• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI PENERAPAN LENIENCY PROGRAMS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "URGENSI PENERAPAN LENIENCY PROGRAMS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 82 URGENSI PENERAPAN LENIENCY PROGRAMS TERHADAP PENEGAKAN

HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

SIGMAWATI WIDYANINGRUM

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: sigmawati.widyaningrum-2018@fh.unair.ac.id

ABSTRACT

Enforcement of business competition law in Indonesia has encountered problems in proving violation cases. This is because prohibited agreements made by business actors are not always born from a written agreement. UU no. 5 of 1999 does not regulate how to prove the existence of an agreement. The purpose of this study is to find out how to overcome obstacles in enforcing business competition law in Indonesia by analyzing whether these leniency programs are suitable for adoption in Indonesian business competition law products. This study uses doctrinal research, with a statutue approach and a conceptual approach. The statue approach is carried out by examining all regulations that contradict the legal issues raised, while the conceptual approach is an approach that departs from the views and doctrines that develop in the field of law. The results of this study indicate that reflecting on the implementation of leniency programs in other countries, Indonesia is deemed necessary to adopt Liniency Programs in Law Number 5 of 1999 and the need for additional Comission for The Supervision of Business Competition authority in the form of coercive measures.

Keywords: Comission for The Supervision of Business Competition, Leniency Programs, Law Enforcement, Coercion.

ABSTRAK

Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia mengalami kendala pada pembuktian kasus pelanggaran. Hal ini dikarenakan perjanjian yang dilarang yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak selalu lahir dari suatu perjanjian yang tertulis. UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur bagaimana cara membuktikan adanya suatu perjanjian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi kendala penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia dengan menganalisis apakah leniency programs ini cocok untuk diadopsi dalam produk hukum persaingan usaha Indonesia. Penelitian ini menggunakan doctrinal research, dengan pendekatan peraturan perundang- undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan yang bersangkan dengan isu hukum yang diangka, Sedangkan Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari padangan dan doktrin yang berkembang dalam bidang ilmu hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan merefleksikan penerapan leniency programs di negara- negara lain, Indonesia dipandang perlu mengadopsi Liniency Programs dalam UU

Cendekia Abiyasa Nusantara Graha Bukopin Building 12th floor Jln. Panglima Sudirman, Surabaya Telp. : (031) 28997953

Email : editor@jurnalkawruh.id

(2)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 83 Nomor 5 Tahun 1999 serta perlu adanya tambahan kewenangan Komisi Persaingan Usaha (KPPU) berupa upaya paksa.

Kata kunci: KPPU, Leniency Programs, Penegakan Hukum, Upaya Paksa.

PENDAHULUAN

Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, International Monetary Fund (IMF) memberi bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 Miliar melalui sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut ditandai tangani pada 15 Januari 1998 tersebut memuat persyaratan yang tertuang dalam Letter of Intent.

Salah satu persyaratannya Indonesia harus melakukan reformasi ekonomi beserta hukumnya. Reformasi hukum ekonomi yaitu dengan membentuk UU antimonopoli.

Pembentukan UU antimonopoli juga sebagai konsekuensi atas ratifikasi Marrakesh Agreement oleh Negara Republik Indonesia yang mengharuskan membuka diri dan tidak melakukan tindakan diskriminasi terhadap negara lain. Selain adanya perjanjian dengan IMF dan akibat meratifikasi perjanjian Marrakesh Agreement, lahirnya UU Antimonopoli didasari karena berlakunya sistem ekonomi konglomerasi di Indonesia.

Rakyat prihatin terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar (konglomerat) menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Bahkan penguasaan secara tidak adil tersebut dipayungi oleh produk hukum dan kebijakan pemerintah. Seperti halnya dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992 tentang Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi dalam Negeri yang mengatur bahwa pembelian cengkeh dari para petani cengkeh dilakukan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) dengan harga dasar yang ditetapkan Presiden. Kemudian KUD hanya boleh menjual cengkeh hasil pembelian dari para petani cengkeh kepada badan penyangga yang ditunjuk Pemerintah dalam hal ini Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) yang dikuasi oleh salah satu konglomerat.

Rakyat menyadari bahwasanya negara perlu menjamin kepastian hukum terhadap persaingan usaha. Oleh karena itu pada 5 Maret 1999, Presiden B.J, Habibie menandatagani dan mengundangkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999). Berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional,

(3)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 84 maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar1.

UU Nomor 5 Tahun 1999 secara komprehensif mengatur mengenai tindakan pelaku usaha apa saja yang tidak diperbolehkan dan menyebabkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang mana dirinci dalam beberapa bab yakni perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, penegakan hukum persaingan usaha oleh KPPU, sanksi sampai tata cara penanganan perkara. Namun, dengan adanya regulasi tersebut tidak menutup kemungkinan pelaku usaha untuk melanggar bahkan memanfaat celah hukum yang ada. Seperti halnya pelaku usaha yang memanfaatkan asosiasi sebagai payung hukum untuk melakukan kartel sebagaimana telah dilarang dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999. Asosiasi ini dimanfaatkan untuk bertukar informasi tentang kebijakan harga, pangsa pasar, dan sebagainya. Kasus penyalahgunaan asosiasi untuk kartel di Indonesia salah satunya Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Tindakan asosiasi yang beranggotakan 6 (enam) perusahaan yang diduga menghambat persaingan adalah IPOP tidak mau membeli tandan buah segar kelapa sawit dari petani karena dianggap tidak sesuai dengan standar mereka. Petani tidak bisa menjual ke pihak lain karena hampir semua tata niaga kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan yang ikut menandatangani IPOP. Hal ini merugikan petani Indonesia yang menggunakan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Standar yang ditetapkan oleh IPOP lebih tinggi dari pada standar yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga terjadi pertentangan. Tindakan asosiasi itu diduga telah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diduga melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 19992.

Pelanggaran UU Nomor 5 tahun 1999 khususnya Perjanjian kartel sangat sulit dibuktikan, karena kebanyakan kartel dibuat secara sangat tertutup atau rahasia.

Negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menerapkan Leniency Program. Leniency berarti kemurahan hati, kelonggaran, atau pengampunan. Inti dari program leniency ini adalah pemerintah memberikan kemurahan, kelonggaran, atau pengampunan (immunity) kepada pelaku usaha yang mengungkapkan atau memberikan informasi tentang adanya kartel yang telah dibuat bersama dengan para

1 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, Deutche Gesellchaft fur Techische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta, 1999, h. 34.

2Nickmatul Huda, KPPU Tenggarai ada Kartel di Asosiasi Kelapa Sawit, https://bisnis.tempo.co/read/762608/kppu-tengarai-ada-kartel-di-asosiasi-kelapa-sawit/full&view=ok.

Diakses pada tanggal 11 April 2021.

(4)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 85 pelaku usaha yang lain. Pelaku usaha yang menjadi whistle-blower ini akan dibebaskan dari denda atau dikurangi dendanya tergantung sejauh mana pelaku usaha tersebut membantu lembaga pengawas persaingan dalam mengungkap kartel yang bersangkutan3.

Program leniency pertama kali diperkenalkan di AS oleh Departemen Kehakiman AS pada tahun 1978 yang diperbaiki pada tahun 1993. Dalam program yang disebut Corporate Leniency Programs pelaku usaha dapat memperoleh pengurangan atau pembebasan denda walaupun investigasi sudah dimulai apabila Divisi Antitrust di FTC tidak mempunyai cukup bukti adanya pelanggaran hukum antitrust4. Program leniency di AS ini sukses. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan laporan kartel sebanyak 20% pada setiap tahunnya5. Pada tahun 1996, program leniency juga diperkenalkan di Uni Eropa. Telah dinyatakan bahwa European Commission Leniency Program ini merupakan kiat yang paling efektif dalam penegakan hukum persaingan di Uni Eropa6. pelaku usaha yang pertama kali membeberkan kartelnya kepada European Comission (EC) sebelum EC mengetahui/memulai investigasi, akan mendapat pembebasan atau minimal 75% pengurangan dari hukuman. Indonesia sendiri belum mengadopsi Leniency Program dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Para akademisi maupun praktisi menilai bahwasanya UU Nomor 5 Tahun 1999 perlu direvisi. Hal dikarenakan undang-undang tersebut dibentuk pada saat keadaan Indonesia sedang krisis ekonomi dan tidak dalam baik-baik saja. Oleh karena itu dalam pembentukannya pun tidak dapat terpungkiri adanya ketidaksempurnaan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebagaimana di atas, untuk mengatasi sulitnya pembuktian pelanggaran persaingan usaha di Indonesia, dengan merefleksikan apa yang telah diterapkan oleh negara-negara lain, perlu kiranya dilakukan analisis apakah leniency program ini penting untuk diterapkan dalam Penegakan hukum persaingan Usaha di Indonesia dengan mengadopsinya dalam produk hukum.

3 Andi Fahmi Lubis, dkk., Op.Cit, h. 113.

4 Joan-Ramon Borrell, et.al., “The Leniency Programme: Obstacles on The Way to Collude”

Journal of Antitrust Enforcement Volume 3 No. 1 2015, h. 3. DOI: https://doi.org/10.1093/jaenfo/jnu013.

5 Retno Wiranti, “Leniency Programs dalam Perang Melawan Kartel”, Media Berkala KPPU Edisi 22 (2010), h. 22.

6 Roberto Grasso, “The E.U. Leniency Program and U.S. Civil Discovery Rules: A Fraternal Fight?”, Michigan Journal of International Law Volume 29 No. 3 (2008) h. 565–566.

(5)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 86 METODE

Penelitian ini menggunakan doctrinal research dimana dalam menjawab permasalahan dikaji berdasarkan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, teori hukum dan doktrin para sarjana. Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-udangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan peraturan perundang- undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi beserta muatannya yang bersangkutan dengan isu hukum relevan yang sedang dikaji7. Sedangkan pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari padangan dan doktrin yang berkembang dalam bidang ilmu hukum8.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Realita Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Untuk mengawasi pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1999, pembentuk undang- undang memberi amanat kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini merupakan sebuah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No. 75 Tahun 1999.

KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha memiliki wewenang yang disebut dalam pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 1999, meliputi:

1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;

4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi Cetakan 14, Prenamedia Group (Divisi Kencana), Jakarta, 2019, h. 131-132.

8 Ibid, h. 177-178.

(6)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 87 tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;

8. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini;

9. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

11. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

12. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Dari beberapa kewenangan sebagaimana disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan yang pada akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tersebut telah melanggar UU 5/1999 atau tidak. Berdasarkan pasal 39 dan pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999 pemeriksaan yang dilakukan KPPU didasarkan oleh adanya laporan atau inisiatif dari KPPU sendiri.

Semenjak diundangkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Niaga.

Mengingat pentingnya KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia, KPPU harus bertindak untuk kepentingan umum. KPPU berbeda dengan pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum persaingan9. Hal ini sesuai dengan

9 Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Katalis Publishing-Media Services, Jakarta, 2002, h. 389.

(7)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 88 tujuan UU No. 5 Tahun 1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a yakni untuk

“menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.

Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur yang dapat dijadikan alat bukti dalam pemeriksaan oleh KPPU terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan terlapor/saksi pelaku usaha. Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaan perkara yang rumit. Saksi ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU. Walaupun tidak ada definisi yang pasti tentang saksi ahli dalam perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dapat disimpulkan bahwa pengertian ahli di sini adalah orang yang mempunyai keahlian di bidang praktik monopoli dan persaingan usaha, dan memahami bidang usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha yang sedang diperiksa10.

Perjanjian yang dilarang yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak selalu lahir dari suatu perjanjian yang tertulis. Ini merupakan salah satu kesulitan untuk membuktikan adanya perjanjian dalam menggunakan pendekatan per se illegal. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak diatur tentang bagaimana cara membuktikan adanya suatu perjanjian.

Akibatnya, berkaitan dengan perjanjian yang tidak ada bukti langsung yang berupa, misalnya, perjanjian tertulis atau lisan, maka KPPU tidak bisa menggunakan dasar tersebut. Sebagai contoh konkretnya adalah kasus perjanjian penetapan harga dan kartel, yang mana KPPU mengalami kesulitan dalam melakukan pembuktiannya.

Dalam pembuktian kasus perjanjian penetapan harga KPPU mengeluarkan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 (Perkppu 4/2011). Perkppu 4/2011 menjelaskan mengenai pembuktian dalam kasus perjanjian penetapan harga, KPPU mengakui adanya bukti langsung dan bukti tid ak langsung. Bukti tidak langsung merupakan suatu bentuk bukti yang secara implisit membuktikan adanya kesepakatan mengenai penetapan harga. Yang termasuk bukti tidak langsung meliputi:

1. Bukti komunikasi yang tidak secara langsung menyatakan kesepakatan, dan 2. Bukti ekonomi. Penggunaan bukti ekonomi bertujuan sebagai “upaya untuk mengesampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga yang bersifat independen.”

10 Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 46.

(8)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 89 Dalam kasus kartel, pelaku usaha yang memanfaatkan asosiasi sebagai payung hukum untuk melakukan kartel yang sebagaimana dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 telah dilarang. Asosiasi ini dimanfaatkan untuk bertukar informasi tentang kebijakan harga, pangsa pasar, dan sebagainya. Kasus penyalahgunaan asosiasi untuk kartel di Indonesia adalah Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Tindakan asosiasi yang beranggotakan 6 (enam) perusahaan yang diduga menghambat persaingan bahwa IPOP tidak mau membeli tandan buah segar kelapa sawit dari petani karena dianggap tidak sesuai dengan standar mereka. Petani tidak bisa menjual ke pihak lain karena hampir semua tata niaga kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan yang ikut menandatangani IPOP. Hal ini merugikan petani Indonesia yang menggunakan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Standar yang ditetapkan oleh IPOP lebih tinggi dari pada standar yang ditetapkan pemerintah tersebut sehingga bertentangan dengan peraturan pemerintah yang telah mengatur standar tersebut. Tindakan asosiasi itu diduga telah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga diduga melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karena semakin liciknya pelaku usaha dalam memanfaatkan celah hukum, yang mana kebanyakan kartel dibuat secara sangat tertutup atau rahasia salah satunya berlindung dibalik asosiasi, KPPU mengalami kesulitan pembuktian. Hal ini menjadi catatan khusus dan PR bagi pembuat undang-undang Indonesia untuk memikirkan bagaimana problem solving terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum persaingan usaha.

Jika melihat negara lain, dalam menghadapi kendala sulitnya pembuktian suatu pelanggaran, Amerika Serikat dan Uni Eropa menggunakan leniency program. Leniency berarti kemurahan hati, kelonggaran, atau pengampunan. Inti dari program leniansi ini adalah pemerintah memberikan kemurahan, kelonggaran, atau pengampunan (immunity) kepada pelaku usaha yang mengungkapkan atau memberikan informasi tentang adanya kartel yang telah dibuat bersama dengan para pelaku usaha yang lain.

Pelaku usaha yang menjadi whistle-blower ini akan dibebaskan dari denda atau dikurangi dendanya tergantung sejauh mana pelaku usaha tersebut membantu lembaga pengawas persaingan dalam mengungkap kartel yang bersangkutan11.

Program leniency pertama kali diperkenalkan di AS oleh Departemen Kehakiman AS pada tahun 1978 yang diperbaiki pada tahun 1993. Dalam program yang disebut Corporate Leniency Programs pelaku usaha dapat memperoleh pengurangan

11 Andi Fahmi Lubis, et.al., Loc.cit.

(9)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 90 atau pembebasan denda walaupun investigasi sudah dimulai apabila Divisi Antitrust di FTC tidak mempunyai cukup bukti adanya pelanggaran hukum antitrust12. Program leniency di AS ini sukses. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan laporan kartel sebanyak 20% pada setiap tahunnya13. Pada tahun 1996, program leniency juga diperkenalkan di Uni Eropa. Telah dinyatakan bahwa European Commission Leniency Programs ini merupakan kiat yang paling efektif dalam penegakan hukum persaingan di Uni Eropa14. Pelaku usaha yang pertama kali membeberkan kartelnya kepada European Comission (EC) sebelum EC mengetahui/memulai investigasi, akan mendapat pembebasan atau minimal 75% pengurangan dari hukuman.

Di Jerman memberlakukan prinsip “first come first served” yang berarti siapa yang lebih dulu mendekati Bundeskartellamt (Lembaga Pengawas Persaingan Usaha), dialah yang berhak mendapatkan kemurahan atau pengampunan, semakin lebih awal dan semakin besar peranannya akan semakin besar pengurangan denda, atau bahkan dibebaskan/ diampuni. Pelaku usaha yang pertama kali mengungkapkan adanya kartel, asalkan dia membantu terus Bundeskartellamt akan mendapat pengampunan. Pelaku usaha lainnya akan dikurangi persentasi dendanya maksimum 50% tergantung nilai kontribusi bantuannya kepada Bundeskartellamt15. Leniency programs di Jerman telah berjalan sukses. Dari tahun 2000 sampai 2005, sejumlah 122 permohonan leniansi diajukan ke Bundeskartellamt. Dari tahun 2006 sampai 2009, ada 112 permohonan.

Permohanan yang lebih dari 230 itu telah membantu mengungkap, membubarkan kartel dan menghukum para anggotanya16.

Apakah Leniency Program Perlu untuk Diadopsi dalam Produk Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia?

Berdasarkan penerapan leniency program yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta kesamaan masalah yang dihadapi, Indonesia dipandang perlu mengadopsi Liniency Program dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Saran atau pendapat agar program leniency untuk diadopsi dalam UU 5/1999 sudah lama ada. Beberapa

12 Joan-Ramon Borrell, et.al., Loc.cit.

13 Retno Wiranti, Loc.cit.

14 Roberto Grasso, Loc.cit.

15 Bundeskartellamt, Effective Cartel Prosecution Benefits for the economy and consumers,

Kaiser-Friedrich-Straße, 2016 h. 17–19

https://www.bundeskartellamt.de/SharedDocs/Publikation/EN/Brosch%C3%BCren/Brochure%20-

%20Effective%20cartel%20prosecution.pdf?__blob=publicationFile&v=13.

16 Ibid, h. 19.

(10)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 91 akademisi di Indonesia menyatakan bahwa UU ini sebaiknya segera direvisi dan memasukkan leniency programs ini sebagai upaya mengatasi masalah pembuktian kasus persaingan usaha di Indonesia. Namun, program ini tidak akan menarik pelaku usaha apabila denda administratif dan/atau pidana denda tidak dinaikkan. Besaran denda bagi pelanggar harus ditinggikan, dengan begitu ada keseimbangan tawaran insentif sanksi dengan potensi keuntungan kartel bagi perusahaan. Oleh karena itu, perlu ada pembahasan yang serius juga tentang perbaikan sanksi ini berkaitan dengan penerapan leniency programs di Indonesia. Selain itu juga perlu ada tambahan kewenangan KPPU untuk melakukan penggeledahan atau yang dikenal dengan upaya paksa, karena laporan dari seorang whistle-blower tidak bisa ditindaklanjuti secara efektif apabila KPPU tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penggeledahan.

Dewasa ini, tidak adanya program leniency di suatu negara merupakan permasalahan yang krusial dalam penegakan hukum persaingan. Indonesia mengalami hal ini karena tidak mempunyai program ini17.

KESIMPULAN

Pada praktek penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia, mengalami beberapa kendala. Kendala tersebut berada pada pembuktian kasus pelanggaran.

Karena pada dasarnya perjanjian yang dilarang yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak selalu lahir dari suatu perjanjian yang tertulis. Ini merupakan salah satu kesulitan untuk membuktikan adanya perjanjian dalam menggunakan pendekatan per se illegal. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak diatur tentang bagaimana cara membuktikan adanya suatu perjanjian. Akibatnya, berkaitan dengan perjanjian yang tidak ada bukti langsung, maka KPPU tidak bisa menggunakan dasar tersebut. Sebagai contoh konkretnya adalah kasus perjanjian penetapan harga dan kartel.

Jika melihat di negara-negara lain misalnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, mereka menggunakan leniency program untuk mengatasi kesulitan pembuktian pelanggaran dan sebagai upaya memberantas kartel. Program leniency di AS sukses dengan adanya peningkatan laporan kartel sebanyak 20% pada setiap tahunnya.

Begitupun di Jerman yang telah berjalan sukses, dari tahun 2000 sampai 2005 tercatat sejumlah 122 permohonan leniency diajukan ke Bundeskartellamt. Dari tahun 2006 sampai 2009, ada 112 permohonan. Permohanan yang lebih dari 230 itu telah membantu

17 Andi Fahmi Lubis, et.al., Op.Cit, h. 115.

(11)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 92 mengungkap, membubarkan kartel dan menghukum para anggotanya.

Sehingga dengan melihat keberhasilan penerapan leniency programs di negara- negara lain, Indonesia dipandang perlu mengadopsi Liniency Programs dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Beberapa akademisi di Indonesia juga berpendapat bahwa UU ini sebaiknya segera direvisi dan memasukkan program leniency ini sebagai upaya mengatasi masalah pembuktian kasus persaingan usaha di Indonesia. Penerapan program leniency ini tidak akan menarik pelaku usaha apabila denda administratif dan/atau pidana denda tidak dinaikkan. Besaran denda bagi pelanggar harus ditinggikan, dengan begitu ada keseimbangan tawaran insentif sanksi dengan potensi keuntungan kartel bagi perusahaan. Oleh karena itu, perlu ada pembahasan yang serius juga tentang perbaikan sanksi ini berkaitan dengan penerapan program leniency di Indonesia. Selain itu dalam leniency program ini perlu ada tambahan kewenangan KPPU untuk melakukan penggeledahan atau yang dikenal dengan upaya paksa, karena laporan dari seorang whistle-blower tidak bisa ditindaklanjuti secara efektif apabila KPPU tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penggeledahan.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Bundeskartellamt (2016) Effective Cartel Prosecution Benefits for the economy and consumers. Bundeskartellamt, Kaiser-Friedrich-Straße 2016.

https://www.bundeskartellamt.de/SharedDocs/Publikation/EN/Brosch%C3%B Cren/Brochure%20%20Effective%20cartel%20prosecution.pdf?__blob=publica tionFile&v=13 .

Hansen, Knud (2002) Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Katalis Publishing-Media Services, Jakarta.

Lubis, Andi Fahmi, et.al., (1999) Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks.

Deutche Gesellchaft fur Techische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta.

Wibowo, Destivano dan Harjon Sinaga (2005) Hukum Acara Persaingan Usaha. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Jurnal

Grasso, Roberto (2008), “The E.U. Leniency Program and U.S. Civil Discovery Rules: A Fraternal Fight?”, Michigan Journal of International Law Volume 29 No.

https://repository.law.umich.edu/mjil/vol29/iss3/3

(12)

Jurnal Kawruh Abiyasa Vol 1 No 1 (2021) 93 Joan-Ramon Borrell, et.al., (2015), “The Leniency Programme: Obstacles on The Way to Collude”, Journal of Antitrust Enforcement Volume 3 No. 1 DOI:

https://doi.org/10.1093/jaenfo/jnu013.

Wiranti, Retno (2010), “Leniency Programs dalam Perang Melawan Kartel”, Media

Berkala KPPU Edisi 22 https://kppu.go.id/wp-

content/uploads/2020/03/kompetisi_2010_edisi22.pdf

Dokumen daring

Huda, Nickmatul (2021) KPPU Tenggarai ada Kartel di Asosiasi Kelapa Sawit.

https://bisnis.tempo.co/read/762608/kppu-tengarai-ada-kartel-di-asosiasi kelapasawit/full&view=ok. Diakses pada tanggal 11 April 2021.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menghubungkan adab dengan keseimbangan alam ataupun ekologi, Ziauddin Sardar menggariskan tujuh prinsip utama iaitu; Kesedaran sikap terhadap pertautan antara setiap ahli

67uida ida8 8 yan yang g ten tentu tu saj saja a en engal galir ir dar dari i te tepat pat yan yang g ber bertek tekanan anan tin tinggi ggi ke ke tepat

(2002) tutkimuksen mukaan masennus ja yksinäisyys pahenivat, kun internetissä käytetty aika kasvoi. Jatkotutkimuksessa tätä ei kuitenkaan enää huomattu, eikä

Program pengabdian masyarakat ini akan dilaksanakan oleh tim pengabdi ITS bekerjasama dengan Universitas PGRI Ronggolawe untuk memberikan pelatihan dan pendampingan

N-Gain skor kinetika kimia mahasiswa angkatan 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan angkatan lama tetapi pembelajaran aktif-kooperatif yang dikembangkan dapat diterapkan

Eksploitasi minyak dan gas bumi Blok Cepu yang dimulai pada tahun 2009 menjadi awal adanya isu berkaitan dengan kesenjangan fiskal pembagian Dana Bagi Hasil

Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan persuratan, penyusunan rencana program, keuangan, administrasi kepegawaian, perlengkapan, dokumentasi dan

promosi pengecer yang dilaksanakan oleh Alfamart Moch. b) Untuk mengetahui gambaran ekuitas merek Alfamart di Bandung. menurut konsumen Alfamart Moch. c) Untuk