PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP AKTIVITAS PEROKSIDASI LIPID PADA OTAK TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
YANG DIINDUKSI ASFIKSIA
SITI ASNANI N111 13 342
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
UJI EFEK PROTEKTIF ADENOSIN TERHADAP AKTIVITAS PEROKSIDASI LIPID PADA OTAK TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
YANG DIINDUKSI ASFIKSIA
SKRIPSI
Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
SITI ASNANI N111 13 342
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
iii
Pembimbing Pertama,
Firzan Nainu, S.Si., M.Biomed., Ph.D., Apt.
NIP. 19820610 200801 1 012
PERSETUJUAN
PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP AKTIVITAS PEROKSIDASI LIPID
PADA OTAK TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ASFIKSIA
Oleh : SITI ASNANI N111 13 342
Disetujui oleh : Pembimbing Utama,
Yulia Yulisrini Djabir, MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt.
NIP. 19780728 200212 2 003
Pada tanggal : 2017 Pembimbing Kedua,
Aminullah, S.Si., M.Pharm.Sc., Apt.
NIP. 19821002 200912 1 004
iv
PENGESAHAN
PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP AKTIVITAS PEROKSIDASI LIPID OTAK TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ASFIKSIA
Oleh : SITI ASNANI
N111 13 342
Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pada tanggal : 2017
Panitia Penguji Skripsi
1. Prof. Dr. Asnah Marzuki, M.Si., Apt.
(Ketua)
2. Habibie, S.Si., M.Pharm.Sc., Apt.
(Sekretaris)
3. Yulia Yusrini Djabir, S.Si., MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt (Ex. Officio)
4. Firzan Nainu, S.Si., M.Biomed., Ph.D., Apt.
(Ex Officio)
5. Aminullah, S.Si., M.Pharm.Sc., Apt.
(Ex Officio)
6. Muh. Nur Amir, S.Si.,M.Si., Apt.
(Anggota)
v
PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : Siti Asnani
NIM : N111 13 342
Judul Skripsi : “PENGARUH PEMBERIAN ADENOSIN TERHADAP AKTIVITAS PEROKSIDASI LIPID OTAKTIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI ASFIKSIA”
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, 13 April 2017 Yang menyatakan,
Siti Asnani NIM: N111 13 342
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji hanya milik Allah yang telah melebihkan anak Adam (manusia) dengan ilmu dan amal atas semesta alam. Kepada Engkau Tuhan pemberi segala sesuatu, izinkan hamba-Mu untuk menghaturkan puji syukur kehadirat-Mu, ya Allah ya Rabbi, karena dengan kasih-Mu, hamba bisa menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Adenosin Terhadap Aktivitas Peroksidasi Lipid Pada Otak Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Asfiksia”. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umatnya, semoga hamba masih berjalan diatas tuntunannya.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ayahanda Lamiuddin, A.Ma.Pd dan Ibunda Waode Mbiku selaku orang tua yang menjadi sumber semangatku, motivasi terbesarku, yang selalu mendukung dan memberikan dukungan moril, materi dan yang terpenting doa untuk kelangsungan belajar penulis.
2. Nenekku tercinta Nasiha dan opaku tercinta Ladesa atas doa dan dukungan selama menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin
vii
3. Kakakku Sitti Elva Susanti, Sitti Masymin dan Sitti Rabia Harjuli atas doa, dukungan, sumber semangat, saran, teman berkeluh kesah, bantuan materi maupun moril selama penulis menempuh pendidikan S1di Universitas Hasanuddin.
4. Adikku Ferdinand Magel Gauz dan Alhadiansyah. Keponakanku Novi, Elisa, Arini, Disa, Dova, Hanun dan Fatin atas dukungan dan sumber semangat selama penulis menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin
5. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
6. Ibu Dr. Aliyah, M.S., Apt. selaku ketua program studi S1 Farmasi Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin.
7. Bapak-bapak dan Ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala bimbingan dan ilmu serta bantuan yang diberikan selama menempuh pendidikan, penelitian, hingga selesainya skripsi ini.
8. Dra. Rosany Tayeb, M.Si., Apt. selaku penasehat akademik selama menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin
9. Yulia Y. Djabir, S.Si., MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt. selaku pembimbing utama atas bimbingan, pengarahan, saran, waktu serta dukungan selama penulis penyusunan skripsi.
10. Firzan Nainu, S.Si., M.Biomed.Sc., Ph.D., Apt. dan Aminullah, S.Si., M.Pharm.Sc., Apt. selaku pembimbing pertama dan pembimbing
viii
kedua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan saran selama penyusunan skripsi.
11. Prof. Dr. Asnah Marzuki, M.Si., Apt., Habibie, S.Si., M.Pharm.Sc., Apt.
dan Muh. Nur Amir, S.Si.,M.Si., Apt. selaku ketua penguji, sekretaris penguji dan anggota penguji yang telah memberikan saran pada penyusunan skripsi.
12. Adriana pidun dan Syamsiah, ST selaku laboran di laboratorium Biofarmasi dan Kimia Farmasi atas bimbingan, pengarahan, saran serta dukungan kepada penulis selama penelitian.
13. Resky Nur Fadillah, Fitria Dewi dan Nurmawaddah sebagai sahabat sejati, teman asrama, teman bertukar pikiran, teman satu bimbingan dan teman satu penelitian yang sabar dan pengertian, yang menjadi partner setia selama penelitian dan proses penyusunan skripsi.
14. Sahabatku RENS (Ridha Rizkiya, Evi Febrianty dan Nur Asma) sebagai sahabat sejati, tempat berkeluh-kesah dan teman penyemangat atas doa, perhatian, dukungan, motivasi dan sumber semangat dalam meneliti dan proses penyusunan skripsi.
15. Teman-teman angkatan 2013 (Theo13romine), atas perasaan senasib, sepenanggungan selama 3,5 tahun ini. Atas dukungan, bantuan dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.
16. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
ix
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapat berkah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam setiap sesuatu yang dikerjakan manusia. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini sangat dibutuhkan. Demikian skripsi ini penulis dengan harapan semoga hasil jerih payah ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan mudah-mudahan Allah SWT dapat berkenan menerimanya sebagai amal ibadah yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Amin yaa rabbal ‘alamiin
Makassar, Mei 2017 Penulis
Siti Asnani N11113342
x
ABSTRAK
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnea. Kondisi ini dapat meningkatkan produksi ROS sehingga terjadi stress oksidatif dan peroksidasi lipid, yang dapat dilihat dengan pengukuran kadar MDA pada otak tikus putih menggunakan metode TBARS secara spektrofotometrik UV-Vis. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu durasi optimum asfiksia dan menguji efek protektif adenosin terhadap peningkatan ROS akibat asfiksia. Pada uji durasi asfiksia digunakan 4 kelompok tikus (n=3). Kelompok I sebagai sham control, kelompok II asfiksia 1 menit, kelompok III asfiksia 3 menit dan kelompok IV asfiksia 5 menit, sedangkan pada uji efek protektif adenosin juga digunakan 4 kelompok tikus, kelompok satu sebagai sham control, kelompok II NaCl 0,9 %, kelompok III adenosin 0,5 mg/kgBB dan kelompok IV adenosin 1,0 mg/kg. Hasil penelitian menunjukkan durasi asfiksia optimum adalah 5 menit dengan peningkatan kadar MDA sebesar 49 %, dan pemberian adenosin dapat menurunkan kadar MDA sebesar 39
% dibandingakan pemberian NaCl 0,9 % (P < 0.05). Hal ini dapat simpulkan bahwa adenosin 1,0 mg/kgBB memiliki efek protektif dalam menurunkan kadar MDA otak yang diasfiksia 5 menit.
Kata kunci: Asfiksia, Spesies Oksigen Reaktif, Malondialdehida, Adenosin
xi
ABSTRACT
Asphyxia is the loss of consciousnes as the result of hypoxia and hiperkapnea. This condition increases ROS production, oxidative stress and lipid peroxidation, which can be measured from MDA rat brain. MDA brain level was measured with TBARS method using spectrophotometric UV-Vis. The purpose of this study was to analyse MDA brain level with certain duration of asphyxia and to evaluate the proctetive effect of adenosine against increased MDA brain level as a result of asphyxia.
Analysis of asphyxia duration used four groups (n=3). Group I as a sham control, group II had 1 minute asphyxia, group III had 3 minute asphyxia and group IV had 5 minute asphyxia. The analysis of adenosine protective effect also used four group, group I as sham controls, group II treated with NaCl 0.9 %, group III treated with adenosine 0.5 mg/kgBB and group IV treated with adenosine 1.0 mg/kg before asphyxia. The optimum duration of asphyxia was 5 minute with MDA brain level increased 49 %, and adenosine 1.0 mg/kgBB was found to decreased MDA level by 39 % (P< 0.05) compared to NaCl treatment. It is concluded that adenosine 1.0 mg/kgBB was protective against the increase of MDA brain level during 5 minute asphyxia.
Keywords: Asphyxia, Reactive Oxygen Species, Malondialdehida, Adenosine
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENUNJUK ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3
II.1 Asfiksia ... 3
II.1.1 Pengertian Asfiksia ... 3
II.1.2 Etiologi asfiksia ... 4
II.1.2.1 Asfiksia Mekanik ... 4
II.1.2.2 Asfiksia Kimia ... 6
II.1.3 Patologi Asfiksia ... 8
II.1.4 Stadium Pada Asfiksia ... 9
xiii
II.1.5 Patofisiologi Asfiksia Pada Sel Otak ... 10
II.2 Radikal Bebas ... 11
II.3 Peroksidasi Lipid ... 13
II.4 Malondialdehida (MDA) ... 14
II.5 Antioksidan ... 14
II.6 Adenosin ... 17
II.6.1 Adenosin Endogen ... 17
II.6.2 Adenosin Eksogen ... 18
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN ... 23
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan ... 23
III.1.1 Alat ... 23
III.1.2 Bahan ... 23
III.2 Metode Kerja ... 23
III.2.1 Penyiapan Hewan Coba ... 23
III.2.2 Penyiapan Sediaan Uji Larutan Adenosin ... 23
III.2.3 Perhitungan Volume Pemberian ... 24
III.2.3.1 Injeksi Natrium Thiopental ... 24
III.2.3.2 Larutan Adenosin ... 24
III.2.4 Prosedur Percobaan ... 25
III.2.4.1 Penentuan Durasi Asfiksia ... 25
III.2.4.2 Induksi Asfiksia ... 25
III.2.4.3 Uji Efek Protektif Adenosin ... 26
III.2.4.4 Pengambilan Organ Otak Tikus Putih... 26
xiv
III.2.5. Preparasi dan Evaluasi Sampel Otak Tikus Putih ... 26
III.2.6 Pengukuran Kurva Baku ... 27
III.2.7 Analisa Statistik ... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
IV.1 Hasil Penelitian ... 28
IV.1.1 Grafik Absorbansi Kurva Baku ... 28
IV.1.2 Grafik Penentuan Durasi Asfiksia ... 28
IV.1.3 Grafik Uji Efek Protektif Adenosin ... 29
IV.2 Pembahasan ... 29
BAB V PENUTUP ... 34
V.1 Kesimpulan ... 34
V.2 Saran... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Uraian Singkat Adenosin ... 19 Tabel 2. Absorbansi Larutan Standard Pada Konsentrasi 0,1-
0,7 ppm ... 42 Tabel 3. Hasil Perhitungan Kadar MDA Sampel Organ Otak
Pada Penentuan Durasi Asfiksia ... 43 Tabel 4. Hasil Perhitungan Kadar MDA Sampel Organ Otak
Pada Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap
Peningkatan ROS Akibat Asfiksia ... 43 Tabel 5. Data Distribusi Kolmogorov-Sminov Pada Uji
Penentuan Durasi Asfiksia ... 50 Tabel 6. Data Statistik Homogenitas Kadar MDA Uji Penentuan
Durasi Asfiksia Dengan Test Of Homogeneity Of
Variances ... 50 Tabel 7. Data Statistik Kadar MDA Uji Penentuan Durasi
Asfiksia Dengan One Way Anova ... 50 Tabel 8. Data Distribusi Kolmogorov-Sminov Pada Uji Efek
Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat
Asfiksia ... 51 Tabel 9. Data Statistik Homogenitas Kadar MDA Uji Efek
Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat
Asfiksia Dengan Test Of Homogeneity Of Variances .... 51
xvi
Tabel 10.Data Statistik Kadar MDA Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat Asfiksia Dengan
One Way Anova ... 51 Tabel 11.Data Statistik Kadar MDA Uji Efek Protektif Adenosin
Terhadap Peningkatan ROS Akibat Asfiksia Dengan
Post Hoc Test ... 52
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik Kurva Standard ... 28
Gambar 2. Grafik Hasil Perhitungan Kadar MDA Sampel Organ Otak Pada Uji Penentuan Durasi Asfiksia ... 28
Gambar 3. Grafik Kadar MDA Rata-rata Pada Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat Asfiksia ... 29
Gambar 4. Skema Kerja Penentuan Durasi Asfiksia ... 39
Gambar 5. Skema Kerja Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat Asfiksia ... 40
Gambar 6. Preparasi Dan Evaluasi Sampel Jaringan Otak Dengan Metode Thiobarbituric Acis Reactive Substance (TBARS) ... 41
Gambar 7. Spektrum Panjang Gelombang Larutan Baku ... 42
Gambar 8. Larutan Standard ... 53
Gambar 9. Pengukuran Pada Spektrofotometer ... 53
Gambar 10. Pemberian secara Intraperitoneal (i.p) ... 53
Gambar 11.Induksi Asfiksia ... 54
Gambar 12.Penggerusan Organ Otak ... 54
Gambar 13.Penimbangan Organ Otak Yang Telah Digerus ... 54
Gambar 14.Penambahan Larutan Pereaksi ... 55
Gambar 15.Hasil Supernatan Setelah Dipanaskan ... 55
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Skema Kerja ... 39
LAMPIRAN 2. Analisis Data ... 42
LAMPIRAN 3. Penyiapan Larutan Baku ... 44
LAMPIRAN 4. Perhitungan Dosis dan Kadar MDA ... 45
LAMPIRAN 5. Data Statistik SPSS 16.0 ... 50
LAMPIRAN 6. Dokumentasi Gambar ... 53
LAMPIRAN 7. Rekomendasi Persetujuan Etik ... 56
1
BAB I
PENDAHULUAN
Asfiksia didefinisikan sebagai ventilasi yang tidak memadai yang menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia sehingga menimbulkan ketidaksadaran pada penderita. Asfiksia terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah penghambatan jalan napas, tersedak, tenggelam, pembengkakan saluran napas atau obstruksi (anafilaksis, infeksi, trauma), kompresi pembuluh darah (menggantung, tercekik) dan bahan-bahan kimia (karbon monoksida, sianida) ataupun overdosis dan reaksi hipersensitivitas obat (1). Kematian bayi akibat asfiksia sebesar 27% dari seluruh kematian bayi (2). Sedangkan pada orang dewasa, kasus asfiksia dapat terjadi saat operasi jantung di rumah sakit, terhitung lebih dari 30%
dari total kasus (3).
Kematian akibat asfiksia biasanya terjadi akibat timbulnya edema dan kematian sel secara nekrosis paska asfiksia utamanya pada sel otak.
Kematian sel otak akibat asfiksia pada dasarnya dipicu oleh peningkatan mediator inflamasi dan pelepasan radikal bebas (4,5). Peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS) yang berlebih mengakibatkan terjadinya peningkatan peroksidasi lipid pada membran sel. Hal ini akan memicu penumpukan kalsium intrasel dan aktivasi enzim lipase dan protease intrasel secara berlebihan yang berakhir pada kematian sel nekrosis (5,6).
2
Sebenarnya, tubuh memiliki mekanisme proteksi alami berupa enzim antioksidan endogen seperti enzim superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase yang berfungsi menetralkan dan mempercepat degradasi senyawa radikal bebas sebelum merusak sel.
Namun pada kondisi stress oksidatif seringkali peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS) tidak diimbangi dengan peningkatan enzim antioksidan endogen (7).
Adenosin adalah nukleosida alami yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang memproteksi jantung terhadap kondisi iskemia (8). Beberapa penelitian menunjukan bahwa adenosin dapat meningkatkan kerja enzim antioksidan dan melindungi sel dari spesies oksigen reaktif. Adenosin bekerja dengan cara mengaktifkan reseptor adenosin (reseptor A3) yang akan mengaktifkan enzim antioksidan endogen berupa enzim glutation peroksidase (GPX), katalase dan superoksida dismutase (9,10,11). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek protektif adenosin terhadap peningkatan peroksidasi lipid pada otak yang diinduksi asfiksia. Hasil peroksidasi lipid dapat diketahui melalui pengukuran kadar malondialdehid (MDA).
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemilihan terapi protektif untuk menangani kondisi asfiksia.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Asfiksia
II.1.1 Pengertian Asfiksia
Asfiksia adalah istilah yang berasal dari bahasa yunani yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “stopping of the pulse”. Istilah ini mengacu pada suatu kondisi dimana ada pengiriman tidak memadai pada pemanfaatan oksigen oleh sel/jaringan tubuh yang disertai dengan retensi karbondioksida (1,5).
Asfiksia menyebabkan hilangnya kesadaran akibat kekurangan oksigen dan kelebihan karbondioksida dalam darah. Kondisi ini melibatkan ventilasi yang tidak memadai pada jalan napas seperti gantung dan pencekikan. Meskipun banyak proses penyakit alami yang melibatkan kurang memadainya pengiriman oksigen (misalnya : penyakit chronic obstructive pulmonary disease (COPD), namun istilah asfiksia hanya dimaksudkan untuk kondisi yang berkaitan dengan atmosfer abnormal dan efek mekanik dan kimia yang mengarah ke kelainan tersebut (1,5).
Dalam kedokteran forensik saat ini, asfiksia adalah istilah umum yang melibatkan beberapa cacat dalam pernapasan, transportasi oksigen atau respirasi. Namun, asfiksia telah diperluas mencakup entitas lainnya, terutama kondisi yang melibatkan perubahan aliran darah dalam otak (misalnya: kompresi leher), toraks meningkat dan peningkatan tekanan
4
pembuluh darah di otak (misalnya: kompresi dada) dan dalam ruangan kurang oksigen (vitiated atmosfer) (1,5,12).
II.1.2 Etiologi Asfiksia
Penyebab asfiksia dapat dikategorikan berupa penyebab mekanik dan bahan kimia. Asfiksia mekanik melibatkan kekuatan fisik yang mempengaruhi sirkulasi pernapasan, sedangkan asfiksia kimia melibatkan reaksi antara zat kimia dan tubuh yang menyebabkan gangguan pada pernapasan (1,13).
II.1.2.1 Asfiksia mekanik a. Vitiated Atmosphere
Suasana vitiated, dimana oksigen kurang memadai. Pada kondisi ini oksigen dapat digantikan dengan gas tidak beracun seperti metana, nitrogen atau argon. Akumulasi karbondioksida sering terjadi ketika oksigen telah habis. Kematian dapat terjadi walaupun kemampuan bernapas tidak terganggu. Tidak ada tanda-tanda fisik untuk megenali korban dari suasana vitiated (1,12).
b. Smothering
Berupa obstruksi perjalanan udara oleh oklusi mulut dan hidung.
Beberapa ahli patologi juga melibatkan oklusi orofaring (area tenggorokan bagian atas). Oklusi disebabkan oleh berbagai jenis benda seperti tangan, bantal, kantong plastik atau dibekap. Dalam beberapa kasus, tanda-tanda smothering dapat ditemukan pada daerah wajah seperti memar hidung, pipi, dagu, bagian dalam permukaan mulut dan permukaan bagian dalam
5
dari pipi. Smothering adalah bentuk umum dari kematian asfiksial di kalangan anak-anak (1,6).
c. Chooking / tersedak
Chooking Melibatkan penyumbatan saluran napas internal pada faring posteriol, laring (voicebox), trakea (tenggorokan), dan bronkus oleh material asing. Tersedak pada anak-anak melibatkan inhalasi (aspirasi) dari sebuah benda kecil kedalam saluran napas. Sedangkan orang dewasa biasanya tersedak pada objek atau terganggu oleh kondisi seperti intoksikasi (etanol atau depresan lainnya), penyakit neurologis dan penyakit mental (1,12).
d. Airway Swelling dan obstruksi
Obstruksi untuk perjalanan udara dapat terjadi ketika ada pembengkakan pada jaringan di sekitar atau melapisi jalan napas.
Biasanya, pembengkakan terjadi pada laring, jaringan lunak tepat di atas laring atau udara yang lebih kecil paru-paru (bronkus atau bronkiolus).
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa kondisi seperti reaksi alergi akut (anafilaksis), infeksi bakteri (epiglottitis akut), infeksi virus pada saluran pernapasan kecil. Obstruksi lendir (tumor) dalam laring atau trakea (1,5).
e. Neck Compression
Menggantung dan pencekikan mengompresi struktur vital dalam leher.
Kompresi pada pembuluh darah utama dalam leher (vena jugularis dan arteri carotid) paling bertanggungjawab untuk timbulnya ketidaksadaran dan kematian (1,12).
6
f. Chest Compression
Kompresi dada dan perut bagian atas dapat menyebabkan kematian dengan menghalangi proses bernapas atau meningkatkan tekanan intratoraks. Jenis asfiksia ini seringkali disebut “traumatis” asfiksia. Ketika tekanan yang ekstrim tiba-tiba diberikan pada dada, dapat berdampak buruk pada tekanan hemodinamik jantung dan tekanan pembuluh darah.
Karakteristik fisik korban dapat ditandai dengan adanya kehitaman pada kepala dan leher, patechiae paling banyak diwajah dan konjungtiva (1,12).
Onset ketidaksadaran sangat cepat karena efek dari peningkatan tekanan pada otak. Dalam beberapa kasus terjadi retak tulang rusuk. Namun dalam kasus lain tidak ada luka yang terjadi (14).
g. Postural (Posisi) Asfiksia
Asfiksia postural terjadi ketika posisi tubuh yang memadai tidak dapat dipertahankan. Hal ini paling sering terjadi ketika kepala tertekuk sejauh dagu menyentuh dada bagian atas yang menyebabkan terblokirnya Jalan napas. Asfiksia juga bisa terjadi pada posisi vertikal kepala ke bawah karena kelelahan otot yang dibutuhkan untuk bernapas (1,12).
II.2.2.2 Asfiksia kimia a. Karbon monoksida
Karbon monoksida (CO) adalah gas tidak berbau, tidak berwarna dan hambar yang merupakan produk sampingan dari pembakaran tidak sempurna dari bahan yang mengandung karbon. CO dapat mengikat hemoglobin yang merupakan zat dalam darah yang bertanggungjawab
7
untuk membawa oksigen sehingga menghambat penyerapan dan transportasi oksigen oleh darah. CO juga mengikat myoglobin sehingga menghambat transfer oksigen ke dalam sel-sel tubuh. Penyebab paling umum kematian yang melibatkan toksisitas karbon monoksida adalah menghirup asap selama kebakaran (1,3,12).
b. Sianida
Sianida mengganggu kemampuan sel untuk memanfaatkan oksigen dengan cara menghambat sel enzim pernapasan mitokondria sitokrom oksidase. Keracunan sianida paling cepat dan sangat mempengaruhi otak dan jantung. Kesadaran tiba-tiba hilang setelah hanya beberapa menghirup sianida konsentrasi tinggi. Senyawa sianida bersifat korosif sehingga seseorang yang menelan senyawa ini memiliki cedera korosif pada rongga mulut atau lapisan dalam (mukosa) lambung (1,3,12).
c. Tenggelam
Kematian karena perendaman dalam cairan (air). Meskipun tenggelam adalah bentuk asfiksia, mekanisme terlibat dapat mencakup faktor selain asfiksia dan otopsi temuan fisik agak berbeda dari bentuk khas asfiksia.
Tenggelam ditandai dengan periode panik dan hiperventilasi yang menyebabkan hipotermia. Setelah hilangnya kesadaran, air bisa masuk ke jalan napas. Aspirasi air menyebabkan banyak perubahan dalam paru- paru yang mengarah pada hipoksia (1,15,16).
8
II.1.3 Patologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (13), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.
9
II.1.4 Stadium Pada Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium (13), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi.
10
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit (13).
II.1.5 Patofisiologi Asfiksia Pada Sel Otak
Pada keadaan awal terjadinya hipoksia akan ada suatu autoregulasi dari tubuh untuk melindungi otak dari kerusakan. Kompensasi awal tersebut berupa adanya peningkatan aliran darah ke otak (Cerebral Blood Flow), hal ini disertai dengan redistribusi curah jantung ke organ tubuh esensial, termasuk otak, jantung, dan kelenjar adrenal. Tekanan darah (Blood Pressure) akan meningkat karena peningkatan pelepasan epinefrin. Apabila kompensasi awal gagal, aliran darah ke otak bisa menjadi tekanan-pasif, di mana waktu perfusi otak tergantung pada tekanan darah sistemik. Ketika tekanan darah menurun maka aliran darah ke otak juga menurun di bawah tingkat kritis dan cedera otak sekunder dapat terjadi (4,5).
Hal ini menyebabkan kegagalan energi intraseluler. Selama fase awal cedera otak, suhu otak menurun, dan terjadi pelepasan neurotransmiter lokal, seperti gamma-aminobutyric transaminase acid (GABA). Perubahan ini mengurangi kebutuhan oksigen di otak untuk meminimalkan dampak dari asfiksia. Pada tingkat seluler proses kerusakan akibat hipoksia ini terus berlanjut tergantung dari lama dan keparahan hipoksia. Proses selanjutnya terjadi peningkatan pelepasan reseptor asam amino, peningkatan glutamat pada sinaps, peningkatan radikal bebas dan nitrit
11
oksida dan proses selanjutnya akan berakibat terjadinya sitotoksis edema dan kematian sel nekrotik pada sel otak (4,5).
II.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul atau ion yang mengandung satu elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini merupakan zat antara yang berusia pendek, sangat reaktif dan berenergi tinggi, sehingga memiliki kecenderungan menarik electron dari molekul lainnya dan memicu reaksi berantai. Radikal bebas dapat bersifat anionik, kationik atau netral (5,7).
Sumber radikal bebas bisa berasal dari dalam tubuh (endogen), bisa pula berasal dari luar tubuh (eksogen). Secara endogen, sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, radikal bebas yang terbentuk dan berpengaruh di dalam sel (intrasel) maupun ekstrasel (17). Radikal endogen terbentuk sebagai sisa proses metabolisme (proses pembakaran) protein, karbohidrat, dan lemak pada mitokondria, proses inflamasi atau peradangan, reaksi antara besi logam transisi dalam tubuh, fagosit, xantin oksidase, peroksisom, maupun pada kondisi iskemia (18).
Secara endogen, radikal bebas dapat timbul melalui beberapa mekanisme yaitu: oto-oksidasi, aktivitas oksidasi (misalnya: siklooksigenase, lipoksigenase, dehidrogenase dan peroksidase) dan sistem transpor elektron (17).
Tipe radikal bebas turunan oksigen reaktif sangat signifikan dalam tubuh. Oksigen reaktif ini mencakup, hidroksil (OH`), peroksil (ROO`),
12
hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (O2*), oksida nitrit (NO`), peroksinitrit (ONOO`) dan asam hipoklorit (HOCl) (18).
Spesies oksigen reaktif (ROS) bisa dibagi menjadi dua kelas, yaitu oxygen-centered radicals dan oxygen-centered non-radicals. Adapun yang termasuk oxygen-centered radicals adalah anion superoksida (*O2-), radikal hidroksil (OH*), radikal alkoksil (RO*) dan radikal peroksil (ROO*).
Sedangkan yang tergolong kedalam oxygen-centered non-radicals adalah hidrogen peroksida (H2O2), dan singlet oxygen (O2*). Senyawa reaktif lainnya adalah nitrit oksida (NO*), nitrit dioksida (NO2*) dan peroksinitril (OONO*) (19,20).
Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA dan karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh (19).
Berbagai kemungkinan dapat terjadi sebagai akibat kerja radikal bebas. Seperti gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel, molekul termodifikasi yang tidak dikenali oleh sistem imun dan bahkan mutasi.
Semua bentuk gangguan tersebut dapat memicu munculnya berbagai penyakit (5).
Stress oksidatif merupakan kondisi terjadinya peningkatan ROS yang menyebabkan kerusakan sel, jaringan atau organ. Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel (5).
13
II.3 Peroksidasi Lipid
Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat kompleks akibat reaksi asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa oksigen reaktif (ROS) membentuk hidroperoksida.
dengan demikian peroksidasi lipid digunakan sebagai indikator dari stress oksidatif pada sel dan jaringan (17). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa poly unsaturated fatty acids (PUFA) (19).
Lipid peroksida (ROOH) bersifat tidak stabil. Peroksidasi lipid dalam membran akan mendegrasi asam lemak tak jenuh secara selektif, kemudian mengakumulasikannya menjadi aldehid, hidrokarbon, dan produk-produk cross-linking. Umumnya produk akhir peroksidasi lipid dapat ditentukan melalui pengukuran kadar malindialdehida (MDA) dan hidrokarbon, seperti etana dan etilen (5).
Oksidasi lipid dapat terjadi melalui tiga tahapan, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (19):
a. Tahap inisiasi, merupakan awal pembentukan radikal bebas. Pada tahap inisiasi asam lemak (RH) bereaksi dengan oksigen triplet, dan membentuk radikal lemak (R*) dan radikal peroksida (HOO*) dengan inisiator cahaya atau panas.
b. Tahap Propagasi, merupakan awal pemanjangan rantai radikal atau reaksi, dimana radikal-radikal bebas akan diubah menjadi radikal-
14
radikal yang lain. Pada tahap ini terjadi oksogenasi radikal lemak (R*) membentuk radikal peroksida (ROO*).
c. Tahap terminasi, yaitu senyawa radikal yang bereaksi dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah. Pada tahap ini, terbentuk spesies non radikal karena radikal bebas yang bereaksi satu sama lain. Sedangkan hidroperoksida akan terdekomposisi menjadi produk alkohol, asam keton, dan substrat lain yang lebih stabil.
II.4 Malondialdehida (MDA)
Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh pemecah lipid peroksida adalah malondialdehida (MDA). MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Konsentrasi MDA yang tinggi dapat menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel (5).
Kadar MDA dapat diukur dengan metode TBARS (thiobarbituric acid reactive substance). TBARS merupakan indikator peroksidasi lipid yang digunakan dalam penelitian menggunakan subjek manusia maupun hewan percobaan.hasil pengukurannya ditentukan menggunakan spektrofotometer dengan dasar penyerapan warna yang terbentuk dari reaksi TBA dan MDA (5,19).
II.5 Antioksidan
Secara kimia senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (elektron donor). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang dapat menangkal atau meredam dampak negatif oksidan.
15
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat. Antioksidan dibutuhkan tubuh untuk melindungi tubuh dari serangan radikal bebas (19). Antioksidan adalah suatu senyawa atau komponen kimia yang dalam kadar atau jumlah tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan akibat proses oksidasi (5).
Aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kandungan lipid, konsentrasi antioksidan, suhu, tekanan oksigen, dan komponen kimia dari makanan secara umum seperti protein dan air.
Proses penghambatan antioksidan berbeda-beda tergantung dari struktur kimia dan variasi mekanisme. Dalam mekanisme ini yang paling penting adalah reaksi dengan radikal bebas lipid, yang membentuk produk non- aktif (19).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan sebagai berikut (17) :
1. Antioksidan primer
Berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas yang baru dengan mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang efek negatifnya sebelum sempat bereaksi. Contoh dari antioksidan primer yaitu enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPX) dan katalase. Kerjanya sangat dipengaruhi oleh mineral-mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium.
16
2. Antioksidan sekunder
Berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya rekasi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contohnya adalah asam askorbat dan α-tokoferol.
3. Antioksidan tersier
Merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas
Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau SOD, katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya Vitamin E, C, A dan β-karoten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, seruloplasmin, dan lain-lain) (18). Antioksidan enzimatis merupakan kontrol pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stress oksidatif. Enzim-enzim tersebut merupakan metaloenzim yang aktivitasnya sangat tergantung pada adanya ion logam. Aktivitas SOD bergantung pada logam Fe, Cu, Zn dan Mn. Enzim katalase bergantung pada Fe (besi) dan enzim glutation peroksidase bergantung pada Se (Selenium) (17). Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru (5).
Disamping antioksidan yang bersifat enzimatis, ada juga antioksidan non-enzimatis yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun non-nutrisi. Kedua kelompok antioksida non-enzimatis ini juga disebut antioksidan sekunder karena dapat diperoleh dari asupan bahan makanan, seperti Vitamin C, E, A dan β-karoten. Glutation, asam urat,
17
bilirubin, albumin dan flavonoid juga termasuk dalam kelompok ini.
Senyawa-senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (5).
II.6 Adenosin
II.6.1 Adenosin Endogen
Adenosin adalah nukleosida purin endogen yang dihasilkan pada situs yang mengalami kondisi “stress”. Tubuh memiliki sistem kekebalan tubuh di otak yang sebagian besar terdiri dari astrosit, mikroglia dan infiltrasi sel-sel kekebalan. Sistem kekebalan tubuh ini diaktifkan untuk menanggapi perubahan patofisiologi seperti iskemia, trauma, peradangan dan infeksi. Adenosin berinteraksi dengan reseptor G-protein-coupled tertentu pada astrosit, mikroglia dan infiltrasi sel kekebalan tubuh untuk mengatur fungsi kontrol kekebalan tubuh di otak. Meskipun banyak efek adenosin pada kontrol kekebalan yang kompoten di otak, namun, adenosin juga dapat memperburuk cedera dengan menghasilkan inflamasi (20).
Adenosin adalah nukleosida alami yang didistribusikan ke seluruh tubuh sebagai metabolisme perantara (21). Adenosin merupakan sebuah purin nukleosida yang tersebar mengatur kegiatan seluler seperti pertumbuhan sel, diferensiasi dan kematian sel. Reseptor adenosin ditemukan di hampir semua sel dan hampir setiap sistem organ dalam tubuh diatur oleh rilis lokal. Dalam hati, adenosin menginduksi efek kardioprotektif dengan mengatur sifat elektrofisiologi dan melindungi
18
jaringan jantung melalui iskemik. Pada sistem saraf pusat, adenosin bertindak sebagai agen saraf melalui pelepasan neurotransmitter serta modulasi dopaminergik aktivitas motorik. Selain itu, adenosin juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan mengatur aktivitas anti inflamasi melalui penghambatan pelepasan sitokin dan agregasi trombosit, induksi produksi eritropoietin dan modulasi fungsi limfosit (22).
Adenosin juga berperan penting dalam sel siklus apoptosis sebagai cara mempertahankan massa jaringan (21).
Pada kondisi iskemia, adenosin mencegah peningkatan alanine transaminase (ALT), aspartate transaminase (AST), dan lactate dehydrogenase (LDH) tanpa mengubah aliran darah. Adenosin merangsang nitrit oksida (NO) untuk melindungi terhadap cedera akibat iskemia-reperfusi. Adenosin juga menurunkan spesies oksigen reaktif (ROS) melalui penghambatan anion superoksida oleh neutrofil dan meningkatkan penyerapan glukosa miokard untuk peningkatan aliran darah koroner (5,9,10). Nukleosida adenosin juga memberikan perlindungan terhadap reperfusi iskemik karena peningkatan spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan singlet oksigen (10).
II.6.2 Adenosin Eksogen
Adenosin sudah digunakan secara klinik sebagai anti aritmia yang bekerja dengan cara memperlambat konduksi elektrik dalam jantung, memperlambat detak jantung, dan menormalkan irama jantung (8).
19
Tabel 1. Uraian singkat adenosin (23)
Nama resmi : 6-amino-9-β-D-ribofuranosyl-9-H-purine
Berat molekul : 267,25 g/mol
Rumus molekul : C10H13N5O4
Rumus struktur :
Pemerian : Adenosin berupa bubuk Kristal putih dan tidak berbau.
Kelarutan : Larut dalam air dan praktis tidak larut dalam alcohol. Kelarutan meningkat dengan pemanasan dan penurunan pH larutan
pH : 4,5-7,5
Penyimpanan : pada suhu 2oC – 6oC
Adenosin menyebabkan vasodilatasi jantung yang meningkatkan aliran darah melalui aktivasi reseptor A1 dan A2. Adenosin injeksi memperlambat waktu konduksi melalui node atrioventrikular (A-V),
20
mengganggu jalur masuk kembali melalui simpul A-V, dan dapat mengembalikan irama sinus normal pada pasien dengan takikardia paroksismal supraventricular (PSVT), termasuk PSVT berhubungan dengan Wolff-Parkinson-White Syndrome (23).
Adenosin cepat dimetabolisme melalui fosforilasi untuk adenosin monofosfat oleh adenosin kinase, atau melalui deaminasi untuk inosin oleh deaminase adenosin dalam sitosol. Deaminasi berperan penting hanya ketika adenosin sitosol jenuh jalur fosforilasi. Inosin oleh deaminasi adenosin dapat terdegradasi ke hipoxantin, xanthine dan asam urat.
Monofosfat adenosin oleh fosforilasi adenosin dimasukkan ketempat fosfat berenergi tinggi. Sedangkan adenosin ekstraseluler dibersihkan oleh serapan seluler dengan waktu paruh 10 detik di seluruh darah. Adenosin injeksi tidak memerlukan fungsi hati atau ginjal untuk aktivasi atau inaktivasi (24).
Adenosin ekstraseluler bertindak melalui beberapa G protein reseptor (subtipe reseptor adenosin A1, A2a, A2b dan A3 untuk mengerahkan berbagai efek fisiologis (21). Keempat subtipe reseptor diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan kemampuan untuk merangsang atau menghambat aktivitas adenilat siklase. Reseptor A2a dan A2b memediasi stimulasi adenilat siklase, reseptor A1 dan A3 menghambat aktivitas adenilat siklase. Selain itu, reseptor A1 telah dilaporkan menengahi penghambatan adenosin Ca2+ konduktansi, sedangkan reseptor A2b dan A3 merangsang aktivitas fosfolipase (20).
21
Adenosin merupakan agen inotropik negatif dan vasodilator koroner. Pembentukan adenosin ekstraseluler terbukti terjadi pada hipoksia dan jantung iskemik, adenosin melindungi fungsi jantung terhadap konsekuensi metabolik merugikan dengan menurunkan tuntutan metabolik miokardium dan meningkatkan aliran darah koroner. Adenosin ekstraseluler juga melindungi sistem sel dan organ lainnya termasuk otak, ginjal, otot rangka dan jaringan adipose. Adenosin menanggapi berbagai rangsangan akibat kondisi “stress” (25).
Hipoksia atau kondisi iskemik memicu peningkatan ekstrakulikuler adenosin dalam parenkim otak. Reseptor A1 berperan pada kerusakan otak akibat iskemik dengan cara mengontrol masuknya kalsium, mengontrol glutamat, potensial membran dan metabolisme. Agonis reseptor A1 atau penggunaan inhibitor adenosin re-uptake atau metabolisasi (terutama melalui kinase adenosin dan adenosin deamiase) umumnya cenderung menurunkan tingkat kerusakan otak iskemik.
Sebaliknya blokade A1 cenderung memperburuk kerusakan otak iskemik.
Namun, hal ini hanya efektif dilakukan segera yaitu sekitar 6 jam sebelum atau sesudah iskemik (26). Peningkatan adenosin ekstraseluler selama iskemia menjadi respon saraf endogen dan berimplikasi adenosin dan reseptor sebagai terapi target dalam pengobatan strok (27). Cedera otak iskemik dapat dilindungi dengan inaktivasi serta aktivasi reseptor A2a.
Reseptor A2a antagonis non selektif mengurangi iskemik serebral pada otak.
22
Adenosin bersifat sitoproteksi dengan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan. Aktivasi reseptor adenosin A1 dan A3 yang dapat melindungi sel terhadap spesies oksigen reaktif (ROS). Adenosin meningkatkan kerja enzim-enzim antioksidan endogen berupa enzim katalase, enzim superoksida dismutase (SOD) dan enzim glutation peroksidase (GPX) sehingga melindungi jantung terhadap infark dan melindungi miokardium terhadap cedera iskemik selama operasi jantung (9,26). Adenosin bekerja dengan meningkatkan aktivitas enzim-enzim antioksidan dapat melindungi sel otak dari kematian secara nekrotik (27).
23
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
III.1 Penyiapan Alat Dan Bahan III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas (Pyrex®), timbangan analitik (Sartorius®), sentrifuge (Hettich®), spoit (Onemed®), mikropipet (Socorex®), spektrofotometer Uv-Vis (Agilent®), waterbath, pisau bedah dan benang sutur.
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah adenosin (Sigma-Aldrich®), Natrium Thiopental (Benofarm®), thiobarbituric acid (Merck®), trichloroacetate acid (Merck®), TMP (1,1,3,3- tetramethoxypropane), NaCl 0,9%, aqua pro injeksi (Water One ®) dan phosphate buffered saline pH 7,4.
III.2 Metode Kerja
III.2.1 Penyiapan Hewan Coba
Sebelum dilakukan penelitian, hewan coba yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) sebanyak 21 ekor ditempatkan dalam kandang dengan akses makanan dan air setiap harinya. Penggunaan hewan coba telah mendapatkan persetujuan etik no. 55/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2017.
III.2.2 Penyiapan Sediaan Uji Larutan Adenosin
Sebanyak 10 mg adenosin dilarutkan dengan menggunakan NaCl 0,9 % hingga 50 ml sehingga diperoleh konsentrasi larutan 0,20 mg/ml.
24
pemberian dosis adenosin pada tikus menggunakan dua macam dosis yakni 0,5 mg/kg BB dan 1,0 mg/kg BB (29).
III.2.3 Perhitungan Volume Pemberian III.2.3.1 Injeksi Na. Thiopental
Injeksi natrium thiopental yang mengandung 500 mg natrium thiopental dilarutkan dalam 20 ml NaCl 0,9 % sehingga diperoleh konsentrasi 25 mg/ml. Dosis penggunaan natrium thiopental pada hewan adalah 60 mg/KgBB. Sehingga diberikan dosis 12 mg dalam 0,48 ml volume injeksi pada hewan dengan berat 200 g.
II.2.3.2 Larutan Adenosin Adenosin 0,5 mg/kg BB:
Untuk tikus dengan berat 200 gram, C = 0,1 mg/200 g BB Diketahui konsentrasi larutan adenosin adalah 0,2 mg/ml Jadi, untuk tikus dengan berat x gram, volume pemberiannya
Adenosin 1,0 mg/kg BB:
Untuk tikus dengan berat 200 gram, C = 0,2 mg/200 g BB Diketahui konsentrasi larutan adenosin adalah 0,2 mg/ml Jadi, untuk tikus dengan berat x gram, volume pemberiannya
25
III.2.4 Prosedur Percobaan
III.2.4.1 Penentuan Durasi Asfiksia
Tikus putih sebanyak 12 ekor dipilih secara acak dan dibagi menjadi 4 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 3 ekor tikus.
Durasi asfiksia dibuat bervariasi. Kelompok I tidak diasfiksia sebagai sham control, kelompok II diasfiksia selama 1 menit, kelompok III diasfiksia selama 3 menit dan kelompok IV diasfiksia selama 5 menit.
III.2.4.2 Induksi Asfiksia
Asfiksia diinduksi sesuai dengan metode yang dimodifikasi dari penelitian sebelumnya (30). Tikus dianestesi dengan natrium thiopental sesuai perhitungan dosis (0,48 ml / 200 g) secara i.p lalu dilakukan trakeostomi dengan cara mengiris pertengahan trakea hingga terdapat celah yang dapat dilalui udara. Dibawah trakea dimasukkan benang suture, kemudian hewan diadaptasikan selama 5-10 menit dalam kondisi tersebut. Tikus lalu dibuat asfiksia dengan cara menyimpulkan benang sutur dengan erat hingga tikus tidak bisa bernapas melalui trakea. Hal ini dilakukan dengan durasi 1, 3 atau 5 menit berdasarkan kelompok tikus.
Setelah tikus diasfiksia, ikatan benang dilepas dan tikus dibiarkan bernapas selama 3 menit lalu di euthanasia menggunakan natrium thiopental dosis 2 ml / 200 g secara i.p kemudian tikus didekapitasi untuk diambil organ otaknya.
26
III.2.4.3 Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat Asfiksia
Tikus putih sebanyak 9 ekor dipilih secara acak dan dibagi menjadi 3 kelompok dimana setiap kelompoknya terdiri dari 3 ekor tikus. Kelompok I diasfiksia berdasarkan waktu optimum dari penentuan durasi asfiksia tanpa pemberian adenosin yang kemudian diambil organ otaknya.
Kelompok II diberikan adenosin dosis 0,5 mg/kgBB secara i.p. Setelah 30 menit pemberian, tikus tersebut diinduksi asfiksia berdasarkan waktu optimum (5 menit) lalu diambil organ otaknya. Sedangkan kelompok III diberikan adenosin dosis 1,0 mg/kg BB secara i.p. setelah 30 menit pemberian lalu diinduksi asfiksia berdasarkan waktu optimum kemudian diambil organ otaknya.
III.2.4.4 Pengambilan Organ Otak Tikus Putih
Tikus putih dieutanasia menggunakan natrium thiopental 2 ml / 200 g secara i.p kemudian dibedah dan diambil organ otaknya. Setelah itu organ otak tersebut dimasukkan kedalam nitrogen cair hingga beku dan di simpan pada lemari pendingin pada suhu -20oC untuk digunakan pada saat analisa.
III.2.5 Preparasi Dan Evaluasi Sampel Otak Tikus Putih
Aktivitas peroksidasi lipid dapat diketahui dengan mengukur kadar malondyaldehid (MDA) dengan menggunakan metode Thiobarbituric Acid Reactive Substance (TBARS). Organ otak yang telah diambil digerus menggunakan lumpang hingga menjadi partikel kecil lalu ditimbang
27
sebanyak 400 mg. Kemudian ditambahkan PBS pH 7,4 sebanyak 2 ml kedalam lumpang dan dicampurkan hingga homogen. Setelah itu dimasukkan kedalam tabung sentrifus dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Dipipet supernatant sebanyak 0,5 ml dan ditambahkan 1 ml TBA 1% dan 1 ml TCA 10% kedalam tabung tersebut. Setelah itu dipanaskan pada penangas air dengan suhu 100 oC selama 40 menit kemudian didinginkan pada suhu kamar. Dilakukan lagi sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit kemudian dipipet supernatannya untuk diukur dengan alat spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 531 nm (30).
III.2.6 Pengukuran Kurva Baku
Larutan baku yang digunakan untuk mengukur kadar lipid peroksidase adalah baku diagnostik MDA yaitu 1,1,3,3-tetrametoksi propane (TMP). Dibuat larutan baku dengan menggunakan larutan stok yaitu 100 mg TMP dilarutkan dalam 100 ml phosphate buffered saline (PBS) pH 7,4 dan diambil 0,1 ml untuk dilarutkan dalam 10 ml PBS.
Kemudian dibuat 6 variasi pengenceran yaitu 0,1 ppm, 0,2 ppm, 0,3 ppm, 0,4 ppm, 0,5 ppm, 0,6 ppm dan 0,7 ppm.
II.2.7 Analisa Statistik
Data yang dihasilkan dianalisa menggunakan software SPPS 16 dengan melihat distribusi normalnya menggunakan metode Kolmogorov- sminov. Kemudian data yang terdistribusi merata dilanjutkan dengan metode one way anova. Hasil dinyatakan signifikan apabila p < 0,05.
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian
IV.1.1 Grafik absorbansi Kurva Baku
Gambar 1. Grafik kurva standard IV.1.2 Grafik Penentuan Durasi Asfiksia
Gambar 2. Grafik hasil perhitungan kadar MDA sampel organ otak pada uji penentuan durasi asfiksia
29
IV.1.3 Grafik Uji Efek Protektif Adenosin Terhadap Peningkatan ROS Akibat Asfiksia
Gambar 3. Grafik kadar malondialdehid (MDA) rata-rata pada uji efek protektif adenosin terhadap peningkatan ROS akibat asfiksia
* Menandakan p<0.05
IV.2 Pembahasan
Asfiksia adalah suatu kondisi hilangnya kesadaran akibat kurangnya kadar oksigen dan kelebihan kadar karbondioksida dalam darah yang menyebabkan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) sehingga terjadi stress oksidatif (1,5). Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel yang merusak integritas membran sel sehingga terjadi penumpukan kalsium intrasel dan aktivasi enzim lipase dan protease. Peningkatan radikal bebas terus-menerus berakibat terjadinya sitotoksik edema dan kematian sel nekrotik pada sel otak (4).
* *
30
Normalnya, ketika terjadi peningkatan produksi ROS juga diimbangi dengan peningkatan antioksidan endogen. Namun, pada kondisi stress oksidatif oleh kondisi asfiksia, seringkali peningkatan antioksidan endogen tidak seimbang (10). Sehingga solusi yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan pemberian adenosin. Adenosin adalah nukleosida alami yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang memproteksi jantung terhadap kondisi iskemia (23). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa adenosin dapat meningkatkan enzim-enzim antioksidan endogen seperti enzim katalase, glutation peroksidase (GPX) dan superoksida dismutase (SOD) dengan mengaktifkan reseptor adenosin A3 di otak (10,11).
Hasil peroksidasi lipid akibat kondisi asfiksia dapat diketahui dengan mengukur kadar malondialdehid (MDA) yang merupakan salah satu senyawa yang dihasilkan oleh pemecahan lipid peroksida (17). Kadar MDA dapat diukur dengan metode TBARS (thiobarbituric acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam tiobarbiturat sehingga memberikan warna pink-chromogen yang selanjutnya dapat diperiksa secara spektrofotometrik (18). Kadar malondialdehida sampel organ otak tikus putih didapatkan dengan memplot data absorbansi sampel ke dalam kurva standard. Kemudian hasil kadar MDA masing-masing kelompok dirata-ratakan.
Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang serapan maksimum dan penentuan kurva
31
standard. Penentuan kurva standard dibuat dengan seri konsentrasi TMP 0.1, 0.2, 0.3 ppm, 0.4 ppm, 0.5 ppm, 0.6 ppm dan 0.7 ppm untuk didapatkan nilai absorbansi (lihat gambar 1). Hasil pengukuran didapatkan panjang gelombang optimum 531 nm.
Pada penelitian ini digunakan hewan tikus putih sebanyak 21 ekor yang dibagi dalam 7 kelompok perlakuan asfiksia. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penentuan durasi asfiksia untuk mengetahui durasi waktu optimum hewan asfiksia yang memiliki kadar MDA tertinggi dan tahap uji efek protektif adenosin terhadap peningkatan ROS akibat asfiksia untuk melihat pengaruh pemberian adenosin terhadap penurunan kadar MDA sebagai sitoprotektif.
Berdasarkan pengamatan tahap penentuan durasi asfiksia didapatkan hasil rata-rata kadar MDA sham control 0.33 ppm, durasi 1 menit 0.19 ppm, durasi 3 menit 0.29 ppm dan durasi 5 menit 0.48 ppm.
Tikus yang diinduksi asfiksia 1 menit mengalami punurunan kadar MDA sebesar 43 % dibandingkan sham control, hal ini terjadi karena pada awal iskemia, terjadi peningkatan kadar adenosin endogen sebesar 100 kali lipat sehingga terjadi peningkatan enzim antioksidan yang besar sebagai mekanisme pertahanan alami tubuh (25). Nilai rata-rata kadar MDA otak semakin meningkat seiring dengan perpanjangan durasi asfiksia, dimana pada durasi asfiksia 5 menit terjadi peningkatan kadar MDA sebesar 49 % dibandingkan sham control. Hal ini diduga karena ROS yang dihasilkan semakin meningkat sehingga jumlah enzim antioksidan yang awalnya
32
mampu menetralkan radikal bebas akhirnya tidak memadai lagi. Selain itu, tikus yang diinduksi asfiksia 5 menit terlalu lama kekurangan oksigen sehingga memicu mitochondria chain reaction dan menghasilkan ROS yang sangat berlebih (ROS burst), yang menyebabkan tikus mengalami stress oksidatif dan peroksidasi lipid berlebih (19).
Pada tahap penentuan durasi asfiksia didapatkan hasil bahwa tikus mengalami peningkatan persentase kadar MDA pada induksi asfiksia 5 menit dibandingkan durasi 1 menit ataupun 3 menit, sehingga asfiksia durasi 5 menit dianggap optimal untuk digunakan pada tahap uji protektif adenosin terhadap peningkatan kadar ROS akibat asfiksia.
Pada tahap uji protektif adenosin digunakan empat kelompok tikus, yaitu kelompok I sham control yang diambil dari kelompok sham control dari tahap sebelumnya, kelompok II pemberian NaCl 0,9%, kelompok III pemberian adenosin 0,5mg/kgBB dan kelompok IV pemberian adenosin 1,0mg/kgBB. Masing-masing tikus diambil organ otaknya untuk diukur kadar MDA pada spektrofotometer Uv-Vis.
Berdasarkan pengamatan tahap uji protektif adenosin didapatkan rata-rata kadar MDA yang dihasilkan kelompok I (sham control) sebesar 0.33 ppm, kelompok II (NaCl 0.9%) sebesar 0.57 ppm, kelompok III (adenosin 0,5 mg/kg) sebesar 0.54 ppm dan kelompok IV (adenosin 1,0 mg/kg) sebesar 0.35 ppm. Hasil pengukuran MDA antara sham control dan kelompok yang diasfiksia dengan pemberian NaCl 0,9% mengalami persentase peningkatan sebesar 76%, hal ini menunjukkan pemberian
33
NaCl 0,9% tidak memberikan efek protektif terhadap kondisi asfiksia (durasi 5 menit). Sedangkan dengan hasil pengukuran pemberian adenosin 0,5 mg/kg, MDA otak tikus mengalami penurunan sebesar 7%, tetapi tidak signifikan berdasarkan hasil statistik. Hal ini diduga karena adenosin dengan dosis 0,5 mg/kg belum bisa memberikan efek protektif terhadap peningkatan produksi ROS akibat asfiksia (durasi 5 menit).
Sementara itu, pemberian adenosin 1,0 mg/kg mampu menurunkan kadar MDA otak sebesar 39%, yang secara statistik dianggap signifikan atau memberikan pengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa adenosin 1,0 mg/kg dapat memberikan efek protektif dalam menurunkan produksi ROS akibat kondisi asfiksia durasi 5 menit. Mekanisme protektif adenosin diketahui berikatan dengan aktivasi reseptor A3 di otak yang bekerja meningkatkan enzim-enzim antioksidan seperti SOD (26), GPX dan katalase yang dapat menurunkan produksi ROS selama asfiksia (10).
34
BAB V PENUTUP
V.I Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adenosin dosis 1,0 mg/kgBB dapat memberikan efek protektif dalam menurunkan kadar MDA sebesar 39 % setelah diasfiksia selama 5 menit. Sedangkan adenosin dosis 0,5 mg/kgBB tidak mampu menurunkan kadar MDA setelah asfiksia 5 menit.
V.2 Saran
Sebaiknya dilakukan uji peningkatan kadar antioksidan endogen setelah pemberian adenosin dengan induksi asfiksia.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Dix, J., Graham, M., Hanzlick, R. Asphyxia and drowning: An Atlas.
CRC Press LLC. New York. 2000 : 1-20.
2. Djaja, S., Soemoantri, S. Sistem pelayanan kesehatan yang berkaitan di Indonesia survey kesehatan rumah tangga (SKRT) 2001. Puslibang Ekologi Kesehatan, Badan Litbangkes. 2001.
3. Sandroni, C., Ferro, G., Santangelo, S., Tortora, F., Mistura, L., Cavallaro, F., & Antonelli, M. In-hospital cardiac arrest: survival depends mainly on the effectiveness of the emergency response. Resuscitation. 2004. Vol 62(3) : 291-297.
4. Rahman, S., & Hanifatryevi, H. Asfiksia perinatal sebagai faktor resiko gangguan pendengaran pada anak. Majalah Kedokteran Andalas. 2015. Vol 36(1) : 5-6.
5. Armstrong, D., Stratton, RD. Texbook Of Oxidative Stree And Antioxidant Protection. The Science Of Free Radical Biology And Disease-Wiley. 2016 : 23-26.
6. Kiang, JL., Tsen, KT. Biology of hypoxia. Chinese Journal Physiology.
2006. Vol 49(5) : 223.
7. Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, M. T., Mazur, M., & Telser, J. Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human disease. The international journal of biochemistry & cell biology. 2007. Vol 39(1) : 44-84.
8. Kolathuru, S., & Yeung, P. Therapeutic Potential of Adenosine Transport Modulators for Cardiovascular Protection (Editorial). Cardiol.
Pharmacol. 2015. Vol 4(3)
9. Ramkumar, V., Nie, Z., Rybak, LP., & Maggirwar, SB. Adenosine, antioxidant enzymes and cytoprotection. Trends in Pharmacological Sciences. 1995. Vol 16(9) : 283-285.
10. Hochhauser, E., Kaminski, O., Shalom, H., Leshem, D., Shneyvays, V., Shainberg, A., & Vidne, BA. Role of adenosine receptor activation in antioxidant enzyme regulation during ischemia–reperfusion in the isolated rat heart. Antioxidants and Redox Signaling. 2004. Vol 6(2) : 335-344.
36
11. Erkiliç, K., Evereklioglu, C., Çekmen, M., Özkiris, A., Duygulu, F., &
Dogan, H. Adenosine deaminase enzyme activity is increased and negatively correlates with catalase, superoxide dismutase and glutathione peroxidase in patients with Behçet's disease: original contributions/clinical and laboratory investigations. Mediators of inflammation. 2003. Vol 12(2) : 107-116.
12. James, N., Parker, MD. Asphyxiation: Icon health publication. Unitet states of America. 2004 : 1-20.
13. Amir, A. Sebab Kematian. In: Amir, A., 2nd ed. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2008 : 120-125.
14. Berg, RA., Hilwig, RW., Kern, KB., & Ewy, GA. Bystander” chest compressions and assisted ventilation independently improve outcome from piglet asphyxial pulseless “cardiac arrest. Circulation. 2000. Vol 101(14) : 1743-1748.
15. Baldursdottir, S., Sigvaldason, K., Karason, S., Valsson, F., &
Sigurdsson, GH. Induced hypothermia in comatose survivors of asphyxia: a case series of 14 consecutive cases. Acta Anaesthesiologica Scandinavica. 2010. Vol 54(7) : 821-826.
16. Nolan, JP., Morley, PT., Hoek, TV., Hickey, RW., Kloeck, WGJ., Billi, J., & Steen, PA. Therapeutic hypothermia after cardiac arrest.Circulation. 2003. Vol 108(1) : 118-121.
17. Winarsi, H. Antioksidan dan radikal bebas, potensi dan aplikasinya dalam kesehatan. Yogyakarta. 2007. 1-20.
18. Sayuti, K., Yenrina, R. Antioksidan alami dan sintetik. Andalas universitas press. Padang. 2015.
19. Tsukahara, Y., Wakatsuki, A., & Okatani, Y. Antioxidant role of endogenous coenzyme Q against the ischemia and reperfusion- induced. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 1999. Vol 78(8) : 669-674.
20. Haskó, G., Pacher, P., Vizi, ES., & Illes, P. Adenosine receptor signaling in the brain immune system. Trends in pharmacological sciences. 2005. Vol 26(10) : 511-516.
21. Haskó, G., & Cronstein, BN. Adenosine: an endogenous regulator of innate immunity. Trends in immunology. 2004. Vol 25(1) : 33-39.
37
22. Ohana, G., Bar‐Yehuda, S., Barer, F., & Fishman, P. Differential effect of adenosine on tumor and normal cell growth: focus on the A3 adenosine receptor. Journal of cellular physiology. 2001. Vol 186(1) : 19-23.
23. Paul, T., pfammatter, JP. Adenosine: an effective and safe antiarrhythmic drug in paediatrics. Pediatric cardiology. 1997. Vol 18(1) : 118-126.
24. Fredholm, BB., IJzerman, AP., Jacobson, KA., Klotz, KN., & Linden, J.
International Union of Pharmacology. XXV. Nomenclature and classification of adenosine receptors. Pharmacological reviews. 2001.
Vol 53(4) : 527-552.
25. Gomes, CV., Kaster, MP., Tomé, AR., Agostinho, PM., & Cunha, RA.
Adenosine receptors and brain diseases: neuroprotection and neurodegeneration. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)- Biomembranes, 2011. Vol 1808(5),: 1380-1399.
26. Tabrizchi, Reza, and Sonia Bedi. "Pharmacology of adenosine receptors in the vasculature." Pharmacology & therapeutics. 2001. Vol 91(2) : 133-147.
27. Chen, JF., Sonsalla, PK., Pedata, F., Melani, A., Domenici, MR., Popoli, P., & De Mendonca, A. Adenosine A 2A receptors and brain injury: broad spectrum of neuroprotection, multifaceted actions and
“fine tuning” modulation. Progress in neurobiology. 2007. Vol 83(5) : 310-331.
28. Sitkovsky, MV., Lukashev, D., Apasov, S., Kojima, H., Koshiba, M., Caldwell, C., & Thiel, M. Physiological control of immune response and inflammatory tissue damage by hypoxia-inducible factors and adenosine A2A receptors. Annu. Rev. Immunol. 2004. Vol 22 (1) : 657-682.
29. Samma, J. Efek pemberian adenosine terhadap penghambatan aktivitas lipid peroksidase akibat pemakaian doksorubisin pada tikus putih (Rattus norvegicus). Skripsi. Universitas Hasanuddin. 2016.
30. Djabir, Y., & Dobson, GP. Hemodynamic rescue and ECG stability during chest compressions using adenosine and lidocaine after 8- minute asphyxial hypoxia in the rat. The American journal of emergency medicine. 2013. Vol 31(11) : 1539-1545.