KONSEP DIRI PELAKU SEKS BEBAS
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Septi Nur Khasanah NIM 12104244020
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
Nasib seseorang tidak akan berubah dengan sendirinya tanpa berusaha
(Penulis)
Berubah itu sulit, tak berubah itu fatal.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Ayahku (Supriyanto), ibuku (Rr. Gamal Taviyani), dan adikku (Rizki
Kurniyanto).
2. Almamater Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP UNY
3. Agama
KONSEP DIRI PELAKU SEKS BEBAS Oleh
Septi Nur Khasanah NIM 12104244020
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri dari pelaku seks bebas yang berada di Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Subyek penelitian berjumlah 2 orang. Pengumpulan data dengan metode wawancara mendalam. Uji keabsahan data dengan menggunakan triangulasi yaitu triangulasi sumber dan data. Dalam analisis data mengacu pada konsep Milles dan Huberman yaitu interactive model yang mengklarifikasi analisis data dalam tiga bentuk, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek bangga dan hebat menjadi pelaku seks bebas. Dalam melakukan hubungan seksual subjek tidak memiliki hambatan, namun jika ditinjau secara moral subjek memiliki perasaan bersalah karena subjek menyadari bahwa ia telah melanggar nilai-nilai serta norma yang berlaku. Faktor yang menyebabkan subjek menjadi pelaku seks bebas ada 2, yaitu faktor internal (diri sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan, keluarga dan teman sebaya). Pada aspek harapan, subjek memiliki harapan yang sama yaitu, ingin hidup lebih baik lagi dengan cara mengurangi intensitas dalam melakukan hubungan bebas.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konsep Diri Pelaku
Seks Bebas”. Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini bisa terselesaikan
tidak lepas dari kontribusi semua pihak yang memberikan do‟a, bimbingan,
bantuan dan arahan, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk menimba ilmu di Program Studi Bimbingan dan Konseling
UNY.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan izin dan memfasilitasi dalam melakukan penelitian.
3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan dukungan akademik serta persetujuan untuk
melakukan penelitian.
4. Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan yang
telah memberikan arah dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir
skripsi serta persetujuan untuk judul penelitian yang sudah di tentukan.
5. Dosen Pembimbing Bapak Sigit Sanyata, M.Pd. yang selalu sabar dan
memberikan arahan dalam membimbing, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
6. Dosen Penguji Utama Ibu Yulia Ayriza, M.Si., Ph. D. yang telah bersedia
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
PENGESAHAN... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 10
C. Batasan Masalah ... 11
D. Rumusan Masalah ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II. KAJIAN TEORI A. Konsep Diri... 13
1. Definisi Konsep Diri... 13
2. Perkembangan Konsep Diri... 14
3. Aspek-Aspek Konsep Diri... 16
5. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Perilaku... 18
6. Sumber-Sumber Konsep Diri... 19
B. Remaja... 21
1. Definisi Remaja... 21
2. Ciri-Ciri Masa Remaja... 22
3. Perkembangan Fisik Remaja... 23
4. Perilaku Seksual Remaja... 24
5. Proses Perubahan Pada Masa Remaja... 26
6. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja... 28
7. Konflik Yang Dialami Remaja... 28
8. Minat Seks dan Perilaku Seks Pada Remaja... 29
C. Perilaku Seks Bebas dan Hiperseksual... 30
1. Definisi Hiperseksual... 30
2. Ciri-Ciri Hiperseksual... 31
3. Faktor-Faktor Penyebab Hiperseksual... 31
4. Perilaku Hiperseksual Pada Wanita... 32
5. Perilaku Hiperseksual Pada Pria... 33
6. Jenis-Jenis Perilaku Hiperseksual... 33
7. Akibat Perilaku Hiperseksual... 35
8. Cara Menanggulangi... 37
9. Pergaulan Bebas... 38
D. Pertanyaan Penelitian... 40
E. Kerangka Berfikir... 40
BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian... 42
B. Langkah-Langkah Penelitian... 44
C. Subjek Penelitian... 45
D. Setting Penelitian... 45
E. Metode Pengumpulan Data... 46
G. Uji Keabsahan Data... 49
H. Teknik Analisis Data... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 53
1. Deskripsi Setting Penelitian ... 53
2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 54
3. Reduksi Data ... 62
4. Display Data ... 74
5. Verifikasi Data Hasil Penelitian ... 76
B. Pembahasan ... 78
C. Keterbatasan Penelitian ... 82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 86
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ... 49
Tabel 2. Profil Subjek Penelitian ... 54
Tabel 3. Profil Key Informan ... 55
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Daftar Wawancara TS ... 88
Lampiran 2. Daftar Wawancara TS... 93
Lampiran 3. Daftar Wawancara GT ... 97
Lampiran 4. Daftar Wawancara GT ... 100
Lampiran 5. Key Informan TS ... 105
Lampiran 6. Key Informan TS ... 108
Lampiran 7. Key Informan GT ... 110
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Seorang remaja mengalami berbagai perubahan fisik maupun psikis.
Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik di mana tubuh
berkembang pesat menuju orang dewasa yang disertai dengan
berkembangnya kapasitas reproduksi. Seksualitas merupakan misteri
terbesar yang pernah ada dalam kisah anak manusia.
Masalah seks pada remaja sering kali mencemaskan para orangtua
dan juga pendidik, adapun yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah
segala tingkah laku yang didorong oleh hasyrat seksual baik dengan lawan
jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku ini bermacam
macam, ada yang berkencan maupun bercumbu dan objek seksualnya
bisa orang lain atau orang dalam khayalan. Sebagian dari tingkah laku
perilaku seksual dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah,
depresi, marah, misalnya pada para gadis-gadis yang terpaksa
menggugurkan kandunganya (Simkins dalam Sarlito Wirawan Sarwono,
1989: 142).
Akibat Psikososial lainnya adalah ketegangan mental dan
kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah, misalnya seorang
gadis yang hamil akan menjadi bahan cemoohan dan mendapat
penolakan dari masyarakat sekitarnya sedangkan akibat yang tidak terlalu
tampak jika hanya dilihat secara sepintas, yaitu berkembangnya penyakit
1989: 143) selaku Ketua Panitia Kongres Nasional IV Perkumpulan Ahli
Dermatovenerologi (penyakit kulit dan kelamin) Indonesia, Juni 1983 di
Semarang menyatakan bahwa sebagian besar penyakit kelamin kelas
berbahaya yang telah melanda remaja umur 16-25 tahun, baik di kota
maupun perdesaan.
Tidak ada definisi yang baku mengenai “kost-kostan” walaupun
Kamus Besar Bahasa Indonesia tetap memuatnya dalam nama yang
berbeda, yaitu pemondokan. Dahulu rumah pondokan identik dengan
sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal mahasiswa,
pelajar ataupun pekerja yang merantau. Rumah pondokan itu sendiri di
huni oleh pemilik pondokan atau sering diistilahkan sebagai induk semang
yang dulu katanya sangat killer, sehingga peluang untuk menyalahgunakan
bagunan pondokan tersebut sangat kecil, namun kenyataanya yang di
temukan saat ini sangat berbeda, cukup banyak rumah pondokan yang di
tinggal oleh induk semangnya.
Rumah kontrakan identik dengan pasangan muda suami istri yang
telah sah tetapi belum mempunyai rumah sendiri, namun sekarang
kondisinya justru rumah kontrakan tersebut di sewakan kepada seseorang
yang belum menikah dan berstatus mahasiswa yang terkadang di
salahgunakan sebagai tempat untuk kumpul kebo dan juga melakukan
hubungan seks bebas. Kost ataupun kontrakan memang sangat signifikan
Hasil penelitian 10 mahasiswa UGM (Kelompok Diskusi Dasagung),
tanggal 24 Maret-21 Juni 1984 di Yogyakarta mengungkapkan bahwa
sebagian besar mahasiswa dan pelajar hidup bersama. Penelitian tersebut
menemukan 29 pasangan yang hidup bersama di rumah rumah pondokan,
mereka melakukan hubungan seks dan mereka tidur bersama 2-6 hari
perminggu (Kompas dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 140). Usia
remaja ataupun mahasiswa merupakan masa yang paling rawan dan
identik dengan seks.
Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian tim peneliti
kependudukan UNDIP bekerja sama dengan Kantor Dinas Kesehatan
Jawa Tengah pada tahun 1995, menyatakan bahwa 60.000 siswa SMA
se-Jawa Tengah (dari 600.000 orang yang dilibatkan dalam survei atau
sekitar 10%nya) pernah melakukan sex-intercourse pranikah (PK UNDIP
Depkes Jateng dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 36). Masalah seks
merupakan masalah yang paling krusial dan paling melelahkan namun
wajib dihadapi oleh setiap remaja.
Penelitian yang dilakukan terhadap 7.000 wanita dengan kehidupan
seksual aktif dan penelitian tersebut membuktikan bahwa sebagian besar
wanita yang memiliki badan berisi akan lebih menyenangkan ketika
bercinta dengan pasanganya. Wanita yang memiliki badan berisi identik
memiliki nafsu yang lebih besar karena mereka memiliki hormon yang
disebut Oestradiol. Hormon tersebut yang membuat lawan jenis tergoda (
Banyak pasangan yang menyatakan tidak melakukan apa-apa dalam
pacaran. Kenyataanya jelas, awalnya masih bisa untuk menahan diri,
namun setelah itu coba-coba untuk pegangan tangan, cium pipi, cium bibir,
setelah iu dilanjutkan dengan saling meraba kemaluan hingga inter-course
penuh. Harian Kedaulatan Rakyat (Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 42)
mencatat di Slawi sebanyak 20 perempuan usia belasan tahun (ABG)
yang biasanya mangkal di objek wisata Purwahamba Indah Kabupaten Tegal,
dinyatakan terjangkit penyakit kelamin.
Salah satu jenis penyakit menular seksual (PMS) adalah Gonorboea
(Kencing nanah). Para penderita tampaknya jadi lebih kebal terhadap
pengobatan karna semakin ganasnya penyakit tersebut (Sinar Harapan
dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 143). Data WHO 2007 menunjukan
44% wanita dan lebih dari 70% pria usia remaja mengaku pernah melakukan
hubungan seksual. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012 mengenai hubungan seksual pranikah, bahwa (1) jumlah
presentase wanita menyetujui hubungan seksual pranikah sangat rendah di
bandingkan pria, (2) hanya 1% dari responden wanita dan 4% responden
pria mengatakan boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Berbicara mengenai seks, seks memang memiliki daya tarik dan
pesona yang luar biasa bagi mereka yang pernah maupun yang belum
pernah melakukannya, namun menjadi suatu hal yang tidak lazim ketika
seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah melakukan
yang tinggi dan tidak bisa terkontrol yang biasa disebut dengan perilaku
hiperseksual. Hiperseksual bisa dialami oleh pria (satyriasis) maupun
wanita (nymfomania).
Dari hasil survei BKKBN tahun 2008 di 33 provinsi di Indonesia
sebanyak 63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seksual
sebelum menikah (Tetty Rina Aritonang, 2015: 61- 67). Catatan Dinas
Kesehatan menunjukan kasus HIV AIDS DKI Jakarta tahun 2007
sebanyak 1.122 jiwa sedangkan di Jawa Barat sebanyak 211 jiwa. Kasus
kematian akibat komplikasi dari aborsi sebanyak 8% dan penyakit menular
lainnya sebanyak 12% (Tetty Rina Aritonang, 2015: 62). Dalam majalah
HAI, XXVI (Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 51- 52) ada beberapa kasus
yang berkaitan dengan masalah hiperseksual yaitu:
Budi (17 tahun) yang sedang menginap disebuah villa di puncak bersama teman temannya. Mereka membawa pasangan masing masing. Di villa tersebut mereka menonton film biru dan setelah menonton film tersebut masing-masing pasangan mecari tempat sendiri-sendiri. Ada yang dimobil, halaman, pojok teras, bahkan ada yang langsung masuk kamar. Budi dan pacarnya pun begitu. Tadinya hanya ngobrol berlanjut pegang-pegangan, terus bereksperimen kecil-kecilan. Eksperimen yang dilakukan adalah kissing, pegang-pegangan, petting dan akhirnya melakukan hubungan seks, mereka melakukan hal tersebut sambil menonton film biru. Budi melakukan hubungan seks dengan frekuensi yang tinggi. Budi mengaku ia melakukan hal tersebut sejak SMP. Budi selalu merasa bernapsu besar dan terkadang libido yang tidak bisa terkontrol, dan kalaupun tiba-tiba libido berontak disaat lagi mengendarai mobil dijalan tol, Budi pun tidak malu untuk melampiaskan semuanya.
Pada masa remaja, konsep diri telah terbentuk dengan kokoh walaupun
kelak sering ditijau kembali dengan adanya pengalaman sosial dan pribadi
yang baru. Pengaruh kelompok teman sebaya dan keluarga mempunyai
kepribadian remaja. Konsep diri merupakan gambaran diri terhadap
dirinya sendiri (Hurlock, 1978: 81). Kepribadian merupakan sistem yang
dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat
konsistensi respon individu yang beragam (Pikunas dalam Syamsu Yusuf,
2006: 200). Fase remaja merupakan fase yang paling penting bagi
perkembangan dan integrasi kepribadianya.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
hubungan interpersonal, karena setiap individu akan bertingkah laku sesuai
dengan konsep dirinya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, apabila konsep
diri seseorag positif, maka individu akan cenderung mengembangkan
sikap-sikap positif dalam dirinya misalnya memiliki rasa percaya diri yang
baik serta kemampuan melihat dan menilai diri sendiri secara positif,
sedangkan individu yang memiliki konsep diri yang negatif maka individu
tersebut cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan
rendah diri, ragu dan tidak mampu.
Seorang hiperseksual akan merasa bangga ketika sudah meniduri dan
melakukan hubungan seksual dengan frekuensi yang tinggi, karena ia
dianggap hebat dan akan mendapatkan penghargaan dari
teman-temannya. Hiperseksual oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan
seksual. Penyimpangan seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks
antara faktor lingkungan, kognigtif dan biologis.
Nilai- nilai, keyakinan religius dan budaya berkontribusi dalam
dari keluarga yang memiliki doktrin religius namun begitu harus berpisah
dan lingkungan yang bisa menjadi tempat bersandar emosinya, maka fase
transisi ini menjadi begitu berbahaya, misalnya ada seorang mahasiswa
yang merantau di kota pendidikan atau kota pelajar. Praktis, ia harus
hidup jauh dari keluarganya. Salah sedikit saja memilih lingkungan, tempat
tinggal, dan tempat kuliah akan berakibat fatal dan jauh dari apa yang
diharapkan oleh orangtuanya.
Hiperseksual tersebut berkaitan dengan peran seksual, dimana peran
seksual merupakan peran yang terkait dengan kondisi fisik, biologis,
fisiologis pria maupun wanita. Di negara-negara, di mana Agama islam
dominan, seperti di Indonesia ini seharusnya laki-laki dan perempuan bisa
menjaga kesuciannya, namun kenyataanya banyak laki-laki dan
perempuan yang sudah kehilangan kesuciannya. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Langstrom & Hanson 6,8% wanita di Swedia
mengalami hiperseksual dengan tingkat masturbasi, pornografi dan free sex
yang tinggi (dalam Klein, etc, 2014: 1975). Kebutuhan akan seks yang tidak
dapat terkontrol ini seharusnya dapat terealiasasi dengan adanya kontrol dari
orang tua, masyarakat dan pembinaan yang seharusnya mereka dapatkan.
Masalah ini diperparah oleh pengetahuan tentang seks itu sendiri,
karena memang pendidikan tidak pernah mengenal masalah pendidikan
seks secara formal, akhirnya mereka (remaja dan mahasiswa) berpetualang
untuk mencari tahu sendiri melalui berbagai media resmi ataupun ilegal.
piramida gunung es yang memang hanya terlihat samar pada permukaan,
namun jika dikaji dengan lebih cermat dan teliti sungguh sangat
mencengangkan.
Salah satu aspek dari konsep diri adalah harapan Calhoun & Acocella
(dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, 2004: 17- 18). Harapan dari
seorang hiperseksual adalah bisa selalu melakukan hubungan seks dengan
objek yang wajar, namun kenyataanya banyak seorang hiperseks yang
melakukan hubungan seks dengan objek seks yang tidak wajar seperti
masturbasi dan phone sex.
Pelaku hiperseksual mencari kepuasanya dengan melakukan aktivitas
seks, namun sayangnya upaya untuk memenuhi kebutuhan seksual tersebut
sering ditempuh dengan cara yang kurang baik misalnya dengan cara
melakukan perselingkuhan dengan tujuan mencari pelampiasan lain untuk
memenuhi kebutuhan seks yang tidak dapat terkontrol. Terkadang pelaku
hiperseksual tidak segan-segan membunuh pasangannya jika ada
penolakan seks dari pasangannya. Sebagian besar masyarakat memiliki
pandangan yang negatif mengenai pelaku hiperseksual karena bagi
masyarakat sekitar pelaku hiperseksual telah meresahkan dan membuat
tidak nyaman.
Dari masalah tersebut keterlibatan semua guru khususnya guru
bimbingan dan konseling seharusnya berperan penuh terhadap upaya
preventif kepada seluruh siswa dan juga adanya upaya kuratif terhadap
diuji dalam menghadapi siswa yang sudah terlanjur melakukan seks bebas,
karena image negatif yang tidak langsung melekat pada siswa tersebut.
Tidak hanya dilihat dari sudut pandang agama, bahaya seks bebas sangat
fatal jika dilihat dari segi kesehatan.
Dampak dari perilaku seks bebas tersebut dapat dikucilkan serta disegani
dengan masyarakat sekitar sedangkan dampak dalam jangka panjang akan
terkena penyakit kelamin bahkan seorang hiperseksual bisa masuk dalam
jeruji besi jika dalam memenuhi kebutuhan seksual yang tidak dapat
terkontrol tersebut dengan cara yang tidak baik. Dampak- dampak dan
situasi semacam tersebut jelas akan mempengaruhi pembentukan
kepribadian dan karakteristik pada remaja karena lingkungan salah satu
sumber pembentukan konsep diri seseorang.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perilaku seksual pada remaja sangatlah
kompleks. Puluhan bahkan ratusan hasil penelitian dan tulisan-tulisan di
berbagai surat kabar telah dipublikasikan. Seharusnya seorang remaja
cukup mengetahui pengetahuan seks, tidak mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari dan tidak menyakiti orang lain untuk mendapatkan
kepuasan seksual yang diinginkan. Peran orang tua juga harus dimunculkan
dalam mengontrol perilaku dan pergaulan anak-anaknya agar anak tidak
terjerumus dalam penyimpangan seksual.
Dari paparan latar belakang tersebut, peneliti menyadari bahwa ini
merupakan suatu masalah yang harus diselesaikan, oleh karena itu peneliti
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka terdapat beberapa
permasalahan yang muncul, antara lain:
1. Perilaku seksual yang menyimpang di kalangan remaja.
2. Potret kos-kosan pelajar, mahasiswa dan pekerja.
3. Fenomena pergaulan bebas di kalangan mahasiswa
4. Minimnya kontrol dan perhatian dari orangtua.
5. Dampak negatif dari perilaku seksual yang menyimpang (hiperseksual).
6. Rendahnya kesadaran moral di kalangan remaja.
7. Nilai- nilai, keyakinan religius, budaya serta dampak negatif dari perilaku
seorang hiperseksual berkontribusi dalam pembentukan konsep diri
remaja.
8. Keterlibatan dan peran guru dalam mengahadapi peserta didik yang
sudah terlanjur menjadi pelaku seks bebas.
9. Pengaruh kelompok sebaya, keluarga dan lingkungan dalam
pembentukan konsep diri remaja.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka peneliti
membatasi masalah seperti dibawah ini.
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah, maka penulis merumuskan masalah yakni
bagaimana konsep diri pelaku seks bebas?
E. Tujuan Penelitian
Dari batasan masalah, maka tujuan penelitian akan dijelaskan seperti
dibawah ini|.
Untuk mengetahui konsep diri pelaku seks bebas.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam kajian
keilmuwan bimbingan dan konseling mengenai masalah penyimpangan
seksual, khususnya mengenai konsep diri pelaku seks bebas.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi remaja pelaku seks bebas
Remaja dapat memahami konsep dirinya serta mampu mengendalikan
diri.
2. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling
Guru dapat memahami konsep diri remaja khususnya remaja yang
mengalami seks bebas. Diharapkan dengan adanya penelitian ini guru
bimbingan dan konseling lebih mampu memberikan layanan yang tepat dan
3. Bagi Orangtua
Sebagai informasi dalam memahami konsep diri remaja yang
mengalami seks bebas. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, orangtua
dapat memberikan perhatian dan pengawasan terhadap anak-anaknya.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat berkontribusi serta memberikan gambaran
mengenai konsep diri remaja, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori Mengenai Konsep Diri
1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang
dirinya yang dibentuk melalui pengalama-pengalaman yang diperoleh dari
interaksi dengan lingkungan. Menurut (Fitts dalam Hendriati Agustiani, 2006:
138) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri
seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of
reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fits juga mengatakan
bahwa konsep diri berpegaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang, dengan
mengetahui konsep diri seseorang maka kita akan lebih mudah mengetahui
dan memahami tingkah laku orang tersebut.
Calhoun & Acocella (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, 2014:
13) mendefinisikan bahwa konsep diri merupakan gambaran mental diri
seseorang. Hurlock (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawati, 2014: 13)
mendifinisikan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai diri
sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial,
emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Burn (dalam M. Nur
Ghufron & Rini Risnawita, 2014: 13) mendefiniskan konsep diri sebagai
kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencangkup pendapatnya
terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri dimata orang lain, dan
Rogers (dalam Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan, 2007: 144)
mengartikan konsep diri sebagai persepsi tentang karakteristik „I‟ atau „Me‟
dan persepsi „I‟ atau „Me‟ dengan orang lain atau berbagai aspek kehidupan,
termasuk nilai-nilai yang terkait dengan persepsi tersebut. Konsep diri
merupakan gambaran mental tentang diri sendiri, seperti: “saya cantik”, “saya
seorang pekerja yang jujur”, dan “saya seorang pelajar yang rajin”. Dari
beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat
disimpulkan bahwa konsep diri merupakan apa yang dirasakan dan dipikirkan
oleh seseorang mengenai dirinya sendiri.
2. Perkembangan Konsep Diri
Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut di
sepanjang kehidupan manusia. Menurut (Symonds dalam Hendriati
Agustiani, 2006: 143) mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung
muncul pada saat kelahiran, tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan
munculnya kemampuan perseptif. Diri (Self) berkembang ketika individu
merasakan bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari orang lain. Pada usia 6-7
tahun, batas-batas dari diri individu mulai menjadi lebih jelas sebagai hasil
dari eksplorasi dan pengalaman dengan tubuhnya sendiri selama periode awal
kehidupan. Konsep diri individu sepenuhnya di dasari oleh persepsi tentang
diri sendiri.
Seiring bertambahnya usia, pandangan tentang diri ini menjadi lebih
banyak didasari oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang
yang terjadi pada remaja hampir pada semua area kehidupan, konsep diri
juga berada dalam keadaan terus berubah pada periode ini. Ketidakpastian
masa depan membuat formulasi dari tujuan yang jelas merupakan tugas yang
sulit. Penyelesaian masalah dan konflik remaja inilah lahir konsep diri orang
dewasa. Nilai dan sikap yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir
masa remaja cenderung menetap dan relatif merupakan pengaturan tingkah
laku yang bersifat permanen.
Usia 25-30 tahun ego orang dewasa sudah terbentuk dengan lengkap,
namun dari sinilah konsep diri menjadi sulit untuk berubah. Calhoun &
Acocella (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, 2004: 14)
mengemukakan bahwa ketika lahir manusia tidak memiliki konsep diri,
pengetahuan tentang diri sendiri, harapan terhadap diri sendiri dan penilaian
pada diri sendiri. Artinya, individu tidak sadar dia adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari lingkungan. Sensasi yang dirasakan oleh anak pada waktu
bayi tidak disadari sebagai suatu yang dihasilkan dari interaksi antara dua
faktor yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu lingkungan dan dirinya
sendiri.
Keadaan ini tidak berlangsung lama, secara perlahan individu akan dapat
membedakan antara “aku” dan “bukan aku”. Saat itu individu mulai
menyadari apa yang dilakukan seiring dengan menguatnya panca indra.
Individu dapat membedakan dan belajar tentang dunia yang bukan aku. Hal
ini yang membangun konsep diri individu. Hal yang hampir sama
yang mengatakan bahwa konsep diri berkembang. Anak mengobservasi
fungsi dirinya sendiri seperti apa yang mereka lihat pada orang lain.
Sedikit berbeda dengan (Cooley dalam M. Nur Ghufron & Rini
Risnawita, 2004: 15) membagi konsep diri berdasarkan perkembangannya
menjadi konsep diri primer dan konsep diri sekunder. Konsep diri primer
adalah konsep diri yang terbentuk berdasarkan pengalaman anak dirumah
berhubungan dengan anggota keluarga. Konsep diri sekunder adalah konsep
diri yang terbentuk oleh lingkungan luar rumah, seperti teman sebaya atau
teman bermain. Dari pandangan beberapa ahli maka dapat disimpulkan
bahwa konsep diri tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi berkembang
dengan adanya interaksi dengan individu yang lain khusunya dengan
lingkungan sosial.
3. Aspek-Aspek Konsep Diri
Calhoun & Acocella (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawit, 2004:
17-18) mengatakan bahwa konsep diri terdiri atas tiga aspek, yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya. Individu
dapat mengambarkan dirinya, kelengkapan atau kekurangan fisik, usia, jenis
kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama, dan lain-lain. Misalnya,
seseorang yang menganggap bahwa dirinya sempurna karna telah dikaruniai
fisik yang lengkap, berusia 20 tahun, wanita, WNI, Jawa, mahasiswi, islam,
dan lain-lain. Pengetahuan tentang diri berasal dari kelompok sosial yang
b. Harapan
Saat-saat tertentu seseorang memiliki suatu aspek pandangan tentang
dirinya. Individu juga mempunyai satu aspek pandangan tentang
kemungkinan dirinya menjadi apa dimasa depan. Dengan kata lain, individu
mempunyai harapan bagi dirinya sendiri untuk menjadi diri yang ideal. Diri
yang ideal sangat berbeda pada masing-masing individu.
c. Penilaian
Dalam penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya
sendiri. Apakah bertentangan dengan “siapakah saya”, pengharapan bagi individu “seharusnya saya menjadi apa”, standar bagi individu. Hasil
penilaian tersebut disebut dengan harga diri. Semakin tidak sesuai antara
harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah harga diri seseorang.
Menurut (Fitts dalam Hendriati Agustiani, 2006:139) konsep diri dibagi
menjadi dua dimensi pokok yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal.
Dimensi internal adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya
sendiri yang terdiri atas tiga bentuk yaitu, diri identitas, diri pelaku, dan diri
penilaian. Selanjutnya ada dimensi eksternal yang dimana individu menilai
dirinya melalui hubungan dan aktivias sosialnya. Dimensi eksternal terdiri
atas diri fisik, diri etik-moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial.
4. Identifikasi peranan seks dengan konsep diri
Identifikasi didahului dengan penentuan jenis kelamin, mencontoh dan
meniru tingkah laku sedangkan identifikasi terutama merupakan sebuah
penentu jenis kelamin merupakan sebuah proses yang disadari tentang meniru
tingkah laku- tingkah laku yang spesifik. Mussen (dalam Burn 1993: 35)
menyatakan bahwa identifikasi peranan seks yang berhasil dikaitkan pada
berperannya fungsi pribadi sosial yang efektif, misalnya konsep diri itu
berasal dari seorang wanita yang menarik dan seorang pria yang tampan.
Penggambaran tentang suatu konsep diri dengan peranan seks yang
spesifik tidak perlu (Freud dalam Burn, 1993: 238). Seksualitas merupakan
bagian integral dari manusia yang berjiwa dan tidak dapat terpisahkan.
Tingkah laku peranan seks, perasaan- perasaan dan sikap-sikap timbul dari
konflik dan ketakutan di masa kanak-kanak.
5. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Perilaku Individu
Pujijogjanti (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, 2004: 18- 19)
mengatakan ada tiga peranan penting dari konsep diri sebagai penentu
perilaku, antara lain:
a. Konsep diri berperan dalam mempertahankan keselarasan batin. Pada
dasarnya individu selalu mempertahankan keseimbangan dalam kehidupan
batinnya. Timbulnya perasaan, pikiran, dan persepsi yang tidak seimbang
atau bahkan saling berlawanan akan terjadi perubahan perilaku individu
tersebut.
b. Keseluruhan sikap dan padangan individu terhadap pengalamannya. Setiap
individu akan memberikan penafsiran yang berbeda terhadap sesuatu yang
c. Konsep diri adalah penentu pengharapan individu. Pengharapan adalah inti
dari konsep diri. Konsep diri merupakan seperangkat harapan dan
penilaian perilaku yang menunjuk pada harapan tersebut. Sikap dan
pandangan negatif terhadap kemampuan diri menyebabkan individu
memiliki harapan yang rendah. Harapan yang rendah menyebabkan
individu tidak memiliki motivasi yang tinggi.
6. Sumber-Sumber Konsep Diri
a. Diri fisik dan citra tubuh
Belajar mengenai apa yang merupakan diri dan apa yang bukan melalui
pengalaman langsung, dan mengenai persepsi terhadap dunia fisik tanpa
satupun mediasi sosial marupakan langkah awal anak didalam perjalanan
hidupnya. Istilah citra tubuh digunakan untuk menyampaikan konsep tentang
tubuh fisik yang dimiliki individu. Citra tubuh merupakan hal yang
fundamental terhadap perkembangan citra diri individu. Konsep diri pada
mulanya adalah citra tubuh, sebuah gambaran yang dievaluasikan mengenai
diri fisik (Burn, 1993: 190). Diri fisik diterima sebagai sebuah unsur yang
vital dari konsep diri (William James dalam Burns, 1993: 198).
b. Bahasa dan perkembangan konsep diri
Perkembangan bahasa membantu perkembangan konsep diri, karena
penggunaan „me‟, „he‟, dan „them‟ digunakan untuk membedakan diri (self)
dengan orang lain. Kebanyakan anak-anak memulai menggunakan kata ganti
seperti „me‟, „yours‟, „mine‟, dan lain-lain dengan cara yang tidak tepat. Hal
(dalam Burns, 1993: 200). Banyak anak kecil yang mengalami kesulitan
untuk mempelajari penggunaan kata ganti orang dengan tepat. Konsep diri
yang benar timbul bagi banyak bayi pada saat mereka menangkap kenyataan
bahwa mereka mempunyai sebuah nama. Pengetahuan anak tentang dirinya
bergantung pada pemisahan diri dari orang-orang lainnya.
c. Umpan balik dari orang lain
Semua manusia membutuhakan kasih sayang, rasa aman dan perasaan
yang diterima. Penerimaan kasih sayang itu sangat menyenangkan namun,
untuk mengetahui apakah ada penerimaan kasih sayang tersebut seorang
individu harus mengamati wajah, isyarat-isyarat, verbalisasi, dan sebagainya
dari orang lain. Dalam masa kanak-kanak, anak mempercayai persepsi
tentang dirinya sendiri dan juga tentang diri fisiknya.
Guthrie (dalam Burns, 1993: 208) memberi contoh bahwa ada beberapa
siswa laki-laki yang memainkan sebuah lelucon kepada seorang siswa
perempuan yang bodoh dan tidak menarik. Mereka memperlakukan wanita
tersebut untuk sementara waktu, seakan-akan ia sangat populer dan menarik.
Siswa laki-laki tersebut terkejut karena di dalam waktu satu tahun ia
mengembangkan sikap yang santai, percaya diri dan popularitas. Sikap yang
seperti itu meningkatkan hal yang positif dari orang lain. Hal tersebut
merupakan umpan balik dari orang lain mengenai konsep diri dan pola
B. Kajian Teori Mengenai Remaja
1. Definisi Remaja
Kata remaja berasal dari bahasa Latin yaitu adolescene yang berarti to
grow atau to grow maturity (Golinko dalam Yudrik Jahja, 2011: 219- 220).
Debrun (dalam Yudri Jahja, 2011: 220) mendefinisikan remaja sebagai
periode pertumbuhan antara masa kanak- kanak dan dewasa. Menurut
(Papalia & Olds dalam Yudri Jahja, 2011: 220) masa remaja adalah masa
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada
umumnya dimulai usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan
tahun atau awal dua puluh tahun.
Menurut Anna Freud (dalam Yudrik Jahja, 2011: 220) mendefiniskan
masa remaja merupakan proses perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi
perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana
pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Sedangkan definisi remaja menurut WHO adalah Individu berkembang dari
saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia
mencapai kemantangan seksual. Individu mengalami perkembangan
psikologis dari masa kanak-kanak menjadi dewasa (Muangman dalam Sarlito
Wirawan Sarwono, 1989: 9). Dari beberapa pendapa ahli maka dapat di
ambil kesimpulan bahwa remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak
menuju dewasa dan akan mengalami perubahan atau perkembangan.
2. Ciri - Ciri Umum Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak
menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan,
baik fisik maupun psikis. Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu sebagai berikut: (Konopkan & Ingersoll dalam Hendriati
Agustiani, 2006 : 29):
a. Masa Remaja Awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap
bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman
sebaya.
b. Masa Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang
baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu
sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (Self-Directed. Pada masa ini
remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku dan membuat
keputusan keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai.
c. Masa Remaja Akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran
orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan dan
menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang
dewasa.
3. Perkembangan Fisik Remaja
a. Hormon-hormon seksual
Dalam tubuh kita terdapat kelenjar-kelenjar, yaitu alat tubuh yang
mengeluarkan zat-zat tertentu. Kelenjar yang kita adalah kelenjar keringat
dan kelenjar air ludah. Kelenjar itu dinamakan kelenjar eksokrin (ekso= luar)
karena menyalurkan zat-zat yang diproduksinya langsung ke dalam tubuh. Di
samping kelenjar eksokrin terdapat kelenjar-kelenjar endokrin (endo=dalam).
Kelenjar endokrin tidak disalurkan keluar tubuh melainkan langsung kedalam
darah.
Zat-zat yang diserap darah dari kelenjar kelenjar endokrin ini dinamakan
hormon. Hormon yang masuk ke dalam darah langsung beredar ke seluruh
tubuh dan pengaruhnya pun tersebar ke seluruh tubuh. Sedangkan kelenjar
yang berkaitan dengan pertumbuhan tubuh dan seks adalah kelenjar pituitary
(kelenjar bawah otak), buah pelir (testis) pada laki-laki dan indung telur
(ovarium) pada perempuan.
b. Kelenjar Bawah Otak
Kelenjar ini sangat kecil dan terletak di sebuah rongga di bawah otak.
Kelenjar bawah otak ini penting sekali karena hormon-hormon yang
dikeluarkan mempengaruhi kelenjar-kelenjar lain dalam tubuh. Kelenjar ini
di namakan kelenjar induk. Beberapa hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
c. Testis
Testis atau buah zakar ada dua buah yang terletak dalam sebuah kantung
(scrotum) yang tergantung di bawah penis (batang kemaluan). Testis
memproduksi hormon androgen dan testoteron yang sejak remaja
menyebabkan tumbuhnya tanda-tanda kelaki-lakian seperti kumis, jakun,
otot kuat, suara yang berat, bulu kemaluan dan ketiak. Testoteron juga
menyebabkan timbulnya birahi (nafsu seks dan libido). Spermatozoa di
produksi beratus ratus juta setiap harinya sampai orang yang bersangkutan
berusia lanjut (60-70 tahun).
d. Indung Telur (Ovarium)
Indung telur terletak di dalam rongga perut perempuan, tepatnya di
bagian bawah dekat rahim (uterus). Indung telur memproduksi (1) hormon
progesteron yang bertugas mematangkan dan mempersiapkan sel telur
(ovum) sehingga siap untuk dibuahi. Jika sel telur telah dibuahi, progesteron
ini yang mengembangkannya lebih lanjut menjadi janin. (2) hormon estrogen
yang mempengaruhi pertumbuhan sifat-sifat kewanitaan pada tubuh
seseorang (payudara membesar, pinggul membesar, suara halus, dan
lain-lain). Hormon ini juga mengatur siklus haid.
4. Perilaku Seksual Remaja
Menurut (Robert Havighurst dalam Sarlito, 1989: 154) seorang remaja
menghadapi tugas-tugas perkembangan (developmental tasks) sehubungan
dengan perubahan-perubahan fisik dan peran sosial yang terjadi pada dirinya.
dan memanfaatkan dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun,
menerima peranan seksual masing-masing (laki-laki atau perempuan) dan
mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga (Jensen dalam Sarlito
Wirawan Sarwono, 1989: 154).
Dalam upaya mengisi peran sosialnya, seorang remaja mendapatkan
motivasinya dengan cara meningkatkan energi seksual atau libido. Menurut
(Freud dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 154), libido ini berkaitan erat
dengan kematangan fisik. Sementara itu, menurut (Anna Freud dalam
Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 15 ), fokus utama dari libido ini adalah
perasaan-perasaan di sekitar alat kelamin, objek-objek seksual dan
tujuan-tujuan seksual (Jensen dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 154). Dalam
kaitanya dengan kematangan fisik (Sanderowitz & Paxman dalam Sarlito
Wirawan Sarwono, 1989: 154- 155) mencatat bahwa di berbagai masyarakat
sekarang ini ada kencederungan menurunya usia kematangan seksual
seseorang.
Pada tahun 2008 di Jawa Barat menunjukan 57% remaja usia 15-24
tahun merupakan pekerja seks komersial (Tetty Rina Aritonang, 2015: 63).
Menurut (Simkins dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 155), di
negara-negara maju rata-rata usia menstruasi menurun 4 bulan setiap sepuluh tahun
dan akan mencapai titik stabil pada usia 12 tahun 9 bulan. Menurunya usia
kematangan seksual ini akan diikuti oleh meningkatkanya aktivitas seksual
pada masa puber. Gejala ini di ungkap oleh (Fury dalam Sarlito Wirawan
Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 155) dengan temuanya sendiri pada akhir
1970-an. Dalam penelitian Kinsey tercatat 2% anak perempuan dan 10% anak
laki-laki dibawah usia 16 tahun telah melakukan hubungan seks.
Penelitian Fury yang dilakukan 25-30 tahun kemudian ternyata angka
tersebut sudah menjadi 33% untuk anak perempuan dan 50% untuk anak
laki-laki dibawah usia 16 tahun. Di Indonesia beberapa hasil penelitian juga
menunjukan adanya penurunan batas usia hubungan seks pertama kali
(Hanifah dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1989: 155), antara lain:
a. Sebanyak 18% responden di Jakarta berhubungan seks pertama di usia 18
tahun dan usia termuda 13 tahun.
b. Remaja Manado yang sudah aktif secara seksual, melakukan hubungan
seks pertama pada usia dibawah 16 tahun. Sebanyaknya 56,8% pada
remaja pria dan 33,3% pada remaja putri.
5. Proses Perubahan pada Masa Remaja
Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan
manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri. Keunikan tersebut
bersumber dari kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa remaja perubahan-perubahan
besar terjadi dalam kedua aspek tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa ciri
umum yang menonjol pada masa remaja adalah berlangsungnya perubahan
itu sendiri. Proses perubahan tersebut dan interaksi antara beberapa aspek
yang berubah selama masa remaja antara lain sebagai berikut: (Lerner &
a. Perubahan Fisik
Perubahan yang paling jelas yang nampak dialami oleh remaja adalah
perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau
pada awal masa remaja, yaitu sekitar umur 11-15 tahun pada perempuan dan
12-16 tahun pada laki-laki (Hurlock dalam Hendriati Agustiani, 2006: 30).
Hormon yang diproduksi oleh kelenjar endokrin akan membawa perubahan.
Seiring dengan itu, berlangsung juga pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan
anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa.
b. Perubahan Emosionalitas
Adanya perubahan fisik dan hormonal akan menyebabkan terjadinya
perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja. Hormonal menyebabkan
perubahan-perubahan seksual dan menimbulkan dorongan-dorongan dan
perasaan-perasaan baru. Pengaruh sosial senantiasa berubah, seperti teman
sebaya, media masa dan ketertarikan pada lawan jenis mengakibatkan remaja
lebih berorientasi secara seksual.
c. Perubahan Kognitif
Perubahan dalam kemampuan berfikir (piaget dalam Hendriati Agustiani,
2006: 31) merupakan suatu tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal
operation dalam perkembangan kognitifnya. Dalam tahapan yang bermula
pada umur 11 atau 12 tahun, remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang
kongkrit dari apa yang ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan
memungkinkan individu untuk berfikir secara abstrak yang kemudian
memberikan peluang bagi individu untuk mengimajinasi kemungkinan lain
dalam segala hal.
6. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu ialah masa remaja.
Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus
perkembangan individu, dan marupakan masa transisi yang dapat diarahkan
kepada perkembangan masa dewasa yang sehat (Konopka dalam Yudrik
Jahja, 2011: 237- 238), masa remaja ditandai dengan :
a. Berkembangnya sikap dependen kepada orang tua kearah independen.
b. Ketertarikan pada seksualitas
c. Kencederungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri,
nilai-nilai etika, dan isu-isu moral.
7. Konflik-Konflik Yang Dialami Oleh Remaja
Menurut Yudrik Jahja, 2011: 239 ada beberapa konflik yang sering
terjadi pada masa remaja, antara lain:
a. Konflik antara kebutuhan untuk mengendaliakn diri dan kebutuhan untuk
bebas dan merdeka.
b. Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan ketergantungan kepada
orangtua.
d. Konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika ia
kecil dahulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di
lingkungannya dalam kehidupan sehari hari.
e. Konflik menghadapi masa depan.
8. Minat Seks dan Perilaku Seks Pada Remaja
Tugas perkembangan yang penting dalam pembentukan hubungan baru
dan lebih matang dengan lawan jenis dan dalam memainkan peran yang tepat
dengan seksnya, remaja harus memperoleh konsep yang dimiliki ketika masih
kanak-kanak. Dorongan untuk melakukan hal tersebut muncul dari
tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuanya
tentang seks. Meningkatnya minat terhadap seks, remaja selalu berusaha
mencari lebih banyak informasi mengenai seks.
Sedikit remaja yang dapat memperoleh informasi seks dari orangtuanya.
Remaja mencari dari berbagai sumber informasi misalnya, membahas seks
dengan teman-temanya, buku-buku mengenai seks, bercumbu, mengadakan
percobaan dengan masturbasi (Hurlock, 1980). Pada remaja perempuan
banyak yang ingin mengetahui tentang keluarga berencana, pil anti hamil,
serta pengguguran kehamilan. Selain itu pada remaja laki-laki juga ingin
mengetahui tentang penyakit kelamin, kenikmatan seks, serta hubungan seks
C. Kajian Teori Mengenai Perilaku Seks Bebas dan Hiperseksual
1. Definisi Hiperseksual
Menurut Kafka (dalam Winder, 2014: 178) hiperseksual merupakan
perilaku seksual dengan frekuensi tinggi dimana individu memiliki keasyikan
seksual. Sedangakn menurut Kalichaman & Rompa (dalam Winder, 2014:
178) hiperseksual adalah dorongan seksual yang dilakukan terus-menerus dan
apabila tidak melakukan dorongan seksual tersebut maka akan menyebabkan
timbulnya kecemasan serta tekanan pada individu tersebut.
Mann, Hanson & Thornton (dalam Winder, 2014: 177) mendefinisikan
bahwa hiperseksual merupakan keasyikan seksual yang telah ditetapkan
sebagai ketertarikan abnormal seks yang mendominasi fungsi psikologis
sehingga mampu berpotensi menghasilkan frekuensi tinggi dalam perilaku
seksual. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli maka
dapat diambil kesimpulan bahwa hiperseksual adalah tingginya frekuensi
libido seseorang yang tidak dapat terkontrol dan ingin melakukan hubungan
seks secara terus-menerus.
2. Ciri-Ciri Hiperseksual
Menurut Kafka (dalam Winder, 2014: 179) menyebutkan ciri-ciri seorang
hiperseksual sebagai berikut:
a. Adanya peningkatan frekuensi dan intensitas seksual.
b. Memiliki tingkat libido yang tidak dapat di kontrol.
c. Memiliki pikiran dan perilaku seksual yang tinggi.
e. Melakukan hubungan seks dalam waktu seminggu maksimal 35 kali.
Sedangkan menurut Durand & Barlow, 2006: 102, ciri- ciri seorang
hiperseksual sebagai berikut:
a. Memiliki dorongan dan perilaku seksual yang merangsang.
b. Memiliki banyak fantasi dalam berhubungan seks.
c. Melakukan hubungan seks secara intens minimal 4- 5 kali dalam sehari
dengan jangka waktu selama 6 bulan.
d. Menggunakan objek seks yang wajar maupun yang tidak wajar.
3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Hiperseksual
Menurut (Sutarto A. Wiramiharja, 2005: 124) faktor penyebab seseorang
menjadi hiperseks dapat ditinjau dari segi kejiwaan, yaitu :
a. Seks sebagai satu-satunya cara berkomunikasi.
Dalam hal ini biasanya terjadi pada oang yang tidak mampu membuka
diri dan berkomunikasi dengan baik. Jadi, kalau ingin berkomunikasi harus
melalui hubungan intim.
b. Terobsesi segala hal yang berbau seks
c. Pelepas ketegangan
Pelepas ketegangan dialami oleh pekerja yang memiliki tingkat stres
tinggi, dan mereka sering melampiaskan ketegangannya dengan cara
berhubungan seksual.
Seseorang yang memiliki latar belakang keluarga, status sosial, atau
pendidikan yang lebih rendah, biasanya melampiaskan rasa rendah dirinya
dalam hubungan seks.
Sedangkan menurut Kafka (dalam Kaplan and Krueger, 2010: 182)
menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami
hiperseksual sebagai berikut:
a. Adanya penyalahgunaan obat-obatan
b. Memiliki tingkat kecemasan, depresi, serta kebosanan.
4. Perilaku Hiperseksual Pada Perempuan (Nymfomania)
Nymfomania merupakan gejala seksualitas pada perempuan yang
memiliki nafsu seksual terus-menerus serta patologis dan adanya dorongan
seks yang luar biasa. Menurut Kartini Kartono, 2003 penyebab terjadinya
nymfomania, antara lain :
a. Kurangnya kasih sayang dan kehangatan emosional pada masa
kanak-kanak.
b. Adanya perasaan “sexual lag behind”, yaitu selalu merasa kekurangan
atau ketinggalan dalam pengalaman seks dimasa remaja.
c. Selalu diliputi oleh ketegangan-ketegangan emosional (emotional
stresses), yang ingin disalurkan dalam bentuk relasi seks yang tidak
terkendali.
d. Timbulnya keinginan-keinginan rasional untuk dipuja-puja dan dicintai
e. Sebagai kompensasi pembalasan dendam terhadap ayah sendiri yang
dibencinya, atau terhadap pria bekas kekasihnya yang tidak setia.
5. Perilaku Hiperseksual Pada Laki-Laki (Satyriasis)
Satyriasis atau satyromania adalah keinginan seks yang tidak kunjung
puas, pantologis, dan luar biasa dorongan seksualnya. Penyebabnya hampir
sama dengan nymfomania, namun satyriasis sering disertai dengan priapisme,
yaitu ereksi atau ketegangan zakar atau penis secara terus-menerus, yang
biasanya tidak disertai dorongan atau nafsu seks. Nympomania dan satyriasis
bisa disembuhkan ataupun bisa dikurangan dengan metode psikoterapi
intensif.
6. Jenis-Jenis Perilaku Hiperseksual
Menurut Kafka (dalam Kaplan and Krueger, 2010: 182-183) jenis-jenis
perilaku hiperseksual dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
a. Masturbasi
Masturbasi merupakan salah satu jenis perilaku hiperseksual pada
perempuan. Masturbasi dilakukan sebagai pemuas seks pada perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaplan melaporkan 75% wanita di
Jerman melakukan masturbasi.
b. Pornografi
Pornografi merupakan salah satu jenis perilaku hiperseksual yang bisa di
alami oleh pria maupun perempuan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Kafka & Hennen melaporkan 63% dari laki-laki mengalami pornografi.
sistem gambar yang hampir tanpa kiasan atau mertafora (Laurence O‟Toole
dalam Fathurrofiq, 2014: 27).
c. Phone Sex
Phone sex juga termasuk ke dalam salah satu jenis perilaku hiperseksual
yang dimana subjek dapat memuaskan nafsu birahinya dengan cara berbicara
seksual secara online.
Adapun jenis-jenis perilaku hiperseksual menurut Yustinus Semium,
2014: 71 antara lain:
a. Pedofilia
Pedofilia berasal dari kata (pais, paios = anak; phileo = mencintai)
merupakan gangguan seksual dimana orang dewasa (pria atau wanita)
mencari kepuasan seksual dari anak kecil. Bentuk gangguan ini dalam
masyarakat di pandang sebagai kejahatan yang sangat mengerikan. Sebagian
pelaku dari pedofilia ini adalah laki-laki.
b. Voyeurisme
Voyeurisme berasal dari kata (voyeur = mengintip, mengintai)
merupakan kepuasan seks yang di dapatkan seseorang melalui jalan
diam-diam melihat orang telanjang melalui lubang angin, lubang kunci dan
lain-lain. Orang tersebut memiliki daya khayal, imajinasi dan fantasi seks yang
tinggi.
c. Promiskuitet
Promiskuitet merupakan tindakan seks yang terang-terangan yang
promiskuitet menuntut adanya kebebasan seks. Perempuan yang melakukan
promiskuitet disebut dengan “amatrice“, sedangkan laki-laki di sebut dengan “amateur“ atau “Don Juan“.
7. Akibat Dari Perilaku Hiperseksual
Menurut (Nevid dalam Santrock, 2003: 418) seorang Hiperseksual dapat
mengalami penyakit menular seksual (PMS) yaitu penyakit yang di tularkan
melalui kontak seksual. Kontak ini tidak terbatas pada hubungan vagina tetapi
juga termasuk di dalamnya kontak oral-genital dan anal-genital. Adapun 5
penyakit menular seksual yang mungkin bisa di alami oleh seorang
hiperseksual yaitu :
a. Gonnorhea
Gonnorhea merupakan penyakit menular seksual yang sering disebut
dengan kencing nanah atau GO. Gonnorhea juga merupakan salah satu
penyakit menular seksual yang paling sering terjadi di Amerika Serikat yang
disebabkan oleh bakteria gonococcus dan berkembang di selaput lendir di
mulut, tenggorokan, vagina, leher rahim, saluran kencing, dan sistem anal.
b. Sifilis
Sifilis (syphilis) merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh bakteria Treponema Pallidum, anggota famili Spiroc hete. Spiroc hete
membutuhkan lingkungan yang hangat dan lembab untuk dapat berkembang,
ditularkan melalui kontak penis-vegina, oral-genital, atau anal. Selain itu
dapat juga ditularkan oleh ibu hamil ke janin yang di kandungnya setelah usia
c. Chlamydia
Chlamydia adalah penyakit menular seksual yang paling umum, dimana
organisme menyebar melalui kontak seksual dan menyerang organ genital
pria dan wanita. Meskipun jumlah orang yang mengalami chlamydia lebih
sedikit dari pada gonnorhea dan sifilis, namun kemunculnya chlamydia jauh
lebih besar (Morris, Warren & Aral dalam Santrock, 2003: 419). Penyakit
menular ini kemungkinan 70% akan di alami oleh wanita dan 25%-50% pada
pria ketika melakukan hubungan seks
d. Herpes Genitalis
Herpes genitalis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
sejumlah virus yang dapat menyebabkan berbagai akibat, termasuk penyakit
menular nonseksual, seperti cacar air dan mononucleosis. Herpes ini terdiri
dua macam. Tipe 1 ditandai dengan luka dingin dan lepuh yang panas sekali.
Tipe 2 ditandai dengan luka yang sangat sakit dibagian bawah badan (alat
genital, paha, dan bokong).
e. AIDS
AIDS merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus,
human immunodeficiency virus (HIV), yang menghancurkan sistem kekebalan
tubuh. Menurut Dr. Frank Press Presiden National Academy of Sciences,
setiap tahunnya warga Amerika yang meninggal akibat AIDS sama dengan
8. Cara Menanggulagi Hiperseksual
Ada beberapa pendekatan untuk mengguragi atau mengontrol perilaku
hiperseksual antara lain:
a. Pendekatan psikodinamik
Pandangan psikodinamik terhadap sadisme seksual bertolak dari
pandangan Freud yang mengemukakan bahwa ada dua insting dasar pada
manusia, yaitu agresi dan seks. Energi-energi dari kedua insting ini dapat
ditukarkan sehingga agresi dapat memicu rangsangan seksual dan seks dapat
menimbulkan agresi (Bieber & Freud dalam Yustinus Semium, 2006: 56).
Teori Psikodinamik berpendapat bahwa gangguan-gangguan ini disebabkan
oleh suatu gangguan kepribadian yang mendasar, maka perawatan yang
dipusatkan pada usaha membantu perkembangan emosional dan mengatasi
konflik-konflik tak sadar.
b. Pendekatan belajar dan kognitif
Perawatan yang didasarkan pada pendekatan ini adalah membantu
supaya orang yang menderita penyimpangan seksual ini bisa mencapai secara
psikologis. Biasanya dicapai dengan suatu bentuk keterampilan sosial yang
akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan sosial. Latihan relaksasi juga
di perlukan dalam pendekatan ini (Bond, Hutchinson & Wolpe dalam
Yustinus Semium, 2006: 61).
c. Pendekatan Fisiologis
Pendekatan fisiologis dibagi menjadi dua, yang pertama melakukan
dipusatkan pada hipotalamus karena hipotalamus merupakan daerah otak
yang berfungsi untuk rangsangan seksual. Selain itu pendekatan kedua untuk
mengurangi dorongan seks adalah dengan pemakaian obat (antiandrogen).
Menurut (Money dalam Yustinus Semium, 2006: 63) Antiandrogen yang
sering digunakan adalah MPA (medroxy progesterone acetate). MPA dapat
menguragi pikiran-pikiran dan nafsu-nafsu yang menimbulkan tingkah laku
seksual yang tinggi. Dengan kata lain, obat berpengaruh untuk menggurangi
tingkah laku seksual, tetapi tidak menghilangkan kemungkinan kegiatan
seksual.
9. Pergaulan Bebas
Menurut Sudarsono, 1991: 63 pergaulan adalah merupakan proses
interaksi antara individu atau individu dengan kelompok. Sedangkan bebas
adalah terlepas dari kewajiban, aturan, tuntutan, norma agama dan norma
kesusilaan. Pergaulan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
seorang individu baik pergaulan positif atau negatif. Salah satu bentuk
pergaulan bebas adalah seks bebas. Masalah seks pada remaja saat ini
sangatlah menghawatirkan, dewasa ini perkembangan informasi yang begitu
pesat memudahkan para remaja untuk mengetahui berbagai hal dan dapat di
akses secara bebas di internet maupun media massa lainnya.
Kondisi di mana teknologi informasi dan komunikasi begitu bebas maka
kesempatan remaja untuk memperoleh informasi terhadap berbagai hal
termasuk masalah seks sangatlah terbuka. Masalahnya adalah tidak semua
kehidupan remaja. Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat akibat dari
proses modernisasi dan globalisasi telah mengakibatkan perubahan pola
kehidupan, etika dan nilai-nilai moral khususnya hubungan perilaku seksual.
Bagi masyarakat masalah seks remaja sekarang ini merupakan masalah sosial
karena perilaku tersebut sudah melanggar norma dan peratauran-peratauran
yang telah di tetapkan. Menururt Kartini Kartono, 1981: 264 salah satu
masalah sosialyang ada dalam pergaulan bebas sebagai berikut:
1. Semua bentuk tingkah laku yang melanggar adat-istiadat masyarakat
2. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai menganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, apalagi jika melihat kenyataan
bahwa pergaulan remaja sekarang sangatlah bebas, dimana free seks juga
sering terjadi pada remaja-remaja yang sedang menjalin hubungan. Hal ini
sangat membuat resah orang tua khususnya dan masyarakat pada umumnya,
namun kebanyakan para orang tua dan masyarakat hanya menyalahkan
pelaku seks bebas tanpa melihat latar belakang terjadinya perilaku seks bebas
tersebut.
D. Kerangka Berfikir
Masa remaja adalah masa dimana waktu untuk menjelajah dan
bereksperimen, berfantasi seksual, dan menjadikan seksualitas sebagai bagian
dari indentitas diri (Santrock, 2003: 400). Pada masa remaja cenderung
rasa suka dan berakhir dengan interaksi intim atau yang disebut dengan
pacaran. Banyak hal yang terjadi pada fase pacaran salah satunya masalah
seksualitas. Seksualitas merupakan salah satu ranah yang paling pribadi, dan
secara umum privasi dalam kehidupan seseorang.
Rumah kontrakan identik dengan pasangan muda suami istri yang
telah sah tetapi belum mempunyai rumah sendiri, namun sekarang
kondisinya justru rumah kontrakan tersebut di sewakan kepada seseorang
yang belum menikah dan berstatus mahasiswa yang terkadang di salah
gunakan sebagai tempat untuk kumpul kebo dan juga melakukan hubungan
seks bebas. Kost ataupun kontrakan memang sangat signifikan untuk
mendukung aktivitas seks bebas.
Pada masa remaja, konsep diri telah terbentuk dengan kokoh walaupun
kelak sering ditijau kembali dengan adanya pengalaman sosial dan pribadi
yang baru. Pengaruh kelompok teman sebaya dan keluarga mempunyai
kontribusi baik yang positif maupun negatif terhadap perkembangan
kepribadian remaja. Konsep diri merupakan gambaran diri terhadap dirinya
sendiri (Hurlock, 1978: 81).
Setiap orang adalah makhluk seksual yang memiliki minat dan fantasi
dalam berhubungan sekual. Namun, ketika fantasi atau hasrat tersebut mulai
membahayakan diri kita dan orang lain, maka hal tersebut dapat digolongkan
abnormal (Sutarto, 2005: 118). Remaja memiliki rasa keingintahuan yang
tinggi mengenai seksualitas, hal tersebut membuat seorang remaja
remaja yang telah melakukan hubungan seks di atas batas normal atau yang
biasa di sebut dengan penyimpangan seksual.
Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang
untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya dan
biasanya cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan objek
seks yang tidak wajar (Sutarto, 2005: 118). Salah satu bentuk penyimpangan
seksual yang lagi populer pada remaja adalah hiperseksual. Orang yang
mengalami hiperseksual tidak pernah merasa puas saat berhubungan seks,
walaupun sudah mengalami orgasme (Lyne Low, 2006: 21). Remaja yang
mengalami hal tersebut merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya sendiri,
Nilai- nilai, keyakinan religius dan budaya juga berkontribusi dalam
pembentukan konsep diri seseorang.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam hubungan
interpersonal, karena setiap individu akan bertingkah laku sesuai dengan
konsep dirinya. Pelaku seks bebas mencari kepuasanya dengan melakukan
aktivitas seks, namun sayangnya upaya untuk memenuhi kebutuhan seksual
tersebut sering ditempuh dengan cara yang kurang baik misalnya dengan cara
melakukan perselingkuhan bahkan tidak segan-segan melakukan
pembunuhan.
E. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana pemahaman subjek mengenai dirinya sendiri?
2. Bagaimana harapan yang dimiliki subjek?
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Menurut M. Djunaidi dan Ghony Fauzan Almanshur (2012: 25)
adalah penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat
dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara-cara kuantifikasi.
Penelitian kualitatif dapat menunjukan kehidupan masyarakat, sejarah,
tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan sosial, dan hubungan
kekerabatan. Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada
penggunaan metode studi kasus. Deddy Mulyana (2004: 201), studi kasus
adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang
individu, suatu kelompok, suatu komunitas atau situasi sos