• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lepasnya Timor Leste dari Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Lepasnya Timor Leste dari Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Lepasnya Timor Leste dari Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional

Aninda Kurnia Windiasari1 dan Muhammad Nur Islami1

1Fakultas Hukum, Universitas Muhammadaiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia.

Email : [email protected] Abstrak

Revolusi Bunga yang terjadi di Portugis berdampak bagi daerah jajahannya termasuk Timor Leste. Kemudian Portugis mengeluarkan kebijakan dekolonisasi untuk daerah jajahannya. Rakyat Timor Leste memanfaatkan kesempatan tersebut dengan membentuk tiga partai politik besar yang memiliki kepentingan berbeda – beda, diantaranya untuk dekolonisasi, merdeka, atau berintegrasi dengan Indonesia. Setelah Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (FRETILIN) mengumumkan kemerdekaan Timor Leste, muncul Deklarasi Balibo yang dijadikan dasar hukum oleh pemerintah Indonesia bahwa integrasi Timor Leste ke dalam Indonesia adalah sah. Pada saat kondisi Timor Leste sedang kacau, Indonesia masuk dengan melakukan invansi. Melalui undang – undang nomor 7 tahun 1976, Indonesia telah memperoleh wilayah tambahan yaitu Timor Leste sebagai salah satu provinsi.

Indonesia diduga memperoleh wilayah dengan cara aneksasi dimana hal tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Timor Leste berhasil melepaskan diri dari Indonesia melalui jajak pendapat. Karena pada saaat itu Presiden Baharuddin Jusuf Habibie mengaggap Timor Leste berhak menentukan nasibnya sendiri. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan sejarah untuk menelaah latar belakang Timor Leste bergabung hingga lepas dari Indonesia serta pendekatan kasus unntuk mencari fakta – fakta dari peristiwa yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data terseier. Pengambilan kesimpulan dilakukan secara deskriptif dengan metode deduktif, dimana pengambilan keputusan atas fakta – fakta yang umum kemudian disimpulkan secara khusus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional yaitu menduduki wilayah Timor Leste melalui aneksasi.

Kata kunci : aneksasi, hukum internasional, integrasi, Timor Leste

PENDAHULUAN

Kedatangan Portugis pada abad ke 16 bertujuan untuk mencari kayu cendana putih. Namun tujuan awal tersebut berubah saat Portugis menduduki Timor Leste.

Pada abad ke 17 Belanda datang dan ingin menguasai Pulau

Timor. Kemudian Belanda dan Portugis sepakat membagi wilayah kekuasaan melalui Perjanjian Lisabon. Dimana Belanda menguasai Pulau Timor bagian barat dan Portugis menguasai Pulau Timor bagian timur. Sehingga Pulau Timor bagian timur sejak awal belum menjadi bagian dari Indonesia. Terjadinya Revolusi Bunga pada 25 April 1974 di Portugis berdampak kepada wilayah jajahannya termasuk Timor Leste. Portugis kemudian mengeluarkan kebijakan dekolonisasi terhadap wilayah jajahannya. Mendengar hal tersebut rakyat Timor Leste menggunakan kesempatan tersebut untuk membentuk 3 partai besar. UDT (Uniao Democratica Timorense) yang menginginkan Timor Leste tetap berkoloni dengan Portugis, FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) yang menginginkan kemerdekaan, APODETI (Asosiacao Popular Democratica Timorense) yang menginginkan Timor Leste bergabung dengan Indonesia.

Indonesia masuk ke Timor Leste saat Timor Leste sedang dalam keadaan kacau. Indonesia masuk dengan melakukan operasi militer yang disebut operasi seroja. Lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, kemudian digantikan oleh Bj Habibie untuk melanjutkan kursi kepresidenan RI. Pada saat itu masalah Timor Leste masih belum selesai. Pada tanggal 11 Februari 1999, Presiden BJ Habibie menyatakan akan memberikan kemerdekaan kepada Timor Leste. Australia memberikan saran untuk memberikan kesempatan kepada Timor Leste menentukan nasib sendiri. Namun saran tersebut ditolak oleh Presiden BJ Habibie dengan alasan Indonesia tidak pernah melakukan penjajahan terhadap Timor Leste. Presiden BJ Habibie meberikan pilihan otonomi luas kepada Timor Leste. Akan tetapi jika Timor Leste menolak pilihan tersebut, maka Indonesia akan melepas Timor Leste.

Keputusan Presiden BJ Habibie melaksanakan referendum dianggap membahayakan Timor Leste. Karena syarat referendum hanya bisa dilaksanakan di satu tempat. Pada akhirnya Indonesia memilih untuk melaksanakan jajak pendapat karena dapat dilakukan ditempat masing-masing.

Timor Leste resmi berpisah dari Indonesia dan menjadi negara sendiri pada 20 Mei 2000. Proses panjang Timor Leste berdiri sendiri menjadi sebuah negara masih menjadi sebuah perdebatan. Indonesia dianggap melakukan integrasi terhadap Timor Leste. Hukum Internasional menentang adanya perolehan wilayah melalui integrasi. Kemudian saat Timor Leste memutuskan untuk berpisah, dianggap separatis. Padahal jika ditinjau dari hukum internasional,

(2)

Timor Leste berhak menentukan nasib sendiri berdasarkan sejarahnya.

KAJIAN LITERATUR

HUKUM INTERNASIONAL DALAM ISTILAH

BAHASA

Hukum internasional merupakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar negara, negara dengan non subjek negara, maupun subjek non negara dengan subjek non negara yang lain. Peraturan – peraturan hukum yang mengatur organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, organisasi internasional dengan negara, organisasi internasional dengan individu, individu dengan subjek non negara. Dalam hukum internasional terdapat prinsip – prinsip yang membuat negara merasa dirinya terikat untuk mentaati. Negara bukanlah satu – satunya subjek hukum internasional. Subjek dari hukum internasional yaitu, negara, organisasi internasional, individu, dan subjek – subjek hukum bukan negara (selama ada hubungan dengan masalah masyarakat internasional).

System hukum internasional modern merupakan suatu produk dari empat ratus tahun terakhir ini. Yang berkembang dari adat istiadat dan praktek – praktek negara – negara Eropa modern dalam hubungan – hubungan dan komunikasi – komunikasi mereka, sementara masih terlihat bukti pengaruh para penulis dan ahli – ahli hukum dari abad – abad keenam belas, ketujuh belas dan kedelapan belas.

Hukum internasional masih diwarnai dengan konsep - konsep seperti kedaulatan nasional dan kedaulatan teritorial, dan kesamaan penuh serta kemerdekaan negara- negara, yang meskipun memperoleh kekuatan dari teori- teori politik yang mendasari system ketatanegaraan Eropa modern, anehnya beberapa konsep ini memperoleh dukungan dari negara-negara non-Eropa yang baru muncul.

NEGARA TIMOR LESTE

Timor Leste merupakn daerah bekas jajahn Portugis sebelum bergabung dengan Indonesia. Karena adanya revolusi bunga yang memeberikan dampak kepada daerah – daerah jajahannya. Secara geografis Timor Leste terletak di Pulau Timor sebelah timur dengan luas wilayah 18.898 km, dan berada di jajaran kepulauan Nusa Tenggara. Letak geografis Timor Leste terbentang antara 123 derajat 25 detik dan 127 derajat Bujur Timur dan diantara 8 derajat 22 menit serta 10 desrajat Lintang Selatan terdapat dua pulau yang cukup besar termasuk dalam wilayah Timor Leste yaitu Pulau Atauro di sebelah utara Dilli dan Pulau Jaco di ujung timur. Disamping itu ada satu wilayah kecil yang terpisah dari wilayah Timor Leste , yaitu daerah Ambeno yang terjepit diantara Nusa Tenggara Timur. Adapun batas – batas wilayah Timur Leste sebelah utara adalah Selat Wetar dan Selat Ombai, di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara keseluruhan luas dataran rendah di Pulau Timor hanya 20 % dari luas pulau.

Timor Leste memiliki susunan tanah yang terdiri dari lapisan kapur sedimentair, karang, tanah liat, dan sering ditandai adanya rangkah – rangkah tanah pegunungan.

Tanah kering terdapat dimana-mana dengan bukit – bukit gersang dan hanya di beberapa tempat saja yang nampak hijau. Hutan yang cukup lebat di Viqueque dan Lautern dengan didominasi oleh pohon kelapa dan palem untuk di daerah pesisir dan pohon kayu putih, kayu merah, pohon lontar dan pohon cendana.

Pulau Timor merupakan salah satu dari 13..000 pulau di Nusantara, terletak di ujung timur kepulauan Nusa Tenggara. Luas Pulau Timur 32.000 km+, yang hampir seluruhnya terdiri dari pegunungan, Gunung Tertinggi yaitu Tata Mailan, 2.950 meter. Sebuah kronik Cina tahun 1436 berkata, pulau ini tidak memiliki kekayaan lain selain kayu cendana yang harum baunya. Kayu cendana diminati dan dicari oleh pedagang dari seberang lautan, seperti pedagang Cina yang datang berniaga ke Pulau Timor. Menurut cerita Cina yang ditulis oleh Chao Ju-Kua pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya atau Su-chi-tan dalam bahasa Cina meliputi: Sin-to (Sunda), Ma-li (Bali), Tanjung-wo-lu (Tanjung Pura, Kalimantan). Ti-wu (Timor), dan Wa-nu-ku (Maluku). Jelas Timor disebut dalam berita Cina itu sebagi wilayah Kerajaan Sriwijaya.

Dengan tujuan mencari rempah-rempah yang mahal harganya di pasar Eropa, Portugis mengarungi Samudra menuju Kepulauan Nusantara. Pada 1498 Vasco da Gama dari Portugal mencapai pantai India. Conquistador terkenal Afonso de Albuquerque mengalahkan Goa. Dari sana ia mempersiapkan penyerbuan ke Malaka, pusat perdagangan rempah-rempah, yang ditaklukannya pada 1511. Setelah Malaka jatuh dipersiapkannya ekspedisi besar ke Maluku dan Banda Neira, pusat produsen rempah-rempah. Tidak seorangpun tahu persis kapan Timor pertama kali terlihat dari sebuah kapal Portugis. Tetapi pulau itu pertama kali disebut dalam sepucuk surat tanggal 6 Januari 1514 yang ditulis oleh Rui de Brito. Jadi kemungkinan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1500 dan 1514, dan menurut sementara sumber sangat mungkin Portugis mengunjungi Timor pada 1512. Pada abad ke-16 terdapat dua kerajaan bumiputra yang saling bersaing yaitu Kerajaan Belu dan Kerajaan Serviao. Belu menguasai Timor Timur dan sebagian Timor Barat. Bahasa mereka bahasa Tetum.

Serviao menguasai daerah yang sekarang dihuni oleh orang Atoni dan kebanyakan terdapat di Timur Barat. Bahasa mereka bahasa Vaiqueno.

Orang Portugis tidak menetap di Timor ketika datang pertama kali tahun 1512. Mereka cuma berdagang membeli kayu cendana. Setelah lebih dari 50 tahun kemudian, 1566, orang Portugis mendirikan sebuah banteng di Pulau Solor.

Dari Solor pastor-pastor Ordo Dominican melakukan kegiatan menasranikan penduduk Flores, Lombok, Alor, Roti, dan Timor. Di sekitar banteng berkembang suatu masyarakat yang terdiri dari bajak laut Mestizo-Timor, serdadu dan pelaut Portugis, serta pedagang kayu cendana dari Macao dan Malaka. Masyarakat yang didominasi oleh para pengelana Eropa dan orang Indo-Eropa yang tukang

(3)

bunuh beserta isteri mereka yang pribumi menjadi terkenal sebagai Topass atau Portugis Hitam.

Belanda mengirimkan pasukan ke Timor tahun 1613 untuk merebut control dan monopoli atas perdagangan kayu cendana. Belanda merebut benteng Portugis di Pulau Solor.

Para pastor Dominican beserta pengikut mereka, sTopass, melarikan diri ke Larantuka di ujung timur Pulau Flores.

Saat itu kekuatan mereka lebih dari 1000 orang, di antaranya terdapat 30 orang Portugis atau Indo dan 7 Romo Dominican. Dalam masa 30 tahun berikutnya benteng di Pulau Solor kerap bertukar-tangan antara Belanda dan Portugis. Awal abad ke-19 berakhir Perang Napoleon di Eropa. Belanda kembali berkuasa di Batavia dan Portugis masih terus di Dili. Pada 25 April 1974 MFA bergerak dan mengambil alih kekuasaan pemerintah di Lisabon yang membuat rezim yang berkuasa hampir setengah abad ambruk. Hal itulah yang disebut Revolusi Bunga di Portugal yang berdampak pada daerah jajahannya.

PENDUDUKAN WILAYAH MELALUI ANKESASI DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Sejak munculnya Piagam PBB terutama adanya Pasal 2 ayat (4), yang isinya adalah : “Segenap anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”

Maka hukum internasional melarang adanya penambahan wilayah negara melalui kekerasan atau aneksasi. Aneksasi merupakan suatu cara penggabungan negara lain melalui kekerasan atau paksaan melalui negara yang menganeksasi.

Adapun perolehan kedaulatan teritorial yang dipaksakan dengan dua bentuk keadaan:

Apabila wilayah yang dianeksasi telah dilakukan atau ditundukan oleh negara yang menganeksasi

Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada di bawah negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya kehendak aneksasi oleh negara tersebut.

Suatu aneksasi yang merupakan hasil dari agresi kasar yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain atas yang dihasilkan dari penggunaan kekerasan yang bertentangan dengan Piagam PBB, tidak boleh diakui oleh negara-negara lain.

ASAS UTI POSSIDENTIS JURIS DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Secara etimologi uti posidentis memiliki arti “sebagai milik anda” yang merupakan Bahasa Latin. Secara terminologi berarti bahwa wilayah dan kekayaan lainnya mengikuti pemilik asal pada akhir konflik antara negara baru dengan penguasa sebelumnya yang disajikan dalam sebuah perjanjian. Berdasar doktrin uti possidentis juris negara yang baru saja merdeka mewarisi batas-batas administratif

yang sudah terbentuk sebelumnya. Artinya, wilayah negara baru meliputi semua wilayah bekas penjajah yang melakukan kolonialisasi di wilayah tersebut. Sebagai contoh bahwa keseluruhan wilayah Republik Indonesia adalah meliputi seluruh wilayah eks-koloni Belanda.

RIGHT SELF DETERMINTATION ATAU HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Di Indonesia referendum sering disebut dengan jajak pendapat, sedangkan di PBB disebut sebagai penentuan nasib sendiri (self determination). Self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri memiliki sifat yang mengikat, serta secara normatif telah diatur dalam berbagai instrument hukum internasional. Self determination dapat diartikan sebagai hak suatu bangsa untuk dapat menentukan bentuk pemerintahannya sendiri. Konsep self determination sudah menjadi perhatian PBB, yaitu yang ada dalam Piagam PBB pada tanggal 26 Juni 1945 yang ditandatangani di Sanfransisco.

Majelis umum PBB mengeluarkan Deklarasi Dekolonisasi pada tanggal 14 Desember 1960, melalui Resolisi MU-PBB 1514 (XV) tentang Declaration On the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples. Poin – poin penting yang termuat didalamnya:

Penguasaan / penaklukan bangsa dengan dominasi dan eksploitasi, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Piagam PBB yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan seluruh dunia.

Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dan untuk menentukan status secara politiknya secara bebas dan mengejar perkembangan ekonomi, sosial, dan budayanya.

Persiapan yang kurang memadai di bidang politik, ekonomi, dan sisal tidak menjadi alas an untuk menunda kemerdekaan suatu bangsa.

Tindakan militer dan penekanan – penekanan lainnya yang ditujukkan kepada bangsa yang belum merdeka harus dihentikan untuk memungkinkan pelaksanaan kemerdekaan secara bebas dan damai dan keutuhan wilayah nasionalnya juga harus dihormati.

Daerah – daerah perwalian dan wilayah tak berpemerintahan sendiri dan wilayah – wilayah lainnya yang belum memperoleh kemerdekaan agara segera melimpahkan kewenangannya kepada rakyat (bangsa) di wilayah – wilayah tersebut tanpa syarat apapun.

Setap usaha yang ditujukan untuk memecahkan sebagian atau seluruh kesatuan nasional maupun keutuhan wilayah dari suatu negara adalah bertentangan dengan tujuan dan prinsip – prinsip PBB.

Semua negara harus melaksanakan ketentuan – ketentuan dalam Piagam PBB secara sungguh – sungguh. Deklarasi Hak – Hak Asasi PBB atas dasar persamaan hak, tidak

(4)

mencampuri urusan dalam negeri, menghormati hak – hak kedauatan semua bangsa, serta keutuhan wilayahnya.

Salah satu prinsip yang terkandung dalam resolusi 1541 (XV) tahun 1960 Majelis Umum PBB bahwa suatu wilayah yang belum berpemerintahan sendiri dapat memperoleh pemerintahan sendiri sepenuhnya melalui tiga pilihan, yaitu :

Pilihan pertama adalah munculnya wilayah itu sebagai negara yang merdeka dan berdaulat;

Pilihan kedua, wilayah itu dapat secara bebas mengadakan persekutuan dengan suatu negara merdeka;

Pilihan ketiga, wilayah tersebut dapat pula bergabung dengan suatu negara merdeka.

Pernyataan tentang hak untuk menentukan nasib sendiri terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) Piagam PBB yang berbunyi :

“To develop friendly relations among nations based on respect for the principles of equal right and self determination of the people, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace”.

Dalam deklarasi mengenai hak dan kewajiban negara – negara yang diibuat oleh panitia hukum internasional pada tahun 1949, dalam Pasal 1 :

“Every states has the rights to independence and hence to exercise freely, without dictation by any other state, all its legal powers, including the choice of its own form of government”

Komitmen PBB terhadap adanya pengakuan hak suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri diberikan atas suatu dasar, bahwa penjajahan yang berlangsung secara terus- menerus, tidak hanya berdampak pada terganggunya kerja sama internasional, namun juga pada terganggunya proses pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya dari bangsa- bangsa terjajah yang pada prinsipnya bertentangan dengan Piagam.

Deklarasi – deklarasi yang telah disahkan oleh Majelis Umum, dan telah didukung dalam dekade terakhir ini.

Pertama, telah terjadi perkembangan pesat dalam emansipasi beberapa wilayah koloni atau wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Kedua, telah terasa pengaruh Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat terjajah . ketiga, proses ratifikasi dan penerimaan kedua Convenant yang disebut di atas, akan mengkonsolidasikan pnerimaan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan sejarah untuk menelaah latar belakang Timor Leste bergabung hingga lepas dari Indonesia serta pendekatan kasus untuk mencari fakta – fakta dari peristiwa yang terjadi

antara Indonesia dan Timor Leste. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data tersier. Pengambilan kesimpulan dilakukan secara deskriptif dengan metode deduktif, dimana pengambilan keputusan atas fakta – fakta yang umum kemudian disimpulkan secara khusus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TIMOR LESTE MENJADI BAGIAN DARI INDONESIA Terjadinya Revolusi Bunga di Portugis yang berdampak kepada wilayah jajahannya termasuk Timor Leste.

Dimanfaatkan oleh rakyat Timor Leste untuk mendirikan tiga partai besar. Diantaranya Uniao Democratica Timorense (UDT) yang menginginkan Timor Leste tetap berkoloni dengan Portugis, Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (FRETILIN) yang menginginkan kemerdekaan, Asosiacao Popular Democratica Timorense (APODETI) yang menginginkan Timor Leste bergabung dengan Indonesia. Persaingan terjadi antara UDT dan FRETILIN hingga mengakibatkan konflik berdarah. Pada 28 November 1975 FRETILIN mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste dengan nama “Democratic Republic of East Timor”.

Tindakan sepihak yang dilakukan FRETILIN memunculkan rekasi dari partai – partai lain. Kemudian muncullah deklarasi tandingan, yaitu Deklarasi Balibo. Isi dari Deklarasi Balibo adalah sebagai berikut :

“Kami rakyat Timor-Timur dan daerah-daerah bawahanya dalam hal ini diwakili oleh Apodeti, Klibur Oan Timor Aswain (KOTA) dan partai Trabalista setelah mengadakan analisa denganseksama, menyesalkan proklamasi kemerdekaan atas wilayah Portugal. Atas nama Allah Yang Maha Kuasa dan berdasarkan alasan yang dikemukan, kami dengan khitmat menyetakan integrasi dari seluruh wilayah koloni Portugis dengan bangsa Indonesia dan proklamasi ini merupakan pernyataan paling tinggi dari perasaan-perasaan rakyat Timor Portugis.

Pada tanggal 7 Desember 1975, tentara Indonesia melakukan penyerbuan terhadap Timor Leste. Mereka mendarat di Dili di Kawasan mercusuar. Dua hari invansi telah mengakibatkan sekitar dua ratus nyawa hilang di tangan tentara Indonesia. Pasukan payung elit TNI diterjunkan diatas pasukan FALINTIL yang sedang mundur dari Dili. Invansi tersebut disebut dengan Operasi Seroja.

Hal tersebut ditentang oleh dunia internasional. Dunia internasional menganggap hal tersebut masuk kedalam pelanggaran hak asasi manusia.

Pada 31 Mei 1976 Indonesia mencoba untuk mengesahkan pendudukannya atas Timor Timur.

Indonesia membentuk sebuah Majelis Rakyat yang beranggotakan sekitar 30 orang dari beberapa distrik.

Majelis ini membuat sebuah petisi kepada Presiden Soeharto, meminta integrasi Timor Timur ke Indonesia.

Kemudian petisi ini ditandatangani oleh Arnaldo de Araujo sebagai ketua PSTT, dan Guilherme Goncalves

(5)

selaku kepala Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Timor Timur.

Sejak berintegrasi dengan Indonesia, Timor Timur dibagi menjadi 13 kabupaten, 61 kecamatan, dan 1.739 desa. Pembangunan untuk Timor Timur pun terus direalisasikan oleh Indonesia, seperti terlihat dalam kurun waktu 17 Juli 1976-31 Maret 1977, pemerintah Indonesia menyuntikan dana untukpembangunan perumahan, rumah sakit, gedung sekolah, serta proyeksi air minum dan rumah sakit. Sementara itu, pada tahun 1977-1978, pemerintah pusat mengeluarkan dana 6,6 miliar rupiah untuk pembangunan di bidang pertanian, kehutanan, koperasi, pembangunan desa, dan sektor kesehatan. Dilihat dari pengeluaran total anggaran pada tahun 1976-1980, dana yang telah dikeluarkan pemerintah RI untuk Propinsi Timor Timur sebesar 99,913 miliar rupiah untuk pembangunan proyek-proyek berdasarkan keputusan presiden, 113,999 miliar rupiah untuk proyek sektoral, dan 64,705 miliar rupiah untuk angaran belanja rutin. Anggaran ini melebihi anggaran rutin Propinsi Nusa Tenggara Timur, bahkan Propinsi Jawa Tengah.

Hasil dan Saran

Indonesia dianggap menganeksasi Timor Leste karena dianggap menyerang Timor Leste dengan menggunakan pasukan militer dimana hal tersebut dikecam oleh dunia internasional.

REFERENSI

Anwar, R. (2004). Sejarah Kecil “Petite Histoire”

Indonesia. Jakarta: Kompas.

Arifin, S. (2014). Hukum Perbatasan Darat Antarnegara.

Jakarta: Sinar Grafika.

Boro, L. R. (2014). Jajak Pendapat Timor Timur Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Masyarakat Sipil Pasca Konvensi Jenewa 1949. Jurnal MMH, 43(3), 380-387.

Carey, P. 2007. From Netherlands indies to Indonesia — from Portuguese Timor to the republic of East Timor/Timor Loro sa’e: Two paths to nationhood and independence.

Indonesia and the Malay World, 25 (71), https://doi.org/10.1080/13639819708729887

CAVR. (2010). Chega Volume I. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Fajar, M. & Achmad, Y. (2015). Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadi, S. (2007). Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Kuntari, C. M. R. (2008). Timor Timur Satu Menit Terakhir.

Bandung: Mizan Media Utama.

Naidu, G. V. C. (2008). The east timor crisis. Strategic Analysis, 23 (9), 1467-1480.

Nevins, J. (2008). Pembantaian Timor Timur Horor Masyarakat Internasional. Yogyakarta: Galangpress.

Starke, J. G. (1999). Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika.

Sunyowati, D., Adam, H., & Vinata, R. T. (2019). The principles of uti possidetis juris as an alternative to settlement determination of territorial limits in the oecusse sacred area (Study of the NKRI and RDTL Boundaries).

Jurnal Yuridika, 34 (2): 279-301.

Suartika, T. (2015). Korban jajak pendapat di Timor Timur.

Jurnal Avatara, 3(1): 15-24.

Syahnakri, K. (2012). Timor Timur : The Untold Story.

Jakarta: Kompas.

Referensi

Dokumen terkait

di Timor Leste dan Indonesia (suatu studi perbandingan hukum), dalam.. tesis ini penulis melihat bahwa adanya pengaturan

JUDUL : REDESAIN TERMINAL BANDARA HALIWEN ATAMBUA SEBAGAI AKSES PENERBANGAN INTERNASIONAL INDONESIA - TIMOR LESTE PENYUSUN : WALLES JOYO LAKSONO.. NIM : D 300

Tapi sangat disayangkan, karena penerbangan tersebut hanya melayani penerbangan perintis dan belum membuka rute penerbangan internasional RI-TIMOR LESTE dikarenakan sarana

Kemerdekaan Timor Leste yang diperoleh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1999 memberikan konsekuensi hukum bagi Negara Timor Leste, sebagai Negara yang

Hukum internasional merupakan bagian terpenting pada setiap negara demi menjaga negara itu sendiri baik dari segi perbatasan wilayah maupun dari segi hak yang dilanggar oleh

Tulisan ini membahas tentang alasan Indonesia yang memberikan referendum kepada Timor Leste yang mengakibatkan Timor Leste merdeka dari Indonesia. Tulisan ini bersifat

Pendidikan Timor Leste dan Indonesia dalam meninkatkan kualitas sumber daya manusia. pasca kemerdekaan Timor Leste periode 2003-2010” karena menurut penulis

Misalnya, ketika terjadi pelanggaran perbatasan oleh orang-orang Timor-Leste yang masuk ke wilayah Indonesia untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari,