• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan dalam"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

13

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Definisi 2.1.1 Modal

Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya. Pengertian modal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni “modal usaha adalah uang yang dipakai sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya; harta benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”. Investasi sering juga disebut penanaman modal atau pembentukan modal. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran oleh penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau perlengkapan- perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang- barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.

Menurut Schwiedland dalam Riyanto (1997), modal meliputi modal dalam bentuk uang (geldkapital) maupun dalam bentuk barang (sachkapital). Menurut Riyanto (1997), modal terbagi dua yaitu modal aktif dan modal pasif. Modal aktif menurut fungsi kerjanya dapat dibedakan menjadi modal kerja dan modal tetap.

Sedangkan modal pasif dapat dibedakan antara modal sendiri dan modal asing atau badan usaha dan modal kreditur/uang.

(2)

Modal seringkali dikaitkan dengan investasi. Winardi (1992) mengemukakan dalam teori ekonomi bahwa investasi berarti pembelian alat-alat produksi (termasuk di dalamnya benda-benda untuk dijual), dengan modal berupa uang. Nanga (2005) menyatakan bahwa secara makro, investasi berarti jumlah yang dibelanjakan sektor bisnis untuk menambah stok modal dalam periode tertentu. Menurut Abdul Halim (2005) pada hakikatnya investasi merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang. Pada akhirnya investasi disimpulkan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanaman-penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi disebut juga dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal.

2.1.1.1 Penanaman Modal Asing (PMA)

PMA menurut Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana diubah dan ditambah oleh Undang-Undang No. 11 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mencakup unsur pokok (Bank Indonesia, 1995), yaitu:

1) Penanaman modal secara langsung

2) Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia 3) Resiko ditanggung pemilik modal/investor

(3)

Sedangkan pengertian modal asing terdiri dari:

1) Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari devisa Indonesia dan disetujui pemerintah untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia

2) Alat-alat untuk perusahaan termasuk penemuan-penemuan baru milik asing dan bahan-bahan dari luar negeri ke dalam wilayah RI yang tidak dibiayai dari devisa Indonesia

3) Bagian dari hasil perusahaan yang dapat ditransfer, tetapi digunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia

Menurut Undang-Undang tersebut, jenis PMA bisa secara penguasaan penuh atas bidang usaha yang bersangkutan (100 persen asing) ataupun kerjasama/patungan dengan modal Indonesia. Kerjasama dengan modal Indonesia tersebut dapat terdiri dari: hanya dengan pemerintah (misalnya pertambangan) atau pemerintah maupun swasta nasional. Jangka waktu PMA di Indonesia tidak boleh melebihi 30 tahun dan bidang usaha yang terbuka atau tertutup bagi PMA adalah pelabuhan, listrik umum, telekomunikasi, pelayaran penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, mass media, dan bidang- bidang usaha yang berakaitan dengan industri militer.

PMA dapat berupa penanaman modal langsung (FDI) atau portfolio.

Investasi langsung biasanya melibatkan kontrol manajemen dari pihak asing sedangkan investasi portfolio meliputi pembelian surat-surat berharga dan jenis

(4)

investasi ini tidak melibatkan pengawasan pihak asing terhadap perusahaan domestik. Negara berkembang sebagian besar memberikan insentif untuk PMA dan menyalurkannya untuk pengguna yang diinginkan. Pada saat yang sama mereka juga mengenakan berbagai hambatan terhadap PMA untuk menghindari dominasi asing dan memegang sumber daya alam mereka kembali.

Menurut Todaro (2006), argumen yang mendukung penanaman modal asing sebagian besar berasal dari analisis neoklasik tradisional yang memusatkan pada berbagai determinan pertumbuhan ekonomi. Penanaman modal asing memberikan dampak positif karena dapat mengisi kekurangan tabungan yang didapat dari dalam negeri, menambah cadangan devisa, memperbesar penerimaan pemerintah, dan mengembangkan keahlian manajerial bagi negara penerimanya.

PMA dapat mengatasi dua kesenjangan yaitu kesenjangan tabungan-investasi (saving gap) dengan pemberian sumbangan finansial jika terjadi kurang memenuhinya mobilitas tabungan domestik, dan juga mengatasi kesenjangan devisa atau kesenjangan perdagangan luar negeri (trade gap) dengan perannya dalam mengisi kesenjangan antara target jumlah devisa yang dibutuhkan dan hasil-hasil aktual devisa dari ekspor ditambah dengan bantuan luar negeri neto.

Menurut argumen ini, arus masuk modal swasta asing tersebut bukan hanya dapat menghilangkan sebagian atau seluruh defisit yang terdapat di dalam neraca pembayaran tetapi juga dapat menghilangkan defisit dalam jangka panjang bila perusahaan asing tersebut dimungkinkan untuk hadir di negara yang bersangkutan

(5)

guna menghasilkan devisa dari hasil ekspornya secara neto. Selanjutnya dijelaskan pula selain dua kesenjangan tersebut, kesenjangan ke tiga yang dikatakan dapat diisi oleh modal swasta asing adalah kesenjangan antara target penerimaan pajak pemerintah dan jumlah pajak aktual yang dapat dikumpulkan.

Ini terjadi dengan adanya tambahan pendapatan pajak atas keuntungan perusahaan multinasional dan keikutsertaan mereka secara finansial dalam kegiatan-kegiatan mereka di dalam negeri, sehingga pada akhirnya dapat turut memobilisasikan sumber finansial.

2.1.1.2 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Pengertian PMDN yang terkandung dalam Undang-Undang No 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencakup kriteria sebagai berikut:

1) Bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia

2) Dimiliki oleh negara ataupun swasta nasional dan swasta asing yang berdomisili di Indonesia guna menjalankan suatu usaha

3) Modal tersebut termasuk dalam pengertian pasal 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tersebut di atas (Pasal 1 ayat 1)

Menurut Undang-Undang, perusahaan yang dapat menggunakan modal dalam negeri dapat dibedakan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing dimana perusahaan nasional dapat dimiliki seluruhnya oleh negara dan atau swasta nasional ataupun sebagai usaha gabungan antara negara dan atau swasta

(6)

nasional dengan swasta asing dimana sekurang-kurangnya 51 persen modal dimiliki oleh negara atau swasta nasional. Pada prinsipnya semua bidang terbuka untuk swasta/PMDN kecuali bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis.

2.1.2 Tenaga Kerja

Konsep dan definisi ketenagakerjaan menggunakan konsep yang digunakan pada Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan usia, penduduk Indonesia dibagi menjadi dua kelompok yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Selanjutnya, penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukan. Kelompok tersebut adalah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk usia kerja adalah penduduk berusia 15 tahun dan lebih. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.

Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Punya pekerjaan tetapi sementara tidak

(7)

bekerja adalah keadaan dari seseorang yang mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu sementara tidak bekerja karena berbagai sebab, seperti: sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan sebagainya. Teori ketenagakerjaan tersebut dituliskan seperti gambar berikut:

Sumber : BPS, 2011

Gambar 2.1 Struktur Tenaga Kerja

2.1.3 Usia

International Labor Organization (ILO) pada tahun 1995 menyebutkan bahwa pendudukan usia kerja adalah penduduk yang berusia sama dengan atau

Usia Kerja (≥ 15th)

Bukan Usia Kerja PENDUDUK

Angkatan Kerja

Bukan Angkatan Kerja

Lainnya Mengurus

Rumah Tangga Sekolah

Pengangguran Bekerja

Sementara Tidak Bekerja Sedang

Bekerja

(8)

lebih dari lima belas tahun sampai enam puluh tahun. Penduduk usia kerja disebut dengan tenaga kerja. Indonesia tidak mengikuti batas usia maksimum karena belum mempunyai jaminan sosial nasional, hanya sebagian penduduk yang memiliki tunjangan hari tua yakni pegawai negeri dan sebagian pegawai swasta.

2.1.4 Tingkat Pendidikan

Pendidikan dianggap sebagai investasi sumber daya manusia. Studi yang dilakukan profesor ekonomi dari Harvard, Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dalam rentang waktu tahun 1948-1979 menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia,

dan 24 persen disebabkan kemajuan teknologi. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini didasarkan pada ijasah tertinggi yang dimiliki tenaga kerja. Hal tersebut menjadi acuan dengan pertimbangan pada umumnya kesempatan kerja yang tersedia memerlukan syarat pendidikan minimal.

2.1.5 Jenis Kelamin

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan wanita dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil.

Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status, dan tanggung jawab pada wanita dan laki-laki sebagai hasil bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya

(9)

(Puspitawati, 2003). Perbedaan gender lebih kepada perbedaan peran sosial sedangkan perbedaan jenis kelamin lebih kepada perbedaan secara biologis.

Perbedaan gender menjelaskan perbedaan peran menurut jenis kelamin.

Dalam kegiatan ekonomi, jenis kelamin mempengaruhi tingkat partisipasi tenaga kerja baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Partisipasi tenaga kerja secara kuantitatif menurut jenis kelamin dilihat dari banyaknya tenaga kerja yang melakukan kegiatan ekonomi dilihat dari jenis kelamin. Partisipasi kualitatif tenaga kerja dapat dilihat dari perbedaan jam kerja maupun upah tenaga kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Di era yang semakin modern dan meningkatnya kebutuhan ekonomi mendorong lebih banyak wanita ikut serta dalam kegiatan ekonomi. Pada dasarnya wanita dan laki-laki memiliki kesempatan kerja yang sama namun tingkat partisipasi kerja wanita pada umumnya masih lebih rendah daripada laki-laki. Walaupun partisipasi wanita dalam pasar kerja meningkat namun masalah diskriminasi menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja wanita. Diskriminasi tersebut diantaranya perbedaan perlakuan dan persyaratan kerja yang berbeda dengan pekerja laki-laki.

2.1.6 Jumlah Jam Kerja

Jumlah jam kerja menunjukkan lamanya waktu dalam jam yang digunakan untuk bekerja selama seminggu yang lalu. Jumlah jam kerja ini tidak termasuk jam istirahat resmi dan jam kerja yang digunakan untuk hal-hal di luar pekerjaan.

Jam kerja berkaitan dengan produktivitas. Output tenaga kerja dibagi dengan jam

(10)

kerja tenaga kerja menunjukkan produktivitas tenaga kerja tersebut. Jam kerja pada berbagai sektor ekonomi memiliki keragaman masing-masing. Sektor Pertanian dan jasa cenderung lebih banyak pekerja keluarga dengan jam kerja yang sedikit (Manning dan Purnagunawan, 2012). Disamping itu, status bekerja tenaga kerja juga memberikan jumlah jam kerja yang berbeda. Sebagai contoh untuk pekerja bebas mereka akan memiliki jumlah jam kerja yang berbeda setiap harinya.

2.1.7 Tahun Lama Kerja

Tahun lama bekerja menunjukkan pengalaman yang dimiliki tenaga kerja.

Semakin lama tahun kerja diasumsikan tenaga kerja tersebut memiliki banyak pengalaman kerja. Lama bekerja juga berkaitan dengan loyalitas tenaga kerja terutama untuk perusahaan yang memiliki sistem gaji yang didasarkan pada masa kerja. Namun lama bekerja juga bisa menunjukkan tidak adanya pilihan lain sebagai tempat bekerja.

2.2 Teori yang Relevan 2.2.1 Transformasi Struktural

Pada berbagai literatur standar ekonomi pembangunan, proses pembangunan akan selalu menyebabkan dualisme (Meier, 1995). Secara definitif, dualisme merupakan suatu keadaan dimana terdapat sektor-sektor dalam suatu perekonomian yang menggunakan teknologi modern, di sisi lain ada yang

(11)

menggunakan teknologi sederhana. Dualisme merefleksikan ketimpangan multidimensional serta menyebabkan benturan masalah sosial ekonomi (Suman dan Jose, 2006). Fisher (1935) dalam Dirgantoro, dkk. (2010) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi disertai adanya pergeseran permintaan dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder yang akhirnya ke sektor tersier. Menurut Sulistyaningsih (1997), transformasi struktural merupakan proses yang terjadi dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur atau transformasi ekonomi dari tradisional menjadi modern secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang berkaitan dengan komposisi permintaan, perdagangan, perubahan produksi dan faktor-faktor lain yang diperlukan secara terus menerus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan pendapatan perkapita.

Tri Widodo (2004) mengatakan bahwa transformasi struktural ditandai dengan terjadinya penurunan pangsa relatif Sektor Pertanian terhadap produk domestik bruto, hal ini juga menunjukkan relatif lambannya peningkatan laju pertumbuhan produksi dan nilai tambah bruto Sektor Pertanian dibandingkan sektor non pertanian. Semakin tinggi pendapatan suatu negara maka pangsa Sektor Pertanian semakin kecil dan hal ini disebabkan karena meningkatnya suatu pendapatan akan berdampak terhadap meningkatnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang industri dan jasa.

(12)

Swasono dan Sulistyaningsih (1993) menyatakan bahwa pada umumnya perubahan struktur di bidang ketenagakerjaan mempunyai dua arti, yaitu (1) perubahan struktur tenaga kerja dalam arti sektoral (seperti halnya pada perubahan struktur ekonomi); (2) perubahan struktur tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern. Menurut konsep ini, perubahan struktur dalam arti yang pertama diartikan sebagai distribusi kesempatan kerja pada setiap sektor dari waktu ke waktu. Sedangkan dalam pengertian yang ke dua dianggap bahwa perlu mencari suatu titik yang dikenal sebagai turning point, yang akan terjadi apabila upah di sektor non pertanian dan pertanian adalah sama secara relatif. Keadaan ini dapat memberi pilihan pada penduduk untuk mempunyai sikap indifferent untuk bekerja di Sektor Pertanian atau non pertanian.

2.2.2 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis

Model pembangunan dua sektor pertama kali dikembangkan oleh W.A.

Lewis (1954). Menurut Lewis, terdapat dikotomi dalam masyarakat di negara- negara terbelakang yaitu adanya dua sektor yang hidup berdampingan, sektor capital intensive (modern/industri) dan sektor labor intensive (tradisonal/pertanian). Pada prinsipnya, model pembangunan dua sektor ini menititkberatkan pada mekanisme transformasi struktur ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang (LDCs), yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada Sektor Pertanian menuju ke struktur

(13)

perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya Sektor Industri dan Sektor Jasa.

Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua sektor: (1) sektor tradisional yaitu Sektor Pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja (produk marjinal tenaga kerja sangat rendah), dan (2) Sektor Industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi (produk marjinal tenaga kerja tinggi). Pada Sektor Pertanian tradisional di perdesaan, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka terjadi kelebihan suplai (over supply) tenaga kerja dan menyebabkan produk marjinal tenaga kerja sektor ini sangat rendah, nol bahkan negatif.

W1 Upah dan

produk marjinal

Upah pertanian

Tenaga kerja

Sumber : Lewis, 1954 Gambar 2.2

Model Pembangunan Lewis Sektor Pertanian

Gambar 2.2 Menunjukkan upah di Sektor Pertanian yakni W1. Sektor Pertanian mengalami over supply tenaga kerja. Akibat kelebihan tenaga kerja,

(14)

maka Sektor Pertanian memiliki produk marjinal tenaga kerja yang sangat rendah, nol bahkan negatif. Kelebihan tenaga kerja tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan penduduknya yang tinggi.

Terdapat kesenjangan upah antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri.

Upah di Sektor Industri lebih tinggi dari Upah di Sektor pertanian. Produk marjinal tenaga kerja Sektor Industri yang tinggi dan persediaan tenaga kerja di Sektor Pertanian yang tidak terbatas, mendorong Sektor Industri berkembang dengan menarik tenaga kerja secara tidak terbatas dari Sektor Pertanian. Tenaga kerja bersedia pindah ke Sektor Industri karena mereka dapat menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan upah subsisten di Sektor Pertanian.

Asumsi dasar teori ini adalah bahwa transfer tenaga kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output Sektor Pertanian.

Produk marjinal tenaga kerja di Sektor Pertanian sangat rendah, dengan berkurangnya tenaga kerja, output Sektor Pertanian tidak akan berkurang.

Produk marjinal tenaga kerja di Sektor Industri lebih tinggi dari upah yang diterima oleh tenaga kerja Sektor Industri, sehingga mengakibatkan terbentuknya surplus Sektor Industri. Surplus Sektor Industri dari selisih antara nilai produk marjinal dengan upah ini diinvestasikan kembali seluruhnya ke Sektor Industri dan tingkat upah di Sektor Industri diasumsikan konstan serta jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di Sektor Pertanian. Reinvestasi surplus Sektor Industri mengakibatkan bertumbuhnya Sektor Industri sehingga

(15)

membutuhkan penambahan tenaga kerja dari Sektor Pertanian yang kelebihan tenaga kerja. Oleh karena itu, laju proses transfer tenaga kerja dari Sektor Pertanian Ke Sektor Industri ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di Sektor Industri. Pada tingkat upah Sektor Industri yang konstan, kurva penawaran tenaga kerja Sektor Pertanian dianggap elastis sempurna. Sektor Industri akan terus menyerap tenaga kerja dari Sektor Pertanian sampai pada titik dimana tingkat upah industri sama dengan nilai produk marjinal tenaga kerja Sektor Industri. Pada akhirnya rasio tenaga kerja-kapital (capital labor ratio) naik dan penawaran tenaga kerja di Sektor Pertanian tidak lagi elastis sempurna.

N1

N

W

W1 Upah dan

produk marjinal

Upah industri

Upah pertanian

Tenaga kerja M1

M

P P1

Sumber : Lewis, 1954 Gambar 2.3

Model Pembangunan Dua Sektor Lewis Pada Sektor Pertanian dan Sektor Industri

(16)

Gambar 2.3 lebih jelas menggambarkan mengenai model pembangunan dua sektor Lewis. N menunjukkan kurva Sektor Industri dengan W adalah upah pada Sektor Industri dan M adalah jumlah tenaga kerja pada Sektor Industri. W1 menunjukkan upah di Sektor Pertanian dan lebih rendah daripada upah Sektor Industri (W). Pada Sektor Pertanian, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka terjadi kelebihan suplai (over supply) tenaga kerja. Keuntungan di Sektor Industri atau yang oleh Lewis disebut surplus adalah NWP. Surplus tersebut seluruhnya akan ditanamkan kembali oleh para pengusaha di Sektor Industri, dan kegiatan ini akan mengakibatkan bukan saja perkembangan dalam kegiatan ekonomi tetapi juga kenaikan dalam tingkat produktivitas sehingga Sektor Industri akan menambah tenaga kerja dari Sektor Pertanian. Karena upah di Sektor Industri (W) lebih tinggi daripada upah di Sektor Pertanian (W1) maka tenaga kerja Sektor Pertanian pindah ke Sektor Industri (jumlah tenaga kerja Sektor Industri menjadi M1). Upah Sektor Industri diasumsikan tetap sehingga penambahan tenaga kerja dari pertanian akan menggeser kurva Sektor Industri ke kanan menjadi N1. Pergeseran kurva Sektor Industri ini akan terus terjadi sampai Sektor Pertanian tidak mengalami kelebihan tenaga kerja (produk marjinal tenaga kerja Sektor Pertanian sama dengan upah tenaga kerja Sektor Pertanian).

Proses pertumbuhan seperti diuraikan di atas disebut sebagai pertumbuhan berkesinambungan (self-sustaining growth) dari Sektor Industri. Penyerapan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai pada suatu titik

(17)

semua surplus tenaga kerja tradisional diserap habis oleh sektor modern. Saat inilah yang disebut dengan turning point dalam model Lewis (Yokota dan Islam, 2008). Tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari Sektor Pertanian tradisional dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di Sektor Industri terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope positif.

Menurut Todaro (2006), model Lewis pada kenyataannya mengandung beberapa kelemahan karena asumsi-asumsi yang digunakan, khususnya untuk sebagian besar negara berkembang. Kelemahan pertama menyangkut reinvestasi modal dimana model Lewis tersebut mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di Sektor Industri sebanding dengan tingkat akumulasi modal. Namun fenomena menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi justru dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi yang hemat tenaga kerja. Dengan demikian penyerapan tenaga kerja dari Sektor Pertanian akan berjalan lamban. Belum lagi adanya kenyataan bahwa akumulasi modal tidak seluruhnya ditanamkan kembali di dalam negeri. Pelarian modal (capital flight) ke luar negeri sering terjadi karena alasan faktor keamanan di dalam negeri. Kelemahan ke dua menyangkut asumsi surplus tenaga kerja yang terjadi di perdesaan. Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan tenaga kerja pertanian di perdesaan sudah mulai dirasakan sementara pengangguran banyak terjadi di perkotaan. Kelemahan ke tiga menyangkut asumsi tentang pasar tenaga

(18)

kerja yang kompetitif di Sektor Industri, sehingga menjamin upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus tenaga kerja habis terpakai.

Pada kenyataannya upah di pasar tenaga kerja Sektor Industri cenderung meningkat dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara riil.

Dengan beberapa kelemahan tersebut, maka konsep pembangunan dengan berbasis pada perubahan struktural seperti dalam model Lewis memerlukan beberapa penyempurnaan sesuai dengan fenomena ekonomi yang ada. Dalam hal ini Fei dan Ranis (1964) seperti yang ditulis dalam Publikasi BPS (2010) memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus tenaga kerja yang tidak terbatas dari model Lewis. Penyempurnaan tersebut terutama pada pentahapan perubahan tenaga kerja. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri menjadi tiga tahap berdasarkan pada produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogenus. Tahap pertama, tenaga kerja diasumsikan melimpah sehingga produk marjinal tenaga kerja mendekati nol. Dalam hal ini surplus tenaga kerja yang ditransfer dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri memiliki kurva penawaran elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun terjadi transfer tenaga kerja, namun total produksi di Sektor Pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan Sektor Industri tumbuh karena tambahan tenaga kerja dari Sektor Pertanian. Dengan demikian transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor ekonomi.

(19)

Tahap ke dua, produk marjinal tenaga kerja Sektor Pertanian sudah positif namun besarnya masih lebih kecil dari tingkat upah. Dengan kata lain pengurangan satu tenaga kerja Sektor Pertanian akan mengurangi total produksi.

Transfer tenaga kerja terus terjadi yang mengakibatkan penurunan produksi, namun penurunan tersebut masih lebih rendah dari besarnya tingkat upah yang tidak jadi dibayarkan. Di sisi lain karena surplus produksi yang ditawarkan ke Sektor Industri menurun sementara permintaan meningkat, yang diakibatkan adanya penambahan tenaga kerja, maka harga relatif komoditas pertanian akan meningkat. Tahap ke tiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi.

Pada tahap ini produk marjinal tenaga kerja Sektor Pertanian sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Pengusaha Sektor Pertanian mulai mempertahankan tenaga kerjanya. Transfer tenaga kerja masih akan terjadi jika inovasi teknologi di Sektor Pertanian dapat meningkatkan produk marjinal tenaga kerja. Sementara itu, karena asumsi pembentukan modal di Sektor Industri direinvestasi maka permintaan tenaga kerja sektor ini juga akan terus meningkat.

2.2.3 Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Secara umum, fungsi produksi didefinisikan sebagai suatu fungsi yang menggambarkan besarnya maximum output yang dapat diperoleh dari kombinasi input yang digunakan dalam suatu proses produksi dengan menggunakan suatu teknologi tertentu (Eric, 2008). Berdasarkan definisi tersebut, fungsi produksi sesungguhnya diterapkan terhadap sebuah perusahaan/industri yang menghasilkan

(20)

suatu produk secara individu. Penerapan fungsi produksi terhadap lebih dari satu perusahaan/industri, bahkan terhadap suatu perekonomian secara statistik diperkenalkan pertama kali oleh Paul H. Douglas dan matematikawan Charles W.

Cobb pada tahun 1928. Fungsi produksi dispesifikasikan lebih lanjut ke dalam bentuk fungsi berikut ini:

Q = f (K,L) Dimana

Q = output K = input modal L = input tenaga kerja

Dari fungsi produksi di atas, dapat dihitung total produksi yang dihasilkan (TP=Q). Sedangkan tambahan produksi akibat penambahan penggunaan satu unit faktor produksi disebut Marginal Physical Product (MP), sehingga untuk melihat pengaruh penambahan satu unit modal atau tenaga kerja pada total produksi dapat dilihat dari nilai MPK atau MPL yang dihasilkan. Suatu usaha dapat menambahkan modal atau tenaga kerja selama MPK atau MPL lebih besar dari nol. Jika MPK atau MPL kurang dari nol merupakan indikasi terjadinya Law of Diminishing Return (hukum penambahan hasil yang semakin berkurang). Semakin banyak suatu input, seperti tenaga kerja ditambahkan terhadap sejumlah tanah, sedangkan mesin dan faktor produksi lainnya tetap, input tenaga kerja tersebut akan mempunyai fungsi yang terus menurun ketika faktor produksi lainnya tetap. Tanah menjadi lebih

(21)

penuh sesak, kapasitas kerja mesin menjadi berlebihan dan produk marjinal tenaga kerja menurun (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang dimulai dari MPL maksimum. Pada kondisi ini, bertambahnya tenaga kerja tidak menaikkan produk marjinal karena tenaga kerja yang dipakai "terlalu banyak" sehingga mereka akan bekerja

"berebut" dan produk marjinal justru akan turun, kemudian menjadi nol dan akhirnya negatif (Salvatore, 1994).

Secara umum, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan ke dalam persamaan sebagai berikut (Fraser, 2002):

Y = AKαLβ...(2.1) Dimana :

Y = output / nilai tambah suatu perekonomian A = koefisien teknologi

K = input modal L = input tenaga kerja

α = elastisitas modal terhadap output β = elastisitas tenaga kerja terhadap output

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan (2.1), maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut menjadi seperti berikut ini:

ln Y = a + α ln K + β ln L ...(2.2)

(22)

Pada persamaan tersebut terlihat nilai α dan β tidak berubah walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dikarenakan α dan β pada fungsi Cobb-Douglas adalah nilai konstanta yang merupakan elastisitas modal dan tenaga kerja terhadap output Y. Total α dan β akan menunjukkan returns to scale yang akan terjadi pada Y.

Menurut Joesron dan Fathorrozi (2003), dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diketahui beberapa hal yang sangat penting seperti berikut ini:

1. Marginal Physycal Product (MP) dari masing–masing input, yaitu perubahan output sebagai akibat perubahan input. MP menjadi suatu nilai yang penting karena menunjukkan produktivitas masing–masing input. MP dapat diketahui melalui turunan pertama fungsi produksi. Fungsi produksi Cobb-Douglas yang digunakan adalah:

Y = AKαLβ

MP dari modal (MPK) diperoleh dengan menghitung turunan fungsi tersebut, yaitu:

𝑑𝑄

𝑑𝐾 = MPK = A.  𝐾−1 𝐿𝛽= 𝐴 𝐾

𝐿𝛽

𝐾 =  𝑄𝐾 ... (2.3) Sedangkan MP dari tenaga kerja (MPL) adalah sebagai berikut:

𝑑𝑄

𝑑𝐿 = MPL = A.  𝐾 𝐿𝛽−1= 𝐴 𝛽 𝐾

𝐿𝛽 𝐿 = β 𝑄

𝐿 ... (2.4) 2. Elastisitas output dari masing–masing input, yaitu perubahan persentase

output sebagai akibat perubahan persentase faktor input. Parameter ini

(23)

sangat penting terutama dalam usaha perbaikan proses produksi atau inefisiensi juga untuk meramalkan dampak perubahan output akibat perubahan input. Penjumlahan dari elastisitas masing–masing faktor input menunjukkan returns to scale yang akan terjadi pada Y.

3. Bagian faktor input adalah modal dan tenaga kerja. Melalui kedua faktor input tersebut, dapat diketahui sejauh mana suatu proses produksi bersifat padat modal atau padat karya. Dengan kata lain, fungsi produksi Cobb- Douglas dapat menjelaskan elastisitas input. Elastisitas input modal

diperoleh melalui persamaan:

Elastisitas K =

𝑑𝑄 𝑄 𝑑𝐾 𝐾

= 𝑑𝑄𝑑𝐾 . 𝐾𝑄 ... (2.5)

Dengan mendistribusikan nilai 𝑑𝑄𝑑𝐾 dari persamaan (2.3) ke persamaan (2.5), diperoleh persamaan:

Elastisitas K =  𝑄𝐾 . 𝐾𝑄 =  ... (2.6) Dengan cara yang sama diperoleh persamaan untuk elastisitas tenaga kerja, yaitu:

Elastisitas L = β 𝑄𝐿. 𝑄𝐿 = β... (2.7) Dari persamaan di atas, diketahui bahwa koefisien regresi dari fungsi produksi Cobb-Douglas sama dengan elastisitas inputnya. Elastisitas input berfungsi untuk menjelaskan input mana yang lebih elastis diantara seluruh input yang digunkan. Di samping itu, nilai elastisitas juga

(24)

menjelaskan intensitas faktor produksi. Jika  > β berarti proses produksi lebih bersifat padat modal. Sebaliknya jika β >  berarti proses produksi lebih bersifat padat karya.

2.2.4 Returns to Scale

Apabila semua input dinaikkan misalnya naik dua kali maka output juga akan naik, tetapi seberapa besar kenaikannya akan dibahas dalam tiga macam returns to scale sebagai berikut (Hariastuti, 2013):

1) Constant returns to scale yaitu apabila peningkatan input akan meningkatkan output tepat sama dengan proporsi peningkatan input.

Misalnya input naik 10 persen dan output juga naik 10 persen.

2) Increasing returns to scale yaitu apabila peningkatan input akan meningkatkan output lebih besar dari peningkatan input. Misalnya input naik 10 persen sedangkan output naik 14 persen.

3) Decreasing returns to scale yaitu apabila peningkatan input akan meningkatkan output, namun peningkatan output tersebut kurang dari peningkatan input yang dilakukan. Misalnya peningkatan input sebesar 10 persen namun peningkatan output hanya 8 persen.

2.2.5 Analisis Data Panel

Data panel merupakan suatu set data yang berisi multipel observasi pada setiap unit sampel. Hal tersebut dapat diperoleh dari gabungan observasi runtun waktu dengan data cross section misalnya negara, negara bagian, wilayah,

(25)

perusahaan atau contoh acak individu atau rumah tangga, Beberapa kelebihan data panel diantaranya:

1) Data panel dapat mengontrol heterogenitas individu. Data time series dan crros section tidak demikian karena beresiko memberikan hasil yang bias,

Moulton (1986,1987)

2) Data panel memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, derajat bebas lebih besar sehingga dapat mengurangi bias, dan lebih efisien 3) Dapat menggambarkan perubahan yang dinamis dibandingan dengan studi

berulang dengan data cross section

4) Data panel bagus untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak yang tidak dapat dideteksi secara sederhana pada data time series dan cross section murni

5) Penggunaan data panel memberikan kemungkinan untuk menganalisis karakteristik baik antar sektor maupun antar waktu secara terpisah dengan proses estimasi simultan. Dengan kata lain, secara simultan akan dapat diestimasi karakteristik sektoral yang mencerminkan dinamika antar waktu dari masing-masing variabel yang dianalisis

Data panel merupakan suatu set observasi yang terdiri dari beberapa individu pada suatu periode tertentu. Observasi tersebut merupakan pasangan Yit (variabel terikat) dengan Xjit (variabel bebas) dimana i menunjukkan individu, t

(26)

menunjukkan waktu, dan j menunjukkan variabel bebas, kemudian dinyatakan sebagai model regresi data panel sebagai berikut:

Yit = i + βjXjit + it... (2.8) Dimana:

i = 1,2,...,n t = 1,2,...,T j = 1,2,...., K

Metodel OLS dapat digunakan untuk mengestimasi model dengan data panel, yang juga disebut pooled estimation. Metode ini mengasumsikan intersep  dan slope β konstan yaitu berlaku untuk semua sektor. Sebagai alternatif, terdapat metode lain yang dapat digunakan antara lain: fixed effect dan random effect. Cara yang paling mudah dilakukan untuk membedakan antara penggunaan fixed effect dan random effect terletak pada data yang digunakan. Bila data yang diteliti adalah populasi secara keseluruhan maka random effect lebih cocok digunakan.

Sebaliknya, bila data yang diteliti ada pada tingkat individu maka sebaiknya menggunakan fixed effect. Inti pada fixed effect yaitu slope tetap dan intersep berbeda antar individu sehingga diasumsikan setiap individu memiliki karakteristik berbeda.

2.2.6 Kesempatan Kerja

Secara agregat jumlah orang bekerja yang dimuat dalam publikasi BPS sering digunakan sebagai petunjuk tentang luasnya kesempatan kerja. Dalam

(27)

pengkajian ketenagakerjaan, kesempatan kerja sering dijadikan acuan sebagai permintaan tenaga kerja (Arfida, 2003). Kesempatan kerja atau permintaan tenaga kerja merupakan banyaknya orang yang bekerja pada berbagai sektor perekonomian baik Sektor Pertanian, Sektor Industri maupun Sektor Jasa.

Permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand), artinya permintaan tenaga kerja oleh suatu perusahaan tergantung pada permintaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut (Bellante dan Jackson, 1983).

Jumlah penduduk yang terus bertambah merupakan sinyal bahwa pertumbuhan tenaga kerja semakin meningkat. Kebutuhan akan kesempatan kerja baru tidak hanya diperlukan oleh tenaga kerja baru tetapi juga oleh tenaga kerja yang belum memperoleh pekerjaan pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut Simanjuntak (2001) faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja, yaitu: a) kondisi perekonomian; pesatnya roda perekonomian suatu daerah mencerminkan aktivitas produksi yang tinggi, kapasitas produksi yang tinggi membutuhkan tingginya faktor produksi diantaranya adalah tenaga kerja, sehingga banyak perusahaan yang menambah tenaga kerja baru. b) pertumbuhan penduduk;

kualitas pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk. Oleh sebab itu semakin tinggi jumlah penduduk akan mengurangi kesempatan orang untuk bekerja. c) produktivitas/kualitas sumber daya manusia; tingginya produktivitas dan kualitas sumber daya seseorang akan

(28)

mendorong tingginya tingkat kesempatan kerja, dan sebaliknya kualitas sumber daya manusia yang rendah akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. d) tingkat upah; kenaikan upah yang tidak disertai dengan kenaikan kapasitas produksi akan menyebabkan pihak perusahaan mengurangi jumlah karyawannya, hal tersebut akan menurunkan tingkat kesempatan kerja. e) stuktur usia penduduk; semakin besar struktur usia penduduk yang digolongkan muda (usia < 15 tahun) maka kesempatan kerja akan menurun dan sebaliknya.

2.2.7 Pasar Kerja Sektoral

Pasar kerja secara sektoral didefinisikan sebagai kesempatan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja menurut sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah.

Analisis banyaknya orang bekerja menurut sektor perekonomian dikaitkan dengan sumbangan potensinya pada PDRB. Pertumbuhan kegiatan perekonomian secara sektoral diharapkan mampu menggambarkan perubahan dan dinamika struktur perekonomian. Mengingat dinamika tingkat penyerapan tenaga kerja secara sektoral mempengaruhi pembentukan PDRB secara sektoral pula dalam wilayah yang sama. Analisis perekonomian sektoral berdasarkan tenaga kerja selanjutnya dapat digunakan dalam membentuk strategi perencanaan pembangunan ekonomi untuk identifikasi dan penyelesaian masalah baik ketenagakerjaan maupun perekonomian karena sasarannya lebih khusus sesuai sektor yang bersangkutan.

Secara umum, partisipasi individu atau rumah tangga dalam kegiatan ekonomi disebabkan oleh dua faktor utama yaitu motivasi dan kemampuan untuk

(29)

berpartisipasi. Motivasi mengarah pada insentif, sedangkan kemampuan merupakan kapasitas dari individu atau rumah tangga untuk ikut serta dalam sektor yang diinginkan (Davis dan Dirk Bezemer, 2003). Motivasi untuk berpartisipasi dalam sektor yang diinginkan dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe, demand-pull motivation dan distress-push motivation (Davis, 2003).

Demand-pull motivation merupakan motivasi untuk mendiversifikasi pekerjaan,

berkaitan dengan upah dan perbedaan resiko dari masing-masing pekerjaan.

Ketika penghasilan dari kegiatan ekonomi non-pertanian tinggi dan lebih rendah resikonya dibandingkan dengan kegiatan ekonomi pertanian, maka faktor

“tarikan” bekerja. Distress-push motivation merupakan motivasi yang berkaitan dengan penghasilan yang kurang mencukupi dan terbatasnya kesempatan untuk mendapatkan kredit dan asuransi. Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi non-pertanian berkaitan dengan kapasitas individu atau rumah tangga untuk dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi tersebut, yang tentunya berbeda antar individu satu dengan lainnya, dan lebih beragam jika dibandingkan dengan motivasi untuk terlibat di kegiatan ekonomi non pertanian.

Salah satu kendala yang terdapat di sektor petanian yakni relatif rendahnya produktivitas tenaga kerja sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan usia yang sudah relatif tua. Tenaga kerja usia muda yang enerjik, agresif, dan lebih berpendidikan cenderung tidak bekerja di Sektor Pertanian (Suryana, 1989).

Beberapa faktor yang diduga menyebabkan tenaga kerja muda dan yang

(30)

berpendidikan lebih tinggi tidak memilih Sektor Pertanian sebagai lapangan kerja utama, antara lain: 1) terbatasnya kesempatan kerja bagi yang berpendidikan lebih tinggi, 2) Sektor Pertanian pada umumnya tidak bisa mendatangkan pendapatan dalam waktu singkat, 3) usaha pertanian mengandung banyak resiko, 4) pendapatan yang diperoleh dari Sektor Pertanian lebih rendah dari yang diharapkan, dan 5) kurangnya status sosial dan kenyamanan kerja karena kesan usaha pertanian yang kumuh (Swatika dan Kustiari, 2000).

International Labor Organization (ILO) pada tahun 2003 menyatakan bahwa sebagian dari perbedaan tingkat upah antara wanita dan laki-laki hanya diterangkan oleh diskrimansi seksual. Stereotip penduduk tentang posisi dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yeng berbeda menimbulkan pembagian pekerjaan yang turun temurun di masyarakat. Laki-laki melakukan kegiatan produktif dan istri melakukan kegiatan reproduktif. Hartono (2007) menyatakan bahwa kelembagaan yang ada di penduduk didominasi oleh laki-laki karena perempuan tidak memiliki banyak waktu setelah melakukan kegiatan reproduktif.

2.2.8 Model Regresi Logistik

Model regresi logistik merupakan salah satu model regresi yang digunakan untuk memprediksi probabilita suatu keadaan. Sama seperti analisis regresi pada umumnya, model ini menggunakan variabel bebas untuk memprediksi variabel terikat. Model regresi logistik merupakan salah satu metode regresi yang digunakan untuk mencari hubungan variabel terikat yang berkategori dengan satu

(31)

atau lebih variabel bebas yang berupa kategori atau kontinyu. Banyaknya kategori variabel terikat dalam model regresi logistik dapat berbentuk dikotomus (biner) atau politomus yang terdiri dari lebih dari dua kategori (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Pada regresi logistik biner tidak diperlukan asumsi normalitas, heterokedastisitas, dan autokorelasi karena variabel terikatnya merupakan variabel dummy (0 dan 1) sehingga residualnya tidak memerlukan pengujian tersebut.

Secara umum persamaan regresi logistik untuk k variabel terikat dapat ditulis sebagai berikut:

ln1−𝑝𝑝 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑋𝑘...(2.9) dimana :

𝑝 = peluang terjadinya variabel terikat 𝛽0 = konstanta

𝛽𝑖 = parameter variabel bebas ke- 𝑖 𝑋𝑖 = variabel bebas ke- 𝑖

𝑖 = 1, 2,...,k

Regresi logistik menghasilkan rasio peluang (odds ratio). Odds ratio merupakan perbandingan peluang terjadinya peristiwa yang diteliti dengan peluang tidak terjadinya peristiwa yang diteliti, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Odds Ratio = 1−𝑝𝑝 ...(2.10)

(32)

Interpretasi model regresi logistik untuk mendapatkan peluang terjadinya peristiwa yang diteliti akibat pengaruh variabel bebas tertentu dilakukan dengan melihat nilai parameter β pada masing-masing variabel bebas dengan menganggap variabel lain konstan. Untuk melihat peluang terjadinya peristiwa yang diteliti, dilakukan dengan menurunkan persamaan (2.9) menjadi persamaan berikut:

𝑝𝑖= 1+𝑒1−𝛽 𝑖 ...(2.11)

2.2.9 Penelitian Sebelumnya dan Kajian Empiris 2.2.9.1 Pengaruh Investasi terhadap PDRB

Susilo (2012) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh investasi dan tenaga kerja terhadap output Sektor Industri kecil dengan analisis data panel.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa investasi dan tenaga kerja masing-masing berpengaruh positif terhadap output Sektor Industri kecil. Penelitian oleh Karlita (2013) menunjukkan investasi berpengaruh positif terhadap PDRB Sektor Industri (studi kasus Sektor Industri di Semarang). Luntungan (2006) mengatakan bahwa pembentukan modal baru/investasi dapat memperbesar kapasitas produksi yang kemudian meningkatkan PDRB, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan nasional. Mundlak, Y., Donald F.L., & Rita B. (1997) melakukan penelitian analisis antar negara untuk mengetahui faktor utama penentu produksi pertanian. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa modal merupakan faktor utama penentu langsung produksi pertanian. Hal tersebut dikarenakan faktor lain penentu

(33)

produksi pertanian seperti tanah, tenaga kerja, dan faktor lainnya semakin sedikit dari waktu ke waktu.

2.2.9.2 Pengaruh Jumlah Tenaga Kerja Terhadap PDRB

Penelitian oleh Supartoyo dan Sendouw (2013) menunjukkan laju pertumbuhan angkatan kerja bepengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kusnadi, N, dkk. (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa Hari Orang Kerja (HOK) berpengaruh positif terhadap produksi padi (studi kasus pada beberapa sentra produksi padi di Indonesia. Masru’ah dan Soejoto (2013) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh tenaga kerja dan investasi Sektor Pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi sektor tersebut di Provinsi Jawa Timur.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan struktur ekonomi di Provinsi Jawa Timur dari sektor primer ke sektor sekunder mengingat pertanian merupakan andalan Jawa Timur, ternyata pertumbuhan Sektor Pertanian melambat dan semakin menurun. Penelitian tersebut menunjukkan tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan Sektor Pertanian, sedangkan investasi berpengaruh terhadap pertumbuhan Sektor Pertanian. Penelitian tersebut menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut bahwa Sektor Pertanian yang sebelumnya dikenal sebagai sektor padat karya mulai beralih menjadi sektor padat modal.

2.2.9.3 Pengaruh Usia terhadap Sektor Tempat Bekerja

Penelitian oleh Kusnadi, N, dkk. (2011) menyatakan bahwa usia berpengaruh positif terhadap inefisiensi produksi padi. Dengan kata lain, semakin

(34)

bertambahnya usia tenaga kerja maka inefisiensi produksi padi semakin meningkat. Heidrich dan Blundell (2013) dalam tulisannya mengatakan bahwa sektor tambang merupakan sektor dengan ciri padat modal dan usia menjadi salah satu pertimbangan perekrutan tenaga kerja di perusahaan tambang milik Canada yang beroperasi di Amerika Latin. Di sisi lain, penelitian oleh Permata, Yanfitri, dan Andry (2010) menyatakan bahwa usia tenaga kerja tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kecenderungan berpindah kerja ke sektor lain.

2.2.9.4 Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Sektor Tempat Bekerja

Penelitian oleh Rini Sulistiawati (2012) menunjukkan tenaga kerja di sektor primer pada umumnya memiliki pendidikan yang rendah dengan produktivitas yang juga rendah. Agus Sumanto (2009) melakukan penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor sosial-ekonomi migrasi tenaga kerja (studi kasus ibu rumah tangga yang bekerja dari Sektor Pertanian ke sektor non pertanian). Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap peluang bekerja di sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar peluang seorang ibu rumah tangga berpindah kerja dari Sektor Pertanian ke sektor non pertanian. Penelitian oleh Belser (1999) menunjukkan bahwa pada beberapa negara asia yang sedang berkembang, tenaga kerja pabrik seperti misalnya pabrik sepatu dan pakaian seringkali memperkerjakan wanita dengan tingkat pendidikan dasar, sehingga memberikan kesempatan pekerjaan kepada penduduk miskin dan hampir miskin.

(35)

2.2.9.5 Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Sektor Tempat Bekerja

FAO (2011) dalam publikasinya menyatakan bahwa wanita memiliki kontribusi penting dalam sektor agrikultur dan produksi makanan. Penelitian oleh Abbas, Qaisar, Abdul H., & Aamer W (2011) pada Sektor Industri menunjukkan bahwa terjadinya diskriminasi jenis kelamin berpengaruh negatif terhadap produktivitas tenaga kerja. Penelitian oleh Hellerstein, Neumark, dan Troske (1999) mengenai upah, produktivitas, dan karakteristik pekerja di Amerika Serikat menunjukkan bahwa produk marjinal tenaga kerja wanita sedikit dibawah laki- laki namun pekerja wanita dibayar jauh lebih sedikit daripada pekerja laki-laki, selisih perbedaan upah tersebut jauh lebih besar dibanding selisih perbedaan produktivitas. Perbedaan upah berdasarkan jenis kelamin tersebut, di dalam penelitian ini, diduga akan mempengaruhi pertimbangan sektor tempat bekerja tenaga kerja. Davis dan Bezemer (2003) dan Davis (2003) mengkaji mengenai perkembangan ekonomi non-pertanian dan mengatakan bahwa keputusan individu desa untuk bekerja di Sektor Pertanian disebabkan oleh beberapa faktor yakni umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jenis kelamin, dan jumlah anggota rumah tangga.

2.2.9.6 Pengaruh Jumlah Jam Kerja terhadap Sektor Tempat Bekerja

Syam dan Khairina (2003) mengatakan bahwa Sektor Pertanian selama ini bersifat akomodatif terhadap penyerapan tenaga kerja karena tidak menuntut persyaratan kerja yang berlebihan, dan hal ini berakibat pada banyak pekerja

(36)

pertanian yang bekerja di bawah jam kerja normal (sesuai definisi BPS, jam kerja normal adalah 35–44 jam seminggu). Chris Manning dan M. Raden Purnagunawan (2012) menunjukkan bahwa 62 persen jam kerja di pertanian (terbanyak diantara sektor lain) kurang dari 35 jam (kurang dari jam kerja normal sesuai konsep BPS). Penelitian oleh Supriyati, Saptana, dan Sumedi (2001) menunjukkan bahwa curahan waktu kerja per ART di Sektor Pertanian lebih dominan dibandingkan curahan waktu kerja di sektor non pertanian (Studi kasus di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur).

2.2.9.7 Pengaruh Tahun Lama Kerja terhadap Sektor Tempat Bekerja

Tahun lama kerja tenaga kerja dapat dianalisis melalui sektor tempat bekerja. Tenaga kerja di Sektor Pertanian cenderung memiliki tahun lama kerja yang jauh lebih panjang daripada sektor lainnya. Faktor penyebab tahun lama bekerja di Sektor Pertanian panjang karena sektor ini cenderung mengandalkan kekuatan fisik sehingga tenaga kerja usia tua masih dapat bertahan di sektor ini selama fisiknya masih mampu, sedangkan di sektor lain lebih mengutamakan produktivitas, pendidikan, dan keahlian sehingga terdapat masa pensiun. Tahun lama bekerja yang panjang juga mengindikasikan usia tenaga kerja tersebut sudah bukan lagi usia muda. Sedangkan sektor dengan persaingan tinggi cenderung menginginkan tenaga kerja muda yang lebih mudah beradaptasi dengan modernisasi.

(37)

2.3 Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai sektor ekonomi padat modal dan sektor ekonomi padat karya baik secara terpisah maupun keterkaitan diantara kedua kelompok sektor tersebut. Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah tingkat pengangguran berkurang.

Ketika sampai pada kondisi padat karya maka pendapatan nasional meningkat dan pengangguran menurun. Ananta dan Fontana (1995) mengatakan terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kemajuan perekonomian di negara berkembang, peralihan struktur lapangan pekerjaan, bukan dari pertanian (agriculture) ke manufaktur lalu ke Sektor Jasa, melainkan dari pertanian ke Sektor Jasa baru kemudian ke Sektor Manufaktur. Hal ini disebakan karakteristik Sektor Jasa di negara berkembang berbeda dengan Sektor Jasa di negara maju.

Sektor Jasa yang meningkat di negara berkembang merupakan penampungan dari mereka yang tidak terserap di Sektor Manufaktur.

Publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik yang berjudul

“Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja” meneliti tentang perubahan struktur perekonomian yang terjadi dalam kaitannya dengan perubahan struktur output (PDB) dan ketenagakerjaan sektoral, juga meneliti mengenai dampak

perubahan struktur ekonomi dan PDB terhadap kesempatan kerja, kemudian melihat faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tenaga kerja Sektor Pertanian ke sektor non pertanian. Hasil publikasi BPS tersebut menunjukkan

(38)

Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Konstruksi merupakan sektor-sektor dengan ciri Capital Intensive. Sedangkan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran;

Sektor Transportasi dan Komunikasi; serta Sektor Jasa-jasa merupakan sektor- sektor dengan ciri Labor Intensive. Sementara Sektor Pertanian serta Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan merupakan sektor yang sedang mengalami peralihan dari sektor yang berciri Labor Intensive menuju sektor yang berciri Capital Intensive.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini meneliti variabel modal dengan menggunakan nilai investasi. Investasi dipilih karena kondisi perekonomian Bali sangat dipengaruhi oleh investasi, terutama sektor pariwisata, baik investasi dalam negeri maupun luar negeri. Terdapat penelitian sebelumnya yang meneliti tentang pengaruh beberapa variabel yang dimiliki tenaga kerja terhadap sektor ekonomi tempat bekerjanya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini meneliti pengaruh beberapa variabel terhadap peluang tenaga kerja bekerja di sektor padat karya, sektor yang menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja.

Gambar

Gambar 2.1   Struktur Tenaga Kerja

Referensi

Dokumen terkait

sensor IR untuk mendeteksi sampah yang masuk, sensor proximity induktif untuk mendeteksi sampah non-organik jenis logam atau sampah organik dan non-organik

1) Pemantauan dilakukan agar tetap terjaga baik dari keadaan lapangan, karyawan, maupun keuangan, dari 8 lapangan 5 diantaranya pemilik selalu melakukan

Hasil yang diperoleh adalah bahwa penggunaan pellet kunyit dalam ransum ayam pedaging tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P&gt;0,05) terhadap persentase

Data tentang tingkat kesegaran jasmani Siswa Kelas IV dan V SD Negeri 1 Pakuncen Bobotsari Purbalingga diambil dengan pengukuran menggunakan instrumen Tes Kesegaran Jasmani

jumlah tanggungan rumah tangga dan keberadaan anak balita berpengaruh signifikan secara simultan terhadap alokasi waktu kerja perempuan pada sektor informal perdagangan di

0HQXUXW *LGGHQV UHDOLWDV VRVLDO KDUXV PHPSHUWLPEDQJNDQ VWUXNWXU GDQ DJHQ 6WUXNWXU DGDODK DWXUDQ QRUPD QRUPD GDQ NHSHUFD\DDQ \DQJ PHQDQGDL GXQLD VRVLDO $JHQ DGDODK SHULODNX GDQ

Hasil yang penelitian diatas diperoleh bahwa upaya yang dilakukan oleh MTs Al kautsar Ranggo dalam membangun Citra untuk membangun mutu adalah meningkatkan Sumber Daya

Dengan penekanan tubuh harus kurus dan penampilan di dalam olahraga senam, itu sudah diusulkan bahwa atlet-atlet akan mendapatkan resiko yang besar untuk pengembangan dari