• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) untuk Maningkatkan Derajat Psychological Well-Being pada Penyandang Low Vision Usia Dewasa Awal di Yayasan "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) untuk Maningkatkan Derajat Psychological Well-Being pada Penyandang Low Vision Usia Dewasa Awal di Yayasan "X" Bandung."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan pengihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis. Penyandang low vision hanya memiliki sisa penglihatan yang sangat terbatas untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Berbagai keterbatasan yang dialami oleh penyandang low vision dapat menurunkan derajat Psychological Well-Being (PWB) yang mereka miliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dalam meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) pada penyandang low vision di Yayasan “X” Bandung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 2 orang.

Data diperoleh melalui kuesioner, observasi dan interview. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur derajat PWB adalah hasil adaptasi dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) dari Ryff (1989) yang telah dimodifikasi oleh Indah (2013). Validitas alat ukur berkisar antara 0,334-0,797 dan reliabilitas 0,905. Sementara untuk mengukur fleksibilitas psikologis digunakan Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II) dari Hayes (2011). Desain penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Posttest.

(2)

v ABSTRACT

Low vision is one of visual impairment that can not be rectified even after medical treatment. People with low vision have only a very limited residual vision to perform daily activities. The existence of various limitations faced by people with low vision due to limited vision can reduce the degree of their Psychological Well-Being (PWB). The aim of this research is to find out the influences of Acceptance and Commitment Therapy (ACT) in increasing the degree of Psychological Well-Being (PWB) on the people with low vision “X” foundation in Bandung. Subject of this research were 2 persons. Data were obtained through questionnaire, observation and interview.

The instrument that used to measure the degree of PWB is adopted from Scale of Psychological Well-Being (SPWB) by Ryff (1989) which has been modified by Indah (2013). The validity of instrument ranged from 0,334-0,797 and the score of reliability was 0,905. While Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II) by Hayes (2011) is used to measure psychological flexibility. The research design used one group pretest-posttest.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... ii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR DIAGRAM ... xvi

DAFTAR GRAFIK ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 16

1.2. Identifikasi Masalah ... 16

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 17

1.3.1. Maksud Penelitian ... 17

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 17

1.4. Kegunaan Penelitian... 17

1.4.1. Kegunaan teoritis ... 17

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 18

(4)

ix

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1. Psychological Well-Being (PWB) ... 19

2.1.1. Definisi Psychological Well-Being (PWB) ... 19

2.1.2. Sejarah Psychological Well-Being (PWB) ... 19

2.1.3. Dimensi Psychological Well-Being (PWB) ... 25

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being (PWB) ... 29

2.2. Big Five Personality ... 37

2.3 Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 41

2.3.1. Definisi Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 41

2.3.2. Konsep Dasar Teori Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 43

2.3.3. Prinsip Dasar Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 51

2.3.4. Metode Pelaksanaan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 56

2.4.5. Aplikasi Acceptance and Commitment Therapy (ACT) ... 58

2.4. Masa Dewasa Awal ... 59

2.4.1 Perkembangan Fisik ... 60

2.4.2 Perkembangan Kognitif ... 62

2.4.3 Perkembangan Sosio Emosi ... 63

2.5. Low Vision . ... 65

2.5.1 Definisi Low Vision ... 65

2.5.2 Klasifikasi Visual Impairment ... 67

2.5.3 Ciri-Ciri Low Vision ... 68

2.5.4 Dampak Low Vision ... 69

(5)

2.6. Metode Experiential Learning ... 80

2.7. Kerangka pemikiran ... 86

2.8. Hipotesis Penelitian ... 102

BAB III METODE PENELITIAN... 104

3.1. Metodologi Penelitian ... 104

3.2. Variabel Penelitian,Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ... 106

3.2.1. Variabel Penelitian ... 106

3.2.2. Definisi Konseptual ... 106

3.2.3. Definisi Operasional... 107

3.3. Teknik Pengambilan Data ... 108

3.3.1. Data Utama ... 108

3.3.2. Data Penunjang ... 113

3.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 114

3.4.1. Validitas Alat Ukur ... 114

3.4.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 114

3.5. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 115

3.6. Teknik Analisis Data ... 116

3.7. Hipotesis Statistik ... 116

3.8. Rancangan Intervensi ... 116

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 130

4.1. Hasil dan Pembahasan Subjek 1 ... 130

(6)

xi

4.1.1.1 Identitas ... 130

4.1.1.2 Riwayat Keluhan ... 131

4.1.1.3 Status Praesens ... 134

4.1.1.4 Anamnesa ... 135

4.1.2 Hasil Pengolahan Data Subjek 1 ... 140

4.1.2.1 Observasi Proses Terapi ... 140

4.1.2.2 Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 187

4.1.2.3 Pengujian Hipotesis Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 193

4.1.2.4 Hasil Pengukuran Derajat Fleksibilitas Psikologis ... 194

4.1.3 Pembahasan Subjek 1 ... 195

4.2 Hasil dan Pembahasan Subjek 2 ... 224

4.2.1 Gambaran Subjek 2 ... 224

4.2.1.1 Identitas ... 224

4.2.1.2 Riwayat Keluhan ... 224

4. 2.1.3 Status Praesens ... 229

4. 2.1.4 Anamnesa ... 230

4. 2.2 Hasil Pengolahan Subjek 2 ... 236

4. 2.2.1 Observasi Proses Terapi ... 236

4. 2.2.2 Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 281

4. 2.2.3 Pengujian Hipotesis Hasil Pengukuran Derajat Psychological Well-Being ... 287

(7)

4. 2.3 Pembahasan Subjek 2 ... 289

4. 3 Perbandingan Subjek 1 dan Subjek 2 ... 315

4. 3.1 Persamaan ... 315

4. 3.2 Perbedaan ... 316

4. 3.3 Kesimpulan ... 318

BAB V KESIMPULAN & SARAN ... 320

5.1. Kesimpulan ... 320

5.2. Saran ... 321

5.2.1. Saran Praktis ... 321

5.2.2. Saran Penelitian ... 322

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RUJUKAN

(8)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Visual Impairment (WHO) ... 67

Tabel 3.1. Rancangan Penelitian ... 104

Tabel 3.2. Kisi-Kisi Alat Ukur PWB ... 112

Tabel 3.3. Sistem Penilaian Alat Ukur ... 112

Tabel 3.4 Pengkategorian PWB ... 112

Tabel 3.5 Pengkategorian per aspek PWB ... 113

Tabel 3.6 Rancangan Intervensi ACT sesi I... 120

Tabel 3.7 Rancangan Intervensi ACT sesi II ... 122

Tabel 3.8 Rancangan Intervensi ACT sesi III ... 124

Tabel 3.9 Rancangan Intervensi ACT sesi IV ... 125

Tabel 3.10 Rancangan Intervensi ACT sesi V ... 127

Tabel 3.11 Rancangan Intervensi ACT sesi VI ... 129

Tabel 4.1 Pre-Teatment Subyek 1 ... 141

Tabel 4.2 Sesi I Subyek 1 ... 148

Tabel 4.3 Sesi II Subyek 1 ... 154

Tabel 4.4 Sesi III Subyek 1 ... 160

Tabel 4.5 Sesi IV Subyek 1 ... 165

Tabel 4.6 Sesi V Subyek 1 ... 177

Tabel 4.7 Sesi VI Subyek 1 ... 184

Tabel 4.8 Post-Test II dan III Subyek 1 ... 186

(9)

Tabel 4.10 Pre-Teatment Subyek 2 ... 238

Tabel 4.11 Sesi I Subyek 2 ... 244

Tabel 4.12 Sesi II Subyek 2 ... 250

Tabel 4.13 Sesi III Subyek 2 ... 257

Tabel 4.14 Sesi IV Subyek 2 ... 262

Tabel 4.15 Sesi V Subyek 2 ... 273

Tabel 4.16 Sesi VI Subyek 2 ... 278

Tabel 4.17 Post-Test II dan III Subyek 2 ... 280

(10)

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Kerangka Pikir ... 102

(11)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1. Hasil Pengukuran Derajat PWB Subyek 1 ... 188

Diagram 4.2. Hasil Pengukuran Dimensi Self Acceptance Subyek 1 ... 189

Diagram 4.3. Hasil Pengukuran Dimensi Positive Relation with Others

Subyek 1 ... 190

Diagram 4.4. Hasil Pengukuran Dimensi Autonomy Subyek 1 ... 190

Diagram 4.5. Hasil Pengukuran Dimensi Environmental Mastery

Subyek 1 ... 191

Diagram 4.6. Hasil Pengukuran Dimensi Purpose in Life Subyek 1 ... 192

Diagram 4.7. Hasil Pengukuran Dimensi Personal Growth Subyek 1 ... 192

Diagram 4.8. Hasil Pengukuran Derajat PWB Subyek 2 ... 282

Diagram 4.9. Hasil Pengukuran Dimensi Self Acceptance Subyek 2 ... 283

Diagram 4.10. Hasil Pengukuran Dimensi Positive Relation with Others

Subyek 2 ... 284

Diagram 4.11. Hasil Pengukuran Dimensi Autonomy Subyek 2 ... 284

Diagram 4.12. Hasil Pengukuran Dimensi Environmental Mastery

Subyek 2 ... 285

Diagram 4.13. Hasil Pengukuran Dimensi Purpose in Life Subyek 2 .... 286

(12)

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1. Hasil Pengukuran Derajat Fleksibilitas Psikologis

Subyek 1 ... 194

Grafik 4.2. Hasil Pengukuran Derajat Fleksibilitas Psikologis

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Psychological Well-Being (PWB)

Lampiran 2. Acceptance and Action Questionnaire (AAQ-II)

Lampiran 3. Mindfulness Attention Awareness Scala (MAAS)

Lampiran 4. Kuesioner Big Five Personality

Lampiran 5. Identitas Subjek Penelitian

Lampiran 6. Surat Kesediaan Mengikuti Terapi

Lampiran 7. Evaluasi Terapi

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Panca indera memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan

hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh pengetahuan

dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia. Salah satu indera yang

paling dominan dalam kehidupan manusia adalah indra penglihatan, karena

sebagian besar informasi diperoleh melalui mata, selain itu mata juga membantu

manusia untuk beraktivitas secara mandiri dalam kehidupan sehari-hari.

Kesehatan panca indera merupakan syarat penting untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera

lahir batin. Hal ini tercantum pula dalam Undang-Undang no.23 tahun 1992

tentang kesehatan. Disana tertulis bahwa pembangunan nasional diarahkan guna

tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dengan

demikian, terjadinya gangguan pada penglihatan merupakan salah satu masalah

kesehatan yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan produktivitas seseorang

yang dapat mengurangi kesejahteraan hidupnya.

Saat ini gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi salah satu

masalah kesehatan yang menjadi perhatian dunia, khususnya di Asia dan Afrika.

Gangguan penglihatan berada pada urutan keenam di dunia sebagai penyebab

(15)

2

Australia, 2007). Berdasarkan data WHO di tahun 2002, diperkirakan sebanyak 285 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan. Dari jumlah tersebut,

39 juta orang mengalami totally blind dan 246 juta orang mengalami low vision.

Data tersebut menunjukan bahwa jumlah penyandang low vision di dunia jauh

lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah totally blind. Bahkan 90%

diantaranya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia

(http://rsmataaini.co.id).

Berdasarkan hasil penelitian penelitian Departemen Kesehatan tahun 2002,

jumlah gangguan penglihatan di Indonesia mencapai 5,8 juta orang. Angka ini

meliputi gangguan penglihatan berat, yaitu sebanyak 2,2 juta orang dan 3,6 juta

orang dengan gangguan sedang. Penyebab paling tinggi dari gangguan kesehatan

indera penglihatan tersebut adalah; katarak (52%), glukoma (13,4%), kelainan

refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) serta gangguan

mata lainnya (http://www.depkes.go.id). Jumlah tersebut tersebar di seluruh

Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Meskipun belum terdapat data statistik

yang pasti untuk menunjukan jumlah penyandang low vision, namun diperkirakan

jumlahnya cukup tinggi. Informasi tersebut didukung oleh hasil survey yang

dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung, yaitu bahwa

di beberapa kecamatan provinsi Jawa Barat ditemukan peningkatan jumlah anak

berkebutuhan khusus (ABK) setiap tahunnya. Peningkatan tersebut berkisar antara

50 - 75 anak dari setiap kecamatan, dimana sekitar 5 - 7 orang anak diantaranya

(16)

3

Istilah low vision masih cukup asing di masyarakat, oleh karena itu

banyak sekali yang mengabaikan gejalanya dan baru melakukan tindakan

pengobatan apabila sudah tergolong parah. Kondisi demikian salah satunya

disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang low vision. Menurut seorang

pemerhati low vision, dr. Ine Renata Musa, Sp.M., selama ini masyarakat hanya

mengenal istilah tunanetra (blind), padahal tunanetra terdiri dari low vision dan

totally blind (www.syamsidhuhafoundation.org). Selanjutnya, ketua Yayasan Pusat Pelayan Terpadu Low Vision Wyata Guna Bandung, Irham Hosni

mengatakan bahwa low vision berbeda dengan totally blind. Penyandang low

vision tidak kehilangan seluruh penglihatannya. Hanya saja, selama ini penyandang low vision sering dianggap “buta” dan disamakan dengan totally

blind, sehingga penanganannya menjadi kurang optimal. Beban psikologis yang dialami penyandang low vision pun menjadi lebih besar dibandingkan dengan

totally blind. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka seperti hidup di antara dua dunia, yaitu mereka bukan orang yang dapat melihat secara normal namun

mereka juga bukan orang yang buta.

Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis, seperti

dengan menggunakan kaca mata, lensa kontak atau operasi. Ketajaman

penglihatan para penyandang low vision kurang dari 6/18 meter sampai dengan

persepsi cahaya, dengan luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi.

Penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan

(17)

4

low vision dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya karena faktor bawaan

(kelahiran atau trauma setelah kelahiran, genetis atau kelainan perkembangan),

hereditas atau kondisi lain seperti; infeksi atau penyakit, trauma serta faktor

perubahan usia (Freeman, 2007).

Kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penglihatan merupakan suatu

peristiwa yang tidak mudah untuk dihadapi oleh seseorang. Terutama jika

kehilangan penglihatan tersebut terjadi secara tiba-tiba. Situasi ini sering

diidentikkan dengan kehilangan segalanya yang kemudian dapat membuat

seseorang merasa bahwa hidupnya telah berakhir. Fenomena inilah yang

kemudian melatarbelakangi salah satu yayasan di Bandung untuk membuat

program, “Care For Low vision”. Program ini bertujuan untuk memberikan

pendampingan bagi para penyandang low vision dan keluarganya, serta

memberikan edukasi publik dengan tujuan agar para penyandang low vision lebih

paham akan kondisinya, sehingga mereka lebih siap menghadapi

konsekuensi/dampak dari gangguan penglihatan tersebut. Salah satu divisi yang

dikelola oleh “X” bagi para penyandang low vision adalah pendampingan atau

support group. Aktivitas tersebut ditujukan agar para penyandang low vision mempunyai perasaan sepenanggungan sehingga tidak merasa sendiri. Selain itu,

diharapkan para penyandang low vision mendapatkan informasi yang benar dan

up to date mengenai gangguan yang dialaminya. Adanya aktivitas tersebut pun membuat para pengurus lebih mengetahui kebutuhan mereka dalam membuat

berbagai program baru untuk mengembangkan potensi atau keterampilan para

(18)

5

Low vision pada umumnya terjadi karena faktor usia, namun dapat juga terjadi pada mereka yang masih berada di usia produktif. Dari jumlah

penyandang low vision yang terdaftar di Yayasan “X” Bandung, rata-rata mereka

berusia 20 - 30 tahun atau berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Seperti

telah disebutkan diatas, bahwa gangguan penglihatan merupakan salah satu

masalah kesehatan yang dapat menurunkan kesejahteraan psikologis

penyandangnya. Terlebih ketika gangguan penglihatan tersebut terjadi pada saat

seseorang mulai memasuki masa dewasa, masa ini dikatakan juga sebagai masa

produktif yaitu masa-masa dimana seseorang memiliki tanggung jawab yang

besar untuk menyelesaikan pendidikannya, bekerja dan membina keluarga.

Selain adanya dampak dari kondisi fisik, peyandang low vision juga

mengalami tekanan secara psikologis seiring dengan kondisinya. Beberapa

kondisi psikologis yang harus dihadapi oleh para penyandang low vision,

diantaranya adalah terjadinya ketidakseimbangan mental pasca menjadi

penyandang low vision, keputuasaan, kecemasan dan ketidakpastian sebagai

akibat minimnya informasi tentang low vision, kesulitan dalam mengidentifikasi

atau memiliki konsep diri positif, antara melihat dan tidak melihat, kesulitan

penyesuaian diri dan penyesuaian sosial ketika menggunakan alat bantu,

ketidakmampuan mengkomunikasikan berbagai kendala yang dihadapi akibat

kondisi low vision yang dialaminya, serta merasa rendah diri dan merasa tidak

mampu bersaing dengan orang lain (http://rehsos.kemsos.go.id).

Kehilangan penglihatan yang terjadi di usia dewasa, memunculkan lebih

(19)

6

kehidupan. Hal ini disebabkan karena mereka pernah bergantung pada

penglihatannya untuk mengenal dan berhubungan dengan dunia, sehingga

keadaan ini berdampak pada caranya mempersepsi banyak hal, mobilitasnya,

pekerjaannya, hubungan pribadinya, dan berbagai kegiatan sehari-harinya.

Perubahan yang sangat dramatis ini menuntut usaha yang cukup besar untuk

dapat menyesuaikan diri. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa

gangguan penglihatan sering mengakibatkan tekanan psikologis yang signifikan.

Tingginya derajat stres dan depresi pada orang-orang yang mengalami gangguan

penglihatan telah dilaporkan dalam banyak penelitian.

Beberapa penelitian juga menemukan penurunan kualitas hidup yang

signifikan akibat kehilangan penglihatan (Gillman, Simmel, & Simon, 1986;

Baik, 2008). Kehilangan penglihatan juga dapat mengakibatkan perasaan malu

(Nemshick, McCay & Ludman, 1986), hilangnya integritas diri (Taylor & Upton,

1988), dan penurunan rasa percaya diri (Tolman, Hill, Kleinschmidt & Gregg,

2005), serta harga diri yang rendah (Roy & Mackay, 2002). Dampak dari

kehilangan penglihatan telah terbukti sangat mengancam persepsi seseorang

terhadap identitas dirinya karena mungkin tidak mampu lagi bekerja pada profesi

yang dipilihnya, sehingga merasa tidak dapat diandalkan untuk keluarganya dan

tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang memberikan kontribusi

untuk dirinya (Duponsel 2012).

Berdasarkan wawancara terhadap beberapa orang penyandang low vision

yang tergabung di Yayasan “X” Bandung, pada saat ‘divonis’ mengalami low

(20)

7

mewujudkan cita-citanya. Pada umumnya mereka menolak untuk menerima

kenyataan dan menganggap bahwa diagnosa yang dokter salah. Mereka tetap

yakin bahwa penglihatan mereka masih dapat disembuhkan. Reaksi penolakan

ini muncul dalam berbagai bentuk, beberapa dari mereka ada yang tidak mau

memeriksakan kembali dirinya ke dokter dan lebih memilih untuk melakukan

pengobatan alternatif, ada juga yang memeriksakan kondisi matanya

berulang-ulang ke sejumlah dokter. Kebanyakan dari mereka juga tidak bersedia mengikuti

anjuran dokter untuk segera mengikuti rehabilitasi agar mereka lebih mudah

untuk menyesuaikan diri ketika penglihatannya semakin menurun atau bahkan

mengalami totally blind. Hal ini disebabkan karena pada umumnya para

penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan meskipun sangat

terbatas.

Sebagian besar penyandang low vision menghayati keterbatasan

penglihatan membuat mereka sangat tergantung kepada keluarga dan lingkungan

saat beraktivitas, misalnya bepergian, membaca dan menulis. Padahal beberapa

dari mereka masih berstatus sebagai mahasiswa, sehingga mereka mengalami

kesulitan dalam menjalani studinya, diantaranya kesulitan untuk mendapatkan

informasi, kesulitan untuk mengikuti ujian karena mereka harus mencari orang

yang bersedia membantu membacakan materi ujian, bahkan beberapa dari

mereka harus drop out dari kuliahnya dan pindah ke perguruan tinggi lain yang

menyediakan fasilitas untuk penyandang low vision. Berbagai keterbatasan yang

ada membuat mereka merasa tidak memiliki kelebihan didalam dirinya dan tidak

(21)

8

mereka sulit untuk menerima bahwa mereka mengalami low vision. Tidak hanya

mereka namun keluarganya pun sulit untuk menerima, sehingga keluarganya

tetap memperlakukan dan menuntut mereka seperti layaknya orang yang

memiliki penglihatan normal. Hal ini pun kemudian sering menjadi pemicu stres

dan frustrasi terhadap kondisi yang mereka alami.

Terjadinya penurunan penglihatan yang terus menerus, membuat para

penyandang low vision selalu diliputi rasa cemas akan kehilangan penglihatannya

secara total. Saat penglihatannya benar-benar mengalami penurunan yang drastis,

pada umumnya mereka marah dan menyalahkan Tuhan. Mereka terus

bertanya-tanya “mengapa saya?”. Berbagai gangguan emosi mulai muncul, mereka

menjadi mudah marah, mudah tersinggung, mudah menangis dan putus asa

dengan keadaannya. Mereka juga mulai mengurung diri dan mengasingkan diri

dari lingkungan hingga waktu yang berbeda-beda pada setiap penyandang low

vision. Mereka takut keluarga dan lingkungannya akan akan memandang mereka tidak bisa apa-apa. Mereka juga takut kondisi low vision yang dialaminya akan

merepotkan dan membuat keluarganya malu karena memiliki anggota keluarga

yang tunanetra.

Pandangan negatif dari masyarakat merupakan permasalahan lain yang

harus mereka hadapi. Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa mereka masih

dapat melihat dan mampu melakukan aktivitas sendiri atau sebaliknya

memperlakukan mereka seperti orang buta, sehingga mereka merasa minder dan

tidak percaya diri saat berinteraksi dengan orang yang dapat melihat dengan

(22)

9

yang dialaminya, mereka juga merasa tidak nyaman saat harus meminta bantuan

kepada orang lain atau menggunakan alat-alat bantu penglihatan, terutama jika

harus menggunakan tongkat karena mereka merasa bahwa mereka bukanlah

orang buta, meskipun sesungguhnya mereka membutuhkannya.

Seperti yang dialami oleh seorang penyandang low vision di Yayasan “X”,

kehilangan penglihatannya terjadi secara drastis pada pertengahan masa

perkuliahannya. Ketika itu ia tetap bertahan menjalani perkuliahan meskipun

kondisi penglihatannya sudah sangat “parah” dan IPK-nya semakin menurun. Ia

merasa tertekan dan sering menangis sendiri karena takut mengecewakan orang

tuanya. Ia berusaha merahasiakan keadaannya kepada keluarganya, juga kepada

teman-teman dan dosen dikampusnya. Pada akhirnya pihak kampus pun

mengetahui kondisinya dan ia harus mengundurkan diri, karena di kampusnya

tidak menyediakan layanan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Pada saat

itulah ia mengalami tekanan mental yang sangat berat. Ia sangat menyesal karena

untuk bisa masuk ke universitas tersebut tidaklah mudah dan selama ini ia selalu

memiliki prestasi yang baik. Ia sempat mengalami depresi, selama satu tahun

mengurung diri dan kehilangan semangat untuk menjalani hidupnya. Semua

cita-cita dan harapannya sirna begitu saja. Ia mulai bangkit kembali dan bersedia

untuk menjalani kuliah kembali setelah bergabung di yayasan “X” dan mendapat

motivasi dari sesama teman penyandang low vision.

Berdasarkan wawancara, seorang pendamping yang juga sebagai

penyandang low vision menyatakan bahwa para penyandang low vision masih

(23)

10

disamakan dengan tunanetra. Kondisi ini juga membuat para penyandang low

vision memiliki harapan dan keinginan yang besar untuk hidup seperti orang normal. Terutama untuk para penyandang low vision yang berada pada usia

produktif, mereka belum secara penuh menerima kondisinya, sehingga tetap

berusaha untuk melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain. Apalagi

untuk belajar menggunakan alat-alat bantu tunanetra, ia sendiri sampai saat ini

tidak pernah mau belajar untuk menggunakan tongkat atau alat bantu lainnya.

Meskipun ia menyadari hal itu akan sangat membantu dirinya untuk menjalankan

aktivitas secara mandiri, namun tidak mudah untuk melakukannya karena takut

mendapatkan penilaian negatif dari lingkungannya. Rasa takut mengalami

bahaya di perjalanan membuatnya lebih memilih untuk berdiam diri di rumah,

sedangkan ketakutan mendapatkan penilaian negatif dari lingkungan

membuatnya lebih memilih untuk merahasiakan kondisi low vision yang

dialaminya dan bersikap seperti orang-orang yang memiliki penglihatan normal.

Banyaknya tekanan psikologis yang harus dihadapi oleh penyandang low vision

berkaitan dengan keterbatasan penglihatan yang dialaminya dapat menurunkan

kesejahteraan psikologisnya.

Kesejahteraan psikologis atau yang dinamakan juga dengan psychological

well-being merupakan konsep dasar dari level mikro yang membawa informasi mengenai evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan

hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya (Ryff, 1995). Psychological

(24)

11

yang terdiri dari self-acceptance, positive relations with others, environmental

mastery, autonomy, purpose in life, dan personal growth.

Seseorang yang mempunyai PWB tinggi akan senantiasa berusaha

menggunakan kemampuan terbaiknya untuk menghadapi tantangan dalam

hidupnya, sehingga dapat menjalani hidup secara optimal. Mereka dapat

menerima keadaan yang mereka alami, mereka juga dapat membina hubungan

yang hangat dengan orang lain, memiliki tujuan hidup dan mampu memutuskan

sesuatu yang penting berkaitan dengan diri mereka sendiri, mereka juga dapat

menggunakan kesempatan yang ada di lingkungannya dan berusaha untuk

mengembangkan potensi yang mereka miliki. Sebaliknya, seseorang yang

mempunyai PWB rendah, merasa tidak puas dengan kehidupan mereka, dimana

mereka tidak dapat menerima keadaan mereka termasuk kekurangan yang ada

pada diri mereka. Mereka juga tidak dapat membangun hubungan yang hangat

dengan orang lain dan kurang mampu memanfaat kesempatan yang ada di

lingkungan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka

kurang dapat menjalani hidup secara optimal dan tidak memiliki tujuan hidup.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indah (2013) terhadap 14

dewasa awal penyandang low vision di Yayasan “X” Bandung, didapatkan data

bahwa sebanyak 8 orang (57.1%) memiliki derajat PWB yang rendah dan 6

orang (42.9%) lainnya memiliki derajat PWB yang tinggi. Berikut adalah

gambaran persentase dari 8 orang penyandang low vision yang menunjukkan

(25)

12

8 orang responden (100%) belum dapat menerima keadaan low vision

yang dialaminya. Mereka cenderung memandang keadaan low vision

sebagai suatu kekurangan yang membuat mereka merasa tidak yakin pada

diri mereka sendiri. Mereka juga merasa lebih banyak memiliki

kekurangan jika dibandingkan orang lain, khususnya mereka yang dapat

melihat dengan normal (self acceptance).

• 8 orang responden (100%) mengalami kesulitan untuk menggunakan

segala daya dan kesempatan yang ada di lingkungan untuk menyelesaikan

masalah yang mereka miliki. Mereka merasa tugas dan kewajiban yang

harus mereka lakukan adalah sesuatu yang memberatkan. Keadaan

matanya membuat mereka cepat lelah dan membutuhkan waktu yang

lebih lama dalam melakukan suatu pekerjaan. Mereka juga sulit untuk

mengatur waktu dan menyusun rencana kegiatan yang sudah mereka

buat, terkadang mereka merasa frustrasi dan pada akhirnya menjalani

hidup sebagaimana mereka dapat menjalaninya (environmental mastery).

• 5 orang responden (62.5%) mengalami kesulitan untuk membina dan

mempertahankan hubungan dekat dengan orang lain. Mereka seringkali

merasa sebagai ‘orang luar’ dan tidak merasa terlibat dalam pembicaraan

dan aktivitas yang dilakukan kelompoknya. Hal ini terkadang membuat

mereka merasa terasing dan tidak nyaman di dalam lingkungan tersebut

(positive relations with others).

• 4 orang responden (50%) merasa ragu untuk mengungkapkan pendapat.

(26)

13

sehingga mereka cenderung berdiam diri. Para responden cenderung

bergantung pada orang lain untuk membantu mereka didalam

menjalankan kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan tidak adanya

keberanian untuk mencoba hal yang bisa dilakukan sendiri dan

menciptakan suatu ketergantungan yang membuat mereka tidak bisa

hidup secara mandiri (autonomy).

• 2 orang responden (25%) merasa adanya keterbatasan pada diri mereka

dan pada batasan tertentu mereka tidak akan dapat bertumbuh dan

berkembang. Mereka menyukai kegiatan yang menantang dan dapat

mengembangkan diri namun mereka tidak melakukannya karena merasa

memiliki keterbatasan penglihatan. Mereka merasa bahwa masalah

penglihatan dapat mempengaruhi kompetensi mereka dalam beraktivitas

(personal growth).

2 orang responden (25%) juga merasa bahwa keadaan low vision

menghalangi pencapaian tujuan mereka. Mereka pernah mengalami masa

dimana mereka dalam proses untuk mencapai tujuan, namun keadaan low

vision yang mereka alami menghalangi mereka untuk dapat mencapai cita-cita. Keseharian yang dilakukan adalah kegiatan rutin sehari-hari

yang dirasakan sepele dan tidak penting sehingga menutup adanya

kemungkinan munculnya kesempatan yang lebih baik untuk mencapai

(27)

14

Berdasarkan hasil penelitian tersebut self acceptance dan environmental

mastery merupakan dimensi yang paling signifikan pada dewasa awal penyandang low vision di Yayasan “X” Bandung yang memiliki derajat PWB

rendah. Menurut Ryff (1989), dimensi self acceptance dan environmental

mastery memiliki kaitan yang sangat erat. Ryff (1989) juga yang menyatakan bahwa self-acceptance merupakan “key part” dari PWB. Dengan demikin self

acceptance merupakan dimensi yang penting dalam pembentukan PWB. Rendahnya self acceptance pada sebagian para penyandang low vision dewasa

awal ini, membuat mereka mengalami kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan

kondisi low vision yang dialaminya, sehingga derajat PWB mereka menjadi

rendah.

McCracken dan Eccleston (2003 dalam Johnston, 2008) menggambarkan

penerimaan sebagai melepaskan diri dari perjuangan rasa sakit, bersikap realistis

tentang rasa sakit, dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang bermanfaat.

Penerimaan sangat membantu dalam hal penyesuaian karena digunakan untuk

mempromosikan individu untuk menjalani kehidupan yang memuaskan

meskipun sakit. McCracken dan Eccleston (2003) berpendapat bahwa

penerimaan dapat diandalkan untuk menengahi upaya perubahan perilaku yang

efektif.

Semakin tinggi keberhasilan seorang mengadaptasikan dirinya dengan

kondisi ketunanetraannya, akan semakin tinggi pula kemampuan fungsionalnya,

harga dirinya, dan kepuasan hidupnya, serta akan semakin rendah tingkat

(28)

15

hasil penelitian yang dilakukan oleh The Arlene R. Gordon Research Institute

(Lighthouse Internasional, 2007), terdapat beberapa strategi yang dapat

membantu banyak orang tunanetra beradaptasi dengan ketunanetraannya.

Penerimaan yang realistis terhadap kehilangan penglihatan, tidak menolak dan

juga tidak membesar-besarkan dampaknya, merupakan salah satu langkah

terpenting untuk mengatasi tantangan yang diakibatkan ketunanetraan (Tarsidi,

2008). Maka dibutuhkan usaha untuk membantu meningkatkan penerimaan dari

penyandang low vision terhadap keadaan yang dialaminya.

Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk mencapai penerimaan

dan perubahan, adalah dengan menggunakan Acceptance and Commitment

Therapy, selanjutnya disingkat dengan ACT yang dipopulerkan oleh Steven C. Hayes. ACT merupakan jenis psikoterapi yang membantu individu menerima

kesulitan yang datang dalam kehidupannya. ACT mengaplikasikan proses

kesadaran dan penerimaan, yang meyakini bahwa kesejahteraan lebih baik dapat

dicapai dengan mengatasi pikiran dan perasaan negatif. Seluruh metode dari

ACT berusaha untuk menciptakan fleksibilitas psikologis yaitu kemampuan

untuk secara penuh berhubungan dengan situasi yang sekarang sedang dihadapi

sebagai manusia yang sadar dan untuk berubah atau tidak sesuai dengan nilai

yang mereka miliki (Hayes, 2006). Fleksibilitas psikologis merupakan

satu-satunya prediktor yang paling efektif dari PWB seseorang (Bond & Bunce,

2003). Dengan memediasi peran dari fleksibilitas psikologis, ACT dapat

(29)

16

dimilikinya serta menjalani kehidupan yang lebih bermakna meskipun

mengalami keterbatasan dalam penglihatannya.

Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan ACT, hasilnya

telah terbukti bahwa ACT dapat meningkatkan kesehatan mental dan

well-beingness. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Bergman (2010), menunjukkan bahwa intervensi ACT memiliki pengaruh positif terhadap

peningkatan PWB pada ibu-ibu yang memiliki anak autis. Hasil dari penelitian

tersebut menunjukkan adanya peningkatan dalam fleksibilitas psikologis,

keterampilan mindfulness, penurunan tingkat depresi dan perubahan kualitas

hidup. Setelah menjalani ACT para responden menjadi lebih mampu menerima

pikiran dan perasaan mereka, mampu menghadapi situasi yang tidak

menyenangkan. Lebih jauh lagi, para responden menjadi lebih menyadari

masalah yang terjadi di dalam hidupnya dan mulai melakukan perubahan sesuai

dengan nilai-nilai yang mereka miliki.

Berdasarkan fakta diatas, maka peneliti tertarik untuk memberikan

intervensi ACT kepada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan “X”

Bandung yang memiliki derajat PWB rendah.

1.2 Identifikasi Masalah

Apakah penerapan ACT berpengaruh terhadap peningkatan derajat PWB

(30)

17

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

penerapan ACT dalam meningkatkan derajat PWB pada penyandang low vision

usia dewasa awal di Yayasan “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan derajatPWB melalui

penerapan ACT pada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan “X”

Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan

khususnya dalam bidang psikologi klinis mengenai efektivitas ACT,

yang dapat digunakan sebagai salah satu intervensi untuk

meningkatkan derajat PWB pada penyandang low vision dewasa

awal.

- Menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan

penelitian sejenis ataupun penelitian lebih lanjut yang berkaitan

dengan efektivitas ACT untuk menurunkan derajat PWB pada

(31)

18

1.4.2 Kegunaan Praktis

- Bagi penyandang low vision, penerapan ACT diharapkan dapat

memahami faktor-faktor psikologis yang berperan dalam

meningkatkan derajat PWB yang dimilikinya, sehingga mampu

mengembangkan seluruh potensi dirinya secara optimal dalam

seluruh aspek kehidupannya.

- Bagi pihak Yayasan “X”, diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan

derajat PWB para penyandang low vision yang tergabung di yayasan

tersebut.

- Bagi pihak pendamping atau keluarga, diharapkan penelitian ini

dapat memberikan informasi mengenai berbagai aspek psikologis

yang berpengaruh terhadap peningkatan derajat PWB para

penyandang low vision, sehingga dapat memberikan bantuan dan

dukungan secara efektif.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui penerapan Acceptance and

Commitment Therapy (ACT) dalam meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) pada penyandang low vision dewasa awal di Yayasan “X” Bandung. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang penyandang low vision yang

memiliki derajat Psychological Well-Being (PWB) rendah. Teknik sampling yang

(32)

19

Rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pre-test and

post-test design, dimana kepada subjek penelitian dilakukan dua kali pengukuran yaitu sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, yang dalam hal ini adalah Acceptance

and Commitment Therapy (ACT). Data yang diperoleh pada penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu

mencoba menggambarkan hasil penelitian dalam bentuk uraian deskriptif dan

melakukan perbandingan secara kualitatif antara hasil pretest dan posttest.

(33)

320

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dapat meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) pada penyandang low vision

di Yayasan “X” Bandung.

2. Peningkatan derajat Psychological Well-Being (PWB) setelah

diberikan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) sejalan

dengan peningkatan derajat fleksibilitas psikologis pada kedua subjek.

3. Kedua subjek menunjukkan peningkatan pada seluruh dimensi

Psychological Well-Being (PWB), dan peningkatan tertinggi terdapat pada dimensi Self-Acceptance.

4. Keberhasilan dari Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dalam

meningkatkan derajat Psychological Well-Being (PWB) juga ikut

dipengaruhi oleh karakteristik subjek penelitian seperti faktor

kepribadian, kemampuan memahami dan mendapatkan insight dari

metafora yang diberikan, kesediaan untuk terlibat aktif baik dalam sesi

terapi maupun dalam melakukan pekerjaan rumah serta adanya

(34)

321

4.2 SARAN

4.2.1 Saran Praktis

1. Bagi subjek penelitian, diharapkan dapat tetap menerapkan

pengetahuan dan keterampilan yang telah didapatkan dari terapi agar

peningkatan derajat psychological well-being (PWB) dapat

dipertahankan.

2. Bagi pihak yayasan diharapkan dapat menggunakan pengetahuan dari

penelitian ini untuk memberikan perhatian dan dukungan terhadap

aspek-aspek psikologis yang berperan dalam rangka meningkatkan

derajat psychological well-being (PWB) pada para penyandang low

vision yang tergabung di yayasan tersebut, serta terus memberikan pendampingan untuk penyandang low vision yang belum dapat

menerima keadaannya.

3. Bagi Psikolog dan Terapis dapat mempertimbangkan untuk

menerapkan prosedur Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

dalam penelitian ini sebagai salah satu model intervensi yang dapat

digunakan untuk meningkatkan derajat psychological well-being

(PWB) pada penyandang low vision atau kasus serupa.

4.2.2 Saran Penelitian

1. Penelitian selanjutnya disarankan untuk mempertimbangkan jumlah

sesi yang akan diberikan dalam Acceptance and Commitment Therapy

(35)

322

atau menambah sesi tertentu tergantung dari kondisi masing-masing

subjek selama proses terapi.

2. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memberikan waktu yang lebih

dalam melakukan latihan mindfulness agar subjek mendapatkan

manfaat yang lebih banyak dari latihan tersebut.

3. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memodifikasi cerita-cerita

metafora dalam referensi Acceptance and Commitment Therapy

(ACT) yang disesuaikan dengan budaya yang ada di Indonesia, agar

subjek lebih mudah menghayati dan mendapatkan insight dari

metafora yang diberikan.

4. Penelitian selanjutnya khususnya yang ingin meneliti kasus serupa

disarankan untuk mempertimbangkan bentuk pemberian pekerjaan

rumah yang lebih praktis, hal ini untuk kenyamanan dan

mempermudah subjek dalam proses mengerjakan tugas-tugas yang

diberikan selama terapi.

(36)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Bergman, Tiina Holmberg. 2010. The Influence of Acceptance And Commitment Therapy (ACT) for the Psychological Well Being of Mothers Raising a child diagnosed with an Autism Spectrum Disorder. Masters Thesis. Finnish Lakeland: The University of Jyväskylä, Departement of Psychology.

Campbell, Donald T. & Stanley, Julian C. 1963. Experimental & Quasi Experimental Design for Research. Chicago: RandMc, Nally College Publishing Company.

Ciarrochi, J. Bilich, L. & Godsell C. 2010. Psychological Flexibility as a Mechanism of Change in Acceptance and Commitment Therapy. Dalam Baer, R. (penyunting) Assessing Mindfulness and Acceptance: Illuminating the Processes of Change. Selected reading. Hal 51-76. Oakland, CA: New Harbinger Publications, Inc.

Duponsel, Nathalie De La Haye. 2012. Socio Demographic, Visual and Psychological Factors Associated with Adjustment to Vision Loss in Retinitis Pigmentosa.

Fletcher, Donald C. & Colenbrander A. 1999. Introducing Rehabilitation. Dalam Fletcher, Donald C. (penyunting) Low Vision Rehabilitation: Caring for the Whole Person. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology. Freeman, Kathleen Fraser. 1997. Optometric Clinical Practice Guideline : Care

Of The Patient With Visual Impairment (Low Vision Rehabilitation). St. Louis : American Optometric Association.

Graziano, A.M & Raulin, M.L. 2000. Research Methods: a process of inquiry4th edition. Needham Height: A Pearson Education Company.

Hayes, S.C. 2004. Acceptance and Commitment Therapy, Rational Frame Theory and The Third Wave of Behavioral and Cognitive Therapies. Behavior Therapy 35, 639-665.

Hayes, S.C. & Smith S. 2005. Get Out of Your Mind and Into Your Life. Oakland, Canada : New Publication, Inc.

(37)

Morse, J. L. 1983. Psychosocial Aspect of Low Vision. Dalam Jose,R.T. (penyunting) Understanding Low Vision. Selected reading. New York: American Foundation for the Blind.

O’Connor, P. & Keeffe, J. 2007. Focus on Low Vision. Melbourne: Centre for Eye Research Australia.

Ryff, C.D. 1989. Happiness is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57. 1069-1081.

Ryff, C.D. & Dunn, D.D. 1985. A Life-span Developmental Approach To The Study of Stressful Events. Journal of Applied Developmental Psychology, 6. 113-127.

Santrock, John W. 2002. Life Span Development 5th edition. Jakarta: Erlangga. Schinazi, Victor R. 2006. Psychosocial Implications of Blindness and Low Vision.

London: Royal London Society for the Blind.

Seagel, S. 1997. Statistik Non Parametrik untuk ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(38)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Indah, Catharina S. 2012. Studi Deskriptif mengenai Psychological Well-Being pada Dewasa Awal Penyandang Low Vision di Yayasan ”X” Bandung. Skripsi, Bandung: Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Tasran, Riri R. 2012. Penerapan Acceptance And Commitment Therapy (ACT) terhadap Kepatuhan Individu dengan HIV dalam mengkonsumsi Antiretroviral (ARV). Tesis, Bandung: Program Magister Profesi Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung.

(39)

http://www.who.int/blindness/causes/priority/en/index5.html [14 Oktober 2012]

http://www.syamsidhuhafoundation.org [14 Oktober 2012]

http://d-tarsidi.blogspot.com/2008/11/model-konseling-rehabilitasi-bagi.html

[29 November2012]

http://www.cera.org.au/uploads/CERA_FocusLowVision.pdf

[29 November 2012]

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19541207198112

-AHMAD_NAWAWI/PENDIDIKAN_INKLUSIF_BAGI_ANAK_LV.pdf

[29 November 2012]

http://rehsos.kemsos.go.id [11 Maret 2013]

http://www.sehatnews.com [12 Juni 2013]

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/845-gangguan-penglihatan-masih-menjadi-masalah-kesehatan.html [12 Juni 2013]

Referensi

Dokumen terkait

Di pertemuan selanjutnya, konselor mengajak konseli untuk menontok film lagi, seperti perjanjian di awal proses konseli akan dilakukan menggunakan Cinema Theraphy

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan persiapan pranikah, lingkungan prenatal, lingkungan persalinan, dan lingkungan postnatal dengan pertumbuhan dan

Berikut ini adalah hasil dari eksperimen yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan CLSC pada data uji ketiga dengan menggunakan algoritma Simulated Annealing

Semen Padang terus berupaya untuk memperkuat budaya kerja unggul, pengelolaan sumber daya manusia yang difokuskan pada program - program peningkatan kapabilitas

Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komite IV DPD Ghazali Abas dan dihadiri oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency), Otoritas Jasa Keuangan

Dengan jumlah skor sebesar 74,231, maka indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perizinan dan investasi di KPPI Kabupaten Purbalingga berdasarkan unsur keahlian dan

Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa kasus pasien pulang paksa di rumah sakit dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pasien dan tarif

Mak (1989) ; Miles dan Snow (1978); Porter (1980) menyimpulkan bahwa perusahaan yang menerapkan strategi differentiation dan berada dalam ketidakpastian lingkungan yang