• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana (Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria) di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana (Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria) di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ada Na Gau: Public Administration ISSN: 2723-5505

Volume 2 ∣ Issue 2 ∣ Desember 2021

745

Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana (Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria)

di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo

Muhammad Natsir A1*, Imran Ismail², Sitti Aminah³

1Mahasiswa Program Pascasarjana, Program Studi Administrasi Publik, Unversitas Puangrimaggalatung

2,3Program Studi Admnistrasi Publik, Unversitas Puangrimaggalatung

*Corresponding author: email: muh.natsir2014@gmail.com ABSTRACT

In Wajo Regency, according to conditions in December 2018, it showed that the level of participation in family planning was quite good, from the current number of couples of childbearing age (PUS) (19,860), who are currently active family planning participants (PA) totaling 13,162 (66, 27 %). Of the current active family planning participants (PA), 3,067 acceptors (0.23%) are active participants in long-term contraceptives (IUD, MOW, MOP, Implant). Of this number, the participation rate of men (who used MOP) was 44 acceptors (0.33% of the total PA) while the participation of men using non-MKJP contraception (condoms) only amounted to 580 acceptors (4.41% of the total PA). Thus, the number of male family planning participation in Wajo Regency is still very low. The conditions that occur in Belawa District are not much different from what happened in Wajo District, the participation of men in family planning in Belawa District is also still far from expectations (less than 1% of the total participation of people who are current family planning participants). Based on the background above, the writer formulates the problem as follows: How is the implementation of policies to increase male family planning participation in Belawa District, Wajo Regency. Then what are the factors that influence the increase in men's participation in family planning. In collecting this data, the writer uses a qualitative research method which in the research procedure uses data from in-depth interviews according to the level of the researcher's ability to disclose and discuss various phenomena or relationships related to the Implementation of Family Planning Program Policies. The author also looks for references from several books to support the required theory. The implementation of policies to increase male family planning participation needs attention, especially KIE (Communication Information Education) in terms of disseminating information and knowledge about vasectomy and male contraception. Then what became an example for starting a family planning program, namely men starting family planning from the government or family planning extension officers, it turned out that this was not the case. In overcoming these problems, it is necessary to strive for intensive and continuous socialization on a regular basis to the community about the active participation of men in participating in family planning, Improving the quality of family planning officers' resources by increasing trainings to increase the abilities and skills of family planning officers, adding facilities and work infrastructure for family planning officers, establishing a KB UPT in each sub-district, so that a family planning institution in the sub-district is really formed which becomes the supervisor and direct supervisor of the family planning officer so that they are no longer lazy to work.

Keywords: policy implementation, family planning program

ABSTRACT

Di Kabupaten Wajo sesuai kondisi bulan Desember 2018 menunjukan bahwa tingkat kesertaan ber-KB sudah cukup baik, dari jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang ada saat ini (19.860), yang saat ini menjadi Peserta KB Aktif (PA) berjumlah 13.162 (66,27 %). Dari jumlah Peserta KB Aktif (PA) yang ada saat ini, 3.067 akseptor (0,23 %) merupakan peserta aktif alat kontrasepsi jangka panjang (IUD,MOW,MOP,Implan). Dari jumlah tersebut tingkat kesertaan KB pria (yang menggunakan MOP) berjumlah 44 akseptor (0,33 % dari total PA) sedang partisipasi pria dengan menggunakan alat kontrasepsi non MKJP (kondom) hanya berjumlah 580 akseptor (4,41 % dari jumlah PA). Dengan demikian jumlah kesertaan KB pria di Kabupaten Wajo masih sangat rendah.

(2)

746

Kondisi yang terjadi di Kecamatan Belawa tidak berbeda jauh sebagaimana yang terjadi di lingkup Kabupaten Wajo, partisipasi pria dalam ber KB di Kecamatan Belawa juga masih jauh dari harapan (kurang dari 1 % terhadap total kesertaan masyarakat yang menjadi peserta KB saat ini).

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana Implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo? Kemudian Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi peningkatan partisipasi pria dalam ber KB? Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian kuaitatif yang dalam prosedur penelitiannya menggunakan data hasil wawancara yang mendalam sesuai dengan tingkat kemampuan peneliti didalam melakukan pengungkapan dan pembahasan tentang berbagai fenomena atau hubungan yang berkaitan dengan Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana. Penulis juga mencari referensi dari beberapa buku untuk menunjang teori yang diperlukan. Implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria perlu mendapat perhatian, terutama KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dalam hal penyebarluasan informasi dan pengetahuan tentang vasektomi dan kontrasepsi pria, Masih rendahnya kualitas sumber daya Petugas KB yang mempengaruhi kemampuan dan keterampilan petugas KB dalam memasarkan alat kontrasepsi bagi pria. Kemudian yang menjadi contoh untuk memulai suatu program Keluarga Berencana yaitu pria ber KB dimulai dari pemerintah ataukah petugas Penyuluh KB, ternyata tidak demikian yang terjadi. Dalam mengatasi permasalah tersebut makaperlu diupayakan sosialisasi secara intensif dan berkelanjutan terus menerus secara berkala kepada masyarakat tentang keaktifan partisipasi pria dalam ikut serta ber KB, Meningkatkan kualitas sumber daya Petugas KB dengan memperbanyak pelatihan-pelatihan untuk menambah kemampuan dan keterampilan petugas KB, menambah sarana dan prasarana kerja petugas KB, Membentuk UPT KB di setiap kecamatan, supaya betul betul terbentuk suatu lembaga KB di kecamatan yang menjadi pengawas dan atasan langsung Petugas KB sehingga mereka tidak lagi malas masuk kerja.

Kata Kunci : implementasi kebijakan, kesertaan KB pria

1. Pendahuluan

Perkembangan program Keluarga Berencana di Indonesia mengalami suatu metamorphosis di mana ada periode BKKBN yang kemudian berkembang menjadi Kementerian Negara Kependudukan dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dimulai pada tahun 1967, dengan tujuan mengatur masalah kependudukan (demografi), melalui falsafah Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Indonesia sebagai negara yang masih berkembang, di samping masalah politik, masih harus menghadapi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, padahal jumlah penduduk sangat tinggi.

Kebijakan pemerintah mengenai keluarga berencana tertuang dalam Undang-undang No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pasal 21 ayat (2d) menjelaskan: “peningkatan partisipasi pria dalam praktek keluarga berencana, dan pasal 25 ayat 1 bahwa suami istri mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan keluarga berencana

Program Keluarga Berencana di Indonesia, seperti juga di Negara berkembang lainnya, lebih menekankan pada pencapaian tujuan demografis yakni untuk mencapai target penurunan laju pertumbuhan penduduk. Keluarga Berencana lebih sebagai pengendalian populasi yang memberi jalan bagi negara untuk mengatur fungsi reproduktif warganya khususnya alat reproduksi perempuan.

Dalam proses pembangunan Nasional, tahap implementasi sebagai kelanjutan dari

(3)

747

proses perencanaan akan menentukan apakah suatu kebijaksanaan atau program pembangunan dapat terwujud sesuai dengan rencana dan perwujudannya mencapai hasil sesuai dengan tujuan suatu program pembangunan berupa peningkatan kesejahteraan.

Agar pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terwujud dengan cepat, maka perlu dilakukan pengendalian pendudukan secara bijaksana melaui program Keluarga Berencana. Gerakan Keluarga Berencana ini dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mampu menurunkan tingkat kelahiran secara lebih cepat lagi. Di samping tujuan kuantitatif, gerakan Keluarga Berencana juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan Keluarga Berkualitas.

Agar tercapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi sehingga terwujud peningkatan kesejahteraan keluarga, maka perlu gerakan Keluarga Berencana lebih digalakkan dengan keterlibatan berbagai instansi, karena gerakan Keluarga Berencana Nasional merupakan salah satu kegiatan pokok dalam upaya pembangunan Keluarga Sejahtera agar terwujud kehidupan bangsa guna meningkatkan Kesejahteraan Keluarga dan membina ketahanan keluarga yang mampu mendukung kegiatan pembangunan.

2. Metode

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang dalam prosedur penelitiannya menggunakan data hasil wawancara yang mendalam sesuai dengan tingkat kemampuan peneliti didalam melakukan pengungkapan dan pembahasan tentang berbagai fenomena atau hubungan yang berkaitan dengan Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. waktu penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan sejak proposal ini sah yaitu mulai bulan Februari 2021 sampai dengan April 2021.

Informan Penelitian kualitatif tidak ada sampel, tetapi sampel tujuan (Purposive Sampling) yaitu peneliti menetapkan informan berdasarkan anggapan bahwa informan dapat memberikan informasi yang diinginkan peneliti, informan yang baik pengetahuannya ataupun keterlibatannya dengan permasalahan yang diteliti tidak diragukan lagi.

Hai ini diharapkan agar data dan informasi yang didapat sesuai dengan kenyataan di lapangan secara faktual. Pemilihan informan dilakukan dengan secara sengaja dalam hal ini pemilihan informan berdasarkan kedudukan dalam organisasi dalam hal ini pada implementasi kebijakan peningkatan KB pria atau yang memahami program tersebut. Adapun informan adalah sebagai berikut:

a. Kepala UPT KB : 1 orang b. Petugas KB : 2 orang c. Pasangan Usia Subur : 2 orang

(4)

748 d. Petugas Pembina KB Desa : 1 orang e. Tokoh masyarakat : 1 orang

3. Hasil dan Pembahasan

Peneliti mencoba mengadopsi pendapat George C.Edwards III dalam penelitian Studi Implementasi Kebijakan Keluarga Berencana Di Kabupaten Wajo (Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria di Kecamatan Belawa), maka diperlukan sedikit penjelasan tentang 4 (empat) faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan, yang meliputi :

a. Komunikasi

Dimensi komunikasi dalam implementasi program KB umumnya dan peningkatan kesertaan KB pria khususnya amat ditentukan dari beberapa unsur yang terdapat dalam beberapa komunikasi seperti penyampai pesan, isi pesan, media yang digunakan, serta sasaran penerima pesan, serta perubahan sebagai akibat komunikasi. Mengenai bagaimana dimensi konsumsi yang terjadi di Kecamatan Belawa dapat dideskripsikan sebahai berikut :

1) Penyampai pesan

Faktor yang amat menentukan dalam komunikasi adalah kemampuan orang yang menyampaikan pesan. Dari sinilah pesan akan ditransmisikan kepada sasaran atau penerima pesan.

Penyampai pesan dalam hal ini adalah penyuluh keluarga berencana yang dalam tugasnya disamping sebagai pemberi penyuluh juga berfungsi sebagai perencana sekaligus penyelenggara kegiatan penyuluhan.

Sebagaimana disampaikan oleh PPKBD yang berinisial “TM” yang memberikan keterangan bahwa

“Jangan saya terus yang memberikan penyuluhan bagus kalau penyuluh KB atau Pak lurah yang langsung ke masyarakat”

Ditambah keterangan dari Penyuluh KB inisial “SL”

“Nanti saya bisa memberi penyuluhan kalau ada acara di kantor lurah atau di posyandu, baruka bisa memberikan penyuluhan”

Dari gambaran di atas jelas tergambar bahwa penyampai pesan belum memberikan pesan tentang KB Pria.

2) Media yang digunakan

Dalam memilih media merupakan salah satu kunci keberhasilan komunikasi seperti yang dituturkan oleh PUS “MS”

“Ndak kutahu Pak kalau ada penyuluhan KB di kantor lurah “

Dari penuturan diatas tergambar bahwa hanya mereka yang diundang mengikuti penyuluhan KB yang mengetahui informasi tentang KB Pria.

(5)

749 3) Isi Pesan

Isi pesan sangat menentukan kualitas komunikasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Informan “LD”

“Yang mana itu pak dibilang Vasektomi, saya tahunya alat kontrasepsi untuk laki laki hanya kondom”

Dari gambaran tersebut diketahui bahwa banyak masyarakat yang belum tahu betul apa itu vasektomi bagi laki-laki.

Dimensi komunikasi amat menentukan dalam berhasilnya suatu program karena dengan komunikasi yang baik, akibat komunikasi yang ditimbulkan juga akan berbuah baik, oleh karena itu penyampai pesan merupakan hal yang mutlak harus diperhatikan, hal ini sejalan dengan pendapat Edward III yang menjelaskan persyaratan utama bagi implementasi yang efektif adalah bahwa para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan, keputusan kebijakan harus disalurkan (transmission) kepada orang – orang yang tepat, sehingga komunikasi harus akurat diterima oleh para pelaksana, kemudian jika kebijakan akan diterapkan, maka perintah kebijakan harus diterima dengan jelas (Clarity) selain itu perintah kebijakan harus konsisten (consistecy). Realitas di lapangan mennunjukkan bahwa komunikasi yang baik belum dilakukan secara maksimal, yang hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya rumor yang menyebutkan bahwa Vasektomi mengakibatkan “Senjata menjadi loyo, kemudian menjadikan “badan cepat gemuk seperti dikebiri” dan sebagainya. Yang kesemuanya itu belum diupayakan penjelasan yang lebih rinci dan tepat sasaran.

b. Sumber Daya

Di kecamatan Belawa penyuluh KB yang ditempatkan sebagai petugas lapangan adalah 6 orang untuk 9 desa/ kelurahan. Dari jumlah tersebut ada 5 orang berpendidikan SMA dan 1 orang berpendidikan sarjana strata 1.

Berdasarkan pangkat dan golongan hanya 1 orang berpangkat golongan 3, yang lainnya golongan 2. Sedangkan kalau berdasarkan umur ada 2 orang umur 50 tahun keatas menghampiri usia pensiun dan 4 orang umur 40-50 tahun.

Kondisi ini sebagaimana digambarkan oleh Informan “HT”

“di Balai KB Kec. Belawa, hanya 1 orang yg sarjana, yg lainnya iiazah SMA, sehingga menjadi kendala juga dalam menyampaikan pesan ke masyarakat, terlebih sudah ada yg menghampiri usia pension, tentu kualitas dari pekerjaanya sudah menurun dan tidak terlalu fokus lagi untuk konsentrasi di pekerjaannya”

Upaya peningkatan kualitas penyuluh KB juga disebabkan karena kurang adanya pelatihan lagi seperti dulu, apalagi di era pandemik covid 19, akses untuk bertemu dalam forum resmi sangat dibatasi, sebagaimana tanggapan Informan “SL”

“Biasanya dalam setahun seringki ke Makassar pelatihan, ini sekarang sudah tidak pernah lagi, apalagi era pandemic covid-19, adaji biasa webinar melalui daring, tapi cuma ta satu kaliji”

(6)

750

Dalam konteks kebijakan publik, sumber daya manusia dan dana juga memiliki peran yang amat menentukan, karena dengan sumber daya dan sumber dana yang memadai dan berkualitas kebijakan akan dapat dikomunikasikan kepada sasaran penerima kebijakan dengan baik pula, sebaliknya juga, sebagaimana realitas yang ada dalam kebijakan peningkatan kesertaan KB pria ini meskipun pendanaan sudah tidak menjadi persoalan, karena ditopang dari tiga sumber (APBD Kabupaten, APBD provinsi, serta APBN), namun nampak sekali bahwa sumber daya manusia yang dimiliki kurang memadai baik dari sisi usia, tingkat pendidikan, peningkatan kualitas serta dana yang tersedia, sehingga hasil kebijakannyapun kurang maksimal. Dari sisi ini pula koordinasi antar stakeholders kurang dilakukan secara maksimal untuk dapat menghilangkan rumor menjadi kesan yang positif dan menyenangkan.

c. Disposisi

Ada 3 (tiga) hal penting terkait dengan disposisi implementator; respon implementator terhadap kebijakan, kognisi, serta freferensi nilai yang dimiliki.

1) Respon implementator terhadap kebijakan

Rendahnya tingkat pendidikan Penyuluh KB, menjadikan rendahnya mereka dalam merespon kebijakan dari atas, hal ini terungkap dari seorang Informan “SC” dari seorang petugas:

“Penyuluh KB tidak gampang menerima hal hal yang berbau inovasi baru, seperti keadilan dan kesetaraan gender dalam program KB”

Rendahnya responsifitas petugas terhadap kebijakan dapat dibaca dari ungkapan beberapa Informan, antara lain dapat ditunjukkan dari keluhan Informan “AMK” yang mengeluhkan tidak tahu kemana harus melaporkan keluhan yang dideritanya. Hal ini diakibatkan betapa petugas kurang peduli atau kurang merespon terhadap pedoman kebijakan yang mewajibkan para petugas (Penyuluh KB) untuk konseling pasca pelayanan (tindakan) vasektomi 2) Kognisi

Penggunaan media penyuluhan yang konvensional, menunjukkan betapa pemahaman kebijakan peningkatan kesertaan KB pria yang seharusnya dapat melalui kebijakan pelayanan di tempat kerja, seperti memberikan penyuluhan di pertemuan sanggar tani bagi para petani, tempat nongkrong di warkop atau café serta tempat kerja para bapak-bapak yang lain tidak pernah dilakukan oleh petugas Penyuluh KB, hal ini tercermin dari keterangan respnden “AMK”

tokoh masyarakat, yang setiap siang hari tidak pernah di rumah, sehingga akses ke balai desa/kelurahan praktis tidak ada, mengatakan :

“nda kutau kalau ada penyuluhan vasektomi, mengetahui vasektomi justri dari istri saya”

Begitupun juga Informan “TM”, petugas pembantu PPKBD :

”tiap bulan sekali saya memberikan penyuluhan pada ibu-ibu PKK di balai desa/kelurahan”

Pengetahuan tentang media yang dimiliki oleh petugas terbatas hanya balai desa/kelurahan sebagai tempat penyuluhan, sementara itu sesungguhnya Informan

(7)

751

menginginkan pesan KB pria bisa sampai ke telinganya, sehingga dibutuhkan penyesuaian waktu dan tempat penyuluhan bagi bapak-bapak yang tidak punya akses terhadap balai desa/kelurahan.

3) Freferensi nilai

Seharusnya yang menjadi contoh untuk memulai suatu program Keluarga Berencana yaitu Pria ber KB dimulai dari pemerintah ataukah petugas Penyuluh KB, dan ternyata setelah diwawancarai Informan sebagai penyuluh KB, taka da satupun suami yg ber KB, seperti penuturan “SL”

“takutka saya ber KB vasektomi, lagian juga masih mauka ada anakku perempuan, karena 2 anakku laki-laki semua”

Disposisi implementator sebagaiamana yang dikemukakan oleh AG Subarno, mencakup (1) respons implementator terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemampuannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, pemahaman para implementator terhadap kebijakan yang dilaksanakan, (3) intensitas disposisi implementator, yakni freferensi nilai yang dimiliki oleh implementator. Fenomena realitas kebijakan di lapangan menunjukkan hal yang kurang mendukung, hal ini nampaknya juga disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya yang dimiliki implentator.

d. Struktur Birokrasi

Berbagai macam tanggapan para Informan tentang otonomi daerah dikaitkan dengan program Keluarga Berencana. Oleh Informan “SC” diartikan sebagai hal yang berdampak buruk terhadap kinerja petugas :

“Otonomi daerah jelas mengganggu jalannya program KB, karena alat kontrasepsi sangat tergantung keuangan daerah, kemudian karier petugas juga sangat terbatas karena Petugas KB berasal dari PNS Pusat”

Berbeda halnya pada kelompok sasaran penerima program.

Informan “MS” mengatakan:

“setelah otonomi daerah program KB justru lebih baik, karena sasaran program lebih merakyat, memberikan pelayanan gratis kepada warga yang betul-betul miskin dengan tepat sasaran dan sampai ke desa-desa”

Demikian juga Informan “SL” menyebutkan :

“Tidak ada perbedaan antara sekarang dan sebelum otonomi, karena alat kontrasepsi masih tetap ada .dan tercukupi kebutuhannya”

Struktur birokrasi di Indonesia yang nuansanya cenderung top- down, budaya minta petunjuk dan arahan dari atasan, serta kecenderungan yang ABS (asal bapak senang), ketika ada atasan pura-pura rajin, dan sebaliknya ketika atasan hilang kerjanyapun malas, dijumpai juga pada kebijakan Keluarga Berencana di wilayah penelitian. Kondisi demikian dirasakan betul oleh penangung jawab program di tingkat kecamatan, namun demikian karena suatu program sudah

(8)

752

sangat melembaga serta ketergantungan penerima program terhadap birokrasi semakin berkurang, sehingga kebijakan tetap bisa berjalan dengan baik. Sisi lain yang cukup menghambat kesertaan KB pria juga diakibatkan karena sikap petugas yang sudah merasa bisa tanpa harus menambah wawasan baru seperti ungkapan “Saya kan kan sudah lama bekerja sehingga tidak perlu menambah wawasan baru”, kemudian ungkapan informan sasaran yang kurang tersentuh petugas baik langsung maupun tidak langsung “saya tidak tahu kalau ada penyuluhan KB, biasanya dimana ya…..?”

Faktor yang mempengaruhi peningkatan partisipasi pria dalam ber KB a. Tingkat kepatuhan Masyarakat terhadap budaya yang ada

Pola pikir masyarakat sangat susah menerima perubahan, sebagaimana penuturan Informan “SL”

“bagi saya pria dilarang ber KB, karena bisa mengurangi kejantanan seorang pria, disamping itu pria merupakan tulang punggung keluarga, jadi kalau berkurang kejantanannya, maka akan berdampak pada kehidupan keluarga, jadi saya menyuruh istri saya yang ber KB”

Di dalam masyarakat masih terdapat kebiasaan - kebiasaan yang menganggap soal ini merupakan pengambil keputusan mutlak, masih terdapat anggapan bahwa tidak boleh membicarakan tentang KB pria karena dianggap masih sangat tabu, dan seluruh keputusan ada di tangan suami (Gemabria, 2009).

Diakui banyak kendala yang menghadang dalam kaitannya dengan partisipasi pria dalam ber—KB. Kendala utama masih sekitar budaya patriarkis dalam masyarakat Indonesia.

Pria dianggap paling berkuasa di banyak tempat.(Gemabria, 2009).

Patriarki memang telah menggerogoti pola pikir kebanyakan pria di Indonesia.

Sedemikian jauh sehingga banyak perempuan justru merasa senang telah mengabdi kepada sang suami, terutama yang hidup di pelosok-pelosok desa dengan kultur Patriarki yang kental (Gemabria, 2009).

b. Pengaruh tingkat pemahaman dan keberagaman masyarakat kaitannya dengan KB Pria Hal lain yang sangat berpengaruh juga yaitu pemahaman dan keberagaman masyarakat tentang status sosial, latar belakang pendidikan, perbedaan pendapatan, perbedaan pekerjaan dan lain-lain,sebagaimana diungkapkan oleh respnden “MS”

“vasektomi bisa membuat gemuk seperti dikebiri dan juga katanya bisa menjadi loyo gairah seksualnya, sehingga mengganggu hubungan suami istri, kemudian kalau saya yg seharusnya ber KB yg golongan ekonomi lemah supaya tidak banyak dia biayai kalau tidak banyak anaknya”

Padahal para Informan berbicara hanya berdasarkan pikirannya saja, tidak berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki tentang Keluarga Berencana, Vasektomi sebenarnya bahkan membuat tubuh pria menjadi lebih fit dan semakin menambah kejantanan

(9)

753

seorang pria. Kemudian peruntukan vasektomi bukan cuma untuk golongan ekonomi lemah, akan tetapi untuk semua kalangan.

c. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pemahaman agama yang dianutnya Sebagaimana penuturan Informan “AMK” sebagai tokoh agama juga

“penganut agama islam bagi sebagian ulama, perintah untuk ber KB sudah menghalalkan, meskipun pada kenyataanya masih ada sebagian ulama yang mengharamkan, jadi masih samar-samar antara halal dan haram, apalagi kalau pria yang vasektomi”

Bagi masyarakat Belawa yang terkenal dengan gudangnya ulama, terpengaruh pada kondisi spiritual agama islam yang mengharamkan vasektomi bagi pria. Yang mengakibatkan rendahnya minat pria untuk ikut ber KB.

4. Kesimpulan

Implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria perlu mendapat perhatian, terutama KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dalam hal penyebarluasan informasi dan pengetahuan tentang vasektomi dan kontrasepsi pria, Masih rendahnya kualitas sumber daya Petugas KB yang mempengaruhi kemampuan dan keterampilan petugas KB dalam memasarkan alat kontrasepsi bagi pria. Kemudian yang menjadi contoh untuk memulai suatu program Keluarga Berencana yaitu pria ber KB dimulai dari pemerintah ataukah petugas Penyuluh KB, ternyata tidak demikian yang terjadi. Dalam mengatasi permasalah tersebut makaperlu diupayakan sosialisasi secara intensif dan berkelanjutan terus menerus secara berkala kepada masyarakat tentang keaktifan partisipasi pria dalam ikut serta ber KB, Meningkatkan kualitas sumber daya Petugas KB dengan memperbanyak pelatihan-pelatihan untuk menambah kemampuan dan keterampilan petugas KB, menambah sarana dan prasarana kerja petugas KB, Membentuk UPT KB di setiap kecamatan, supaya betul betul terbentuk suatu lembaga KB di kecamatan yang menjadi pengawas dan atasan langsung Petugas KB sehingga mereka tidak lagi malas masuk kerja.

Referensi

Akhmad Zaeni. (2006). Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana Di Kabupaten Batang Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria di Kecamatan Gringsing. Semarang:

Universitas Diponegoro.

Arni, Muhammad. (2001). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi aksara.

Bagus Mantra Ida. (2004). Demografi Umum. Jogyakarta: Cetakan III, Pustaka Pelajar.

Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPENAS), Prediksi Penduduk Indonesia Tahun 2025, Kompas, 3 Agustus 2005.

BKKBN-Fak.Ekonomi Universitas Indonesia, Solusi bagi Pembangunan Bangsa, Info

(10)

754

Demografi, Wahana Peningkatan Pengetahuan Kependudukan, Tahun XIII, Nomor 1, 2004, Jakarta.

BKKBN. (2000). Pedoman Penggarapan Peningkatan Partisipasi Pria dalam Program KB dan Kesehatan Reproduksi yang Berwawasan Gender, Jakarta.

BKKBN. (2018). Panduan mekanisme Operasional Program KKBPK di Lini Lapangan, Jakarta.

BKKBN. (2011). Buku Paduan Pembinaan Kesertaan KB Pria Melalui Penggarapan Kelompok KB Pria, Jakarta.

BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan. (2011). Makassar: Buku Saku Penyuluh KKBPK.

BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan. (2016). Materi Promosi dan Konseling Kesehatan Reproduksi, Makassar.

BKKBN-DEPAG RI. (1990). Umat Islam dan Gerakan Keluarga Berencana di Indonesia, Jakarta.

Cokrowinoto, Mulyarto. (1996). Pembangunan, Dilema dan Tantangan. Jogyakarta: PT Pustaka Pelajar.

Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Wajo. (2017). Laporan Feed Back Pelaksanaan Program KB Nasional, Sengkang.

Direktorat Partisipasi Pria-Puslitbang KB-KR BKKBN. (2001). Studi Identifikasi Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Jakarta.

Dunn, William, N. (2003). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: PT Hanindita Graya Widya.

Effendi, Sofyan. (2000). Kuliah Umum MAP UNDIP Angkatan I, Sengkang.

Imran, Ismail. (2018). Memahami Budahya 3-S (Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge), Citra Pustaka bekerjasama dengan Identitas Universitas Hasanuddin, Makassar.

Islamy, M. Irfan. (2001). Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Lina Astuty. (2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertisipasi suami dalam menggunakan alat kontrasepsi. Pontianak: Akademi Kebidanan Santa Benedikta.

Maryati. (2002). Implementasi Kebijakan Redistribusi Penerimaan Restribusi TPI di Kota Pekalongan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Moekijat. (1985). Analisa Kebijakan Publik. Bandung: Mandar Maju.

Moleong, Lexy,J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatip. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nale. Matheos,(tansl), Mikkelsen, Britto. (1999). Penelitian Partisipatoris dan upaya- upaya Pemberdayaan, Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan, Yayasan obor Indonesia, Jakarta.

Pia Widya Laksmi, dkk. (2004). Upaya Peningkatan Peserta KB MOP di Propinsi Jawa Tengah, Studi Kasus di Kabupaten Batang dan Kabupaten Karanganyar, BKKBN Propinsi Jawa

(11)

755 Tengah, Semarang.

Rahmatsah Said. (2011). Strategi Promosi Kesehatan Meningkatkan Partisipasi KB Pria di BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan, Program Pasca sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ratna Astuti, Pia Laksmi, Wilarso, A. (2004). Upaya Peningkatan Peserta KB Kondom Propinsi Jawa Tengah, Studi Kasus di Kabupaten, Kendal, Wonogiri, Batang, dan Kabupaten Karanganyar. Semarang: BKKBN Propinsi Jawa Tengah.

Robbin, Stepen, P. (2001). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Prenhalindo.

Subarsono, AG. (2005). Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Soetrisno. (2001). Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Jakarta:

Penerbit Philosopy Press.

Sutinah. (2017). Partisipasi Laki-laki dam program Keluarga Berencana di era masyarakat postmodder. Surabaya: Universitas Airlangga.

Suyono, Haryono. Menjadikan Hari Keluarga Nasional Sebagai Momentum Pemberdayaan Keluaraga Kurang Mampu, Majalah Gemari, Edisi 53/Tahun VI/Juni 2005.

Tomas Maltus, Julian Huxley, Frederick Osborn, Ledakan penduduk Dunia (Terjemahan).

(2004). Bandung: Yayasan Nuansa cendekia.

---, (2001). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi aksara, Jakarta.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 (RPJMN), Sinar Grafika Jakarta.

---, Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

3 Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang bekerja dengan angka, yang datanya berujud bilangan ( skor atau nilai, peringkat, atau frekuensi) yang dianalisis

Penulis berupaya menggambarkan dan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan tema dari skripsi ini yakni "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyerahan Perabot

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung limbah penetasan telur puyuh dengan level pemberian yang meningkat terhadap konsumsi ransum, pertambahan

Upaya penanggulangan illegal fishing yang dilakukan Satuan Kepolisian Perairan Resor Biak Numfor meliputi : upaya preventif (mengadakan penyuluhan hukum,

Ti rezultati govore da bi poduzeće Naprijed trebala otvoriti profil na Instagramu radi velikog broja osoba koje posjeduju Instagram, te zbog toga što bi sa tim potezom dobili

Dari hasil uji penetrasi yang telah dilakukan bahawa pengujian uji penetrasi pada spesimen yang terdiri dari dua material yang berbeda dengan spesifikasi yang sama hasilnya tidak

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui unjuk kerja dari sistem penggerak sumber radiasi dan penahan radiasi nuklir yang dibuat apakah sudah sesuai dengan yang

Berdasarkan hasil yang didapat jumlah udang yang paling banyak matang gonad berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi sebanyak 14 ekor (keberhasilan 93%),