• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

RISALAH KEBIJAKAN

Pusat Penelitian Kebijakan | Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan | 2020 h p://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/

B

erdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), capaian kemampuan siswa Indonesia usia 15 tahun untuk literasi membaca, matematika, dan sains berada di bawah rata-rata negara OECD (Puspendik, 2019). Dari ketiga bidang literasi yang diukur, perkembangan literasi membaca cukup memprihatinkan. Kurva perkembangan hasil PISA 2000 – 2018 untuk matematika dan sains relatif meningkat meskipun tidak signifikan, sementara kurva untuk membaca berbentuk bulan sabit—sempat naik hingga 2009, kemudian turun kembali ke titik semula seperti hasil PISA 2000.

Hasil PISA 2018 sebetulnya merupakan akumulasi dari mutu pendidikan kita. Penyebab rendahnya hasil PISA untuk literasi membaca dapat ditarik sampai ke kelas awal sekolah dasar (kelas 1, 2, dan 3). Hasil Early Grade Reading Assessment (EGRA) di tujuh provinsi menunjukkan, siswa kelas 2 dan 3 umumnya dapat membaca kata, namun tidak memahami makna dari kata tersebut (ACDP, 2014). Demikian pula studi yang dilakukan INOVASI (2018) menyimpulkan, masih ada siswa di kelas 1 - 3 SD yang belum mampu membaca. Sementara itu, Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) pada 2016 memperlihatkan, 47% siswa kelas 4 SD belum mampu membaca secara mandiri (Puspendik, 2016). Lemahnya kemampuan membaca terus terjadi sehingga lebih dari 55% anak berusia 15 tahun dalam tes PISA masuk kategori buta huruf secara fungsional, yakni dapat membaca teks namun tidak mampu menjawab pertanyaan sesuai teks tersebut (World Bank, 2018).

Rendahnya kecakapan membaca di kelas awal ibarat kondisi tengkes (stunting) dalam dunia kesehatan. Pada anak dengan kondisi tengkes, periode emas perkembangan otaknya terhambat karena kurangnya asupan nutrisi. Akibatnya, kapasitas intelektual anak tidak berkembang optimal. Begitu pula dengan lemahnya literasi membaca di kelas awal dapat berpengaruh terhadap proses belajar dan keberhasilan siswa dalam menuntaskan pendidikan.

Salah satu dampak dari rendahnya kecakapan membaca adalah “efek Matthew” (Stanovich, 1986), yaitu siswa mengalami kehilangan motivasi, hanya mampu menyerap sedikit informasi, dan tidak mampu memahami informasi yang kompleks. Akibatnya, siswa gagal belajar sekaligus berpotensi mengulang kelas, bahkan dapat berhenti sekolah. Penelitian terhadap pelajar di Amerika Serikat membuktikan, siswa yang tidak dapat membaca lancar di akhir kelas 3 SD memiliki risiko empat kali lebih besar berhenti sekolah tanpa mendapat ijazah (Hernandez, 2011).

MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI MEMBACA

DI KELAS AWAL

KONDISI TENGKES DALAM LITERASI MEMBACA

(2)

Hasil kajian “Praktik Baik Peningkatan Kemampuan Literasi Dasar Siswa Kelas Awal SD” menyimpulkan, terdapat tiga persoalan yang memengaruhi rendahnya kemampuan literasi membaca, yaitu (a) kualitas dan kompetensi guru; (b) kurikulum di kelas awal; dan (c) sumber daya belajar (perpustakaan dan buku bacaan).

Hasil telaah dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketiga persoalan tersebut berdampak langsung terhadap kualitas pembelajaran membaca di kelas awal.

Kualitas dan kompetensi guru merupakan kunci utama guna meningkatkan kualitas pembelajaran (Barber dan Mourshed, 2007; Shihab dkk., 2018). Rendahnya kompetensi guru membawa dampak langsung terhadap kualitas pembelajaran di dalam kelas. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap beberapa guru di tiga lokasi penelitian menyimpulkan, rendahnya kompetensi guru setidaknya tampak dari tiga hal.

TIGA PROBLEM UTAMA: GURU, KURIKULUM, DAN BAHAN BACAAN

Risalah kebijakan ini disusun berdasarkan laporan penelitian “Praktik Baik Peningkatan Kemampuan Literasi Dasar Siswa Kelas Awal SD” yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pratiwi, 2019). Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa daerah mitra Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) yang merupakan program kemitraan Indonesia-Australia, antara lain Kab. Bulungan di Kalimantan Utara, Kab.

Lombok Utara di Nusa Tenggara Barat, serta Sumba Barat Daya dan Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur. Data tersebut dikumpulkan pada medio 2019 melalui wawancara dan diskusi dengan guru, kepala sekolah, pengawas, serta fasilitator daerah yang merupakan pendamping yang dibentuk oleh INOVASI untuk menjalankan program mereka.

Pertama, guru tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengelola pembelajaran secara menarik dan kreatif. Proses pembelajaran umumnya dilakukan dengan ceramah. Di ruang kelas, hampir tidak ada dekorasi atau hiasan yang d a p a t b e r m a n f a a t m e n i n g k a t k a n keterpaparan siswa terhadap teks. Tidak ada pengaturan tempat duduk siswa yang dapat mempermudah guru memberikan perhatian lebih kepada siswa sesuai kemampuannya.

Kedua, gur u memiliki pengetahuan terbatas untuk mengajarkan literasi dasar s e c a r a b a i k . K u r a n g n y a m a t e r i pembelajaran membaca permulaan di buku t e k s ( b a c a p e m b a h a s a n m e n g e n a i persoalan kurikulum di bagian berikutnya), semakin diperburuk oleh rendahnya kemampuan guru dalam mengajarkan materi membaca permulaan.

Ketiga, guru tidak memiliki sensitivitas d a l a m m e n g e n a l i m a s a l a h d a n membangun solusi yang kontekstual.

Dalam mengelola pembelajaran, tim peneliti tidak menemukan adanya aktivitas reflektif baik yang dilakukan guru secara personal maupun kelompok (bersama k e p a l a s e k o l a h / g u r u l a i n ) u n t u k mengevaluasi metode, materi, serta kelengkapan belajar yang digunakan.

1

2

3

(3)

Kompetensi guru yang memprihatinkan diperburuk dengan tidak adanya materi khusus pembelajaran membaca permulaan di dalam buku teks (lihat buku tematik kelas 1 SD). Akibatnya, siswa tidak mendapat kesempatan belajar membaca permulaan secara sistematis dan memadai. Hal ini boleh jadi disebabkan karena penulis buku teks lebih memperhatikan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan tema, sehingga mengabaikan materi belajar membaca permulaan.

Siswa yang akan masuk kelas 1 SD tidak wajib memiliki kemampuan membaca (lihat Permendikbud tentang Penerimaan Peserta Didik Baru). Begitu pula pada kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), siswa tidak dituntut mampu membaca teks sederhana, melainkan cukup mengenal huruf, bunyi huruf, serta menulis dan membaca nama sendiri. Namun, kondisi ini agaknya tidak dipahami, sehingga buku yang tersedia berisi teks sederhana yang cukup kompleks dan tidak disertai materi belajar membaca permulaan yang cukup dan sistematis.

Selain masalah di atas, kondisi perpustakaan dan ketersediaan buku bacaan juga masih menjadi kendala. Buku bacaan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kemampuan literasi dan menumbuhkan budaya baca.

Namun, sejauh ini baru 68% SD di Indonesia yang memiliki perpustakaan, dan hanya 58% jika mempertimbangkan kondisi perpustakaan yang layak, yakni perpustakaan dalam kondisi baik dan rusak ringan (Dapodik Kemendikbud, 2019).

(4)

Dampak dari minimnya jumlah perpustakaan dan buku bacaan terlihat dari data BPS (2019) yang menyebutkan hanya sekitar 13,02% penduduk usia lima tahun ke atas yang mengunjungi perpustakaan. Data itu juga menunjukkan kebiasaan membaca di kalangan pelajar umumnya didominasi oleh membaca buku pelajaran sekolah (80,83%), kitab suci (73,65%), dan buku pengetahuan (50,97%) (BPS, 2019).

Survei minat baca oleh INOVASI (2017) di Kabupaten Bulungan dan Malinau, Kalimantan Utara menunjukkan hal serupa, yaitu minat baca siswa tinggi (84,76%), namun buku yang dibaca adalah buku teks pelajaran. Minat baca tersebut sayangnya tidak didukung tersedianya buku bacaan baik di lingkungan keluarga maupun sekolah.

Khusus di Kabupaten Bulungan, dari 12.067 buku bacaan di perpustakaan sekolah yang disurvei, yang terdiri dari 4.055 judul, hanya 393 judul (9%) yang sesuai untuk siswa kelas awal (INOVASI, 2017).

Krisis kemampuan literasi membaca di kelas awal dapat menjadi hambatan bagi upaya meningkatkan SDM yang berkualitas di masa depan. Bonus demografi dapat menjadi “bencana demografi” apabila kompetensi siswa tidak disiapkan dengan baik. Untuk menjawab tiga masalah utama yang memengaruhi rendahnya kemampuan literasi membaca di kelas awal, Kemendikbud perlu melakukan beberapa langkah berikut.

Pertama, terkait rendahnya kompetensi guru, maka perlu perbaikan sistem perekrutan guru untuk menjamin ketersedian guru yang berkualitas. Untuk meningkatkan kompetensi guru dalam jabatan, maka pelatihan dan pendampingan (misalnya melalui Kelompok Kerja Guru) perlu dilakukan untuk menjamin setiap guru memiliki kemampuan mengelola pembelajaran dengan baik.

Kedua, kurikulum kelas awal perlu disempurnakan dengan memberi ruang bagi materi pembelajaran membaca dan menulis permulaan. Buku teks sebagai cerminan dari kurikulum perlu mengedepankan materi belajar membaca dan menulis permulaan secara sistematis dan mengikuti tahapan-tahapan yang telah mapan.

Ketiga, akses siswa terhadap buku bacaan perlu diperluas, di antaranya dengan mewajibkan pembelian buku bacaan melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), pelonggaran pengadaan buku bacaan yang selama ini dibatasi melalui aplikasi SIPLah, penyediaan panduan memilih buku bacaan untuk kelas awal, pemanfaatan platform buku digital, serta mendorong sekolah bekerja sama dengan perpustakaan desa, perpustakaan komunitas, serta perpustakaan daerah.

Dengan menjalankan berbagai rekomendasi tersebut, diharapkan kualitas pembelajaran literasi dasar di kelas awal akan lebih meningkat.

REKOMENDASI

(5)

ACDP Indonesia. Pentingnya Membaca dan Penilaian di Kelas-kelas Awal. Lembar Kerja Desember 2014.

Hernandez, D. (2011). Double Jeopardy: How ird-Grade Reading Skills and Poverty Influence High School Graduation. New York, USA: e Annie E. Casey Foundation.

Pratiwi, Indah, Lukman Solihin, Genardi Atmadiredja, Bakti Utama. (2019). Ringkasan Eksekutif: Praktik Baik Peningkatan Kemampuan Siswa SD di Kelas Awal Literasi Dasar. Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan.

Pusat Penilaian Pendidikan. (2019). Pendidikan di Indonesia: Belajar dari PISA 2018. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemendikbud.

Stanovich, K. (1986). “Matthew Effects in Reading: Some Consequences of Individual Differences in the Acquisition of Literacy”. Reading Research Quarterly. 11 (4).

World Bank. 2018. Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia: Pendidikan untuk pertumbuhan.

Washington, DC: World Bank.

DAFTAR RUJUKAN

Risalah Kebijakan ini merupakan hasil dari penelitian/ kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan pada tahun 2019.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kompleks Kemdikbud, Gedung E, Lantai 19 Jl. Jenderal Sudirman-Senayan, Jaka a 10270

Telp. 021-5736365, 5713827.

website: puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id.

Tim Penyusun:

Indah Pratiwi Lukman Solihin Genardi Atamadiredja Bakti Utama

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi: Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan konsep, aplikas konsep, ilustrasi , penyajiannya sampai dengan contoh, sesuai dengan tingkat intelektual peserta didik.

Berdasarkan analisis dan sintesis yang mengacu pada penelitian relevan, melalui langkah-langkah strategi proses pembelajaran pemaknaan, yaitu pembelajaran matematika dengan

dapat digunakan dan tepat agar peserta didik aktif dalam proses pembelajaran sehingga mengalami peningkatan dalam aktivitas belajar.Nilai hasil belajar yang

Ilmu pengetahuan harus bisa diaIihkan (ditransformasikan) menjadi nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam manajemen, agar mencapai hasil yang optimal, efektif

Murine typhus dan leptospirosis memiliki kecenderungan berbagi rute dalam penularan terutama di daerah dengan populasi tikus yang tinggi.. Infeksi ganda penyakit ini pernah

3.6, 4.6 dan 5.2 3.6.1 Melakukan ujian kecergasan fizikal dengan menggunakan Bateri Ujian Standard Kecergasan Fizikal Kebangsaan Untuk Murid Sekolah Malaysia

Dibukanya Umbul Sewu sebagai objek wisata mempunyai pengaruh sosial terhadap masyarakat sekitar, seperti mengubah status sosial masyarakat yang tadinya pengangguran

Sesuai dengan penelitian ini, nilai kuat tekan benda uji pada penggunaan terak nikel sebagai agregat kasar lebih besar dibandingkan dengan nilai kuat tekan pada