• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH DETEKTOR RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKALAH DETEKTOR RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

“DETEKTOR RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR”

DISUSUN OLEH :

Nama : Pipit Dwi rahayu (021500449) : Safira Rachmadewi (021500453) : Yudi Irwanto (021500456) Jurusan : Teknofisika Nuklir

Prodi : Elektronika Instrumentasi Dosen : Toto Trikasjono, S.T, M.Kes Mata Kuliah : Instrumentasi Nuklir

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

YOGYAKARTA

2017

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “Detektor Radiasi dalam Kedokteran Nuklir” ini, diperuntukkan untuk kalangan masyarakat, mahasiswa teknik nuklir dan para pekerja di bidang kesehatan, karena makalah ini membahas secara mendetail seputar prinsip detektor radiasi nuklir yang digunakan dalam keperluan dibidang kedokteran. Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua yang telah memberikan bantuan doa serta dukungan baik berupa moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

2. Dosen mata kuliah instrumentasi Nuklir, Bapak Toto Trikasjono, S.T, M.Kes yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.

3. Teman-teman program studi Elektronika Instrumentasi angkatan 2015 yang telah banyak memberikan dukungan dan motivasi .

Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan di dalamnya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya para mahasiswa sebagai referensi dalam mempelajari mata kuliah Instrumentasi Nuklir.

Yogyakarta, 28 Maret 2017

Tim Penulis

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGATAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I. PENDAHULUAN ... 4

1.1. Latar Belakang ... 4

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.4. Tujuan Penulisan ... 5

BAB II. PEMBAHASAN ... 6

2.1. Detektor... 6

2.1.1. Pengertian Detektor Radiasi ... 6

2.1.2. Jenis Detektor Radiasi... 7

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Detektor Radiasi ... 11

2.2. Kedokteran Nuklir ... 12

2.2.1. Pengertian Detektor Nuklir ... 12

2.2.2. Diagnosa ... 13

2.2.3. Pengobatan ... 14

2.3. Penerapan Detektor pada Kedokteran Nuklir ... 14

2.3.1. Kamera Gamma ... 14

2.3.2. Renograf ... 22

2.3.3. PET ... 25

2.3.4. SPECT... 26

2.3.5. Uptake Thyroid ... 27

BAB III. PENUTUP ... 29

3.1 Kesimpulan ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... iv

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pada abad ke-20 ini, perkembangan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Salah satunya disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran serta kesehatan.Terobosan penting dalam bidang ilmu dan teknologi ini memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam diagnosis dan terapi berbagai penyakit termasuk penyakit-penyakit yang menjadi lebih penting secara epidemologis sebagai konsekuensi logis dari pembangunan di segala bidang yang telah meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Penggunaan radioisotop dalam bidang kedokteran yang dikenal dengan nama kedokteran nuklir telah dimulai pada tahun 1901 oleh Henri DANLOS yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tubercolusis pada kulit. Akan tetapi yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C. de HEVESSY, bukan Henri DANLOS. George C. de HEVESSY merupakan peletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan radioisotop alam Pb-212. Penemuan radioisotop buatan ini menyebabkan penggunaan radioisotop alam sudah tidak lagi digunakan. Adapun radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I-131. Tetapi saat ini pemakaiannya telah terdesak oleh Tc-99m selain karena sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah serta relatif murah harganya.Namun demikian, I-131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi khususnya kanker kelenjar tiroid.

Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat tersebut dapat terjadi berkat dukungan dari perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan digunakannya komputer untuk pengolahan data dari sistem instrumentasi yang menggunakan detektor radiasi dengan sistem elektronik. Kedokteran Nuklir merupakan salah satu cabang dari ilmu kedokteran yang memanfaatkan radiofarmaka (senyawa kompleks dari radioisotop sumber terbuka berumur paro relatif pendek dengan suatu persediaan farmasi yang spesifik untuk organ tertentu) dan peralatan deteksi nuklir (deteksi sinar gamma atau beta) yang dilengkapi perangkat lunak khusus untuk mengetahui fungsi dan anatomi organ tertentu dalam rangka diagnostik suatu kelainan / penyakit maupun terapi penyakit. Keunggulan kedokteran nuklir adalah kemampuannya mendeteksi bahan-bahan yang ditandai dengan perunut radioaktif. Di samping itu teknik nuklir berperan pula dalam kajian-kajian dan penelitian-penelitian untuk lebih memahami proses fisiologi dan patofisiologi dari kelainan yang terjadi di berbagai organ tubuh manusia sampai tingkat seluler bahkan molekuler. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti endokrinologi, nefrologi, kardiologi, neurologi, onkologi dan sebagainya telah lama memanfaatkan teknik ini.

(5)

Dewasa ini, aplikasi kedokteran nuklir telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam memudahkan diagnosis maupun terapi berbagai jenis penyakit.Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti ilmu penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini.Untuk itu kami membuat makalah ini untuk membahas lebih detail mengenai detector radiasi yang digunakan dalam dunia kedokteran.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian detektor?

2. Apa pengertian kedokteran nuklir?

3. Bagaimana penerapan detektor pada kedokteran nuklir?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan memahami pengertian detektor.

2. Mengetahui dan memahami pengertian kedokteran nuklir.

3. Mengetahui dan memahami penerapan detektor pada kedokteran nuklir.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Detektor

2.1.1. Pengertian Detektor Radiasi

Detektor merupakan sebuah alat deteksi sinar radioaktif atau sistem pencacah radiasi yang memiliki prinsip kerja untuk mengubah radiasi menjadi pulsa listrik.

Detektor peka terhadap radiasi, yang bila dikenai radiasi akan menghasilkan tanggapan mengikuti mekanisme yang telah dibahas sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa suatu bahan yang sensitif terhadap suatu jenis radiasi belum tentu sensitif terhadap jenis radiasi yang lain. Sebagai contoh, detektor radiasi gamma belum tentu dapat mendeteksi radiasi neutron.

Komponen-komponen dasar :

a. Sumber listrik, berasal dari baterai atau pemasok arus DC.

b. Amplifier, penguat pulsa listrik.

c. Pencatat Waktu, menunjukkan waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan sejumlah pencacahan yang diinginkan.

d. Diskriminator, penyeleksi pulsa.

e. Penganalisis salur tunggal (SCA), menerima pulsa-pulsa yang terletak pada suatu interval tertentu, kemudian interval divariasikan untuk mencacah jumla tinggi pulsa yang berbeda.

f. Penganalisis salur ganda (MCA), sistem kerjanya sama dengan SCA namun waktu pencacahan lebih cepat dan dapat memunculkan pulsa-pulsa dalam bentuk puncak-puncak yang banyak.

g. Alat pencatat atau skaler, untuk menampilkan hasil pencacahan.

Semua jenis peralatan deteksi partikel radiasi memiliki prinsip yang sangat mirip, yaitu partikel radiasi memasuki detektor dan terjadilah interaksi antara partikel radiasi dengan material detektor, sehingga terjadi proses eksitasi atau ionisasi molekul- molekul material detektor. Apabila material detektor tersebut terbuat dari gas, maka interaksi antara semua partikel radiasi alpha (α), beta positif (β+), beta negatif (β-), gamma (γ) dan netron dengan gas akan terjadi proses ionisasi yang menghasilkan ion positif dan elektron. Dengan demikian, diperlukan teknik untuk memisahkan dua jenis partikel tersebut dalam waktu yang sangat singkat, karena apabila kedua jenis

(7)

partikel ini tetap berdekatan maka mereka akan bergabung kembali sehingga tidak menimbulkan sinyal listrik. Pemilihan material detektor sangat bergantung pada jenis partikel radiasi yang akan dideteksi serta tujuan yang ingin diperoleh dari pendeteksian. Partikel alpha (α) memiliki daya tembus kecil, sehingga detektor untuk partikel radiasi alpha (α) memiliki ukuran sangat tipis. Berdasarkan daya tembus partikel, maka biasanya detektor partikel beta (β) memiliki ketebalan sekitar 0,1 mm - 1 mm sedangkan detektor gamma (γ) memiliki ketebalan sekitar 5 cm.

2.1.2. Jenis Detektor Radiasi.

Jenis-jenis detektor radiasi yaitu : a) Detektor Isian Gas.

b) Detektor Semikonduktor.

c) Detektor Sintilasi.

Ketiga jenis detektor tersebut memiliki prinsip kerja yang berbeda-beda sesuai konstruksi detektor tersebut. Berikut akan dibahas prinsip kerja detektor radiasi.

a) Detektor Isian Gas

Detektor Isian gas merupakan detektor yang paling sering digunakan untuk mengukur radiasi. Bahan detektornya berupa gas maka disebut detektor ionisasi gas. Detektor ini terdiri dari dua elektroda positif dan negatif yang berisi gas di antara kedua elektrodanya. Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder dengan sumbu yang berfungsi sebagai anoda dan dinding silindernya sebagai katoda.

Detektor ini juga memanfaatkan hasil interaksi radiasi pengion dengan gas yang dipakai sebagai detektor. Lintasan radiasi pengion di dalam detektor mengakibatkan terlepasnya elektron-elektron dari atom sehingga terbentuk pasangan ion positif dan ion negatif. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor berkontribusi terbentuknya arus listrik. Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik.

Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang berbeda yaitu :

 Detektor Ionisasi Chamber/Kamar Inonisasi.

Kamar ionisasi tersusun sejumlah volume gas kecil pada tekanan atmosfer dalam kamar, I di dalamnya terdapat dua elektroda, E dan E‟ yang dipertahankan pada beta potensial tinggi menggunakan sumber tegangan V.

Berkas radiasi masuk ke dalam chamber sehingga menyebabkan ionisasi. Ion yang dihasilkan dikumpulkan pada elektroda + dan - .Keuntungan detektor ini

(8)

adalah dapat membedakan energi yang memasukinya dan tegangan kerja yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi.

 Detektor Proporsional Counter.

Salah satu kelemahan dlm mengoperasikan detektor pada daerah kamar ionisasi adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, tetapi masih tetap dapat memanfaatkan kemampuan detektor dalam membedakan berbagai jenis radiasi, maka detektor dapat dioperasikan pada daerah proporsional. Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada kamar ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang besarnya bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan tegangan yang digunakan. Karena terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang dihasilkan sangat besar. Keuntungan alat pantau proporsional mampu mendeteksi radiasi dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber tegangan yang super stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini sangat besar terhadap tingkat multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out put.

 Detektor Geiger Muller

Detektor Geiger-Muller (GM) beroperasi pada tegangan diatas detektor proporsional. Dengan mempertinggi tegangan mengakibatkan proses ionisasi yang terjadi dalam detektor menjadi jenuh. Karena tidak mampu lagi membedakan berbagai jenis radiasi yang ditangkap detektor, maka detektor GM hanya dipakai untuk mengetahui ada tidaknya radiasi.Keuntungan dalam pengoprasian GM ini adalah denyut output sangat tinggi, sehingga tidak diperlukan penguat (amplifier) atau cukup digunakan penguat yang biasa saja.

Detektor ini merupakan detektor yang paling sering digunakan karena dari segi elektonik sangat sederhana, tidakperlu menggunakan rangkaian penguat.

Sebagian besar peralatan ukur proteksi radiasi yang harus bersifat portabeln terbuat dari detektor Geiger Mueller.

b) Detektor Semikonduktor

Bahan semikonduktor terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon atau germanium. Detektor ini keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan detektor isian gas karena terbuat dari zat padat, mempunyai resolusi yang lebih baik dari detektor sintilasi. Bahan isolator dan semikonduktor tidak dapat meneruskan arus listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya berada

(9)

di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap bahan sehingga beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila diantara kedua ujung bahan semikonduktor terdapat beda potensial maka akan terjadi aliran arus listrik.

Pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik. Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N dengan tipe P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke tipe N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P. Dengan adanya lapisan kosong muatan ini maka tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki lapisan kosong muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole, yang akan bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan elektron dan hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya arus listrik.

c) Detektor Sintilasi

Detektor sintilasi mirip proses eksitasi, terdiri dari dua bagianyaitu bahan sintilator dan photomultiplier. Bahan sintilator merupakan Bahan padat, cair maupun gas yang akan menghasilkan percikan cahaya bila dikenai radiasi pengion. Mekanisme pendeteksian radiasi pada detektor sintilasi dapatdibagi menjadi dua tahap yaitu :

1. Proses pengubahan radiasi yang mengenai detektor menjadi percikan cahaya di dalam bahan sintilator.

2. Proses pengubahan percikan cahaya menjadi pulsa listrik di dalam tabung photomultiplier.

 Bahan Sintilator.

Di dalam kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar, ground state, seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya akan terserap oleh beberapaelektron di pita valensi, sehingga dapat meloncat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian elektronelektron tersebut akan kembali ke pitavalensi melalui pita energi bahan aktivator sambil memancarkan percikan cahaya.

(10)

Gambar: proses terjadinya percikan cahaya di dalam sintilator

Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya. Percikan- percikan cahaya ini kemudian „ditangkap‟ oleh photomultiplier.Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai detektor radiasi.

 Kristal NaI(Tl).

 Kristal ZnS(Ag).

 Kristal LiI(Eu).

 Sintilator Organik.

 Tabung Photomultiplier

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua bagian yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator berfungsi untuk mengubah energi radiasi menjadi percikan cahaya maka tabung photomultiplier ini berfungsi untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa/arus listrik.Tabung photomultiplier terbuat daritabung hampa yang kedap cahaya dengan photokatoda yang berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat beberapa dinode untuk menggandakan elektron. Photokatoda yang ditempelkan pada bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan diarahkan, dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.

(11)

Gambar: konstruksi tabung photomultiplier

Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yangterkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.

2.1.3. Keunggulan dan Kelemahan Detektor Radiasi.

Dari pembahasan di atas terlihat bahwa setiap radiasi akan diubah menjadi sebuah pulsa listrik dengan ketinggian yang sebanding dengan energi radiasinya. Hal tersebut merupakan fenomena yang sangat ideal karena pada kenyataannya tidaklah demikian.

Terdapat beberapa karakteristik detektor yang membedakan satu jenis detektor dengan lainnya yaitu efisiensi, kecepatan dan resolusi.

 Efisiensi detektor

Merupakan suatu nilai yang menunjukkan perbandingan antara jumlah pulsa listrik yang dihasilkan detektor terhadap jumlah radiasi yang diterimanya. Nilai efisiensi detektor sangat ditentukan oleh bentuk geometri dan densitas bahan detektor. Bentuk geometri sangat menentukan jumlah radiasi yang dapat 'ditangkap' sehingga semakin luas permukaan detektor, efisiensinya semakin tinggi. Sedangkan densitas bahan detektor mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat berinteraksi sehingga menghasilkan sinyal listrik. Bahan detektor yang mempunyai densitas lebih rapat akan mempunyai efisiensi yang lebih tinggi karena semakin banyak radiasi yang berinteraksi dengan bahan.

 Kecepatan detektor

Menunjukkan selang waktu antara datangnya radiasi dan terbentuknya pulsa listrik.

Kecepatan detektor berinteraksi dengan radiasi juga sangat mempengaruhi pengukuran karena bila respon detektor tidak cukup cepat sedangkan intensitas

(12)

radiasinya sangat tinggi maka akan banyak radiasi yang tidak terukur meskipun sudah mengenai detektor.

 Resolusi detektor

Merupakan kemampuan detektor untuk membedakan energi radiasi yang berdekatan.

Suatu detektor diharapkan mempunyai resolusi yang sangat kecil (high resolution) sehingga dapat membedakan energi radiasi secara teliti. Resolusi detektor disebabkan oleh peristiwa statistik yang terjadi dalam proses pengubahan energi radiasi, noise dari rangkaian elektronik, serta ketidak-stabilan kondisi pengukuran.

 Konstruksi detector.

Aspek lain yang juga menjadi pertimbangan adalah konstruksi detektor karena semakin rumit konstruksi atau desainnya maka detektor tersebut akan semakin mudah rusak dan biasanya juga semakin mahal.

2.2 Pengertian Kedokteran Nuklir 2.2.1. Pengertian Kedokteran Nuklir

Kedokteran nuklir adalah spesialisasi medis yang menggunakan zat-zat radioaktif dalam diagnosis dan pengobatan penyakit. Badan Kesehatan Dunia WHO dan Badan Internasional Tenaga Atom (IAEA) mendefinisikan kedokteran nuklir sebagai spesialis kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka nuklir untuk menilai fungsi dari suatu organ, mendiagnosa dan mengobati penyakit.

Penggunaan energi radioaktif berbeda pada kedokteran radiologi dan kedokteran nuklir. Pada diagnostik radiologi radiasi eksternal (sinar-X) melewati tubuh dan membentuk gambar.Sedangkan pada kedokteran nuklir, energi radiasi terbuka diberikan dalam bentuk obat radioaktif yang dikombinasikan dengan unsur lain untuk membentuk senyawa radiofarmasi. Radiofarmasi dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum atau disuntik. Pendeteksi sinar gamma akan menangkap gambar dari radiasi yang dihasilkan radiofarmasi.

Bahan radioaktif dalam kedokteran nuklir terdiri dari sinar gamma, beta, dan alfa. Sinar gamma digunakan pada prosedur diagnostik, sedangkan sinar beta untuk prosedur terapi. Sedangkan sinar alfa masih dalam tahap penelitian untuk penggunaan bidang kedokteran.

(13)

2.2.2. Diagnosa

Dalam pendiagnosaan, terdapat 2 teknik dalam kedokteran nuklir, yakni:

 In vivo

Suatu Metoda diagnostik dengan cara pemberian radiofarmaka kepada pasien melalui suntikan, mulut/oral, dan inhalasi. Pencitraan organ tubuh pasien diperoleh berdasarkan pancaran radiasi sinar gamma yang kemudian ditangkap oleh alat kamera gamma. Diagnosis didasarkan pada perubahan fisiologis atau biokimiawi yang terjadi ditingkat sel maupun molekuler.

 In Vitro

Suatu metoda diagnostik menggunakan Radionuklida yang direaksikan dengan bahan biologis tubuh manusia untuk menentukan kadar zat tertentu di dalam tubuh (darah, urin, dll). Metode yang digunakan adalah

a. Metoda Radio Immuno Assay (RIA) Merupakan reaksi immunologik antara anti gen bertanda radioaktif dengan antibodi spesifik.

b. Metoda Immuno Radiometric Assay (IRMA). Prinsip dasar IRMA adalah Ligan yang konsentrasinya harus diukur secara

khusus terikat oleh antibodi tak bergerak dan antibodiberlabel radioaktif .

Teknik Nuklir In Vitro digunakan untuk analisis kadar:

a. Hormon Pituitari: GH, FSH, LH, Prl, ACTH

b. Hormon Tiroid: T3, T4, T3U/FTI, TBG, TMS, Tg, TSAb ,r-T3 c. Hormon Paratiroid : PTH-MM

d. Hormon Reproduksi : Estradiol, Estriol, Progesteron, Testosteron, HCG,HPL,DHEASO4

e. Hepatitis B dan C f. Mikroalbumin

g. Tumor Marker: AFP, CEA, PSA, Ca.125 h. Obat-obatan :Digoksin,Theophyllin i. Insulin, Gastrin

j. Ferritin, Asam Folat, Vit.B12 k. dan lain-lain.

Dua instrumen utama yang digunakan dalam diagnosis kedokteran nuklir adalah single-photon emission computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET) yang menghasilkan gambar tiga dimensi. Perangkat hibrida misalnya SPECT/CT dan PET/CT akan menyorot bagian tubuh yang mengandung

(14)

konsentrasi tinggi radiofarmsi. Dari hasil pencitraan,dokter dapat menentukan prosedur lanjutan seperti pembedahan.

Adapun prinsip pencitraan dalam kedokteran nuklir ialah:

 Menggunakan radioisotop sbg sumber sinar gamma dengan energi 80-511 keV.

 Radioisotop dimasukkan kedalam organ tubuh yang diperiksa (in vivo).

 Organ tubuh memencarkan radiasi, detektor mencatat paparan diluar tubuh.

 Radiasi diubah menjadi cahaya, cahaya diubah menjadi data digital, data digital direkonstruksi menjadi citra diagnostik.

2.2.3. Pengobatan

Ada sejumlah bahan radiofarmasi yang digunakan untuk mengobati penyakit, diantaranya:

 Iodine-131-natrium iodida untuk mengobati hipertiroidisme dan kanker tiroid.

 Yttrium-90-ibritumomab tiuxetan (Zevalin) dan Iodine-131-tositumomab (Bexxar) pada pengobatan limfoma refraktori.

 MIBG-131I(metaiodobenzylguanidine)pada pengobatan tumor neuroendoktrin.

 Samarium-153 atau Strontium-89 pada pengobatan nyeri tulang paliatif.

 Saat ini pengobatan kanker dengan isotop radioaktif (brachytherapy) banyak digunakan di pusat kedokteran nuklir.

Berikut beberapa sumber radiasi (radionuklida), diantaranya:

 Cesium-137 (137Cs)

 Cobalt-60 (60Co)

 Iridium-192 (192Ir)

 Iodine-125 (125I)

 Palladium-103 (103Pd)

 Ruthenium-106 (106Ru)

2.3 Penerapan Detektor pada Kedokteran Nuklir 2.3.1 Kamera Gamma

Pada prinsipnya alat / pesawat kedokteran nuklir hanya digunakan sebagai detektor, yaitu menangkap radiasi yang dipancarkan oleh bahan radioaktif dalam tubuh dan merubahnya menjadi data yang dapat dilihat sebagai angka-angka, warna ataupun grafik. Pemeriksaan imaging kedokteran nuklir memerlukan gamma kamera

(15)

yang mempunyai detektor dalam jumlah banyak. Satu gamma kamera biasanya terdiri dari kolimator, detektor, Photo Multiplier Tube (PMT), Catode Ray Tube (CRT), Pulse Height Analizer (PHA).

Gambar 1. Kamera Gamma

 Komponen Dasar

Kamera gamma pada hakekatnya merupakan kamera skintilasi (scintillation cameras). Pencitraan menggunakan kamera gamma merupakan teknologi imaging emisi. Kamera gamma akan merubah photon gamma yang berhasil diterima oleh detektor menjadi pulsa cahaya dan selanjutnya dirubah menjadi pulsa elektronik (voltage signal). Signal tersebut yang akhirnya akan membentuk citra (image) sesuai dengan ditribusi radionuklida yang dimasukkan kedalam tubuh. Setiap unit kamera gamma memiliki komponen dasar yang terdiri dari :

a. Kolimator

b. Detektor/ Kristal skintilasi c. Photo Multiplier Tube (PMT) d. Cathode Ray Tube (CRT) e. Pulse Height Analyzer (PHA) f. Konsole/Panel Kontrol

Kamera gamma jenis digital memiliki beberapa kelebihan dibanding jenis analog, antara lain dapat melakukan pemrosesan data lebih cepat, karena selalu dilengkapi dengan unit komputasi yang lebih canggih, dan secara umum relatif lebih mudah

(16)

perawatanya. Kamera gamma yang digunakan di kedokteran nuklir RSCM mempunyai merk ADAC laboratories tipe DPS 3300 Micro Nuklear Medicine.

Gambar 2. Komponen dasar kamera gamma

Berikut akan dibahas komponen dasar pada kamera gamma yang digunakan pada kedokteran nuklir.

a. Kolimator

Sebagaimana pada sistem optik yang memerlukan lensa untuk memfokuskan cahaya, dalam kedokteran nuklir juga diperlukan sarana untuk memfokuskan sinar gamma detector.Untuk itu diperlukan kolimator yang terbuat dari timbal yang berisikan pipa-pipa kecil, dimana arah dari pipa-pipa ini tergantung dari jenis kolimator. Dengan kolimator, hanya sinar gamma yang searah dengan pipa-pipa dapat melalui kolimator dan menumbuk detector.

Sedangkan sinar gamma yang arahnya miring akan menumbuk pipa-pipa dan akan diabsorbsi sehingga tidak sampai detektor (kristal skintilasi), hanya menerima signal dari radionuklida terbatas pada sebagian tertentu didalam tubuh pasien). Karenanya kolimator dalam menjalankan fungsinya adalah dengan mengabsorbsi dan menghalangi radiasi photon yang datang diluar bidang tertentu yang berhadapan dengan permukaan detektor. Sehingga radiasi yang diterima oleh kolimator dengan posisi oblique tidak dapat mempengaruhi pembentukan citra.

Kolimator yang digunakan di bagian kedokteran nuklir RSCM adalah kolimator tipe paralel hole paralel MEGP (medium energi general purpose) yaitu

(17)

kolimator dengan jumlah lubang yang banyak dengan kemampuan mengakomodasi photon dengan energi 150 – 350 keV. Bentuk fisik hole/lubang dapat berupa hexagonal atau bulat/lingkaran, dengan septa yang cukup tipis.

Bentuk hexagonal memungkinkan untuk terjadinya penetrasi photon gamma lebih banyak dibanding dengan bentuk hole berupa lingkaran.

Dengan kolimator paralel hole, kecuali ukuran citra yang dihasilkan, jumlah cacah persatuan waktu akan banyak berubah apabila jarak dengan kolimator dirubah. Apabila jarak obyek menjadi lebih jauh dari kristal maka jumlah cacah yang diterima akan jauh berkurang sesuai dengan hukum berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Akan tetapi apabila jarak ditambah, maka luas bidang yang dapat dicover oleh kolimator akan meningkat. Sebaliknya apabila jarak obyek semakin dekat dengan permukaan kolimator resolusi akan semakin baik. Pencitraan menggunakan kolimator multihole harus diupayakan jarak permukaan kolimator harus sedekat mungkin dengan obyek (permukaan tubuh pasien).

Efektivitas kolimator dalam memproduksi gambar pada detektor tergantung dari faktor-faktor, antara lain :

 Dimensi dari kolimator : besar pipa/ukuran hole, jumlah hole, panjang hole dan tebal septa.

 Jarak dari obyek : makin dekat obyek dengan kamera makin baik resolusinya, karena itu sangat penting untuk menempatkan pasien sedekat mungkin dengan kamera.

 Resolusi dan sensitivitas juga sangat dipengaruhi oleh energi sinar gamma yang diterima, makin tinggi energi yang diterima makin buruk cahaya yang dihasilkan detektor.

b. Detektor

Detektor terdiri dari scintilasi kristal yang diletakkan di belakang kolimator, terbuat dari Natrium Iodida (NaI) kristal plus Thalium. NaI (Tl) ini akan mengeluarkan cahaya/scintilisai apabila tertumbuk sinar gamma. Interaksi photon gamma dengan kristal detektor akan menyebabkan terjadinya efek penyerapan photoelektrik, sehingga menghasilkan cahaya fluorosensi yang intensitasnya proposional dengan kandungan energi dari photon gamma yang bersangkutan. Pada umumnya diameter kristal detektor bervariasi sekitar 10 s/d 21 inch, dan ketebalan ¼ s.d ½ inch. Semakin luas ukuran bidang kristal semakin luas pula bidang pencitraan yang dimiliki kamera gamma, sehingga harganya semakin mahal. Semakin tebal ukuran suatu kristal detektor, derajat resolusi spatial akan semakin rendah tetapi semakin efektif dalam menangkap radiasi

(18)

photon gamma.Dibagian kedokteran nuklir RSCM detektor mempunyai luas 25,4 cm2.

c. Photo Multiplier Tube (PMT)

PMT berfungsi untuk merubah signal cahaya menjadi signal elektrik secara terukur. PMT ditempatkan dibagian belakang kristal NaI(Tl) dan berjumlah banyak serta tersusun dalam suatu konfigurasi. PMT dihubungkan dengan kristal secara optis dengan bahan silicon-like materials. Signal skintilasi yang dihasilkan dari kristal akan diterima/dicatat oleh satu atau lebih PMT. Signal keluaran PMT memiliki 3 komponen,yaitu : Semua data-data ini akan terkumpul dalam kolektor dan disimpan dalam memori ini akan diproses menjadi data visual berupa gambar, grafik maupun angka.

d. Cathode Ray Tube (CRT)

Signal-signal yang dapat dari PMT akan diproses menjadi 3 (tiga) signal X, Y, Z. spatial coordinates X dan Y sebagai sumbu , dan komponen Z sebagai parameter besarnya energi yang masuk dalam kristal detektor dan diproses oleh PHA. Koordinat X dan Y dapat langsung diamati pada layar display (CRT) atau didalam komputer. Sedang signal Z (intensitas) akan diproses lebih lanjut oleh komponen berikutnya, yaitu PHA.

e. Pulse Height Analyzer (PHA)

PHA pada prinsipnya memiliki fungsi membuang (to discard) signal- signal radiasi yang beraasal dari cacah latar (background) dan sinar hamburan atau radiasi lain dari hasil interferensi isotop, sehingga hanya foton yang berasal dari photopeak yang dikehendaki yang dicatat. PHA akan melakukan pemilahan terhadap signal-signal tersebut, selanjutnya meneruskan signal yang sesuai untuk diteruskan ke sistem komputer, sedang yang tidak sesuai ditolak. PHA mampu melakukan fungsi tersebut karena energi yang diterima oleh detektor akan diubah menjadi signal skintilasi yang memiliki korelasi linier dengan voltage signal yang dikeluarkan oleh PMT.

f. Kontrol Panel

Image exposure time ditentukan melalui panel kontrol, dengan pilihan : 1. preset count

2. preset time atau

3. preset ID (information density) untuk citra kompresi.

(19)

 Prinsip Kerja Kamera Gamma

Sinar gamma yang dipancarkan dari tubuh pasien ditangkap oleh kristal- kristal sintilasi berdiameter besar (NaI(Tl)) setelah melalui suatu kolimator. Guna kolimator adalah untuk memberikan penajaman pada citra karena hanya melewatkan sinar gamma yang searah dengan orientasi lubang kolimator dan menahan gamma hamburan.Sedangkan rumah timbal menjamin hanya sinar gamma yang datang dari tubuh pasien saja yang dideteksi. Ketika suatu photon gamma berinteraksi dengan kristal sodium iodida yang diaktivasi oleh Thallium (NaI(Tl)) maka dihasilkan pulsa pancaran cahaya (fluorescent light) pada titik interaksi yang intensitasnya sebanding dengan energi sinar gamma. Pulsa pancaran cahaya tersebut kemudian dideteksi dan dikuatkan oleh setiap PMT sepanjang permukaan belakang kristal, dimana tabung dengan jarak terjauh menerima cahaya lebih kecil dari pada tabung yang terdekat.

Efisiensi kristal ini untuk mendeteksi sinar gamma dari xenon 133 (81 keV) dan technetium 99m (140 keV) adalah mendekati 90%, artinya hanya 10% dari foton gamma yang melalui kristal yang tidak menghasilkan suatu pulsa cahaya. PMT mengubah pulsa cahaya menjadi suatu sinyal listrik dengan besaran yang dapat diukur. Kejadian sintilasi pada kristal direkam oleh lebih dari satu tabungtabung PMT. Koordinat X dan Y dari interaksi ditentukan oleh suatu lirik tahanan tahanan yang memberikan pembobotan sinyal keluaran dari setiap PMT menurutposisi geometrinya dibelakang detektor. Secara bersamaan seluruh sinyal keluaran dari setiap PMT dijumlahkan dan diberi pembobotan. Sinyal tersebut mempunyai tiga komponen yaitu koordinat spasial sumbu X dan sumbu Y serta suatu sinyal (Z) yang berhubungan dengan intensitas, dimana amplitudonya sebanding dengan jumlah total energi yang diterima dalam kristal. Sinyal koordinat X dan Y dapat langsung dikirim ke peralatan penampil gambar atau direkam oleh komputer, sedangkan sinyal Z diolah oleh penganalisis tinggi pulsa (PHA). Titik cahaya dapat dimunculkan pada layar monitor hanya apabila pulsa energinya ada pada daerah jendela yang diatur sebelumnya (preset window) dari PHA dengan koordinat titik cahaya ditentukan oleh sumbu X dan Y.

(20)

Gambar 3. Skema kerja kamera gamma

 Prinsip Kerja Penganalisi Tinggi Pulsa(PHA)

Prinsip dasar dari PHA adalah untuk memisahkan sinyal dari latar belakang, radiasi hamburan atau radiasi akibat interferensi isotop.Jadi hanya foton yang energinya disekitar photopeak isotop saja yang direkam untuk pencitraan. Jadi PHA bertindak sebagai penyeleksi apakah kejadian pada kristal akan ditayangkan atau diabaikan saja. PHA dapat melakukan pemisahan tersebut karena energi yang dihasilkan oleh suatu interaksi pada kristal atau kejadian sebanding dengan tegangan sinyal yang keluar dari PMT. Gambar 2 memperlihatkan spektrum energi yang khas dari technetium yang dihasilkan oleh suatu PHA. Dalam kasus ini, PHA hanya mencacah kejadian pada daerah sekitar 20% dari jendela simetrik energi photopeak sebesar 140 keV yaitu 140 ± 14 keV. Tegangan sinyal yang lebih kecil atau lebih besar dari daerah ini, khususnya yang datang dari hamburan radiasi akan diabaikan.

(21)

Gambar 4.Spectrum energi Technetium 99m

 Prinsip Kerja Kartu Antarmuka

Kartu antarmuka (Gambar 3) berfungsi memproses tiga keluaran dari kamera gamma analog yaitu: X, Y dan PHA (strobe signal) agar dapat direkam dan diolah lebih lanjut oleh komputer. Selama proses akuisisi citra, sinyal-sinyal analog posisi X dan Y diubah menjadi angka-angka digital oleh suatu alat pengubah Analog-ke- Digital (DAC – digital-to-analog converter) yang terdapat pada kartu antarmuka.

Kemudian kombinasi kedua angka tersebut digunakan sebagai penunjuk lokasi memori komputer yang berfungsi sebagai pencacah kejadian.Setiap interaksi yang terjadi pada suatu daerah tertentu pada detektor menyebabkan penambahan jumlah pencacahan pada memori yang berhubungan dengan lokasi daerah tersebut.Sinyal dari PHA digunakan untuk memvalidasi yaitu mengatakan pada komputer apakah kejadian dapat diterima atau tidak untuk diproses.Jika dapat diterima maka isi dari memori yang lokasi koordinatnya sesuai dengan kejadian tersebut ditambah satu.

Maka terbentuk citra organ pada monitor komputer dengan intensitas dari titik-titik gambar (piksel) sebanding dengan jumlah pencacahan. Metoda akuisisi ini disebut sebagai model frame atau histogram tingkat keabuan.

Gambar 5. Skema kerja kartu antarmuka

Pengaturan penguatan dan offset dapat dilakukan secara manual atau menggunakan program komputer. Agar dapat dilakukan secara otomatis menggunakan program komputer maka diperlukan alat pengubah dari digital ke

(22)

analog (DAC – digital-to-analog converter) dan penguat operasional (operational- amplifier) sebagai pembanding antara nilai sinyal masukkan X,Y dari kamera gamma dengan tegangan offset dan penguatan dari komputer. Gambar 5 memperlihatkan bagaimana nilai digital dari komputer dikirim ke DAC pada kartu antarmuka melalui alamat pintu keluaran/masukkan (I/O Port) 8-bit (D0-D7) untuk dibandingkan dengan nilai aktual.Penguatan-penguatan danoffset dapat dilakukan secara manual atau menggunakan program komputer. Agardapat dilakukan secara otomatis menggunakan program komputer maka diperlukanalat pengubah dari digital-ke-analog (DAC – digital-to-analog converter) dan penguatoperasional (operational-amplifier) sebagai pembanding antara nilai sinyal masukkan X,Y dari kamera gamma dengan tegangan offset dan penguatan dari komputer. Gambar 5 memperlihatkan bagaimana nilai digital dari komputer dikirim ke DAC pada kartu antarmuka melalui alamat pintu keluaran/masukkan (I/O Port) 8-bit (D0-D7) untuk dibandingkan dengan nilai aktual.

2.3.2 Renograf

 Deskripsi dan Mekanisme Kerja

Renograf merupakan suatu alat yang menggunakan prinsip spektroskopi gamma. Yang mana terdiri dari hardware serta software dimana pada hardware berfungsi sebagai penangkap radiasi dari sinar gamma yang dipancarkan oleh ginjal serta mengubahnya menjadi pulsa-pulsa listrik dan kemudian akan diubah lagi menjadi grafik oleh software.

Prinsip kerja dari renograf adalah sinar radiasi gamma yang datang akan diterima oleh detektor NaI (Tl) dan oleh detektor akan diubah menjadi pulsa listrik, selanjutnya pulsa keluaran detektor akan dibentuk menjadi pulsa semi gaussian dan dikuatkan oleh penguat awal, kemudian dikuatkan lagi pada penguat utama sehingga pulsa keluaran berupa pulsa gaussian dengan tinggi pulsa yang sudah memenuhi syarat untuk dianalisa dan diubah menjadi bentuk digital pada TSCA yang selanjutnya pulsa digital akan dicacah pada counter. Pulsa keluaran TSCA disamping masuk ke counter juga sebagai masukan interface untuk ditampilkan dalam bentuk grafik pada layar monitor.

(23)

Pada proses pendeteksian sebelumnya, pasien diberikan air minum (hydrate) sebanyak 250 s/d 500 ml sebelum prosedur pemeriksaan. Pasien diminta buang air kecil sebelum pengaturan posisi pemeriksaan. Atur posisi pasien (duduk atau tiduran), arahkan masing-masing probe ke ginjal kiri dan kanan, pasien diminta untuk tidak menggerakkan punggung selama pemeriksaan. Ketepatan posisi dan pengaturan arah probe sangat menentukan keberhasilan pengukuran. Injeksikan radiofarmaka melalui pembuluh darah (intravena) pada lengan kanan atau lengan kiri pasien. Lalu perunut akan sampai di pembuluh darah ginjal, ditangkap dan dikeluarkan bersama urine.

Pendeteksian dilakukan pada daerah ginjal kiri dan kanan dengan detector NaI (TI).

Detektor NaI (TI) adalah detektor sintilasi yang biasa digunakan untuk mendeteksi sinar gamma. Waktu pemeriksaanberlangsung antara 15-25 menit.

 Perangkat Keras.

Bagian utama dari perangkat keras peralatan renograf adalah :

a. Detektor Probes

Detektor yang digunakan sebagai probes adalah jenis Scintilasi (Nal(TI)).

Detektor dilengkapi dengan kolimator dari bahan timbal untuk mengarahkan ke masing-masing ginjal dan menghindari cross talk antar ginjal, serta menekan gangguan latar (back ground). Probes ini dapat terpasang secara khusus pada kursi pasien, maupun pada statif tegak. Dengan statif tegak nenubgkinkan penggunaan sistem ini untuk keperluan lain, misalnya dengan perangkat lunak khusus sebagai pengukur Thyroid Uptake, atau untuk keperluan prosedur lain yang dikembangkan lebih lanjut.

Gambar 3.1 Cara Kerja Renograf Sumber: Djuningran, 2007

(24)

Gambar 2.1. Perangkat keras renograf dual probes (PRPN BATAN, 2007)

b. Catu daya detektor dan unit pemroses sinyal.

Catu daya detektor memberikan tegangan tinggi (sekitar 1000 VDC) yangdiperlukan untuk operasi detektor. Pemroses sinyal memperkuat sinyal dari detektor, membentuk sinyal menjadi pulsa gaussian, memisahkan pulsa sesuai pilihan energi isotop dengan teknik Single Channel Analyzer (SCA), serta mencacah pulsa per 4 detik. Saat ini unit detektor terdiri dari Modul Tegangan Tinggi dan Add-On Card untuk ISA bus. Untuk mengikuti trend perkembangan komputer sedang dikembangkan modul akuisis data dengan memanfaatkan teknologi Universal Serial Bus (USB).

Gambar 2.2 Set Alat Renograf (Alat Deteksi Fungsi Ginjal)

Gambar 2.3 Tampilan perangkat lunak Reno XP (Sumber: PRPN BATAN, 2007)

(25)

 Perangkat Lunak (software)

Tersedia beberapa versi software yang digunakan dengan sistem operasi DOS, Window 98, dan Window XP. Versi DOS memungkinkan pemanfaatan komputer lama jenis 486, sedangkan versi Windows yang memerlukan PC Pentium (dengan memori minimum 16 MB untuk Window 98 dan 32 MB untuk Window XP) lebih menawarkan kemudahan bagi operator (user friendly). Operasi perangkat lunak renograf mengharuskan operator setiap hari melakukan uji kualitas alat (spectum check, ULD- LLD setting, Chi-Square Test) sebelum digunakan untuk pemeriksaan pasien. Secara umum aplikasi renograf terdiri dari : akuisisi data pasien baru, menyimpan data pasien, membuka kembali/memeriksa/menganalisa file data pasien, dan mencetak data hasil pemeriksaan. Parameter yang ditampilkan meliputi cacah (count) maksimum masing-masing ginjal beserta waktu pencapaiannya, waktu pencapaian 2/3 dan T1/2, reno indeks, up-take relatif, serta cacah pada menit ke sepuluh.

2.3.3 PET (Positron Emission Tomography).

Positron Emission Tomography (PET) adalah teknik pencitraan kedokteran nuklir yang digunakan untuk mengamati proses metabolisme dalam tubuh. Sistem mendeteksi pasangan sinar gamma yang dipancarkan secara tidak langsung oleh radionuklida pancaran positron (tracer), yang dimasukkan ke dalam tubuh pada molekul biologis aktif.

Gambar tiga dimensi konsentrasi tracer dalam tubuh kemudian dianalisis komputer.

Dalam modern yang PET-CT scanner, tiga pencitraan dimensi ini sering dilakukan dengan bantuan CT X-ray pemindaian dilakukan pada pasien pada sesi yang sama, di mesin yang sama.

Jika molekul biologis aktif yang dipilih untuk PET adalah fludeoxyglucose (FDG), analog glukosa, konsentrasi tracer dicitrakan akan menunjukkan aktivitas metabolisme jaringan karena sesuai dengan penyerapan glukosa regional. Penggunaan pelacak ini untuk mengeksplorasi kemungkinan metastasis kanker (yaitu, menyebar ke bagian lain) adalah jenis yang paling umum dari PET scan dalam perawatan medis standar. Namun, meskipun secara minoritas, banyak pelacak radioaktif lainnya yang digunakan dalam PET untuk menggambar konsentrasi jaringan jenis lain dari molekul yang menarik. Salah satu kelemahan dari scanner PET adalah biaya operasinya yang mahal.

PET merupakan sebuah alat medis dan penelitian. Hal ini digunakan berat dalam onkologi klinis (pencitraan medis tumor dan pencarian metastasis), dan untuk diagnosis klinis penyakit otak difus tertentu seperti yang menyebabkan berbagai jenis demensia.

PET juga merupakan alat penelitian yang penting untuk memetakan yang normal fungsi otak dan hati manusia, dan mendukung pengembangan obat.PET juga digunakan dalam

(26)

studi pra-klinis menggunakan hewan, di mana memungkinkan penyelidikan berulang ke dalam subyekyang sama. Hal ini terutama dalam penelitian kanker, karena menghasilkan peningkatan dalam kualitas statistik data (mata pelajaran dapat bertindak sebagai kontrol mereka sendiri) dan secara substansial mengurangi jumlah hewan yang diperlukan untuk studi tertentu.

PET imaging terbaik dilakukan dengan menggunakan scanner PET khusus.

Namun, adalah mungkin untuk memperoleh PET gambar menggunakan kamera gamma dual-kepala konvensional dilengkapi dengan detektor koinsidensi. Kualitas gamma- kamera PET adalah jauh lebih rendah, dan akuisisi lebih lambat. Namun, untuk lembaga dengan permintaan rendah untuk PET, ini memungkinkan di tempat pencitraan, bukan merujuk pasien ke pusat lain, atau mengandalkan kunjungan oleh scannermobile.PET adalah teknik berharga untuk beberapa penyakit dan gangguan, karena mungkin untuk menargetkanbahan kimia yang digunakan untuk fungsi tubuh tertentu.

2.3.4 SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).

Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) adalah teknik kedokteran nuklir mengenai tomografi pencitraan menggunakan sinar gamma. Hal ini sangat mirip dengan pencitraan nuklir kedokteran planar konvensional menggunakan kamera gamma (yaitu, scintigraphy). Namun, ia mampu memberikan informasi 3D.

Informasi ini biasanya disajikan sebagai irisan penampang melalui pasien, tetapi dapat secara bebas diformat ulang atau dimanipulasi seperti yang diperlukan.

Teknik ini membutuhkan pengiriman radioisotop gamma-emitting (radionuklida) ke pasien, biasanya melalui suntikan ke dalam aliran darah. Pada kesempatan, radioisotop adalah ion terlarut larut sederhana, seperti sebuah isotop gallium (III). Sebagian besar waktu, meskipun, radioisotop penanda melekat ligan tertentu untuk membuat radioligand, yang sifat mengikat ke jenis tertentu jaringan. Pernikahan ini memungkinkan kombinasi ligan dan radiofarmaka untuk dibawa dan terikat ke tempat yang menarik di tubuh, di mana konsentrasi ligan dilihat oleh kamera gamma.

Bukan hanya "mengambil gambar dari struktur anatomi," sebuah SPECT tingkat pemindaian monitor aktivitas biologis di setiap tempat di wilayah 3-D dianalisis. Emisi dari radionuklida menunjukkan jumlah aliran darah di kapiler dari daerah dicitrakan.

Dengan cara yang sama yang polos X-ray adalah 2-dimensi (2-D) pandangan struktur 3- dimensi, gambar yang diperoleh oleh kamera gamma adalah 2-D pandangan distribusi 3- D dari radionuklida.SPECT pencitraan dilakukan dengan menggunakan kamera gamma untuk memperoleh beberapa gambar 2-D (juga disebut proyeksi), dari berbagai sudut.

Sebuah komputer kemudian digunakan untuk menerapkan algoritma rekonstruksi tomografi dengan beberapa proyeksi, menghasilkan kumpulan data 3-D. set data ini kemudian dapat dimanipulasi untuk menunjukkan irisan tipis sepanjang sumbu yang

(27)

dipilih dari tubuh, mirip dengan yang diperoleh dari teknik tomografi lain, seperti magneticresonanceimaging (MRI), X-raycomputedtomography (X-ray CT), dan tomografi emisi positron (PET).

SPECT mirip dengan PET dalam penggunaan bahan pelacak radioaktif dan deteksi sinar gamma. Berbeda dengan PET, bagaimanapun, pelacak digunakan dalam SPECT memancarkan radiasi gamma yang diukur secara langsung, sedangkan PET pelacak memancarkan positron yang memusnahkan dengan elektron hingga beberapa milimeter, menyebabkan dua foton gamma akan dipancarkan dalam arah yang berlawanan. Sebuah scanner PET mendeteksi ini emisi "bertepatan" dalam waktu, yang menyediakan lebih informasi acara radiasi lokalisasi dan, dengan demikian, gambar resolusi spasial lebih tinggi dari SPECT (yang memiliki sekitar 1 resolusi cm). scan SPECT, bagaimanapun, secara signifikan lebih murah daripada scan PET, sebagian karena mereka mampu menggunakan radioisotop lagi-berumur lebih mudah diperoleh dari PET. Karena akuisisi SPECT sangat mirip dengan planar pencitraan kamera gamma, yang radiofarmasi yang sama dapat digunakan. Jika seorang pasien diperiksa dalam jenis lain scan kedokteran nuklir, tetapi gambar yang non-diagnostik, dimungkinkan untuk melanjutkan langsung ke SPECT dengan memindahkan pasien ke instrumen SPECT, atau bahkan hanya dengan konfigurasi ulang kamera untuk SPECT akuisisi gambar sementara pasien tetap di atas meja.

2.3.5 Thyroid Uptake

Pengertian thyroid scintigraphy dan uptake adalah pemeriksaan dengan menggunakan zat radioaktif untuk mendapatkan pencitraan morfologi fungsional tyroid dan untuk menilai kemampuan kelenjar tyroid dalam menangkap zat radioaktif.

Pada dasarnya dalam pemeriksaan thyroid uptake tidak ada persiapan khusus bagi pasien hanya saja instruksi-instruksi yang menyangkut posisi dan prosedur pemeriksaan harus diberitahukan dengan jelas diantaranya: Tidak boleh diberikan makanan atau obat atau media kontras yang mengandung ion yodida. Bila yang digunakan radiofarmaka NaI – 131, pasien dipuasakan selama 6 jam. Obat-obat dihentikan selama beberapa waktu.

Kamera gamma dengan atau tanpa kolimator pinhole, kalau tidak ada dapat digunakan kolimator LEHR (low energy high resolution) dengan ketentuan : matriks 256 x 256, peak energy 140 KeV, window 20 % dan jumlah Counts 400.000 cts. untuk Tc-99m pertechnetate dan energi medium untuk I – 131. Pemilihan kolimator tergantung pada energi radiasi gamma utama dari radionuklida yang digunakan, yaitu I – 131 : 364 keV dan Tc-99m – pertechnetate : 140 keV.

Pemeriksaan tyroid scintigraphy dan uptake merupakan pemeriksaan yang terencana sehingga dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur yang ada yaitu:

Pencitraan dilakukan 10 sampai 15 menit atau 20 menit setelah penyuntikan Tc-99m

(28)

dengan dosis 2-5 mCi melalui IV menggunakan spuit , atau 24 jam setelah minum NaI – 131.

Pasien tidur telentang di bawah kamera gamma dengan leher dalam keadaa hiperekstensi ; pencitraan statik dilakukan pada posisi AP (kalau perlu oblik kiri atau kanan).Diberi tanda pada kartilago tiroid dan jugulum ; matrix : 256 x 256 ; peak energi disesuaikan dengan radionuklida, yaitu 140 keV (untuk Tc-99m), 159,0 untuk I- 123) dan 360 keV (untuk I – 131) dengan window : 20% ; jumlah cacahan : 400.000 kcts (Tc-99m – pertechnetate) atau 100.000 kcts (NaI – 131) ; proses penitraan berlangsung 5 sampai 10 menit. Diberikan per oral 30 uCi I – 131, up take pertama 2 jam, kedua 24 jam, ketiga 48 jam setelah pemberian I – 131. Scanning dilakukan 24 jam setelah pemberian.

Digunakan alat rectilinier berkristal 3 inci dengan energi medium, sedangkan untuk up take digunakan probe skintilasi dengan kristal 1 x 1 inci, serta kolimator pinhole dan window 20%. Scan dilakukan 800 counts/sm2 dengan posisi anterior lateral dan oblik.

Aktivitas maksimum dicari didaerah leher, scan dimulai dari kaudal ke cranial ; beri tanda dibatas luar leher, dagu, sternum, dan massa yang teraba.

I -131 yang akan diberikan kepada pasien dihitung counts-nya per menit dengan phantom berbentuk leher. Dan disebut sebagai counts awal,segera diberikan radioaktif tersebut untuk ditelan oleh penderita. Lakukan perhitungan aktivitas di leher penderita 2 jam, 24 jam dan 48 jam setelah pemberian, Dalam keadaan normal tampak seperti gambaran kupu-kupu, terdiri dari lobus kanan dan kiri masing-masing sebesar ibu jari orang dewasa dengan ismus yang menghubungkan kedua-duanya. Batas bawah normal tidak sampai sternum. Lobus kanan biasanya lebih besar. Luas scanning sekitar 20 cm2 untuk orang dewasa, pada anak-anak lebih kecil. Distribusi radioaktivitas di kedua lobus rata. Bila kedua lobus membesar diffus atau homogen (distribusi radioaktivitas rata) disebut struma diffusa. Sementara itu bila ada nodul (tunggal atau ganda) disebut struma nodusa atau multi nodusa. Nodul yang menangkap radioaktivitas lebih tinggi dari jaringan sekitarnya disebut jaringan nodul panas (hot nodule) atau nodul hiperfungsional dan nodul yang kurang atau tidak menangkap radioaktivitas disebut nodul dingin (cold nodule) atau nodul hipofungsional. Sedangkan nodul yang menangkap radioaktivitas sama seperti jaringan disekitarnya disebut nodul hangat (warm nodule). Nodul panas pada umumnya identik dengan nodul tyroid otonom, sekitar 10-30 % nodul dingin ditemukan pada kasus keganasan tyroid, nodul hangat tidak mempunyai arti klinis yang berarti. Nilai normal uji tangkap tyroid (uptake) bervariasi tergantung dari asupan iodium dalam makanan. Nilai normal angka penangkapan uptake dengan Tc-99m 15 menit yaitu 0,5 – 5 %. Thyroid scintigraphy memberikan gambaran tentang besar, bentuk dan letak kelenjar tiroid serta distribusi radioaktivitas di dalam kelenjar tersebut. Pemeriksaan thyroid scintigraphy belum bisa menilai fungsi kelenjar thyroid sehingga perlu didukung dengan perhitungan uptakenya.

(29)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

1. Ilmu kedokteran nuklir adalah spesialis kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka nuklir untuk menilai fungsi dari suatu organ, mendiagnosa dan mengobati penyakit.

2. Pada prinsipnya alat / pesawat kedokteran nuklir hanya digunakan sebagai detektor yang merupakan komponen dasar dari kamera gamma untuk menangkap radiasi yang dipancarkan oleh bahan radioaktif dalam tubuh dan merubahnya menjadi data yang dapat dilihat sebagai angka-angka, warna ataupun grafik.

3. Penerapan detektor pada kedokteran nuklir antara lain pada alat kamera gamma, alat renograf, SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography), PET (Positron Emission Tomography), dan Uptake Thyroid.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

ARDISASMITA, M. SYAMSA. 1993. PeningkatanKemampuanKamera Gamma Analog MenggunakanSistemBerbasisKomputer Pc danPengembanganPerangkatLunakPengolahan Citra.PusatPengembanganTeknologiInformasidanKomputasi – BATAN.

WIHARTO, KUNTO. 1996. KedokteranNuklir Dan AplikasiTeknikNuklirDalamKedokteran.

Yogyakarta:PusatStandardisasidanPenelitianKeselamatanRadiasi – BATAN.

KURNIAWAN , AGUNG. 2010. Alat Ukur Radiasi di Bidang Kedokteran Nuklir. Yogyakarta:

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir- BATAN.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran_nuklir diakses.Diaksestanggal 28 Maret 2017.

https://en.wikipedia.org/wiki/Positron_emission_tomography. Diaksestanggal 30 Maret 2017

https://en.wikipedia.org/wiki/Single-photon_emission_computed_tomography. Diaksestanggal 30 Maret 2017

https://en.wikipedia.org/wiki/Gamma_camera. Diaksestanggal 30 Maret 2017

LAMPIRAN

(31)
(32)

Gambar

Gambar 1. Kamera Gamma
Gambar 2. Komponen dasar kamera gamma
Gambar 3. Skema kerja kamera gamma
Gambar 4.Spectrum energi Technetium 99m
+3

Referensi

Dokumen terkait

Film karya Riri Riza yang diadopsi dari novel Laskar Pelangi mengambil pendidikan sebagai isu yang diangkat sebagai pokok cerita. Beberapa kritik yang coba disampaikan

7 | Kajian Fiskal Regional Triwulan III Tahun 2020 Kanwil DJPb Provinsi Sumut Penerimaan perpajakan baik pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan dalam penelitian ini dikategorikan valid dan praktis; (2)

Gambar 1 menunjukkan bahwa penilaian panelis terhadap aroma daging sapi pada perlakuan pemberian pasta lengkuas dengan konsentrasi 0% dan 30% menghasilkan skor aroma daging

Hasil penelitian ini menolak hipotesis kedua yang menyatakan terdapat pengaruh yang tidak tidak signifikan antara tingkat suku bunga terhadap tingkat risiko reksa

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan 2 orang saksi Penggugat, maka Majelis Hakim menilai Penggugat telah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya menyangkut

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untukmengetahui pengaruh kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kecamatan Bissappu Kabupaten Bantaeng, 2)

Sekali lagi karena yang naik turun adalah alat ukur pembandingnya yang memang tidak bisa diandalkan (uang kertas), maka untung atau rugi terhadap nilai mata uang