V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi Daerah Studi
Kawasan Destinasi Wisata (DW) Cibodas merupakan wilayah khas pegunungan dengan topografi bukit bergelombang dan hanya sedikit yang memiliki topografi datar. Lokasi paling tinggi adalah Gunung Pangrango (3.019 mdpl) dan Gunung Gede (2.958 mdpl). Sementara Kebun Raya (KR) Cibodas berada pada ketinggian antara 1300-1425 mdpl. Kondisi topografi yang demikian menyediakan suatu fenomena lansekap yang atraktif bagi wisatawan; baik dalam bentuk perbedaaan dan perubahan gradasi bentang alam alamiah, maupun dalam bentuk lanskap budidaya (cultural landscaping) yang ditimbukan dari berbagai bentuk pengelolaan lahan oleh para petani sayuran di kawasan ini.
Suhu harian adalah berkisar antara 17-27 oC dengan angka rata-rata 18 oC, namun dapat lebih dingin lagi untuk puncak Gunung Gede maupun Gunung Pangrango. Pada siang hari suhu dapat mencapai 10 oC sementara malam hari dapat turun hingga 5 oC. Kelembaban udara harian rata-rata adalah 90 %. Curah hujan di wilayah DW Cibodas cukup tinggi, berkisar antara 3.500-5.000 mm/tahun dan masuk kategori wilayah tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson. Kondisi ini bersifat atraktif bagi wisatawan untuk berwisata, baik dalam arti kenyamanan udara untuk beraktivitas maupun dalam arti berbeda dengan kondisi mikro klimatologis keseharian mereka yang umumnya tinggal di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi.
Jenis tanah pembentuk kawasan DW Cibodas umumnya adalah Andosol dengan tingkat kesuburan tinggi. Tanah ini terbentuk dari endapan aluvial lahar letusan-letusan gunung berapi pada masa lampau. Nilai kemasaman tanah umumnya berkisar pada pH 5. Dengan kondisi edafis yang demikian, maka bentang alam daerah studi telah diperkaya oleh berbagai elemen lansekap hayati berupa kehijauan berbagai tegakan pohon dan semak yang memberikan keindahan pemandangan kepada wisatawan.
Destinasi Wisata Cibodas dikenal sebagai kawasan alami dengan beragam jenis flora dan fauna alami, terutama di TN Gunung Gede Pangrango. Potensi flora di TN ini mencapai lebih dari 1.000 jenis tumbuhan dari 57 suku yang terdiri dari 925 jenis tumbuhan berbunga (Spermatophyta), 250 jenis tumbuhan paku, 123 jenis lumut serta berbagai jenis ganggang dan jamur. Diantara jenis dominan dan khas ekosistem pegunungan Jawa yaitu Rasamala (Altingia excelsa) dan Puspa (Schima walichii). Berbagai potensi flora yang dimiliki taman nasional ini adalah merupakan objek dan atraksi ekowisata yang sangat tinggi nilainya bagi wisatawan.
Kawasan Taman Wisata (TW) Mandalawangi juga dapat dikatakan memiliki beragam jenis flora alami seperti di TN Gunung Gede Pangrango, walaupun dengan tingkat keanekaragaman yang lebih rendah. Pohon yang dominan di dalam kawasan adalah Rasamala (Altingia excelsa) serta jenis-jenis dari keluarga Fagaceae dan Lauraceae. Beberapa tumbuhan unik juga mudah dijumpai, diantaranya Kantong Semar (Nephenthes gimnamphora), Perut (Balanophora spp), dan Rumput Purba (Equisetum debile). Sepanjang tepian sungai ditumbuhi bunga Kecubung (Datura fastuosa). Berbagai tegakan pohon yang dilengkapi dengan aliran sungai kecil di wilayah ini tidak hanya memberikan kepuasan estetika tersendiri kepada wisatawan melainkan juga memperkaya potensi aktifitas rekreasi bagi para wisatawan.
Berbeda dengan TN Gunung Gede Pangrango dan TW Mandalawangi yang memiliki beragam flora asli, maka Kebun Raya (KR) Cibodas merupakan pusat koleksi tumbuhan dari berbagai wilayah di Indonesia bahkan beberapa jenis dari luar negeri. Sampai dengan tahun 2009, koleksi KR Cibodas mencapai 1.269 jenis, yang terdiri atas 243 jenis anggrek, 119 jenis kaktus, 103 jenis sukulen serta berbagai jenis pohon, lumut maupun paku-pakuan. Koleksi flora yang menarik di antaranya kina (Cinchona calisaya), Bunya-bunya (Araucaria bidwillii), Bunga Bangkai (Amorphophallus titanium), Kaktus Gentong Emas (Echinocactus grossonii) dan Bunga Sakura (Prunus cerasoides). Tatanan taman yang sangat indah dan rimbun dengan berbagai koleksi tumbuhan ini menjadikan KR Cibodas sebagai tapak ekowisata yang sangat tinggi nilainya bagi beragam
wisatawan dengan rentang umur pengunjung yang luas; mulai dari anak-anak hingga orang tua, baik dalam bentuk rekreasi yang paling sederhana berupa piknik maupun ekowisata pendidikan.
Selain kekayaan flora, beragam jenis fauna juga dapat dijumpai di DW Cibodas. Beberapa jenis fauna telah langka dan terancam punah serta hanya dijumpai pada kawasan dilindungi, seperti Macan Tutul (Panthera pardus), Owa Jawa (Hylobates moloch), Anjing Hutan (Cuon alpinus) serta Kijang (Muntiacus muntjak). Setidaknya tercatat 110 jenis mamalia, 251 jenis burung, 75 jenis reptil, 20 jenis amfibi serta beraman jenis moluska. Hal ini tentu menjadikan nilai potensi kelangkaan ekowisata di TNGGP menjadi semakin tinggi.
Fasilitas wisata yang terdapat pada setiap obyek penelitian berbeda-beda.
Namun secara keseluruhan jumlah fasilitas yang terdapat pada ketiga obyek wisata contoh relatif sama. Yang berbeda dari fasilitas wisata tersebut adalah terdapat pada kualitasnya yang secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimiliki KR Cibodas lebih baik, kecuali untuk pusat informasi dan pelayanan yang lebih baik di Balai TN Gunung Gede Pangrango. Ketersediaan berbagai fasilitas di ketiga lokasi wisata ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Fasilitas wisata di setiap obyek penelitian di Destinasi Wisata Cibodas
No. Fasilitas KR Cibodas TN Gn Gede
Pangrango
TW Mandala- wangi
1 Gerbang utama V V V
2 Area parkir V V V
3 Kantor pengelola V V -
4 Pusat informasi dan pelayanan V V -
5 Warung makan/Restoran V - -
6 Kios cinderamata - V -
7 Shelter/Gazebo V V V
8 Villa/Penginapan V V V
9 Taman V V V
10 Arena bermain V - V
11 Kolam renang - - -
12 Jalan refleksi - - -
13 Toilet V V V
14 Loket tiket V V V
15 Pabrik Teh - - -
16 Musholla V V V
17 Camping Ground - V V
18 Arena Outbond V - V
Jumlah Fasilitas 13 12 11
Keterangan : V = terdapat; - = tidak terdapat
Kawasan Wisata Bopunjur berada pada ketinggian antara 700-1.100 mdpl.
Wilayah tertinggi yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna dan sekitarnya, sementara wilayah terendah adalah Taman Wisata (TW) Matahari dan sekitarnya. Kisaran suhu harian di KW Bopunjur sama dengan suhu harian di DW Cibodas, namun memiliki rerata harian yang lebih hangat, yaitu sekitar 22
oC. Kelembaban berkisar antara 70-90 %, dengan kisaran curah hujan antara 2.500-4.500 mm/tahun dan termasuk wilayah dengan kategori tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson. Klasifikasi tanah di kawasan ini memiliki tingkat keasaman tanah dengan pH 4,5-6,0. Jenis tanah meliputi Andosol, Regosol dan Lithosol, yang tmerupakan tanah dengan kesuburan tinggi namun peka terhadap erosi.
Kawasan TWA Telaga Warna merupakan satu-satunya kawasan yang tergolong Kawasan Pelestarian Alam di Kawasan Wisata Bopunjur selain tapak wisata TNGGP dan KR Cibodas. Banyak jenis tumbuhan yang ditemukan di kawasan ini sama dengan yang terdapat di TN Gunung Gede Pangrango.
Pepohonan yang dominan di TWA Telaga Warna adalah Beleketebe (Sloanea sigun), Saninten (Castanopsis argentea) dan Kibangkong (Palaquium microphyllum). Selain itu, dapat juga ditemukan jenis lainnya seperti Kihujan (Engelhardia spicata), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pasang (Quercus sp) dan Manglid (Magnolia glauca).
Kawasan Agro Wisata (AW) Gunung Mas didominasi oleh tanaman perkebunan berupa Teh (Camellia sinensis). Sebagian kawasan masih berupa hutan lindung yang memiliki kekayaan jenis flora sama dengan kawasan alami lainnya. Selain itu, terdapat juga beberapa tanaman seperti Kina (Cinchona calisaya), Kayu Manis (Cinnamomum burmanii), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Suren (Toona sureni), Kayu Afrika (Maeopsis eminii) serta Damar (Agathis dammara). Kondisi flora seperti ini, tidak jauh berbeda dengan kawasan TW Riung Gunung yang bersebelahan dengan Perkebunan Teh Gunung Mas.
Lokasi Wana Wisata (WW) Perum Perhutani didominasi oleh Tusam (Pinus merkusii), Damar (Agathis dammara) serta tanaman perdu Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Beberapa jenis flora juga ditanam pada kawasan non-alami untuk menambah estetika, yaitu berbagai jenis tanaman hias seperti bunga Crisant (Chrysanthemum indicum), Kaktus (Ferocactus pilosus) serta Azalea (Rhododendron spp.). Selain itu pada kawasan tersebut terdapat berbagai jenis tanaman lain yang terkait dengan kehidupan pedesaan serta kegiatan pertanian masyarakat yang berupa tanaman sayuran, seperti Kubis, Wortel, Cabai dan juga tanaman Padi sawah.
Beragam jenis fauna juga dapat ditemukan di KW Bopunjur yang didominasi oleh jenis-jenis yang telah mampu beradaptasi dengan kehidupan manusia. Beberapa jenis yang khas ekosistem hutan umumnya terdapat di TWA Telaga Warna serta hutan di sekitar Wana Wisata Perum Perhutani yang masih berstatus hutan lindung atau hutan produksi. Monyet-ekor panjang adalah primata yang mudah dijumpai di sekitar TWA Telaga Warna, Wana Wisata Perum Perhutani dan AW Gunung Mas. Adapun di Taman Safari Indonesia (TSI) yang merupakan kawasan konservasi eks-situ untuk fauna tentu saja memiliki beragam fauna, baik yang merupakan khas Indonesia maupun dari mancanegara.
Selain berbagai potensi sumberdaya ekowisata yang telah dipaparkan di atas, maka di kawasan ini juga terdapat salah satu fenomena alam yang menarik, yaitu migrasi burung pemangsa atau Burung Elang antara Bulan Oktober sampai Bulan Januari yang melintasi KW Bopunjur dan dapat disaksikan secara mudah di kawasan AW Gunung Mas. Hal tersebut juga dilengkapi oleh beberapa jenis fauna yang mempunyai kemampuan adaptasi tinggi atas perubahan kindisi lingkungan, yang diantaranya adalah Burung Gereja Erasia (Passer montanus), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) dan Cinenen Jawa (Orthotomus sepium). Sejalan dengan kondisi lingkungan di kawasan ini masih mempunyai kondisi lingkungan alami pedesaan, maka relatif cukup banyak jenis yang dapat ditemukan di kawasan ini dibandingkan pada wilayah perkotaan.
WAGunungMas CansembuResort
WWCurugNaga LembahPertiwi
TWMatahari
TWATelaga Warna WWCurug Cilember WWCurug Panjang Melrimba
TWRiung Gunung TSI
Fasilitas paling lengkap untuk kegiatan wisata menurut keberadaannya dimiliki oleh TW Matahari. Fasilitas di TW Matahari tidak sekedar lengkap, tetapi juga berkondisi paling baik yang di antaranya disebabkan masih baru dibangun dan umumnya mulai digunakan pada Tahun 2010. Terdapat fasilitas yang sebenarnya bukan merupakan fasilitas wisata secara khusus, namun berfungsi sebagai fasilitas wisata, yaitu pabrik teh di AW Gunung Mas. Selain itu, WW Curug Cilember dan Melrimba Garden memiliki fasilitas wisata khusus berupa jalan refleksi yang berguna untuk terapi kesehatan. Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa salah satu fasilitas wisata yang berfungsi sebagai tempat wisatawan atau pengunjung beraktivitas adalah arena outbound, hanya pada TW Riung Gunung dan TSI yang belum menyediakan arena outbound. Namun tidak semua tempat wisata yang menyediakan arena outbound tersebut menyelenggarakan kegiatan outbound secara mandiri. Beberapa tempat wisata hanya menyediakan tempat sebagai arena outbound, sedangkan penyelenggara outbound adalah mitra kerja.
Tabel 8 Fasilitas wisata pada setiap obyek penelitian di Kawasan Wisata Bopunjur
No. Fasilitas
1 Gerbang utama V V V V V V V V V - - 2 Area Parkir V V V V V V V V V V V 3 Kantor Pengelola V V V V V V V V V V V 4 Pusat informasi dan pelayanan - - - - - - V V - - - 5 Warung makan / Restoran - V V V V V V V V V V 6 Kios cinderamata - - V V - - V V - - - 7 Shelter/ Gazebo V V V V - V V V V V - 8 Villa/Penginapan V V V - - - - V V V V
9 Taman - V - - - - - V V - -
10 Arena Bermain - - - - - V V V V V 11 Kolam renang - V - - - - - V V V V 12 Jalan refleksi - - V - - - - - V - - 13 Toilet V V V V V V V V V V V 14 Loket Tiket V V - V - V V V - V V 15 Pabrik Teh - V - - - - - - - - - 16 Musholla - V - V V V V V - - V 17 Camping Ground - - V V V - - V - V V 18 Arena Outbond V V V V V - - V V V V Jumlah Fasilitas 8 13 11 11 8 9 11 16 12 10 11 Keterangan : V = terdapat; - = tidak terdapat
B. Evaluasi Rantai Suplai
Dalam konteks elemen rantai suplai, maka berbagai badan usaha yang menawarkan jasa wisata di KW Bopunjur dan DW Cibodas setidaknya dapat dibedakan menjadi 6 kelompok elemen, yaitu: (1) Pemerintah Sebagai Regulator, (2) Pemerintah Sebagai Penyedia Jasa Tapak Destinasi atau sebagai Pemilik Fasilitas Amenitas Wisata, (3) BUMN sebagai Penyedia Jasa, (4) Usaha Swasta Besar, (5) Usaha Swasta Menengah dan (6) Usaha Swasta Kecil.
Mempertimbangkan berbagai dinamika suplai dan data yang telah didapatkan selama studi, maka setidak-tidaknya ada 3 (tiga) aspek penting dari rantai suplai yang perlu untuk dievaluasi, yaitu kinerja individual setiap elemen suplai (partial performance of each supply element), kinerja komunal elemen suplai sejenis (intra-group performance of supply element) dan kinerja komunal berbagai elemen suplai (inter-group performance of supply element).
Dalam konteks performa individual suatu badan usaha suplai, maka secara obyektif dikatakan bahwa kinerja elemen suplai yang ada di dalam rantai nilai di Kawasan Wisata Bopunjur dan Destinasi Ekowisata Cibodas adalah masih jauh dari titik optimal yang secara ideal harus dicapai; bukan saja dalam arti performa sebagai suatu badan usaha melainkan juga dalam arti performa kaidah paradigma wisata lestari (sustainable tourism) yang bersifat global. Rendahnya kinerja suatu badan usaha pada rantai suplai tersebut ternyata juga telah mengakibatkan rendahnya kinerja badan usaha yang berada dalam grup usaha sejenis. Dengan demikian, pada akhirnya kinerja elemen suplai intergroup (inter-group of supply element) pun menjadi tidak optimal.
Keberadaan dan eksistensi Pemerintah Propinsi Jawa Barat c.q Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kabupaten Cianjur, beserta berbagai Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desanya adalah ikut mempengaruhi total kinerja dari KW Bopunjur dan DW Cibodas. Misalnya, dalam hal sebagai penyedia jasa seperti halnya TN Gunung Gede Pangrango, pemerintah mempunyai visi dan misi usaha serta pelayanan yang berbeda dari pengusaha
swasta; baik pengusaha besar seperti pemilik hotel berbintang, pengusaha menengah seperti pemilik hotel non bintang, serta pengusaha kecil seperti penyedia jasa warung makan dan cinderamata.
Persepsi para pihak dalam rantai suplai menunjukkan bahwa performa kinerja intra-elemen suplai pada DW Cibodas umumnya adalah tergolong buruk dan agak buruk seperti terlihat pada Tabel 9. Artinya dari 7 indikator (lihat catatan “c” pada Tabel 9) hanya 2 sampai 3 indikator yang dipersepsikan positif.
Meskipun demikian, persepsi pengusaha kecil terhadap pemerintah sebagai penyedia jasa wisata (persepsi F terhadap B) dan persepsi BUMN terhadap pemerintah sebagai penyedia jasa wisata (persepsi C terhadap B) serta persepsi pengusaha kecil terhadap pengusaha swasta besar (persepsi F terhadap D) adalah tergolong agak baik (skor 5). Namun diduga kuat persepsi yang timbul tersebut adalah merupakan persepsi semu (placebo perception) seperti yang diungkapkan Hall dan Page (1999), yaitu suatu persepsi yang muncul sebagai akibat adanya interaksi kedua pihak dan karena karakter inheren yang bersifat feodal di antara para pihak yang memberi nilai terhadap para pihak yang dinilai.
Tabel 9 Skor persepsi para pihak ekowisata tentang kinerja setiap intra-stakeholder dan kinerja inter-stakeholder di Cibodas No. Kriteria Stake Holder Skor Persepsi Untuk Kriteria Stakeholder
A B C D E F Total Rata-rata A. Pemerintah sebagai regulator 3 4 3 3 4 3 20 3 B. Pemerintah penyedia jasa 3 3 3 4 4 4 21 3
C. BUMN 3 5 3 4 4 3 22 3
D. Usaha swasta besar 2 4 4 4 4 1 19 3 E. Usaha swasta menengah 4 4 3 2 4 4 21 3 F Usaha swasta kecil 4 5 2 5 2 2 20 3
Total 19 25 18 20 22 17 123 3
Rata-rata 3 4 3 3 3 2 3 3
Catatan: a. Skor 1-7, yaitu 1 untuk persepsi sangat buruk berturut-turut hingga 7 untuk persepsi yang sangat baik.
b. Jumlah n = 45 stakeholder.
c. Esensi persepsi : persaingan jenis usaha, lokasi usaha, waktu usaha, perilaku usaha, persaingan harga produk, kebijakan usaha dan kontribusi yang didapatkan dari stakeholder lain.
Memperhatikan hasil studi yang digambarkan pada Tabel 9 di atas, salah satu hal yang menarik dan juga tergolong positif dalam proses perencanaan selanjutnya adalah adanya introspeksi internal dari responden atas kinerja dari sistem tempat responden bernaung/bekerja. Responden pada institusi pemerintah
sebagai regulator, sebagai penyedia jasa dan responden pada kelompok usaha kecil ternyata memberikan skor persepsi yang rendah ( skor 2 sampai 3) terhadap kinerja institusi/kelompoknya sendiri.
Kesadaran dan kejujuran responden pada institusi pemerintah tersebut dapat dijadikan sebagai indikator tentang masih adanya energi positif (positive energy) pada organisasi tersebut. Menurut Hellriegel dan Slocum (2004) energi positif dalam suatu institusi tersebut adalah merupakan salah satu pintu masuk yang sangat penting dalam menggerakkan organisasi untuk mencapai kinerja optimalnya dibandingkan dengan internal apastism yang umum terjadi pada suatu organisasi/intitusi yang mengalami stagnansi. Adapun rendahnya skor persepsi di antara rantai pengusaha kecil diduga kuat adalah diakibatkan oleh adanya persaingan usaha sejenis yang sudah melebihi kelenturan persaingan yang mereka miliki seperti yang diungkapkan oleh Kotler dan Keller (2007).
Sejalan dengan dinamika yang terjadi di DW Cibodas, maka data pada Tabel 10 juga menunjukkan skor persepsi yang buruk tentang kinerja para pihak pada KW Bopunjur. Jika pada DW Cibodas evaluasi internal (internal evaluation) yang dilakukan oleh responden pemerintah sebagai regulator masih memberikan rata-rata skor 3 (agak buruk), maka tidak demikian halnya persepsi yang diberikan oleh responden pada KW Bopunjur yang memberikan rata-rata nilai skor 2. Namun para pengusaha kecil pada KW Bopunjur ternyata mempunyai persepsi biasa saja terhadap kinerja berbagai kelompok usaha kecil, yang berarti lebih baik dibandingkan dengan di DW Cibodas; hal ini diduga disebabkan oleh karena relatif lebih luasnya pasar yang sudah pasti (captive market) yang berupa pasar lokal di wilayah Bopunjur dibandingkan pasar yang sudah pasti (captive market) yang dimiliki oleh pedagang kecil di DW Cibodas.
Semakin rendahnya skor persepsi responden tentang kinerja pemerintah sebagai regulator pada KW Bopunjur diduga kuat setidak-tidaknya adalah karena kompleksitas hirarki kepemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten serta Pemerintah Kecamatan dan Desa pada kabupaten yang sama ataupun pada Kabupaten yang berbeda, serta karena adanya benturan kepentingan antar hirarki dan benturan kepentingan antar wilayah
administrasi yang berbeda. Tidak selesainya Rencana Umum Tata Ruang Bopunjur hingga saat ini adalah dapat menjadi indikator penting tentang kompleksitas regulasi dan benturan kepentingan antar regulator di dalam menata DW Cibodas dan KW Bopunjur.
Tabel 10 Skor persepsi para pihak ekowisata tentang kinerja setiap intra- stakeholder dan kinerja inter-stakeholder ekowisata di Bopunjur No. Kriteria Stake Holder Skor Persepsi Untuk Kriteria Stakeholder
A B C D E F Total Rata-rata A. Pemerintah sebagai regulator 2 4 3 3 4 3 19 3
B. Pemerintah penyedia jasa 3 3 3 4 4 5 22 3
C. BUMN 3 5 3 4 4 3 22 3
D. Usaha swasta besar 2 4 4 4 4 4 22 3
E. Usaha swasta menengah 2 3 3 2 3 4 17 2
F Usaha swasta kecil 3 2 2 1 2 4 14 2
Total 15 21 18 18 21 23 116 2
Rata-rata 2 3 3 3 3 3 2 2
Catatan: a. Jumlah n = 45 stakeholder.
b. Esensi persepsi : persaingan jenis usaha, lokasi usaha, waktu usaha, perilaku usaha, persaingan harga produk, kebijakan usaha dan kontribusi yang didapatkan dari stakeholder lain.
Rendahnya skor persepsi kinerja pemerintah sebagai penyedia jasa wisata juga tampak pada statistik pengunjung yang mengkonsumsi jasa wisata yang disediakannya. Jika TN Gunung Gede Pangrango dijadikan sebagai contoh, maka data pada Gambar 12 menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir ternyata rata- rata jumlah pengunjung yang mendatangi TN tersebut hanyalah berkisar pada angka 70 ribu pengunjung; meskipun tampak terjadi kecenderungan peningkatan pada periode sebelum 2006, namun kembali menunjukkan kecendrungan penurunan sejak Tahun 2007. Jika rata-rata jumlah pengunjung melalui pintu Cibodas adalah 52,000 orang dan struktur data yang ada menunjukkan jumlah pengunjung dari Pintu Cibodas rata-rata adalah 65% dari jumlah total pengunjung TN Gunung Gede Pangrango yang juga mempunyai titik masuk (entry point) dari Pintu Salabitana dan Pintu Bodogol, ternyata setiap minggunya rata-rata hanya sekitar 1.000 pengunjung yang mendatangi TN Gunung Gede Pangrango melalui Pintu Cibodas untuk melakukan kegiatan wisata pada akhir minggu.
Jumlah Pengunjung
90000
80000
70000
Orang 60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Gambar 12 Pengunjung TN Gunung Gede Pangrango Tahun 2002 - 2009.
Mempertimbangkan bahwa kegiatan wisata akhir minggu adalah dihitung dalam dua hari, yaitu hari Sabtu dan Minggu, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata kinerja TN Gunung Gede Pangrango dalam menjadikan berbagai aset sumberdaya ekowisata yang mereka miliki untuk menjadi obyek dan atraksi yang mampu menarik wisatawan di DW Cibodas adalah masih sangat rendah (yaitu hanya sekitar 500 orang pada setiap wisata akhir minggu di Hari Sabtu atau Hari Minggu) dari titik optimal yang seharusnya potensial untuk dicapai. Meskipun hingga saat ini belum ada satu pihakpun yang menyatakan secara formal tentang berapa sesungguhnya nilai daya dukung total untuk pemanfaatan TN Gunung Gede Pangrango dalam jasa ekowisata, namun bisa dipastikan bahwa angka jumlah pengunjung tersebut adalah sangat jauh dari nilai daya dukung yang secara teoritis bisa ditentukan untuk tujuan tersebut.
Memperhatikan apa yang diingatkan Avenzora (2008) tentang betapa pentingnya jumlah kunjungan (number of visit) daripada jumlah pengunjung (number of visitor) dalam membangun dan mengembangkan ekowisata, maka juga dapat dikatakan bahwa ternyata TN Gunung Gede Pangrango hingga saat ini masih belum mampu untuk membangun kerangka nilai pelayanan dalam aspek jasa yang menjadi tupoksinya. Hingga saat ini data statistik yang ada di TN Gunung Gede Pangrango adalah sama sekali belum menunjukkan adanya kesadaran institusi tentang pentingnya jumlah pengunjung dalam proses pelayanannya.
JumlahPengunjung_ (dalamribuan)
Jika dilihat dari aspek jumlah pengunjung (lihat Gambar 12), tampaknya performa kinerja KR Cibodas sebagai elemen pemerintah dalam menyediakan jasa wisata adalah jauh lebih bagus daripada yang dimiliki oleh TN Gunung Gede Pangrango seperti yang telah dipaparkan di atas. Meskipun demikian, angka rata- rata jumlah pengunjung per tahun yang lebih baik tersebut adalah harus diklasifikasikan sebagai belum kondusif untuk mencapai tujuan dari suatu penyelenggaraan ekowisata. Baiknya performa jumlah pengunjung rata-rata tahunan tersebut adalah lebih banyak disebabkan oleh karena terjadinya lonjakan pengunjung pada periode libur lebaran.
700
600
500
400
300
200
100
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Gambar 13 Jumlah pengunjung Kebun Raya Cibodas selama 10 tahun terakhir.
Pada Gambar 13 terlihat bahwa jumlah pengunjung di KR Cibodas pada tahun 2010 yang mencapai 453.000 orang adalah lebih banyak disebabkan besarnya angka jumlah pengunjung pada bulan September di saat terjadi musim libur lebaran pada tahun 2010 sebanyak 83.000 orang; yang nilainya melebihi 2 kali nilai rata-rata jumlah pengunjung setiap bulan yakni 36.000 orang. Dalam konteks ekowisata, jumlah pengunjung yang sangat fluktuatif tersebut adalah
Pengunjung(dalamribuan)_
uari
Fe M Ap Mei
Juni Ju Agus
Se mber
Ok er Novemb
De
be
dapat dijadikan sebagai indikator tentang terpicunya tekanan lingkungan, yang akan berujung pada turunnya kepuasan pengunjung pada periode kunjungan tersebut.
100
80
60
40
20
Hari Kerja
Hari Libur
Total
0
Bulan
Gambar 14 Fluktuasi jumlah pengunjung bulanan di Kebun Raya Cibodas.
Data pada Tabel 11 dan 12 melengkapi persepsi intra-stakeholder dan inter- stakeholder ekowisata di KW Bopunjur dan di DW Cibodas yang telah dipaparkan di atas. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa tidak satupun para pihak memberikan persepsi yang baik terhadap kinerja pemerintah sebagai bagian dari rantai suplai di kawasan dan destinasi tersebut. Baik untuk DW Cibodas maupun untuk KW Bopunjur, nilai rata-rata skor persepsi terhadap kinerja pemerintah menurut 10 kelompok elemen rantai suplai yang ada adalah hanya 2.6 (antara agak buruk dan buruk). Tidak satupun kelompok para pihak yang terdapat pada dua kawasan ini yang mendapatkan skor persepsi yang tergolong baik (skor 6).
Tabel 11 Persepsi para pihak ekowisata tentang kinerja setiap intra-stakeholder
dan kinerja inter-stakeholder menurut jenis usaha di Destinasi Wisata Cibodas
Skor Persepsi Stakeholder No. Kriteria Stakeholder
A Pemerintah sebagai regulator
A B C D E F G H I J K Total Rata
-rata 3 4 5 3 4 5 5 5 4 4 3
45 4 B LSM 1 3 2 1 1 4 4 4 4 4 3 31 2 C Penyedia jasa tapak
destinasi D Penyedia jasa
akomodasi E Penyedia jasa
transportasi F Penyedia jasa tour
operator
G Penyedia jasa rumah makan
H Penyedia jasa factory outlet
I Penyedia jasa convenient store J Penyedia jasa
cindramata
2 2 4 4 3 3 4 4 4 4 3
3 2 5 4 3 3 4 4 4 4 4 2 2 5 4 3 4 3 4 4 2 4
2 2 5 3 4 3 3 3 4 2 4
2 2 5 4 3 3 4 4 3 4 3
4 2 4 4 3 3 4 5 5 5 5
4 2 5 5 3 2 3 4 3 4 4
3 2 5 5 4 2 3 2 4 4 5
37 3 40 3 37 3 35 3 37 3 44 4 39 3 39 3 K Penyedia jasa kaki lima 3 3 5 2 3 1 3 3 4 4 4 35 3
Total 29 26 50 39 34 33 40 42 43 41 42 419 3 Rata-rata 2 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Catatan: a. Skor 1-7, yaitu 1 untuk persepsi sangat buruk berturut-turut hingga 7 untuk persepsi yang
sangat baik.
b. Jumlah n = 45 stakeholder.
c. Esensi persepsi : persaingan jenis usaha, lokasi usaha, waktu usaha, perilaku usaha, persaingan harga produk, kebijakan usaha dan kontribusi yang didapatkan dari stakeholder lain.
Tabel 11 dan 12 menggambarkan bahwa keseluruhan sistem rantai suplai yang ada di kedua lokasi ekowisata tersebut adalah belum memberikan performa kinerja yang optimal. Adapun nilai skor 1 (sangat buruk, lihat Tabel 12) yang diberikan oleh LSM (sebagai salah satu elemen suplai) adalah lebih diduga karena pola kejujuran minoritas (the frankly minority) banyak dipilih oleh LSM dalam menyuarakan kepentingan yang dimilikinya ataupun kepentingan yang sedang menjadi perhatiannya.
Lebih lanjut, relatif baiknya skor persepsi yang dimiliki oleh toko produk pabrik (factory outlet/FO) pada kawasan ini adalah diduga karena besarnya harapan para pihak lain kepada FO untuk bisa menjadi citra (icon) baru dalam