BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan,
baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang “natural history”
ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan)
serta lingkungan sumber daya ikan.
Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan
tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan:
APRIL, AGUSTUS, DESEMBER.
Ketua Redaksi:
Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI)
Anggota:
Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL)
Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI)
Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU)
Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI)
Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI)
Mitra Bestari untuk Nomor ini:
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB)
Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI)
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB)
Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT)
Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan)
Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI)
Redaksi Pelaksana:
Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si.
Kharisma Citra, S.Sn.
Desain Grafis:
Arief Gunawan, S.Kom.
BAWAL
WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP
BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
ISSN 1907-8226
Volume 4 Nomor 3 Desember 2012
Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012
(Periode: April 2012-April 2015)
Alamat Redaksi/Penerbit:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430
Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640
Email: drprpt2009@gmail.com
iii i iii 131-139 141-147 149-159 161-167 169-176 177-184 185-193 195-204
ISBN 1907-8226
BAWAL
Widya Riset Perikanan Tangkap
Volume 4 Nomor 3 Desember 2012
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR………... DAFTARISI………... Aspek Biologi dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Cucut Tikusan, (Alopias pelagicus) di Samudera Hindia Oleh : Dharmadi, Fahmi, dan Setiya Triharyuni……… Aspek Biologi Reproduksi Ikan Cucut Kacangan (Hemitriakis indroyonoi ) di Samudera Hindia
Oleh : Ria Faizah, Umi Chodrijah, dan Dharmadi... Komposisi Jenis dan Penyebaran Ikan Laut – Dalam di Perairan Kepulauan Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara
Oleh : Fayakun Satria, Bram Setyadji, dan Andria Utama………... Stuktur Ukuran Ikan Madidihang (Thunnus albacares) yang Tertangkap Pancing Ulur Disekitar Rumpon Samudera Hindia Selatan Bali dan Lombok
Oleh : Noor Muhammad, dan Abram Barata... Penangkapan Juvenil Ikan Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Perairan Teluk Tomini
Oleh : Siti Mardlijah, dan Enjah Rahmat………
Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali Oleh : Arief Wujdi, Suwarso, dan Wudianto……… Keanekaragaman Ekhinodermata di Perairan Talise, Minahasa Utara
Oleh : Eddy Yusron ……… Fenomena Plastisitas Fenotipik Ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau
KATA PENGANTAR
Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap “BAWAL” memiliki fungsi sebagai wadah untuk menyampaikan informasi hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumber daya ikan di perairan laut maupun perairan umum daratan.
Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 3 Desember 2012 ini, kami ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediannya dalam menelaah beberapa naskah.
Pada Volume 4 Nomor 3 Desember 2012, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian di perairan laut dan perairan umum daratan. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, Aspek Biologi dan Fluktuasi dan Hasil Tangkapan Cucut Tikusan, (Alopias pelagicus) di Samudera Hindia, Aspek Biologi Reproduksi Ikan Cucut Kacangan (Hemitriakis
indroyonoi ) di Samudera Hindia, Komposisi Jenis dan Penyebaran Ikan Laut – Dalam di Perairan Kepulauan Sangihe
dan Talaud Sulawesi Utara, Stuktur Ukuran Ikan Madidihang (Thunnus albacares) yang Tertangkap Pancing Ulur disekitar Rumpon Samudera Hindia Selatan Bali dan Lombok, Penangkapan Juvenil Ikan Madidihang (Thunnus
albacares Bonnatere 1788) di Perairan Teluk Tomini, Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru
Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali, Keanekaragaman Ekhinodermata di Perairan Talise, Minahasa Utara, Fenomena Plastisitas Fenotipik Ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau.
Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.
131
Korespondensi penulis:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
ASPEK BIOLOGI DAN FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN CUCUT
TIKUSAN, (Alopias pelagicus) DI SAMUDERA HINDIA
BIOLOGICAL ASPECTS AND CATCH FLUCTUATION OF PELAGIC THRESHER
SHARK (Alopias pelagicus) IN THE INDIAN OCEAN
1)Dharmadi,2)Fahmi, dan1)Setiya Triharyuni
1)Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2)Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI
Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 5 Desember 2012
ABSTRAK
Cucut tikusan (Alopias pelagicus) merupakan salah satu spesies cucut yang habitatnya di perairan oseanik dan umumnya sering tertangkap dengan jaring insang tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Penelitian ini dilakukan pada April 2002 sampai Desember 2007 di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung di lapangan dan pengumpulan data melalui enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dengan panjang klasper bersifat logaritmik (R2= 0,8694) dan berbeda nyata (P < 0,05). Hubungan antara panjang total dan panjang standar
baik jantan dan betina bersifat linier masing-masing dengan nilai ( R2= 0,9803, dan R2= 0,9423). Frekwensi panjang
terendah pada cucut tikusan jantan antara 150-170 cm (kelompok muda) dan antara 291-310 cm (kelompok dewasa). Frekuensi tertinggi terdapat pada ukuran antara 231-270 cm. Pada cucut tikusan betina, frekuensi panjang terendah adalah 200-220 cm (kelompok muda) dan antara 321-340 cm (kelompok dewasa), dan tertinggi antara 261-280 cm. Sedangkan rasio kelamin jantan dan betina cucut tikusan mendekati 1:1 (51% : 49%). Hasil tangkapan cucut tikusan selama enam tahun mengalami penurunan sebesar 34,9 %. Terdapat indikasi terjadi penurunan kelimpahan cucut tikusan di perairan Samudera Hindia.
KATAKUNCI : Aspek biologi, fluktuasi hasil tangkapan, cucut tikusan, SamuderaHindia
ABSTRACT :
Pelagic thresher tuna drift (Alopias pelagicus) is one of shark species that inhabitats the oceanic waters and are generally caught with gill nets that operates in the Indian Ocean. This research was conducted in April 2002 until December 2007 at Cilacap fish landing place. Data were obtained through direct observation and data collection by enumerators. The results showed that the relationship between the total length and the clasper length was logaritmic (R2= 0,8694) and significant different (P<0,05). Relationship between the total length and the precaudal length of both male and female were linier (R2= 0,9803, dan R2= 0, 9423) respectively. Length frequency of male Alopias pelagicus was lowest between 150-170 cm total length (young group) and between 291-310 cm total length (adult group). The highest frequency contained in the size between 231-270 cm. The lowest frequency of female Alopias pelagicus was 200-220 cm total length (young group) and between 321-340 cm total length (adult group), and the highest between 261-280 cm total length. The sex ratio of male and female Alopias pelagicus ps aproximately 1: 1 (51%: 49%). The catches of this species decreased by 34.9% within the study period (2002-2007), this indicated that the abundance of Alopias pelagicus declined in the Indian Ocean.
KEYWORDS: Biological aspects, catch fluctuation, pelagic thresher shark, Indian Ocean.
PENDAHULUAN
Cucut tikusan termasuk dalam famili Alopiidae dari ordo Lamniformes terdiri dari tiga spesies yaitu Alopias
vulpinus, A. superciliosus dan A. pelagicus. Namun di
perairan Indonesia diketahui hanya ada dua spesies yang baru teridentifikasi yaitu A. pelagicus dan A. superciliosus. Meskipun di Indonesia status konservasinya belum dievaluasi tetapi dalam daftar merah yang dikeluarkan oleh IUCN ketiga spesies tersebut termasuk dalam kategori rawan mengalami kepunahan (vulnerable). Genus Alopias memiliki nama lokal berbeda-beda di beberapa daerah di
Indonesia misalnya di Bali disebut hiu monyet atau hiu lancur, di Lombok disebut hiu tikus, di Cilacap dinamakan cucut tikusan untuk Alopias pelagicus dan cucut paitan untuk Alopias superciliosus dan di Jakarta dikenal dengan nama cucut pedang, karena ekornya yang panjang berbentuk seperti pedang. Bobot ekornya dapat mencapai 33 % dari bobot total tubuhnya. Famili Alopidae merupakan cucut predator aktif dan bentuk ekor yang panjang digunakan untuk mengumpulkan mangsa. Meskipun ketiga spesies tersebut secara umum mempunyai hubungan erat dan memiliki karakteristik yang sama, namun pada dasarnya mereka sangat berbeda (Hanan et al., 1993).
Secara visual perbedaan tersebut terletak pada bentuk kepala dan ukuran matanya.
Alopiidae bereproduksi secara ovovivipar, di mana setelah cadangan makanan dalam kantong telur (yolk sac) terserap, maka perkembangan janin akan memperoleh makanan dari telur yang masih berkembang di dalamnya (Bigelow & Schroeder, 1948; Otake & Mizue, 1981). Di perairan Pasifik Alopias vulpinus jenis betina matang kelamin pada ukuran panjang total 315 cm (Strasburg, 1958) dan jenis jantan mencapai kematangan kelamin pada ukuran panjang sekitar 333 cm (Cailliet & Bedford, 1983).
Alopias superciliosus termasuk epipelagik dengan
mendiami perairan pada kedalaman tidak kurang dari 500 m (Compagno, 1984). Ukuran panjang total maksimum tertangkap adalah 461 cm untuk cucut betina dan 378 cm untuk cucut jantan, sedangkan ukuran pada saat lahir antara 64-106 cm. Jenis jantan matang kelamin dijumpai pada ukuran panjang total sekitar 300 cm terdapat pada umur antara 3-4 tahun, sedangkan jenis betina matang kelamin berumur 5-6 tahun pada ukuran panjang total sekitar 350 cm (Gruber & Compagno, 1981). Alopias
pelagicus bersama dengan A. superciliosus pada
umumnya tertangkap dengan jaring insang permukaan yang biasa digunakan nelayan sebagai umpan untuk menangkap tuna-cakalang di perairan Samudera Hindia tetapi kadang-kadang tertangkap juga dengan pancing tuna. Pillai & Honma (1978) melaporkan bahwa hasil tangkapan rata-rata cucut pelagis termasuk Alopias di perairan Samudera Hindia berkisar 0,1-5,0 ekor per 1.000 mata pancing.
Informasi tentang aspek biologi Alopias pelagicus yang tertangkap di perairan Samudera Hindia sampai saat ini masih kurang (Castro et al., 1999) dan di Indonesia dapat dikatakan belum tersedia. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang aspek biologi cucut tikusan yang diharapkan hasilnya akan dapat digunakan sebagai bahan dalam melaksanakan penelitian kebijakan pengelolaan perikanan cucut.
BAHANDANMETODE
Penelitian ini dilakukan pada pada tahun 2002 sampai 2007 di tempat pendaratan ikan utama yaitu di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Pengamatan aspek biologi meliputi panjang tubuh, nisbah kelamin serta panjang klasper, dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di lapangan. Pengukuran klasper dalam satuan sentimeter yang diukur dari lekukan bagian dalam dari sirip perut sampai ke bagian ujung klasper. Sedangkan bobot cucut ditimbang menggunakan timbangan duduk dalam satuan kilogram. Jumlah sampel cucut yang diamati untuk memperoleh data biologi sebanyak 426 ekor yang terdiri dari 202 ekor jantan dan
224 ekor betina. Data yang dianalisa merupakan hasil pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pencatatan data harian oleh enumerator dari 66 unit kapal yang menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Cucut yang tertangkap merupakan hasil tangkapan sampingan dari kapal jaring insang permukaan tuna-cakalang. Analisis data untuk mengetahui korelasi antara dua parameter yang diukur (panjang total – panjang klasper, bobot – panjang total, dan panjang total – panjang standar) adalah dengan menggunakan statistik regresi berdasarkan Software Minitab Release 13. Sedangkan untuk mengetahui tingkat perkembangan kelamin klasper secara mikroskopis mengacu pada Martin & Coillet; Snelson et al. dalam White et al. (2001) seperti pada Tabel 1.
HASIL DAN BAHASAN HASIL
Morfologi
Menurut Last & Stevens (2009) secara morfologis tubuh ikan cucut Alopias berbentuk silindris agak gemuk, moncong agak panjang, kerucut dan lancip. Mulut bagian ‘ventral’ bergerigi kecil atau sedang berbentuk pipih seperti bilah pisau, jumlahnya kurang dari 60 baris pada masing-masing rahang. Cucut ini mempunyai 5 celah insang, dimana 2 terakhir terdapat di atas sirip dada. Sirip punggung pertama kurang lebih terletak di tengah badan atau sedikit ke belakang, tinggi dan berdiri tegak. Sirip punggung ke dua kecil dan sirip dubur yang bentuknya kecil terdapat di balik sirip punggung ke dua. Sirip dada panjang dan sempit. Sirip ekor bagian cuping atas sama panjangnya dengan panjang badan serta warnanya tidak begitu terang.
Ciri-ciri morfologi yang secara spesifik dapat dibedakan antara spesies satu dengan spesies lainnya yaitu sebagai berikut : terdapat alur horisontal yang lemah pada masing-masing sisi tengkuknya, mata dan gigi berukuran kecil, jumlah gigi lebih dari 29 buah pada masing-masing rahangnya. Sirip punggung pertama terletak di tengah pangkal sirip dada dan sirip perut. Sirip dadanya panjang, sempit dan berujung bulat. Terdapat warna putih dibagian perut dan tidak meluas sampai pangkal sirip dada (Gambar 1). Ketiga spesies dari genus Alopias dapat dibedakan terutama dari warna pada permukaan bagian punggung tubuh. Alopias vulpinus memiliki warna hijau gelap pada bagian punggung, Alopias
superciliosus abu-abu dan Alopias pelagicus umumnya
nampak biru. Alopias superciliosus dapat mencapai panjang 4.9 m dan Alopias pelagicus hanya dapat mencapai ukuran panjang 3 m (http://en.wikipedia. org/ wiki/Alopiidae diunduh tanggal 12 Maret 2009).
133 Tabel 1. Tingkat kematangan pada ikan bertulang rawan
Table 1. Maturity stage of Elasmobranchii
No. Tingkat kematangan/
Maturity stage
Perkembangan secara mikroskopis/ Microcopies developing Betina
1. Belum matang Ovari dan testis kecil, ke-2 uteri berukuran sama, tipis, dan lunak. 2. Berkembang, anak dara Ovari bagian kiri berisi kantong telur berukuran kecil, uterus bagian
kiri mulai membesar tetapi tipis dan lunak.
3. Matang, belum bunting Ovari bagian kiri berisi telur berdiameter >2 mm, lunak, dan tipis. Uterus bagian kiri banyak mengandung trophonemata.
4. Matang, bunting Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Terjadi pembuahan telur atau embrio pada uterus bagian kiri. Trophonemata membesar dan berwarna gelap.
5. Matang, pulih salin Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Uterus bagian kiri membesar tetapi lunak, terlihat baru melahirkan anak. Trophonemata berwarna gelap.
Jantan
1. Belum matang Testis belum berkembang, klasper berukuran kecil, dan belum terjadi pengapuran.
2. Sedang berkembang Testis membesar tapi tanpa lubang-lubang di permukaan, vas
deferens (saluran sperma) membulat. Klasper membesar, mulai
terjadi pengapuran dan kaku.
3. Matang, belum bereproduksi Lubang-lubang pada testis membengkak disebabkan memproduksi sperma. Saluran sperma membulat kencang. Klasper sangat berkembang dan kaku disebabkan oleh zat kapur.
4. Matang Seminal vesikel penuh spermatozoa yang sudah matang. Lubang-lubang permukaan testis dan klasper membesar dan kaku.
Gambar 1. Morfologi cucut tikusan, Alopias pelagicus (Last & Stevens,2009)
Figure 1. Morphology of Pelagic thresher shark
Distribusi Frekuensi Panjang
Untuk mengetahui parameter pertumbuhan dari suatu spesies ikan salah satu cara dapat dilakukan dengan melihat perkembangan distribusi frekuensi panjang tubuh (Sparre & Venema, 1992). Hasil pengukuran panjang total cucut tikusan (Alopias pelagicus) jantan yang berukuran antara 150-170 cm dengan modus 160 cm merupakan
frekuensi terendah. Kelompok ukuran tersebut termasuk berumur muda. Pada ukuran antara 271-360 cm dengan modus 320 cm merupakan kelompok dewasa. Frekuensi panjang tertinggi terdapat pada dua kelompok ukuran, yaitu kelompok pertama antara 231-250 cm dengan modus 240 cm dan kelompok kedua antara 251-270 cm dengan modus 260 cm. Pada cucut tikusan betina, frekuensi panjang terendah adalah 291-310 cm dengan modus 300 cm untuk kelompok ukuran dewasa/matang muda. Frekuensi panjang tertinggi antara 231-250 cm dengan modus 240 cm (Gambar 2).
Hubungan Panjang Total dan Panjang Standar
Hubungan antara panjang total dan panjang standar pada cucut tikusan betina dan jantan disajikan pada Gambar 3. Hubungan dua parameter dari kedua jenis kelamin cucut tersebut adalah linier dimana nilai R2=0,9423
untuk betina dan R2=0,9803. Berdasarkan nilai R2dari dua
jenis kelamin tersebut, maka dapat dikatakan bahwa baik cucut tikusan jantan dan betina terjadi perkembangan panjang tubuh yang hampir sama.
Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang cucut tikusan (Alopias pelagicus) jantan dan betina
Figure 2. Length distribution frequency of male and female of Pelagic Thresher (Alopias pelagicus)
Gambar 3. Hubungan antara panjang total dan panjang standar A.pelagicus jantan dan betina
Figure 3. Relationship between total length and precaudal length of Thresher shark of male and female
Hubungan Panjang Total dan Panjang Klasper
Hubungan antara panjang klasper dan ukuran tubuh biasanya digunakan untuk menentukan ukuran di mana ikan jantan elasmobranchs mencapai kematangan kelamin (Stevens & McLoughlin, 1991). Meskipun kedua bagian klasper kiri dan kanan berfungsi dalam proses reproduksi, tetapi hanya satu yang dimasukkan ke dalam kloaka betina selama kopulasi atau proses perkawinan. Hubungan antara panjang total tubuh dan panjang klasper Alopias
pelagicus dapat dilihat pada Gambar 4. Hubungan
tersebut bersifat logaritmik dengan nilai R2=0,8694, dan
berbeda nyata (p<0,05). Hubungan kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa dengan bertambah panjang total tubuh cucut tidak selalu akan terjadi pertambahan panjang pada klasper, akan tetapi klasper tetap mengalami perkembangan yang ditunjukkan dengan semakin membesar klasper karena terjadi proses pengapuran (calcification). Clark & Von Schidt dalam Carrier et al. (2004) menyatakan bahwa proses terjadinya pengapuran Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
TL = 20.345 + 1.9726x PCL R² = 0.9423 0 50 100 150 200 250 300 350 0 50 100 150 200 To ta lL en gt h (c m )
Pre Caudal Length(cm) Female, n = 224 y = 10.141 + 2.0469PCL R² = 0.9803 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 50 100 150 200 Male, n = 202
Pre Caudal length (cm) To ta lL en gt h (c m ) To ta lL en gt h (c m ) To ta lL en gt h (c m )
135 dan perkembangan (mengeras dan kaku) pada klasper
merupakan standar untuk menentukan tingkat kematangan kelamin pada ikan-ikan bertulang rawan.
Sedangkan hubungan antara panjang total dan bobot cucut tikusan disajikan pada Gambar 5. Terlihat hubungan
kedua parameter tersebut adalah eksponensial (R2=0,9389),
berdasarkan uji t diperoleh nilai b=3, sehingga hubungan tersebut bersifat isometrik yang menunjukkan dengan bertambah panjang tubuh, maka bobot cucut tikusan juga bertambah.
Gambar 4. Hubungan antara panjang total dan panjang klasper A. pelagicus
Figure 4. The relationship between total length and clasper length of A. pelagicus
Gambar 5. Hubungan antara panjang total dan bobot cucut tikusan (Alopias pelagicus)
Figure 5. The relationship between total length and weight of pelagic thresher shark
Rasio Kelamin
Informasi perbandingan jenis kelamin atau nisbah kelamin pada spesies ikan dalam ilmu biologi reproduksi diperlukan untuk mengetahui peluang perkembangan populasinya. Perbandingan kelamin atau rasio kelamin merupakan aspek yang sangat penting bagi kemampuan individu dalam proses rekruitmen populasi spesies (Anonim, 2009), dan proses rekruitmen suatu spesies ikan akan berhasil apabila perbandingan jumlah jantan dan betina dalam satu populasi seimbang.
Rasio kelamin antara jantan dan betina cucut tikusan secara bulanan selama tahun 2001-2005 disajikan pada
Gambar 6. Rasio kelamin jantan dan betina bulanan pada periode April 2001 hingga Oktober 2005 berfluktuatif dan tidak seimbang, kecuali hanya pada Oktober 2004. Hal ini menunjukkan bahwa rasio kelamin pada cucut tikusan selalu mengalami perubahan pada periode tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, yaitu perbandingan rasio kelamin jantan dan betina pada saat dilahirkan. Proporsi jantan dan betina pada saat lahir dapat menjadi indikator penting pada proses reproduksi suatu populasi ikan (Anonim, 2005). Lebih lanjut Brykov et al. (2008) menyatakan bahwa rasio kelamin berkaitan dengan jumlah ikan yang dihasilkan pada generasi berikutnya dan sebagai kontrol ukuran populasinya. Sedangkan faktor ekstrinsik seperti adanya tekanan penangkapan, sehingga Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
CL = 0.152e0.0162TL R² = 0.8694 0 5 10 15 20 25 30 0 50 100 150 200 250 300 350 Total Length (cm) Cl as pe rL en gt h (c m ) Male, n= 110 2.6762TL 2 0.9389
penyebaran populasi jantan dan betina tidak merata. Perbedaan teknik penangkapan dan selektivitas alat tangkap dapat juga mempengaruhi perbedaan rasio kelamin pada spesies ikan yang tertangkap.
Tingkat Kematangan Gonad dan Kelamin Jantan Berdasarkan Bulan
Tingkat kematangan gonad pada cucut tikusan (Gambar 7), berdasarkan pengamatan secara visual dapat dikelompokan menjadi empat tingkatan (Tabel 1). Pada Gambar tersebut tampak bahwa selama kurun waktu lima tahun (2001-2005) tingkat kematangan gonad yang ditemukan pada setiap bulan bervariasi mulai dari tingkat I sampai tingkat IV. Pada bulan Juli 2004 ditemukan delapan ekor cucut tikusan dalam kondisi matang gonad, tetapi secara keseluruhan cucut tikusan yang tertangkap sebagian besar memiliki kematangan gonad pada tingkat I atau termasuk dalam kelompok cucut muda. Demikian pula
yang terdapat pada tingkat kematangan kelamin jantan (Gambar 7), nampak bahwa sebagian besar kelompok cucut muda yang berada pada tingkat kematangan gonad I.
0 5 10 15 20 25 30 35
Apr Jul Jun Aug Oct Apr Jul Sep Oct Jan Mar May Jul Aug Sep Oct 2001 2002 2004 2005 Male Female P e rc e n ta g e (% ) 0 1 2 3 I II III IV 0 1 2 3 I II III IV Jun, 2002 0 1 2 I II III IV Oct, 2002 0 1 2 3 I II III IV Apr, 2004 0 5 10 15 I II III IV Jul, 2004 0 2 4 I II III IV 0 1 2 3 I II III IV Mar, 2005 0 1 2 I II III IV May, 2005 0 2 4 I II III IV Aug, 2005 0 2 4 I II III IV Sep, 2005 0 1 2 I II III IV Oct, 2005 Jul, 2001 Oct, 2004 Number (Ind) Female 0 1 2 3 I II III IV Apr, 2004 0 3 6 9 I II III IV Jul, 2004 0 2 4 I II III IV Oct, 2004 0 1 2 3 I II III IV Mar, 2005 0 1 2 3 4 5 I II III IV Aug, 2005 0 1 2 3 I II III IV Sep, 2005 0 1 2 3 I II III IV Oct, 2005 Male Number (Ind)
Gambar 6. Rasio kelamin bulanan cucut tikusan (Alopias
pelagicus)
Figure 6. Monthly sex ratio of Thresher shark (Alopias pelagicus)
Gambar 7. Tingkat kematangan gonad betina (A) dan kelamin jantan (B)
Figure 7. Gonade maturity stage femile (A) and sex maturity stage of male (B)
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
(A)
137
Fluktuasi Hasil Tangkapan
Fluktuasi hasil tangkapan cucut tikusan (Alopias
pelagicus) selama tahun 2002-2007 dapat dilihat pada
Gambar 8 berikut. 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 J F M A M J J A S O N D 2007 2006 2005 2004 2003 2002 P ro d u ct io n (k g )
Gambar 8. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan cucut
Alopias pelagicus yang tertangkap jaring
insang tuna permukaan tahun 2002-2007
Figure 8. Monthly catch fluctuation of Alopias pelagicus caught by tuna drift gillnet in 2002-2007
Pada Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan cucut tikusan selama kurun waktu enam tahun (2002-2007) berfluktuatif dari bulan ke bulan. Bulan Oktober sampai Juni hasil tangkapan cucut tikusan relatif rendah. Hal ini terjadi diduga berhubungan dengan kondisi alam dimana pada periode tersebut biasanya keadaan di perairan Samudera Hindia terjadi angin kencang disertai gelombang besar yang menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan di laut. Kegiatan penangkapan mulai meningkat terjadi pada bulan Mei, namun demikian fluktuasi hasil tangkapan selama enam tahun memiliki pola yang hampir sama, yaitu mulai terjadi peningkatan pada bulan Juli sampai September kemudian menurun pada bulan-bulan berikutnya. Secara umum hasil tangkapan total cucut tikusan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 hasil tangkapan cucut tikusan dari jaring insang sebesar 128,443 ton dan tahun 2007, yaitu sebesar 83,556 ton.
BAHASAN
Cucut genus Alopias memiliki kematangan kelamin lambat, jenis jantan dapat mencapai kematangan kelamin antara 7-13 tahun dan betina antara 8-14 tahun pada
Alopias superciliosus. Kematangan kelamin pada Alopias pelagicus jantan pada umur antara 7-8 tahun dan betina
antara 8-9 tahun. Ukuran kematangan kelamin A. pelagicus diperkirakan berkisar antara 264-282 cm panjang total dengan ditemukan 2 embrio di dalam kandungannya (Otake & Mizue, 1981; Compagno, 1984). Pada spesies
yang sama ditemukan 2 embrio dengan ukuran panjang total induk betina yang berbeda yaitu antara 270-330 cm (Nakamura,1935). Menurut Cailliet et al. dalam Camhi et
al. (2008) di perairan Pasifik pada umumnya kematangan
kelamin Alopiidae betina dicapai pada ukuran panjang total 260-315 cm dengan umur 3-4 tahun, dan pada jantan dicapai pada ukuran panjang total 333 cm dengan umur 7 tahun. Famili Alopiidae dapat hidup sampai 20 tahun atau lebih. Frekuensi panjang tertinggi pada Alopias pelagicus jantan dan betina terdapat pada modus yang hampir sama. Dari sampel yang diperoleh nampak bahwa paling tidak terdapat 3 kelompok umur dari Alopias pelagicus jantan dan betina dengan kisaran sebaran panjang relatif sama yaitu masing-masing antara 150-210 cm , 211-270 cm, dan 271-360 cm (Gambar 2). Dengan melihat kelompok umur kedua jenis kelamin cucut tersebut,terlihat bahwa individu
A. pelagicus betina yang tertangkap hampir selalu lebih
besar dibanding jantan. Liu et al. dalam Camhi et al. (2008) menyatakan pertumbuhan cucut famili Alopiidae betina lebih cepat dari pada jantan. Alopias pelagicus yang tersebar di perairan Samudera Hindia dapat mencapai ukuran panjang 365 cm, jantan mencapai dewasa pada ukuran 240 cm dan betina 260 cm (White et al., 2006). Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar ukuran cucut Alopias
pelagicus yang tertangkap di perairan Samudera Hindia
dalam tahun 2002-2007 termasuk kelompok cucut muda-dewasa. Di perairan Indonesia cucut genus Alopias lebih sering tertangkap dengan jaring insang hanyut (Dharmadi
et al., 2002) karena memiliki ekor yang panjang dan
tertangkap dengan cara terpuntal. Pada umumnya jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring 5 inci dengan sasaran tangkap utamanya ikan tuna-cakalang yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Ikan cucut Alopias
pelagicus termasuk salah satu jenis cucut yang tertangkap
sebagai hasil tangkapan sampingan jaring insang hanyut. Meskipun hanya sebagai hasil tangkapan sampingan dari nelayan yang mengoperasikan jaring insang tuna, namun di perairan Indonesia populasinya dikuatirkan terus mengalami penurunan. Dalam upaya mendukung resolusi IOTC 10/12 tentang “the conservation of Thresher shark
(Family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC Area of competence”, maka sejak tahun 2011
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah mengeluarkan larangan untuk tidak melakukan penangkapan terhadap ketiga jenis cucut dari famili Alopiidae yaitu Alopias
pelagicus, A. vulpinus, dan A. superciliosus di perairan
Indonesia. Meskipun demikian, pelarangan tersebut harus disertai dengan program dan pelaksanaan sosialisasi terhadap masyarakat nelayan cucut tentang perlindungan beberapa spesies cucut yang termasuk kategori rawan mengalami kepunahan.
Tertangkapnya sebagian besar kelompok cucut muda-dewasa akan berpengaruh terhadap proses rekruitmen. Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
Pitcher & Hart (1982) menyatakan bahwa suatu tingkat penangkapan pada kelompok ikan-ikan muda yang banyak tertangkap sebelum mencapai pertumbuhan optimum dinamakan growth over fishing, yaitu aktivitas penangkapan yang berlebih pada sekelompok ikan yang masih dalam masa pertumbuhan. Hal ini akan mengurangi kesempatan bagi ikan-ikan dewasa betina dan jantan mencapai kematangan gonad dan kelamin, sehingga akan mengakibatkan terjadi “recruitment over fishing” karena jumlah individu baru yang dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan populasi. Keberhasilan proses rekruitmen suatu spesies kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan dan ukuran ikan yang tertangkap (Sparre & Venema, 1992). Proses rekruitmen suatu spesies dapat juga dipengaruhi oleh faktor kualitas lingkungan perairan, densitas induk yang tersedia dan ada tidaknya pemangsa/ predator.
Selama kurun waktu enam tahun hasil tangkapan cucut tikusan yang tertangkap di perairan Samudera Hindia menurun sebesar 34,9 %. Menurunnya sumberdaya spesies ini harus menjadi perhatian bersama, mengingat sifat biologinya yang rentan mengalami kepunahan, sehingga diperlukan langkah-langkah pengelolaan yang bijak dalam memanfaatkan sumberdayanya. Menurut King (1995) sumber daya ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih kembali (renewable), meskipun demikian dalam pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas kemampuan sumberdaya tersebut. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan dan menjaga kelestarian sumber daya lingkungannya. Menurut Purwanto (2003) langkah pengelolaan perikanan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu 1). pengendalian penangkapan ikan (control of fishing) dan 2). pengendalian upaya penangkapan ikan (control of fishing
effort). Pada prinsipnya pengelolaan perikanan bertujuan
untuk mengatur intensitas penangkapan agar diperoleh hasil tangkapan yang optimal dari berbagai aspek (Widodo, 2000).
Berkaitan dengan pengelolaan perikanan cucut di Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sejak tahun 2004 telah membuat draft buku pedoman tentang aksi pengelolaan perikanan cucut secara nasional (National Plan Of Action shark) dan sejak tahun 2010 buku pedoman NPOA hiu dan pari telah dipublikasikan, namun hingga tahun 2012 belum diimplementasikan karena menghadapi berbagai kendala antara lain adalah masalah pendataan hasil tangkapan hiu yang belum berdasarkan jenis. Oleh karena itu masih diperlukan evaluasi untuk pelaksanaan implimentasi dari buku pedoman NPOA tersebut. Aksi pengelolaan cucut secara nasional harus dilakukan secara bertahap pada 11 wilayah pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan atau paling tidak melalui
program proyek percontohan (pilot project). Lokasi pilot project untuk program aksi pengelolaan cucut dapat dilakukan di tiga wilayah yaitu di Jawa Barat (Pelabuhan Perikanan Samudera Pelabuhanratu), Jawa Tengah (di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap) dan wilayah bagian Timur dapat dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Tanjung Luar Lombok Timur. Ketiga daerah tersebut merupakan tempat pendaratan ikan utama yang memiliki kontribusi produksi cucut secara signifikan dalam statistik perikanan nasional dibanding daerah lainnya.
KESIMPULAN
Terdapat kelompok ukuran pada cucut tikusan jantan dan betina yang relatif sama. Kelompok muda cucut tikusan terdapat pada ukuran antara 150-210 cm, sedang kelompok dewasa terdapat dua ukuran yaitu antara 211-360 cm. Rasio kelamin jantan dan betina cucut tikusan dari mendekati 1 : 1 (51 % : 49 %). Hasil tangkapan cucut tikusan dari jaring insang selama enam tahun mengalami penurunan sebesar 34,9 %. Hal ini menunjukkan bahwa ada indikasi terjadi penurunan kelimpahan cucut tikusan di perairan Samudera Hindia.
PERSANTUNAN
Kegiatan dari sebagian hasil riset perikanan artisanal ikan cucut (Requiem shark sp.) dan pari (Plesiobatis sp.) di perairan Indonesia bagian Selatan-Timur: Sosial ekonomi dan karakteristik perikanan hubungannya dengan sumberdaya perikanan di perairan Australia, T.A. 2001-2006, ACIAR-CSIRO Australia dan dari dana pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Prelude to intersex in fish. Identifying sensitive period for feminization. Environmental
Health Perspective. Vol.113,No.10, October 2005. e h p . n i e h s . n i h . g o v / d o c s / 2 0 0 5 / 1 1 3 - 1 0 / EHP113pa686PDF.PDF. A686.
Anonim. 2009. Male-biased sex ratio of fish embryos near a pulp mill : temporary recovery after a shout-term shutdown (Research Article). www.enclycopedia.com, 25 April 2009. p. 739-42.
Bigelow, H.B. & W.C. Schroeder. 1948. Sharks. In Fishes of the western North Atlantic, part 1. Mem. Sears Found. Marine. Res., 59-576, figs. p. 6-105.
Brykov, A., D. Kukhlevsky, E. A. Shevlyakov, N.M. kinas & L.O. Zavarnia. 2008. Sex ratio control in pink Salmon (Oncorhynchus gorbuscha and Chum Salmon (O. keta) populations the possible causes and mechanisms of changes in the sex ratio. Russian Journal of Genetics. Vol.44,No.7. High Beam.com/journal_Research. Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139
139 www.springerlink.com/index/y71t62764q10661k.pdf.
p. 786-792.
Camhi, M.D, EllenK.P& ElizabethA.B. 2008.
Sharks of the Open Ocean. Biology, Fisheries and Conservation.Fish and Aquatic Resources Series 13. Blackwell Publishing. USA. p. 60-65.
Castro, J.I. C.M Woodley & R.L. Brudek, 1999. A
preliminary evolution of the status of shark species.
Nati onal
Oceanographi c and Atmospheri c
Administration. National Marine Fisheries Service
Southeast Fisheries Science Centre Miami, Florida,
USA. FAO.
Fisheries Technical Paper No. 380.Cailliet, G.M. & D.W. Bedford., 1983. The biology of three
pelagic sharks from California waters, and their emerging fisheries: a review. CalCOFI Rep. 26:57-69.
Compagno,L.J.V., 1984. FAO Species catalogue. Vol.4, Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. Part 1-Hexanchiformes to Lamniformes : viii, 1-250. Part 2-Carcharhiniformes : x, 251-655. FAO Fisheries Synopsis 125 : 1-655.
Castro, J.I., C.M. Woodley, & R.L. Brudek. 1999. A Preliminary evolution of the status of shark. National Oceanographic and Atmospheric Administration. National Marine Fisheries Service Southeast Fisheries Science Center Miami. Florida. USA. FAO. Fisheries
Technical Paper No. 380.
Dharmadi & Fahmi. 2007. Distribusi panjang, hubungan panjang total dan panjang klasper dan nisbah kelamin cucut lanjaman (C. falciformis). JPPI . 13 (3): 243-249.
Gruber, S.H., & L.J.V. Compagno. 1981. Taxonomic Status
and Biology of the Bigeye Thresher, Alopias
superciliosus. Fish. Bull., 79(4): 617-640. www.elasmo-research.org/education/.../biblio-thresher_bigeye. Download 9 Mei 2011.
Hanan, D.A; David B.H & L.CAtilio, Jr. 1993. The California Drift Gill Net Fishery for Sharks and Swordfish, 1981-82 Through 1990-91. State of California The Resources Agency Department of Fish and Game. Fish Bulletin. 175 p.
King, 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Book. London. 341 p.
Last, P.R, & J.D. Steven. 2009. Sharks and rays of
Australia. Second edition. CSIRO Publishing.
Australia. 644 p.
Namamura, H. 1935. On the two species of the Thresher shark from Formusa waters. Mem. Fac. Sci. Agriculture
Taikoku Imp. Univ. 14:1-6.
Otake, T. & K. Mizue, 1981. “Direct Evidence for Oophagy
in Thresher Shark, Alopias pelagicus”. Japanese
Journal of Ichthyology 28 (2): 171–172.
en.wikipedia.org/wiki/Pelagic_thresher – Download
9 Mei 2011.
Pitcher, T.J & P.J.B, Hart. 1982. Fisheries Ecology. American Edition. The AVI Publishing Company, INC. Westport, Connecticut. 408 p.
Purwanto, 2003. Status and Management of the Java Sea Fisheries. p. 793-832. In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki., M. Ahmed, R. A. Valmonte-Santos, C. Luna, L. Lachica-Alino, P. Munro, V. Cristensen, & D. Pauly (eds). Assessment, Management, and Future Direction for Coastal Fisheries in Asian Countries. World Fish
Center Conference Proceeding 67. 1120 p.
Pillai,P.P. & M. Honma. 1978. Seasonal and areal distribution of the pelagic sharks taken by the tuna longline in the Indian Ocean. Bulletin of the National
Research Institute of Far Seas Fisheries, 16: 33-49, figs 1-2. www.shark.reference.com.(download 9 Mei 2011).
Strasburg, D.W., 1958. Distribution, abundance, and
habits of pelagic sharks in the central Pacific Ocean.
Fish. Bull., 58: 335-361.
Sparre & Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock assessment. Part 2. Exercises. FAO Fisheries Technical
Paper. No. 306.2, Rev. 2.
White, W.T., P.R. Last, J.D. Stevens, G.K. Yearsley, Fahmi & Dharmadi. 2006. Economically Important Sharks and Rays of Indonesia. National Library of Australia
Cataloging-in-Publication entry . Australia. 329 p.
Widodo, J. 2000. The Indonesian Shark Fisheries: present status and the need of research for stock assessment and management. Paper presented at “Indonesian
Australian workshop on shark and tuna”, Denpasar,
March 2000, 23 p.
http://en.wikipedia.org/wiki/Alopiidae diunduh tanggal 12 Maret 2009. Download, 12 Maret 2009.
Stevens, J.D. & K.J. McLoughlin.1991. Distribution, size and sex composition, reproductive biology and diet of sharks from northern Australia. Australian Journal of
Marine and Freshwater Research 42: 151–199.
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN CUCUT KACANGAN (Hemitriakis
indroyonoi ) DI SAMUDERA HINDIA
REPRODUCTIVE BIOLOGY OF INDONESIAN HOUNDSHARK (Hemitriakis
indroyonoi) IN THE INDIAN OCEAN
Ria Faizah1), Umi Chodrijah2), dan Dharmadi1)
1)Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2)Balai Penelitian Perikanan Laut
Teregistrasi I tanggal: 13 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Desember 2012; Disetujui terbit tanggal: 11 Desember 2012
ABSTRAK
Cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) merupakan spesies endemik di Indonesia yang tertangkap di perairan selatan Bali dan Lombok. Penelitian tentang ukuran dan biologi reproduksi cucut kacangan dilakukan di dua lokasi pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, Bali dan di Tanjung Luar, Lombok Timur pada bulan Maret 2010-Januari 2011. Pengamatan meliputi panjang tubuh, nisbah kelamin serta panjang klasper yang dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan kisaran panjang total untuk cucut kacangan terdistribusi pada ukuran antara 54-111 cm TL dengan panjang rata-rata 83,07 cm TL. Cucut kacangan memiliki dua kelompok umur dengan modus, yaitu 75 cm dan 100 cm kisaran panjang masing-masing adalah 60-85 cm dan 90-110 cm. Hubungan panjang berat cucut kacangan mengikuti persamaan W=0,001x FL3,209( r = 0,965;
n=39) untuk jenis betina dan W=0,012x FL2,664( r = 0,90; n=47) untuk jenis jantan. Terdapat dua kondisi klasper
yaitu kondisi belum mengandung zat kapur dengan ukuran panjang antara 54-87 cm (n= 33 ekor) dan kondisi penuh dengan zat kapur dengan ukuran antara 82-105 cm (n=27 ekor). Perbandingan kelamin cucut kacangan antara betina dan jantan adalah 1:1,11 (52,6: 47,4%).
KATA KUNCI : Biologi reproduksi, cucut kacangan, Samudera Hindia ABSTRACT
Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) is an endemic species of Indonesia caught in the southern Bali and Lombok waters (Indian Ocean). The research that aimed to obtain information on the size distribution and reproductive biology of Indonesian houndshark and was conducted in landing site of Kedonganan, Bali and Tanjung Luar, Lombok Timur from March 2010 to January 2011. Body length, sex ratio and clasper length were visually observed and directly measured in the field. Results showed that length distribution of Indonesian houndshark ranged between 54-111 cm with an average total length (TL) 83.1 cm. The Indonesian houndshark at least have two cohorts with the modus of 75 cm TL and 100 cm TL, length class between 60-85 cm and 90-110 cm TL . There are two clasper conditions i.e. non calcification with TL of 54-87 cm TL (n = 33) and full calcification with TL of 82-105 cm (n & 27). Length weight relationships for female and male are W = 0.001 x FL3, 209(R2= 0.965, N = 39) and W = 0.012 x FL2, 664(R2= 0.90, N = 47), respectively. Sex ratio between female and male was 1:1,11 (47.4:52.6%).
KEYWORDS : Reproductive biology, Indonesian houndshark, Indian Ocean
PENDAHULUAN
Cucut kacangan atau Indonesian houndshark
(Hemitriakis indroyonoi) merupakan salah satu anggota dari famili Triakidae dan kemungkinan merupakan spesies endemik di perairan Indonesia. Penamaan Hemitriakis
indroyonoi merupakan penamaan baru untuk spesies Hemitriakis yang ada di Indonesia (White et al., 2009).
Secara umum, morfologi cucut kacangan dicirikan oleh mata yang terletak di kepala dengan gurat menonjol di bawahnya. Sirip punggung pertama terletak di belakang dasar sirip dada, ujung kedua sirip punggung berwarna putih, jarak antara lubang hidung sekitar 2.5 kali lebar cuping hidungnya dan gigi di kedua rahang sangat pipih dan seperti pisau (White et al., 2006). Di Bali, jenis cucut
ini dikenal dengan nama cucut kacang dan nelayan Lombok menyebutnya “hiu meong”. Spesies ini umumnya tertangkap dengan alat tangkap gillnet yang didaratkan di pusat pendaratan ikan di Kedonganan, Bali dan Tanjung Luar, Lombok. Ketersediaan data biologi cucut dan kelompok ikan bertulang rawan di Indonesia masih kurang memadai dibandingkan dengan data biologi dari jenis ikan bertulang keras (teleostei). Karakteristik biologi cucut adalah memiliki laju pertumbuhan dan kematangan kelamin yang lambat; siklus perkembangbiakan lama; fekunditas rendah; dan rentang hidupnya yang panjang (FAO, 2000; Castro et al., 1999; Compagno, 1998; dan Last & Stevens, 1994). Selain itu banyak spesies cucut bernilai ekonomi penting mempunyai daerah asuhan (nursery area) di perairan pantai yang dangkal. Faktor tersebut mengakibatkan sumber daya ikan cucut sangat rentan BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
142
terhadap tekanan penangkapan yang berlebihan. Data statistik hasil tangkapan cucut baru tercatat pada beberapa spesies, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan pengenalan jenis cucut, padahal data ini sangat diperlukan untuk mengetahui kecenderungan jumlah dan komposisi spesies hasil tangkapan yang didaratkan dan sebagai informasi dasar untuk mengetahui status konservasinya. Oleh karena itu untuk dapat memahami dan mengkaji status perikanan cucut khususnya cucut kacangan di Indonesia, diperlukan data dan informasi dasar mengenai parameter biologi perikanan cucut yang meliputi ukuran
panjang dan distribusi frekuensinya, hubungan panjang berat, rasio kelamin dan tingkat kematangan kelamin.
BAHANDANMETODE Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Januari 2011 di dua pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, pantai selatan Bali dan di Tanjung Luar, pantai selatan Lombok (Gambar 1).
1).
Gambar 1. Peta lokasi sampling
Figure 1. Map of sampling site
Pengamatan Biologi
Pengamatan biologi ikan cucut meliputi panjang tubuh, rasio kelamin serta panjang klasper, dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di lapangan. Jumlah contoh cucut yang diamati sebanyak 114 ekor terdiri dari jenis jantan dan betina. Pengukuran klasper diukur dari lekukan bagian dalam dari sirip perut
sampai dengan ke bagian ujung klasper. Data yang dianalisis merupakan data gabungan dari kedua lokasi pengamatan yaitu, di Kedonganan-Bali, dan Tanjung Luar Lombok Timur dengan daerah penangkapan sama yaitu, di perairan Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara dan dianggap sebagai satu unit stok. Gambar ikan cucut yang menjadi obyek penelitian disertakan pada Gambar 2.
Gambar 2. Cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi)
Figure 2. Indonesian Houndshark (Hemitriakis indroyonoi)
Hubungan panjang - berat dianalisa dengan model persamaan Hile (1936) dalam Effendie (1997) sebagai berikut :
W = a Lb
dimana : W = berat ikan (gram) L = panjang ikan (cm) a dan b = konstanta.
Dari persamaan di atas dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan berat ikan tersebut. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan apakah polanya isometrik atau allometrik. Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh ditentukan dengan menggunakan uji-t pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).
Pengamatan tingkat kematangan kelamin jantan dilakukan secara visual dengan melihat kondisi klaspernya. Menurut Grogan & Lund (2004) dalam Carrier
et al. (2004) & Yano et al. (2005) klasper adalah alat kelamin
jantan pada ikan bertulang rawan yang merupakan perpanjangan tulang bagian dalam dari sirip perut atau modifikasi sirip perut yang membentuk saluran sperma yang berfungsi menyalurkan sperma ke kloaka (organ reproduksi) betina atau organ kopulasi untuk memudahkan proses pembuahan secara internal. Kondisi klasper dikategorikan menjadi 3 tingkatan yaitu klasper dalam kondisi belum berisi zat kapur atau sedikit zat kapur dan lembek, klasper sebagian berisi zat kapur dan agak keras dan klasper berisi penuh zat kapur dan dalam keadaan mengeras (Clark & von Schmidt, 1965; Teshima et al., 1978; Teshima, 1981; Parsons, 1983).
Pengujian perbandingan jenis kelamin dilakukan dengan uji “Chi – Square” (Sugiyono, 2004) :
k ifn
fn
fo
X
1 2 2(
)
keterangan: X2= Chi Square
fo = Frekuensi yang diobservasi fn = Frekuensi yang diharapkan
HASIL DAN BAHASAN HASIL
1. Distribusi Frekuensi Panjang
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Maret 2010 hingga Januari 2011 di dua lokasi pendaratan ikan (Kedonganan dan Tanjung Luar), cucut kacangan yang tertangkap terdistribusi pada ukuran antara 54-111 cm TL dengan panjang rata-rata 83,1 cm TL. Untuk cucut jantan, ukuran panjang total yang banyak tertangkap berkisar antara 54-105 cm dengan rata-rata 83,3 cm, sedangkan cucut kacangan betina yang tertangkap berkisar antara 69-111 cm dengan panjang total rata-rata 82,8 cm. Berdasarkan distribusi frekuensi panjang sedikitnya cucut kacangan jantan dan betina memiliki dua kelompok umur dengan modus yaitu 75 cm TL dan 100 cm TL dengan kisaran panjang masing-masing adalah 60-85 cm TL dan 90-110 cm TL (Gambar 3).
2. Hubungan Panjang Berat
Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut. Analisis hubungan panjang berat terhadap 114 ekor ikan cucut dipisahkan antara jantan dan betina (Gambar 4a &b). Hasil analisis digambarkan oleh persamaan sebagai berikut:
Betina = W=0,001x FL3,209( r=0,965 ; n=54)
Jantan= W=0,012x FL2,664( r2= 0,90; n=60)
Gambar 3 Distribusi panjang cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) jantan (a) dan betina (b) yang tertangkap di perairan Samudera Hindia pada bulan Maret 2010-Januari 2011
Figure 3. Length distribution of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) of male (a) and female (b) in Indian Ocean caught in Indian Ocean,March 2010- January 2011
(a) (b)
144
Gambar 4. Hubungan panjang berat cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) betina (a) dan jantan (b) yang tertangkap di Samudera Hindia , Maret 2010—Januari 2011
Figure 4. Length weight relationship of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) of female (a) and male (b )caught in Indian Ocean, March 2010-January 2011
3. Rasio Kelamin
Rasio kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah individu jantan dengan betina dalam suatu populasi. Secara alamiah, di suatu perairan yang normal diperkirakan perbandingan betina: jantan adalah 1:1 ( Bal & Rao,1984). Pada penelitian ini, jumlah contoh cucut kacangan yang diamati sebanyak 114 ekor, dengan perbandingan jumlah betina 54 ekor dan jantan 60 ekor atau 1:1,11.
Gambar 5. Hubungan antara panjang klasper dengan panjang total tubuh cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) yang tertangkap di Samudera Hindia, Maret 2010-Januari 2011
Figure 5. Relationship between clasper length and total length of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) caught in Indian Ocean, March 2010-January 2011
4. Hubungan Panjang Klasper dengan Panjang Total
Selama penelitian, cucut kacangan betina yang teridentifikasi hanya ditemukan dua tingkat kematangan gonad yaitu I dan II. Ukuran panjang ikan cucut dengan tingkat kematangan gonad I berkisar antara 69-99 cmTL dimana ovari kecil, tipis dan masih lunak, sedangkan tingkat kematangan gonad II terdapat pada ukuran 101-111cm dimana ovari berisi kantong telur berukuran kecil. R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
(a) (b) W = 0.001FL3.209 r= 0.965 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Be ra t( g) Panjang total (cm) Betina, n=54 W = 0.012FL2.664 r=0,90 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 40 50 60 70 80 90 100 110 Be ra t( g) Panjang total (cm) Jantan, n =60
BAHASAN
1. Distribusi Fekuensi Panjang
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa distribusi frekuensi cucut kacangan jantan dan betina memiliki pola yang sama yang didominasi oleh kelompok umur pada ukuran antara 65-85 cm TL. Kisaran ukuran cucut kacangan yang diperoleh dalam penelitian ini hampir sama dengan yang ditemukan oleh White et al. (2006) &White, (2007), yaitu 50,6 cmTLhingga120cmTL.
Secara keseluruhan sebagian besar cucut kacangan yang tertangkap selama penelitian relatif masih muda sebanyak 58,3%. Menurut Pitcher & Hart, (1982) kondisi demikian dapat mengganggu keseimbangan populasi karena akan terjadi growth over fishing, yaitu suatu tingkat penangkapan dimana ikan-ikan muda banyak tertangkap sebelum mencapai pertumbuhan optimum, dan menyebabkan kemungkinan terjadi pengurangan populasi ikan-ikan dewasa. Akibatnya ada kemungkinan terjadi
recruitment over fishing atau suatu tingkat penangkapan
dimana ketersediaan ikan-ikan matang menurun karena penambahan individu yang dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan populasinya.
2. Hubungan Panjang Berat
Menurut Effendi, (2002) nilai b berada pada kisaran 2,4-3,5, bila berada di luar kisaran tersebut maka bentuk tubuh ikan tersebut di luar batas kebiasaan bentuk ikan secara umum. Selanjutnya berdasarkan hasil uji-t terhadap
parameter b baik jantan ataupun betinadiperoleh t
hit>ttab, .Untuk cucut jantan diperoleh nilai b signifikan dan lebih
kecil daripada 3 (b<3), sedangkan untuk cucut kacangan betina nilai b signifikan lebih besar dari 3 (b>3). Hal ini berarti pola pertumbuhan cucut kacangan jantan cenderung bersifat allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan beratnya sedangkan cucut kacangan betina cenderung bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjangnya. Perbedaan nilai b pada jantan dan betina dapat berdampak pada rasio kelamin di alam. Rasio kelamin ini kaitannya dengan selektivitas alat tangkap. Jika jantan lebih kurus daripada betina, maka yang akan terjadi ikan betina akan lebih mudah tertangkap daripada ikan jantan, karena peluang ikan jantan tertangkap akan lebih kecil terkait dengan ukuran tubuhnya, sehingga ketersediaan ikan betina di alam akan berkurang.
Hubungan antara panjang dengan berat tubuh ikan bersifat relatif, dapat berubah dengan perubahan waktu. Jika faktor-faktor disekitar organisme seperti kondisi lingkungan periran dan ketersediaan makanan berubah
maka nilai b yang diperoleh juga mungkin akan berubah Nikolsky, (1963).
3. Rasio Kelamin
Berdasarkan pada uji Chi-Square secara keseluruhan diperoleh hasil X2=1,19; X2 tabel
(0,05)=3,84; X 2 tabel (0,01)=6,64 yang berarti bahwa perbandingan jenis kelamin
jantan dan betina tidak berbeda nyata atau dalam keadaan seimbang. Menurut Effendi (2000) dengan seimbangnya perbandingan antara individu jantan dan betina, maka kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa semakin besar. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa rasio kelamin pada penelitian ini masih ideal untuk keberlangsungan proses reproduksi suatu spesies di suatu perairan. Untuk mengetahui rasio kelamin yang lebih akurat diperlukan jumlah sampel yang lebih banyak dan daerah penangkapan yang lebih luas, seperti yang diungkapkan Bal & Rao (1984) bahwa adanya variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi karena 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungandan penangkapan.
4. Hubungan Panjang Klasper Dengan Panjang Total
Pada penelitian ini cucut kacangan betina yang tertangkap memiliki ukuran matang kelamin yang berbeda dengan ukuran yang ditemukan oleh White et al. (2006; 2007) dimana pada ukuran kurang dari 100 cm TL ikan cucut sudah matang gonad.
Perbedaan ukuran kematangan gonad tersebut diduga karena kondisi lingkungan perairan yang berbeda. Sementara itu untuk cucut kacangan jantan terdapat dua tingkatan kelamin berdasarkan atas pengamatan perkembangan kondisi klasper, yaitu klasper belum mengandung atau sedikit zat kapur (non calcification) dan klasper dalam kondisi penuh zat kapur (full
calcification). Klasper pada kondisi belum mengandung
zat kapur terdapat pada ukuran panjang antara 54-87 cm sebanyak 33 ekor, sedangkan klasper yang penuh dengan zat kapur ditemukan pada ukuran antara 82-105 cm sebanyak 27 ekor (Gambar 5). Gambar ini menunjukkan adanya korelasi positif antara panjang klasper dengan panjang total tubuh yang berarti dengan bertambahnya panjang total tubuh cucut akan diiringi panjang klaspernya.
Kisaran ukuran jantan yang matang pada penelitian ini mirip dengan hasil penelitian White (2007) yang mencatat Hemitriakis indroyonoi jantan yang belum berisi zat kapur (non calcification) berukuran kurang dari 81 cm, sedangkan untuk cucut jantan yang telah penuh dengan zat kapur (full calcification) berukuran lebih dari 94 cm dan mencapai 120 cm, ukuran ini juga mirip dengan R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
146
Hemitriakis japanica jantan yaitu berkisar antara 85 -110
cm (Chen & Mizue, 1973), namun ukuran ini masih lebih besar daripada ukuran Hemitriakis complicofasciata yaitu 76-80,5 cm (Takahashi & Nakaya, 2004). Perbedaan dalam ukuran matang kelamin ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan spesies dan kondisi lingkungan perairan.
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan analisis terhadap data yang dikumpulkan dari kedua pusat pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, dan Tanjung Luar, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Sebagian besar cucut kacangan (Hemitriakis
indroyonoi) yang tertangkap relatif masih muda
dengan ukuran panjang ikan antara 65-85 cm TL. 2. Pola pertumbuhan cucut kacangan jantan dan betina
memiliki pola yang berbeda. Cucut jantan memiliki pola pertumbuhan cenderung allometrik negatif, sedangkan cucut betina pola pertumbuhannya cenderung allometrik positif.
3. Berdasarkan pada kondisi klasper, hubungan antara panjang total dan panjang klasper menunjukkan korelasi positif dimana bertambahnya panjang klasper akan diiringi dengan pertambahan panjang total tubuh cucut.
4. Perbandingan jenis kelamin cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) antara jantan dan betina relatif seimbang.
PERSANTUNAN
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Dr. William White dari ACIAR-CSIRO Australia atas kerja sama yang baik selama pelaksanaan penelitian berlangsung. Tulisan ini merupakan hasil riset Developing new assessment and
policy frameworks for Indonesia’s marine fisheries, including The control and management of Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing., T.A.
2010-2011.
DAFTAR PUSTAKA
Bal, D. V. & K. V Rao. 1984. Marine fisheries. Tata Mc. Graw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi.: 5-24.
Carrier, J. C., J.A. Musick, & M. R. Herthaus. 2004. Biology of Sharks and their relatives. Texbook. CRC Press. Washington D. C: 596 p.
Castro, J.L., C.M. Woodley & L.L. Brudek. 1999. A preliminary evaluation of the status of shark species.
FAO Fisheries. Tech. Pap. (380). 72 p.
Chen, C.T & K. Mizue .1973. Studies on sharks-VI. reproduction of Galeorhinus japonicas. Bulletin of
the Faculty Fisheries, Nagasaki University. 36: 37-51.
Clark, E. & K. von Schmidt. 1965. Shark of the Central Gulf coats of Florida. Bulletin Marine Science. 15: 13-83. Compagno, L. J. V. 1984. FAO species catalogue. Vol.4.
Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. Part 2-Carcharhiniformes. FAO Fish. Synopsis. (125) Vol.4. p. 250-655.
Compagno, L.J.V. 1998. Shark In Carpenter, K.E. & V.H. Niem (Eds.): The living marine resources of the Western Central Pacific.Vol. 2. Cephalopods, Crustaceans, Holothurians and Sharks. FAO. Rome: p. 687-1396.
Dharmadi, Fahmi & M. Adrim. 2007. Distribusi Frekuensi Panjang, Hubungan Panjang Tubuh,Panjang Klasper, Dan Nisbah Kelamin Cucut Lanjaman (Carcharhinus
falciformis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
3 (3).
Efendie I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
Efendie I.M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. FAO. 2000. Fisheries Management: 1. Conservation and Management of Sharks. FAO Tech. Guidelines for Responsible Fisheries. Suppl. 1. FAO. Rome: 37 p. Garrick, J. A. F. 1982. Sharks of the genus Carcharhinus
NOAA Tech. Rep. N. M. F. S. Circular. (445): 1-194.
Kohler, N.E., JG Casey & PATurner. 1994. Length-weight relationship for 13 species of sharks from the western North Atlantic. Fishery Bulletin. 93(2).
Last, P.R. & J.D. Stevens. 1994. Sharks and rays of
Australia. CSIRO. Australia. 513 p.
Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press., London : 352 p.
Oshitani, S. H. Nakano, & S. Tanaka. 2003. Age and growth of the silky shark Carcharhinus falciformis from the Pacific Ocean. Fisheries Science. 2003. 69: 456-464. R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147
Parsons G.R. 1983. The reproductive biology of the Atlantic sharpnose shark Rhizoprionodon terraenovae (Richardson). Fishery Bulletin US .88 : 61-73. Pitcher, T.J & P.J.B, Hart. 1982. Fisheries Ecology.
American Edition. The AVI Publishing Company, INC. Westport, Connecticut : 408 p.
Stell R.G.H & J.H Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur
Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan dari Principle and procedure of statistic : a biometri approach). Sumantri B (penerjemah). Edisi kedua.
PT.Gramedia. Jakarta : 748 p.
Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. 158 p.
Takahashi, M & K. Nakaya. 2004. Hemitriakis complicofasciata, a new whitefin topeshark (Carchahiniformes : Triakidae) from Japan.
Ichthyiological Research, 51: 248-255.
Teshima, K., M. Ahmad, & K. Mizue. 1978. Studies on sharks-14. Reproduction in the Telok Anson shark collected from Perak River. Malaysia. Jap. Journal.
Ichthyology. 25: 181-189.
Teshima, K. 1981. Studies on the reproduction of Japanese smooth dogfishes, Mustelus manazo and M. griseus.
The Journal of Shimonoseki University of Fisheries.
29: 113-199.
White, W.T, Compagno, L.J.V & Dharmadi. 2009.
Hemitriakis indroyonoi sp.nov., new species of houndshark from Indonesia (Carcharhiniformes
:Triakidae). Zootaxa. 2110: 41-57.
White, W.T.. 2007. Aspect of the biology of carcharhiniform sharks in Indonesia waters. Journal
Marine Biology. Assessment. U.K. 87:1269-1276.
White, W. T., P. R. Last, J. D. Stevens, G. K. Yearsley, Fahmi, & Dharmadi. 2006. Economically important sharks and rays of Indonesia. National Library of
Australia Cataloging-in-Publication entry. Australia.
329 p.
White W. T., M. E. Platell, & I. C. Potter. 2001. Relationship between reproductive biology and age composition and growth in Urolophus lobatus (Batoidea: Urolophidae). Marine Biology. 138: 135-147.
Yano, K., A. Ali, A. C. Gambang, I. A. Hamid, S. A. Razak, & A. Zainal. 2005. Sharks and rays of Malaysia and
Brunei Darussalam. Marine Fishery Research
Development and Management Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Terengganu, Malaysia: 213 p.
149
KOMPOSISI JENIS DAN PENYEBARAN IKAN LAUT–DALAM DI PERAIRAN
KEPULAUAN SANGIHE DAN TALAUD SULAWESI UTARA
SPECIES COMPOSITION AND DISTRIBUTION OF DEEP-SEA FISHES OF SANGIHE
AND TALAUD, NORTH SULAWESI WATERS
Fayakun Satria1), Bram Setyadji2), dan Andria Utama3)
1)Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jatiluhur 2) Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa – Bali
3) Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 9 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 November 2012; Disetujui terbit tanggal: 30 November 2012
ABSTRAK
Ketersediaan data dan informasi tentang ikan laut-dalam di perairan tropis khususnya di Indonesia bagian utara masih sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis ikan dan daerah penyebaran ikan laut-dalam di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. Penelitian dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2010 dengan menggunakan kapal riset Baruna Jaya IV (1.200 GT) merupakan kerjasama antara Indonesia–Amerika Serikat melalui “Explorasi Sangihe Talaud (Index SATAL).” Sebanyak 53 dari 32 famili ikan telah diidentifikasi. Terdapat ikan demersal laut-dalam ekonomis penting seperti:Beryx splendens, Hoplosthethus crassispinus, Setarches guentheri,
Lamprogrammus niger dan Grammicolepis sp. Perairan sebelah Utara Bunaken dan sebelah Timur Pulau Kawio
dengan gunung bawah lautnya diindikasikan merupakan lokasi dan habitat yang penting bagi jenis ikan tersebut. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi awal tentang daerah penyebaran sumberdaya ikan laut-dalam yang dapat dimanfaatkan pada masa depan di wilayah perairan utara Sulawesi khususnya di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud.
KATA KUNCI: Komposisi dan penyebaran, ikan laut-dalam, kepulauan Sangihe dan Talaud ABSTRACT :
The availability of data and information on deep-sea fishes in tropical waters especially in the northern part of Indonesia still very limited and rare. This paper attempted to provide information at the first time of species composition of deep-sea fishes found around Sangihe and Talaud Islands. The exploration was conducted from July to August 2010. A joint cruise between Indonesia and USA in the frame of “The Indonesia and USA Exploration Sangihe Talaud (Index SATAL)”using RV Baruna Jaya IV (1,200 GT). There were 53 species whithin 32 families have been discovered including economically important deep-sea demersal fishes i.e.Beryx splendens, Hoplosthethus crassispinus, Setarches guentheri, Lamprogrammus niger and Grammicolepis sp. North of Bunaken and East of Kawio waters with deep-sea seamounts were indicated important habitat for those economic valuable species. This paper is intended to provide preliminary information for species distribution of deep-sea fishes inhabited in North Sulawesi Waters, mainly in Sangihe and Talaud Islands.
KEYWORDS: Composition and distribution, deep-sea fishes, Sangihe and Talaud islands
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan – Jatiluhur Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152
PENDAHULUAN
Wilayah perairan laut dangkal mencakup 10 persen dari total wilayah lautan di dunia, sisanya berupa perairan laut dalam (Nybakken, 1986). Wilayah laut secara umum dibagi menjadi 3 zona utama berdasarkan intensitas keberadaan cahaya, yakni: zona euphotic, dispothic, dan
apothic (Sverdrup et al., 1942). Zona euphotic kaya akan
cahaya untuk kepentingan fotosintesis, berkisar di kedalaman antara 0 – 100 meter, zona disphotic adalah wilayah dimana penetrasi cahaya mulai berkurang (<200 m), sedangkan zona aphotic adalah wilayah dimana tidak ada cahaya sama sekali. Laut-dalam merupakan wilayah dimana penetrasi cahaya sudah tidak ada lagi dan umumnya berada pada kisaran kedalaman lebih dari 200 m (FAO, 2008).
Wilayah perairan laut-dalam di perairan New Zealand dengan sumberdaya ikannya seperti Orange roughy (Hoplostethus atlanticus) dan Alfonsino (Beryx splendens) atau jenis Ophididae serta ikan laut-dalam dari famili
Macrouridae di perairan Rusia telah lama dimanfaatkan dan
dieksploitasi secara komersial. Saat ini sumberdaya ikan laut-dalam di kedua wilayah tersebut telah mengalami lebih tangkap (Tyler,2008). Ikan laut-dalamdikenal memiliki karakter pertumbuhan lambat, umur yang panjang, matang gonad yang lama dan fekunditas rendah. Dengan demikian stok ikan laut-dalam apabila dieksploitasi akan lebih cepat punah dan lebih lama pulihnya bila dibandingkan dengan stok ikan di laut dangkal yang lebih produktif (Lack et al., 2003). Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan laut-dalam perlu dilakukan dengan sangat hati-hati untuk memastikan keberlangsungan pemanfaatannya secara berkelanjutan. BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159
Perairan Sangihe Talaud terletak diantara laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Dasar perairannya merupakan pertemuan antara lempeng Filipina dan lempeng Eurasia yang membentuk ridge memanjang dari utara pulau Kawio ke arah selatan sampai kepulauan Halmahera. Beberapa gunung bawah laut dan hydrothermal vents ditemukan di sekitar pulau Kawio, dan Mangehetang (Manini et al., 2007; Utami et al., 2005). Sekitar 90 % dari perairan di wilayah ini merupakan laut-dalam yang memiliki kedalaman lebih dari 200 meter dengan kedalaman maksimal mencapai 6.000 meter. Ketersediaan data dan informasi ikan laut-dalam di wilayah perairan Indonesia bagian utara masih sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi komposisi jenis dan daerah penyebaran ikan laut-dalam di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk melakukan penelitian lanjutan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan laut-dalam.
BAHANDANMETODE
Ekplorasi sumberdaya ikan laut-dalam dengan menggunakan trawl laut-dalam yang mampu dioperasikan
sampai kedalamn 900 m telah dilakukan menggunakan kapal riset Baruna Jaya IV (1.200 GT) milik Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) di perairan kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara pada bulan Juli – Agustus 2010. Kegiatan penelitian ini merupakan kerjasama penelitian yang bernama “INDEX-SATAL 2010 (Indonesia-USA Deep-sea Exploration of
the Sangihe Talaud Region)”. Percobaan penangkapan
dilakukan di tujuh lokasi terpilih (Gambar 1). Lokasi trawl mencakup bagian utara Pulau Talaud (stasiun 1 & 2), bagian barat Pulau Kawio (stasiun 3), bagian utara Pulau Sangihe (stasiun 4), bagian barat Pulau Siau (stasiun 5 & 6), dan bagian barat Pulau Bunaken (stasiun 7). Penentuan lokasi trawl dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor antara lain: 1) topografi dasar yang memungkinkan untuk kegiatan trawl; 2) kedalaman lebih dari 200 m dan maksimum 1000 m; 3) topografi dasar merepresentasikan karakter yang unik, seperti: habitat gunung bawah laut dan; 4) terdapat gerombolan ikan di lokasi sampling. Untuk mendapatkan deskripsi topografi dasar laut dipergunakan perangkat ELAC scientific
echosounder 3 dimensi, sedangkan untuk mengetahui
keberadaan gerombolan ikan di pergunakan fish finderKODEN.
Gambar 1. Lokasi stasiun trawl di perairan Sangihe dan Talaud
Figure 1. Trawl survey stations around Sangihe and Talaud islands.