BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan,
baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history”
ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumber daya ikan.
Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan:
APRIL, AGUSTUS, DESEMBER.
Ketua Redaksi:
Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI) Anggota:
Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL)
Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI) Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU) Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI)
Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI) Mitra Bestari untuk Nomor ini:
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI)
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB) Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT) Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan)
Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI) Redaksi Pelaksana:
Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si.
Kharisma Citra, S.Sn.
Desain Grafis:
Arief Gunawan, S.Kom.
BAWAL
WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP
BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ISSN 1907-8226
Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012 Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012
(Periode: April 2012-April 2015)
Alamat Redaksi/Penerbit:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430
Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email: [email protected]
i iii
67-73
75-82
83-89
91-96
97-103
105-112
113-120
121-129
ISBN 1907-8226 BAWAL
Widya Riset Perikanan Tangkap Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR………...
DAFTARISI………...
Struktur Ukuran, Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi Ikan Tuna di Perairan Prigi, Jawa Timur Oleh : Erfind Nurdin, Am Azbas Taurusman dan Roza Yusfiandayani ...
Jenis, Ukuran dan Daerah Penangkapan Hiu Thresher (Famili alopiidae) yang Tertangkap Rawai Tuna di Samudera Hindia
Oleh : Agustinus Anung Widodo dan Ralph Thomas Mahulette ...
Hubungan Panjang Bobot, Faktor Kondisi dan Struktur Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali
Oleh : Arief Wujdi, Suwarso dan Wudianto ...
Parameter Populasi Ikan Kadah (Valamugil speigleri) sebagai Indikator Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Estuaria di Pemalang
Oleh : Adrian Damora dan Karsono Wagiyo ...
Hubungan Panjang-Bobot Siput Lola (Trochus niloticus) di Perairan Kecamatan Saparua, Maluku Tengah Oleh : Andrias Steward Samu Samu, J. A. Pattikawa dan Pr. A. Uneputty ………
Keragaman Genetik Ikan Semah (Tor tambroides Bleker 1854) di Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung
Oleh : Arif Wibowo ...
Makanan dan Reproduksi Ikan Lukas (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) di Perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri
Oleh : Kamaluddin Kasim, Chairulwan Umar, Priyo Suharsono Sulaiman, dan Naila Zulfia ………
Status Trofik dan Estimasi Potensi Produksi Ikan di Perairan Danau Tempe, Sulawesi Selatan
Oleh : Samuel, Safran Makmur dan Petrus Rani Pong Masak ...
i
KATA PENGANTAR
Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap “BAWAL” memiliki fungsi sebagai wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya ikan di perairan laut maupun perairan umum daratan.
Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediannya dalam menelaah beberapa naskah.
Pada Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian perairan umum daratan dan perairan laut. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, struktur ukuran, hubungan panjang berat-bobot dan faktor kondisi ikan tuna di perairan Prigi, Jawa Timur, jenis, ukuran dan daerah penangkapan Hiu Thresher (Famili alopidae) yang tertangkap Rawai Tuna di Samudera Hindia, hubungan panjang bobot, faktor kondisi dan struktur ukuran ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan Selat Bali, parameter populasi ikan Kadah (Valamugil speigleri) sebagai indikator pemanfaatan sumberdaya perairan Estuari di Pemalang, hubungan panjang-bobot Siput Lola (Trochus niloticus) di perairan Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, keragaan genetik ikan Semah (Tor tambroides Bleker 1854) di sungai Manna, Bengkulu dan sungai Semanka, Lampung, makanan dan reproduksi ikan Lukas (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) di perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri dan status Trofik estimasi potensi produksi ikan di perairan Danau Tempe, Sulawesi Selatan.
Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
Redaksi
STRUKTUR UKURAN, HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR KONDISI IKAN TUNA DI PERAIRAN PRIGI, JAWA TIMUR SIZE STRUCTURE, LENGTH WEIGHT RELATIONSHIP AND CONDITION FACTOR OF TUNAS IN THE PRIGI WATERS, EAST JAVA
Erfind Nurdin1), AmAzbas Taurusman2)dan Roza Yusfiandayani2)
1) Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
2)Institut Pertanian Bogor, Bogor
Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012
ABSTRAK
Penelitian tentang struktur ukuran dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di perairan sekitar rumpon di Selatan Prigi, Jawa Timur dilakukan pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Sampel ikan diperoleh di PPN Prigi, diidentifikasi menurut jenis dan diukur panjang cagak serta ditimbang bobotnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon. Hasil penelitian menunjukkan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diukur sebanyak 115 ekor dengan dominasi ukuran panjang berkisar antara 32–36 cmFL dan bobot antara 0,75–1,20 kg; tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 114 ekor dengan dominasi panjang pada kisaran 40–44 cmFL dan bobot antara 0,75– 1,20 kg; dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor dengan dominasi panjang berkisar antara 28–32 cmFL dengan bobot 0,30–0,75 kg. Hubungan panjang bobot ikan cakalang mengikuti persamaan W= 0,055FL2,733, tuna mata besar W=
0,014FL3,096dan tuna sirip kuning W= 0,0006FL3,960. Faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2, tuna mata besar 2,1 dan tuna sirip kuning 2,0.
KATA KUNCI: Hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, tuna, Prigi ABSTRACT:
Study on size structure and condition factor of tuna caught around FADs in the south of Prigi, East Java was conducted in July 2010, December 2010 and January 2011. The objectives of this study are to investigate that the size distribution, L-W relationship and condition factor of dominant fish caught around of FADs. The result showed that the size distribution of skipjack tuna dominated in range of 32–36 cmFL and 0.75–1.20 kg (body weight), bigeye tuna range of 40–44 cmFL and 0.75– 1.20 kg (body weight), yellowfin tuna range of 28–32 cmFL and 0.30–
0.75 kg (body weight). Length weight relationship of skipjack tuna can described as W= 0.055FL2.733, bigeye tuna W= 0.014FL3.096and yellowfin W= 0.0006FL3.960. The value of condition factor was 2.0 for skipjack tuna, mean while for bigeye tuna was 2.1 and for yellowfin tuna was 2.0.
KEYWORDS: Length-weight relationship, condition factor, tuna, Prigi
PENDAHULUAN
Perkembangan usaha penangkapan tuna telah memberikan konstribusi terhadap peningkatan ekonomi yang cukup signifikan di beberapa daerah. Data sementara menunjukkan bahwa porsi terbesar hasil tangkapan yang didaratkan tergolong surface tuna yang umumnya memiliki ukuran panjang belum layak tangkap (Nurdin, 2009).
Peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan telah menimbulkan persoalan kapasitas penangkapan yang berlebih.
Berkembangnya upaya penangkapan mengarah pada menurunnya ketersediaanstok sumberdayaikan. Apabila ukuran hasil tangkapan ikan tuna semakin mengecil, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan yang berkesempatan memijah yang mengakibatkan rekruitmen berkurang.
Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small scale fisheries) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Jawa Timur. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan Selatan Jawa menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan.
Armada yang melakukan penangkapan di rumpon dengan tujuan utama jenis ikan tuna dan cakalang adalah armada tonda dan jaring insang.
Monintja & Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006) menyatakan awal keberadaan rumpon mampu meningkatkan hasil tangkapan. Semakin padatnya pemasangan rumpon menyebabkan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya, ditandai oleh ukuran rata- rata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
68
Dampak negatif rumpon perlu diwaspadai secara serius apabila dalam pengoperasian melebihi kapasitas: a) jumlah ikan di daerah penangkapan sekitar pantai menurun dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; b) Laju tangkap unit penangkapan di luar areal rumpon cenderung menurun; c) berhentinya operasi penangkapan dari sebagian unit penangkapan skala kecil (Simbolon, 2004).
Pengoperasiaan beberapa jenis alat tangkap menyebabkan ukuran ikan tuna yang tertangkap bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran, pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang merupakan hasil tangkapan utama di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi, Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran struktur ukuran ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengelolaan perikanan tuna khususnya yang tertangkap di sekitar rumpon.
BAHANDANMETODE
Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Prigi, Jawa Timur pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Pencatatan panjang dan bobot serta faktor kondisi dikhususkan bagi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon yang berada di Samudera Hindia, sebelah selatan Jawa Timur. Posisi rumpon dijelaskan pada gambar 1.
Pengukuran panjang cagak (fork length, FL) dilakukan menggunakan meteran gulung dengan panjang maksimum 5 meter, sedangkan bobot ikan diukur menggunakan timbangan berkapasitas 10 kg. Jumlah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diamati sebanyak 115 ekor, tuna mata besar (Thunnus obesus) 114 ekor dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor yang merupakan hasil tangkapan armada tonda dan jaring insang yang beroperasi di sekitar rumpon (Gambar 2).
Gambar 1. Peta menunjukkan posisi rumpon nelayan Prigi.
Figure 1. Map showing FADs position of Prigi fisherman
Gambar 2. Ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi.
Figure 2. Tuna species landed at PPN Prigi.
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
Hubungan panjang - bobot dianalisis dengan model pertumbuhan menurut Bal & Rao (1984) menggunakan persamaan:
W= aLb
dimana: W= bobot, L= panjang, a dan b= konstanta
Nilai b sebagai penduga hubungan antara panjang dan bobot dengan kriteria:
· Nilai b = 3, ikan memiliki pola pertumbuhan isometrik (pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan panjang)
· Nilai b > 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik positif (pertambahan bobot lebih besar dari pertambahan panjang)
· Nilai b < 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif (pertambahan bobot lebih kecil dari pertambahan panjang).
Nilai b diuji untuk mengetahui apakah nilai b yang diperoleh berbeda nyata dengan nilai b= 3 menggunakan uji-t pada tingkat kepercayaan 95% (Steell & Torrie, 1989).
Menurut Effendie (1997), analisis faktor kondisi (K) dilakukan untuk melihat kondisi ikan dari kapasitas fisik menggunakan persamaan K= 100 (W/L3), dimana: W=
bobot dan L= panjang.
HASIL DAN BAHASAN HASIL
Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot
Pengukuran dilakukan terhadap jenis ikan hasil tangkapan dominan dari alat tangkap tonda dan jaring insang di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi.
Ukuran bobot untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur dan berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran 0,30–0,75 kg (Gambar 3).
Gambar 3. Sebaran bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi Figure 3. Weight distribution of tuna species caught in Prigi Waters Ukuran panjang cagak (FL) untuk ketiga jenis ikan yang
tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, dengan dominasi panjang cagak cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, tuna mata pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sebaran frekwensi panjang ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi disajikan pada gambar 4.
Hubungan Panjang dan Bobot
Analisis panjang-bobot ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat berdasarkan ukuran panjang ikan. Hasil penelitian di PPN Prigi diperoleh hubungan panjang-bobot ikan cakalang dengan persamaan W= 0,055FL2,733dengan nilai koefisien korelasi r= 0,9483, ikan tuna mata besar dengan persamaan W= 0,007FL3,260dan nilai r= 0,9288 sedangkan tuna sirip kuning dengan persamaan W= 0,0006FL3,960dan nilai r=
0,9883 (Gambar 5).
0 10 20 30 40
0.3-0.75 0.75-1.2 1.2-1.65 1.65-2.1 2.1-2.55 2.55-3.0 3.0-3.45 3.45-3.9
Jumlah(ekor)
Kisaran bobot (kg)
Cakalang n= 115
0 10 20 30 40
0.3-0.75 0.75-1.2 1.2-1.65 1.65-2.1 2.1-2.55 2.55-3.0 3.0-3.45 3.45-3.9
Jumlah(ekor)
Kisaran bobot (kg)
Tunamata besar n= 114
0 10 20 30 40
0.3-0.75 0.75-1.2 1.2-1.65 1.65-2.1 2.1-2.55 2.55-3.0 3.0-3.45 3.45-3.9
Jumlah(ekor)
Kisaran bobot (kg)
Tuna sirip kuning n= 107
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
70
0 10 20 30 40 50
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Jumlah(ekor)
Kisaran panjang FL (cm)
Cakalang n= 115
0 10 20 30 40 50
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Jumlah(ekor)
Kisaran panjang FL (cm) Tuna mata besar
n= 114
0 10 20 30 40 50
28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60
Jumlah(ekor)
Kisaran panjang FL (cm) Tuna sirip kuning
n= 107
Gambar 4. Sebaran panjang cagak (fork length, FL) ikan tuna yang tertangkap di Perairan Prigi.
Figure 4. Fork length distribution of tuna species caught in Prigi Waters
y = 0,055x2,733 r = 0,9483
0 2000 4000 6000
0 20 40 60 80
Bobot(gram)
FL (cm)
Cakalang n = 115
y = 0,007x3,260 r = 0,9288
0 2000 4000 6000
0 20 40 60 80
Bobot(gram)
FL (cm)
Tuna mata besar n = 114
y = 0,0006x3,960 r = 0,9883
0 2000 4000 6000
0 20 40 60 80
Bobot(gram)
FL (cm)
Tuna sirip kuning n=107
Gambar 5. Hubungan panjang-bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi.
Figure 5. Length–weight relationship of tuna species caught in Prigi waters.
Dalam penelitian ini sampel ikan yang digunakan tidak membedakan jenis kelamin. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan panjang dengan bobot ikan ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi nilai b, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan perairan. Uji-t terhadap nilai b=3 yang dilakukan bagi ketiga jenis ikan tuna tersebut (Tabel 1) pada selang kepercayaan 95% ( = 0,05) diperoleh nilai b berbeda nyata (t-
hitung> t-
tabel).
Faktor Kondisi
Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan tuna sirip kuning adalah 1,99 (Tabel 2). Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ketiga ikan tersebut masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (K) antara 1-3.
Tabel 1. Parameter hubungan panjang dan bobot hasil tangkapan ikan tuna disekitar rumpon di perairan Prigi Table 1. Parameter of length – weight relationship of tuna species caught around FADs in Prigi waters
Jenis ikan n r a b Thit Ttabel Hasil Keterangan
Cakalang 115 0,9483 0,055 2,733 24,542 1,981 Thit> Ttabel Alometrik negatif Tuna mata besar 114 0,9288 0,007 3,260 22,889 1,986 Thit> Ttabel Alometrik positif Tuna sirip kuning 107 0,9883 0,0006 3,960 14,317 1,983 Thit> Ttabel Alometrik positif
Tabel 2. Faktor kondisi (K) hasil tangkapan ikan tuna di sekitar rumpon di perairan Prigi Table 2. Condition factor of tuna species caught around of FADs in Prigi waters
Cakalang (n=115)
Tuna mata besar (n=114)
Tuna sirip kuning (n=107) FL
(cm)
W
(gram) K FL
(cm)
W
(gram) K FL
(cm)
W
(gram) K
Min. 30,0 500,0 1.40 28,0 0,35 1,38 27,0 250,0 1,14
Max. 60,0 3500,0 2.70 58,0 3,70 2,96 58,0 3700,0 2,81
Rata-rata 40,5 1451,7 2,08 41,9 1,58 2,01 36,8 1188,0 1,99
St.Dev. 6,3 622,6 0,29 6,1 0,72 0,36 7,2 838,7 0,50
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
BAHASAN
Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot
Menurut Nugraha et al. (2010) ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang di perairan Tulehu (Ambon) sebesar 40,9 cmFL. Nikijuluw (2009) menyatakan bahwa di perairan Samudera Hindia untuk Lm ikan cakalang berkisar antara 41–43 cmFL. Menurut Froose & Pauly (2011) bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) berkisar antara 40-45 cmFL. Di perairan Filipina ditemukan panjang Lm 40 cmFL, sedangkan di perairan Papua Newguinea pada panjang Lm 45 cmFL. Hasil penelitian di perairan sebelah selatan Prigi diperoleh ukuran ikan cakalang yang tertangkap pada panjang lebih dari 40 cmFL sebanyak 52%. Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ikan cakalang yang tertangkap masih dapat dikatakan layak tangkap, dimana hasil tangkapan yang diduga telah matang gonad lebih banyak dibandingkan yang belum matang gonad.
Perbedaan ukuran tersebut dapat terjadi karena nilai Lm sangat bervariasi. Dengan demikian individu yang berasal dari satu kelas umur ataupun kelas panjang yang sama, tidak harus selalu mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986).
Nugraha & Mardlijah (2006) memperoleh ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna mata besar di Laut Banda untuk ikan jantan dan betina masing- masing 146,1 cmFL dan 133,5 cmFL. Nootmorn (2004) pada penelitiannya di Samudera Hindia bagian barat memperoleh nilai Lm jantan berukuran 86,85 cmFL dan betina berukuran 88,08 cmFL. Farley et al., (2003) di Samudera Hindia memperoleh nilai Lm sebesar 102,4 cmFL.
Mardlijah (2008) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning di Perairan Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina berkisar antara 89,2–100,9 cmFL. Zubaidi (1994) pada penelitiannya di Perairan Maluku diperoleh Lm ikan tuna sirip kuning jantan dan betina masing-masing sebesar 118,7 cmFL dan 113 cmFL.
Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ukuran ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning yang tertangkap di sekitar rumpon di Perairan Prigi Jawa Timur jauh dibawah ukuran pertama matang gonad (Lm), hal ini menggambarkan hasil tangkapan tuna tersebut masih berukuran kecil atau belum layak tangkap yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan.
Hubungan Panjang dan Bobot
Ikan cakalang memiliki nilai b sebesar 2,733 dengan pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat alometrik negatif
(b<3) dimana pertambahan bobot lebih lambat dari pertambahan panjang. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Nugraha et al. (2010) yang menyatakan bahwa cakalang hasil tangkapan huhate di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,751.
Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan tuna sirip kuning bersifat alometrik positif (b>3) dimana pertambahan bobot lebih cepat dari panjang. Nilai b untuk ikan tuna mata besar 3,260 dan tuna sirip kuning 3,960. Nugraha &
Mardlijah (2006) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Laut Banda bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,470 untuk jantan dan 2,567 untuk betina. Faizah & Prisantoso (2010) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil tangkapan tuna longline di Samudera Hindia bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,965. Penelitian Zubaidi et al. (1994) menyatakan hasil tangkapan tuna sirip kuning dengan pancing ulur di perairan Bacan-Maluku Utara bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,67 untuk betina dan 2,81 untuk jantan.
Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena ukuran ikan hasil tangkapan yang berbeda, pada penelitian ini ukuran ikan hasil tangkapan masih relatif kecil (juvenil tuna). Sementara hasil tangkapan troll line dan gillnet ikan yang hidup pada permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya ukuran dan jenis makanan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen, dan lain-lain), dan kondisi ikan (umur). Menurut Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim, jenis makanan, matang gonad, kesehatan dan jenis kelamin.
King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang berbeda.
Faktor Kondisi
Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi (K) merupakan derivat dari pertumbuhan. Faktor kondisi menunjukkan kondisi baik fisiologis ikan dilihat dari kapasitas fisik survival dan reproduksi. Secara komersial kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia. Nilai K berkisar antara 2–4 apabila badan ikan pipih, dan 1–3 apabila badan ikan tidak pipih. Variasi nilai K tergantung pada ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad.
Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan tuna sirip kuning adalah 1,99. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faizah E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
72
& Aisyah (2011) di Sendang Biru, Jawa Timur pada bulan Oktober 2010 diperoleh nilai faktor kondisi ikan tuna sirip kuning berkisar antara 1,3-2,37 dengan rata-rata 1,66 dan ikan tuna mata besar berkisar antara 1,35-1,91 dengan rata- rata 1,80. Hossain (2010) menyatakan bahwa faktor kondisi merupakan indikator ketersediaan makanan di wilayah perairan dan secara umum siklus perubahan musim dapat mempengaruhi perkembangan gonad.
Hasil tangkapan di sekitar rumpon di perairan Samudera Hindia bagian Selatan Jawa khususnya di perairan Prigi untuk jenis ikan tuna mata besar maupun tuna sirip kuning menunjukkan hasil tangkapan didominasi oleh ukuran kecil atau belum layak tangkap yang mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. Untuk penanggulangannya antara lain diperlukan metode operasi penangkapan dengan alat tangkap yang selektif dalam ukuran seperti hand line dan gillnet yang dioperasikan dengan ukuran mata jaring lebih besar pada kedalaman tertentu dimana merupakan area ikan dewasa menyebar. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan yang menjadi sasaran utama penangkapan juga diperlukan guna pengembangan metode pengoperasian dan alat tangkap yang lebih efektif.
Hasil penelitian Josse et al. (2000) dengan menggunakan perangkat akustik menunjukkan schooling ikan tuna kecil pada strata kedalaman 10–50 meter merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling terbesar. Priatna et al. (2010) menyatakan bahwa kepadatan ikan (density) di sekitar rumpon tertinggi ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 50 meter, dengan dominasi 80% ukuran ikan 40–70 cm berada pada kedalaman 25 sampai 50 meter yang diduga kuat adalah jenis cakalang dan tuna kecil.
KESIMPULAN
1. Ukuran panjang cagak untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, dengan dominasi cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, tuna mata besar pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sedangkan bobot untuk ketiga jenis ikan yang berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna mata besar pada kisaran 0,75–1,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran 0,30–0,75 kg.
2. Pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) bersifat alometrik negatif dengan persamaan W=
0,055FL2,733, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) alometrik positif dengan persamaan W= 0,007FL3,260 dan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) alometrik positif dengan persamaan W= 0,0006FL3,960.
3. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang K= 2,08, sedangkan ikan tuna mata besar diperoleh nilai K=
2,01 dan tuna sirip kuning diperoleh nilai K= 1,99. Hal ini menandakan kondisi fisiologis ikan tersebut dalam keadaan baik.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian karakteristik perikanan rumpon skala kecil di Selatan Jawa tahun 2010, di Balai Penelitian Perikanan Laut.
DAFTAR PUSTAKA
Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc.Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
p. 5-24.
Diniah, D.R. Monintja & A. Ardianto. 2006. Teknologi Rumpon Laut Dalam sebagai Alat Bantu Pemanfaatan Sumberdaya Cakalang. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Buku Kumpulan Pemikiran Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor:
FPIK IPB. p. 36-42.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p.
Faizah, R & B. I. Prisantoso, 2010. Hubungan panjang dan bobot, sebaran frekuensi panjang dan faktor kondisi tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia.
Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (3): 183 – 189.
Faizah, R & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): 377–385.
Farley, J., N. Clear, B. Leroy, T. Davis & G. Mcpherson.
2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the eastern and western AFZ. Report no. 2000/
100 CSIRO Marine Research. Australia. 93 p.
Froese, R & D. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web Electronic Publication, www.fishbase.org.
Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-Length Relationship and Condition Factors of Three Schibid Catfish from The Padma River, Northwestern Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23): 329-339.
Josse, E., L. Dagron & A. Bertrand. 2000. Typology and behaviour of tuna aggregation around fish aggregating device from accoustic surveys in french polynesia. Aquat Living Resour. 13:183–192.
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition. Blackwell Sciencetific Publication, Oxford. 381 p.
Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung dan gonad ikan madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) yang tertangkap di perairan Marisa, Gorontalo, Teluk Tomini.
Tesis. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 105 p.
Monintja, D.R & Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan ZEE terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. Laporan Penelitian:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 70 p.
Nikijuluw, V.P.H. 2009. Status sumber daya ikan tuna Samudera Hindia: Implikasinya bagi Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 1(1): 32-44.
Nootmorn, P., A. Yakoh & K. Kawises. 2004. Reproductive biology of yellowfin tuna in the Eastern Indian Ocean.
IOTC-2005-WPTT-14. 8 p.
Nugraha, B & S. Mardlijah. 2006. Hubungan panjang bobot, perbandingan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad tuna mata besaar (Thunnus obesus) di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (3): 195–200.
Nugraha, B., S. Mardlijah & E. Rahmat. 2010. Komposisi ukuran cakalang (Katsuwonus pelamis) hasil
tangkapan huhate yang didaratkan di Tulehu Ambon.
Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap 3(3): 199 – 207.
Nurdin, E. 2009. Perikanan tuna skala rakyat (small scale) di Prigi, Trenggalek Jawa Timur. Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 2(4): 177-183.
Priatna, A, D. Nugroho & Mahiswara. 2010. Keberadaan ikan pelagis rumpon laut dalam pada musim timur di Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Teluk Pelabuhanratu dengan metode hidroakustik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap. 16 (2): 83-91.
Simbolon D. 2004. Suatu studi tentang potensi pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
Bul FPIK IPB. 13(1): 48–67.
Steell, R. G. H & J. S. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke- dua. Gramedia. Jakarta: 748 p.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity in fishes. ICLARM. Metro Manila.
Fishbyte. 4 (2): 8-10.
Zubaidi, T., I. N. Edrus & M. S. Hurasan. 1994. Beberapa aspek biologi ikan madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Bacan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
(94): 1–10.
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73
75
JENIS, UKURAN DAN DAERAH PENANGKAPAN HIU THRESHER (Famili alopiidae) YANG TERTANGKAP RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA SPECIES, SIZE AND FISHING GROUND OF THRESHER SHARK (Famili
alopiidae) CAUGHT BY TUNA LONG LINER IN INDIAN OCEAN
Agustinus Anung Widodo dan Ralph Thomas Mahulette
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol Jakarta.
Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK
Sebagai anggota Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) Indonesia wajib mengadopsi isi Resolusi IOTC 10/12 yang mengatur pengelolaan sumberdaya ikan hiu thresher (famili Alopiidae). Secara spesifik Indonesia belum melaksanakan pengelolaan sumberdaya hiu thresher karena spesies tersebut belum mendapatkan perhatian serius.
Tulisan ini bermaksud menyampaikan hasil penelitian tentang ikan hiu thresher (Famili Alopiidae) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia berbasis di Cilacap. Data diperoleh dari kegiatan pengambilan contoh di pelabuhan tahun 2010, kegiatan observasi di atas kapal rawai tuna bulan Januari 2010 dan laporan statistik PPS Cilacap tahun 2006-2010. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (a) di perairan Indonesia ada dua spesies dari tiga spesies hiu thresher yang ada di dunia, yaitu hiu monyet atau pelagic thresher (Alopias pelagicus Nakamura 1935) dan hiu paitan atau bigeye thresher (A. superciliosus Lowe 1840). Satu spesies lainnya yang belum pernah ditemukan adalah thinfin thresher (A.vulpinus Bonnaterre1788). Dilihat dari teknologi rawai tuna yang digunakan, daerah sebaran hiu thresher sama dengan tuna di Samudera Hindia, sehingga sulit untuk menghindari tidak tertangkapnya hiu thresher oleh rawai tuna. Jumlah dari jenis hiu monyet yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia berkisar 0,1-0,6 % dan hiu paitan berkisar 0,1-1,3 % dari total tangkapan. Ukuran hiu thresher yang tertangkap rawai tuna umumnya ikan yang telah dewasa (berkisar 54-74%) dan diduga telah mengalami pemijahan. Hampir semua bagian hiu thresher dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan farmasi. Selain dipasarkan di dalam negeri, ikan hiu thresher juga diekspor terutama siripnya ke manca negara dan terbanyak ke China.
KATA KUNCI : Jenis dan ukuran, daerah penangkapan, hiu thresher, Samudera Hindia ABSTRACT:
As a member of IOTC, Indonesia is obliged to implement all IOTC’s resolutions including resolution 10/12 on the conservation of thresher sharks (Family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC area of competence. Indonsia has not implementing the Resolution 10/12 yet, especifically for thresher sharks as an important resource. Therefore, in order to support implementation of the IOTC Resolution 10/12, this paper presents results of a research on thresher shark caught by tuna long line operated in Indian Ocean based at Cilacap was carried out. Data obtained by port sampling program in Cilacap Fishing Port in 2010, onboard observer program on the commercial tuna long line vessel based in Cilacap on January 2010 and annual report (fisheries statistic) of Cilacap Fishing Port 2006-2010 were used within this paper. The result showed that: (a) thresher sharks are one of bycatch in tuna long line fisheries; (2) there are two species of thresher shark caught by tuna long liner i.e. pelagic thresher (Alopias pelagicus Nakamura 1935) and bigeye thresher (A.superciliosus Lowe 1840), while thinfin or fox thresher (A.vupinus Bonneterre 1788) has not been noted in the catch composition so far. The percentage of pelagic and bigeye thresher sharks caught by tuna long liner were 0.1-0.6 % and 0.1-1.3 % of the total catch, respectively. Mostly, the thresher shark caught by tuna long line is adult fishes (54-74%) this predicted that this species has spowned. The products of thresher are marketed locally and exported, mainly to China, especially for their fin.
KEYWORDS: species and zise, fishing ground, thresher shark, Indian Ocean.
PENDAHULUAN
Resolusi Nomor 10/12 tentang konservasi “thresher shark” famili Alopiidae yang tertangkap di perairan negara- negara anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) telah disepakati dan diadopsi pada pertemuan IOTC ke 14 tahun 2010 di Busan, Korea Selatan. Selanjutnya thresher shark disebut sebagai “hiu thresher”. Resolusi Nomor
10/12 IOTC disepakati berdasarkan Resolusi Nomor 05/05 tentang konservasi ikan hiu dan mempertimbangkan diantaranya bahwa family “Alopiidae” yang tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch) di area kewenangan IOTC. International Scientific Community merekomendasikan agar bigeye thresher shark atau hiu thresher matabesar (Alopias supercilliosus) sebagai spesies yang harus dilindungi karena mulai terancam A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
Korespondensi penulis :
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email: [email protected] Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
punah. Masalah yang muncul adalah bahwa nelayan bahkan ilmuwan sekalipun sering menghadapi kesulitan membedakan spesies hiu thresher matabesar dengan spesies hiu thresher yang lain. Oleh karena itu dipandang aman jika semua spesies hiu thesher dilindungi sebagai tindakan kehati-hatian. Di dunia terdapat 3 spesies hiu thresher, yaitu Alopias pelagicus Nakamura, 1935; Alopias superciliosus Lowe 1840 dan Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009).
Sebagai anggota IOTC, Indonesia wajib mengadopsi isi Resolusi Nomor 10/12 IOTC tersebut. Garis besar isi Resolusi Nomor 10/12 antara lain (1) Melarang menahan di atas kapal, memindahkan dari/ke kapal lain, mendaratkan, menyimpan, menjual atau menawarkan untuk menjual bagian manapun atau seluruh bangkai spesies hiu thresher dari family Alapiidae, (2) Melaporkan hasil tangkapan hiu thresher (termasuk estimasi tangkapan hiu thresher yang dibuang dan ukuran hiu thresher) dan (3) Pelepasan dalam keadaan hidup untuk hiu thresher yang tertangkap pada kegiatan rekreasi dan olahraga penangkapan ikan (4) Anggota atau non anggota yang biasa disebut sebagai Cooperating non Contracting Parties (CPC’s) IOTC melakukan penelitian hiu thresher di area IOTC guna mengidentifikasi daerah pemijahan dan daerah asuhannya sehingga memungkinkan dilakukan penutupan area (closing area) atau melakukan pengelolaan yang sesuai.
Penelitian khusus tentang hiu thresher di Indonesia masih sangat jarang dilakukan dan secara spesifik Indonesia belum melaksanakan Resolusi Nomor 10/12.
Satu-satunya penelitian yang membahas hiu thresher di Samudera Hindia adalah yang dilakukan Dharmadi et al.
(2010). Hasil penelitian tersebut bahwa Alopias pelagicus dan A.superciliosus merupakan dua spesies yang dominan tertangkap jaring insang tuna atau tuna gillnet di Samudera Hindia. Persentase Alopias pelagicus dan A.superciliosus masing-masing berkisar 59,4-70,2% dan 9,7-21,7% dari total tangkapan hiu oleh jaring insang hanyut. Didorong sedikitnya data dan informasi dari hasil penelitian tentang hiu thresher tersebut maka tulisan ini ini ditujukan sebagai penelitian awal sebelum dilakukan penelitian khusus dan mendalam tentang hiu thresher sebagaimana dimandatkan pada Resolusi Nomor 10/12 IOTC.
BAHANDANMETODE
Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah hasil kegiatan pengambilan contoh di PPS Cilacap (port sampling) oleh enumerator tahun 2010. Data meliputi identifikasi jenis dan ukuran panjang total atau total length-TL (Gambar 1) hiu thresher yang terangkap rawai tuna atau tuna long line yang beroperasi di Samudera Hindia dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Kegiatan pengambilan contoh dilakukan pada
minggu terakhir setiap bulan. Seluruh ikan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap saat kegiatan pengambilan contoh dicatat dan diukur panjang totalnya. Data primer lain adalah berdasarkan hasil observasi di kapal (onboard observation) rawai tuna yang berbasis di Cilacap bulan Januari 2010. Data sekunder adalah laporan statisitik PPS Cilacap tahun 2010 serta informasi kepustakaan terkait aspek biologi hiu thresher dari Liu, et al.(1999); White (2007); Last, et al., (2009); dan Compagno (2002). Data dan inforamsi dikompilasi, disarikan dan disajikan dalam bentuk naratif, gambar dan tabel.
Gambar 1. Ukuran panjang total (TL) hiu thresher.
Figure 1. Total length of thresher shark.
HASIL DAN BAHASAN HASIL
1. Spesies Hiu Thresher a. Jumlah spesies
Hasil penelitian melalui kegiatan pengambilan contoh (port sampling) di PPS Cilacap tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) spesies hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yaitu hiu paitan atau bigeye thresher shark (Alopias supeciliosus) dan hiu tikusan/monyet atau pelagic thresher (A.pelagicus).
Nelayan di Indonesia umumnya menyebut hiu sebagai ikan cucut. Tabel 1 menyajikan nama ilmiah, Inggris dan lokal dari hiu thresher yang tertangkap.
b. Prosentase Tangkapan Hiu Thresher
Di Samudera Hindia, hiu thresher merupakan hasil tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch dari perikanan rawai tuna dan jaring insang tuna. Prosentase hasil tangkapan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah hiu monyet (Alopias pelgicus) dan hiu paitan (Alopias supeciliosus) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia secara berturutan berkisar 0,1-0,6 % dan 0,1-1,3 % dari total hasil tangkapan.
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
77 Tabel 1. Nama ilmiah, nama Inggris dan nama lokal dari hiu thresher.
Table 1. Scientific name, English name and local name of thresher shark.
Nama Ilmiah (Scientific name) Nama Inggris (English name) Nama Lokal (Local name)
Alopias pelagicus Nakamura,1935 Pelagic thresher Hiu monyet, hiu tikusan, hiu pedang Alopias superciliosus Lowe,1840 Bigeye thresher Hiu paitan, hiu lancur, hiu lutung Alopias vulpinus Bonnaterre,1788*) Common thresher, fox thresher,
thintail thresher
-
*)Belum ada nama lokal karena di Indonesia belum ditemukan spesies tersebut.
Tabel 2. Prosentase spesies hiu thresher hasil tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2006-2010.
Table 2. Procentage of thresher shark caught by tuna long line in Indian Ocean landed at Cilacap Fishing Port 2006-2010.
Sumber (Source): PPS Cilacap (2010).
Tabel 3. Komposisi hasil tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2010 Table 3. Cacth composition of thresher shark among tuna long line caught in the Indian Ocean which was
landed in Cilacap Fishing Port 2010
Sumber (Source): PPS Cilacap (2010) c. Ukuran Panjang Ikan
Tidak banyak informasi hasil penelitian di Indonesia yang menginformasikan mengenai aspek biologi hiu thresher. Hasil kegiatan pengambilan contoh di pelabuhan (port sampling) oleh enumerator tahun 2010 di PPS Cilacap menunjukkan bahwa ukuran hiu monyet atau pelagic thresher (A. pelagicus) jantan yang tertangkap rawai tuna
di Samudera Hindia berukuran panjang antara 202-309 cm TL dengan modus pada panjang 271-280 cm TL. Panjang hiu monyet atau pelagic thresher (A. pelagicus) betina yang tertangkap tertangkap rawai tuna mempunyai panjang 206-328 cm dengan modus pada panjang TL 291- 300 cm TL (Gambar 2 A-B). Data panjang hiu paitan atau bigeye thresher (A.superciliosus) tidak tersedia.
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
Gambar 2A-B Distribusi panjang total (TL) hiu monyet (A.pelagicus) jantan [A] dan betina [B]
yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di PPS Cilacap tahun 2010, Lmikan jantan 269 cm dan betina 290 (Liu et al., 1999).
Figure 2A-B Total length (TL) distribution of male pelagic thresher (A.pelagicus) male [A]
and female [B] caugth by tuna long line in Indian Ocean landed at Cilacap Fishing Port 2010, Lmmale 269 cm and female 290 (Liu et al., 1999).
d. Daerah Penyebaran Hiu Thresher
Secara spesifik tidak ada data yang akurat terkait posisi daerah penangkapan rawai tuna yang menangkap hiu thresher. Para nakoda rawai tuna juga tidak bersedia menyampaikan posisi lintang dan bujur (koordinat) dimana mereka mengoperasikan rawainya. Hasil observasi di kapal (onboard observation) di salah satu kapal rawai tuna yang berbasis di Cilacap yang dilakukan tahun 2010 adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Hasil observasi menunjukkan bahwa hiu monyet dan hiu paitan tertangkap masing-masing sebanyak 1 (satu) ekor dengan berat 23.5 kg dan 24,5 kg.
e. Produksi dan Pemasaran
Rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap yang menghasilkan hiu thresher sebagai hasil tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch. Sejak lima tahun terakhir, data pendaratan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia dicatat dengan sangat baik di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Produksi hiu thresher berluktuatif setiap tahunnya, produksi tertinggi hiu paitan atau bieye thresher (A.superciliosus) terjadi pada tahun 2009 yaitu mencapai 11808 kg dan turun kembali menjadi 1718 kg pada tahun 2010. Produksi hiu monyet atau pelagic thresher (A.pelagicus) tahun 2006- 2010 relatif menurun yaitu 4618 kg menjadi 3077 kg.
(Gambar 4).
Fluktuasi produksi hiu thresher bulanan menunjukkan bahwa bulan April merupakan bulan puncak baik hiu
monyet atau pelagic thresher maupun hiu paitan atau bigeye thresher (Gambar 5).
Gambar 3. Posisi setting salah sat kapal rawai tuna hasil observasi di kapal (onboard observation) rawai tuna di Samudera Hindia bulan Januari 2010.
Figure 3. Setting position of tuna long line based on onboard observation in Indian Ocean January 2010.
Gambar 4. Fluktuasi hasil tangkapan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2006-2010.
Figure 4. Catch fluctuation of thresher shark caugth by tuna long line in Indian Ocean which was landed at Cilacap Fishing Port 2006-2010.
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
79 Gambar 5. Fluktuasi jumlah hiu thresher yang tertangkap
rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap sepanjang tahun 2006-2010.
Figure 5. Catch Average fluctuation of thresher shark caugth by tuna ling line in Indian Ocean landed in Cilacap Fishing Port, 2006-2010.
Daging hiu thresher in Indonesia digunakan sebagai bahan pangan dalam bentuk segar, asap dan asin. Siripnya dimanfaatkan dengan cara diambil isit-nya untuk konsumsi
lokal dan ekport. Banyak retoran seafood kelas atas di Indonesia menghidangkan sup sirip (isit) cucut. Hati hiu thresher dimanfaatkan untuk diambil minyaknya dan tulang rawannya digunakan untuk salah satu bahan farmasi. Selain dipasarkan di dalam negeri, produk dari bahan cucut termasuk hiu thresher juga diekspor ke beberapa negara terutama China (Widodo et al., 2004).
BAHASAN
1. Jenis Ikan Hiu Thresher
Last at al. (2009) menyebutkan bahwa terdapat tiga spesies hiu thresher di dunia yaitu Alopias pelagicus Nakamura,1935, Alopias superciliosus Lowe (1840) dan Alopias vulpinus Bonnaterre (1788). Selama penelitian tidak ditemukan spesies hiu thresher spesies Alopias vulpinus Bonnaterre (1788). Secara umum hiu thresher shark di Indonesia dikenal hiu (cucut) monyet atau tikusan, yang dicirikan dengan ekor yang panjang. Terminologi utama dari hiu thresher adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Terminologi utama hiu thresher (Compagno, 2002)
Figure 6. Principal terminology of thresher shark (Compagno, 2002)
a. Spesies hiu Alopias pelagicus Nakamura, 1935.
Spesies ini di Indonesia biasa disebut hiu monyet atau tikusan dan mempunyai nama Inggris pelagic thresher.
Ciri fisik yang sangat khas yaitu mempunyai cuping (lobe) di bagian atas dari sirip ekor yang yang sangat panjang (Gambar 7). Ukuran mata yang yang relatif lebar, tetapi tidak melebar hingga permukaan atas dari kepalanya. Sirip dadanya lurus, salur berwarna putih pada bagian bawah tubuhnya tidak mamanjang melebihi pangkal sirip dadanya. Tidak terdapat salur labial atau salur yang dalam di belakang kelopak matanya (Liu et al., 1999; White, 2007).
Gambar 7. Alopias pelagicus Nakamura,1935 (Last et al., 2009).
Figure 7. Alopias pelagicus Nakamura,1935 (Last et al., 2009).
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
Bentuk badan fusiform, moncong mulut relatif pendek dan lonjong. Ukuran mata agak lebar namun tidak melebar hingga sisi atas kepala. Gigi pada rahang atas dan bawah relatif sama, yaitu berukuran kecil-kecil tumbuh dengan posisi miring dengan pinggiran halus dan berjumlah antara 4-5 baris. Jika ditarik garis dari atas ke bawah, sisi belakang sirip punggung pertamanya mempunyai jarak yang tidak saling terkait dengan sisi depan sirip perutnya. Posisi sisi depan dari sirip punggung kedua dan sisi belakang sirip perut lurus. Sisi depan sirip dada berbentuk lurus dan sisi belakang agak lengkung. Cuping sirip ekor bagian atas sangat panjang hingga melebihi ukuran panjang cagak tubuhnya. Jumlah gigi antara 41-45/37-38, jumlah ruas tulang belakang (vertebrae) antara 453-477 dan jumlah tulang precaudal 126 buah.
Hiu monyet atau tikusan mempunyai warna abu-abu pucat pada bagian punggung dan warna putih pada bagian dada hingga perutnya, bagian atas dan penutup insang berwarna perak metalik. Ukuran maksimal mencapai panjang total 340 cm dan mulai dewasa pada panjang total antara 247-269 cm atau berumur antara 7-8 tahun pada hiu jantan dan panjang total antara 246-290 cm atau berumur antara 8-9 tahun pada hiu betina. Umur maksimal hiu monyet atau tikusan jantan dapat mencapai 20 tahun dan betina 29 tahun (Compagno, 2002).
Reproduksi adalah oophagus dan biasanya menghasilkan 2 anak juvenile yang biasa diistilahkan sebagai pups, selama hidupnya hiu ini dapat memproduksi 40 hiu muda. Tidak terdapat musim bereproduksi, namun diketahui cucut ini maksimal melahirkan 2 kali dalam setahun. Makanan hiu monyet atau tikusan ini adalah ikan- ikan kecil dan cumi-cumi. Sebelum disantap ikan-ikan kecil atau cumi-cumi tersebut digiring dan dikumpulkan dengan ekornya lalu dibuat pingsan dengan kibasan ekornya yang panjang.
b. Spesies hiu Alopias superciliosus Lowe, 1840.
Sebagaimana hiu monyet atau tikusan, (Alopias superciliosus Lowe,1840) juga mempunyai sirip ekor dengan cuping (lobe) bagian atas sangat panjang. Nama local hiu ini adalah hiu paitan, hiu lancur atau hiu lutung.
Spesies ini mempunyai mata yang lebar/besar (hingga ke permukaan atas dari kepalanya). Dibanding spesies lainnya, ukuran mata spesies ini adalah paling besar, sehingga disebut bigeye thresher. Terdapat alur lateral yang nyata (jelas) pada bagian atas kepalanya (Gambar 8).
Bentuk badan fusiform, agak gemuk, moncong mulut relatif panjang dan bulat. Terdapat alur memanjang pada bagian punggung belakang dan bermuara di atas tutup insang. Ukuran gigi-giginya relatif besar dan bentuknya sama antara yang di rahang bawah maupun atas. Ujung dari gigi-giginya panjang, ramping dan pinggirannya
halus. Sisi belakang sirip punggung segaris dengan sisi depan sirip perut. Sirip perut relatif besar, sirip punggung kedua dan sirip anal sangat kecil, sirip dadanya berbetuk seperti sabit. Cuping atas sirip ekor sangat panjang, namun ukurannya lebih pendek dari panjang cagak tubuhnya.
Jumlah giginya 22/19 [19-27/20-24], jumlah ruas tulang belakangnya antara 278-308 dan precaudal-nya antara 98-106 buah.
Gambar 8. Alopias superciliosus Lowe, 1840 (Last et al., 2009).
Figure 8. Alopias superciliosus Lowe, 1840 (Last et al., 2009).
c. Spesies hiu Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788.
Spesies hiu Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 mempunyai nama inggris thintail thresher atau fox thresher. Sama dengan dua spesies sebelumya, yaitu mempunyai cuping ekor bagian atas yang sangat panjang (Gambar 9). Matanya relatif besar namun tidak sebesar bigeye thresher, terdapat alur labial dan tidak terdapat alur dalam di belakang matanya. Sirip dadanya melengkung berbentuk bulan sabit dan bagian bawah tubuhnya berwarna putih.
Bentuk badan fusiform, agak gendut, moncong mulutnya relatif pendek dan berbentuk lonjong. Gigi- giginya relatif sama antara yang di rahang atas dan bawah, ujung gigi-giginya halus dan berbentuk segitiga yang runcing.
Gambar 9. Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009).
Figure 9. Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009).
Dari hasil penelitian ini, tercatat hanya ada 2 (dua) spesies hiu thresher yang biasa tertangkap rawai tuna yang beroperasi di Samudera Indonesia dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Hasil serupa dilaporkan juga oleh Widodo & Anung (2002); Widodo & Rahmat A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
81 (2002); Adrim et al., 2006). Dua spesies yang dimaksud
adalah Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus.
Adapun jenis hiu thresher yang tidak ditemukan adalah hiu jenis Alopias vulpinus. Padahal, jika dilihat dari distribusinya hiu jenis Alopias vulpinus juga terdapat di Indonesia. Tidak ditemukannya jenis hiu ini diduga dikarenakan jumlahnya yang sangat sedikit di perairan Samudera Hindia. Penyebaran vertikal spesies ini mencapai kedalaman perairan 366 meter (Compagno et al., 2002). Di lain pihak, kebanyakan rawai tuna yang dioperasikan di Indonesia tipe rawai tuna permukaan (surface tuna long line) sehingga tidak dapat mencapai kedalaman dimana biasa diketemukan di mana jenis hiu tersebut menyebar.
Prosentase hiu threser yang tertangkap rawai tuna adalah relatif kecil dibanding spesies lainnya (Tabel 2).
Kecilnya prosentase hiu thresher dibanding total dari hasil tangkapan lainnya pada rawai tuna tersebut tidak berarti keberadaan hiu thresher dapat diabaikan. Justru kecilnya jumlah hasil tangkapan hiu thresher haruslah diartikan sebagai telah langkanya sumberdaya ikan ini, sehingga menjadi perhatian serius IOTC dengan dikeluarkannya Resolusi No.10/12.
1. Struktur Ukuran
Analisis terhadap data distribusi ukuran panjang yang tersedia, menunjukkan bahwa bahwa 73,6% hiu monyet jantan yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hidia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2010 merupakan ikan yang
telah dewasa. Adapun persentase hiu monyet betina yang dewasa relatif lebih kecil dibanding hiu jantannya yaitu 53,5%. Bukti dari temuan ini mengindikasikan bahwa kegiatan eksploitasi dengan teknologi rawai tuna tidak terlalu membahayakan kelangsungan populasi sumberdaya hiu monyet. White et al. (2006) menyampaikan bahwa secara umum populasi sumberdaya hiu thresher di Samudera Hindia masih aman dieksploitasi. Namun demikian untuk mengetahui populasi ikan hiu yang akurat diperlukan data dan informasi yang runtun waktu, mengingat karakteristi biologi hiu terutama fekunditas dan reproduksi yang rendah serta berumur panjang sehingga mudah mengalami kepunahan jika dilakukan penangkapan yang intensif (Dharmadi et al., 2010). Pendapat tersebut juga sejalan dengan salah satu isi Resolusi No. 10/12 IOTC tentang kewajiban bagi anggota IOTC termasuk Indonesia melakukan penelitian hiu thresher terkait daerah mijah dan asuhnya sehingga memungkinkan dilakukan penutupan area atau melakukan pengelolaan yang sesuai.
2. Daerah Penangkapan
Widodo & Anung (2004) menyampaikan bahwa daerah penangkapan ikan hiu termasuk hiu thresher yang tertangkap jaring insang tuna yang beroperasi di Samudera Hindia dan berbasis di Cilacap adalah pada area 107o-112o BT dan 8o-10oLS. Compagno et al. (2002) menyampaikan bahwa daerah penyebaran Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Alopias vulpinus di Indonesia terutama adalah di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Gambar 10A-C).
Gambar 10A-C. Daerah penyebaran sumberdaya Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Alopias vulpinus (Compagno, 2002).
Figure 10A-C. Area distribution of Alopias pelagicus, Alopias superciliosus and Alopias vulpinus (Compagno, 2002).
Compagno (2002) menyampaikan bahwa hiu monyet atau pelagic thresher shark (Alopias pelagicus) mempunyai distribusi vertikal hingga kedalaman 500 meter, namun terbanyak pada kedalaman 100 meter. Bigeye shark (Alopias superciliosus) ditemukan secara merata dari permukaan hingga kedalaman 152 meter perairan. Thintail thresher atau fox thresher (Alopias vulpinus) banyak ditemukan hingga kedalaman 366 meter (Compagno, 2002).
3. Hasil Tangkapan
Dengan memperhatikan Tabel 3 terlihat bahwa hasil tangkapan hiu thresher didaratkan di PPS Cilacap tertinggi pada bulan April, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa musim tertangkapnya hiu thresher oleh rawai tuna diduga pada bulan April. Rata-rata hasil tangkapan bulanan hiu monyet atau pelagic thresher dan hiu paitan A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
atau bigeye thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap masing- masing 275,3 kg dan 453,9 kg. Tertangkapnya hiu thresher sebagai HTS pada rawai tuna adalah sulit dihindari, hampir setiap bulan selalu terjadi walaupun prosentasenya sangat kecil dibanding total hasil tangkapan rawai tuna.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hiu thresher merupakan hasil tangkapan sampingan (HTS) pada alat tangkap rawai tuna dan sulit dihindari untuk tidak tertangkap.
2. Terdapat dua spesies hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yaitu hiu monyet atau pelagic thresher dan hiu paitan atau bigeye thresher.
3. Prosentase hiu monyet (pelagic thresher) dan hiu paitan (bigeye thresher) adalah sangat kecil yaitu 0,1-1,3% dari total tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia.
4. Sebagian hiu thresher yang tertangkap rawai tuna merupakan ikan yang telah dewasa sehingga diprediksi telah mengalami pemijahan.
SARAN
Indonesia sebaiknya mulai melaksanakan ketentuan- ketentuan yang terdapat pada Resolusi 10/12 IOTC, dimulai dengan melakukan pencatatan Statistik Perikanan baik untuk keperluan nasional ataupun regional (RFMO).
Aspek lain yang juga harus dilakukan adalah penelitian tentang hiu thresher secara berkesinambungan terkait aspek biologi, dinamika dan perikanannya bagi kepentingan pengelolaan sumberdaya ikan hiu thresher.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan sebagian dari hasil kegitan Program Enumerator tahun 2010 yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ir. Joko Rianto dan M. Alif, S.St.Pi. sebagai enumerator di PPS Cilacap yang telah membantu dalam pengumpulan data ikan hiu threser tahun 2010. Juga diucapkan terima kasih kepada Ignatius Tri Hargiatno yang telah menyiapkan gambar peta penangkapan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrim, M., Fahmi, S. Balkis, & N.M. Rahmadani., 2006.
Keragaman Spesies Hiu di Indonesia (Shark Diversity of Indonesia Waters). Sensus Biota Laut-LIPI, Jakarta, [Poster].
Compagno, L.J.V., 2002. Sharks of the World. An annotated and illustrated catalogue of Shark species known to date.Volume 2. Bullhead, mackerel and carpet sharks (Heterodontformes, Lamniformesand Orectolobiformes). FAO. Rome.
Dharmadi, S.Triharyuni & J.Rianto, 2010. Hasil tangkapan cucut yang tertangkap dengan jaring insang tuna permukaan di perairan Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (4): 285-291.
Last, Peter R, & John D.Stevens, 2009. Shark And Rays Of Australia (Second Edition). Harvard University Press.
Garden St, Cambridge, Massachusetts-USA.
Liu, K.M., C.T..Chen, T.H. Liao, & S.J. Joung, 1999. Age, growth and reproduction of the pelagic thresher shark, Alopias pelgicus in the northwestern Pacific. Copeia 1999. (1): 68-74.
Liu, K.M., P.J. Chiang, & C.T. Chen, 1998. Age and growth estimates of the bigeye thresher shark, Alopias superciliosus in the northeastern Taiwan waters.
Fishery Bulletin. 96 (3): 482-491.
PPS Cilacap, 2010. Laporan Statistik Pelabuhan Perikanan Cilacap Tahun 2006-2010. Cilacap (diterbitkan setiap tahun).
White, W.T., P.R.Last, D.J.Stevens, G.K. Yearsley, Fahmi
& Dharmadi, 2006. Economically important sharks and rays of Indonesia. ACIAR monograph series. No. 124.
Perth. WA. 329 p.
White, W.T, 2007. Biological observations on lamnoid shark (Lamniformes) caught by fisheries in eastern Indonesia. Journal of the Marine. Biological Association of the United Kingdom. 87: 781-788.
Weng, K.C. & B.A. Block, 2004. Diel vertical migration of the bigeye thresher shark (Alopias superciliosis), a species prossessing orbital retia mirabilia. Fihery Bulletin. 102 (1): 221-229.
Widodo, J. & A. Anung, 2002. Perikanan cucut artisanal di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa dan Lombok.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 8 (1): 75-83.
Widodo, J. & A. Anung, 2004. Musim penangkapan ikan cucut. Musim penangkapan ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. p. 101-109.
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82
83
HUBUNGAN PANJANG BOBOT, FAKTOR KONDISI DAN STRUKTUR UKURAN IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) DI PERAIRAN
SELAT BALI
LENGTH-WEIGHT RELATIONSHIP, CONDITION FACTORS AND SIZE STRUCTURE OF BALI SARDINELLA (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) IN
BALI STRAIT WATERS
Arief Wujdi1, Suwarso2dan Wudianto1
1Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
2Balai Penelitian Perikanan Laut
Teregistrasi I tanggal: 2 April 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012
ABSTRAK
Ikan lemuru merupakan jenis ikan hasil tangkapan utama kegiatan perikanan di perairan Selat Bali yang status pemanfaatannya sudah mengalami lebih tangkap dan memerlukan upaya pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, serta struktur ukuran ikan lemuru di perairan Selat Bali.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011 dengan metode survei dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan lemuru mengikuti persamaan W=0,007FL3,167dan memiliki pola pertumbuhan allometrik positif (b>3) namun pada setiap bulannya mengalami perubahan pola pertumbuhan. Nilai faktor kondisi relatif berkisar antara 0,95-1,28 dan berfluktuasi setiap bulannya. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Ikan lemuru berukuran kecil atau “sempenit”
(<11 cmFL) banyak tertangkap pada bulan Agustus dan September 2010 serta Juli dan November 2011 dan diduga pada waktu tersebut terjadi awal rekruitmen.
KATA KUNCI: Hubungan panjang bobot, faktor kondisi, struktur ukuran, ikan lemuru, Selat Bali ABSTRACT:
Bali sardinella (“lemuru”) is mostly caught by fishers in the Bali Strait waters, and its status predicted have overfishing so that it needs to manage this resources. The purpose of this study to investigate the length-weight relationship, the condition factors and size structure of lemuru in the Bali Strait waters. The data was collected through survey and direct observation in the field from August 2010 to December 2011. The result of this study shows that length-weight relationship could be described as W = 0.007 FL3, 167. Nevertheless, it is change on the growth pattern by monthly. The value of relative condition factors of lemuru were ranging from 0.95 to 1.28 and very fluctuated by monthly. It is predicted that influenced by feed availability in Bali Strait waters. The smaal size of lemuru, namely “sempenit” (<11 cmFL) are dominantly caught during August to September 2010 and July and November 2011 that indicated lemuru is recruit during those months.
KEYWORDS: Length-Weight Relationship, condition factors, size structure, Sardinella lemuru, Bali strait.(Footnotes)
Korespondensi penulis :
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email: [email protected] Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430
PENDAHULUAN
Sumberdaya ikan lemuru merupakan sumberdaya yang paling dominan dan bernilai ekonomis penting di perairan Selat Bali. Sejak dikenalkannya pukat cincin di perairan tersebut oleh peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut pada tahun 1972, komoditas tersebut paling banyak dieksploitasi oleh nelayan di sekitar Selat Bali (Merta, 1992). Salah satu pusat pendaratan utama ikan lemuru terdapat di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Perkembangan perikanan lemuru yang sangat pesat mendukung industri lokal yang terdapat di sekitar Muncar, seperti: industri pengalengan, penepungan ikan, pemindangan dan pembuatan ikan asin.
Selain itu, ikan lemuru juga digunakan sebagai umpan perikanan tuna longline yang beroperasi di Samudera Hindia.
Pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali secara intensif diduga telah menyebabkan lebih tangkap atau overfishing (Martosubroto et al., 1986; Merta & Eidman, 1994;
Nurhakim & Merta, 2004). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengelolaan untuk memelihara kelestarian sumberdaya ikan lemuru agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Untuk keperluan pengelolaan perikanan lemuru diperlukan informasi terkini terkait dengan beberapa aspek biologi sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara tepat.
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89