• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVITALISASI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM PASCA TSUNAMI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "REVITALISASI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM PASCA TSUNAMI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

REVITALISASI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM PASCA TSUNAMI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

(Revitalization of Poultry Industru Post”Tsunami” in Nanggroe Aceh Darussalam Province)

ARMEN ZULHAM danM.FERIZAL

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nanggroe Aceh Darussalam Jl. Panglima Nyak Makam No. 27, Lampineung Banda Aceh

ABSTRACT

Poultry industry becomes one of sub sectors suffering damage and losses after Tsunami disaster hit the Aceh Province. Meanwhile, avian influenza epidemic has also contributed in bankruptcy of local poultry industry having in efficiently managed. This industry could not compete with similar industry from neighboring province and having stable supply to the local market. Poultry industry in Aceh Province has opportunity to recover, indicated by increasing demand of livestock product. However, this excess demand cannot be supplied by local poultry industry. The study conducted in May 2006, aimed to investigate economic impact of tsunami and avian influenza issue on poultry industry performance. The study was done based on survey technique for every type of poultry industries. Most of poultry in NAD are generally small scale commercial industries and backyard farms. The commercial poultries have low economic efficiency due to high cost and low product price. Shortage in poultry product is supplied from other province, especially North Sumatera Province having large scale poultry industries with low production cost and well established marketing channel. In order to have high competitiveness and strong growth, local small poultry farmers should involved in joint venture with poultry enterprises emerging in NAD poultry business industry. Local government needs to reconstruct supporting infra-structure for poultry industry, facilitate private livestock investment by making conducive regulation, and determining production centre area for poultry industry as well as supporting industries.

Key Words: Poultry Industry, Post Tsunami, Production Efficiency

ABSTRAK

Industri peternakan ayam menjadi salah satu subsektor yang mengalami kerusakan akibat bencana tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejalan dengan itu krisis flu burung pada berbagai lokasi di NAD akhir 2005 turut mendorong usaha peternakan ayam setempat makin terpuruk. Industri peternakan ayam di NAD belum maju dan efisiensi usahanya rendah, sehingga NAD hanya menjadi pasar bagi daerah lain. Penelitian yang dilakukan pada bulan Mei 2006 bertujuan untuk mempelajari dampak ekonomi dari bencana tsunami dan isu flu burung terhadap perkembangan industri peternakan ayam di NAD. Penelitian menggunakan teknik survei pada setiap jenis usaha peternakan ayam. Hasil penelitian menunjukkan: industri peternakan ayam di NAD umumnya berupa peternakan komersial skala kecil (SPUK) dan peternakan rumah tangga (BF). Tingkat efisiensi dan daya saing SPUK relatif rendah karena harga input yang tinggi dan harga produk yang rendah. Kekurangan pasokan daging ayam dan telur ayam didatangkan dari Sumatera Utara yang memiliki industri peternakan skala besar dengan jaringan pemasaran yang kuat. Revitalisasi usaha peternakan ayam di NAD perlu segera difasilitasi melalui jalinan kemitraan dengan perusahaan unggas yang mulai memasuki industri perunggasan di NAD. Pemerintah daerah perlu membangun kembali infrastruktur pendukung pengembangan usaha peternakan, memfasilitasi sektor swasta untuk berinvestasi di bidang peternakan ayam, dan menetapkan daerah pengembangan peternakan ayam dan industri pendukungnya.

Kata Kunci: Peternakan Ayam, Pascatsunami, Efisiensi Usaha

(2)

PENDAHULUAN

Subsektor peternakan termasuk usaha yang mengalami kerusakan akibat musibah gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada akhir tahun 2004. Kerusakan meliputi hilang dan matinya ternak, kerusakan kandang dan lahan pemeliharaan sehingga memupuskan sumber pendapatan rumah tangga.

Sebelum tsunami, usaha peternakan ayam potong, ayam petelur, dan itik memiliki prospek cukup baik. Hal ini terkait dengan tingginya permintaan daging ayam dan terlur di berbagai kota di NAD. Usaha peternakan ayam di Provinsi NAD berdasarkan Kepres No.

20/1990 (YUSDJA et al., 2004) dapat dikategorikan dalam sistem usaha peternakan komersial mandiri skala kecil (SPUK) dengan jumlah ternak ayam antara 1.000 ekor sampai 5.000 ekor dan sistem backyard poultry farm (BF). Komposisi terbesar dari usaha tersebut adalah sistem BF yang berfungsi untuk menopang pendapatan rumah tangga.

Sementara itu, jumlah usaha peternakan SPUK diseluruh wilayah NAD diperkirakan kurang dari 200 unit.

Pada tahun 2004 jumlah ternak unggas di NAD tercatat: 18.106.995 ekor ayam buras, 80.657 ekor ayam petelur, 865.185 ekor ayam pedaging dan 3.272.276 ekor itik yang tersebar di 21 kabupaten/kota (DINAS PETERNAKAN

PROVINSI NAD, 2004). Konsumsi daging ayam masyarakat Aceh adalah 60 g/kapita/hari dan telur 0,5 butir/kapita/hari. Peluang pasar dari sisi konsumsi bagi industri peternakan ayam di NAD masih terbuka lebar.

Perkiraan jumlah kematian/kehilangan unggas karena musibah tsunami mencapai 1.138.388 ekor ayam dan 538.652 ekor itik (DINAS PETERNAKAN PROVINSI NAD, 2005).

Pada akhir tahun 2005 sampai awal tahun 2006, usaha peternakan ayam di NAD yang sedang bangkit terancam oleh kasus flu burung, karena terjadi kematian ayam secara mendadak diberbagai wilayah Provinsi NAD (FAO, 2006). Berdasarkan pemantauan instansi terkait menunjukkan bahwa tidak semua ayam tersebut mati diakibatkan terinfeksi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), sebagian disebabkan penyakit Newcastle Diseases

permintaan ayam dan produk unggas merosot tajam. Omzet penjualan daging ayam dan telur ayam sejak akhir Desember 2005 hingga Februari 2006 turun sekitar 50 persen. Harga ayam potong hanya sekitar Rp. 6.000 sampai Rp. 8.000 untuk satu ekor ayam (1,5 kg).

Dengan harga pasar seperti itu dan biaya produksi yang tinggi, maka sebagian besar pengusaha ayam lokal menutup usahanya.

Jika konsumsi daging ayam dan telur di Provinsi NAD dalam jangka pendek pulih kembali, maka ketergantungan konsumen NAD terhadap daging ayam dan telur dari Sumatera Utara semakin besar. Fakta ini terjadi karena kemampuan usaha peternakan ayam pedaging dan ayam petelur lokal untuk memenuhi permintaan konsumen di NAD, sangat terbatas. Oleh sebab itu revitalisasi usaha peternakan ayam di NAD mempunyai arti strategis untuk mendorong pemulihan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dampak ekonomi dari bencana tsunami dan isu flu burung terhadap perkembangan industri peternakan ayam di Provinsi NAD.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan bulan Mei 2006 dengan pendekatan Rapid Rural Appraisal (RRA). RRA dilakukan pada usaha peternakan ayam disekitar Banda Aceh, Kab. Aceh Besar, dan Kab. Pidie. Wilayah itu dipilih dengan pertimbangan terdapat beberapa usaha peternakan ayam yang selamat dari bencana tsunami dan menghadapi isu flu burung.

Responden penelitian ini adalah: (1) Pejabat dan petugas Dinas Peternakan Provinsi dan kabupaten/kota; (2) Peternak ayam (broiler, layer dan buras) untuk memperoleh data biaya produksi dan pendapatan usaha peternakan, ketersediaan sarana produksi, pemasaran, dan kelembagaan; dan (3) Pedagang (pengumpul desa, grosir, dan pengecer) untuk memperoleh informasi harga, sumber produk, persaingan usaha dan kelembagaan. Jumlah peternak yang diwawancara meliputi 10 responden peternak SPUK dan 10 responden peternak BF.

Responden SPUK terdiri dari peternak yang mengusahakan ayam ras pedaging dan petelur.

(3)

ayam buras. Selain itu, diwawancara juga, 4 pedagang pengumpul desa, 1 pedagang yang berasosiasi dengan perusahaan peternakan, dan 4 pedagang eceran pada pasar tradisional.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil usaha peternakan unggas pratsunami

Peternakan ayam petelur pada tahun 2004 umumnya terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Besar dengan populasi 37.900 ekor, serta di Kabupaten Pidie dan Bireuen dengan populasi sekitar 14.500 ekor. Pada tahun yang sama peternakan ayam pedaging umumnya berada di Kabupaten Aceh Utara dengan populasi 260.000 ekor, Banda Aceh 101.000 ekor, Aceh Timur 130.000 ekor, serta Aceh Besar 78.000 ekor. Dugaan sementara perbedaan sentra produksi tersebut, disebabkan oleh struktur pasar dan infrastruktur. Perkembangan populasi unggas sejak tahun 1999 hingga 2004 dapat dipelajari pada tampilan dalam Tabel 1.

Peternakan ayam buras dengan sistem BF sangat dominan. Peternakan ayam ini diusahakan dengan sistem lepas tertutup.

Usaha ini populer karena penggunaan input yang rendah dan tidak menuntut pengelolaan usaha yang kompleks. Produktivitas usaha ini masih dapat ditingkatkan dengan introduksi teknologi yang tepat dan membina kelembagaan peternak ayam sehingga dapat dikembangkan menjadi usaha peternakan ayam komersial mandiri skala kecil.

Jika menggunakan rata-rata jumlah penguasaan ayam pada responden peternak

SPUK (4.300 ekor ayam per SPUK), maka estimasi jumlah SPUK ayam petelur dan pedaging di NAD pratsunami masing-masing adalah 19 unit dan 201 unit.

Peranan peternakan ayam petelur dalam mensuplai telur ke pasar lokal relatif kecil.

Pengamatan lapangan menunjukkan produksi telur dari peternak ayam buras BF hanya untuk mensuplai warung kopi untuk konsumsi langsung. Jumlah yang disuplai sangat kurang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi masyarakat. Kontribusi telur dari peternakan ayam ras petelur pada tahun 2004 sekitar 2,5 persen sementara tahun 1999 pernah mencapai 8,4 persen (Tabel 2). Penurunan ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya harga pakan, sehingga mempengaruhi populasi ayam ras petelur yang diusahakan peternak.

Pada sisi lain kontribusi usaha peternakan ayam pedaging lokal dalam mensuplai daging ayam ke pasar juga cukup kecil (Tabel 3).

Pada pasar konsumen di Aceh, suplai daging ayam lokal umumnya berasal dari ayam buras, kontribusinya sekitar 70 persen, sedangkan dari ayam ras pedaging sekitar 10 persen, sisanya berasal dari ayam petelur afkir dan itik.

Tingginya peran ayam buras terhadap suplai daging ayam terkait dengan preferensi konsumen. Konsumen lebih menyukai memilih sendiri ayam yang masih hidup untuk dipotong dan dibersihkan oleh pedagang. Sementara itu penjualan ayam potong dari ayam ras pedaging dan petelur afkir juga terdapat di pasar, konsumennya terbatas pada rumah makan dan beberapa rumah tangga untuk kepentingan acara khusus.

Tabel 1. Populasi ternak unggas di Provinsi NAD tahun 1999 – 2004 Populasi ayam (ekor) Tahun

Buras Petelur Pedaging

Populasi itik (ekor)

1999 15.914.184 260.640 951.548 3.292.047

2000 16.192.682 245.592 965.155 3.314.103

2001 17.511.361 257.356 978.957 3.336.510

2002 17.721.490 47.350 992.956 3.358.861

2003 17.934.147 76.344 1.007.155 3.381.365

2004 18.106.995 80.657 865.185 3.272.276

Sumber: Aceh Dalam Angka 2004, Badan Pusat Statistik Provinsi NAD 2005

(4)

Tabel 2. Kontribusi produksi telur dari berbagai jenis usaha peternakan unggas di Provinsi NAD tahun 1999 – 2004

Tahun Peternak ayam buras (%) Peternak ayam ras petelur (%) Peternak itik (%)

1999 27,7 8,4 63,9 2000 28,1 7,9 64,1 2001 29,5 8,0 62,6 2002 32,1 0,0 67,9 2003 36,5 1,8 61,7 2004 32,2 2,5 65,3 Sumber: Diolah dari Aceh Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Provinsi NAD 2005

Tabel 3. Kontribusi produksi daging unggas dari berbagai jenis unggas di NAD tahun 1999 – 2004 Sumber daging unggas (%)

Tahun

Ayam buras Ayam petelur Ayam pedaging Itik

1999 76,5 1,15 6,7 15,7

2000 79,7 1,12 7,1 12,1

2001 79,8 0,98 7,0 12,3

2002 82,6 0,00 6,5 10,9

2003 82,6 0,01 6,4 11,0

2004 73,7 0,29 10,1 16,0

Sumber: Diolah dari Aceh Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Provinsi NAD 2005

Kondisi peternakan ayam pascatsunami Kondisi pada tingkat peternak

Kebangkitan peternakan ayam di NAD pasca tsunami terhambat oleh isu flu burung.

Di desa Lamdom misalnya, jumlah peternak ayam BF sekitar 30 peternak dan setiap peternak memelihara ayam rata-rata 100 ekor, sedangkan peternakan SPUK sekitar 5 unit dengan jumlah ayam peliharaan antara 1.000 ekor sampai 5.000 ekor.

Berkembangnya wabah flu burung di Desa Lamdom meyebabkan sekitar 900 ekor ayam mati mendadak. Informasi tersebut mendorong Dinas Peternakan Provinsi NAD melakukan stamping out ayam yang terindikasi terjangkit virus flu burung. Jumlah ayam yang di stamping out sekitar 230 ekor. Namun sebelum stamping out dilakukan sebagian besar pemilik ayam segera menjual ayam melalui pedagang pengumpul (“muge”). Keadaan ini

masyarakat terhadap masalah flu burung. Pada saat itu harga ayam potong hanya Rp. 6.000 per ekor pada tingkat konsumen. Pada tingkat harga tersebut baik peternak maupun pedagang menderita kerugian. Ayam yang tersisa di Desa Lamdom diperkirakan sekitar hanya 100 ekor.

Kondisi pada tingkat pedagang

Merebaknya kasus flu burung menyebabkan permintaan daging ayam oleh konsumen menurun drastis, sehingga terjadi penurunan harga daging ayam. Penurunan permintaan daging ayam ini tak berlangsung lama yaitu dari bulan Desember 2005 sampai Februari 2006. Pedagang eceran yang biasanya menjual ayam potong sebanyak 100 ekor per hari maka pada saat flu burung hanya mampu menjual antara 15 ekor sampai 20 ekor saja.

Harga ayam saat flu burung menjadi rata-rata sekitar Rp. 6.000 per kg, padahal sebelumnya harga eceran sekitar 14.000 per kg.

(5)

Pasokan ayam pada pedagang eceran sebagian besar berasal dari Sumatera Utara yang disuplai oleh pedagang antar provinsi.

Padahal pada periode yang sama di daerah Sumatera Utara terjadi juga kasus flu burung.

Sementara itu, pasokan lain merupakan ayam buras yang diperoleh dari pedagang pengumpul dari berbagai desa di NAD.

Efisiensi usaha peternakan ayam

Uraian diatas menggambarkan bahwa industri peternakan ayam petelur dan ayam pedaging di Provinsi NAD berkembang sangat lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah kenaikan harga pakan yang sangat tinggi tidak sebanding dengan kenaikan harga ayam potong dan telur. Perkembangan harga pakan unggas periode tahun 2005 sampai Maret 2006 di pasar sekitar Banda Aceh dapat diperhatikan pada Tampilan Gambar 1.

Perkembangan harga itu, menunjukkan laju kenaikan harga pakan lebih cepat dari kenaikan harga telur ayam dan daging ayam.

Rasio harga pakan terhadap harga telur (pada ayam buras) dan harga pakan terhadap harga daging ayam adalah 0,6 dan 0,8. Hal ini berarti untuk ayam buras petelur, 0,6 bagian biaya pakan digunakan untuk menghasilkan 1 bagian telur. Sedangkan pada peternakan ayam

pedaging 0,8 bagian biaya pakan digunakan untuk menghasilkan 1 bagian daging ayam.

Kenaikan harga pakan ayam mempunyai dampak yang berbeda kepada peternak ayam petelur dan peternak ayam pedaging di NAD.

Berdasarkan rasio tersebut, peternak ayam ras pedaging dan petelur akan sangat mengalami dampak yang serius terhadap kenaikan harga pakan.

Analisis biaya dan pendapatan menunjukkan bahwa rasio penerimaan dan pengeluaran (R/C) ayam buras lebih baik dari usaha ayam ras pedaging dan ayam ras petelur.

Pada ayam buras R/C sekitar 1,82 yang berarti setiap satu bagian pengeluaran dalam memelihara ayam buras dengan sistem komersial akan mendatangkan penerimaan sekitar 1,82 bagian. Sedangkan R/C usaha peternakan ayam pedaging dan ras petelur sekitar 1. Pemeliharaan ayam buras secara komersial lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemeliharaan ayam pedaging dan ayam ras petelur. Berdasarkan R/C tersebut maka sangat sulit bagi peternak ayam pedaging dan ras petelur untuk bangkit kembali setelah kejadian yang merugikan mereka. Oleh sebab itu hadirnya mitra yang telah mempunyai jaringan pasar input dan output yang baik diharapkan mampu membangkitkan peternakan ayam di NAD.

Gambar 1. Perkembangan rata-rata harga pakan unggas, telur, dan daging ayam per bulan 2005 – 2006

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

Mei 2005 Juni 20

05 Juli 2005

Agu stus 20

05

Sep tember 2005

Oktober 2005

Nopem ber

2005

Desem ber

2005

Januar i 200

6

Febr uar

i 2006 Maret 20

06

Bulan

Harga (Rp)

Pakan Telur Boiler Telur Buras Daging Boiler Daging Buras

(6)

Tabel 4. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh peternakan ayam di NAD April 2006

Uraian

Ayam buras petelurc)

Ayam ras pedaging mandiri

Ayam ras pedaging bermitra

Ayam ras petelurd)

Siklus produksi (hari) 240a) 40 48 360

Jumlah ayam (ekor) 1.200 1.000 5.000 1.000 Sumber perolehan input Pasar Pasar Mitra Pasar

Tenaga kerjab) 2 2 2 2

Pengeluaran (Rp. ribu) 7.415 18.300 75.827 139.438

Bibit ayam 3.960 3.200 15.575 3.250

Pakan starter 850 3.300

Pakan utama 312 9.000

54.085 124.488

Dedak 200 0 0 0

Menir 100 0 0 0

Obat danvitamin 156 750

Vaksin 37 250

2.587 2.000

Upah TK 1.800 1.800 2.000 9.000

Cicilan peralatan 0 0 1.580

Pengeluaran lain 0 0 0 700

Penerimaan (Rp. ribu) 13.500 19.700 80.527 140.350

Ayam afkir 300 0 0 12.350

Telur 13.200 0 0 128.000

Ayam potong 0 19.700 79.157 0

Insentif dari mitra 0 0 1.370 0

Keuntungan Kotor per siklus (Rp. ribu) 6.085 1.400 4.700 912

R/C Rasio 1,82 1,07 1,06 1,01

a) Satu generasi 240 hari, dan setiap 60 hari dimasukkan 200 bibit ayam baru dan setiap 30 hari dikeluarkan 100 ekor ayam buras afkir

b) Tenaga Kerja yang digunakan TK dalam keluarga c) Analisa input output untuk ayam buras dihitung per bulan d) Analisa input output ayam ras petelur dihitung per tahun

Perkembangan peternakan ayam

Revitalisasi peternakan ayam BF dan SPUK mulai berkembang kembali melalui berbagai program. Revitalisasi itu didorong oleh restocking ayam program bantuan tsunami di Aceh. Program peternakan ayam menjadi salah satu program penting dalam livelihood projects dari berbagai NGO dalam rehabilitasi dan rekontruksi Aceh. Pertanyaannya apakah sumber restocking bebas dari virus HPAI? Hal itu luput dicermati oleh instansi terkait di

Saat ini pasokan ayam dan telur semakin tergantung dari Sumatera Utara. Jika hal tersebut tidak diantisipasi maka pasokan dari luar daerah itu akan dapat menghancurkan usaha peternakan ayam di Aceh yang sedang bangkit. Potensi pasokan ayam dari Sumatera Utara ke Aceh telah mendorong salah satu perusahaan ternak dari luar daerah mencari mitra di Aceh. Harapannya agar 50 persen pasar unggas dan produk unggas di Aceh dapat dikuasai melaui mitra binaannya.

Pengembangan dengan basis wilayah yang

(7)

ayam pada daerah setempat dengan jaminan pasar yang baik. Namun dalam jangka pendek pengembangan ini dikhawatirkan akan melemahkan daya saing peternak ayam mandiri yang tidak efisien, tapi dalam jangka panjang dapat merevitalisasi kinerja industri peternakan ayam di NAD agar lebih efisien dan tahan terhadap fluktuasi harga input dan output.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Musibah tsunami yang menyebabkan hilang/matinya ternak unggas telah merusak sebagian usaha peternakan unggas di daerah pesisir NAD. Kerusakan tersebut juga menyebabkan hilangnya kesempatan kerja yang akhirnya memperlambat perkembangan usaha peternakan ayam di Provinsi NAD.

Merebaknya isu flu burung juga menambah beban bangkitnya usaha peternakan ayam saat ini.

Meskipun krisis flu burung telah dapat dikendalikan, namun isu tersebut mempunyai dampak ekonomi yang serius terhadap peternak ayam komersial skala kecil mandiri dan peternak ayam backyard poultri farm (BF).

Peternak tersebut menderita kerugian karena harga unggas dan produk unggas turun sampai 50 persen. Akibatnya banyak peternak ayam komersial skala kecil yang menutup usahanya dan yang umumnya bertahan adalah peternak ayam BF.

Pemulihan permintaan ayam potong dan telur untuk konsumsi setelah pemerintah setempat berhasil mengendalikan isu flu burung berlangsung relatif cepat, karena didukung oleh tingginya konsumsi daging ayam dan telur.

Konsumsi itu meningkat karena masuknya pekerja dari luar Aceh untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pasca tsunami. Permasalahan yang muncul adalah dalam jangka pendek adalah usaha peternakan unggas di NAD tidak mampu mengantisipasi lonjakan permintaan tersebut, akibatnya suplai ayam potong dan telur ayam dari Sumatera Utara ke NAD semakin meningkat.

Besarnya arus masuk ayam potong dan produk turunannya memgindikasikan pengembangan usaha peternakan ayam di NAD perlu perencanaan yang solid.

Perencanaan ini perlu dilakukan untuk meningkatkan tingkat efisiensi peternakan ayam di NAD, terutama pada usaha peternakan ayam ras pedaging mandiri, peternakan ayam ras pedaging bermitra, dan ayam ras petelur.

Sementara itu, peternakan ayam buras petelur komersial memberi prospek yang baik dengan R/C 1,8. Tingginya rasio ayam buras ini karena harga produk dari peternakan ayam buras ini jauh lebih tinggi dari produk peternakan ayam ras.

Dengan tingkat efisiensi yang rendah, maka peternak mandiri komersial skala kecil sulit mengembangkan usahanya, kecuali peternak tersebut mau menjadi mitra perusahaan peternakan besar dalam ikatan kerjasama.

Kehadiran mitra perusahaan peternakan di Aceh terkait dengan peluang bisnis untuk merevitalisasi kembali industri peternakan ayam di NAD. Namun keberadaan perusahaan itu saat ini menghadapi masalah kontroversial, karena kurang sosialisasi.

Tingginya permintaan ayam dan produk turunannya terutama di Aceh perlu diantisipasi dengan membangun sentra-sentra peternakan ayam yang dibangun dengan prinsip kemitraan antara peternak lokal dengan perusahaan yang menjadi mitra. Kehadiran perusahaan mitra ini perlu difasilitasi oleh pemerintah dengan menyiapkan peraturan keamanan investasi dibidang peternakan, menetapkan sentra-sentra pengembangan peternakan ayam.

Berkembangnya sentra investasi ini akan berdampak pada tumbuhnya berbagai jenis usaha lain yang mendukung usaha peternakan ayam tersebut, terutama munculnya usaha pakan ternak skala rumah tangga, mendorong meningkatnya luas areal tanaman jagung untuk bahan baku pakan ternak, serta berbagai usaha lainnya. Dengan demikian revitalisasi usaha peternakan ayam dapat mengarah pada pemulihan industri peternakan ayam di Provinsi NAD pasca tsunami dan setelah kasus flu burung dengan sistem pengembangan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

BADAN PUSAT STATISTIK. 2005. Aceh dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Provinsi NAD Darussalam.

(8)

DINAS PETERNAKAN PROVINSI NAD. 2004. Laporan Pengumpulan, Pengolahan, dan Aanalisis Data Peternakan Tahun 2004. Banda Aceh.

__________________________. 2005. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumber Daya, Sarana dan Prasarana Peternakan Provinsi NAD.

__________________________. 2006. Laporan Pemberantasan Avian Influenza/Flu Burung Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dinas Peternakan Provinsi NAD.

FAO. 2006. Highly Pathogenic Avian Influenza in Indonesia. Follow Up Report No. 11.

YUSJA. Y, E. BASUNO, I.W. RUSASTRA, M. ARIANI, SUHARSONO dan P. SIMATUPANG. 2004.

Penelitian Dampak Sosial Ekonomi Krisis Avian Influensa Terhadap Sistem Produksi Unggas Di Indonesia Dengan Fokus Utama Peternak Kecil Mandiri. Kerjasama PSE dengan Ditjen Peternakan.

WHO. 2006. Avian Influenza – Situation in Indonesia – update. http://www.who.int/

csr/don/ 2006_01_23/en/print.html. 20/2/2006.

Referensi

Dokumen terkait

The result of the study shows that by doing peer assessment on the speaking and writing skills, the students are able to express their ideas by analyzing their friends' mistakes

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Berdasarkan hasil penelitian bahwa : 1) Implementasi Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun

Jawab: Karena berterima kasih itu termasuk tanda orang yang selalu bersyukur6. Apa yang dirasakan saat kita mengucapkan

Ditinjau dari segi ekonomis dan efisiensi bahan, penambahan bit 10% dipilih berdasarkan karakteristik sensori dikarenakan dengan penambahan bit 10% sebenarnya sudah

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa, (1) Ada pengaruh antara kepribadian guru terhadap prestasi siswa mata pelajaran PAI di SMPN 1 Mlarak Ponorogo Tahun Ajaran 2017/2018

Nama Perusahaan Alamat Perusahaan NPWP Total Nilai Rangking Keterangan... BATU RADEN Jalan

Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyas (2012), dimana di dapat hasil rata-rata tekanan darah sistolik penderita hipertensi adalah

[r]