• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUTUSAN PENDANAAN DAN STUKTUR MODAL 1. Pengertian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEPUTUSAN PENDANAAN DAN STUKTUR MODAL 1. Pengertian"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUTUSAN PENDANAAN DAN STUKTUR MODAL 1. Pengertian Keputusan pendanaan

Keputusan pendanaan atau pembelanjaan (financing decision) menghasilkan kebijakan mengenai sumber pendanaan. Dalam kebijakan pendanaan, manajer keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi berbagai sumber dana yang ekonomis bagi perusahaan, guna membelanjai berbagai kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya. Hasil kebijakan sumber pendanaan, secara singkat dapat dilihat pada sisi pasiva neraca perusahaan.

Sumber pendanaan terdiri dari modal dari pinjaman atau hutang dan modal sendiri. Penggunaan dari masing-masing jenis modal mempunyai pengaruh berbeda terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan. Penggunaan modal dari pinjaman akan menurunkan laba bersih, sebab harus membayar bunga. Besarnya bunga dimanfaatkan sebagai pengurang pajak yang harus di tanggung perusahaan, sedangkan penggunaan modal sendiri yang kompensasinya berupa pembayaran dividen yang diambilkan dari laba bersih setelah pajak ( tidak mengurangi pajak).

Kombinasi dari berbagai sumber dana mencerminkan struktur keuangan dan struktur modal suatu perusahaan.

Keputusan pendanaan menyangkut beberapa hal, yaitu: Pertama, keputusan mengenai penetapan sumber dana yang diperlukan untuk membiayai investasi. Sumber dana yang akan digunakan untuk membiayai investasi tersebut dapat berupa hutang jangka pendek, hutang jangka panjang dan modal sendiri. Kedua, penetapan tentang perimbangan pembelanjaan yang terbaik atau sering disebut struktur modal yang optimum. Struktur modal optimum merupakan perimbangan hutang jangka panjang dan modal sendiri dengan biaya modal rata-rata minimal.

Oleh karena itu, perlu ditetapkan apakah menggunakan sumber modal yang berasal dari hutang dengan menerbitkan obligasi, atau menggunakan modal sendiri dengan menerbitkan saham baru sehingga beban biaya modal yang ditanggung perusahaan minimal. Kekeliriuan dalam pengambilan keputusan pendanaan ini akan berakibat biaya modal yang ditanggung tidak minimal. Biaya modal yang muncul berkaitan dengan keputusan pendanaan adalah biaya bunga untuk dana yang berasal dari hutang dan dividen bagi dana yang berasal dari saham atau modal sendiri. Biaya modal berupa bunga lebih mudah ditetapkan karena sifatnya akan tetap selama umur hutang (obligasi), sedangkan penentuan tentang dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham memerlukan kebijakan (policy) tersendiri. Kebijakan dividen (dividend policy) harus dianggap sebagai bagian terpadu dari keputusan pendanaan. Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) atau rasio antara dividen yang dibayarkan dibanding laba yang diperoleh, menentukan jumlah laba yang dapat ditahan (retained earning). Semakin besar laba ditahan berarti semakin kecil dana yang tersedia untuk pembayaran dividen dan sebaliknya, jika semakin kecil laba yang ditahan maka semakin besar laba yang dibagi untuk pembayaran dividen.

Struktur modal merupakan perimbangan antara modal dari pinjaman atau hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Misalnya perusahaan A mempunyai hutang jangka panjang sebesar Rp. 200 juta, sedangkan modal sendiri sebesar Rp. 300 juta, maka struktur modalnya adalah sebesar 40 % artinya aktiva yang dimiliki perusahaan A 40 % didanai dengan hutang jangka panjang dan 60 % didanai dengan modal sendiri. Menurut Martono (2003) struktur modal ( capital structure ) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri. Struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan ( financial structure ). Struktur keuangan adalah perbandingan atau imbangan hutang jangka pendek ditambah hutang jangka panjang terhadap modal sendiri. Perubahan struktur modal bisa menyebabkan perubahan nilai perusahaan, sehingga muncul beberapa teori struktur modal. Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan bisa diukur dengan harga saham atau biaya modal yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam memperoleh sumber modal yang bersangkutan.

(2)

Teori struktur modal ini penting karena : 1) setiap ada perubahan struktur modal akan mempengaruhi biaya modal secara keseluruhan, hal ini disebabkan masing-masing jenis modal mempunyai biaya modal sendiri-sendiri. 2). Besarnya biaya modal secara keseluruhan ini, nantinya akan digunakan sebagai cut of rate pada pengambilan keputusan investasi, oleh karena itu kebijakan struktur modal akan mempengaruhi keputusan investasi.

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan struktur modal:

1. Suitability atau kesesuaian.

Suitability merupakan kesesuaian antara cara pemenuhan dana dengan jangka waktu kebutuhannya. Jika yang dibutuhkan perusahaan dana jangka pendek, apabila didanai dengan hutang jangka panjang atau dengan menambah modal sendiri berarti kurang sesuai.

Cara pemenuhan dana, sebaiknya disesuaikan dengan jangka waktu kebutuhannya artinya jika kebutuhan dana berjangka pendek, maka sebaiknya dipenuhi dari sumber dana jangka pendek dan jika kebutuhan dana berjangka panjang sebaiknya dipenuhi dari sumber dana jangka panjang.

2. Control atau pengawasan.

Pengawasan atau pengendalian perusahaan ada di tangan para pemegang saham.

Manajemen perusahaan mengemban tugas untuk menjalankan hasil keputusan rapat para pemegang saham. Suatu perusahaan biasanya dimiliki oleh beberapa pemegang saham saja, sehingga jika diperlukan tambahan dana perlu dipertimbangkan apakah fungsi pengawasan dari pemilik lama tidak akan terkurangi. Dengan pertimbangan tersebut para pemilik lama lebih menginginkan menambah hutang atau mengeluarkan obligasi dibanding dengan menambah saham atau modal sendiri.

3. Earning per share atau laba per lembar saham

Memilih sumber dana apakah dari pinjaman atau hutang maupun dari saham baru, secara finansial harus yang bisa menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham atau earning per share lebih besar.

4. Risknes atau Tingkat risiko

Modal pinjaman atau hutang merupakan sumber dana yang mempunyai risiko tinggi, sebab bunga harus tetap dibayar pada saat perusahaan memperoleh laba maupun saat mengalami kerugian. Jika laba yang diperoleh perusahaan besar, penggunaan hutang lebih baik sebab akan menghasilkan EPS lebih besar, namun jika laba yang diperoleh kecil maka penggunaan hutang sangat berisiko. Semakin besar penggunaan dana dari hutang mengindikasikan perusahaan mempunyai tingkat risiko semakin besar.

Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal saham, laba ditahan dan cadangan. Jika dalam pendanaan yang berasal dari modal sendiri masih mengalami kekurangan (defisif) maka perlu dipertimbangkan pendanaan yang berasal dari luar perusahaan, yaitu dari hutang (debt financing). Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana, perusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien. Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal keseluruhan atau biaya modal rata-rata (ko), sehingga akan memaksimalkan nilai perusahaan.

Struktur modal yang optimal terjadi pada leverage keuangan sebesar x, di mana ko (tingkat kapitalisasi perusahaan atau biaya modal keseluruhan) minimal yang akan memberikan harga saham tertinggi. Leverage keuangan merupakan penggunaan dana di mana dalam penggunaan dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan beban tetap (biaya bunga). Leverage keuangan ini merupakan perimbangan penggunaan hutang dengan modal sendiri dalam suatu perusahaan.

Struktur modal optimal terlihat pada gambar berikut:

(3)

Gambar 1. Biaya Modal dan Struktur Modal Optimal

2. Teori Struktur Modal

Teori struktur modal yang dikembangkan oleh beberapa ahli manajemen keuangan, terutama digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan bisa meningkatkan kemakmuran pemegang saham melalui perubahan struktur modal. Dalam teori struktur modal diasumsikan bahwa perubahan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru. Selanjutnya perlu dikaji bagaimana pengaruh perubahan struktur modal tersebut terhadap nilai perusahaan dan apakah ada pengaruh struktur modal terhadap harga saham perusahaan sebagai pencerminan nilai perusahaan. Apabila ada pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana struktur modal yang optimal bagi perusahaan. Dalam analisis struktur modal ini digunakan beberapa asumsi, yaitu:

1. Tidak ada pajak penghasilan.

2. Tidak ada pertumbuhan laba.

3. Pembayaran seluruh laba kepada pemegang saham yang berupa dividen.

4. Perubahan struktur modal terjadi dengan menerbitkan obligasi dan membeli kembali saham biasa atau dengan menerbitkan saham biasa dan menarik obligasi.

Pendapat lain tentang asumsi-asumsi yang diberikan dalam rangka mempermudah pembahasan teori struktur modal yaitu:

1. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dianggap konstan, artinya perusahaan tidak mengadakan perubahan terhadap investasinya.

2. Seluruh keuntungan yang diperoleh merupakan hak pemegang saham, sehingga akan dibagikan semuanya kepada para pemegang saham.

3. Hutang yang digunakan bersifat permanen, dengan arti bahwa jika ada hutang yang jatuh tempo harus di roll-over atau segera diganti dengan hutang baru.

4. Perusahaan dapat merubah struktur modalnya secara langsung, misalnya mengubah obligasi menjadi saham dan sebaliknya saham menjadi obligasi dengan mudah dan tidak ada biaya transaksi.

Dengan beberapa asumsi tersebut, analisis struktur modal bisa dilakukan dengan melihat besarnya nilai perusahaan atau biaya modal. Jika tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan artinya sama dengan menurunkan biaya modal. Untuk menghitung besarnya biaya modal dalam kaitannya dengan struktur modal dan nilai perusahaan digunakan beberapa rumus sebagai berikut (perlu diingat kembali bahwa biaya modal sama dengan return yang diharapkan oleh investor, sehingga menghitung biaya modal sebenarnya sama dengan menghitung return modalnya):

Leverage Keuangan

x

Biaya Modal (%)

(4)

1. Rumus untuk menghitung return obligasi:

2. Rumus untuk menghitung return saham biasa:

3. Rumus untuk menghitung return bersih perusahaan:

3.a. Rumus untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang:

Perlu diketahui bahwa nilai perusahaan sama dengan nilai pasar obligasi ditambah nilai pasar saham atau V = B + S, dimana B = nilai pasar Obligasi atau Hutang, sedangkan S = nilai pasar modal sendiri. ko merupakan tingkat kapitalisasi total perusahaan dan diartikan sebagai rata- rata tertimbang biaya modal, sedangkan

k

d merupakan Biaya hutang atau tingkat bunga, oleh karena itu ko dapat dirumuskan sebagai berikut:

atau

Apakah terjadi perubahan ki, ke, dan ko apabila leverage keuangan mengalami perubahan dapat dianalisis dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan tradisional dan pendekatan Modigliani - Miller yang akan dibahas pada bahasan berikutnya.

2.1. Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operating Income Approach)

Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand Tahun 1952.

Pendekatan ini menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan hutang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang bersifat konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Dengan demikian, pertama, diasumsikan bahwa biaya hutang konstan. Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Artinya apabila perusahaan menggunakan hutang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh

k

i

= dimana:

k

i

= Return dari obligasi I = Bunga hutang obligasi

tahunan

B = Nilai pasar obligasi yang beredar

k

e

= dimana:

k

e

= Return dari saham biasa

E = Laba untuk pemegang saham biasa S = Nilai pasar saham biasa yang

beredar

k

o

= dimana:

k

o

= Return bersih perusahaan (sebesar biaya modal rata-rata minimal) O = Laba operasi bersih Operasi

(EBIT)

V = Total nilai perusahaan

k

o

= k

i 



 S B

B

+ k

e 



 S B

S

k

o

= dimana:

k

o

= Biaya rata-rata tertimbang (sebesar biaya modal rata-rata minimal) O = Laba operasi bersih Operasi

(EBIT)

V = Total nilai perusahaan

k

o

= k

i 



 S B

B

+ k

d 



 S B

S

(5)

bagian laba yang semakin kecil, oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang akan berubah. Untuk melihat dampak atau pengaruh laba operasi bersih terhadap nilai perusahaan, lihat contoh berikut::

Contoh 1.

Suatu perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp. 8.000.000,- dengan tingkat bunga sebesar 15%. Laba operasi bersih Rp. 8.000.000,- dengan tingkat kapitalisasi total sebesar 20%, dan saham yang beredar sejumlah 10.000 lembar. Maka dari data di atas nilai perusahaan adalah:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)

Rp. 8.000.000 Tingkat kapitalisasi total (ko) 20%

Nilai total perusahaan (V) Rp. 40.000.000 Nilai pasar hutang (B) Rp. 8.000.000

Nilai pasar saham (S)

Rp. 32.000.000 Laba untuk pemegang saham biasa (E) = O – I

= Rp. 8.000.000 – (15% x 8.000.000) = Rp. 8.000.000 – Rp. 1.200.000

= Rp. 6.800.000,- Sahingga tingkat return modal sendiri yang disyaratkan, ke adalah:

ke = S E =

32.000.000 6.800.000

= 21,25%

Harga saham per lembar =

10.000 32.000.000

= Rp. 3.200,-

Misalnya perusahaan mengganti sebagian modal sahamnya dengan modal hutang sebesar Rp.

16.000.000,-, sehingga diperlukan saham sebanyak = Rp. 16.000.000 / 3.200 – 5.000 lembar saham untuk mendapatkan hutang tersebut. Dengan demikian jumlah saham beredar sekarang berkurang menjadi 5.000 lembar (10.000 lbr – 5.000 lbr), sehingga nilai perusahaan menjadi:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)

Rp. 8.000.000 Tingkat kapitalisasi total (ko) 20%

Nilai total perusahaan (V) Rp. 40.000.000 Nilai pasar hutang (B) Rp. 24.000.000

Nilai pasar saham (S)

Rp. 16.000.000 Laba untuk pemegang saham biasa (E) = O – I

= Rp. 8.000.000 – {15% x (8.000.000 + 16.000.000)} = Rp. 8.000.000 – Rp. 3.600.000

= Rp. 4.400.000,-

Sahingga tingkat return modal sendiri yang disyaratkan, (ke) adalah:

ke = S E =

16.000.000 4.400.000

= 27,5%

Harga saham per lembar =

5.000 16.000.000

= Rp. 3.200,-

Kesimpulan:

Dari contoh di atas diketahui bahwa, peningkatan leverage ternyata mempengaruhi tingkat keuntungan (return) yang disyaratkan. Tingkat return yang disyaratkan (ke) meningkat secara

(6)

linear dengan leverage keuangan (financial leverage) yang diukur dengan perimbangan antara hutang (B) dengan saham (S). Sedangkan nilai total perusahaan (V) dan harga saham per lembar tidak berubah walaupun leverage keuangannya berubah.

2.2. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)

Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (hutang dibagi modal sendiri atau B/S). Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut:

Contoh .2.

Perusahaan “ABC” pada awal mula berdirinya menggunakan modal hutang obligasi sebesar Rp. 45.000.000,- dengan bunga 5%, dan mendapat laba operasi bersih sebesar Rp. 15.000.000,- per tahun. Keuntungan yang disyaratkan dari pemilik sebesar 11% per tahun. Jumlah saham yang beredar 12.750 lembar. Dari data tersebut maka nilai perusahaan akan nampak sebagai berikut:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O) Rp. 15.000.000

Bunga hutang 5% (I) Rp. 2.250.000

Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp. 12.750.000 Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,11

Nilai pasar saham (S) Rp. 115.909.090*

Nilai pasar hutang (B) Rp. 45.000.000

Nilai total perusahaan (V) Rp. 160.909.090

* Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (ko) = 15.000.000 / 160.909.090 = 9,3% Harga per lembar saham

= Rp. 115.909.090/12.750 = Rp. 9.090,- (dibulatkan).

Misalnya perusahaan akan mengganti seluruh modal hutang obligasi dengan saham.

Karena nilai obligasi sebesar Rp. 45.000.000,- dengan harga saham per lembar sebesar Rp.

9.090,-, maka diperlukan sebanyak Rp. 45.000.000 / 9.090 = Rp. 4.950,- lembar saham.

Sekarang, seluruh modal perusahaan merupakan modal sendiri sehingga tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh investor (modal sendiri) menjadi lebih rendah, misalnya dari 11% menjadi sebesar 10%. Dengan demikian nilai perusahaan dan biaya modalnya sebagai berikut:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)

Rp. 15.000.000

Bunga hutang (I) 0

Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp. 15.000.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,10

Nilai pasar saham (S) Rp. 150.000.000

Nilai pasar hutang (B) 0

Nilai total perusahaan (V) Rp. 150.000.000

Tingkat kapitalisasi keseluruhan atau (ko) - 15.000.000 / 150.000.000 - 10%, sedangkan harga saham menjadi 150.000.0007 (12.750 + 4.950) = Rp. 8.474,58 per lembar. Sehingga harga saham berubah (turun) dari Rp. 9.090,- menjadi Rp. 8.474,58,- akibat perubahan struktur modal.

Misalkan sekarang ini perusahaan mengganti sahamnya dengan hutang sebesar Rp. 45.000.000,- dari keadaan semula, sehingga jumlah hutang menjadi Rp. 45.000.000 + Rp.

45.000.000 = Rp. 90.000.000. Dengan demikian jumlah sahamnya akan berkurang sejumlah 4.950 lembar lagi. Jadi jumlah sahamnya tinggal 7.800 lembar (12.750 lembar -4.950 lembar). Karena sekarang proporsi modal asing menjadi lebih besar (dengan kata lain risiko finansialnya menjadi lebih besar), maka mungkin tingkat kapitalisasi modal sendiri menjadi lebih besar, katakanlah menjadi 14%. Dengan kata lain para pemegang saham mensyaratkan tingkat keuntungan yang

(7)

lebih tinggi karena menganggap risiko perusahaan meningkat. Tetapi karena risiko yang makin tinggi, maka hutang (obligasi) harus membayar bunga lebih besar, katakanlah menjadi 6%. Dari data tersebut di atas, penilaian terhadap perusahaan akan menjadi:

Keterangan Nilai

Laba operasi bersih (O)

Rp. 15.000.000

Bunga hutang 6% (I) Rp. 5.400.000

Laba tersedia untuk pemegang saham (E) Rp. 9.600.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,14

Nilai pasar saham (S) Rp. 68.571.429*

Nilai pasar hutang (B) Rp. 90.000.000

Nilai total perusahaan (V) Rp. 158.571.429

* Pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan adalah = O / V =15.000.000 / 158.571.429 = 9,5%. Berarti mengalami kenaikan dibandingkan dengan struktur modal semula sebesar 9,3%. Sedangkan harga pasar sahamnya menjadi = Rp. 68.571.429/7.800 = Rp. 8.791,- per lembar, yang berarti lebih rendah dari harga saham semula sebesar Rp. 9.090,-.

Kesimpulan apa yang dapat diambil dari uraian di atas? Dengan menggunakan pendekatan tradisional, bisa diperoleh struktur modal yang optimal yaitu struktur modal yang memberikan biaya modal keseluruhan yang terendah dan memberikan harga saham yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena berubahnya tingkat kapitalisasi perusahaan, baik untuk modal sendiri maupun pinjaman setelah perusahaan merubah struktur modalnya (leverage) melewati batas tertentu.

Perubahan tingkat kapitalisasi ini disebabkan karena adanya risiko yang berubah.

2.3. Pendekatan Modigliani dan Miller (MM Approach)

Franco Modigliani dan MH. Miller (disingkat MM) menentang pendekatan tradisional dengan menawarkan pembenaran perilaku tingkat kapitalisasi perusahaan yang konstan. MM berpendapat bahwa risiko total bagi seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur modal perusahaan mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pembagian struktur modal antara hutang dan modal sendiri selalu terdapat perlindungan atas nilai investasi.

Yaitu karena nilai investasi total perusahaan tergantung dari keuntungan dan risiko, sehingga nilai perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya beijubah. Asumsi- asumsi yang digunakan MM adalah:

1. Pasar modal adalah sempurna, dan investor bertindak rasional

2. Nilai yang diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama 3. Perusahaan mempunyai risiko usaha (business risk) yang sama 4. Tidak ada pajak

Pendapat MM didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan dua aktiva yang pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yang termurah serta menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Untuk memperjelas proses arbitrase akan diberikan contoh sebagai berikut:

Contoh 3.

Ada dua perusahaan yang serupa yaitu perusahaan A yang modal seluruhnya merupakan modal sendiri, dengan keuntungan yang disyaratkan sebesar 15%. Perusahaan kedua adalah perusahaan B yang sebagian modalnya berupa obligasi sebesar Rp. 240.000.000,- dengan bunga 12% dan keuntungan yang disyaratkan pemegang saham sebesar 16%. Maka penilaian kedua perusahaan adalah sebagai berikut:

Keterangan Perusahaan A

(Rp)

Perusahaan B (Rp)

(8)

Laba operasi bersih (0) 80.000.000 80.000.000

Bunga hutang obligasi (I) 0 28.800.000

Laba yang tersedia untuk pemegang saham (E) 80.000.000 51.200.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 0,15 0,16

Nilai pasar saham (S) 533.333.333* 320.000.000

Nilai pasar hutang (B) 0 240.000.000

Nilai total perusahaan (V) 533.333.333 560.000.000

*) pembulatan

Tingkat kapitalisasi keseluruhan (ko):

Perusahaan A - Rp 80.000.000 / Rp 533.333.333 = 15%, Perusahaan B = Rp 80.000.000 / Rp 560.000.000 = 14,3%.

Menurut MM, situasi di atas tidak dapat berlangsung terus karena akan terjadi proses arbitrase yang menjadikan kedua nilai perusahaan sama. Perusahaan B tidak akan memiliki nilai yang lebih tinggi karena perusahaan tersebut memiliki struktur modal yang berbeda dengan perusahaan A. Menurut MM investor dalam perusahaan B akan mampu memperoleh keuntungan yang sama tanpa peningkatan risiko keuangan dengan cara menginvestasikan dananya pada perusahaan A. Transaksi arbitrase ini terus berlangsung sampai membuat nilai total kedua perusahaan sama. Misalnya seorang investor memiliki sejumlah 5% saham di perusahaan B, maka langkah-langkah yang dilakukan investor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menjual saham perusahaan B untuk mendapatkan dana sebesar Rp. 16.000.000 yaitu dari 5%

x Rp. 320.000.000,-

2. Meminjam dana Rp. 12.000.000,- yaitu dari 5% x Rp. 240.000.000 dengan bunga 12%, sehingga total dana = Rp. 16.000.000 + Rp. 12.000.000 = Rp. 28.000.000,-

3. Membeli 5% saham perusahaan A seharga 26.666.666,65 (dibulatkan 26.666.667) yaitu dari 5% x Rp. 533.333.333,-

Sebelum transaksi di atas dilakukan, investor tersebut mengharapkan keuntungan investasinya dari perusahaan B sebesar 16% dari nilai investasi Rp. 16.000.000 yaitu sebesar = 16% x Rp. 16.000.000 = Rp. 2.560.000,-. Sedangkan keuntungan yang ia harapkan dari perusahaan A sebesar 15% dari investasi sebesar Rp. 26.666.667,- yaitu sama dengan 15% x Rp.

26.666.667 = Rp. 4.000.000,-. Dengan keuntungan ini investor harus mengurangi sebagian keuntungannya untuk membayar bunga pinjaman, sehingga keuntungan bersihnya adalah :

Keuntungan investasi dari perusahaan A = Rp. 4.000.000 - Bunga yang harus dibayar (12% x 12.000.000) = Rp. 1.440.000

- Keuntungan bersih = Rp. 2.560.000

Keuntungan bersih sebesar Rp. 2.560.000, sama dengan keuntungan investasi pada perusahaan B. Tetapi pengeluaran kas untuk investasi perusahaan A hanya sebesar Rp.

14.666.667 (dari Rp. 26.666.667 – Rp. 12.000.000) dibandingkan pengeluaran kas untuk investasi pada perusahaan B sebesar Rp. 16.000.000,-. Karena investor dapat memperoleh keuntungan yang sama dengan menggunakan jumlah investasi yang lebih kecil dan risiko finansialnya juga sama, maka investor akan melakukan langkah arbitrase tersebut. Dan apabila karena suatu alasan kemudian harga saham perusahaan A lebih tinggi dari perusahaan B, maka proses abitrase akan berlangsung juga, namun dalam arah yang sebalikya.

3. KETIDAKSEMPURNAAN PASAR DAN ISU INSENTIF

Dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah sempurna, maka proses penyeimbangan pasar akan menjamin kebenaran (validity) pendapat MM, yaitu bahwa biaya modal dan penilaian keseluruhan perusahaan tidak tergantung pada struktur modalnya. Untuk memperdebatkan hal ini haruslah digunakan dasar bahwa pasar modal sebenarnya adalah tidak sempurna, yang menyebabkan proses penyeimbangan harga pasar tidak tergantung pada keuntungan yang disyaratkan dan risiko sistematisnya. Dalam keadaan semacam ini “leverage”

mungkin mempunyai pengaruh atas nilai keseluruhan perusahaan dan biaya modalnya. Meskipun demikian, ketidaksempurnaan ini tidak hanya harus cukup besar (materiil) tetapi juga harus searah. Misalnya, biaya transaksi membatasi proses arbitrase yang telah dikemukakan di atas.

(9)

Jadi arbitrase hanya akan terjadi sampai dengan batas yang ditetapkan oleh biaya transaksi.

Walaupun demikian, pengaruh bersih dari ketidaksempurnaan ini tidaklah dapat diduga sebagaimana arahnya. Berikut ini adalah argumen-argumen utama yang menentang proses arbitrase Modigliani dan Miller.

1. Adanya Biaya Kebangkrutan

Apabila ada kemungkinan untuk bangkrut, dan apabila biaya kebangkrutan tersebut cukup besar, maka perusahaan yang menggunakan hutang (leverage) mungkin menjadi kurang menarik bagi para investor dibandingkan dengan perusahaan tanpa hutang. Dalam pasar yang sempurna biaya kebangkrutan dianggap sama dengan nol. Apabila suatu perusahaan bangkrut, maka pada hakekatnya aset perusahaan dianggap dapat dijual pada harga (nilai) ekonomisnya, dan tidak ada biaya-biaya likuidasi. Kemudian penghasilan yang diperoleh dari penjualan kekayaan ini akan dibagikan kepada para kreditur dan pemilik, sesuai dengan prioritas dan proporsinya. Jadi kreditur menerima bagiannya dulu, baru pemegang saham preferen dan setelah itu sisanya untuk pemegang saham biasa. Apabila ada biaya kebangkrutan, maka aktiva-aktiva tersebut mungkin harus dijual pada harga yang lebih rendah (distress price) daripada nilai ekonomisnya.

Pengurangan ini merupakan kemungkinan para kreditur dan pemegang saham mendapatkan claim mereka sepenuhnya.

Dalam kejadian kebangkrutan, para pemilik saham secara keseluruhan menerima bagian kurang dari yang seharusnya apabila tidak ada biaya kebangkrutan. Karena perusahaan yang memiliki hutang mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kebangkrutan daripada perusahaan yang tidak memiliki hutang, maka perusahaan tersebut menjadi kurang menarik, apabila hal-haknya sama. Kemungkinan kebangkrutan biasanya bukan merupakan fungsi linear dari perbandingan hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) tetapi akan meningkat dengan tingkat yang semakin tinggi setelah mencapai tingkat leverage tertentu. Sebagai hasilnya, biaya kebangkrutan yang diharapkan akan meningkat semakin tinggi dan mempunyai efek negatif yang sama terhadap nilai perusahaan dan biaya modalnya. Dengan kata lain, biaya modal sendiri meningkat dengan semakin cepat.

2. Adanya Biaya Agensi

Biaya agensi adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham. Biaya agensi memiliki hubungan cukup dekat dengan biaya kebangkrutan yaitu berhubungan dengan pengaruh yang dimiliki atas struktur dan nilai modal.

Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan agen, pemeriksaaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil oleh manajemen. Kegiatan pengawasan ini tentunya membutuhkan biaya.

Jensen dan Meckling telah mengembangkan suatu teori yang disebut agensi. Salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Apabila kita memegang obligasi maka dalam mengantisipasi biaya pengawasan, maka kita akan membebankan bunga yang lebih tinggi. Jumlah pengawas yang diminta oleh pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obligasi yang beredar. Biaya pengawasan seperti halnya biaya kebangkrutan, cenderung meningkat pada tingkat kecepatan yang meningkat dengan adanya financial leverage.

3. Hutang dan Insentif Bagi Efisiensi Manajemen

Dengan adanya tingkat hutang yang tinggi, maka manajemen berada pada posisi yang

“terdesak” karena harus memastikan arus kas yang dihasilkan mencukupi pembayaran hutang.

(10)

Oleh karena itu, manajemen memiliki insentif untuk menggunakan dana yang ada bagi investasi yang menguntungkan dan berusaha menghindari timbulnya beban yang akan menghabiskan dana. Caranya adalah perusahaan yang menggunakan leverage akan lebih efisien karena manajemen berusaha menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu. Sedangkan, perusahaan dengan sedikit pinjaman memiliki kecenderungan untuk tidak terlalu mengawasi pemakaian biaya- biaya yang sebenarnya dapat dikurangi. Kekhawatiran karena tidak mampu membayar hutang merupakan insentif bagi manajemen dalam hal efisiensi.

4. Batasan-batasan Institusional

Batasan-batasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga yang membeli saham sering membatasi proses arbitrase. Misalnya lembaga dana pensiun, perusahaan asuransi dan lembaga pendidikan, yang memiliki saham, tidaklah mudah untuk membuat hutang. Lembaga-lembaga tersebut harus menjaga hutang dalam tingkatan yang tetap “aman”. Di samping itu mereka juga tidak boleh begitu saja membeli saham perusahaan-perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan

“kehilangan” pembeli saham (lembaga-lembaga tersebut).

5. Biaya-biaya Transaksi

Biaya-biaya transaksi cenderung membatasi proses arbitrase. Arbitrase akan terjadi jika biaya transaksi mencapai jumlah tertentu, di luar itu arbitrase tidak akan memberikan keuntungan lagi. Akibatnya, perusahaan yang menggunakan leverage akan memiliki nilai total yang sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari yang diperkirakan.

6. Pengaruh Pajak terhadap Perusahaan

Apabila dimasukkan unsur pajak, maka kita harus rnenilai kembali pendapat bahwa perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena pembayaran bunga atas hutang bisa dipakai untuk mengurangi pajak (tax deductible). Dengan demikian hal ini akan menurunkan rata-rata tertimbang dari biaya modal setelah pajak, tidak seperti yang dikemukan oleh MM. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini :

Perusahaan A dan B memiliki laba operasi bersih (net operating income) masing- masing sebesar Rp. 16.000.000,-. Perusahaan B memiliki hutang sebesar Rp. 40.000.000,- dengan bunga 12%, sedangkan perusahaan A tidak memiliki hutang. Jika tarif pajak sebesar 40%, maka diperoleh:

Keterangan Perusahaan A

(Rp)

Perusahaan B (Rp)

Laba operasi bersih 16.000.000 16.000.000

Bunga hutang 0 4.800.000

Keuntungan sebelum pajak 16.000.000 11.200.000

Pajak 40% 6.400.000 4.480.000

Laba yang tersedia bagi pernegang saham 9.600.000 6.720.000 Total laba yang tersedia bagi pernegang

saham

9.600.000 11.520.000

Perbedaan keuntungan yang tersedia bagi pernegang saham antara perusahaan A dan perusahaan B adalah = Rp. 11.520.000 – Rp. 9.600.000) = Rp. 1.920.000,-. Hal ini bisa terjadi karena investor pada perusahaan B (pemegang obligasi) akan menerima pembayaran bung;

sebelum dikurangi pajak, sedangkan investor pada perusahaan A (pemegang saham) aka menerima dividen setelah digunakan untuk membayar pajak sehingga investor di perusahaa A akan menerima laba yang lebih kecil.

4. SOAL DAN PENYELESAIANNYA Soal 1.

(11)

Perusahaan “A” diperkirakan akan mendapatkan laba operasi bersih (net operating income) Rp.

75.000.000,-. Perusahaan mempunyai aktiva sebesar Rp. 750.000.000,- dengi dua alternatif struktur modal sebagai berikut:

1. Hutang Rp. 300.000.000,- dengan bunga 11% dan keuntungan yang disyaratkan sebesar 16%

2. Hutang Rp. 450.000.000,- dengan bunga 12% dan keuntungan yang disyaratkan sebesar 17%

Dari data di atas hitunglah nilai pasar perusahaan dan biaya modalnya serta tentukan struktur modal yang optimal.

Penyelesaiannya:

Menghitung nilai perusahaan:

Keterangan Alternatif 1

(Rp)

Alternatif 2 (Rp)

Laba operasi bersih (0) 75.000.000 75.000.000

Bunga hutang obligasi (I) 33.000.000 54.000.000

Laba yang tersedia bagi Pemegang saham (E) 42.000.000 21.000.000

Keuntungan yang disyaratkan (ke) 16% 17%

Nilai pasar saham (S) 262.500.000 123.529.412*

Nilai pasar hutang (B) 300.000.000 450.000.000

Biaya Hutang 11% 12%

Nilai total perusahaan (V) 562.500.000 573.529.412

Biaya modal alternatif 1 = Rp. (75.000.000 / 562.500.000) = 13,33%

Biaya modal alternatif 2 = Rp. (75.000.000 / 573.379.000) = 13,08%

Dari perhitungan di atas dapat dikemukakan struktur modal yang optimal adalah alternatif 2, karena menghasilkan nilai perusahaan yang lebih besar dengan biaya modal yang lebih kecil

.

Referensi

Dokumen terkait

The sources of data are the students, the English teacher, and the process of teaching and learning reading using cloze technique for the eleventh year students

Pengaruh interaksi antara perbandingan kacang merah dan jamur tiram dengan penambahan tapioka dan tepung talas terhadap nilai hedonik warna sosis adalah semakin tinggi jumlah

Konsep hulul, nur Muhammad dan wihdatul adyan adalah merupakan konsep-konsep falsafi al-Hallaj yang merupakan hasil dari kontemplasinya tentang keilmuan dan keadaan

Oleh karena sasaran pendidikan dan pelatihan adalah tersedianya Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kualitas tertentu guna memenuhi persyaratan jabatan tertentu maka

Saya, Encik Navinkumar A/L Subramaniam telah menubuhkan Perniagaan Murni pada 1 Julai 2010 dengan modal sebanyak RM80 000 dimasukkan ke dalam akaun bank,membawa masuk

kedudukan mediator sendiri harus netral; (d) kunci dari sesi ini adalah penegasan mengenai kesediaan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan oleh

Soal yang dinyatakan tidak dipakai adalah soal nomor 20 karena memiliki indeks daya pembeda yang jelek pada soal pilihan jawaban, dan untuk korelasi butir soal dengan butir

Dari percobaan yang dilakukan dengan faktor tahapan reaksi (ET, EET, ENT dan ETN), rasio metanol (15:1 dan 20:1) dan waktu esterifikasi (30 menit dan 60 menit) diperoleh biodiesel