• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebahagiaannya masing masing.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebahagiaannya masing masing."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebahagiaannya masing – masing.

Setiap manusia mempunyai cara pandangnya sendiri dalam menyikapi kebahagiaan.

Dinamika kebahagiaan hidup manusia tampak begitu bervariasi, beraneka ragam dan berbeda antara satu kebahagiaan dengan kebahagiaan yang lain, ada orang – orang yang menganggap kesuksesan dalam karir sebagai suatu kebahagiaan, ada yang menganggap kebahagiaan ialah kesuksesan dalam studi, adalah sebuah kebahagiaan bila memiliki harta yang banyak, menjadi sebuah kebahagiaan bila memiliki keluarga yang harmonis, bahkan ada yang menyatakan sebagai suatu kebahagiaan bila dapat melewati hari – hari tanpa masalah (dalam The Journal of Philosophy and Theology ratadiajo.wordpress.com; 2013).

Kebahagiaan seseorang dapat diketahui dari penjelasan seseorang mengenai keadaan emosinya dan bagaimana perasaannya tentang dunia sekitar dan dirinya sendiri.

Cara bagaimana seseorang mengevaluasi hidup mereka mengacu pada subjective well- being (Ed Diener, Eunkook Suh, dan Shigehiro Oishi; 1997). Menurut William C.

Compton (2005), secara garis besar indeks subjective well-being seseorang dilihat dari skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup. Dan dari hidup yang bahagia itu manusia dapat mencapai kepuasan dalam hidup.

Kebahagiaan erat hubungannya dengan pernikahan. Seseorang dianggap bahagia dan mencapai kepuasan hidup ketika mereka sudah menikah dan memiliki keluarga.

Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai

(2)

pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004).

Banyak yang menginginkan untuk menikah. Lalu bagaimana dengan wanita yang memiliki gaya hidup yang berbeda, mereka tidak memikirkan pernikahan.

SWB merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena SWB mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain kehidupan (Pavot &

Diener, 2004). Individu dengan SWB yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan perfomansi kerja yang lebih baik.

Menurut Diener (2009) definisi dari SWB dan kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, SWB bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, SWB merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang merujuk pada berbagai macam kriteria. Arti ketiga dari SWB jika digunakan dalam percakapan sehari – hari yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif.

Diener (2005) secara ilmiah berusaha memaparkan bahwa SWB mengacu pada berbagai tipe evaluasi, afektif dan kognitif yang dibuat seseorang terhadap hidupnya.

Termasuk di dalamnya, evaluasi secara kognitif, seperti kepuasan hidup, kepuasan dalam pekerjaan, minat dan ketertarikan, serta evaluasi afektif seperti reaksi afeksi terhadap pengalaman hidup, kebahagiaan dan kesedihan. Compton (2005), berpendapat bahwa SWB terbagi dalam dua variabel utama: kebahagiaan dan kepuasan hidup.

(3)

Kebahagiaan berkaitan dengan keadaan emosional individu dan bagaimana individu merasakan diri dan dunianya. Kepuasan hidup cenderung disebutkan sebagai penilaian global tentang kemampuan individu menerima hidupnya.

Diener, Suh, & Oishi dalam Eid dan Larsen (2008), menjelaskan bahwa individu dikatakan memiliki SWB tinggi jika mengalami kepuasan hidup, sering merasakan kegembiraan, dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki SWB rendah jika tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negative seperti kemarahan atau kecemasan. Veenhoven (dalam Diener, 2009) mendefinisikan SWB sebagai sejauh mana individu menilai kualitas keseluruhan dari dirinya atau hidupnya secara lengkap dan utuh.

Menurut Diener (dalam Eid & Larsen) SWB terbagi dalam dua dimensi umum, yaitu:

1. Dimensi kognitif

Dimensi kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi:

a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction).

Kepuasan hidup menggambarkan bagaimana seseorang individu mengevaluasi atau memberi penilaian pada hidupnya secara keseluruhan. Hal in dimaksudkan untuk menunjukkan sebuah penilaian secara luas yang dibuat orang tersebut dalam hidupnya.

Menurut Haybron (dalam Eid & Larsen, 2008), kepuasan hidup juga

(4)

dilihat sebagai suatu hal yang holistik. Holistic yang dimaksud dalam hal ini adalah keseluruhan dari hidup seseorang atau sebuah totalitas dari kehidupan seseorang setelah periode waktu tertentu dalam kehidupannya.

Diener, Lucas, dan Smith (1999) memaparkan bahwa dalam aspek kepuasan hidup ini terdapat beberapa pun penilaian, yaitu keinginan untuk mengubah kehidupan, kepuasan terhadap hidup saat ini, kepuasan hidup di masa lalu, kepuasan terhadap kehidupan di masa depan, dan penilaian orang lain terhadap kehidupan seseorang.

Kelima aspek tersebut juga terangkum dalam 5 item pernyataan dalam satisfaction with life scale oleh Diener (2009) dalam bukunya yang berjudul Assessing Well-Being.

b. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu.

Menurut Diener (2009), kepuasan domain merefleksikan evaluasi seseorang terhadap domain spesifik dari kehidupan. Kepuasan domain tertentu dalam kehidupan juga merupakan penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain penting dalam hidup, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, hubungan sosial, dan keluarga.

Biasanya orang mengindikasikan seberapa puas mereka dalam berbagai domain, tetapi mereka juga dapat menunjukkan seberapa banyak mereka menyukai kehiduoan mereka di bagian – bagian tertentu kehidupa. Meski begitu, Diener (2009) juga melihat bahwa penilaian terhadap kepuasan domain kehidupan merupakan sebuah

(5)

kumpulan dan berat yang diberikan bagi setiap domain berbeda bagi masing – masing individu.

Diener, Lucas, dan Smith (1999) memaparkan bahwa dalam aspek domain kepuasan hidup ini terdapat; pekerjaan, keluarga, waktu luang, kesehatan, keuangan, dan diri sendiri. Namun, karena perbedaan focus dan porsi domain kehidupan bagi masing – masing individu, Diener lebih memfokuskan pengukuran SWB hanya dari ketiga aspek lainnya, yaitu kepuasan hidup secara keseluruhan, afek positif dan afek negative.

2. Dimensi Afeksi

Secara umum, dimensi afeksi SWB merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe – tipe dari reaksi afektif yang ada seorang peneliti dapat memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen afektif SWB dapat dibagi menjadi:

a. Afek positif (positive affect)

Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari SWB karena emosi – emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa – peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesui dengan apa yang ia inginkan. Afek positif terlihat dari emosi – emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited), kuat (strong), antusias (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert),

(6)

bangga (proud), bersemangat (inspired), penuh tekad (determined), penuh perhatian (attentive), dan aktif (active).

b. Afek negatif (negative affect)

Afek negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami. Afek negatif terlihat dari emosi – emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressed), kecewa (disappointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile), lekas marah (irritable), malu (shame), gelisah (nervous), gugup (jittery), khawatir (afraid).

Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua komponen yang ada dalam SWB yaitu komponen kognitif dan komponen afektif, dimana komponen kognitif berfungsi sebagai proses pengevaluasian dari kepuasan hidup, sedangkan komponen afektif yaitu berupa pemberian refleksi pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di kehidupan seseorang.

Ada beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi SWB:

a. Faktor genetik

Diener dkk. (2005) menjelaskan bahwa walaupun peristiwa di dalam kehidupan mempengaruhi SWB, seseorang dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut dan kembali kepada „set point‟ atau „level adaptasi‟ yang ditentukan secara biologis. Adanya stabilitas dan konsistensi di dalam SWB tejadi karena ada peran yang besar dari

(7)

komponen genetis; jadi ada sebagian orang yang memang lahir dengan kecenderungan untuk bahagia, dan ada juga yang tidak. Faktor genetik tampaknya mempengaruhi karakter respon emosional seseorang pada kondisi kehidupan tertentu.

b. Kepribadian

SWB adalah sesuatu yang stabil dan konsisten, dan secara empiris berhubungan dengan konstruk kepribadian. Lykken dan Tellegen (dalam Diener & Lucas, 1999) menyatakan bahwa kepribadian mempunyai efek terhadap SWB saat itu (immediate subjective well- being) sebesar 50%, sedangkan pada jangka panjangnya, kepribadian mempunyai efek sebesar 80% terhadap SWB. Sisanya adalah efek dari lingkungan. Dua traits kepribadian yang ditemukan paling berhubungan dengan SWB adalah extraversion dan neuroticism (Pavot & Diener, 2004). Extraversion mempengaruhi afek positif, sedangkan neuroticism mempengaruhi afek negatif. Menurut Pavot & Diener (2004), banyak peneliti beragurmen bahwa extraversion dan neuroticosm berhubungan dengan subjective well-being karena kedua traits tersebut mencerminkan temperamen seseorang.

Di sisi lain, trait lain dalam model kepribadian “the big five trait factors”, yaitu agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience menunjukkan bahwa hubungan yang lebih lemah dengan subjective well-being (Watson & Clark dalam Diener & Lucas, 1999).

Scidlitz (dalam Diener & Lucas, 1999) mengatakan bahwa hubungan tersebut lebih lemah karena trait terbentuk dari reward oleh lingkungan,

(8)

dan bukannya oleh reaktivitas faktor biologis terhadap lingkungan.

Hubungan extraversion, conscientiousness dan neuroticism dengan subjective well-being ditengahi oleh self-esteem. Sedangkan relational esteem (kepuasan terhadap keluarga dan teman ) menjadi moderator bagi hubungan agreeableness dan extraversion dengan subjective well-being (Benet-Martinez & Karakitapoglu-Aygun; Kwan, Bond, & Singelis dalam Ozer &Benet-Marinez, 2006).

c. Faktor demografis

Secara umum, Diener (dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2005) mengatakan bahwa efek faktor demografis (misalnya pendapatan, pengangguran, status pernikahan, umur, jenis kelamin, pendidikan, ada tidaknya anak) terhadap SWB biasanya kecil. Faktor demografis membedakan antara orang yang sedang – sedangn saja dalam merasakan kebahagiaan (tingkat SWB sedang), dan orang yang sangat bahagia (tingkat SWB tinggi).

Diener, dkk. (2005) menjelaskan bahwa sejauh mana faktor demografis tertentu dapat meningkatkan SWB tergantung dari nilai dan tujuan yang dimiliki seseorang, kepribadian, dan kultur. Penjelasan lain mengenai hubungan antara faktor demografis dan SWB adalah dengan menggunkan teori perbandingan sosial. Teori tersebut menyebutkan bahwa kepuasan seseorang tergantung pada apakah ia membandingkan dirinya dengan seseorang yang statusnya ada di atas dia atau ada di bawah dia.

Berikut ini adalah beberapa pengaruh demografis terhadap SWB:

(9)

1. Pendapatan

Pendapatan secara konsisten berhubungan dengan SWB dalam analisis pada tingkat dalam suatu Negara (intra-nation) dan antar Negara (inter-nation), namun dalam analisis di dalam individu itu sendiri dan dalam tingkat nasional, perbedaan pendapatan di dalam selang waktu tertentu mempunyaI efek yang kecil pada SWB (Diener dkk, 2005).

2. Pengangguran

Adanya periode pengangguran dapat menyebabkan berkurangnya SWB, walaupun akhirnya orang tersebut dapat bekerja kembali (Clark, Georgellis, Lucas, & Diener dalam Pavot & Diener, 2004). Pengangguran adalah penyebab besar adanya ketidakbahagiaan, namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua pengangguran mengalami ketidakbahagiaan (Argyle, 1999). Argyle mengungkapkan lebih lanjut bahwa beberapa penyebab penganggur tidak bahagia adalah karena berkurangnya afek positif, self-esteem, kepuasan terhadap uang, kesehatan, dan tempat tinggal, serta munculnya apati.

3. Status pernikahan

Pernikahan diduga berhubungan timbal balik dengan SWB (Heady, Veenhoven, & Wearing, 1991). Menikah memang meningkatkan SWB, tetapi apabila orang menikah tersebut mempunyai SWB yang rendah, maka pernikahannya cenderung untuk menjadi buruk (Heady, dkk., 1991).

(10)

4. Umur dan jenis kelamin

Umur dan jenis kelamin berhubungan dengan SWB, namun efek tersebut juga kecil, dan tergantung kepada komponen mana dari SWB yang diukur (Diener dkk., 2005).

5. Pendidikan

Pendidikan berhubungan dengan SWB apabila ditengahi oleh status di dalam pekerjaannya. Apabila status pekerjaannya di control, efek pendidikan menjadi kecil atau hilang sama sekali (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1999).

Apabila pendapatan yang dikonstankan, maka pendidikan mempunyai efek negatif, karena pendidikan memberi ekspektasi akan didapatkannya pendapatan yang lebih besar (Clark & Oswald dalam Argyle, 1999).

6. Ada tidaknya anak

Diener (dalam Daunkantantie, 2006) mengatakan bahwa keberadaan anak dalam keluarga mempunyai efek negatif atau tidak ada efek terhadap SWB, namun penemuan tersebut masih simpang siur dan respondennya terdiri dari berbagai usia dan gender.

d. Hubungan sosial

Diener & Seligman (dalam Pavot & Diener, 2004) menemukan bahwa hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi tidak cukup untuk membuat SWB seseorang tinggi. Artinya,

(11)

hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang dengan SWB yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan sosial dengan baik.

e. Dukungan sosial

Dukungan sosial dikatakan oleh Arygle (dalam Heady dkk., 2001) merupakan salah satu variabel determinan dari SWB. Dalam hubungannya dengan komponen SWB, Walen dan Lachman (2000) mengatakan bahwa dukungan sosial yang dipersepsikan dapat menjelaskan sebagian besar varians pada kepuasan hidup dan afek positif. Penemuan Walen dan Lachman (2000) tersebut didukung oleh Goodwin dan Plaza (2000) yang menemukan bahwa ada korelasi yang signifikan (r = 0,59) antara dukungan sosial yang dipersepsikan secara global dengan kepuasan hidup.

f. Pengaruh masyarakat atau budaya

Diener (dalam Pavot & Diener, 2004) mengatakan bahwa perbedaan SWB dapat timbul karena perbedaan kekayaan Negara.

Adanya hubungan antara masyarakat dan budaya dengan SWB dapat dijelaskan pula dengan adanya perbedaan persepsi masyarakat di Negara masing – masing mengenai konsep kebahagiaan (Diener & Suh, 1999).

Diener & Suh (1999) juga mengatakan ada variabel lain di dalam konteks masyarakat yang berhubungan dengan SWB yang lebih tinggi, yaitu stabilitas politik di suatu Negara.

Perbedaan norma kultural juga dapat mempengaruhi afek positif dan afek negatif. Diener, Suh, Oishi, dan Shao (dalam Diener & Lucas, 1999) mengatakan bahwa afek positif lebih dipengaruhi oelh norm

(12)

kultural dibandingkan afek negatif. Selain membuat adanya perbedaan SWB antara satu Negara dengan Negara lain, norma kultur juga dapat mempengaruhi hal – hal yang berhubungan dengan SWB (Diener dkk., 2005). Contohnya, hubungan self-esteem dengan SWB lebih kuat pada Negara individualis daripada Negara kolektivis (Diener & Diener dalam Ryan & Deci, 2001).

g. Proses kognitif

Disposisi kognitif seperti harapan (Synder dalam Diener dkk., 2005), kecenderungan seseorang untuk optimis (Scheier & Carver dalam Diener dkk., 2005), dan kepercayaan bahwa dirinya mempunyai kendali ditemukan mempengaruhi SWB (Grob, Stetensko, Sabatier, Botcheva, &

Macek dalam Diener dkk., 2005). Perbedaan SWB juga dihasilkan dari perbedaan individu dalam bagaimana ia berpikir tentang dunia (Diener dkk., 2005).

h. Tujuan (goals)

Emmons, Little, Freund, dan Klinger (dalam Diener & Scollon, 2003) menyatakan bahwa mempunyai sebuah tujuan merupakan hal yang penting bagi seseorang, dan kemajuan terhadap pencapaian tujuan tersebut adalah hal yang penting bagi SWB-nya. Cantor (dalam Diener &

Scollon, 2003) menekankan pada pentingnya mengetahui tugas yang diahadapi dalam tahap perkembangan seseorang, dimana kultur juga berperan dalam menentukan tujuan tertentu untuk tiap tahap.

Pada jaman modern dan berteknologi tinggi seperti sekarang ini, banyak wanita yang lebih termotivasi untuk mengaktualisasikan dirinya. Para wanita lebih

(13)

menitikberatkan pada karir atau pekerjaan dan cenderung terkesan menunda pernikahan (Rubianto, 2000). Para wanita modern sekarang ini tidak terlalu memikirkan untuk menikah muda, mereka lebih ingin berkarir dahulu. Ketika sendiri (belum terikat pernikahan) wanita merasa lebih bebas berkarya, bebas menentukan karirnya, bebas dalam memenuhi kebutuhannya, dll. Mereka tidak harus tergantung terhadap suaminya, mereka tidak harus terikat dengan suaminya.

Pada era Globalisasi ini pendidikan dan karir untuk wanita semakin terbuka sehingga wanita bersemangat dalam meraih karir yang lebih baik. Wanita muda pada usia dewasa awal yang ingin fokus pada pekerjaan memilih untuk menunda pernikahan karena pernikahan terkadang menjadi penghambat bagi wanita untuk mencapai cita – citanya dalam berkarir. Hurlock (1998) mengungkapkan, alasan terbesar wanita melajang adalah rasa ingin menikmati kebebasan karena dapat meluangkan waktu dan energy untuk karir. Sekarang ini beberapa perusahaan menyeleksi pekerjaan tidak hanya berdasarkan pengalaman dan pendidikannya tetapi juga status perkawinannya, yaitu lebih menyukai status lajang (Hewlett, 2006).

Laswell & Laswell (1987) menyebutkan wanita lajang adalah para wanita yang berada dalam suatu masa yang dapat bersifat temporary (sementara) atau jangka pendek, yaitu biasanya dilalui sebelum menikah atau dapat juga bersifat jangka panjang jika merupakan pilihan hidup. Melajang bagi wanita bisa menjadi pilihan hidup bisa juga karena belum menemukan pasangan hidup padahal ada keinginan untuk menikah.

Pada dasarnya wanita yang melajang sudah memikirkan masa depannya, mereka mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri. Wanita yang memang memilih dan memutuskan sendiri untuk hidup melajang pasti sudah memikirkan segala kemungkinan

(14)

dan konsekuensi yang akan diterimanya, seperti kesepian, kurangnya relasi intim dengan orang lain, dan kekuatiran akan hari tua (Gunadi, 2001). Tidak dipungkiri bahwa wanita sekarang ini lebih banyak yang mengejar karir setinggi – tingginya, karena kembali lagi bahwa pada era globalisasi, aktualisasi diri menjadi aspek yang sangat penting. Wanita tidak mau lagi terlalu bergantung kepada laki – laki.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, subjek menceritakan bahwa dirinya enjoy dengan keadaan dirinya saat ini. Dia tidak peduli dengan kata – kata orang lain tentang hidupnya yang sampai saat ini belum mempunyai pasangan.

Subjek juga mengatakan bahwa dirinya tidak terlalu memikirkan tentang kehadiran pasangan hidupnya, subjek sudah nyaman dengan kesendiriannya. Subjek juga lebih banyak waktu bersama dengan keluarga dan teman – temannya.

Dari hasil penelitian sebelumnya mengenai “Subjective well-being pada wanita karir usia dewasa madya yang masih lajang” diperoleh hasil bahwa penyebab wanita karir usia dewasa madya masih melajang karena subjek merasa nyaman dan menikmati hidupnya dan subjek terlalu memikirkan karirnya sehingga melupakan kehidupan pribadinya serta keluarga subjek memberikan kebebasan untuk subjek dalam menentukan hidupnya. Gambaran subjective well-being pada wanita karir usia dewasa madya adalah subjek lebih banyak merasakan afek positif seperti perasaan sukacita, bersyukur, perhatian terhadap keluarga, berbagi terhadap sesama dan mencoba memperbaiki keadaan walaupun kadang subjek pernah merasakan afek negatif seperti kegagalan dan putus asa, serta subjek juga memiliki kepuasan hidup. Faktor – faktor menyebabkan subjective well-being pada subjek adalah faktor sifat ekstrovert (terbuka), optimis, hubungan yang positif, kontak sosial serta pemahaman tentang arti dan tujuan.

(15)

Pada penelitian yang lain mengenai “Subjective well-being pada wanita dewasa akhir yang hidup melajang” didapatkan hasil bahwa gambaran subjective well-being terlihat dari penilaian positif tentang kehidupan melajang, adanya hubungan positif dengan lingkungannya, serta memiliki job satisfaction. Faktor – faktor yang mempengaruhi subjective well-being terlihat dari adanya dukungan dari orang – orang terdekat, peristiwa positif dalam hidup, kegiatan religiusitas dan kondisi finansial yang memadai.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran subjective well-being pada wanita karir yang melajang. Selain itu, peneliti ingin melihat apa saja faktor - faktor yang mempengaruhi subjective well-being pada wanita karir yang melajang. Yang membedakan adalah pada usia subjek yang akan diteliti.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang mendalam (in-depth), berorientasi pada kasus dari sejumlah kecil kasus, termasuk satu studi kasus (Morissan, 2012).

Peneliti dalam mengambil data penelitian menggunakan teknik wawancara mendalam. Kemudian konsep berpikir yang digunakan oleh peneliti adalah dengan cara induktif.

Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita karir yang melajang.

Kriteria dari subjek yang digunakan adalah sebagai berikut :

(16)

a. Seorang wanita yang sudah bekerja b. Wanita yang belum menikah (melajang) c. Wanita usia di atas 40 tahun.

Alasan memilih subjek wanita karir yang melajang usia di atas 40 tahun adalah pertimbangan usia kritis dimana seorang wanita sudah dianggap sangat siap untuk memiliki keluarga, dan tekanan dari orang – orang sekitar yang semakin banyak.

Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi dari pasrtisipan. Metode ini mencakup cara yang dipergubakan seseorang untuk suatu tujuan tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendapat secara lisan langsung dari seseorang atau informan.

Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang komplek, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena, dan secara maksimal memungkinkan interpretasi tema (Boyatzis dalam Poerwandari, 2001).

Uji Keabsahan Data

Menurut Alsa (2004), validitas penelitian kualitatif adalah kepercayaan terhadap data yang diperoleh dan analisis yang dilakukan peneliti secara akurat dalam mempresentasikan dunia sosial di lapangan. Peneliti menanyakan kebenaran

(17)

atas penyataan (jawaban) yang telah disampaikan oleh partisipan kepada teman dekat partisipan. Dalam proses pengambilan data terlebih dahulu peneliti juga membangun rapport dengan subjek penelitian, agar dalam proses pelaksanaan penelitian nanti antara peneliti dan responden sudah terjalin hubungan yang baik.

Demi memperoleh validitas data, wawancara penelitian ini direkam dengan menggunakan tape recorder. Selain itu peneliti juga menjaga kode etik psikologi dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada tanggal 18 sampai dengan 27 bulan November tahun 2016. Wawancara dilakukan satu kali untuk partisipan pertama dan dua kali untuk partisipan kedua. Partisipan pertama, wawancara dilakukan di kantor beliau tepatnya di Gedung Rektorat UNS dan dilaksanakan pada tanggal 18 November 2016. Dan untuk partisipan kedua, wawancara dilakukan di rumah beliau pada t7anggal 19 dan 27 November 2016.

Partisipan pertama (P1) beinisial H, partisipan lahir dan dibesarkan di kota Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1969. H menganut agama Islam. H merupakan anak kedua dan mempunyai dua adik, dia mempunyai seorang kakak yang sudah meninggal.

H saat ini tinggal bersama ibu, kedua adiknya dan satu keponakan. Ayah H sudah meninggal dunia, dan ibu H merupakan seorang ibu rumah tangga. Saat ini H merupakan pegawai bagian administrasi Universitas Sebelas Maret (UNS). Setelah lulus SMEA, H memutuskan untuk bekerja dahulu. H mempunyai hobi berenang, membaca dan nonton.

(18)

Partisipan kedua (P2) berinisial S, partisipan lahir di Pati pada tanggal 10 Oktober 1963, S kecil pernah tinggal di Semarang. Pada saat SD, S pindah ke Solo dan tinggal di Solo hingga sekarang. S menganut agama Kristen, orang tua dan kedua adik S menganut agama Islam. S merupakan putri pertama dan memmiliki dua adik laki – laki, yang salah satunya sudah menikah. Saat ini S bekerja sebagai guru PKN di salah satu SMP di Surakarta. S mempunyai hobi membuat karya seni seperti: kristik, membuat pernak – pernik dari manik – manik, selain itu S juga mempunyai hobi menyanyi.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kedua partisipan mempunyai gambaran SWB yang tinggi. Selain itu gambaran SWB pada kedua partisipan hampir sama, walaupun mereka memiliki selisih usia 6 tahun, dan salah satu dari mereka masih ingin untuk memiliki keluarga. Gambaran SWB tersebut dapat dilihat dari dimensi yang digunakan oleh penulis yaitu dimensi umum dari Diener (dalam Eid & Larsen).

1. Dimensi kognitif

Kedua partisipan mempunyai penilaian yang tidak jauh berbeda mengenai hidup mereka, yang dalam dimensi ini dibagi ke dalam dua evauasi.

a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction).

P1 mengatakan bahwa dirinya sudah cukup puas dengan kehidupannya saat ini, P1 senantiasa bersyukur atas apa yang sudah didapatkannya baik itu materi maupun non materi. P1 tidak merasa statusnya saat ini (melajang) Untuk kehidupannya masa lalu, P1 hanya menyayangkan mengapa dulu dia seenaknya sendiri pada waktu sekolah. sedangkan untuk P2, partisipan belum merasa puas dengan kehidupannya saat ini. P2 merasa belum bisa membahagiakan kedua adiknya karena kedua orang tuanya sudah

(19)

tiada. P1 dan P2 mensyukuri apa yang sudah terjadi pada diri mereka. P1 dan P2 berusaha yang terbaik untuk kehidupannya di masa yang akan datang, mereka berusaha memperbaiki apa yang kurang di masa lalu. P1 belum memiliki pasangan hingga saat ini hanya karena P1 belum menemukan seseorang yang pas dengan dirinya. P1 mengatakan bahwa dia ingin segera menikah dengan laki – laki pilihannya, tetapi teman dekatnya mengatakan bahwa P1 selalu mengatakan hal yang sama ketika di tanya mengenai pasangan hidupnya. Sedangkan P2 mempunyai pengalaman masa lalu yang membuatnya trauma hingga sekarang. Trauma yang dirasakan oleh P2 adalah takut jika apa yang dialami oleh kedua orang tuanya dahulu terjadi pada dirinya juga. Keluarga P2 bukanlah keluarga yang harmonis, ayah P2 sering menelantarkan ibu P2. P2 mengatakan bahwa sang ayah tidak memenuhi kebutuhan dari sang ibu, seperti contoh yang disampaikan oleh P2, sang ayah tidak membelikan baju baru untuk ibunya ketika lebaran. P2 juga mengatakan bahwa ibunya sering mendapat tindak kekerasan dari ayahnya. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab mengapa P2 tidak menikah hingga saat ini, P2 takut jika hal yang dialami ibunya juga terjadi pada dirinya.

Mengenai penilaian orang lain terhadap kehidupan partisipan, kedua partisipan hampir sama dalam menyikapi hal tersebut. P1 dan P2 cenderung tidak peduli dengan perkataan atau penilaian orang lain terhadap mereka, apalagi ditambah dengan status mereka saat ini. P2 mengatakan bahwa dirinya sudah terbiasa, sehingga dia tidak mau memikirkan perkataan orang lain, dia cenderung membuat segalanya happy. P1 dan P2 seseorang yang

(20)

hampir sama mereka mempunyai cukup banyak teman di sekeliling mereka.

Selain banyak teman, P1 saat ini masih memiliki hubungan dengan seorang laki – laki yang. P1 dan P2 termasuk yang memiliki banyak mantan pacar, mereka mempunyai tipe laki – laki yang mereka sukai. Tetapi untuk P2 saat ini sudah menutup diri, jika dia dekat laki – laki lebih baik seseorang itu menjadi saudara. P2 mengatakan bahwa dirinya dahulu cukup sering diajak untuk menikah, tetapi dirinya tidak mau. Alasan yang cukup kuat adalah karena P2 sudah trauma, disamping itu P2 selalu menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda agama.

P1 dan P2 menerima keadaan dirinya saat ini dengan senang hati, P1 dan P2 sangat bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepada mereka. P1 menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, P2 happy dengan yang dia miliki saat ini. Walaupun P1 dan P2 tidak sempurna tetapi mereka tidak menjadikan itu sebagai kelemahan mereka.

b. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu

P1 dan P2 memiliki persamaan yaitu mereka sama – sama PNS. P1 Mengatakan bahwa dirinya saat ini sudah cukup puas dengan pekerjaannya, karena menurut dia menjadi seorang PNS itu adalah sesuatu yang dia cari.

Mengenai penghasilan P1 merasa penghasilannya sudah cukup, dia menggunakan uang tersebut dengan “belanja pintar”. Sedangkan untuk P2 mengatakan bahwa dirinya belum puas, belum puas disini karena dia menganggap bahwa tujuan pendidikan di Indonesia saat ini belum tercapai.

Dia mengatakan bahwa keadaan dunia pendidikan sekarang ini sangat memprihatinkan. P2 sangat menyayangkan mengapa pendidikan moal di

(21)

Indonesia saat ini tidak ada, mengapa pendidikan PMP harus digantikan dengan PKN yang tidak ada pendidikan moralnya. P2 sangat memikirkan nasib anak – anak jaman sekarang, P2 mengatakan bahwa dirinya akan merasa puas dalam pekerjaannya jika dia bisa berkontribusi dalam mewujudkan tujuan bangsa dan Negara Indonesia.

P1 dan P2 mempunyai keluarga yang sangat mendukung mereka. Ibu dari P1 memang sering menanyakan mengenai kehidupan asmaranya dan juga sering menanyakan kapan mau menikah, tetapi ibu P1 tidak memberikan target untuk cepat – cepat menikah. P1 tidak pernah merasa terganggu dengan pertanyaan – pertanyaan sang ibu, dia merasa hal tersebut wajar jika terjadi. Dan juga keluarga P2 mendukung segala keputusannya, memang dahulu ketika orang tua P2 masih ada, mereka sering bertanya tetapi juga tidak memberikan target. Saat ini P2 tinggal bersama adik – adiknya, mereka tidak pernah menyuruh kakaknya untuk menikah, karena adiknya juga tahu apa yang dirasakan oleh P2. Adik P2 sangat menyayanginya, hal ini bisa dibuktikan dengan adik – adik P2 masih tinggal bersama dengan dirinya, meskipun salah satu adiknya sudah berkeluarga.

Kedua partisipan memiliki keluarga yang hanya sehingga mereka sangat dekat dengan keluargya, hal tersebut yang membuat mereka merasa sangat mendapat dukungan dari keluarganya. Salah satu tujuan hidup mereka adalah membahagiakan keluarganya yang masih ada saat ini.

P1 dan P2 sama – sama sibuk bekerja, mereka bekerja dari pagi hingga sore hari bahkan terkadang hingga malam hari. P1 memanfaatkan waktu luang yang ada untuk melakukan hobinya, selain itu terkadang ia juga

(22)

berkumpul bersama teman – teman atau keluarganya, terkadang dia mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Dia tidak pernah merasa kesepian karena ketika dia sendirian banyak sekali hal – hal yang bisa dikerjakan, dia bisa malakukan hobinya yaitu : nonton, membaca dan berenang. Untuk P2 waktu luang digunakan juga untuk melaksanakan hobinya dalam bidang kesenian. P2 sangat menyukai karya seni seperti:

kristik, membuat pernak – pernik dari manik – manik. Selain untuk melaksanakan hobinya P2 juga menggunkan waktu luangnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti: mencuci pakaian, masak, dan juga merawat cucu dari adiknya.

P1 dan P2 mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai riwayat sakit yang serius. Hanya beberapa penyakit ringan yang sering menyerang mereka, seperti: flu, terlalu capek dan kurang istirahat saja. P1 rutin berolahraga renang, dia sering pergi renang bersama dengan teman dekatnya.

Sedangkan P2 hampir tidak pernah berolahraga kecuali ketika ada senam di sekolah tempat dia bekerja.

Mengenai kondisi keuangan, P1 dan P2 mengaku cukup dengan apa yang sudah dapat dari hasil bekerja mereka. Mereka memanfaatkan uang tersebut untuk membeli kebutuhan sehari – hari, dan menyampingkan keinginan mereka. P1 mengatakan metode dia berbelanja adalah “belanja pintar”. Selain untuk berbelanja kebutuhan, mereka juga menyisakan sedikit uang mereka untuk ditabung, dan memberikan sedikit kepada keluarganya.

Mereka mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan, dan mereka tidak suka meminta kepada orang lain apabila kekurangan. P2 mengatakan bahwa

(23)

lebih baik dia berusaha dan sabar jika tidak punya uang sama sekali atau langsung pinjam di bank daripada harus “tutup lubang, buka lubang” ke orang – orang yang dia kenal.

2. Dimensi Afeksi

Kedua partisipan sering menunjukkan perasaan – perasaan yang menunjukkan emosi ketika suatu peristiwa terjadi.

a. Afek positif

P1 sangat tenang dan santai ketika menceritakan segala hal yang terjadi pada dirinya. P1 tidak merasakan adanya sesuatu yang bisa membuatnya sangat terpuruk, walaupun beberapa peristiwa yang menyedihkan terjadi. P1 sangat enjoy dalam menyikapi suatu hal, dan dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Begitu juga P2, dia selalu terlihat tenang dan selalu tersenyum ketika brcerita. Dia mengatakan bahwa dia selalu menyerahkan segala hal yang terjadi kepada Tuhan, dia mengatakan bahwa setiap yang terjadi dalam hidupnya itu kehendak Tuhan, dan Tuhan pasti akan memberikan jalan keluar.

b. Afek Negatif

Kedua partisipan pasti mengalami keterpurukan tetapi mereka tidak menunjukkan emosi negatif yang berlebihan. P2 mengatakan bahwa dirinya bisa bangkit dari keterpurukan setelah satu minggu.

Setelah itu, dia merasa seperti biasa, bisa enjoy lagi dan gembira lagi seperti biasanya.

(24)

Selain dimensi – dimensi di atas, hasil wawancara juga menunjukkan beberapa faktor yang memengaruhi SWB kedua partisipan, yaitu:

a. Faktor genetik

Kedua partisipan lahir dalam keluarga yang sangat mendukung mereka.

Karena dukungan keluarga yang besar, kedua partisipan sangat mudah beradaptasi dengan keadaan yang menimpa mereka. Ketika mereka mendapatkan suatu masalah, mereka langsung cerita kepada keluarga dan meminta pendapat kepada keluarganya.

b. Faktor kepribadian

Kedua partisipan mempunyai afek positif yang baik, mereka selalu menunjukkan emosi positif dimanapun mereka berada. Mereka sangat terbuka dengan keadaan di lingkungan sekitar mereka. Mereka tidak menutupi hal – hal yang terjadi pada dirinya kepada orang – orang terdekat mereka.

c. Faktor demografis

Faktor demografis yang nampak pada kedua partisipan adalah pendapatan dan pendidikan. P1 dan P2 saat ini sudah mempunyai pendapatan yang tetap, mereka merasa apa yang didapat sekarang ini sudah cukup. Mereka bisa memenuhi segala kebutuhan sehari – hari mereka. Selain itu, kedua partisipan menempuh pendidikan yang tinggi. P1 adalah lulusan S1 jurusan ekonomi, dan P2 saat ini sedang menempuh pendidikan S1-nya di Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan. Mereka mempunyai pemikiran yang luas akan beberapa hal, hal tersebut menjadikan mereka seseorang yang melihat sesuatu tidak hanya dari satu sisi saja.

(25)

d. Hubungan sosial

P1 dan P2 mempunyai hubungan sosial yang baik, mereka mempunyai banyak teman di sekitar mereka. Mereka mudah bergaul dengan siapa saja yang ada. Mereka tidak pernah membeda – bedakan satu orang dengan orang lain.

e. Dukungan sosial

Kedua partisipan memiliki dukungan sosial yang sangat besar, tidak hanya dari keluarganya tetapi juga dari orang – orang di sekitarnya. Mereka tidak pernah merasakan kesepian atau hal – hal yang membuat mereka sedih terlalu lama.

f. Proses Kognitif

P1 dan P2 memiliki pemikiran yang sangat optimis dalam segala hal.

Mereka selalu bersyukur atas segala hal yang telah mereka dapatkan. P2 cenderung menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan jika dia ingin sesuatu dia pasti berpikir bahwa suatu saat nanti dia akan memilikinya. P1 dan P2 memiliki pemikiran yang luas tentang hal – hal di sekitar mereka.

g. Tujuan

Kedua partisipan mempunyai tujuan hidup yang jelas, yang bisa memotivasi mereka untuk melakukan hal – hal yang lebih baik dari hari ini. P2 sangat bersemangat untuk memajukan bangsa dan Negara. Mungkin apa yang mereka cita – citakan dari kecil tidak terpenuhi, tetapi semangat mereka dalam pekerjaannya saat ini sangat kuat.

(26)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada dua dimensi subjective well-being pada wanita karir yang melajang yaitu dimensi kognitif dan dimensi afeksi dari kedua partisipan terpenuhi. Kedua partisipan pastinya mempunyai masalah dan cara mengatasinya sendiri – sendiri. Kedua partisipan sangat menikmati dan enjoy dalam menghadapi hidupnya dan dalam menyikapi statusnya yang melajang. Kedua partisipan menyerahkan segala hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan begitu mereka merasa lebih nyaman dalam menjalani hidup mereka. Dengan berpegang kepada Tuhan, kedua partisipan menjadi kuat dan lebih tenang dalam menjalani kehidupannya bersama dengan orang – orang yang mereka sayangi.

Dari kedua partisipan, mempunyai faktor – faktor yang sama dalam meningkatkan subjective well-being mereka. Faktor – faktor yang berpengaruh diantaranya adalah pendapatan, dukungan sosial, hubungan sosial. Kedua partisipan mengaku puas dengan kehidupannya dalam beberapa hal, tetapi tetap ada hal – hal yang mereka masih ingin capai karena manusia pasti akan selalu merasa kurang.

SARAN

Sesuai dengan hasil penelitian dan berdasarkan pemahaman dan kesimpulan yang ada, maka penulis memberikan beberapa saran, yaitu:

1. Bagi kedua partisipan diharapkan dapat meningkatkan subjective well-being pada dirinya dengan cara lebih mempertahankan dan meningkatkan relasi terhadap Tuhan dan lingkungan sekitar.

(27)

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih jeli melihat faktor – faktor lain yang mempengaruhi subjective well-being pada partisipan.

3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih selektif dalam memilih partisipan.

(28)

Daftar Pustaka

Bartram, D., & Boniwell, L. 2007. The science of happiness: Achieving sustained psychological well being. Positive Psychology in Practice.

Baumgardner, S. R., & Crothers, M. K. 2009. Positive psychology. Prentice Hall/Person Education.

Burns, D. D. 1988. Counseling singles. Christian Counseling, A Comprehensive Guide, Word Publishing.

Continuing Psychology Education. 2005. Subjective well being (happiness). San Diego, California: Author.

Christie, Y., Hartanti & Nanik. 2013. Perbedaan Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Lajang Ditinjau dari Tipe Wanita Lajang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya vol. 2 no.1

Diener, E. 2009. The Science of Well-Being The Collected Works of Ed Diener. USA:

Springer

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. 2002. Subjective Well-Being. Handbook of positive psychology.

Diener, E., Oishi, S., & lucas, R. E. 2009. Subjective Well-Being : the science of happiness and life satisfaction. In S J Lopez & C.R. Snyder (Eds.), Oxford handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. 1999. Subjective Well-Being : Three decades of progress. Psychological bulletin,.

Gunadi, P. 2001. Kehidupan lajang dari perspektif wanita. Retrieved 1, 2001, from http://www.telaga.org/transkrip.php?kehodupan_lajang.htm

Hanggoro, Yohanes. 2015. Penelitian Deskriptif : Subjective Well-Being pada Biarawati di Yogyakarta. Skripsi Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dilihat 09 Oktober 2016

Kapteyn, A., Smith, J. P., & Van Soest, A. 2009. Life satisfaction.

Laswell, M. & Laswell, T. 1987. Marriage & the family. Belmont, California:

Wadworth, Inc.

Lopez, S. J., Pedrotti, J. T., & Snyder, C. R. 2014. Positive psychology: The scientific and practical explorations of human strengths. Sage Publications.

Mujamiasih, Murti. 2013. Subjective Well-Being (SWB) : Studi Indigenous pada PNS dan Karyawan Swasta yang Bersuku Jawa di Pulau Jawa. Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

(29)

Rubianto, G. 2000. Wanita lajang di kota besar, tuntutan jaman ataukah soal kejiwaan?. Dilihat 09 Oktober 2016. Retrived November 22, 2000, from http://www.pdpersi.co.id?show=detailnews&kode=352&tbl=biaswanita

Santrock, W.J. 2002. Life span development (9th ed). New York: Mc Grow Hill Cmpany.

Sugiyono, Prof., Dr. 2012. Metode Penelitian Kuanttatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta

Referensi

Dokumen terkait

Bila kulit belum memiliki masalah kerutan (karena usia yang mungkin masih muda), memakai BB Cream yang mengandung anti kerut justru akan menyumbat pori-pori sehingga

[r]

Informasi keuangan konsolidasian di atas disusun berdasarkan laporan keuangan konsolidasian PT Bank Central Asia Tbk dan Entitas Anak pada tanggal dan untuk tahun yang berakhir

Justeru, dapat disimpulkan bahawa hasil kajian ini menunjukkan bahawa usahawan wanita di Kelantan mampu menjana pendapatan keluarga dan berupaya keluar daripada

Kondisi ini dipengaruhi oleh: (1) mekanisme pengeringan beku dengan metode pembekuan vakum yang sejak awal sudah melakukan proses penurunan tekanan ruang pembeku yang juga

Metode pengukuran arah kiblat dengan alat bantu Google Earth di tanah kosong, yaitu: (1) Pengukuran arah kiblat dengan menghubungkan show ruler dari Kakbah

Pewawancara : Kalau dari iklan yang kedua yaitu mens biore, apakah al ghazali sudah sesuai dengan taglinenya yaitu be cool face it like a man.. Responden : Sudah karena dari

Besar daya hambat larutan ekstrak kental daun pakoasi terhadap radikal DPPH. terus meningkat seiring penambahan konsentrasi larutan ekstrak kental