ABSTRAK
Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan pengihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis. Penyandang low vision hanya memiliki sisa penglihatan yang sangat terbatas untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Berbagai keterbatasan yang dialami oleh penyandang low vision dapat menurunkan derajat Psychological Well-Being (PWB) yang mereka miliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dalam meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) pada penyandang low vision di Yayasan “X” Bandung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang.
Data diperoleh melalui kuesioner, observasi dan interview. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur derajat PWB adalah hasil adaptasi dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) dari Ryff (1989) yang telah dimodifikasi oleh Indah (2013). Validitas alat ukur berkisar antara 0,334-0,797 dan reliabilitas 0,905. Sementara untuk mengukur fleksibilitas psikologis digunakan Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II) dari Hayes (2011). Desain penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Posttest.
v ABSTRACT
Low vision is one of visual impairment that can not be rectified even after medical treatment. People with low vision have only a very limited residual vision to perform daily activities. The existence of various limitations faced by people with low vision due to limited vision can reduce the degree of their Psychological Well-Being (PWB). The aim of this research is to find out the influences of Acceptance and Commitment Therapy (ACT) in increasing the degree of Psychological Well-Being (PWB) on the people with low vision “X” foundation in Bandung. Subject of this research were 2 persons. Data were obtained through questionnaire, observation and interview.
The instrument that used to measure the degree of PWB is adopted from Scale of Psychological Well-Being (SPWB) by Ryff (1989) which has been modified by Indah (2013). The validity of instrument ranged from 0,334-0,797 and the score of reliability was 0,905. While Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II) by Hayes (2011) is used to measure psychological flexibility. The research design used one group pretest-posttest.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... ii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xv
DAFTAR DIAGRAM ... xvi
DAFTAR GRAFIK ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 16
1.2. Identifikasi Masalah ... 16
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 17
1.3.1. Maksud Penelitian ... 17
1.3.2. Tujuan Penelitian ... 17
1.4. Kegunaan Penelitian... 17
1.4.1. Kegunaan teoritis ... 17
1.4.2. Kegunaan Praktis ... 18
ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19
2.1. Psychological Well-Being (PWB) ... 19
2.1.1. Definisi Psychological Well-Being (PWB) ... 19
2.1.2. Sejarah Psychological Well-Being (PWB) ... 19
2.1.3. Dimensi Psychological Well-Being (PWB) ... 25
2.1.4. Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being (PWB) ... 29
2.2. Big Five Personality ... 37
2.3 Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 41
2.3.1. Definisi Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 41
2.3.2. Konsep Dasar Teori Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 43
2.3.3. Prinsip Dasar Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 51
2.3.4. Metode Pelaksanaan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 56
2.4.5. Aplikasi Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 58
2.4. Masa Dewasa Awal ... 59
2.4.1 Perkembangan Fisik ... 60
2.4.2 Perkembangan Kognitif ... 62
2.4.3 Perkembangan Sosio Emosi ... 63
2.5. Low Vision . ... 65
2.5.1 Definisi Low Vision ... 65
2.5.2 Klasifikasi Visual Impairment ... 67
2.5.3 Ciri-Ciri Low Vision ... 68
2.5.4 Dampak Low Vision ... 69
2.6. Metode Experiential Learning ... 80
2.7. Kerangka pemikiran ... 86
2.8. Hipotesis Penelitian ... 102
BAB III METODE PENELITIAN... 104
3.1. Metodologi Penelitian ... 104
3.2. Variabel Penelitian,Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ... 106
3.2.1. Variabel Penelitian ... 106
3.2.2. Definisi Konseptual ... 106
3.2.3. Definisi Operasional... 107
3.3. Teknik Pengambilan Data ... 108
3.3.1. Data Utama ... 108
3.3.2. Data Penunjang ... 113
3.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 114
3.4.1. Validitas Alat Ukur ... 114
3.4.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 114
3.5. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 115
3.6. Teknik Analisis Data ... 116
3.7. Hipotesis Statistik ... 116
3.8. Rancangan Intervensi ... 116
Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 130
4.1. Hasil dan Pembahasan Subjek 1 ... 130
xi
4.1.1.1 Identitas ... 130
4.1.1.2 Riwayat Keluhan ... 131
4.1.1.3 Status Praesens ... 134
4.1.1.4 Anamnesa ... 135
4.1.2 Hasil Pengolahan Data Subjek 1 ... 140
4.1.2.1 Observasi Proses Terapi ... 140
4.1.2.2 Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 187
4.1.2.3 Pengujian Hipotesis Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 193
4.1.2.4 Hasil Pengukuran Derajat Fleksibilitas Psikologis ... 194
4.1.3 Pembahasan Subjek 1 ... 195
4.2 Hasil dan Pembahasan Subjek 2 ... 224
4.2.1 Gambaran Subjek 2 ... 224
4.2.1.1 Identitas ... 224
4.2.1.2 Riwayat Keluhan ... 224
4. 2.1.3 Status Praesens ... 229
4. 2.1.4 Anamnesa ... 230
4. 2.2 Hasil Pengolahan Subjek 2 ... 236
4. 2.2.1 Observasi Proses Terapi ... 236
4. 2.2.2 Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 281
4. 2.2.3 Pengujian Hipotesis Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 287
4. 2.3 Pembahasan Subjek 2 ... 289
4. 3 Perbandingan Subjek 1 dan Subjek 2 ... 315
4. 3.1 Persamaan ... 315
4. 3.2 Perbedaan ... 316
4. 3.3 Kesimpulan ... 318
BAB V KESIMPULAN & SARAN ... 320
5.1. Kesimpulan ... 320
5.2. Saran ... 321
5.2.1. Saran Praktis ... 321
5.2.2. Saran Penelitian ... 322
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RUJUKAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi Visual Impairment (WHO) ... 67
Tabel 3.1. Rancangan Penelitian ... 104
Tabel 3.2. Kisi-Kisi Alat Ukur PWB ... 112
Tabel 3.3. Sistem Penilaian Alat Ukur ... 112
Tabel 3.4 Pengkategorian PWB ... 112
Tabel 3.5 Pengkategorian per aspek PWB ... 113
Tabel 3.6 Rancangan Intervensi ACT sesi I... 120
Tabel 3.7 Rancangan Intervensi ACT sesi II ... 122
Tabel 3.8 Rancangan Intervensi ACT sesi III ... 124
Tabel 3.9 Rancangan Intervensi ACT sesi IV ... 125
Tabel 3.10 Rancangan Intervensi ACT sesi V ... 127
Tabel 3.11 Rancangan Intervensi ACT sesi VI ... 129
Tabel 4.1 Pre-Teatment Subyek 1 ... 141
Tabel 4.2 Sesi I Subyek 1 ... 148
Tabel 4.3 Sesi II Subyek 1 ... 154
Tabel 4.4 Sesi III Subyek 1 ... 160
Tabel 4.5 Sesi IV Subyek 1 ... 165
Tabel 4.6 Sesi V Subyek 1 ... 177
Tabel 4.7 Sesi VI Subyek 1 ... 184
Tabel 4.8 Post-Test II dan III Subyek 1 ... 186
Tabel 4.10 Pre-Teatment Subyek 2 ... 238
Tabel 4.11 Sesi I Subyek 2 ... 244
Tabel 4.12 Sesi II Subyek 2 ... 250
Tabel 4.13 Sesi III Subyek 2 ... 257
Tabel 4.14 Sesi IV Subyek 2 ... 262
Tabel 4.15 Sesi V Subyek 2 ... 273
Tabel 4.16 Sesi VI Subyek 2 ... 278
Tabel 4.17 Post-Test II dan III Subyek 2 ... 280
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1. Kerangka Pikir ... 102
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 4.1. Hasil Pengukuran Derajat PWB Subyek 1 ... 188
Diagram 4.2. Hasil Pengukuran Dimensi Self Acceptance Subyek 1 ... 189
Diagram 4.3. Hasil Pengukuran Dimensi Positive Relation with Others
Subyek 1 ... 190
Diagram 4.4. Hasil Pengukuran Dimensi Autonomy Subyek 1 ... 190
Diagram 4.5. Hasil Pengukuran Dimensi Environmental Mastery
Subyek 1 ... 191
Diagram 4.6. Hasil Pengukuran Dimensi Purpose in Life Subyek 1 ... 192
Diagram 4.7. Hasil Pengukuran Dimensi Personal Growth Subyek 1 ... 192
Diagram 4.8. Hasil Pengukuran Derajat PWB Subyek 2 ... 282
Diagram 4.9. Hasil Pengukuran Dimensi Self Acceptance Subyek 2 ... 283
Diagram 4.10. Hasil Pengukuran Dimensi Positive Relation with Others
Subyek 2 ... 284
Diagram 4.11. Hasil Pengukuran Dimensi Autonomy Subyek 2 ... 284
Diagram 4.12. Hasil Pengukuran Dimensi Environmental Mastery
Subyek 2 ... 285
Diagram 4.13. Hasil Pengukuran Dimensi Purpose in Life Subyek 2 .... 286
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Hasil Pengukuran Derajat Fleksibilitas Psikologis
Subyek 1 ... 194
Grafik 4.2. Hasil Pengukuran Derajat Fleksibilitas Psikologis
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Psychological Well-Being (PWB)
Lampiran 2. Acceptance and Action Questionnaire (AAQ-II)
Lampiran 3. Mindfulness Attention Awareness Scala (MAAS)
Lampiran 4. Kuesioner Big Five Personality
Lampiran 5. Identitas Subjek Penelitian
Lampiran 6. Surat Kesediaan Mengikuti Terapi
Lampiran 7. Evaluasi Terapi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Panca indera memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh pengetahuan
dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia. Salah satu indera yang
paling dominan dalam kehidupan manusia adalah indra penglihatan, karena
sebagian besar informasi diperoleh melalui mata, selain itu mata juga membantu
manusia untuk beraktivitas secara mandiri dalam kehidupan sehari-hari.
Kesehatan panca indera merupakan syarat penting untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera
lahir batin. Hal ini tercantum pula dalam Undang-Undang no.23 tahun 1992
tentang kesehatan. Disana tertulis bahwa pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dengan
demikian, terjadinya gangguan pada penglihatan merupakan salah satu masalah
kesehatan yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan produktivitas seseorang
yang dapat mengurangi kesejahteraan hidupnya.
Saat ini gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi salah satu
masalah kesehatan yang menjadi perhatian dunia, khususnya di Asia dan Afrika.
Gangguan penglihatan berada pada urutan keenam di dunia sebagai penyebab
2
Australia, 2007). Berdasarkan data WHO di tahun 2002, diperkirakan sebanyak 285 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan. Dari jumlah tersebut,
39 juta orang mengalami totally blind dan 246 juta orang mengalami low vision.
Data tersebut menunjukan bahwa jumlah penyandang low vision di dunia jauh
lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah totally blind. Bahkan 90%
diantaranya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia
(http://rsmataaini.co.id).
Berdasarkan hasil penelitian penelitian Departemen Kesehatan tahun 2002,
jumlah gangguan penglihatan di Indonesia mencapai 5,8 juta orang. Angka ini
meliputi gangguan penglihatan berat, yaitu sebanyak 2,2 juta orang dan 3,6 juta
orang dengan gangguan sedang. Penyebab paling tinggi dari gangguan kesehatan
indera penglihatan tersebut adalah; katarak (52%), glukoma (13,4%), kelainan
refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) serta gangguan
mata lainnya (http://www.depkes.go.id). Jumlah tersebut tersebar di seluruh
Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Meskipun belum terdapat data statistik
yang pasti untuk menunjukan jumlah penyandang low vision, namun diperkirakan
jumlahnya cukup tinggi. Informasi tersebut didukung oleh hasil survey yang
dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung, yaitu bahwa
di beberapa kecamatan provinsi Jawa Barat ditemukan peningkatan jumlah anak
berkebutuhan khusus (ABK) setiap tahunnya. Peningkatan tersebut berkisar antara
50 - 75 anak dari setiap kecamatan, dimana sekitar 5 - 7 orang anak diantaranya
3
Istilah low vision masih cukup asing di masyarakat, oleh karena itu
banyak sekali yang mengabaikan gejalanya dan baru melakukan tindakan
pengobatan apabila sudah tergolong parah. Kondisi demikian salah satunya
disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang low vision. Menurut seorang
pemerhati low vision, dr. Ine Renata Musa, Sp.M., selama ini masyarakat hanya
mengenal istilah tunanetra (blind), padahal tunanetra terdiri dari low vision dan
totally blind (www.syamsidhuhafoundation.org). Selanjutnya, ketua Yayasan Pusat Pelayan Terpadu Low Vision Wyata Guna Bandung, Irham Hosni
mengatakan bahwa low vision berbeda dengan totally blind. Penyandang low
vision tidak kehilangan seluruh penglihatannya. Hanya saja, selama ini penyandang low vision sering dianggap “buta” dan disamakan dengan totally
blind, sehingga penanganannya menjadi kurang optimal. Beban psikologis yang dialami penyandang low vision pun menjadi lebih besar dibandingkan dengan
totally blind. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka seperti hidup di antara dua dunia, yaitu mereka bukan orang yang dapat melihat secara normal namun
mereka juga bukan orang yang buta.
Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis, seperti
dengan menggunakan kaca mata, lensa kontak atau operasi. Ketajaman
penglihatan para penyandang low vision kurang dari 6/18 meter sampai dengan
persepsi cahaya, dengan luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi.
Penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan
4
low vision dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya karena faktor bawaan
(kelahiran atau trauma setelah kelahiran, genetis atau kelainan perkembangan),
hereditas atau kondisi lain seperti; infeksi atau penyakit, trauma serta faktor
perubahan usia (Freeman, 2007).
Kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penglihatan merupakan suatu
peristiwa yang tidak mudah untuk dihadapi oleh seseorang. Terutama jika
kehilangan penglihatan tersebut terjadi secara tiba-tiba. Situasi ini sering
diidentikkan dengan kehilangan segalanya yang kemudian dapat membuat
seseorang merasa bahwa hidupnya telah berakhir. Fenomena inilah yang
kemudian melatarbelakangi salah satu yayasan di Bandung untuk membuat
program, “Care For Low vision”. Program ini bertujuan untuk memberikan
pendampingan bagi para penyandang low vision dan keluarganya, serta
memberikan edukasi publik dengan tujuan agar para penyandang low vision lebih
paham akan kondisinya, sehingga mereka lebih siap menghadapi
konsekuensi/dampak dari gangguan penglihatan tersebut. Salah satu divisi yang
dikelola oleh “X” bagi para penyandang low vision adalah pendampingan atau
support group. Aktivitas tersebut ditujukan agar para penyandang low vision mempunyai perasaan sepenanggungan sehingga tidak merasa sendiri. Selain itu,
diharapkan para penyandang low vision mendapatkan informasi yang benar dan
up to date mengenai gangguan yang dialaminya. Adanya aktivitas tersebut pun membuat para pengurus lebih mengetahui kebutuhan mereka dalam membuat
berbagai program baru untuk mengembangkan potensi atau keterampilan para
5
Low vision pada umumnya terjadi karena faktor usia, namun dapat juga terjadi pada mereka yang masih berada di usia produktif. Dari jumlah
penyandang low vision yang terdaftar di Yayasan “X” Bandung, rata-rata mereka
berusia 20 - 30 tahun atau berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Seperti
telah disebutkan diatas, bahwa gangguan penglihatan merupakan salah satu
masalah kesehatan yang dapat menurunkan kesejahteraan psikologis
penyandangnya. Terlebih ketika gangguan penglihatan tersebut terjadi pada saat
seseorang mulai memasuki masa dewasa, masa ini dikatakan juga sebagai masa
produktif yaitu masa-masa dimana seseorang memiliki tanggung jawab yang
besar untuk menyelesaikan pendidikannya, bekerja dan membina keluarga.
Selain adanya dampak dari kondisi fisik, peyandang low vision juga
mengalami tekanan secara psikologis seiring dengan kondisinya. Beberapa
kondisi psikologis yang harus dihadapi oleh para penyandang low vision,
diantaranya adalah terjadinya ketidakseimbangan mental pasca menjadi
penyandang low vision, keputuasaan, kecemasan dan ketidakpastian sebagai
akibat minimnya informasi tentang low vision, kesulitan dalam mengidentifikasi
atau memiliki konsep diri positif, antara melihat dan tidak melihat, kesulitan
penyesuaian diri dan penyesuaian sosial ketika menggunakan alat bantu,
ketidakmampuan mengkomunikasikan berbagai kendala yang dihadapi akibat
kondisi low vision yang dialaminya, serta merasa rendah diri dan merasa tidak
mampu bersaing dengan orang lain (http://rehsos.kemsos.go.id).
Kehilangan penglihatan yang terjadi di usia dewasa, memunculkan lebih
6
kehidupan. Hal ini disebabkan karena mereka pernah bergantung pada
penglihatannya untuk mengenal dan berhubungan dengan dunia, sehingga
keadaan ini berdampak pada caranya mempersepsi banyak hal, mobilitasnya,
pekerjaannya, hubungan pribadinya, dan berbagai kegiatan sehari-harinya.
Perubahan yang sangat dramatis ini menuntut usaha yang cukup besar untuk
dapat menyesuaikan diri. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
gangguan penglihatan sering mengakibatkan tekanan psikologis yang signifikan.
Tingginya derajat stres dan depresi pada orang-orang yang mengalami gangguan
penglihatan telah dilaporkan dalam banyak penelitian.
Beberapa penelitian juga menemukan penurunan kualitas hidup yang
signifikan akibat kehilangan penglihatan (Gillman, Simmel, & Simon, 1986;
Baik, 2008). Kehilangan penglihatan juga dapat mengakibatkan perasaan malu
(Nemshick, McCay & Ludman, 1986), hilangnya integritas diri (Taylor & Upton,
1988), dan penurunan rasa percaya diri (Tolman, Hill, Kleinschmidt & Gregg,
2005), serta harga diri yang rendah (Roy & Mackay, 2002). Dampak dari
kehilangan penglihatan telah terbukti sangat mengancam persepsi seseorang
terhadap identitas dirinya karena mungkin tidak mampu lagi bekerja pada profesi
yang dipilihnya, sehingga merasa tidak dapat diandalkan untuk keluarganya dan
tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang memberikan kontribusi
untuk dirinya (Duponsel 2012).
Berdasarkan wawancara terhadap beberapa orang penyandang low vision
yang tergabung di Yayasan “X” Bandung, pada saat ‘divonis’ mengalami low
7
mewujudkan cita-citanya. Pada umumnya mereka menolak untuk menerima
kenyataan dan menganggap bahwa diagnosa yang dokter salah. Mereka tetap
yakin bahwa penglihatan mereka masih dapat disembuhkan. Reaksi penolakan
ini muncul dalam berbagai bentuk, beberapa dari mereka ada yang tidak mau
memeriksakan kembali dirinya ke dokter dan lebih memilih untuk melakukan
pengobatan alternatif, ada juga yang memeriksakan kondisi matanya
berulang-ulang ke sejumlah dokter. Kebanyakan dari mereka juga tidak bersedia mengikuti
anjuran dokter untuk segera mengikuti rehabilitasi agar mereka lebih mudah
untuk menyesuaikan diri ketika penglihatannya semakin menurun atau bahkan
mengalami totally blind. Hal ini disebabkan karena pada umumnya para
penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan meskipun sangat
terbatas.
Sebagian besar penyandang low vision menghayati keterbatasan
penglihatan membuat mereka sangat tergantung kepada keluarga dan lingkungan
saat beraktivitas, misalnya bepergian, membaca dan menulis. Padahal beberapa
dari mereka masih berstatus sebagai mahasiswa, sehingga mereka mengalami
kesulitan dalam menjalani studinya, diantaranya kesulitan untuk mendapatkan
informasi, kesulitan untuk mengikuti ujian karena mereka harus mencari orang
yang bersedia membantu membacakan materi ujian, bahkan beberapa dari
mereka harus drop out dari kuliahnya dan pindah ke perguruan tinggi lain yang
menyediakan fasilitas untuk penyandang low vision. Berbagai keterbatasan yang
ada membuat mereka merasa tidak memiliki kelebihan didalam dirinya dan tidak
8
mereka sulit untuk menerima bahwa mereka mengalami low vision. Tidak hanya
mereka namun keluarganya pun sulit untuk menerima, sehingga keluarganya
tetap memperlakukan dan menuntut mereka seperti layaknya orang yang
memiliki penglihatan normal. Hal ini pun kemudian sering menjadi pemicu stres
dan frustrasi terhadap kondisi yang mereka alami.
Terjadinya penurunan penglihatan yang terus menerus, membuat para
penyandang low vision selalu diliputi rasa cemas akan kehilangan penglihatannya
secara total. Saat penglihatannya benar-benar mengalami penurunan yang drastis,
pada umumnya mereka marah dan menyalahkan Tuhan. Mereka terus
bertanya-tanya “mengapa saya?”. Berbagai gangguan emosi mulai muncul, mereka
menjadi mudah marah, mudah tersinggung, mudah menangis dan putus asa
dengan keadaannya. Mereka juga mulai mengurung diri dan mengasingkan diri
dari lingkungan hingga waktu yang berbeda-beda pada setiap penyandang low
vision. Mereka takut keluarga dan lingkungannya akan akan memandang mereka tidak bisa apa-apa. Mereka juga takut kondisi low vision yang dialaminya akan
merepotkan dan membuat keluarganya malu karena memiliki anggota keluarga
yang tunanetra.
Pandangan negatif dari masyarakat merupakan permasalahan lain yang
harus mereka hadapi. Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa mereka masih
dapat melihat dan mampu melakukan aktivitas sendiri atau sebaliknya
memperlakukan mereka seperti orang buta, sehingga mereka merasa minder dan
tidak percaya diri saat berinteraksi dengan orang yang dapat melihat dengan
9
yang dialaminya, mereka juga merasa tidak nyaman saat harus meminta bantuan
kepada orang lain atau menggunakan alat-alat bantu penglihatan, terutama jika
harus menggunakan tongkat karena mereka merasa bahwa mereka bukanlah
orang buta, meskipun sesungguhnya mereka membutuhkannya.
Seperti yang dialami oleh seorang penyandang low vision di Yayasan “X”,
kehilangan penglihatannya terjadi secara drastis pada pertengahan masa
perkuliahannya. Ketika itu ia tetap bertahan menjalani perkuliahan meskipun
kondisi penglihatannya sudah sangat “parah” dan IPK-nya semakin menurun. Ia
merasa tertekan dan sering menangis sendiri karena takut mengecewakan orang
tuanya. Ia berusaha merahasiakan keadaannya kepada keluarganya, juga kepada
teman-teman dan dosen dikampusnya. Pada akhirnya pihak kampus pun
mengetahui kondisinya dan ia harus mengundurkan diri, karena di kampusnya
tidak menyediakan layanan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Pada saat
itulah ia mengalami tekanan mental yang sangat berat. Ia sangat menyesal karena
untuk bisa masuk ke universitas tersebut tidaklah mudah dan selama ini ia selalu
memiliki prestasi yang baik. Ia sempat mengalami depresi, selama satu tahun
mengurung diri dan kehilangan semangat untuk menjalani hidupnya. Semua
cita-cita dan harapannya sirna begitu saja. Ia mulai bangkit kembali dan bersedia
untuk menjalani kuliah kembali setelah bergabung di yayasan “X” dan mendapat
motivasi dari sesama teman penyandang low vision.
Berdasarkan wawancara, seorang pendamping yang juga sebagai
penyandang low vision menyatakan bahwa para penyandang low vision masih
10
disamakan dengan tunanetra. Kondisi ini juga membuat para penyandang low
vision memiliki harapan dan keinginan yang besar untuk hidup seperti orang normal. Terutama untuk para penyandang low vision yang berada pada usia
produktif, mereka belum secara penuh menerima kondisinya, sehingga tetap
berusaha untuk melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain. Apalagi
untuk belajar menggunakan alat-alat bantu tunanetra, ia sendiri sampai saat ini
tidak pernah mau belajar untuk menggunakan tongkat atau alat bantu lainnya.
Meskipun ia menyadari hal itu akan sangat membantu dirinya untuk menjalankan
aktivitas secara mandiri, namun tidak mudah untuk melakukannya karena takut
mendapatkan penilaian negatif dari lingkungannya. Rasa takut mengalami
bahaya di perjalanan membuatnya lebih memilih untuk berdiam diri di rumah,
sedangkan ketakutan mendapatkan penilaian negatif dari lingkungan
membuatnya lebih memilih untuk merahasiakan kondisi low vision yang
dialaminya dan bersikap seperti orang-orang yang memiliki penglihatan normal.
Banyaknya tekanan psikologis yang harus dihadapi oleh penyandang low vision
berkaitan dengan keterbatasan penglihatan yang dialaminya dapat menurunkan
kesejahteraan psikologisnya.
Kesejahteraan psikologis atau yang dinamakan juga dengan psychological
well-being merupakan konsep dasar dari level mikro yang membawa informasi mengenai evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan
hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya (Ryff, 1995). Psychological
11
yang terdiri dari self-acceptance, positive relations with others, environmental
mastery, autonomy, purpose in life, dan personal growth.
Seseorang yang mempunyai PWB tinggi akan senantiasa berusaha
menggunakan kemampuan terbaiknya untuk menghadapi tantangan dalam
hidupnya, sehingga dapat menjalani hidup secara optimal. Mereka dapat
menerima keadaan yang mereka alami, mereka juga dapat membina hubungan
yang hangat dengan orang lain, memiliki tujuan hidup dan mampu memutuskan
sesuatu yang penting berkaitan dengan diri mereka sendiri, mereka juga dapat
menggunakan kesempatan yang ada di lingkungannya dan berusaha untuk
mengembangkan potensi yang mereka miliki. Sebaliknya, seseorang yang
mempunyai PWB rendah, merasa tidak puas dengan kehidupan mereka, dimana
mereka tidak dapat menerima keadaan mereka termasuk kekurangan yang ada
pada diri mereka. Mereka juga tidak dapat membangun hubungan yang hangat
dengan orang lain dan kurang mampu memanfaat kesempatan yang ada di
lingkungan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka
kurang dapat menjalani hidup secara optimal dan tidak memiliki tujuan hidup.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indah (2013) terhadap 14
dewasa awal penyandang low vision di Yayasan “X” Bandung, didapatkan data
bahwa sebanyak 8 orang (57.1%) memiliki derajat PWB yang rendah dan 6
orang (42.9%) lainnya memiliki derajat PWB yang tinggi. Berikut adalah
gambaran persentase dari 8 orang penyandang low vision yang menunjukkan
12
• 8 orang responden (100%) belum dapat menerima keadaan low vision
yang dialaminya. Mereka cenderung memandang keadaan low vision
sebagai suatu kekurangan yang membuat mereka merasa tidak yakin pada
diri mereka sendiri. Mereka juga merasa lebih banyak memiliki
kekurangan jika dibandingkan orang lain, khususnya mereka yang dapat
melihat dengan normal (self acceptance).
• 8 orang responden (100%) mengalami kesulitan untuk menggunakan
segala daya dan kesempatan yang ada di lingkungan untuk menyelesaikan
masalah yang mereka miliki. Mereka merasa tugas dan kewajiban yang
harus mereka lakukan adalah sesuatu yang memberatkan. Keadaan
matanya membuat mereka cepat lelah dan membutuhkan waktu yang
lebih lama dalam melakukan suatu pekerjaan. Mereka juga sulit untuk
mengatur waktu dan menyusun rencana kegiatan yang sudah mereka
buat, terkadang mereka merasa frustrasi dan pada akhirnya menjalani
hidup sebagaimana mereka dapat menjalaninya (environmental mastery).
• 5 orang responden (62.5%) mengalami kesulitan untuk membina dan
mempertahankan hubungan dekat dengan orang lain. Mereka seringkali
merasa sebagai ‘orang luar’ dan tidak merasa terlibat dalam pembicaraan
dan aktivitas yang dilakukan kelompoknya. Hal ini terkadang membuat
mereka merasa terasing dan tidak nyaman di dalam lingkungan tersebut
(positive relations with others).
• 4 orang responden (50%) merasa ragu untuk mengungkapkan pendapat.
13
sehingga mereka cenderung berdiam diri. Para responden cenderung
bergantung pada orang lain untuk membantu mereka didalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan tidak adanya
keberanian untuk mencoba hal yang bisa dilakukan sendiri dan
menciptakan suatu ketergantungan yang membuat mereka tidak bisa
hidup secara mandiri (autonomy).
• 2 orang responden (25%) merasa adanya keterbatasan pada diri mereka
dan pada batasan tertentu mereka tidak akan dapat bertumbuh dan
berkembang. Mereka menyukai kegiatan yang menantang dan dapat
mengembangkan diri namun mereka tidak melakukannya karena merasa
memiliki keterbatasan penglihatan. Mereka merasa bahwa masalah
penglihatan dapat mempengaruhi kompetensi mereka dalam beraktivitas
(personal growth).
• 2 orang responden (25%) juga merasa bahwa keadaan low vision
menghalangi pencapaian tujuan mereka. Mereka pernah mengalami masa
dimana mereka dalam proses untuk mencapai tujuan, namun keadaan low
vision yang mereka alami menghalangi mereka untuk dapat mencapai cita-cita. Keseharian yang dilakukan adalah kegiatan rutin sehari-hari
yang dirasakan sepele dan tidak penting sehingga menutup adanya
kemungkinan munculnya kesempatan yang lebih baik untuk mencapai
14
Berdasarkan hasil penelitian tersebut self acceptance dan environmental
mastery merupakan dimensi yang paling signifikan pada dewasa awal penyandang low vision di Yayasan “X” Bandung yang memiliki derajat PWB
rendah. Menurut Ryff (1989), dimensi self acceptance dan environmental
mastery memiliki kaitan yang sangat erat. Ryff (1989) juga yang menyatakan bahwa self-acceptance merupakan “key part” dari PWB. Dengan demikin self
acceptance merupakan dimensi yang penting dalam pembentukan PWB. Rendahnya self acceptance pada sebagian para penyandang low vision dewasa
awal ini, membuat mereka mengalami kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan
kondisi low vision yang dialaminya, sehingga derajat PWB mereka menjadi
rendah.
McCracken dan Eccleston (2003 dalam Johnston, 2008) menggambarkan
penerimaan sebagai melepaskan diri dari perjuangan rasa sakit, bersikap realistis
tentang rasa sakit, dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang bermanfaat.
Penerimaan sangat membantu dalam hal penyesuaian karena digunakan untuk
mempromosikan individu untuk menjalani kehidupan yang memuaskan
meskipun sakit. McCracken dan Eccleston (2003) berpendapat bahwa
penerimaan dapat diandalkan untuk menengahi upaya perubahan perilaku yang
efektif.
Semakin tinggi keberhasilan seorang mengadaptasikan dirinya dengan
kondisi ketunanetraannya, akan semakin tinggi pula kemampuan fungsionalnya,
harga dirinya, dan kepuasan hidupnya, serta akan semakin rendah tingkat
15
hasil penelitian yang dilakukan oleh The Arlene R. Gordon Research Institute
(Lighthouse Internasional, 2007), terdapat beberapa strategi yang dapat
membantu banyak orang tunanetra beradaptasi dengan ketunanetraannya.
Penerimaan yang realistis terhadap kehilangan penglihatan, tidak menolak dan
juga tidak membesar-besarkan dampaknya, merupakan salah satu langkah
terpenting untuk mengatasi tantangan yang diakibatkan ketunanetraan (Tarsidi,
2008). Maka dibutuhkan usaha untuk membantu meningkatkan penerimaan dari
penyandang low vision terhadap keadaan yang dialaminya.
Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk mencapai penerimaan
dan perubahan, adalah dengan menggunakan Acceptance and Commitment
Therapy, selanjutnya disingkat dengan ACT yang dipopulerkan oleh Steven C. Hayes. ACT merupakan jenis psikoterapi yang membantu individu menerima
kesulitan yang datang dalam kehidupannya. ACT mengaplikasikan proses
kesadaran dan penerimaan, yang meyakini bahwa kesejahteraan lebih baik dapat
dicapai dengan mengatasi pikiran dan perasaan negatif. Seluruh metode dari
ACT berusaha untuk menciptakan fleksibilitas psikologis yaitu kemampuan
untuk secara penuh berhubungan dengan situasi yang sekarang sedang dihadapi
sebagai manusia yang sadar dan untuk berubah atau tidak sesuai dengan nilai
yang mereka miliki (Hayes, 2006). Fleksibilitas psikologis merupakan
satu-satunya prediktor yang paling efektif dari PWB seseorang (Bond & Bunce,
2003). Dengan memediasi peran dari fleksibilitas psikologis, ACT dapat
16
dimilikinya serta menjalani kehidupan yang lebih bermakna meskipun
mengalami keterbatasan dalam penglihatannya.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan ACT, hasilnya
telah terbukti bahwa ACT dapat meningkatkan kesehatan mental dan
well-beingness. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Bergman (2010), menunjukkan bahwa intervensi ACT memiliki pengaruh positif terhadap
peningkatan PWB pada ibu-ibu yang memiliki anak autis. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan adanya peningkatan dalam fleksibilitas psikologis,
keterampilan mindfulness, penurunan tingkat depresi dan perubahan kualitas
hidup. Setelah menjalani ACT para responden menjadi lebih mampu menerima
pikiran dan perasaan mereka, mampu menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan. Lebih jauh lagi, para responden menjadi lebih menyadari
masalah yang terjadi di dalam hidupnya dan mulai melakukan perubahan sesuai
dengan nilai-nilai yang mereka miliki.
Berdasarkan fakta diatas, maka peneliti tertarik untuk memberikan
intervensi ACT kepada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan “X”
Bandung yang memiliki derajat PWB rendah.
1.2 Identifikasi Masalah
Apakah penerapan ACT berpengaruh terhadap peningkatan derajat PWB
17
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penerapan ACT dalam meningkatkan derajat PWB pada penyandang low vision
usia dewasa awal di Yayasan “X” Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan derajatPWB melalui
penerapan ACT pada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan “X”
Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan
khususnya dalam bidang psikologi klinis mengenai efektivitas ACT,
yang dapat digunakan sebagai salah satu intervensi untuk
meningkatkan derajat PWB pada penyandang low vision dewasa
awal.
- Menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan
penelitian sejenis ataupun penelitian lebih lanjut yang berkaitan
dengan efektivitas ACT untuk menurunkan derajat PWB pada
18
1.4.2 Kegunaan Praktis
- Bagi penyandang low vision, penerapan ACT diharapkan dapat
memahami faktor-faktor psikologis yang berperan dalam
meningkatkan derajat PWB yang dimilikinya, sehingga mampu
mengembangkan seluruh potensi dirinya secara optimal dalam
seluruh aspek kehidupannya.
- Bagi pihak Yayasan “X”, diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
derajat PWB para penyandang low vision yang tergabung di yayasan
tersebut.
- Bagi pihak pendamping atau keluarga, diharapkan penelitian ini
dapat memberikan informasi mengenai berbagai aspek psikologis
yang berpengaruh terhadap peningkatan derajat PWB para
penyandang low vision, sehingga dapat memberikan bantuan dan
dukungan secara efektif.
1.5 Metodologi Penelitian
Penelitian ini mencoba untuk mengetahui penerapan Acceptance and
Commitment Therapy (ACT) dalam meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) pada penyandang low vision dewasa awal di Yayasan “X” Bandung. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang penyandang low vision yang
memiliki derajat Psychological Well-Being (PWB) rendah. Teknik sampling yang
19
Rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pre-test and
post-test design, dimana kepada subjek penelitian dilakukan dua kali pengukuran yaitu sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, yang dalam hal ini adalah Acceptance
and Commitment Therapy (ACT). Data yang diperoleh pada penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu
mencoba menggambarkan hasil penelitian dalam bentuk uraian deskriptif dan
melakukan perbandingan secara kualitatif antara hasil pretest dan posttest.
320
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dapat meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) pada penyandang low vision
di Yayasan “X” Bandung.
2. Peningkatan derajat Psychological Well-Being (PWB) setelah
diberikan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) sejalan
dengan peningkatan derajat fleksibilitas psikologis pada kedua subjek.
3. Kedua subjek menunjukkan peningkatan pada seluruh dimensi
Psychological Well-Being (PWB), dan peningkatan tertinggi terdapat pada dimensi Self-Acceptance.
4. Keberhasilan dari Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dalam
meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) juga ikut
dipengaruhi oleh karakteristik subjek penelitian seperti faktor
kepribadian, kemampuan memahami dan mendapatkan insight dari
metafora yang diberikan, kesediaan untuk terlibat aktif baik dalam sesi
terapi maupun dalam melakukan pekerjaan rumah serta adanya
321
4.2 SARAN
4.2.1 Saran Praktis
1. Bagi subjek penelitian, diharapkan dapat tetap menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang telah didapatkan dari terapi agar
peningkatan derajat psychological well-being (PWB) dapat
dipertahankan.
2. Bagi pihak yayasan diharapkan dapat menggunakan pengetahuan dari
penelitian ini untuk memberikan perhatian dan dukungan terhadap
aspek-aspek psikologis yang berperan dalam rangka meningkatkan
derajat psychological well-being (PWB) pada para penyandang low
vision yang tergabung di yayasan tersebut, serta terus memberikan pendampingan untuk penyandang low vision yang belum dapat
menerima keadaannya.
3. Bagi Psikolog dan Terapis dapat mempertimbangkan untuk
menerapkan prosedur Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
dalam penelitian ini sebagai salah satu model intervensi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan derajat psychological well-being
(PWB) pada penyandang low vision atau kasus serupa.
4.2.2 Saran Penelitian
1. Penelitian selanjutnya disarankan untuk mempertimbangkan jumlah
sesi yang akan diberikan dalam Acceptance and Commitment Therapy
322
atau menambah sesi tertentu tergantung dari kondisi masing-masing
subjek selama proses terapi.
2. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memberikan waktu yang lebih
dalam melakukan latihan mindfulness agar subjek mendapatkan
manfaat yang lebih banyak dari latihan tersebut.
3. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memodifikasi cerita-cerita
metafora dalam referensi Acceptance and Commitment Therapy
(ACT) yang disesuaikan dengan budaya yang ada di Indonesia, agar
subjek lebih mudah menghayati dan mendapatkan insight dari
metafora yang diberikan.
4. Penelitian selanjutnya khususnya yang ingin meneliti kasus serupa
disarankan untuk mempertimbangkan bentuk pemberian pekerjaan
rumah yang lebih praktis, hal ini untuk kenyamanan dan
mempermudah subjek dalam proses mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan selama terapi.
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Bergman, Tiina Holmberg. 2010. The Influence of Acceptance And Commitment Therapy (ACT) for the Psychological Well Being of Mothers Raising a child diagnosed with an Autism Spectrum Disorder. Masters Thesis. Finnish Lakeland: The University of Jyväskylä, Departement of Psychology.
Campbell, Donald T. & Stanley, Julian C. 1963. Experimental & Quasi Experimental Design for Research. Chicago: RandMc, Nally College Publishing Company.
Ciarrochi, J. Bilich, L. & Godsell C. 2010. Psychological Flexibility as a Mechanism of Change in Acceptance and Commitment Therapy. Dalam Baer, R. (penyunting) Assessing Mindfulness and Acceptance: Illuminating the Processes of Change. Selected reading. Hal 51-76. Oakland, CA: New Harbinger Publications, Inc.
Duponsel, Nathalie De La Haye. 2012. Socio Demographic, Visual and Psychological Factors Associated with Adjustment to Vision Loss in Retinitis Pigmentosa.
Fletcher, Donald C. & Colenbrander A. 1999. Introducing Rehabilitation. Dalam Fletcher, Donald C. (penyunting) Low Vision Rehabilitation: Caring for the Whole Person. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology. Freeman, Kathleen Fraser. 1997. Optometric Clinical Practice Guideline : Care
Of The Patient With Visual Impairment (Low Vision Rehabilitation). St. Louis : American Optometric Association.
Graziano, A.M & Raulin, M.L. 2000. Research Methods: a process of inquiry4th edition. Needham Height: A Pearson Education Company.
Hayes, S.C. 2004. Acceptance and Commitment Therapy, Rational Frame Theory and The Third Wave of Behavioral and Cognitive Therapies. Behavior Therapy 35, 639-665.
Hayes, S.C. & Smith S. 2005. Get Out of Your Mind and Into Your Life. Oakland, Canada : New Publication, Inc.
Morse, J. L. 1983. Psychosocial Aspect of Low Vision. Dalam Jose,R.T. (penyunting) Understanding Low Vision. Selected reading. New York: American Foundation for the Blind.
O’Connor, P. & Keeffe, J. 2007. Focus on Low Vision. Melbourne: Centre for Eye Research Australia.
Ryff, C.D. 1989. Happiness is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57. 1069-1081.
Ryff, C.D. & Dunn, D.D. 1985. A Life-span Developmental Approach To The Study of Stressful Events. Journal of Applied Developmental Psychology, 6. 113-127.
Santrock, John W. 2002. Life Span Development 5th edition. Jakarta: Erlangga. Schinazi, Victor R. 2006. Psychosocial Implications of Blindness and Low Vision.
London: Royal London Society for the Blind.
Seagel, S. 1997. Statistik Non Parametrik untuk ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Indah, Catharina S. 2012. Studi Deskriptif mengenai Psychological Well-Being pada Dewasa Awal Penyandang Low Vision di Yayasan ”X” Bandung. Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Tasran, Riri R. 2012. Penerapan Acceptance And Commitment Therapy (ACT) terhadap Kepatuhan Individu dengan HIV dalam mengkonsumsi Antiretroviral (ARV). Tesis, Bandung: Program Magister Profesi Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung.
http://www.who.int/blindness/causes/priority/en/index5.html [14 Oktober 2012]
http://www.syamsidhuhafoundation.org [14 Oktober 2012]
http://d-tarsidi.blogspot.com/2008/11/model-konseling-rehabilitasi-bagi.html
[29 November2012]
http://www.cera.org.au/uploads/CERA_FocusLowVision.pdf
[29 November 2012]
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19541207198112
-AHMAD_NAWAWI/PENDIDIKAN_INKLUSIF_BAGI_ANAK_LV.pdf
[29 November 2012]
http://rehsos.kemsos.go.id [11 Maret 2013]
http://www.sehatnews.com [12 Juni 2013]
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/845-gangguan-penglihatan-masih-menjadi-masalah-kesehatan.html [12 Juni 2013]