• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. OBJEK MATERIAL DAN FORMAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. OBJEK MATERIAL DAN FORMAL"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2. OBJEK MATERIAL DAN FORMAL

2.1. Lipsync dan Variety Show CLBI

Lipsync (singkatan dari lip synchronisation) adalah istilah teknis untuk sikap menyesuaikan gerak bibir seseorang dengan rekaman vokal yang diucapkan atau dinyanyikan melalui speaker untuk menampilkan pertunjukan yang „live‟

dalam film atau acara televisi. Lipsync banyak digunakan dalam proses produksi film (produksi film animasi, alih bahasa), pengisi suara untuk tokoh dalam video game, dan industri musik.

Dalam industri musik, lipsync sering digunakan dalam proses produksi video musik dan sebagai pendukung kualitas vokal penyanyi dalam penampilan live di pertunjukan musik. Kehadiran lipsync dalam industri musik tidak bisa lepas dari munculnya Music Television atau MTV. Sejak kehadiran MTV pada tahun 1980-an, banyak penyanyi lebih memfokuskan diri pada efek visual untuk pertunjukan live daripada bernyanyi. Penyanyi sering melakukan lipsync ketika sibuk dengan gerakan tari dalam pertunjukan yang direkam maupun penampilan live. Penyanyi yang tercatat melakukan lipsync dalam pertunjukan musik live adalah Michael Jackson. Penampilan Michael Jackson dalam acara televisi Motown 25: Yesterday, Today, Forever (1983) mengubah lingkup panggung pertunjukan live. Pengarang buku Performance and Popular Music: History, Place and Time (2006) mencatat fakta bahwa ”Jackson lip-synced „Billie Jean‟”.

Penampilannya membawakan lagu tersebut dengan gerakan tari yang rumit dinilai sangat bagus, sehingga sepertinya tidak seorang pun peduli bahwa Michael Jackson tidak benar-benar menyanyi. Sejak tahun 1980-an, semakin banyak penyanyi profesional yang melakukan lipsync untuk mendukung kualitas vokal dalam pertunjukan musik. Teknik lipsync digunakan dalam pertunjukan live untuk mengatasi kesulitan menjaga kualitas vokal ketika membawakan lagu sambil menari. Beberapa penyanyi yang tercatat sering melakukan lipsync adalah Milli Vanilli, Madonna, Janet Jackson dan Britney Spears. Kini lipsync sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari industri musik pop.

(2)

Lipsync yang digunakan dalam pertunjukan musik live sering kali menimbulkan kontroversi di kalangan penonton. Penonton berharap menikmati penampilan penyanyi dengan kualitas vokal yang baik, bukan sekedar penyanyi yang berpura-pura menyanyi dengan rekaman suaranya. Penyanyi yang sering melakukan lipsync sering dituduh palsu dan dianggap tidak memiliki kemampuan menyanyi. Di China, setelah insiden Olimpiade Beijing 2008, lipsync dilarang dalam pertunjukan musik live dan penyanyi yang melakukannya dianggap melakukan penipuan. Pada tahun 2008, seorang gadis berusia 9 tahun ketahuan melakukan lipsync dengan vokal milik gadis lain saat menyanyi di Olimpiade Beijing. “Panitia Olimpiade Beijing melakukan tindakan kontroversial.

Memasang gadis muda yang bernyanyi lipsync saat upacara pembukaan Olimpiade. Panitia beralasan tindakan itu dilakukan karena penyanyi sebenarnya tidak cukup cantik untuk ditunjukkan ke seluruh dunia dengan alasan gadis itu dinilai tidak cukup cantik untuk mewakili China” (Nyanyi Lip Sync, 2 Penyanyi China Didenda Rp 110 Juta, 2010). Bahkan pada September 2009, dua penyanyi di China didenda oleh Kementrian Kebudayaan China saat ketahuan melakukan lipsync dalam sebuah konser musik.

Namun, saat ini lipsync dalam industri musik yang bertujuan untuk hiburan atau sebagai „seru-seruan‟ tengah menjadi tren di masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Menyanyi lipsync tidak lagi dilakukan oleh penyanyi profesional dalam lingkup industri musik, tapi dilakukan juga oleh masyarakat awam dan selebritas dengan beragam profesi di dunia hiburan melalui media sosial dan televisi. Salah satu acara televisi yang mempopulerkan lipsync ini adalah Variety Show Lipsync Battle di Amerika. Acara ini kemudian diadopsi di Indonesia dan ditayangkan oleh stasiun televisi lokal NET. TV. Melalui CLBI, lipsync dikemas dalam format acara televisi berupa variety show adu menyanyi yang lucu dan menghibur.

Televisi merupakan salah satu media yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Televisi dengan berbagai jenis program yang ditampilkannya pada dasarnya memiliki 3 fungsi, yakni memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi,

(3)

sebagaimana tujuan utama khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan dan untuk mendapatkan informasi. Tiga pokok fungsi televisi yaitu:

1. Fungsi Penerangan (The Information Function)

Televisi merupakan media yang mampu menyiarkan informasi yang amat memuaskan. Hal ini disebabkan dua faktor terdapat didalamnya, yaitu:

“immediacy” dan “realism”. Immediacy mencakup pengertian langsung dan dekat. Peristiwa yang disiarkan stasiun televisi dapat dilihat dan didengar oleh pemirsa pada saat peristiwa itu berlangsung, seolah-olah mereka berada ditempat peristiwa itu terjadi. Sedangkan realism mengandung makna kenyataan, dimana televisi menyiarkan informasi secara audio visual sesuai dengan fakta. Dengan melaksanakan fungsinya sebagai media penerangan, stasiun televisi selain menyiarkan informasi dalam bentuk siaran pandang mata, berita dilengkapi dengan gambar-gambar yang sudah tentu faktual.

2. Fungsi Pendidikan (The Educational Function)

Sebagai media massa, televisi merupakan sarana yang ampuh untuk menyiarkan acara pendidikan kepada khalayak yang jumlahnya begitu banyak secara simultan. Sesuai dengan makna pendidikan, yakni pengetahuan dan penalaran masyarakat televisi menyiarkan acara-acara tertentu secara impisit mengandung pendidikan seperti film, kuis dan sebagainya yang disebut Educational Television (etv), yaitu acara pendidikan yang disisipkan dalam siaran yang sifatnya umum. Karena keampuhannya itulah, maka fungsi pendidikan yang dikandung televisi ditingkatkan lagi, sehingga dinamakan sarana pendidikan jarak jauh yang disebut instruction television.

3. Fungsi Hiburan (The Entertainment Function)

Fungsi hiburan yang melekat pada televisi siaran sangat dominan. Sebagian besar dari alokasi waktu masa siaran diisi oleh acara-acara hiburan. Hal ini dapat dimengerti karena pada layar televisi dapat ditampilkan gambar hidup serta suara bagaikan kenyataan dan dapat dinikmati sekalipun oleh khalayak yang tidak mengerti bahasa asing bahkan yang tuna aksara (Ardianto, Elvinaro, Erdiyana, and Komala, 2005, p. 128).

(4)

Variety Show merupakan bagian dari program televisi yang berfungsi sebagai hiburan. Menurut Naratama, program variety show merupakan program acara televisi nonfiksi (nondrama) yang diproduksi melalui proses pengolahan imajinasi kreatif dari realitas kehidupan sehari-hari tanpa harus menjadi dunia khayalan (Naratama, 2004).

“Variety show adalah format acara televisi yang mengkombinasikan berbagai format lainnya, seperti talkshow, magazine show, quiz, games show, music concert, drama dan sitcom (komedi situasi). Variasi acara tersebut dipadukan dalam sebuah pertunjukan dalam bentuk siaran langsung maupun siaran rekaman.” (Naratama, 2004, p. 71).

CLBI merupakan sebuah variety show dengan format hiburan yang memadukan musik, adu menyanyi dan lipsync. Dengan mengangkat figur selebritas sebagai pelakon adu menyanyi lipsync, penonton diajak untuk menikmati sebuah variety show dengan format baru. Variety Show CLBI menampilkan adu menyanyi lipsync yang menyerupai kontes adu menyanyi sesungguhnya. Selebritas yang diundang untuk tampil di variety show ini melakukan persiapan semaksimal mungkin untuk tampil di atas panggung.

Persiapan yang dilakukan oleh selebritas sebelum tampil di panggung meliputi kostum yang akan dipakai, latihan gaya panggung berupa koreografi tari, berlatih melakukan lipsync yang tepat dan sesuai dengan lirik lagu.

Selebritas tampil di panggung lengkap dengan mikrofon, melakukan gaya panggung diiringi penari latar, ditonton oleh ratusan penonton di lokasi syuting dan dinilai oleh juri yang disebut dengan istilah panelis. Selebritas bebas berekspresi ketika tampil membawakan lagu penyanyi favoritnya, baik dengan meniru tampilan penyanyi asli maupun berkreasi dengan menampilkan gaya panggung sendiri. Penampilan lipsync para selebritas ini dinilai oleh panelis berdasarkan beberapa kriteria unsur-unsur visual, seperti ketepatan gerak mulut dan lirik, kostum, koreografi dan gaya panggung serta penghayatan lagu.

Objek material dalam penelitian ini adalah visualisasi lipsync dalam tayangan Variety Show CLBI. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, belum ditemukan penelitian atau kajian ilmiah dengan topik serupa. Sehingga dapat

(5)

disimpulkan bahwa objek material tersebut belum pernah dikaji secara ilmiah sebelumnya.

2.2. Posmodernisme, Dekonstruksi dan Camp dalam Variety Show CLBI Posmodernisme adalah gerakan kebudayaan yang dicirikan oleh penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme, serta kecenderungannya ke arah keanekaragaman, ke arah melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, dan pendangkalan makna kebudayaan. Menurut Strinati (2003), posmodernisme menguraikan lahirnya suatu tatanan sosial di mana kekuatan media massa dan budaya populer mengatur dan membentuk segala macam hubungan sosial. Citra media semakin banyak mendominasi rasa realitas maupun bagaimana masyarakat mendefinisikan diri dan dunia di sekitarnya.

Dalam kehidupan posmodern, masyarakat kontemporer tidak dapat menempatkan dirinya sendiri, perwujudan spesifiknya termasuk:

1. Mencopot semua gaya masa lalu dan sekarang

2. Kehilangan hubungan dalam gaya artistik dalam pastiche

3. Transformasi dari representasi dunia menjadi citraan dan tontonan 4. Kerusakan dari usaha perbedaan antara budaya tinggi dan rendah 5. Budaya simulakrum atau tiruan (tidak ada sesuatu yang asli)

6. Fashion untuk nostalgia yang dalam sejarahnya bukan sebagai objek dari repre- sentasi tapi dari konotasi gaya bahasa

7. Kelebihan kapasitas dari individual untuk menempatkan diri mereka dalam pers- pektif atau teori hiperrealitas posmodern (Barker, 1997)

Dalam karya posmodernisme, apa yang disebut tanda bisa sangat ambigu dan merupakan bentuk ironis dari fungsi; merupakan penopengan, pemutarbalikan, pelecehan, plesetan dari fungsi (Piliang, 2003). Baudrillard membedakan tiga zaman dan tiga model relasi pertandaan yang berbeda, yaitu:

Tabel 2.1. Model Relasi Pertandaan Baudrillard

ERA PRINSIP RELASI PERTANDAAN

Pramodernisme Form Follow Meaning Penanda/Makna Ideologis

(6)

Modernisme Form Follow Function Penanda/Fungsi

Posmodernisme Form Follow Fun Penanda/Penanda, Makna Ironis

Di dalam dunia posmodernisme, tampilan permukaan dan gaya menjadi penting. Menurut Harvey: “citraan mendominasi narasi”. Masyarakat semakin sering mengonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukannya “manfaat”nya.

Masyarakat mengonsumsi citra dan tanda dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan. “Permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan sifat main-main dan senda gurau mendominasi dengan mengorbankan isi, substansi dan makna.

Akibatnya sifat-sifat seperti kelebihan artistik, integritas, keseriusan dan autentisitas cenderung diabaikan” (Strinati, 2003, p. 257-258).

Apa yang dinyatakan sebagai estetika seni dalam wacana postmodern kini malah sengaja menjeburkan diri dalam huitan rimba citra-citra dan tanda-tanda yang tanpa batas. Hal ini dapat dilihat dari praktek seni posmodern yang nyata- nyatanya menghancurkan makna-makna, menampilkan batas ekstrimnya atau menyajikan bahkan merayakan dimensi-dimensi yang selama ini dinyatakan sebagai sebuah ketabuan, kecabulan, dan yang imoralitas. Estetika dalam wacana posmodern kini tidak lagi mengindahkan perbedaan yang indah dan yang buruk, bahkan dengan pasti estetika dalam wilayah baru ini menyerap nilai-nilai keburukan sebagai yang estetis. Kini praktik estetika beralih kepada pendekatan- pendekatan baru yang bersifat eklektik, irasional dan ironis.

Dekonstruksi

Menurut Piliang (2003, p. 237-238) dasar pemikiran dalam wacana posmodernisme adalah dekonstruksi:

“Salah satu kecenderungan tekstual yang berkembang di dalam wacana posmodernisme afirmatif adalah dekonstruksi. Menurut Derrida, dekonstruksi sebagai sebuah bentuk pencairan, peleburan, atau pembongkaran terhadap berbagai konvensi sosial, konsensus moral, kode kultural, makna transendental, atau kebenaran ilahiah yang sebelumnya disepakati bersama. Segala sesuatu bisa menjadi tanda, segala sesuatu boleh diekspos sebagai sebuah komoditi dan apapun

Sumber: Piliang, 2003, p. 164

(7)

boleh dipertontokan selama ia mampu menciptakan kesenangan dan keuntungan tanpa perlu lagi asumsi moral di baliknya–anything goes.”

Dalam wacana posmodernisme terdapat 2 kecenderungan utama yang membangun posmodernisme itu sendiri, yaitu posmodernisme skeptis yang melihat berbagai dekonstruksi batas yang melihat dunia sedang digiring ke arah self destruction, dan posmodernisme afirmatif yang melihat segala hal secara relatif dan mengapresiasi segala bentuk ekspresi, yang memberi tempat terhadap segala bentuk pelanggaran kode, anything goes (Piliang, 236)

Derrida menjelaskan dekonstruksi sebagai “bentuk pencairan, peleburan atau pembongkaran terhadap berbagai konvensi sosial, konsensus moral, kode kultural, makna transendental, atau kebenaran ilahian, yang sebelumnya disepakati” (Piliang, 2003, p. 238). Dekonstruksi pada dasarnya mempertanyakan dasar dan dampak dari konsep oposisi yang menjadi bahan wacana filosofis seperti alam, budaya, fakta dan nilai, ideal dan material yang diterima begitu saja.

Derrida melacak asumsi-asumsi tersembunyi yang terdapat di balik hal-hal yang tersurat. (Norris, 2003). Dekonstruksi membuka sebuah ruang bagi permainan bebas bahasa (language game), permainan bebas tanda (free play of sign), yang telah menggiring wacana posmodernisme ke arah sikap yang merayakan tanda ketimbang makna, penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), citra (image) ketimbang makna, penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), citra (image) ketimbang kebenaran (logos) (hal 246). Dalam dekonstruksi, apapun boleh.

Pembacaan dekonstruktif hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal. Akibat dari permainan dekonstruksi ini adalah semacam pendewasaan diri, kerelaan untuk membuka diri pada kenyataan yang pasti menurut orang lain hanyalah jejak dari sesuatu yang barangkali tidak pernah mereka temukan namun ada (Norris, 2003, p. 14-15).

Camp

Konsep-konsep estetik dalam wacana posmodern secara luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna dan juga anti makna. Lima idiom wacana estetika posmodern adalah pastiche, parodi, kitsch, camp dan

(8)

skizofrenia. Salah satu wacana estetika postmodern, camp, merupakan duplikasi dari apa yang telah ditemukan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri. Bahan bakunya adalah kehidupan sehari-hari dalam kehidupan nyata yang didistorsi sedemikian rupa sehingga menjadi bukan dirinya sendiri. Camp menjunjung tinggi ketidaknormalan dan ketidakbiasaan. Camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya, dengan mengorbankan isi. Camp dicirikan oleh upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, dengan pengertian ingin menjadi berlebihan, spesial atau glamor. Salah satu penanda yang jelas tentang posmodernisme dalam televisi adalah daur ulang gaya dan arti dari periode sejarah yang berbeda atau pastiche, daur ulang camp, dan hilangnya kedalaman sejarah (Barker, 1997)

2.3. Semiotika dan Kode-kode Televisi John Fiske

„Semiotika‟ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan ilmu (teori) tentang lambang dan tanda (dalam bahasa, lalu lintas, kode morse, dsb.).

Fiske (2004) menjelaskan semiotika sebagai studi tentang tanda dan cara tanda- tanda itu bekerja. Tiga bidang studi utama dalam semiotika yaitu:

1. Tanda itu sendiri

Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu bekerja dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu saling terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda.

Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja.

Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaannya dan bentuknya sendiri (Fiske, 2004, p. 61).

(9)

Semiotika visual, menurut Charles Morris, dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan yaitu dimensi sintaktik, semantik dan pragmatik yang saling berkaitan satu sama lain (Piliang, 2003).

1. Sintaktik: studi tentang tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya (struktur dan kombinasi tanda).

2. Semantik: studi mengenai relasi antara tanda dan signifikasi atau maknanya (makna sebuah tanda atau teks).

3. Pragmatik: studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya (interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkrit terhadap berbagai peristiwa serta efek/dampaknya terhadap pengguna (penerimaan atau efek tanda pada masyarakat).

Penelitian ini menggunakan dimensi pragmatik untuk menyelidiki hubungan di antara tanda-tanda pada objek material penelitian ini. Dalam dimensi pragmatik terdapat hubungan antara tanda dan interpretan. Hubungan tersebut berupa proses atau produksi makna yang menjadi alasan mengapa tanda-tanda tersebut ditampilkan sedemikian rupa. Secara tidak langsung terdapat sebuah produksi makna dari hubungan tanda-tanda tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam pragmatik terdapat proses representasi berupa produksi makna.

Dimensi pragmatik, yaitu tingkat produksi dan konsumsi tanda-tanda, juga merupakan dimensi untuk memahami fenomena yang terjadi pada karya-karya posmodernisme. Di dalam semiotika terdapat representasi (produksi makna) dimana proses produksi makna tersebut terkandung dalam dimensi pragmatik yang terbentuk dari hubungan tanda dan interpretan.

Interpretan memainkan peran penting dalam melakukan pemaknaan sebuah teks. Pembacaan teks ditentukan oleh pengalaman kultural interpretan.

Interpretan membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut.

Teori yang digunakan untuk memaknai dan menganalisa tanda-tanda yang ditampilkan dalam teks ini adalah semiotika yang mengacu kode-kode televisi oleh John Fiske. Kode televisi ini merupakan kode-kode yang sering digunakan

(10)

untuk meneliti dan menganalisis teks atau tanda dalam pertelevisian. Kode televisi oleh John Fiske yang digunakan untuk menganalisa tanda tersebut terdiri dari tiga level, yaitu level realitas, representasi dan ideologi. Berikut ini adalah bagan kode-kode televisi John Fiske:

Level pertama:

“REALITA”

Penampilan, busana, tata rias, lingkungan, perilaku, ucapan, gerakan, ekspresi, suara

Ini dikodekan secara elektronik dari kode teknik seperti:

Level kedua:

“REPRESENTASI”

Kerja kamera, pencahayaan, penyuntingan, musik, suara

Yang mengirimkan kode representasi konvensional, menjadi bentuk- bentuk representasi, contoh :

Narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, pemeran, dll

Level ketiga:

“IDEOLOGI”

Yang terkategorisasi melalui hubungan dan entitas sosial yang dapat diterima oleh kode ideologi, seperti:

individualisme, patriarki, kelas, materialisme, dll

Gambar 2.1. Kode Televisi John Fiske Sumber: Fiske. Television (1987, p. 5)

Menurut Fiske (1997), kode-kode televisi oleh John Fiske bekerja dalam sistem hierarki yang kompleks seperti pada gambar 2.1. dan terbagi dalam tiga level yang saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan untuk merepresentasikan

} } }

(11)

kode-kode yang muncul pada televisi. Peristiwa yang ditayangkan dalam televisi telah „di-incode‟ oleh kode-kode sosial yang terbagi dalam tiga level berikut:

1. Level pertama adalah reality atau realitas.

Pada level ini, peristiwa dikonstruksikan sebagai realitas oleh media, bagaimana realitas atau objek tersebut ditampilkan dan bagaimana peristiwa tersebut ditandakan. Di dalam level realitas, kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah appearance (penampilan); environment (lingkungan);

expression (ekspresi); serta gesture (gerakan).

2. Level representation atau representasi.

Pada level ini, sesuatu digambarkan sebagai realitas dan bagaimana realitas itu digambarkan menggunakan perangkat teknis, dilambangkan secara elektronik oleh kode-kode teknik. Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah kamera (kerja kamera), lighting (teknik pencahayaan), editing (penyuntingan), music (kerja musik).

3. Level ideology atau ideologi.

Pada level ini, dilihat hasil dari realita dan representasi yang dihubungkan dan diorganisasikan dalam koherensi sosial. Kode sosial yang termasuk di dalamnya adalah individualism (individualisme), patriarchy (patriarki), class (kelas), race (ras), materialism (materialisme), dan capitalism (kapitalisme).

2.3.1. Kode-kode Sosial dalam Level Realitas

Dalam level realitas, kode-kode yang termasuk di dalamnya adalah kode- kode seperti penampilan, perilaku, ekspresi dan lingkungan.

1. Appearance (penampilan)

Menurut Argyle penampilan dibedakan menjadi 2: penampilan terkendali, seperti rambut, pakaian, perhiasan dan sebagainya; serta penampilan yang kurang terkendali, seperti berat badan, tinggi badan dan sebagainya.

Penampilan digunakan untuk mengirimkan pesan tentang kepribadian, status sosial, dan khususnya, konformitas (Fiske, 2003, p. 96).

2. Behaviour (perilaku)

(12)

Tanggapan atau reaksi individu terhadap lingkungan. Secara biologis, perilaku adalah suatu kegiatan organisme yang bersangkutan. Aktivitas manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, seperti tertawa, berjalan dan sebagainya.

b. aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain (dari luar), misalnya berpikir, berfantasi, bersikap, dll. (“Hubungan antara Literatur”, 2008).

3. Expression (ekspresi)

Dibagi menjadi posisi alis, mata, bentuk mulut dan sebagainya. Penggabungan dari ekspresi bagian tubuh dapat menunjukkan suatu ekspresi wajah yang secara universal hampir sama.

4. Environment (lingkungan)

Lingkungan adalah keadaan ruangan di sekitar objek. Lingkungan dapat memberikan pengaruh dan dapat membentuk perilaku seseorang. Seseorang yang memiliki jenis kelamin sama tetapi memiliki lingkungan interaksi yang berbeda akan menghasilkan pribadi yang berbeda pula.

2.3.2. Kode-kode Sosial dalam Level Representasi

Dalam level representasi, kode-kode yang termasuk di dalamnya adalah kode-kode teknik seperti kerja kamera, penyuntingan, musik dan suara.

1. Camera (kerja kamera)

Kamera adalah alat yang digunakan untuk pengambilan gambar. Pengambilan gambar atau shot bertujuan untuk menyampaikan makna pesan. Shot mengombinasikan berbagai komposisi gambar ke dalam sambungan gambar yang utuh dan indah. Dalam pengambilan gambar, digunakan tata cara pengukuran sebuah gambar, atau lebih dikenal dengan shot size. Pada prinsipnya, ada 9 shot sizes yang berlaku dalam dunia televisi, antara lain:

a. Extreme Long Shot

Teknik ini digunakan untuk mengambil gambar yang sangat jauh, panjang, luas, dan berdimensi lebar. Shot ini biasanya digunakan untuk menampilkan komposisi gambar indah pada sebuah panorama, menunjukkan setting (waktu dan tempat) juga untuk opening scene (adegan pembuka).

(13)

b. Very Long Shot

Teknik ini mengambil gambar yang panjang, jauh, dan luasnya lebih kecil ukurannya dari Extreme Long Shot. Shot ini biasa digunakan untuk pengambilan gambar opening scene atau bridging scene (adegan perantara di antara adegan-adegan lain) di mana penonton perlu divisualkan untuk menggambarkan adegan kolosal atau banyak objek, misalnya adegan perang di pegunungan, kota metropolitan dan sebagainya.

c. Long Shot

Teknik ini mengambil gambar seluruh tubuh manusia seutuhnya dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Shot ini biasanya digunakan untuk memperlihatkan karakter dan penampilan. Long Shot dikenal juga sebagai Landscape Format yang mengantarkan mata penonton kepada keluasan suatu suasana dan objek.

d. Medium Long Shot

Teknik ini mengambil gambar dengan ukuran shot dari kepala hingga setengah kaki. Shot ini digunakan untuk memperkaya keindahan gambar, terutama pada saat transisi gambar yang disambungkan dengan komposisi gambar yang lain.

e. Medium Shot

Teknik ini mengambil gambar subjek orang dari tangan hingga ke atas kepala.

Shot ini digunakan agar penonton dapat melihat dengan jelas ekspresi dan emosi dari talent. Medium Shot juga dikenal sebagai posisi pas foto.

f. Middle Close Up

Teknik ini mengambil gambar yang berfokus pada subjek orang saja. Shot ini digunakan untuk memperdalam gambar dengan lebih menunjukkan profil dari objek yang direkam. Sedangkan latar belakang (background) menjadi urusan nomor dua. Yang penting adalah profil, bahasa tubuh, dan emosi objek yang direkam bisa terlihat lebih jelas.

g. Close Up

Teknik ini mengambil gambar penuh dari leher hingga ke ujung batas kepala.

Shot ini bisa diartikan sebagai komposisi gambar yang “fokus kepada wajah”

dan sering kali menjadi bagian dari ungkapan emosi dari objek utama. Shot ini juga merupakan teknik paling baik untuk menggambarkan emosi atau reaksi

(14)

seseorang dalam sebuah adegan, mulai dari marah, kesal, sedang, sedih, kagum, kaget hingga jatuh cinta. Shot ini dapat menciptakan gambar yang

„berbicara‟.

h. Big Close Up

Teknik ini lebih tajam dari Close Up. Dalam teknik ini, objek dapat bermain mimik wajah seperti kedalaman pandangan mata, kebencian pada raut wajah dan keharuan yang mendalam. Pada komposisi gambar ini akan sulit melakukan fokus, tapi kelemahan ini justru dianggap sebagai kekuatan karena gambar yang sulit difokuskan mempunyai nilai artistik tersendiri.

i. Extreme Close Up

Kekuatan teknik ini adalah pada kedekatan dan ketajaman yang hanya fokus pada satu objek saja seperti ekspresi pada mata, gerakan tangan atau mulut yang sedang berbicara (Naratama, 2004).

Kamera juga memiliki cara pengambilan gambar yang dilihat dari sudut pandang kamera, yaitu sudut pandangan kamera terhadap objek yang berada dalam frame, antara lain:

a. Bird’s Eye View

Sudut pengambilan gambar dilakukan dari tempat yang tinggi dan menampilkan objek yang sangat kecil

b. High Angle Shots

Pengambilan gambar dilakukan dengan posisi kamera berada pada tempat yang tinggi, tapi tidak setinggi pada Bird’s Eye View. Lingkungan sekitar terkesan lebih menonjol dibanding objek.

c. Eye-Level Shots.

Pengambilan gambar objek setara dengan tinggi kamera atau sesuai standar mata melihat atau pandangan orang ketika melihat objek yang ada di depannya.

d. Low Angle

Pengambilan gambar dilakukan dengan posisi kamera di bawah objek, biasanya untuk menampilkan kesan tinggi dan berkuasanya objek, juga untuk mendramatisir ekspresi wajah dan gerakan fisik (kedekatan).

(15)

e. Oblique Angle

Kamera melakukan pengambilan gambar secara menyamping, mengesankan objek yang limbung.

Selain itu, ada juga teknik pergerakan kamera yang berfungsi untuk mengikuti pergerakan karakter serta objek. Pergerakan kamera sering digunakan untuk menggambarkan situasi dan suasana sebuah lokasi panorama. Jenis-jenis pergerakan kamera antara lain:

a. Pan

Merupakan teknik pergerakan kamera secara horizontal (kanan dan kiri) dengan posisi kamera statis atau tidak bergerak.

b. Tilt

Merupakan teknik pergerakan kamera secara vertikal (atas dan bawah) dengan posisi kamera statis atau tidak bergerak. Teknik ini sering digunakan untuk mengambil gambar bangunan seperti gedung-gedung tinggi, atau memperlihatkan objek yang tinggi atau raksasa di depan seorang karakter.

c. Tracking

Merupakan teknik pergerakan kamera akibat perubahan posisi kamera secara horizontal. Pergerakan dapat ke arah mana pun sejauh masih menyentuh permukaan tanah.

d. Crane Shot

Merupakan teknik pergerakan kamera akibat perubahan posisi kamera secara vertikal, horizontal, atau kemana pun selama masih di atas permukaan tanah (melayang). Crane shot sering digunakan untuk menggambakan situasi kawanan kota, bangunan, areal taman dan sebagainya.

2. Lighting (pencahayaan)

Mood (suasana) dari sebuah adegan tercipta melalui penggunaan lighting.

Terdapat dua intensitas pencahayaan yaitu low key (untuk suasana santai dan cerah) dan high key (untuk suasana intim, misterius, dramatis). Menurut Himawan Pratista, tata cahaya memiliki empat unsur, yaitu kualitas lighting (intensitas pencahayaan); arah lighting (dari depan, samping, belakang, bawah dan atas); sumber cahaya (sumber cahaya utama dan pengisi); dan warna

(16)

cahaya (merujuk pada penggunaan warna sumber cahaya dan penggunaan filter untuk menghasilkan pencahayaan yang dikehendaki).

3. Editing (penyuntingan)

Pada tahap produksi, editing mengacu pada proses pemilihan shot yang akan digunakan. Pada tahap produksi, editing mengacu pada teknik yang digunakan untuk menyambungkan tiap shot-nya (Pratista, 2008). Jenis-jenis editing yaitu:

a. Cut

Merupakan transisi shot ke shot secara langsung.

b. Dissolve

Merupakan transisi shot dimana gambar pada shot sebelumnya selama sesaat bertumpuk dengan shot sesudahnya.

c. Fade

Merupakan transisi shot secara bertahap dimana gambar secara perlahan intensitasnya bertambah gelap sehingga seluruh frame berwarna hitam dan ketika gambar muncul kembali (bertambah terang), shot telah berganti.

d. Wipe

Merupakan transisi shot dimana frame sebuah shot bergeser ke arah kiri, kanan, atas, bawah atau lainnya, hingga berganti menjadi sebuah shot baru.

e. Superimpose

Memadukan dua gambar atau lebih dalam satu frame.

4. Music (musik)

Menurut Marselli Sumarno, ada 8 fungsi musik (dalam Setiorini 26), yaitu:

a. Membantu merangkaikan adegan sehingga menimbulkan kesan adanya kesatuan

b. Menutupi kelemahan atau kecacatan sebuah film. Kelemahan tersebut biasanya terdapat pada acting yang lemah atau dialog yang dangkal sehingga dapat dijadikan lebih dramatis jika diiringi oleh musik yang tepat.

c. Menunjukkan suasana hati dari pemeran

(17)

d. Menunjukkan suasana waktu dan tempat. Misalnya dalam penggunaan gitar akustik, gamelan Jawa, gitar Hawaii dan sebagainya akan dengan mudah membuat penonton mempersepsi lokasi tertentu.

e. Mengiringi adegan dengan ritme cepat misalnya dalam adegan kejar-kejaran antara penjahat dengan polisi. Adegan akan bertambah seru ketika diiringi dengan musik beritme cepat.

f. Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan dramatik.

g. Menegaskan karakter lewat musik misalnya tokoh utama perempuan diberi iringan musik yang lembut.

h. Mengiringi kemunculan credit title

Kode-kode tersebut mentransimisikan kode representasional konvensional yang membentuk representasi-representasi seperti naratif, dialog, aksi, konflik, latar, dan casting.

2.3.3. Kode-kode Sosial dalam Level Ideologi

Raymond William mengatakan bahwa ideologi memiliki 3 kegunaan utama:

a. Sistem karakteristik kepercayaan dari kelas atau grup tertentu.

b. Sistem keyakinan ilusi-ide palsu atau kesadaran yang keliru, yang bisa berlawanan dengan pengetahuan ilmiah.

c. Proses umum dari produksi ide dan arti.

Level ideologi adalah hasil dari level realita dan level representasi yang terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi.

Di dalam level ideologi John Fiske, kode yang termasuk di dalamnya adalah ideologi komodifikasi.

Dalam penelitian ini digunakan metode semiotika untuk menemukan

„pesan tersembunyi‟ di balik variety show CLBI. Pada dasarnya, tayangan televisi (audio, visual dan gerak) termasuk variety show merupakan sejumlah tanda dan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

2.4. Semiotika dalam Variety Show CLBI

(18)

Dalam penelitian ini digunakan sistem analisis menggunakan semiotika kode-kode televisi menurut John Fiske, yaitu menganalisis dan memaknai tayangan CLBI pada level realitas, representasi dan ideologi.

Pengaplikasian semiotika kode-kode televisi John Fiske dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2. Aplikasi Semiotika Kode-kode Televisi John Fiske Aplikasi semiotika kode-kode televisi John Fiske 1.

Level realitas

Mengidentifikasi unsur-unsur visual dalam tayangan Variety Show CLBI

2.

Level representasi

Menelaah bentuk visualisasi lipsync dalam tayangan Variety Show CLBI

3.

Level ideologi

Memaknai dan mengemukakan argumentasi mengenai makna tersembunyi di balik tayangan Variety Show CLBI

Gambar

Tabel 2.1. Model Relasi Pertandaan Baudrillard
Tabel 2.2. Aplikasi Semiotika Kode-kode Televisi John Fiske  Aplikasi semiotika kode-kode televisi John Fiske  1

Referensi

Dokumen terkait

Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menguji variabel bebas yaitu durasi, frekuensi, Atensi secara serentak ataupun sendiri-sendiri berpengaruh signifikan

Penelitian ini bertujuan; 1) mengetahui tingkat profesionalisme guru pada Mad- rasah Tsanawiyah di kecamatan Duampanua kabupaten Pinrang. 2) mengetahui tingkat prestasi siswa

Metode yang digunakan adalah metode survei dengan mengumpulkan data di lapangan tentang tingkat pelayanan lalu lintas (LOS) jalan Diponegoro Kota Tegal sebelum dan

Isolat NPS yang berasal dari pertanaman jagung Seluma dan Kaur lebih efektif dibanding dengan isolat Bengkulu Selatan, karena kemampuannya membunuh S.. litura lebih cepat dan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR KARTU RENCANA STUDI TAHUN AKADEMIK 20161.. PROGRAM STUDI

Guru hendaknya lebih kreatif lagi memilih model pembelajaran yang. sesuai dengan kondisi siswa agar proses pembelajaran tidak terlihat

1. Pengetahuan Ibu yang ada di Play Group Ar-Rohim Kelas B Desa Jati Pelem Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa sebagian

Refleksi Penerapan Pembelajaran dengan Menggunakan Model Project Based Learning Untuk Meningkatakn Motivasi Belajar Siswa di kelas VIII-8 SMP Negeri 49 Bandung.. Motivasi