• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia

Dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan

Di Indonesia

Yudisaputra Betaubun, Yunus Husein, dan Aad Rusyad Nurdin Program Kekhususan Hukum tentang Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail: yudisaputrabetaubun@yahoo.com

Abstrak

Skripsi ini membahas tentang kedudukan dari Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengaturan dan pengawasan perbankan di Indonesia. Penataan kembali struktur pengorganisasian yang lebih terintegrasi diperlukan terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan pada industri perbankan maupun industri keuangan bukan bank sehingga dapat tercapai mekanisme koordinasi yang efektif dan dengan demikian dapat tercapai stabilitas sistem keuangan. Lembaga yang terintegrasi ini oleh pemerintah dilahirkan dalam bentuk Otoritas Jasa Keuangan. Pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kedudukan dan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengatur dan Pengawas Perbankan di Indonesia serta mekanisme koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam hal pengaturan dan pengawasan bank. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan studi dokumen dan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Penelitian menunjukan bahwa didasarkan pada Pasal 1 ayat (1) UU OJK yang menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan serta memiliki kedudukan diluar pemerintah. Koordinasi antara OJK dengan BI telah diatur dalam Pasal 39 UU OJK, yaitu dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan informasi.

Abstract

This thesis discusses the position of the Otoritas Jasa Keuangan pursuant to Act No. 21 of 2011 on the Otoritas Jasa Keuangan in terms of regulation and supervision of banking in Indonesia. Restructuring required a more integrated organization of institutions that perform the function of oversight in the banking industry as well as non-bank financial industry so as to achieve effective coordination mechanism and thus can achieve the stability of the financial system. This integrated institution born by the government in the form of the Otoritas Jasa Keuangan. The main problems discussed in this study is the status and whereabouts of the Otoritas Jasa Keuangan as a Regulatory and Supervisory Institute of Banking in Indonesia as well as the coordination mechanism between the Otoritas Jasa Keuangan and Bank Indonesia in terms of regulation and supervision of banks. This research is a form of normative documents and by conducting studies using qualitative methods of data analysis. Research shows that based on Article 1 paragraph (1) of the Otoritas Jasa Keuangan Act which states that the Otoritas Jasa Keuangan is an independent body and free from interference by other parties, which have the functions, duties, and powers of regulation, supervision, inspection, and investigation and have a position outside the government. Coordination between the Otoritas Jasa Keuangan and Bank Indonesia has

(2)

been provided for in Article 39 of Otoritas Jasa Keuangan Act, namely in making banking supervision regulations include: minimum capital obligations of banks, banking information system that is unified, policy receipt of funds from abroad, receipt of foreign currency funds and external commercial borrowing country, banking products, derivative transactions, banking activities and the determination of other banking institutions are categorized as systemically important banks as well as other data are excluded from the provisions of the confidentiality of the information.

Keywords: Bank Indonesia, Banking Regulation, Banking Regulation and Supervision, Banking Supervision, Coordination, Otoritas Jasa Keuangan.

Pendahuluan

Industri perbankan memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Stabilitas ekonomi suatu negara juga dipengaruhi oleh stabilitas perbankannya. Oleh karena itu, fungsi perbankan yang berjalan dengan baik diharapkan dapat mendorong peningkatan pemerataan pembangunan, perekonomian yang terus berkembang dan bertumbuh, serta akhirnya menciptakan stabilitas ekonomi secara nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tujuan Negara Indonesia, yaitu kesejahteraan rakyat.

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit / pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 Sedangkan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.2

Bank, sebagai lembaga intermediari, dalam mengelola dana masyarakat harus dilakukan dengan keahlian yang memadai, agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga dan tidak terjadi penarikan dana masyarakat yang disimpan di bank yang dapat berakibat pada kegiatan ekonomi.3 Kehadiran lembaga yang berfungsi mengawasi lembaga perbankan dibutuhkan untuk menjamin kepercayaan masyarakat sehingga pengelolaan perbankan dapat tetap dilakukan sesuai dengan aturan pengelolaan perbankan yang baik dan benar. Keberadaan dari suatu otoritas independen menjadi faktor penentu berjalannya pengawasan sektor jasa keuangan dengan baik.

                                                                                                                         

1 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN. No. 182 Tahun 1998, TLN. No.

3790, Pasal 1 angka 2.

2 Indonesia, Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011, LN. No. 111 Tahun

2011, TLN. No. 5253, Pasal 1 angka 5.

(3)

Pada awalnya, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan.4 Pada Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Bank Indonesia dinyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa sektor keuangan yang independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang.5

Perlu dilakukan penataan kembali terhadap struktur organisasi yang terintegrasi terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan pada industri perbankan serta industri keuangan bukan bank agar tercapai stabilitas sistem keuangan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawasan sektor keuangan yang terintegrasi, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK.6 OJK melalui fungsi yang

diamanatkan dalam UU OJK, diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dari dinamika sistem keuangan di Indonesia.

Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan ikut mengalihkan Peran Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan, namun Bank Indonesia akan tetap menjalankan fungsinya dalam pembentukan regulasi dibidang moneter. Pengalihan tugas ini juga tidak sepenuhnya melepaskan pengawasan Bank Indonesia terhadap industri perbankan di Indonesia. Koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia tetap dibangun guna menjamin tercapainya tujuan masing-masing lembaga serta tercapainya stabilitas sistem keuangan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan dan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengatur dan Pengawas Perbankan di Indonesia?

2. Bagaimana mekanisme koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam hal pengaturan dan pengawasan bank?

                                                                                                                         

4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, LN. No. 142 Tahun 2008, TLN. No. 4901, Pasal 8 huruf c.

5 Ibid. Pasal 34 ayat 2.

(4)

Tinjauan Umum Otoritas Jasa Keuangan

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan didefinisikan sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang 7. Pada pasal 2 ayat 2 UU OJK kembali ditegaskan bahwa OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang OJK. Dalam Penjelasan Umum UU OJK dinyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan antara lain asas independensi, yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 8.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa OJK berfungsi sebagai penyelenggara sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan 9.

Sedangkan, tugas Otoritas Jasa Keuangan didasarkan pada pasal 6 UU OJK, yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap 10:

1. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; 2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

3. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Wewenang Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam pasal 7, 8, dan 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, yaitu11: Tugas Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank;

Tugas Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank); dan Tugas Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank).

Pada Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

                                                                                                                         

7 Ibid, Pasal 1 angka 1

8 Ibid, Pasal 2 ayat 2.

9 Ibid., Pasal 5.

10 Ibid., Pasal 6.

(5)

Keuangan, maka dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan sepatutnya berlandaskan atas asas independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, integritas, dan akuntabilitas.12

Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/ atau pihak-pihak lain. Bank Indonesia memiliki kuasa penuh dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, serta menjamin independensi Bank Indonesia yang bebas campur tangan pemerintah. Bank Indonesia bertujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.13 Bank Indonesia diharapkan dapat melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.14

Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral adalah dengan menerapkan:15

1. Kebijakan memberikan keleluasaan untuk berusaha (deregulasi); 2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking);

3. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk secara konsisten melaksanakan ketentuan internal yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian.

Bank Indonesia bertugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank.16 Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia tidak hanya menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya karena stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan, maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan

                                                                                                                         

12 Indonesia, Op.Cit., UU No.21 Tahun 2011, Penjelasan Umum.

13 Indonesia, Op.Cit., UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 serta

PerPPUU No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009, Pasal 7 ayat 1.

14 Ibid., Pasal 7 ayat 2.

15 Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank; diperoleh dari

http://www.bi.go.id/id/perbankan/ikhtisar/pengaturan/tujuan-dan-kewenangan/Contents/Default.aspx; internet; diakses pada 22 April 2014.

16 Indonesia, Op.Cit., UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 serta

PerPPUU No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009, Pasal 8 huruf a.

(6)

secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara mendasar akan berpengaruh pada stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka kewenangan yang beralih dari bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan diantaranya; Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank; Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank; Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank; dan Pemeriksaan Bank. Segera setelah Otoritas Jasa Keuangan terbentuk, maka bank Indonesia berfokus pada wewenangnya dalam hal kebijakan moneter, yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memiliki lima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam

menjaga stabilitas sistem keuangan, diantaranya17:

1. Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui

instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka.

2. Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang

sehat, khususnya perbankan.

3. Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran.

4. Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses

informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.

5. Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistem keuangan melalui fungsi

bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).

Selain itu, tindakan campur tangan yang dilakukan oleh pihak lain diluar bank Indonesia untuk mempengaruhi Bank Indonesia dalam melakukan tugasnya, maka dapat dikenakan pidana dan sanksi administratif. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

                                                                                                                         

17 Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan; diperoleh dari http://www.ojk.go.id/peran-bi#; internet;

(7)

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa barangsiapa yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, yaitu melakukan tindakan yang tertulis pada Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang ini, maka dapat dikenakan pdana penjara kurangnya dua tahun dan paling lama lima tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp 2,000,000,000.00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5,000,000,000.00 (lima miliar rupiah).

Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian hukum normatif dengan melakukan studi dokumen. Penelitian ini akan mendeskripsikan tentang kedudukan dan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengatur dan mengawasi bank di Indonesia serta bentuk koordinasinya dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral dalam hal pengaturan dan pengawasan perbankan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder atau bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini yang diperoleh dari studi kepustakaan.18 Bahan

hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, yang meliputi peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan pengawasan perbankan seperti UU Perbankan, UU OJK, UU Bank Indonesia, serta bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan informatif mengenai isi sumber primer dan implementasinya, misalnya artikel ilmiah, jurnal, buku, dan penelitian lainnya. Sedangkan, alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen, studi pustaka, dan wawancara dengan narasumber. Wawancara diperlukan untuk melengkapi informasi serta sebagai informasi pendukung terhadap bahan pustaka.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif berfokus pada prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar perwujudan satuan-satuan gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia, atau gejala-gejala sosial budaya yang dianalisis dengan didasarkan pada budaya dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.19 Pada akhirnya, laporan penelitian

akan berbentuk hasil analisis, yang didasarkan pada hasil analisis peneliti terhadap buku-buku,

                                                                                                                         

18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 132.

(8)

maupun ketentuan-ketentuan pada UU Perbankan, UU Bank Indonesia, serta UU OJK di Indonesia.

Pembahasan

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki tugas yang utama untuk mengatur, menjaga, serta memelihara kestabilan nilai rupiah, sebagaimana diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Bank Indonesia.20 Pada Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia, 21 mengatur tentang tiga tugas Bank Indonesia untuk mencapai tujuannya, yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Setelah dibentuknya OJK, tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia menjadi berkurang. Tugas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan menjadi tanggung jawab OJK, sedangkan kebijakan moneter dan sistem pembayaran tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Fungsi pengawasan perbankan yang dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan fokus Bank Indonesia dalam menjalankan wewenangnya sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran dengan menggunakan instrumen-instrumen yang dimilikinya.22

Otoritas Jasa Keuangan lahir sebagai amanat Pasal 34 Undang-undang Bank Indonesia yang berdasarkan atas prinsip-prinsip reformasi keuangan yaitu Independensi, terintegrasi, serta menghindari benturan kepentingan.23 Pasal 1 ayat (1) UU OJK disebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK ini. OJK menjalankan tugasnya memiliki kedudukan diluar pemerintah dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan kepada DPR RI dan BPK RI. Kelembagaan OJK yang berada diluar Pemerintah menunjukan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah.

                                                                                                                         

20  Indonesia, Op.Cit., UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 serta

PerPPUU No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009, Pasal 7

21 Ibid., Pasal 8

22 Anwar Nasution, Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan

Indonesia,http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/M asalah%20sistem%20keuangan%20dan%20perbanka n%20%20anwar%20nasution.pdf, diakses tanggal 03 Mei 2014

23 Nurhaida, Reformasi Pengawasan Sektor Jasa Keuangan melalui Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

sebagai Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional,

(9)

Tujuan OJK seperti tercantum di dalam UU OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK, dalam mencapai tujuannya tersebut, melaksanakan fungsinya dengan menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut dilakukan di sektor perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang meliputi perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dalam bertugas dan melaksanakan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan tata kelola dan asas, yang meliputi independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas.

Peralihan keseluruhan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan Perbankan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan tercermin dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bank Indonesia, dalam hal ini, masih tetap memiliki wewenang dalam mengatur dan mengawasi sektor perbankan, yaitu dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran24 Bank Indonesia menjalankan wewenangnya dalam kebijakan moneter dengan menetapkan jumlah uang beredar atau tingkat suku bunga, dengan tujuan menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah menggunakan sejumlah instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.25 Selain itu, BI juga berperan dalam menciptakan efisiensi sistem pembayaran, kesetaraan akses, dan perlindungan konsumen.26

Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan meliputi: kewajiban pemenuhan modal

                                                                                                                         

24 Prof. Dr. Anwar Nasution, Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Impllkasi Hukum, dan Agenda Kedepan,

Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar,

2003. http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/ Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20

perbankan%20-%20anwar%20nasution.pdf. (diakses tanggal 28 Mei 2014)

25 Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Tujuan Kebijakan Moneter

(http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter/, (diakses tanggal 28 Mei 2014)

26 Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Sistem Pembayaran di Indonesia

(http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/Sistem+Pembayaran+di+ Indonesia/Sekilas (diakses tanggal 28 Mei 2014)

(10)

minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya dan penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan informasi.27

Dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UU OJK disebutkan bahwa BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatannya semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI sebagai bank sentral.

Dinamika perkembangan sektor keuangan menuntut OJK untuk melakukan pengawasan secara terintegrasi dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan atas lembaga jasa keuangan secara terintegrasi antar subsektor jasa keuangan. Pelaksanaan pengawasan terintegrasi diharapkan dapat menurunkan potensi risiko sistemik kelompok jasa keuangan, mengurangi potensi moral hazard, mengoptimalkan perlindungan konsumen jasa keuangan, serta mewujudkan stabilitas sistem keuangan.28

Pasal 2 UU OJK menyebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang- undang. Independensi OJK tercermin dari kepemimpinan OJK, dimana secara perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang diatur dalam Undang-undang. Namun demikian, OJK harus memberikan laporan kepada DPR dan Presiden, serta harus memperoleh persetujuan dari DPR terkait anggaran dalam melaksanakan kegiatannya.

Undang-undang mengatur bahwa tidak ditutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah / Bank Indonesia di OJK karena pada hakikatnya OJK memiliki relasi dan keterkaitan kuat dengan otoritas lain terutama otoritas fiskal dan moneter.29 Oleh karena

                                                                                                                         

27 Indonesia, Op.Cit., UU No.21 Tahun 2011, Pasal 39.

28 Otoritas Jasa Keuangan. Booklet Perbankan Indonesia 2014 Edisi 1 Maret 2014. (Jakarta: Otoritas Jasa

Keuangan, 2014), hlm.20

29 Wawancara Narasumber: Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Nelson Tampubolon Pada Rabu, 4 Juni

(11)

itu, dalam melaksanakan tugasnya OJK melakukan koordinasi dengan Pemerintah, Bank Indonesia, maupun LPS. Protokol koordinasi ini diatur dalam bentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Kementrian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan LPS.30

Dalam kondisi stabilitas keuangan yang normal, FKSSK wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan. Pertemuan FKSSK paling sedikit dilakukan 1 kali dalam 3 bulan dan disusun rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan / atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Selain itu dalam pertemuan juga dilakukan pertukaran informasi antar lembaga.31

Dalam kondisi stabilitas keuangan yang tidak normal, maka untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK dan/atau ketua Dewan Komisioner LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan dapat mengajukan ke FKSSK agar segera dilakukan rapat untuk memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis tersebut. Dalam kondisi ini, FKSSK melakukan penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang diperlukan bagi masing-masing institusi sesuai kewenangan yang diberikan bagi masing-masing- masing-masing institusi tersebut.

Dalam konteks pengawasan FKSSK, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU OJK, kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Saat ini, dasar yang digunakan mengenai Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) adalah Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemenkeu, BI, OJK dan LPS yang ditandatangani tanggal 1 Oktober 2012 untuk menjaga koordinasi antar lembaga dalam mengantisipasi krisis.32

Salah satu sektor jasa keuangan yang diatur dan diawasi oleh OJK adalah sektor perbankan. Pengawasan perbankan terbagi menjadi dua, yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Kedua jenis pengawasan tersebut harus dijalankan secara selaras agar sasarannya dapat tercapai dengan baik.

Melalui pengawasan macro-prudential, bank diharapkan dapat mengambil peran dalam pencapaian sasaran ekonomi makro melalui instrumen yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, meliputi kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, neraca pembayaran yang mencapai kemantapan, lapangan pekerjaan yang semakin luas, kestabilan sistem moneter, serta pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja. Sedangkan, pengawasan

                                                                                                                         

30 Indonesia, Op.Cit., UU No.21 Tahun 2011, Pasal 44 ayat 1 dan Pasal 45.

31 Ibid.

(12)

micro-prudential, bank diharapkan dapat menjaga kinerja dan tingkat kesehatan secara individual menurut ukuran dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang pada akhirnya dapat menjaga sehatnya industri perbankan secara keseluruhan dan melindungi kepentingan konsumen. Dengan diberlakukannya UU OJK, maka konteks macro-prudential merupakan ranah Bank Indonesia, sedangkan konteks micro-prudential menjadi tugas dan wewenang OJK.33 Dalam melaksanakan fungsinya, kedua lembaga ini bersifat independen, namun koordinasi antar keduanya tetap dijalin karena pengawasan secara mikro ikut mempengaruhi kinerja perekonomian secara makro, khususnya bank-bank besar yang memiliki dampak sistemik terhadap perekonomian. OJK perlu melakukan pengawasan langsung terhadap bank untuk memastikan adanya mitigasi risiko yang matang dilakukan oleh setiap bank, khususnya bank yang memiliki dampak sistemik dan dengan demikian dapat mencegah kegagalan bank yang dapat mengakibatkan gagalnya sistem perekonomian.

Sebelum dibentuknya OJK, pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia. Peran dan tugas dari Bank Indonesia menurut UU BI yaitu mencakup tiga sub sistem: moneter, perbankan, dan pembayaran. Pelaksanaan dan penentuan kebijakan pada ketiga sub-sistem tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan BI, yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu stabilnya nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain, dan hal ini penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan serta dalam mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat.34

Setelah tugas pengawasan perbankan beralih dari BI kepada OJK, maka kewenangan yang dimiliki oleh BI terhadap bank juga ikut beralih kepada OJK. Otoritas Jasa Keuangan kemudian memiliki wewenang dalam pengaturan dan pengawasan bank dalam hal memberi dan mencabut izin kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, menetapkan peraturan-peraturan, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank dengan tujuan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia demi terciptanya sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang dengan wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional.35

Kewenangan pengaturan dan pengawasan bank yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan, adalah Kewenangan memberikan izin (right to license); Kewenangan untuk

                                                                                                                         

33 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank : Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga

Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hlm. 220

34 Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 38.

(13)

mengatur (right to regulate); Kewenangan untuk mengawasi (right to control); Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction); serta Kewenangan untuk melakukan penyidikan (right to investigate).36 Dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan, OJK memiliki sejumlah kewajiban, terutama terkait pemberian informasi dan pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya yang diuraikan sebagai berikut:37

1. OJK harus memberikan informasi yang lengkap dan terbaru keuangan kepada Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan tugas dan kebutuhan masing-masing lembaga tersebut guna mendukung penyelenggaraan fungsi kedua lembaga tersebut dengan baik.

2. Dalam melakukan analisis mengenai stabilitas keuangan, OJK wajib melakukan pertukaran informasi dengan Bank Indonesia yang melaksanakan pengawasan macro-prudential;

3. Dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan tingkat kesehatan bank, OJK harus selalu bekerjasama dengan BI;

4. OJK wajib melaporkan tingkat kesehatan dan efisiensi bank kepada Menteri Keuangan dalam bentuk laporan berkala;

5. OJK menyusun mekanisme yang mengatur kerjasama antara OJK, BI, LPS, dan Kementerian Keuangan sebagai bentuk pencegahan akan terjadinya gangguan pada stabilitas perekonomian secara nasional yang diakibatkan oleh buruknya kinerja suatu bank tertentu.

Adapun koordinasi antara OJK dengan BI telah diatur dalam Pasal 39 UU OJK, dimana bentuk koordinasinya adalah dalam penentuan peraturan untuk pelaksanaan pengawasan atas bank, yang meliputi:

1. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank (KPMM)

KPMM merupakan indikator pengukuran dalam pengawasan bank secara individual atau masuk dalam bentuk micro-prudential, namun penyediaan modal minimum ini juga terkait dengan pengaturan Basel Core Principles dan BI merupakan salah satu anggota dari BIS (Bank for International Settlement), oleh sebab itu, OJK tetap harus berkoordinasi dengan BI dalam penetapan KPMM.38

2. Sistem Informasi Perbankan (SIP) yang Terpadu

                                                                                                                         

36 Ibid.

37 Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th.VII/12-18,

(Januari 2004).

38 Arsip Dokumen Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Sidang Pembentukan Otoritas Jasa

(14)

SIP menyajikan berbagai informasi, baik yang bersifat makro dan individual bank, maupun informasi lain terkait lingkungan bisnis bank, serta informasi dari media massa, institusi pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya. SIP mengintegrasikan data yang tersebar pada sistem yang berbeda-beda.39

3. Kebijakan Penerimaan Dana dari Luar Negeri, Penerimaan Dana Valuta Asing, dan Pinjaman Komersial Luar Negeri.

Koordinasi antara OJK dan BI dilakukan penyusunan peraturan tentang penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, serta membuat tata cara pelaksanaannya. Penerimaan dana ini adalah pelengkap pembiayaan APBN dan pembangunan, selain sumber pembiayaan dalam negeri berupa hasil perdagangan luar negeri dan penerimaan pajak, serta tabungan, baik tabungan masyarakat maupun sektor swasta.

4. Produk Perbankan, Transaksi Derivatif, Kegiatan Usaha Bank Lainnya

Pada umumnya, produk perbankan meliputi simpanan di bank, pemberian kredit, pemberian jasa pembayaran dan peredaran uang, dan lain-lain. Sedangkan, transaksi derivatif merupakan suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks.40 Kemudian, kegiatan usaha lainnya dari bank meliputi usaha kartu kredit, kartu debit, dan internet banking. Dalam menentukan kebijakan terkait dengan hal-hal ini, OJK perlu melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan BI.

5. Penentuan Institusi Bank yang Masuk Kategori Systemically Important Bank

Systemically Important Bank adalah suatu bank yang ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.41 Kegagalan bank ini dapat berdampak secara makro, maka diperlukan koordinasi BI dan OJK untuk mengelompokkan bank mana yang masuk kategori ini dan bank yang memerlukan perhatian lebih.

                                                                                                                         

39 Zaidatul Amina, “Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia: Melihat dari Pengalaman di

Negara Lain”,http://www.google.com/search?q=Kajian+Pembe

ntukan+Otoritas+Jasa+Keuangan+di+Indonesia%3A+

Melihat+dari+Pengalaman+di+Negara+Lain&ie=utf- 8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en- US:official&client=firefox-a, terakhir diakses 03 Mei 2014

40 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. v, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal.

445.

(15)

6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi

Data-data yang bersifat rahasia dan diatur dalam undang-undang terkait kerahasiaannya tidak termasuk dalam data yang dapat disampaikan oleh OJK, kecuali pengecualiannya diatur dalam undang-undang. Untuk itu, data-data di luar data yang rahasia dapat disampaikan oleh OJK kepada BI dalam tujuan mencapai kestabilan perekonomian.

Apabila dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya BI membutuhkan informasi dan perlu melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, maka BI dapat melakukan kegiatan pemeriksaan bank secara langsung terhadap bank tersebut dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada OJK yang memuat tujuan, ruang lingkup, jangka waktu, dan mekanisme pemeriksaan.42 Selain itu, dalam melaksanakan tugas mengawasi sistem pembayaran, BI memerlukan informasi dari OJK terkait kondisi bank, maka apabila terdapat indikasi kesulitan likuiditas suatu bank, kondisi kesehatan yang memburuk, dan kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan memiliki potensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, OJK wajib menginformasikan ke BI untuk selanjutnya melakukan langkah-langkah penanganan. Langkah-langkah penanganan yang dimaksud adalah penanganan yang dapat dilakukan oleh BI dalam menjalankan fungsinya sebagai lender of the last resort dengan memberikan fasilitas pembiayaan jangka pendek dan pembiayaan darurat.

Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) yang menjadi landasan kerjasama dan koordinasi antara kedua lembaga tersebut. Tujuan Surat Keputusan Bersama tersebut adalah untuk memperlancar dan mengoptimalkan kerjasama dan koordinasi antara OJK dan BI dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang kedua lembaga tersebut. Bentuk kerjasama yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama tersebut mencakup 4 hal:43

1. OJK dan BI melakukan kerjasama dan koordinasi dalam pelaksanaan tugas sesuai kewenangan masing-masing;

2. OJK dan BI melakukan pertukaran informasi mengenai Lembaga Jasa Keuangan serta melakukan pengelolaan sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan;

3. OJK dan BI menetapkan penggunaan kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan oleh kedua lembaga tersebut; dan

4. OJK dan BI melakukan kerjasama dan koordinasi dalam hal pengelolaan pejabat dan

                                                                                                                         

42 Indonesia, Op.Cit., UU No. 21 Tahun 2011, Pasal 40

(16)

pegawai Bank Indonesia yang dialihkan atau dipekerjakan pada Otoritas Jasa Keuangan.

Dalam konteks pelaksanaan dan koordinasi pelaksanaan tugas sesuai kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, kedua lembaga ini akan saling berkoordinasi dalam hal Bank Indonesia akan menyusun peraturan pengawasan di bidang macroprudential maupun Otoritas Jasa Keuangan yang akan menyusun peraturan pengawasan di bidang microprudential. Disamping itu, koordinasi dan kerjasama dalam konteks pemeriksaan bank akan dilakukan, khususnya terhadap bank-bank yang dikategorikan sebagai systemically important bank. Kerjasama dalam bentuk pertukaran informasi hasil pengawasan dari masing-masing institusi, penetapan stance dalam fora-fora internasional, maupun penelitian dan penyusunan kajian bersama, akan dilakukan juga oleh BI dan OJK.

Selain SKB yang dijelaskan sebelumnya, mekanisme koordinasi juga terjadi dalam bentuk komposisi keanggotaan Dewan Komisioner di OJK. Sebagaimana diketahui terapat 2 anggota Dewan Komisioner yang merupakan pejabat ex-officio dari Kementrian Keuangan (Wakil Menteri Keuangan) dan Bank Indonesia (Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia). Susunan komposisi ini diharapkan dapat memperlancar dan mempermulus koordinasi yang dilakukan oleh BI dan OJK. Disamping itu, terdapat pula forum- forum koordinasi rutin di high-level antar institusi-insitusi tersebut.44

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka pokok permasalahan yang dikemukakan pada Bab 1 dapat dijawab dalam kesimpulan peneliti sebagai berikut:

1. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga Pengatur dan Pengawas Perbankan di Indonesia didasarkan pada Pasal 1 ayat (1) UU OJK yang menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang OJK ini. OJK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya, memiliki kedudukan diluar pemerintah dan sebagai lembaga, tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah,

                                                                                                                         

(17)

walaupun OJK tetap memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan kepada DPR RI dan BPK RI.

Sedangkan, Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga Pengatur dan Pengawas Perbankan di Indonesia didasarkan pada amanat Pasal 34 Undang-undang Bank Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan sektor jasa keuangan. Tugas pelaksanaan pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan pada lembaga keuangan bank, serta lembaga keuangan non bank (Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya) menjadi ranah kerja Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan dalam rangka perlindungan konsumen pada sektor Perbankan, Pasar Modal, dan lembaga keuangan non bank lainnya, memberikan dan/ mencabut izin usaha, menyetujui atau menetapkan pembubaran, memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan menunjuk pengelola Statuter, serta OJK berwenang menetapkan sanksi administrasif.

2. Mekanisme koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank dilakukan dalam hal pembuatan peraturan dan pengawasan perbankan, diantaranya mengenai kewajiban pemenuhan modal minimum bank (KPMM), sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, dan dalam menentukan institusi bank yang termasuk dalam kategori systemically important bank, serta data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

Selain itu, pemeriksaan secara langsung terhadap bank dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menyampaikan terlebih dahulu pemberitahuan tertulis kepada Otoritas Jasa keuangan. Dalam hal suatu bank terindikasi mengalami kesulitan likuiditas dan / atau bahkan kondisi kesehatan bank tersebut semakin memburuk, maka Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan informasi terkait hal tersebut kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral kemudian dapat menentukan langkah-langkah penanganan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu dengan memberikan fasilitas pembiayaan jangka pendek dan pembiayaan darurat dalam fungsinya sebagai lender of the last resort (LoLR).

(18)

Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat mendorong fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang lebih baik yang terintegrasi dalam Otoritas Jasa Keuangan. Pengaturan dan pengawasan yang baik tentunya dapat mendorong stabilitas sistem keuangan yang semakin baik. Koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat berjalan dengan baik, oleh sebab itu, peneliti memberi saran sebagai berikut:

1. OJK bersama DPR perlu mengamandemen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan menambahkan pasal untuk menguatkan Independensi Otoritas Jasa Keuangan terkait political intervention, serta campur tangan dari pihak lain yang berkepentingan. Undang-Undang Bank Indonesia mengatur tentang sanksi pidana atas campur tangan terhadap Bank Indonesia, namun pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ternyata tidak diatur tentang larangan intervensi dan sanksinya. Pada undang-undang ini hanya diatur tentang Otoritas Jasa Keuangan yang independen.

2. Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, bersama DPR perlu merumuskan peraturan perundang-undangan terkait koordinasi antara dua lembaga, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, serta koordinasi 4 lembaga yang tergabung dalam FKSSK. Rumusan peraturan perundang-undangan dalam bentuk mekanisme pengaman sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan. Diperlukan landasan hukum yang kuat untuk mengoptimalkan dan melancarkan kerjasama dan koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, LPS, dan Kementerian Keuangan.

Daftar Referensi BUKU

Ashshofa, Burhan. Metode Peneltian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.

Djumhana, Muhamad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Cet. V, 2006.

Muhammad, Abdul Kadir dan Murniati, Rilda. Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Otoritas Jasa Keuangan. Booklet Perbankan Indonesia 2014 Edisi 1 Maret 2014, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2014.

(19)

Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Jakarta: Mandar Maju, 2001.

Sitompul, Zukarnain. Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th.VII/12-18, 2004.

Sitompul, Zulkarnain. Perlindungan Dana Nasabah Bank : Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2010.

INTERNET

Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Tujuan Kebijakan Moneter, diperoleh dari: http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter/, diakses tanggal 28 Mei 2014.

Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia, Sistem Pembayaran di Indonesia,

diperoleh dari:

http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/Sistem+Pembayaran+di+ Indonesia/Sekilas, diakses tanggal 28 Mei 2014.

Nasution, Anwar, Prof. Dr. Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Impllkasi Hukum, dan Agenda Kedepan, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Masalah-Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar, 2003. Diperoleh dari http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/ Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20perbankan%20%20anwar%20nasution. pdf, diakses tanggal 28 Mei 2014.

Nasution, Anwar, Prof. Dr. Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia;

diperoleh dari http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/M

asalah%20sistem%20keuangan%20dan%20perbanka

n%20%20anwar%20nasution.pdf, diakses tanggal 03 Mei 2014.

Nurhaida, Reformasi Pengawasan Sektor Jasa Keuangan melalui Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional, diperoleh dari http://www.iaitbjakarta.com/files/makalah_Ibu_Nurhaida_OJK.pdf, diakses tanggal 03 Mei 2014.

Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan; diperoleh dari http://www.ojk.go.id/peran-bi#; diakses tanggal 24 April 2014.

Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank; diperoleh dari

http://www.bi.go.id/id/perbankan/ikhtisar/pengaturan/tujuan-dan-kewenangan/Contents/Default.aspx; diakses pada 22 April 2014.

Zaidatul Amina, “Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia: Melihat dari Pengalaman di Negara Lain”, diperoleh dari:

(20)

http://www.google.com/search?q=Kajian+Pembentukan+Otoritas+Jasa+Keuangan

+di+Indonesia%3A+Melihat+dari+Pengalaman+di+Negara+Lain&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a, diakses tanggal 03 Mei 2014.

WAWANCARA

Bapak Nelson Tampubolon, S.E., MSM., yang menjabat sebagai Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan. Rabu, 4 Juni 2014.

Bapak Peter Jacobs., yang menjabat sebagai Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia. Rabu, 11 Juni 2014.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN. No. 182 Tahun 1998, TLN. No. 3790.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011, LN. No. 111 Tahun 2011, TLN. No. 5253.

Indonesia, Undang-Undang tentang Bank Indonesia, UU No. 23 Tahun 1999, LN. No. 66 Tahun 1999, TLN. No. 3843.

Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004, LN. No. 7 Tahun 2004, TLN. No. 4357.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, PerPPUU No. 2 Tahun 2008, LN. 142 Tahun 2008, TLN. No. 4901.

Indonesia, Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, UU No. 6 Tahun 2009, LN. No. 7 Tahun 2009, TLN. No. 4901.

Arsip Dokumen Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Sidang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta , 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Clothing line merupakan salah satu bisnis yang ramai dizaman modern seperti sekarang ini. Banyak brand baru bermunculan, mulai dari yang langsung memiliki nama besar atau yang

Jadi untuk ketiga saluran pemasaran cabai rawit di Kecamatan Kanigoro semuanya efisien karena nilai share harga yang di terima petani semuanya lebih dari

[r]

Rendahnya kesamaan komposisi jenis pada cadangan biji dan vegetasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) kondisi hutan sudah dalam keadaan terganggu dan dipengaruhi oleh

Sedangkan dalam penelitian ini metode klustering digunakan dalam mengolah data calon peserta didik untuk mengetahui kelompok peserta didik yang dapat diterima di SMA

potensi karbon hutan mangrove hasil restorasi pada lahan bekas tambak sehingga. bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan terkait

Data primer adalah data yang diperoleh dari sampel pada saat penelitian mencakup umur penderita, jenis kelamin, pendidikan, data hasil pemeriksaan profil lipid (kadar

Pada sistem bagi hasil antara syirkah al-‘inan dengan Koperasi Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry memiliki sedikit perbedaan karena pada syirkah inan sistem