• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIKANDI SURYAWAN A PROGRAM STUDI ILMU HUKUMUNIVERSITAS HASANUDDIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINDAK PIDANA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIKANDI SURYAWAN A PROGRAM STUDI ILMU HUKUMUNIVERSITAS HASANUDDIN"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

ANDI SURYAWAN A

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN SKRIPSI

TINDAK PIDANA HACKING(MERETAS) DITINJAU DARI UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

OLEH :

ANDI SURYAWAN ABDULLAH B111 07 871

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2011

1

) DITINJAU DARI

UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

(2)

2

HALAMAN JUDUL

TINDAK PIDANA HACKING (MERETAS) DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK

OLEH

ANDI SURYAWAN ABDULLAH B 111 07 871

Diajukan Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

(3)

3 PENGESAHAN SKRIPSI

TINDAK PIDANA HACKING (MERETAS) DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Disusun dan diajukan oleh :

ANDI SURYAWAN ABDULLAH B 111 07 871

Telah Dipertahankan Di Hadapan Paniatian Ujian Skripsi Yang Dibentuk Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana

Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univesitas Hasanuddin

Pada Hari Rabu, 5 Oktober 2011 Dan Dinyatakan Lulus

Panitia ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. H.M Said Karim, S.H., M.H. Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H NIP.19620711 198703 1 001 NIP. 19631024 198903 1 002

a.n. Dekan Pembantu Dekan I

Prof. Dr. Ir. Abrar Salleng, S.H., M.S.

NIP. 30419 198903 1 003

(4)

4

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa usulan untuk ujian Skripsi Mahasiswa :

Nama : ANDI SURYAWAN ABDULLAH Nomor induk : B111 07 871

Bagian : Hukum Pidana

Judul : “TINDAK PIDANA HACKING (MERETAS)DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam seminar ujian Skripsi.

Makassar, Juli 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr. H.M.Said Karim, S.H.,M.HSyamsuddin Muchtar, S.H.,M.H NIP .19620711 198703 1 001 NIP. 19631024 198903 1 002

(5)

5 PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa

Nama : Andi Suryawan Abdullah Nomor Induk : B 111 07 225

Bagian : Hukum Pidana

Judul : “TINDAK PIDANA HACKING

(MERETAS)DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASIDAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”

Memenuhi sayarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi.

Makassar, a.n. Dekan

Wakil Dekan Bidang Akademik

Prof. Dr. Ir. Abrar Salleng, S.H., M.S.

NIP. 30419 198903 1 003

(6)

6 ABSTRAK

ANDI SURYAWAN A. (B 111 07 871), Tindak Pidana Hacking (Meretas) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (dibimbing oleh H.M. Said Karim dan Syamsuddin Muchtar).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai bentuk tindak pidana hacking(meretas) menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta untuk mengetahui locus delicti dalam tindak pidana hacking(meretas) tersebut.

Penelitian dilaksanakan di Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sulawesi Selatan-Barat.Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan tipe penelitian hukum normatif.Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder.Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui metode wawancara.Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Penelitian menyimpulkan bahwa : (1) Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE pengaturan tindak pidana hacking(meretas)dirumuskan pada Pasal 30 Ayat (1), (2) dan (3). Bahwa pada dasarnya tindak pidana hacking(meretas) merupakan suatu tindakan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses sistem komputer elektronik orang lain dengan tujuan memperoleh informasi dan/atau dokumen elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem keamanan yang dimana hacking(meretas) ini juga dapat merupakan sebuah tindakan awal bagi pelaku cyber crime untuk melakukan kejahatan lainnya dalam ruang cyber. (2) Penentuan locus delicti dalam tindak pidana hacking(meretas) dapat ditemukan dalam ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana melalui Pasal 2, 3, 4, 5, 7, 8 dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE melalui Pasal 2 dan 37 serta instrumen hukum internasional berdasarkan Resolusi Kongres PBB VIII/1990 Mengenai computer-related crimes dan ASEAN Ministerial Meeting on Transnasional Crime.

(7)

7

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum.Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan sebesar-besarnya atas kehadirat Allah SWT atas berkah dan limpahan rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tindak Pidana Hacking (Meretas) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” sebagai persyaratan wajib bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Tak lupa pula penulis panjatkan shalawat dan salam bagi junjungan dan teladan Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabat beliau yang senantiasa menjadi penerang bagi kehidupan umat muslim di seluruh dunia.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin namun dengan ketidaksempurnaan maka penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan baik dari segi materi maupun pembahasannya. Untuk itu penulis senantiasa menerima keritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak yang senantiasa membantu dan membimbing penulis dalam suka dan duka. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan setinggi- tingginya dan ucapan terima kasih yang sangat besar kepada seluruh

(8)

8 pihak yang telah membantu baik moril, maupun materiil demi terwujudnya skripsi ini, yakni kepada :

1. Kedua Orang Tua Tercinta Ayahanda H. Abdullah Hamid, SH.,MM.

dan Ibunda Hj. A. Nurcahaya, yang senantiasa memberi pengarahan, motivasi, dandoa yang tulus kepada penulis dalam suka maupun duka.

2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H.,MS.,D.F.M., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sekaligus selaku Pembimbing I penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan I, kepada Bapak Dr. Ansori Ilyas, S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan II serta Bapak Romi Librayanto, S.H.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana dan Bapak Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas pengarahannya kepada penulis.

5. Bapak Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan Bapak Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H. selaku pembimbing II terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan atas segala arahan, petunjuk, bimbingan, waktu dan saran kepada penulis dalam membantu terwujudnya skripsi ini.

(9)

9 6. Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H.,M.H. Bapak Abd. Asis,

S.H.,M.H.dan Bapak Amir Ilyas, S.H.,M.H. selaku penguji serta Bapak Kaisaruddin, S.H. dan Ibu Haerana, S.H.,M.H. selaku penguji pengganti yang telah memberikan masukan dan sarannya untuk kesempurnaan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin terkhusus Dosen Bagian Hukum Pidana, penulis menghaturkan terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis, semoga Allah SWT membalasnya dengan limpahan pahala, Amin.

8. Kepala Kepolisian Daerah Sul Sel-Bar beserta Staf dan Jajarannya yang telah membantu Penulis selama proses penelitian.

9. Kawan-kawan FH-UH, Muh. Insan Ansari A.A., S.H., Mizwar Malawat, S.H., Muh. Riswan, S.H., Syahraeni Hardiyanti, S.H., Muh. Ihsan Yamin, S.H., Eka Chairun Nisa, Hestiana F. Masuku, Suvita Setiawati, Finda F. Sinapoy, Diska Riski, DK Azwar, Muh.

Wahyudi S., Hastomo, Aditya Prayudi Fauzan, Hidayat Sahabuddin, Ade Fitriadi serta seluruh teman-teman LegalitasAngkatan 2007 Program Reguler Sore dan Program Reguler Pagi Fakultas Hukum Unhas yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu.

10. Teman-teman KKN Profesi Tahun 2010 Lokasi LAPAS KLAS I Makassar dan seluruh rekan-rekan yang senantiasa membantu dan memberi dukungan kepada penulis.

(10)

10 11. Seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat saya

sebutkan satu demi satu atas doa dan dukungannya.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Semoga Allah SWT senantiasa menilai amal perbuatan kita sebagai ibadah dan senantiasa me-Ridhoi segala aktifitas kita semua.Amin ya Robbal Alamin

Makassar, Juli 2011

Penulis

(11)

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... . ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Internet Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 8

1. Pengertian Internet ... 8

2. KejahatanInternet dan Macam-MacamKejahatan Internet 9 3. Penerapan Asas-Asas Yurisdiksi Dalam Ruang Cyber... 13

B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... .. 19

(12)

12

1. Pengertian Informasi Elektronik ... .. 19

2. Pengertian Transaksi Elektronik ... 19

3. Asas dan Tujuan ... .. 20

4. Perbuatan yang Dilarang Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... ... 20

C. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Hacking(meretas) ... 27

1. Pengertian Tindak pidana ... 27

2. Pembagian Tindak Pidana ... 29

3. Waktu dan Tempat Tindak Pidana / Tempus dan Locus Delicti ... 33

4. Pengertian Hacking(meretas) ... 38

5. Konstruksi Hacking(meretas)Sebagai Cyber Crime ... 42

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 47

B. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 47

C. Teknik Pengumpulan Data ... 48

D. Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(13)

13 A. Pengaturan Bentuk Tindak Pidana Hacking Menurut

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik ... 50 1. Perumusan Tindak Pidana Hacking ... 51 2. Pengaturan Tindakan Berlanjut Tindak Pidana Hacking .... 62 B. Penentuan Locus Delicti Dalam Tindak Pidana Hacking ... 74

1. Penentuan Locus Delicti tindak pidana Hacking dalam

KUHP berkaitan dengan locus delicti ... 74 2. Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber

Terkait Dengan Yurisdiksi ... 84 3. Pengaturan Yurisdiksi Tindak Pidana Hacking Sebagai

Cyber Crime Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 93 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

14 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada abad ke 21 ini dunia semakin penuh dengan peradaban teknologi yang semakin maju.Globalisasi yang tak terelakan menjadikan tidak ada lagi sekat antar daerah, wilayah ataupun negara.Interaksi yang sangat intens terjadi antar negara di dunia yang meliputi kerjasama diberbagai bidang baik itu bidang ekonomi, budaya, politik, pertahanan dan keamanan, serta dibidang telekomunikasi.

Global technology merupakan bagian dari warna dan sekaligus elemen utama globalisasi, karena globalisasi tidak akan berjalan dan bergerak jika tidak menggunakan kekuatan teknologi.

Teknologi global adalah nama lain dari bangunan peradapan dunia yang tidak terpisahkan dari produk kemajuan teknologi.

Kecanggihan teknologi dan perkembangan sistem transportasi dan komunikasi yang menghasilkan ketergantungan antar negara telah mengakibatkan menciutnya dunia ini, sehingga menjelma menjadi suatu desa sejagad atau global village.Tidak ada satu dunia pun yang terlepas dari pengamatan dan pemantauan.Seseorang dapat mengikuti peristiwa yang sedang terjadi diujung penjuru dunia dari tempat tidur (Abdul Wahib dan Mohamad Labib, 2005:14).

Internet telah menghadirkan realitas kehidupan baru kepada umat manusia.Internet telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas.Sejak munculnya internet diakhir abad ke 20, banyak hal-hal baru yang dihadirkan oleh internet ini.Berbagai macam kemudahan komunikasi yang melintasi jarak dan waktu sehingga seakan dengan jarak yang amat

(15)

15 jauh seseorang dapat berkomunikasi dengan mudah. Orang dapat melakukan berbagai aktivitas yang dalam dunia nyata (real) sulit dilakukan karena terpisah oleh jarak, namun melalui media internet akan menjadi lebih mudah. Suatu realitas yang berjarak berkilo-kilo meter dari tempat kita berada, dengan medium internet dapat dihadirkan didepan kita. Kita dapat melakukan transaksi bisnis, percakapan, belanja, belajar, dan berbagai aktivitas lain layaknya dalam kehidupan nyata. Di dalam internet maka manusia seakanakan menemukan dunia baru tanpa batas yang disebut cyber space.

Perkembangan internet tidak hanya meliputi keuntungan dan kegunaan saja yang kita peroleh, namun kini muncul kejahatan-kejahatan yang dilakukan lewat media internet.Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut dengan cyber crime.Dari pengertian ini tampak bahwa cyber crime mencakup semua kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif dari internet.

Hacking (meretas)sebagai salah satu dari banyak kejahatan internet atau cyber crime, oleh kongres Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) X di Wina ditetapkan sebagai first crime. Ini disebabkan karena kejahatan tersebut merupakan suatu yang istimewa karena mempunyai kelebihan tertentu dibanding kejahatan cyber yang lain. Kelebihan dari kejahatan ini antara lain yaitu, pertama, orang yang dapat melakukan kejahatan jenis ini sudah barang tentu dapat melakukan kejahatan cyber crime yang lain.

(16)

16 Kedua, secara teknis imbas dari aktivitas hacking (meretas)kualitas yang dihasilkan lebih serius dibandingkan dengan bentuk cyber crime yang lain.

Di Indonesia pernah terjadi kasus-kasus hacking yang berkaitan dengan perusakan situs web.Kasus cyber crime khususnya hacking ini telah terjadi berulang kali. Untuk memudahkan pembahasan maka penulis uraikan beberapa kasus hacking yang pernah terjadi yang merusak web Indonesia.

Pada tahun 1997, ketika masalah Timor Timur menghangat, situs Departemen Luar Negeri dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sekarang disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI) dijebol oleh para cracker Porto (Potugis) yang pro- kemerdekaan Timor Timur. Desain depan (beranda/frontpage) kedua situs itu diganti semua. Aksi yang disebut East Timor Campaigne menambahkan pada situs yang diserang dengan kata- kata anti-integrasi Timor Timur dan anti ABRI.

Dalam tahun yang sama situs pendidikan, yang manifesto hacker dilarang dirusak, dirusak oleh cracker. Situs tersebut adalah milik LIPI dan UNAIR. Dikarenakan serangan craker Porto yang membabi buta tanpa memandang apakah itu situs pendidikan, pemerintah atau bisnis, maka para cracker dari Indonesia menyerang Toxin, pangkalan kelompok anti-integrasi di Internet.Melalui serang balik tersebut paling menghebohkan adalah serangan itu tidak hanya menghancurkan homepage tapi juga menghantam perusahan penyedia server di Irlandia, yaitu Connect Ireland. Perusahaan ini dikenal sebagai penyedia server untuk situs yang beroperasi dibawah East Timorese Project, yaitu web yang memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur dari wilayah Indonesia (Wahib Abdul dan Labib Mohamad, 2004 : 6).

Contoh lain yaitu terjadi di Yogyakarta sebagaimana diberitakan di koran Tempo pada tanggal 14 Mei 2001. Petrus Pangkur pemuda berusia

(17)

17 22 tahun pada bulan April 2001 bersama tiga rekannya sesama cracker berhasil membobol kartu kredit orang lain senilai 5 miliar rupiah lewat internet, pada akhirnya ditangkap kepolisian Yogyakarta. Mereka dituduh membeli barang melalui internet secara tidak sah (http://majalah tempointeraktif.comdiakses pada tanggal 28 april 2011).

Banyak kejahatan-kejahatan dunia maya yang berawal dari hacking(meretas).Setelah berhasil menghack suatu situs web kemudian diteruskan dengan berbagai modus kejahatan lainnya, seperti carding, spamming, cracking, dan lain sebagainya. Para pelaku hacking sering kali tidak puas dengan hanya dapat memasuki suatu situs web. Mereka akan terus menjelajah dan ingin mendapatkan keuntungan dari tindakannya itu.

Sebenarnya sudah banyak peraturan maupun konvensi internasional yang telah mengatur tentang cyber crime. Namun Indonesia sendiri baru memiliki peraturan tentang teknologi informasi ini pada tahun 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE). Pembuatan UU-ITE ini memang dinilai terlambat oleh banyak pihak mengingat telah banyak terjadi kejahatan duniamaya di Indonesia sebelum pembuatan undang- undang ini.

(18)

18 Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untukmengkaji lebih dalam dan menyusun dalam bentuk skripsi dengan judul:“TINDAK PIDANA HACKING (MERETAS)DITINJAU DARI UNDANG-UNDANGNOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSIELEKTRONIK”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskanmasalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan bentuk tindak pidana hacking(meretas)menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan TransaksiElektronik?

2. Bagaimanakah penentuan locus delicti dalam tindak pidana hacking(meretas)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya,sehingga untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan darisuatu penelitian.Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif danmerupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitiantersebut (Soerjono Soekanto, 2006: 118-119).

(19)

19 Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu:tujuan objektif dan tujuan subjektif. Dalam penelitian ini, tujuan objektif dansubjektif adalah:

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana hacking(meretas) menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasidan Transaksi Elektronik.

b. Untuk mengetahui bagaimana penentuan locus delicti dalam tindak pidanahacking(meretas).

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dalammengkaji masalah dibidang hukum pidana khususnya mengenai kajianyuridis bentuk tindak pidana hacking(meretas)menurut Undang-Undang Nomor11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori ilmu hukum yang telah penulisperoleh.

(20)

20 D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi masyarakat umum. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan tentang kajian yuridis tindak pidana hacking(meretas).

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian- penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi dan masukan pada penelitian berikutnya.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.

(21)

21 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan Internet

1. Pengertian Internet

Internet merupakan sekumpulan jaringan yang menghubungkan situs akademik, pemerintah, komersial, organisasi maupun perorangan. Dalam definisi ini tampak bahwa internet mencakup juga terhadap jaringan yang biasa disebut juga dengan LAN (local area network) dan WAN (wide area network) (Abdul Wahib dan Mohamad Labib, 2005:31).

Internet yang telah didefinisikan oleh The US Supreme Court sebagai “International network of interconnected computers” artinya jaringan internasional dari komputer yang saling berhubungan (Abdul Wahib dan Mohamad Labib, 2005:31).

Agus Raharjo mendefinisikan internet sebagai jaringan komputer antar negara atau antar benua yang berbasis protocol transmission control protocol (TCP/IP) (Agus Raharjo, 2002: 59).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa internet merupakan sekumpulan jaringan dari berbagai jaringan yang menghubungkan antara situs yang satu dengan situs yang lain melalui berbagai perangkat elektronik yang memenuhi kualifikasi tertentu.

Dalam hubungan antara jaringan ini internet digunakan sebagai media

(22)

22 komunikasi, perdagangan, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya tanpa batas-batas negara atau wilayah.

Internet telah menghadirkan realitas kehidupan baru kepada umat manusia.Internet telah mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas dengan medium internet orang dapat melakukan berbagai aktifitas yang dalam dunia nyata (real) sulit dilakukan, karena terpisah oleh jarak, menjadi lebih mudah. Suatu realitas yang berjarak berkilo- kilo meter dari tempat kita berada, dengan medium internet dapat dihadirkan di depan kita. Kita dapat melakukan transaksi bisnis, berbincang, belanja, belajar, dan berbagai aktivitas lain layaknya dalam kehidupan nyata. Seiring dengan populernya Internet sebagai

”the network of the network”, masyarakat pengguna (internet global community) seakan-akan mendapati suatu dunia baru yang dinamakan cyber space.

2. Kejahatan Internet dan Macam-Macam Kejahatan Internet

Pada perkembangannya ternyata internet membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi.

Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut dengan cyber crime.Berdasarkan pengertian ini tampak bahwa cyber crime

(23)

23 mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet.Dalam definisi ini tidak menyebutkan secara spesifik dan karakterisitik cyber crime.Definisi ini mencakup segala kejahatan yang dalam modus operandinya menggunakan fasilitas internet.

The Encyclopedia Britannica defines Cyber crime as any crime that is committed by means of special knowledge or expert use of computer technology. United Nation Manual on prevention &

Control of computer crime and Oxford Reference Online gives list of cyber crimes committed over internet. Cyber crime includes a wide variety of criminal offenses and activities Because of lack of physical evidences investigating a cyber crime becomes very difficult. Scope of this definition becomes wider with a frequent companion or substitute term "computer- related crime". Cyber crimes are harmful acts committed from or against a computer or network. Cyber Crimes differ from most terrestrial crimes in four ways (Pradeep Tomar, Balwant Rai and Latika Kharb. 2008. “New Vision Of Computer Forensic Science : Need Of Cyber Crime Law”. The Internet Journal of Law, Healthcare and Ethics.diakses pada tanggal 3 mei 2011).

Terjemahannya: Encyclopedia Britannica mendefinisikan kejahatan Cyber sebagai setiap kejahatan yang dilakukan dengan cara penggunaan pengetahuan khusus atau ahli teknologi komputer. United Nation Manual on prevention &

Control of computer crime and Oxford Reference Online memberikan daftar kejahatan cyber yang dilakukan melalui internet. Kejahatan Cyber mencakup berbagai tindak pidana dan kegiatan Karena kurangnya bukti-bukti fisik menyelidiki kejahatan cyber menjadi sangat sulit.Ruang lingkup definisi ini menjadi lebih luas dengan rekan yang sering atau pengganti istilah "kejahatan komputer yang terkait".kejahatanCyber adalah tindakan berbahaya yang dilakukan dari atau terhadap sebuah komputer atau jaringan. Kejahatan Cyber berbeda dari kebanyakan kejahatan terestrial di empat cara

(24)

24 Menurut National Criminal Intelligence Service (NCIS) Inggris, manifestasi dari tindak kejahatan cyber crime muncul dalam berbagai macam atau varian seperti berikut ini (Sutarman, 2007: 76-80):

1) Recreational Hackers. Kejahatan ini dilakukan oleh netter tingkat pemula untuk sekedar mencoba kekuranghandalan sistem sekuritas suatu perusahaan.

2) Crackers atau criminal minded hackers, pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan finansial, sabotase dan pengrusakan data. Tipe kejahatan ini dapat dilakukan dengan bantuan orang dalam, biasanya staf yang sakit hati atau datang dari kompetitor dalam bisnis sejenis.

3) Political hackers. Aktifis politis atau lebih populer dengan sebutan hacktivist melakukan perusakan terhadap ratusan situs web untuk mengkampanyekan programnya, bahkan tidak jarang dipergunakan untuk menempel pesan untuk mendiskreditkan lawannya. Usaha tersebut pernah dilakukan secara aktif dan efisien untuk kampanye anti-indonesia dalam masalah Timor Timur yang dipelopori oleh Ramos Horta.

4) Denial of Servis Attack. Serangan denial of service attack atau oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) dikenal dengan istilah

”unprecedented” tujuannya adalah untuk memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna yang legitimated. Taktik yang digunakan adalah dengan membanjiri situs web dengan data

(25)

25 yang tidak penting. Pemilik situs akan banyak menderita kerugian karena untuk mengendalikan atau mengontrol kembali situs web memakan waktu lama.

5) Insider atau internal hackers. Kejahatan ini bisa dilakukan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Modusnya dengan menggunakan karyawan yang kecewa atau bermasalah dengan perusahaan.

6) Viruses. Program pengganggu (malicious) dengan penyebaran virus dewasa ini dapat menular melalui aplikasi internet.

Sebelumnya pola penularan virus hanya melalui flopy disc. Virus dapat bersembunyi dalam file dan ter-down load oleh user bahkan bisa menyebar melalui kiriman file.

7) Piracy. Pembajakan software merupakan trend dewasa ini. Pihak produsen software dapat kehilangan karena karyanya dapat dibajak melalui download dari internet dan dikopi kedalam CD-room yang selanjutnya diperbanyak secara illegal tanpa seijin pemiliknya (penciptanya).

8) Froud. Ini adalah sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh harga saham yang menyesatkan melalui rumor, situs lelang fiktif dan sebagainya.

9) Gambling. Perjudian didunia cyber yang bersekala global. Dari kegiatan ini dapat diputar kembali di negara yang merupakan tax heaven, seperti cyman island merupakan surga bagi money

(26)

26 laundering, bahkan termasuk Indonesia sering dijadikan negara tujuan money laundering.

10) Pornography and paeddophilia. Dunia cyber selain mendatangkan berbagai kemudahan dengan mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah menghadirkan dunia pornografy. Melalui news group, chat rooms mengeksploitasi anak dibawah umur.

11) Cyber-stalking. Adalah segala bentuk kiriman email yang tidak dikehendaki user.

12) Hate sites. Situs ini sering digunakan untuk saling menyerang dan melontarkan kata-kata tidak sopan dan vulgar yang dikelola oleh para ekstrimis. Penyerangan terhadap lawan sering menggunakan isu rasial, perang program dan promosi kebijakan atau suatu pandangan.

13) Criminal communications. National Criminal Intelligence Service (NCIS) telah mendeteksi bahwa internet telah dijadikan sebagai alat yang handal dan modern untuk melakukan komunikasi antar gengster, anggota sindikat obat bius dan komunikasi antar holigan di dunia sepak bola.

3. Penerapan Asas-Asas Yurisdiksi Dalam Ruang Cyber

Hukum Pidana di Indonesia mengenal empat asas berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat yaitu (Lamintang, 1997: 89- 114):

(27)

27 1) Asas teritorial atau territorialitetits-beginsel atau juga disebut lands- beginsel yaitu Undang-undang Pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia.

Asas teritorial ini terdapat dalam ketentuan undang-undang seperti diatur dalam Pasal 2 dan 3 KUHP.

Pasal 2 KUHP menyatakan:

”Ketentuan-ketentuan pidana menurut Undang-undang Indonesia itu dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang bersalah telah melakukan suatu tindak pidana di dalam negara Indonesia”.

Pasal 3 KUHP menyatakan:

”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air Indonesia”.

Asas teritorial seperti yang terdapat di dalam ketentuan undang-undang yaitu seperti yang telah diatur dalam Pasal 3 KUHP itu ternyata telah diperluas lagi dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan Dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam KUHP Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan seperti yang diatur dalam Pasal 1 (mengenai penambahan ketentuan dalam Pasal 3 KUHP) yang menyatakan bahwa:

(28)

28

”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

Berlakunya asas ini didasarkan pada asas kedaulatan suatu negara, sehingga setiap orang baik yang secara tetap maupun untuk sementara berada dalam wilayah negara tersebut, harus menaati dan menundukkan diri pada segala perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut.

2) Asas personal atau asas nasional aktif atau juga disebut actieve persoonlijkheidsstelsel yaitu Undang-undang Pidana Indonesia tetap diberlakukan terhadap warga negara dimana pun mereka itu berada, bahkan juga seandainya mereka itu berada diluar negeri (Pasal 5 dan 7 KUHP).

Pasal 5 KUHP menyatakan bahwa:

(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:

ke-1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.

ke-2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.

(2) penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

(29)

29 Pasal 7 KUHP menyatakan bahwa:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua.

3) Asas Perlindungan atau asas nasional pasif atau juga disebut passief nationaliteits-beginsel yaitu berlakunya Undang-undang Pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang tanpa memandang kebangsaan orang-orang tersebut yang berada di luar negeri dimana tindak pidana yang dilakukannya membahayakan kepentingan-kepentingan nasional yang perlu mendapat perlindungan (Pasal 4 dan 8 KUHP).

Pasal 4 KUHP menyatakan bahwa:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

ke-1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131;

ke-2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;

ke-3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu;

ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan

(30)

30 pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Pasal 8 KUHP menyatakan bahwa:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesiaberlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yangdi luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salahsatu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam BabXXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga, begitu pula yangtersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapalIndonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.

4) Asas persamaan atau asas universal atau juga disebutuniversaliteits-beginsel yaitu setiap negara mempunyaikewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara keamanandan ketertiban dunia dengan negara-negara lain (Pasal 4 ke-2dan 4 serta Pasal 438, 444, 445 dan 446 KUHP).

Pasal 4 angka 2 dan 4 KUHP dinyatakan bahwa:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesiaditerapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia.

ke-2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertasyang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupunmengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yangdigunakan oleh Pemerintah Indonesia.

ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan lautdan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepadakekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentangpenguasaan pesawat udara secara melawan hukum,pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yangmengancam keselamatan penerbangan sipil.

Dalam hukum internasional dikenal tiga jenis yurisdiksi yang dimiliki suatu negara berkenaan dengan penetapan dan

(31)

31 pengawasan terhadap setiap peristiwa, setiap orang, dan setiap benda. Ketiga ruang lingkup tersebut terdiri dari (Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,2005: 34):

1) Juridiction to precible atau legislative juricdiction atau prespective jurisdiction yaitu yurisdiksi suatu negara untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional untuk mengatur suatu obyek hukum yang ada atau terjadi baik di dalam dan/atau di luar batas negara. Yurisdiksi legislatif ini muncul apabila suatu negara menghadapi suatu objek hukum yang ternyata belum ada pengaturannya di dalam hukum nasional negara yang bersangkutan. Karena adanya kepentingan dari suatu negara atas obyek hukum tersebut, maka negara itu membuat peraturan perundang-undangannya dimaksudkan untuk menjangkau obyek hukum tersebut.

2) Executive jurisdiction yaitu yurisdiksi suatu negara untuk melaksanakan atau menerapkan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya atas suatu obyek hukum yang ada atau terjadi baik di dalam atau di luar batas-batas wilayahnya.

3) Enforcement jurisdiction atau jurisdiction to adjudicate yaitu yurisdiksi suatu negara untuk mengadili (memaksakan penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya) terhadap pihak yang melakukan peristiwa hukum

(32)

32 tersebut di atas yang merupakan pelanggaran atas hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya.

B. Pemahaman Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

1. Pengertian Informasi Elektronik

Berpedoman pada Pasal 1 ayat (1) Undang-UndangNomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan TransaksiElektronik disebutkan:

”Informasi Elektronik adalah suatu atau sekumpulandata elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronik datainterchange (EDI), surat elektronik (electronik mail), telegram,teleks, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolahyang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yangmampu memahaminya”.

2. Pengertian Transaksi Elektronik

Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik disebutkan:

”Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yangdilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringanKomputer, dan/atau media elektronik lainnya”.

Sesuai definisi diatas transaksi elektronik merupakanperbuatan hukum yang dilakukan melalui media elektronik.Perbuatan hukum disini meliputi banyak aktifitas baik dalamekonomi bisnis ataupun lainnya.

3. Asas dan Tujuan

(33)

33 Pada Bab II Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronikdisebutkan tentang asas dan tujuan Undang-undang ini.

Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa:

”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan TransaksiElektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum,manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilihteknologi atau netral teknologi”.

Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa:

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan TransaksiElektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian darimasyarakat informasi dunia;

b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasionaldalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. meningkatkan efektifitas dan efesiensi pelayanan publik;

d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap oranguntuk memajukan pemikiran dan kemampuan di

bidangpenggunaan dan pemanfaatan

TeknologiInformasiseoptimal mungkin dan bertanggungjawab;dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukumbagi pengguna dan penyelenggaran Teknologi Informasi.

4. Perbuatan yang Dilarang Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Klasifikasi perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) dijelaskan dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37.

Konstruksi pasal-pasal tersebut mengatur secara lebih detail tentang

(34)

34 pengembangan modus-modus kejahatan tradisional sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 27, misalnya mengatur masalah pelanggaran kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, dan tindakan pemerasan dan pengancaman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Konstruksi Pasal 27 di atas menjelaskan perkembangan modus kejahatan dan atau pelanggaran dengan media komputer/internet (dalam bentuk informasi/dokumen elektronik).Hal tersebut sangatlah penting khususnya membantu para penegak hukum dalam memproses dan mengadili kasus-kasus yang telah menggunakan media informasi elektronik untuk memuluskan kejahatan/pelanggaran yang dilakukan.

(35)

35 Lebih lanjut Pasal 28 mengatur tentang perlindungan konsumen dan aspek SARA. Hal ini sangat beralasan mengingat banyak transaksi perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan media komputer/internet dimana baik produsen maupun konsumen tidak pernah bertemu satu sama lainnya. Sehingga aspek kepercayaan memegang peran penting dalam transaksi perdagangan.

Disisi lain persoalan SARA adalah merupakan persoalan kebangsaan yang sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang memiliki tingkat heterogenitas yang cukup tinggi telah menjadikan “SARA” sebagai salah satu produk konflik yang sangat mudah tersulut.Oleh karena itu, perkembangan modus pengoptimalisasian “SARA” sebagai produk yangrawan konflik harus diatur dengan penyusuaian perkembangan modus yang menggunakan media komputer/internet. Lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29 UU-ITE dapatlah dianggap sebagai suatu perkembangan yang sangat signifikan dalam pengaturan hukum mengenai adanya ancaman yang sering dilakukan dan atau dialamatkan kepada seseorang dengan menggunakan media

(36)

36 informasi/dokumen elektronik.Perkembangan produk elektronik sangatlah memudahkan bagi seseorang untuk memuluskan langkah jahatnya dalam mencapai tujuan untuk yang diinginkan. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

Pasal 29

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.

Pasal 30 UU-ITE menyebutkan bahwa :

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Konstruksi Pasal 30 dengan jelas menyebutkan bahwa tindak illegal yang dilakukan seseorang terhadap sistem elektronik orang lain dengan tujuan untuk memperoleh informasi/dokumen elektronik dan atau upaya pembobolan, penerobosan, dan penjebolan yang melanggar dan melampaui sistem pengamanan adalah sesuatu yang terlarang. Beberapa kasus yang relevan dan telah terjadi dalam praktek dunia cyber dapat dilihat pada kasus pembobolan kartu kredit, pembobolan situs KPU 2004, penjebolan beberapa dokumen penting pada departemen pertahanan dan keamanan Pemerintah Amerika

(37)

37 Serikat, dan masih banyak contoh kasus lainnya yang harus diselesaikan dengan menggunkan aturan hukum yang belum secara khusus mengatur tentang bentuk kejahatan/pelanggaran yang dimaksud.

Pasal 31 mengisyaratkan legalitas hukum tindakan penyadapan khususnya terhadap meraknya tindakan penyadapan yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum, lebih khususnya lagi tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas kasus Korupsi.

Dalam praktek negara-negara di dunia, penyadapan hanya mungkin dilakukan oleh lembaga penegak hukum dalam konteks tugas yang diembankannya kepadanya.Akan tetapi, UU-ITE belum secara khusus menyebutkan lembaga penegak hukum yang mana yang dapat melaksanakan otoritas tersebut.Hal ini tentunya berbeda dengan Undang-Undang telekomunikasi yang secara terbatas telah menyebutkannya. Oleh karena itu, amanah penentuan lembaga penegak hukum yang memiliki otoritas untuk melakukan penyadapan, baik dalam UU-ITE maupun UU Telekomunikasi harus dirumuskan dan dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang hingga saat ini belum dikeluarkan. Untuk lebih jelasnya Pasal 31 dapat dilihat sebagai berikut:

(38)

38 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/ atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32 dan 33 UU-ITE mengatur tentang perlindungan terhadap suatu informasi dan atau dokumen elektronik baik milik orang lain maupun milik publik yang bersifat rahasia (confidential). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses

(39)

39 oleh publik dengankeutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 33

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya”.

Lebih lanjut, Pasal 34 hingga Pasal 37 merupakan penekanan (supporting idea) terhadap bunyi Pasal 27 hingga 33 yang merupakan kategori perbuatan yang dilarang, dengan pengecualian pada Pasal 34 ayat (2) yang menyebutkan bahwa bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:

Pasal 34

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:

a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;

b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.

(40)

40 Pasal 35

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawanhukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atauDokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronikdan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olahdata yang otentik”.

Pasal 36

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawanhukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalamPasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkankerugian bagi Orang lain”.

Pasal 37

“Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yangdilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampaidengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap SistemElektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia”.

C. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Hacking(Meretas) 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda sering digunakandengan istilah strafbaar feit dan istilah delict yang memiliki maknasama. Dalam bahasa Indonesia, delict diterjemahkan dengan deliksaja, sedangkan terjemahan dari strafbaar feit memiliki beberapaarti dimana antara satu pendapat dan pendapat yang lain berbedabedadan belum diperoleh kata sepakat antar para sarjana.

Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “Strafbaar feitadalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yangbersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan danyang

(41)

41 dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.Sedangkan Van Hamel berpendapat dalam bukunya Moeljatno,bahwa “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan” (Moeljatno, 1993:56).

Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai:

Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum (Lamintang, 1997:182).

Berdasarkan beberapa pengertian tindak pidana diatas, dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

Untuk lebih jelasnya, Lamintang menjabarkan unsur-unsur tersebut sebagai berikut (Lamintang, 1997: 193-194):

Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Yang termasuk unsur-unsur subjektif antara lain:

1) Kesengajaan atau kelalaian;

2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

(42)

42 3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan dimana tindakan- tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Yang termasuk unsur-unsur objektif antara lain:

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2) Kualitas dari si pelaku;

3) Kausalitas, yaitu hubungan antara pelaku dengan tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

2. Pembagian Tindak Pidana

Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi berbagai klasifikasi, sebagai berikut :

1) Hukum pidana obyektif dan hukum pidana subyektif

a) Hukum pidana obyektif (Ius Poenale) adalah hukum pidana yang memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman.

(43)

43 b) Hukum pidana subyektif (Ius Punindi) adalah hak negara

menghukum seseorang berdasarkan hukum obyektif.

2) Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil

a) Hukum pidana materiil memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana, syarat- syarat untuk dapat menjatuhkan pidana, khususnya mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana dan ketentuan mengenai pidananya.

b) Hukum pidana formil yaitu hukum pidana yang mengatur bagaimana negara dengan melalui alat-alat perlengkapannya, melaksanakan haknya untuk menegakkan pidana atau dengan kata lain hukum pidana formil memuat aturan-aturan bagaimana mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil.

3) Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus

a) Hukum pidana umum adalah hukum yang memuat aturan- aturan yang berlaku bagi setiap orang. Misalnya KUHP, Undang-Undang Lalu Lintas.

b) Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan yang berlaku bagi golongan-golongan orangorang tertentu atau berkaitan dengan jenis perbuatan tertentu.

Misalnya Hukum Pidana Militer yang berlaku bagi anggota militer atau yang dipersamakan.

(44)

44 4) Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak

dikodifikasikan

a) Hukum pidana yang dikodifikasikan adalah hukum pidana yang tersusun dalam suatu buku Undang-Undang secara sistematis dan tuntas,misalnya KUHP.

b) Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan adalah hukum pidana yang berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Misalnya Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu pula terdapat perbarengan tindak pidana (concursus) yang pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialahterjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimanatindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana,atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidanaberikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.Padapengulangan juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yangdilakukan oleh satu orang.Perbedaan pokoknya ialah bahwa padapengulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awaltelah diputus oleh hakim dengan mempidana pada pelaku, bahkantelah menjalaninya baik sebagian atau seluruhnya.Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan (Adami Chazawi, 2002: 109-141).

(45)

45 Mengenai sistem penjatuhan pidana pada perbarengan berkaitan langsung dengan macam atau bentuk-bentuk perbarengan, undang-undang membedakan 3 (tiga) bentuk perbarengan, yaitu:

1) Perbarengan peraturan atau concursus idialis (Pasal 63 KUHP), yaitu jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanyalah satu diantara aturanaturan itu, dan jika berbeda-beda, dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Hal ini disebut sistem hisapan (absorbtie stelsel);

2) Perbuatan berlanjut atau voorgezette handeling (Pasal 64 KUHP), yaitu jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing berupa kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok paling berat. Hal ini disebut sistem hisapan (sama dengan perbarengan peraturan);

3) Perbarengan perbuatan atau concursus realis, yang dibedakan lagi menjadi:

a) Perbarengan antara beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis (Pasal 65 KUHP) dengan menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpte absorstie stelsel), yaitu dijatuhi satu pidana saja dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang

(46)

46 diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya.

b) Perbarengan antara beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (Paasal 66 KUHP) dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas (het gematigde cumulatie dtelsel) artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan, yaitu pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sendiri- sendiri sesuai kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana terberat ditambah sepertiganya.

c) Perbarengan perbuatan antara: (1) kejahatan dengan pelanggaran, dan (2) pelanggaran dengan pelanggaran (Pasal 70 KUHP) dengan menggunakan sistem kumulasi murni (het zuivere cumulatie stelsel) artinya semua kejahatan maupun pelanggaran itu diterapkan sendirisendiri dengan menjatuhkan pidana pada pelaku sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu.

3. Waktu dan Tempat Tindak Pidana / Tempusdan Locus Delicti

Mengenai waktu dan tempat tindak pidana ini adalah menjadi hal sangat penting dalam hal proses peradilan pidana sejak penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, yaitu menyangkut kewenangan relatif tentang Pengadilan Negeri mana yang

(47)

47 berhak mengadili suatu tindak pidana. Dalam praktik hukum pidana perihal waktu dan tempat tindak pidana juga penting bagi tersangka atau terdakwa dan penasehat hukumnya dalam hal menyiapkan dan atau melakukan pembelaannya dengan sebaikbaiknya khususnya mengenai alibi (Adami Chazawi, 2002: 133- 136).

1) Tempus Delicti / Waktu Tindak Pidana

Tempus delicti dapat diartikan sebagai waktu terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hubungan dengan berbagai kepentingan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal yakni:

a) Kepastian mengenai waktu dilakukannya suatu tindak pidana itu adalah penting berkenaan dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP. Perihal adanya perubahan dalam perundang- undangan sesudah perbuatan dilakukan, yaitu untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah adanya perubahan perundangundangan.

Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa:

”Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) di atas maka hal tersebut merupakan wujud dari asas legalitas dimana asas legalitas berarti tidak ada perbuatan dapat dipidana, kecuali atas

(48)

48 kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya.

Tujuan asas legalitas yaitu:

(1) Untuk mencegah penjatuhan pidana secara sewenangwenang;

(2) Untuk mencapai kepastian hukum;

(3) Hukum pidana bersumber pada hukum tertulis (Pasal 5ayat 3(b) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun1951).

Akibat dari asas legalitas:

(1) Perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut;

(2) Tidak boleh digunakan penafsiran analogis dalamhukum pidana.

Pasal 1 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa:

”Bilamana ada perubahan peraturan dalam perundangundangansesudah perbuatan dilakukan, maka terhadapterdakwa diterapkan ketentuan yang palingmenguntungkan”.

b) Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhanpidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasakarena belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun danbelum pernah kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 1Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang PengadilanAnak.

(49)

49 c) Mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuandaluwarsa

bagi hak negara untuk melakukan penuntutanpidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 78 dan 79KUHP.

Pasal 78 menyatakan bahwa:

(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan

yangdilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;

2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidanadenda, pidana kurungan, atau pidana penjara palinglama tiga tahun, sesudah enam tahun;

3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidanapenjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belastahun;

4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidanamati atau pidana penjara seumur hidup, sesudahdelapan belas tahun.

(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatanumurnya belum delapan belas tahun, masing-masingtenggang daluwarsa diatas dikurang sepertiga.

2) Locus Delicti / Tempat Tindak Pidana

Locus delicti dapat diartikan sebagai tempat terjadinyasuatu tindak pidana. Kepastian mengenai tempat dilakukannyasuatu tindak pidana itu adalah penting yaitu:

a) Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif.Pasal 83 ayat (1) KUHAP yang memuat prinsip dasartentang kompetensi relatif, yaitu Pengadilan Negeri yangberwenang mengadili segala perkara tindak pidana yangdilakukan di daerah hukumnya.

(50)

50 b) Dalam hal hubungan dengan ketentuan Pasal 2 sampaiPasal 8

KUHP yang memuat asas teritorial, asas nasionalaktif, asas nasional pasif, dan asas universal tentangberlakunya hukum pidana Indonesia, maka tempat tindakpidana penting pula dalam hal menentukan terhadap tindakpidana itu apakah berlaku hukum pidana Indonesia ataukahtidak.

Di dalam ajaran-ajaran mengenai locus delicti orangtelah berusaha untuk menentukan suatu tempat tertentu yangharus dianggap sebagai tempat dilakukannya suatu tindakpidana.Locus delicti adalah semua tempat, baik itu tempatdimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiriperbuatannya yang dilarang oleh undang-undang maupuntempat di mana alat yang dipergunakan itu telah menimbulkanakibat yaitu apabila tindak pidana yang telah dilakukannyameliputi beberapa peristiwa yang telah terjadi dibeberapatempat.

Menurut Van Hamel bahwa yang harus dianggapsebagai locus delicti itu adalah (Lamintang1997:232):

a) tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiriperbuatannya (de paat van de lichamelijke daad);

b) tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorangpelaku itu bekerja (de plaats van de uitwerking van hetinstrument);

(51)

51 c) tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu

telahtimbul (de plaat van het onmiddelijk gevolg);

d) tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul (de plaatsvan het constitutif gevolg).

4. Pengertian Hacking (Meretas)

Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenalistilah hacking(meretas). Secara harafiah ”hacking” berasal dari kata ”hack”dari bahasa Inggris yang berarti mencincang atau membacok.Namun dalam kejahatan internet hacking (meretas) dapat diartikan sebagaipenyusupan atau perusakan suatu sistem komputer.

Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disimpulkanbahwa hacking merupakan perbuatan setiap orang yang dengansengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputerdan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.

Hacking (meretas) merupakan aktivitas penyusupan ke dalam sebuahsistem komputer ataupun jaringan dengan tujuan untukmenyalahgunakan ataupun merusak sistem yang ada. Definisi darikata “menyalahgunakan” memiliki arti yang sangat luas, dan dapatdiartikan sebagai pencurian data rahasia, serta penggunaan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Membaca Intensif melalui Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI) siswa kelas VII SMP Negeri 4 Ujungbatu.Adapun masalah

Menyusun instrumen adalah pekerjaan penting di dalam langkah penelitian. Akan tetapi mengumpulkan data jauh lebih penting lagi, terutama penelitian menggunakan

Sebab selain menyediakan lapangan kerja, juga diharapkan akan timbul kegiatan lain yang nantinya akan lebih bermanfaat bagi masyarakat (misalnya adanya warung di sekitar

Jadi pengertian identitas nasional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai idiologiai negara sehingga mempunyai

Batas deteksi adalah konsentrasi analit paling kecil yang terdapat dalam sampel yang masih dapat diukur yang ditunjukkan oleh nilai absorbansi yang lebih besar dari pada

[r]

Analisa Faktor Riwayat Kontrasepsi pada Wanita Peserta Program Penapisan Kanker Leher Rahim Dengan Pendekatan "See & Treat" : Untuk Deteksi Lesi Prakanker dan

Pada tanggal neraca, aset dan kewajiban moneter dalam matauang asing dijabarkan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku pada tanggal-tanggal tersebut