BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan yang utama di negara berkembang (Setyati dkk., 2012). Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia. Infeksi pada saluran nafas merupakan penyakit umum terjadi pada masyarakat, yang merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada anak-anak dan orang dewasa (Nugroho dkk., 2011).
Beberapa kasus pneumonia disebabkan oleh kuman, tetapi juga diakibatkan oleh penyebab yang tidak menular seperti, asupan makanan atau status gizi yang berubah dan penggunaan obat-obat steroid. Untuk menentukan penyebab pneumonia sangat sulit karena pengambilan spesimen dari jaringan paru-paru yang jarang. Spesimen dahak yang diperoleh dari saluran napas atas tidak akurat untuk mencerminkan penyebab infeksi saluran napas bawah. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen yang paling umum penyebab pneumonia,
diikuti Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae (Setyati dkk., 2012). Infeksi pada penderita pneumonia juga dapat diperoleh dari kuman di rumah sakit (nosokomial). Kebanyakan infeksi ini disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui air dan udara ruang atau benda-benda yang tidak steril (Noer, 2012).
Dari hasil penelitian sebelumnya, kuman utama penyebab pneumonia adalah Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumonia. Sensitivitas kuman baik
terhadap antibiotik imipenem, amikasin, siprofloksasin, dan fosfomisin. Pseudomonas aeruginosa merupakan faktor risiko kematian pada penderita pneumonia (Setyati dkk., 2012).
risiko yang akan membuat bakteri mutasi dan menjadi resiten. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik merupakan masalah global, sehingga penggunaan antibiotik sangat penting untuk mencegah resistensi (Noer, 2012).
Ketepatan penggunaan antibiotik sangat penting untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi. Berdasarkan golongannya, jenis antibiotik sangat bervariasi. Jika tidak tepat penggunaan antibiotik dapat menyebabkan resistensi bakteri, seperti tetrasiklin merupakan antibiotik yang resistensi terhadap bakteri E. coli dan Streptococcus pneumoniae (Setiabudy, 2008). Sehingga perlu dilakukan
uji sensitivitas kuman untuk menentukan antibiotik yang sesuai.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pola kuman penyebab pneumonia pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta periode Januari-September 2015?
2. Bagaimana sensitivitas kuman terhadap antibiotik pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta periode Januari-September 2015?
3. Apakah penggunaan antibiotik di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta periode Januari-September 2015 sudah tepat sesuai dengan hasil kultur?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat disimpulkan tujuan penelitian ini sebagai berikut :
2. Untuk mengetahui sensitivitas kuman terhadap antibiotik pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta periode Januari-September 2015.
3. Untuk mengetahui ketepatan penggunaan antibiotik berdasarkan hasil uji kultur pada pasien pneumonia rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta periode Januari-September 2015.
D. Tinjauan Pustaka 1. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia merupakan istilah umum yang menandakan inflamasi pada daerah pertukaran gas dalam paru, biasanya mengimplikasikan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi. Pneumonia bisa didapat di komunitas baik pada individu yang sebelumnya bugar dan sehat atau pada mereka yang telah memiliki penyakit seperti Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau asma. Pneumonia didapat di rumah sakit (nosokomial) didefinisikan sebagai pneumonia yang berkembang dua hari atau lebih setelah dirawat di rumah sakit untuk penyebab lain (Francis, 2012).
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia yaitu pneumonia masyarakat (community-acquired pneumonia) dan pneumonia rumah sakit (hospital-acquired pneumonia). Community Acquired Pneumonia atau CAP adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit, sedangkan Hospital Acquired Pneumonia atau HAP adalah pneumonia yang terjadi lebih dari
48 jam setelah dirawat di rumah sakit (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
b. Terapi
Terapi yang dapat dilakukan pada pneumonia dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Penyebab dari lingkungan dengan gejala ringan : amoksisilin atau eritromisin
(alergi penisilin).
b. Penyebab dari lingkungan dengan gejala berat : sefuroksim dan eritromisin. c. Penyebab dari rumah sakit (nosokomial):
1). Bakteri Gram-negatif : gentamisin dan sefalosporin generasi ketiga.
2). Pseudomonas sp.: siprofloksasin atau piperasilin dan tazobaktam atau
seftazidim (Locke, 2013).
2. Bakteri Penyebab Pneumonia
Community Acquired Pneumonia atau CAP merupakan salah satu penyakit
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Bakteri yang berperan dalam Hospital Acquired Pneumonia atau HAP adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella sp,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003).
Banyak bakteri penyebab pada pneumonia, secara spesifik yang didapatkan dari masyarakat antara lain Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan Chlamydia pneumoniae
(Elliott et al., 2009). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan patogen utama bagi manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa tipe infeksi Staphylococcus aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya mulai dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang mengancam jiwa. Ciri-cirinya pada biakan tampak kokus tunggal, berpasangan, berbentuk tetrad, dan berbentuk rantai. Staphylococcus aureus tidak bergerak dan tidak membentuk spora (Brooks et al., 2005).
Streptococcus pneumoniae merupakan golongan bakteri Gram positif yang
heterogen. Simpai tersusun atas asam hialuronat tampak jelas pada biakan dan menghalangi fagositosis. Dinding sel mengandung protein, karbohidrat, dan peptidoglikan (Brooks et al., 2005).
(uji virus). Terapi yang efektif dengan eritromisin atau tetrasiklin dan fluorokuinolon (Elliott et al., 2009).
Chlamydia pneumoniae adalah penyebab umum pneumonia pada orang
berusia 5-35 tahun. Diagnosis dilakukan dengan serologi dan terapi antibiotik dengan eritromisin, tetrasiklin, atau fluorokuinolon (Elliott et al., 2009).
Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif, berkapsul, bakteri
bergerak, mempunyai flagella, berukuran sekitar 0,5-1,0 µm. Bakteri ini tidak menghasilkan spora dan tidak memfermentasikan karbohidrat. Dan dapat ditemukan di alam contohnya di tanah, air, tanaman, dan hewan. Bakteri ini merupakan penyebab pneumonia infeksi nosokomial (Brooks et al., 2005).
Klebsiella pneumonia adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang,
memiliki kapsul, bakteri yang non motil (tidak bergerak), dapat memfermentasikan laktosa. Kadang-kadang Klebsiella pneumonia menyebabkan infeksi pada saluran kencing dan juga radang pada paru-paru. Bakteri ini juga menyebabkan infeksi di rumah sakit (Brooks et al., 2005).
Mekanisme resistensi terhadap antibiotik dari bakteri Gram negatif adalah resistensi melalui penutupan celah atau pori pada dinding sel bakteri sehingga meningkatkan produksi betalaktamase. Struktur betalaktam rusak dan terjadi peningkatan aktivasi pada pompa keluaran dalam membran. Antibiotik tidak dapat menghambat sintesis protein bakteri. Hal ini menyebabkan bakteri membawa obat keluar sebelum memberikan efek (Noer, 2012).
3. Antibiotik
samping tersusun dari asam amino bebas. Pada gugus asam amino bebas dapat mengikat berbagai radikal, misalnya penisilin G dengan radikal gugus benzil. Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan menghasilkan efek bakterisid (Istiantoro et al., 2008).
Mekanisme kerja antibiotik golongan beta laktam adalah obat bergabung dengan penisilin binding proteins (PBPs) pada kuman sehingga menghambat sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi antara rantai peptidoglikan terganggu. Hal ini menyebabkan aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel (Istiantoro et al., 2008).
Mekanisme resistensi pada penisilin adalah
a.Pembentukan enzim beta laktamase misalnya pada kuman S aureus, Haemophilus influenzae dan kuman Gram-negatif. Pada kuman Gram-Positif
mensekresi betalaktamase dalam jumlah yang relatif besar. Kuman Gram-negatif hanya sedikit mensekresi beta laktamase. Kebanyakan beta laktamase dihasilkan kuman melalui genetik oleh plasmid.
b.Kuman yang tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma) c.Obat tidak mencapai PBP atau perubahan PBP (Istiantoro et al., 2008).
Makrolid, obat-obat ini terikat pada subunit 50S dari ribosom dan tempat perlekatannya ialah rRNA 23S. Obat-obat ini dapat mengganggu pembentukan kompleks permulaan pada sintesis rantai peptida atau dapat mengganggu reaksi translokasi aminoasil. Beberapa bakteri yang resisten terhadap makrolid tidak memiliki reseptor yang tepat pada ribosom (melalui metilasi rRNA). Ini mungkin dikendalikan oleh plasmid atau kromosom. Contoh antibiotik golongan makrolid adalah eritromisin, azitromisin, klaritromisin (Brooks et al., 2005).
dibandingkan bakteri Gram-negatif, misalnya Klebsiella, Pseudomonas, H. Influenzae. Antibiotik golongan sefalosporin tidak efektif terhadap Pseudomonas
aeruginosa dan Enterococcus. Sefoksitin aktif terhadap kuman anaerob (Istiantoro
et al., 2008).
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri Gram negatif; pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transpor aktif. Setelah masuk antibiotik berikatan secara reversibel dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan akibat terhentinya sintesis protein (Setiabudy, 2008).
Beberapa spesies kuman, terutama Streptococcus, E. coli, P. aeruginosa, S. pneumoniae, dan S. aureus makin meningkat resistensinya terhadap tetrasiklin.
Mekanisme resistensi yang terpenting adalah diproduksinya pompa protein yang akan mengeluarkan obat dari dalam sel bakteri. Protein ini dikode dalam plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri lain melalui proses transduksi atau konjugasi. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua tetrasiklin lainnya, kecuali minosiklin pada resistensi S. aureus dan doksisiklin pada resistensi B. fragilis (Setiabudy, 2008).
Kuinolon poten terhadap beberapa kuman Gram-negatif antara lain E. coli, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Kuinolon bekerja dengan menghambat
subunit A dari enzim DNA girase kuman mengakibatkan replikasi DNA terhenti. Fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloksasin, dan norfloksasin mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap Escherichia coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Haemophilus influenzae. Kuinolon daya antibakterinya
kurang baik terhadap kuman Gram positif (Setiabudy, 2008).
lain terhadap fungsi sel mikroba, yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keutuhan membran, dan keutuhan RNA (Istiantoro et al., 2008).
Resistensi bakteri terhadap antibiotik membawa masalah tersendiri yang dapat menggagalkan terapi dengan antibiotik. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah. Pada penyakit pneumonia, dinding sel pseudomonas tidak dapat ditembus oleh penisilin G. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya reseptor yang cocok atau dinding sel mikroba tidak dapat ditembus oleh antibiotik (Wattimena, 2005).
E. Keterangan Empiris