapanBak Larva

a. Baksebelumdiisilarva

terlebihdahuludibersihkanyaitudengancaradisikatdengansabunrinso. b. Setelahitudibilasdengankaporit dan didiamkan selama 24 jam.

(28)

c. Kemudian dibilaskembalidenganNatriumThiosulfat (Na2S2O3).

d. Selanjutnya bak dibilas menggunakan air laut dan dilakukan penyiraman menggunakan formalin.

e. Air laut yang disaringsebelumdigunakanuntukmemelihara larva diberikaporit

30 – 60 ppm selama 24 jam

dandiaerasikuatdanbilamasihmengandungclorindinetralisirdenganthiosulfat 15 – 30 ppm. Salinitas media pemeliharaanadalah 30 – 33 ppt. Sedangkansuhuar media pemeliharaanberkisarantara 27 – 29 o

C.Pengisianbakdilakukanhanyasekitarduapertigadari volume bak.

3.4.2 PenyebaranMinyakIkan

a. Minyak ikan yang berada di dalam botol diteteskan pada bak larva pada umur D1 – D10 sebanyak 5 tetes.

b. Penyebaranminyakcumi dilkakukan 2x sehari yaitu pagi dan sore hari.sangatmembantuuntukmenghindarikematian larva yang mengapung.

3.4.3 Pengelolalaan Pakan

Tigajenispakanyangdigunakanuntukmemelihara larva yaitu rotifer, pakanbuatandanArtemia.Rotifer adaduatipeyaitutipe SS dantipeS denganukuranpanjanglorika 120-140 m untuktipe SS dan 140-200 m untuktipe S.

(29)

Tabel 3. Pemberian pakan terhadap larva

Stadium larva

Jenis makanan Dosis Frekuensi Waktupemberian

Do – D1 Yolk egg - - - D2 Chlorella 50 - 100 sel/ ml 1 kali 07.30 D3 – D7 Chlorella Rotifer 50 – 100 sel/ml 3 – 5 ind/ml 1 kali 2 kali 07.30 09.00 – 13.00 D8 – D20 Chlorella Rotifer Pakan buatan Artemia 50 – 100 sel/ml 3 – 5 ind/ml 5 gr 1 - 3 ind/ml 1 kali 2 kali 4 kali 1 kali 07.30 09.00 – 13.00 08.00,10.00,12.00, 15.00,17.00 14.00 D21 – D30 Chlorella Rotifer Pakan buatan Artemia 50 – 100 sel/ ml 3 – 5 ind/ml 5 gr 1 – 3 ind/ml 07.30 09.30 – 13.00 08.00, 10.00, 12.00 , 15.00, 17.00 14.00 D31 – D45 Pakan buatan Artemia 8 gr 1 – 3 ind/ml 08.00, 10.00, 12.00 , 15.00, 17.00 14.00

(30)

3.5 Pengendalian hama dan penyakit

a. Alat dan bahan disiapkan

b. Elbazin dilarutkan kedalam ember yang berisi air sebanyak 2 liter (4 ppm)

c. Setelah larut, elbazin ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva

3.6 PengelolaanKualitas Air 3.6.1 Pergantian air

a. Setiap pagi hari dilakukan penurunan air sebanyak 10-25 % dan kegiatan ini berlangsung selama 30 menit dan dibiarkan air mengalir pada proses sirkulasi.

b. Setelah 30 menit dilakukan penambahan air laut sampai mencapai ketinggian optimal.

c. Pergantian air mulaidilakukanpada larva umur D10 -15 sebanyak 10-20% setiap 3 harisekali. D16 - D20 sebanyak 20 - 30%, D21 - 25 sebanyak 30-50% setiap 1 harisekali. Dan umur larva lebihdari D26 sebanyak 50 - 100% setiaphari. Secararingkaspengelolaankualitas air disajikandalamTabel 2.

(31)

Tabel2.JadwalPenambahan Plankton dan PengelolaanKualitas Air UmurIkan (Hari) Volume Chlorella Yang Ditambahkan (liter)

Ganti Air (%) Volume Air SetelahGanti Air (m3) Siphon D0 – D1 D2 – D9 D10–D15 D16–D20 D21- D25 D26–D35 D36–D40 - 150 – 200 250 250 – 300 300 – 400 300 – 400 - - - 10 – 20 20 – 30 30 – 50 50 – 100 100 – 150 7,0 - 9,0 9,0 9,0 9,0 9,0 - - - 1x/3 hari 1x/2 hari setiaphari setiaphari 3.6.2 Penyiponan

a. Menyiapkan alat dan bahan b. Menurunkan air sebanyak 30% c. Menghentikan aerasi

d. Kemudian menyipon dasar bak menggunakan selang spiral

3.6.3 Parameter Kualitas Air

a. Menyiapkan alat dan bahan

b. Mengukur pH dan suhu menggunakan pH meter c. Mengukur salinitas dengan handrefraktometer

3.7 Grading

a. Membuang air pada bak melalui saluran pengeluaran sampai ketinggian mata kaki.

(32)

b. Penangkapan benih menggunakan tudung saji dan keranjang kecil. c. Benih diangkat dan diletakkan dalam baskom berisi air dan siap

dilakukan seleksi ukuran benih.

Gambar 7. Penghitungan dan PenyeragamanBenih Kerapu Macan

3.8 Parameter yang diamati dan Analisa Data

Parameter yang diamati selama pemeliharaan larva kerapu macan meliputi tingkat kelangsungan hidup, perkembangan larva, hama dan penyakit, parameter kualitas air.

3.7.1 Analisa Data

Data yang diperoleh diuji secara deskriptif dengan rumus tingkat kelangsungan hidup ikandihitungdenganrumusZoonnevelddkk. (1991) sebagai berikut :

SR

=

x 100 %

Keterangan :

SR = Tingkat kelangsungan hidup larva Nt = Jumlah larva yang hidup di akhir

(33)

No= Jumlah larva yang hidup di awal

Pertumbuhan panjang ditentukan dengan mengukur panjang total larva, sedangkan perkembangan larva diamati di bawah mikroskop.

(34)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) larva ikan kerapu sebesar 32% atau dengan jumlah larva dipanen sebanyak 8.000 ekor dari penebaran 25.000 ekor (Tabel 4).Tingkat kelangsungan hidup larva kerapu ini sangat rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Jerry dkk. (2014) dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 85%. Namun tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan benih ikan kerapu lumpur yang hanya sebesar 4,38% (Aslianti dan Priyono, 2009). Tebel 4. Jumlah larva dan tingkat kelangsungan hidup larva kerapu macan

No Kegiatan Jumlah Larva (ekor)

1. Penebaran 25.000

2. Panen 8.000

Tingkat kelangsungan hidup (%) 32

Faktor penyebab tingginya mortalitas dapat disebabkan oleh ketidaktersedianya nutrien yang cukup di dalam pakan terutama vitamin C dan kalsium. Nutrien ini sangat berhubungan dengan proses pembentukan tulang belakang. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan larva tumbuh tidak normal (deformity) yang selanjutnya mengakibatkan larva mengalami kesulitan mendapatkan pakan sehingga akan menyebabkan kematian (Aslianti dan Priyono, 2009). Menurut Halver et al.(1969)dalamAslianti dan priyono 2009 bahwavitamin C sangat berperan dalam sintesis kolagen. Kekurangan vitamin C menyebabkan sintesis kolagen tidak normal sehingga terjadi distorsi cartilage seperti pada filamen insang ikan coho dan rainbow trout, serta pertumbuhan yang rendah pada

(35)

ikan red sea bream(Yano, 1975)dalam Aslianti dan Priyono, 2009dan juga pada ikan kerapu E.Malabaricus(Phromkunthong et al. 1993 dalamGiri et al. 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa kekurangan vitamin C pada ikan kerapu tikus,

Cromileptes Altivelismengakibatkan ikan tumbuh bengkok (lordosis dan

scoliosis), lemah, hyperplasia pada insang dan anemia dengan kandungan Hb, erytrosit, dan leukosit yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan yang normal.

Penyebab mortalitas tinggi pada larva yang lain yaitu karena kurangnya pemberian minyak cumi pada awal pemeliharaan larva sehingga larva terperangkap pada tegangan permukaan air. Selain itu larva yang baru menetas cenderung memiliki respon terhadap cahaya (fototaksis positif) sehingga saat larva melihat cahaya pada permukaaan perairan maka larva akan cenderung berenang naik ke permukaan perairan dan kebanyakan larva tidak dapat turun karena terjebak di permukaan air. Untuk mengurangi masalah ini, cahaya matahari langsung dihindari langsung ke bak pemeliharaan larva dan permudiusahakan intensitas cahaya merata di permukaan bak larva sehingga larva menebar di dalam bak. Untuk mencegah kematian karena tegangan di permukaan dapat ditambahkan minyak dua kali sehari ke bak (sekitar 0,2 ml/m2) untuk membentuk film tipis di 1-5 hari (Yamaoka dkk. 2000).

4.2 Perkembangan dan Pertumbuhan Larva

Perkembangan dan pertumbuhan larva ikan kerapu mengalami perubahan pesat, baik warna maupun morfologi mulai menetas sampai hari ke 30 (Tabel 5).

(36)

Tabel 5. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva

Umur Tahap Perkembangan

dan pertumbuhan panjang

Panjang (mm)

D1 Larva berwarna transparan 1,49 D2-D3 Kuning telur mulai habis 2,4 - 2,9 D8-D10 Bakal sirip punggung mulai

kelihatan

3 - 3,9

D12-D15 Sirip perut sudah terlihat panjang 5,18 - 6,21 D20-D25 Spina menjadi duri 9,43 - 10,21 D30 Mulai tumbuh bintik hitam dan akan

merata hingga D45.

13,22 -15,1

Sumber: BPBAP Takalar

Perubahan warna diawali dari warna transparan saat baru menetas (D1) kemudian timbul bintik hitam pada umur 30 hari (D30). Larva yang baru menetas yang masih mempunyai kuning telur (yolk sack) dan butiran minyak (oil globule) sebagai sumber energi mempunyai warna transparan (Sigit dan Yayan, 1993) karena tidak mempunyai pigmen kecuali melanofor yang tersebar pada snout (Kohno et al., 1993). Pigmen ini merupakan pigmen yang banyak tersebar pada ikan (Price et al., 2008). Perubahan morfologi yang terjadi pada larva adalah dengan terbentuknya organ-organ, terutama organ sirip yaitu terbentuknya sirip punggung pada umur 2-3 hari (D2-D3) dan sirip perut pada umur 12-15 hari (D12-D15). Organ sirip yang pertama terbentuk adalah sirip punggung dan sirip perut yang berupa duri sirip (Kohno et al., 1993).

Pertumbuhan panjang dari hari pertama (D1) sampai hari ketigapuluh (D30) berkisar 1,49-15,1 mm (Tabel 5). Pada ikan kerapu jenis E. marginatus, ukuran larva yang baru menetas dengan panjang 1,52 mm (Glamuzina et al., 1998). Pertumbuhan larva terlihat sangat pesat memasuki hari kedua dengan

(37)

peningkatan panjang sebesar 1 mm. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Glamuzina et al. (1998) bahwa pertumbuhan pesat ikan kerapu terjadi setelah 24 jam setelah menetas.

4.4 Pengendalian Hama dan penyakit

Hama dan penyakit sering mengancam larva maupun juvenil ikan. Hama dan penyakit perlu dicegah dengan pengelolaan kualitas air, sanitasi, biosecurity, dan desinfeksi. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan melalui pengelolaan kualitas air melalui penyiponan, penggunaan probiotik dan pergantian air. Biosecurityyang digunakan adalah larutan kaporit. Setiap pekerja yang masuk wajib melewati biosecurity.

Desinfeksi yaitu membunuh bakteri maupun penyakit yang dapat mengganggu larva. Bahan desinfeksi yang digunakan yaitu formalin. Formalin akan membunuh semua bakteri patogen. Selain itu, pencegahan hama dan penyakit dapat juga dilakukan melalui sanitasi dimana pekerja menjaga kebersihan diri dan peralatan. Misalnya menggunakan alkohol 70% dan sabun pencuci tangan untuk membersihkan tangan.Dan menggunakan elbazin sebagai antibiotik.

4.3 Kualitas Air

Parameter-parameter yang diukur dalam pengelolaan kualitas air antara lain suhu, pH, salinitas dapat dilihat pada tabel 6

(38)

Tabel 6. Parameter Kualitas Air

No Parameter Rata – rata Chua dan Teng (1978)

1. Suhu 27 - 28,3°C 24 - 31°C

2. Salinitas 30 - 32 ppt 30 – 33 ppt

3. pH 7,0 - 7,7 7,8 – 8,0

Subyakto dan Cahyanigsih (2005), menjelaskan beberapa parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan larva terhadap penyakit antara lain: suhu air, salinitas, pH, oksigen terlarut, amonia, nitrit, bahan organik dan beberapa senyawa yang bersifat racun seperti pestisida dan logam berat. Arifin (2008), mengatakan ikan kerapu menyenangi air laut berkadar garam 33 - 35 ppt (part per thousand ).

Pengukuran kualitas air (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, amonium sulfat, nitrit, nitrat, chlorin) dilakukan dengan menggunakan termometer untuk suhu, refractometer untuk mengukur salinitas, pH meter untuk mengukur pH, DO meter untuk mengukur oksigen terlarut dan water quality test kit untuk mengukur kualitas air lainnya disesuaikan dengan petunjuk kerja dari masing-masing alat yang digunakan. Frekuensi pengukuran dilakukan minimal dua kali seminggu (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002).

(39)

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Tingkat kelangsungan hidup larva ikan kerapu yang dicapai sebesar 32% dengan jumlah juvenil sebanyak 8.000 ekor.

Perkembangan dan pertumbuhan larva ikan kerapu mengalami perubahan pesat, baik warna maupun morfologi mulai sejak menetas sampai hari ke 30.Pertumbuhan panjang dari D1 sampai D30 berkisar 1,49 - 15,1 mm.

Monitoring kualitas air berada pada pada kisaran yang layak untuk pemeliharaan larva ikan kerapu, seperti parameter suhu berkisar 28 oC, pH berkisar 7,7 dan salinitas berkisar 32 ppt.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan kerapu macan, perlu adanya manajemen pemberian pakan yang tepat dan penyediaan faktor pendukung kualitas air yang baik dan perhatian yang lebih intensif pada pemeliharaan larva.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 5 hal. Akademi Perikanan Sidoarjo. 2005. Teknik Pemeliharaan Larva Kerapu

SkalaRumah Tangga. Departemen Kelautan dan Perikanan. Hlmn 11 – 15. Akbar, S. dan Sudaryanto, 2001. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Kerapu

Bebek. Penebar Swadaya, Jakarta. 104 hal.

Anonymous, 1991. Laporan Bulan September 1991 Puslitbang Perikanan. Dalam: Mayunar. Perkembangan Pembenihan Ikan Kerapu Macan di Indonesia. Jurnal Oseana, XVIII (3) : 95 - 108.

Antoro, S., E. Widiastuti dan P. Hartono. 1998. Biologi Kerapu Macan. Dalam: Balai Budidaya Laut Lampung (Eds). Pembenihan Kerapu Macan

(Epinephelus fuscoguttatus). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal

Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung. Hlmn 4 – 18.

Arifin, T. 2008. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Di Selat Lembeh Kota Bitung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID).

Aslianti T, Priyono A. 2009. PeningkatanVitalitas dan Kelangsungan Hidup Benih Kerapu Lumpur, Epinephelus coioides melalui Pakan yang Diperkay dengan Vitamin C dan Kalsium. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol. 19 (1): 74 - 81.

Chen, J and H.P.C. Shetty.1991. Culture Of Marine Feed Organisms. National Inland Institute Kasetsart University Campus. Bangkhen, Bangkok, Thailand.38 P.

Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). INFIS Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan International Development Research, Jakarta.

Dhoe, S. B., Aditya, T.W., dan Supriya, 2004. Teknik panen dan transportasi dalam pembenihan ikan kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balau Budidaya laut Lampung. Bandar Lampung.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2002. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia.Jakarta.

DKP. 2006. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.

(41)

January 2009.

Effendi, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Edisi 2. Yayasan Pustaka Nusantama. Yogyakarta. hal. 18-24.

Fulks, W. and Main, K. L. 1991. Rotifer and Microalgae Culture Systems. Proceedings of a U.S. Asia Workshop. The Oceanic Institute, Honolulu, Hawai 364 pp.

Giri, I N.A., Suwirya, K., & Marzuqi, M. 1999. Kebutuhan Protein, Lemak dan Vitamin C pada juvenile kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perik. Indonesia, V: 38–46.

Gitari, A., 1995. Produksi Massal benih kerapu Di PT. Hemakaruna Citra, Bali. Glaumzina, B., Skaramuca, B., Glavic, N., Kozul, V., Palcic, J., Kraljevic, M.

1998. Egg and Only Larval Development of Laboratory Reased Dusky Grouper, Epinephelus marginatus (Lowe, 1834) (Picies, Serranidae). Scientia Morina, 62 (4) : 373 – 378.

Kawahara, S., E. Setiadi, S. Ismi, Tridjoko dan K. Sugama, 2000. Kunci Keberhasilan Produksi Masal Juvenil Kerapu bebek (Chromileptes altivelis). Lokasi Penelitian Perikanan Pantai Gondol dan Japan International Cooperation Agency. Gondol.

Kohno H., Diani S. and Supriatna A. 1993. Morphological development of larval and juvenile grouper, Epinephelus fuscoguttatus. Japanese Journal of Ichthyology 40, 307–316.

Kohno., H.S. Diani, P. Sunyoto, B. Slamet, dan P.T. Imanto, 1990, “Earlo Development Events Assocalated With Changeover of Nutrient Source in The Grouper Epinephelus Fuscoguttatus Larvae”, Bulerin Penelitian Prikanan, Special Edition.

Kordi K., M.G.H. 2001. Usaha Pembesaran Kerapu di Tambak. Kanisius. Yogyakarta. 111 hal.

Manyuar et al 1991 daam Ikbal 2011. Teknik Pembenihan Ikan Kerapu tikus (Cromileptes ativelis) Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau(Bbpbap), Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah.

Minjoyo, H., Mustamin dan M. Thariq. 1998. Pemeliharaan Larva. Dalam: Balai Budidaya Laut Lampung (Eds). Pembenihan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung. Lampung. Hlmn 44 – 48.

(42)

Randall, J.E. 1987. A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes; Serranidae; Epinephelinae) of the Indo Pacific Region, J.J. Polovina and S. Ralston (editors), Boulder and London : Tropical Snapper and Groupers : Biology and Fisheries Management, Westview Press. Inc.

Sigit, B. dan S. Yayan. 1993. Pemijahan Alami Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Bak Terkontrol, Buletin Budidaya. Lampung.

Subyakto, S., dan Cahyaningsih, S. 2005. Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga : Kiat Mengatasi Masalah Praktis. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 hal.

Sugama, K. 1999. Inventarisasi dan Identifikasi Budidaya Laut dan Pantai yang telah Dikuasai untuk Diseminasi. Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya Laut.

Sugama, K. 2003. Indonesia focuses on groupers. Asia Aquaculture Magazine September-October 2003.

Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Ikan Kerapu Dengan Jaring Apung. PenerbitPT Penebar Swadaya anggota IKAPI, Jakarta. 65 hal.

Sunyoto, P. dan Mustahal. 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sutrisno, Totok, dkk. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Tampubolon, G.H dan Mulyadi, E. 1989. Sinopsis Ikan Kerapu di Perairan Balit Bangkan. Semarang. Hlmn 2.

Weber, M. and L.F. De Beaufort, 1931. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. VI. Perciformes: Serranidae, Theraponidae, Sillaginidae, Emmelichthyidae, Bathyclupeidae, Coryphaenidae, Carangidae, Rachycentridae, Pomatomidae, Lactariidae, Menidae, Leiognathidae, Mullidae. A.J. Reprints Agency, New Delhi, 6:448.

www.warintek.progressio.or.id. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu Macan. http://www.warintek.progressio.or.id/perikanan/kerapu.htm. 15 Juni 2010. 6 hal.

Yamaoka K., Nanbu T., Miyagawa M., Isshiki T. and Kusaka A. 2000. Water surface tension–related deaths in prelarval red-spotted grouper. Aquaculture 189, 165–176.

Zonneveld, N.E., A. Huisman dan J.H. Boon. 1991. Prinsip – prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hal 52 - 55.

(43)

LAMPIRAN

Lampiran 1 .

Tata Letak Balai Budidaya Air Payau Takalar

A. Pos jaga B. Lab Kering C. Genset D. Lab Basah

E. Bak Pemeliharaan Larva ( out door ) F. Bak Pemeliharaan Larva ( in door G. Bak Pemeliharaan Induk

H. Tambak

I. Bak Kultur Plankton J. Pompa Air laut K. Asrama Karyawan

(44)

Lampiran II

GambarKegiatanHarian

Pembersihanbak Pengisian Air

(45)

PemberianPakan LarvaKulturArtemia

(46)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Hasmawati, dilahirkan di Watampone, 2 Desember 1993. Anak ke 1 dari 3 bersaudara. Ayah bernama Marsuki dan ibu bernama Handang. Penulis lulus Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2006 kemudian lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun 2009 dan pada tahun itu juga penulis melanjutakan Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) dan lulus pada tahun 2012.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep jurusan Teknologi Budidaya Perikanan. Penulis melakukan Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) di Balai Perikanan Budidaya Air Payau, Takalar Provinsi Sulawesi Selatanselama kurang lebih 3 (tiga) bulan. Selama perkuliahan penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi baik dalam kampus maup un organisasi luar kampus, diantaranya menjadi anggota UKM Taekwondo, ang-gota Himpunan Mahasiswa budidaya perikanan (HIMADIKA) dan sebagai peng-urus di Kerukunan Keluarga Mahasiswa Bone periode 2013-2014.

Gambar

Gambar 1.MarfologiIkanKerapuMacan(E. fuscoguttatus)
Tabel 3. Pemberian pakan terhadap larva  Stadium
Gambar 7. Penghitungan dan PenyeragamanBenih Kerapu Macan  3.8  Parameter yang diamati dan Analisa Data

Referensi

Dokumen terkait

forces atau disebut dengan innovation driven economic. Kabupaten Musi Banyuasin merupakan daerah yang cukup dominan masyarakatnya berkebun karet.Luas lahan perkebunan

Pandangan Claessens ini sesuai dengan pendapat Hausman dan Arias (2000) yang mengatakan bahwa foreign direct investment adalah subsider bagi pengembangan pasar

2. Buktikan bahwa kesenian merupakan hasil peninggalan zaman prasejarah! 3. Jelaskan yang dimaksud food gathering dan food

parkir yang dalam beberapa waktu tidak tercapai targetnya, jadi kita awasi ke lapangan untuk melihat gimana sebenarnya kondisi titik parkir di lapangannya, masih memungkinkah

sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Concursus realis diatur dalam Pasal 65-71 KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP,

Pemilihan respirator harus berdasarkan pada tingkat pemaparan yang sudah diketahui atau diantisipasi, bahayanya produk dan batas keselamatan kerja dari alat pernafasan yang

Mahasiswa Buddhis yang derajat komponen common humanity-nya rendah akan lebih memilih menarik diri saat mendapatkan nilai buruk atau teguran dan feedback dari

Pada tahapan ini terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang dosen yang disepakati atau atas