• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

V.

POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGANlGlZl

5.1. Pola Pengeluaran Pangan Non-Pangan

Secara garis besar kebutuhan konsumsi barang dan jasa oleh konsumen (rurnahtangga) dapat dikelompokkan kedalam dua kategori besar yaitu kebutuhan pangan dan non-pangan. Dengan dernikian, pada tingkat pendapatan yang tertentu, konsumen akan rnengalokasikan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan. lnformasi tentang struktur (pola) pengeluaran rumahtangga untuk rnernenuhi kebutuhan pangan-non pangan ini memberikan indikasi seberapa penting pengeluaran pangan dalarn struktur pengeluaran rumahtangga. Hal ini bermanfaat bagi pengambil keputusan di bidang pangan dan gizi, rnengingat pangsa pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga (BPS, 1996a; Pakpahan. gt

a

1991 ; Pabinru dan Saliem, 1993). Dalarn ha1 ini sernakin tinggi pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.

Keragaan proporsi pengeluaran rumahtangga di KT1 untuk kebutuhan pangan- non pangan rnenurut daerah dan kelornpok pendapatan disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 terlihat bahwa secara urnurn sruktur pengeluaran rurnahtangga di KT1 rnasih didominasi oleh pengeluaran untuk pangan. Dalarn ha1 ini di sernua kategori, pangsa pengeluaran pangan di atas 50 persen dari total pengeluaran rurnahtangga (kecuali pada kelornpok pendapatan tinggi di kota sekitar 47 persen). Pola ini tidak jauh berbeda dengan keragaan rata-rata

(2)

di tingkat nasional pada tahun yang sarna yaitu sekitar 45 persen dan 53 persen masing-masing untuk daerah kota dan desa (BPS, 1996a). Sebagai perbandingan, di negara rnaju (Arnerika Serikat) pangsa pengeluaran pangan rata-rata rurnahtangga pada tahun 60-an hanya sekitar 23 persen dari total pengeluaran rumahtangga (Syarief dan Martianto. 1991 ).

Tabel 8. Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rurnahtangga di KT1 Menurut Kelompok Pendapatan dan Daerah, Tahun 1996

(%I

Bila diarnati antar wifayah terlihat bahwa secara relatif kesejahteraan rata-rata rurnahtangga di kota lebih baik dari pada di desa, baik dari sisi rata- rata tingkat pendapatan per kapita rnaupun dari proporsi pengeluaran untuk pangan. Rata-rata rurnahtangga KT1 di pedesaan mengalokasikan sekitar 68 persen pendapatannya untuk kebutuhan pangan dengan rata-rata tingkat pendapatan sekitar Rp.62.0001kaplbulan. Sementara itu rata-rata

Kelompok Pendapatan Rendah Sedang Tinggi Jenis Pengeluaran Pangan Non pangan Total (Rp/kap/bln) Pangan Non pangan Total (Rp/kap/bln) Pangan Non pangan Total (Rp/kap/bln) Kota 64.25 35.75 100.00 (49 444) 56.70 43.30 100.00 (95 432) 46.76 53.24 100.00 (200 092) Desa 72.96 27.04 100.00 (29 898) 70.06 29.94 100.00 (51 439) 62.47 37.53 100.00 (104 677) Kota + Desa 69.67 30.33 100.00 (37 293) 65.01 34.99 100.00 (68 063) 56.54 43.46 100.00 (140 434)

(3)

rurnahtangga KT1 di kota berpendapatan sekitar Rp 115 000/kap/bulan mengalokasikan sekitar 56 persen untuk pangan.

Dari Tabel 8 juga dapat diungkapkan bahwa sernakin tinggi tingkat pendapatan rnakin rendah pangsa pengeluaran pangan dan konsisten terlihat di daerah kota, desa, rnaupun total KTI. Hal ini rnendukung pernyataan sebelumnya bahwa proporsi atau pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga. Dalarn ha1 ini kesejahteraan rurnahtangga dicerrninkan oleh rata-rata pendapatan per kapita per bulan.

Pola pengeluaran rurnahtangga seperti telah dibahas di atas terlihat berlaku urnum untuk seluruh propinsi di wilayah KTI. Keragaan secara rinci pola pengeluaran pangan-non pangan menurut propinsi dan daerah dapat disimak pada Lampiran 6. Sementara itu Lampiran 7 rnenyajikan data keragaan pola pengeluaran rnenurut propinsi dan kelornpok pendapatan. Larnpiran 8 dan Larnpiran 9 menyajikan inforrnasi pola pengeluaran rnasing- rnasing untuk daerah perkotaan dan pedesaan rnenurut propinsi dan kelornpok pendapatan di KT1 pada tahun 1996.

Dari keernpat tabel larnpiran tersebut hal-ha1 penting yang dapat diungkap adalah pertarna, dari tiga belas propinsi di KT], rata-rata pangsa pengeluaran pangan terendah di propinsi Kalirnantan Selatan (sekitar 59 persen) dan tertinggi di propinsi Kalirnantan Barat dengan pangsa pengeluaran pangan mencapai 71 persen dari total pengeluaran rumahtangga. Kedua. konsisten terjadi di sernua propinsi bahwa rata-rata pangsa pengeluaran

(4)

pangan di daerah kota lebih rendah dari pada di desa; dan ketiga, konsisten puta di semua propinsi bahwa pangsa pengeluaran pangan menurun dengan rnakin tingginya tingkat pendapatan baik di masing-masing propinsi secara total, daerah pedesaan rnaupun di kota.

Apabila pengelompokan rumahtangga di KT1 didasarkan pada tingkat konsumsi energi. Tabel 9 menunjukkan ha1 tersebut. Dengan pengelornpokan itu terlihat bahwa rata-rata kesejahteraan rurnahtangga di kota relatif lebih baik dari pada di desa untuk semua klas konsumsi energi. Hal ini diindikasikan dari besarnya proporsi pengeluaran untuk pangan maupun besarnya tingkat pendapatan per kapita. Secara rata-rata total daerah kota dan desa terlihat rnakin tinggi klas konsurnsi energi proporsi pengeluaran untuk pangan justru sedikit mengalami peningkatan

Tabel 9 . Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumahtangga di KT1 Menurut Daerah dan Klas Konsumsi Energi, Tahun 1996

(%) Klas Konsumsi Energi Rendah Sedang Tinggi Jenis Pengeluaran Pangan Non pangan Total (Rp/kapibln) Pangan Non pangan Total (Rpkaphln) Pangan Non pangan Total (Rp/kap/bln) Kota 58.04 41.96 100.00 (53 510) 57.71 42.29 100.00 (85 990) 57.62 42.38 100.00 (1 5 1 432) Desa 68.18 31.82 1 00.00 (32 175) 69.92 30.08 t 00.00 (48 366) 70.1 1 29.89 100.00 (82 124) Kota + Desa 64.82 35.18 100.00 (39 238) 65.26 34.74 100.00 (62 729) 65.19 34.81 100.00 (1 09 429)

(5)

Namun demikian, apabila diamati masing-masing daerah, untuk daerah kota pola pengeluaran yang terjadi searah dengan struktur pola pengeluaran berdasar kelompok pendapatan (dengan proporsi penurunan antar kelompok yang relatif kecil). Berbeda keragaannya untuk daerah pedesaan, proporsi pengeluaran untuk pangan makin tinggi dengan rnakin tingginya klas konsumsi energi (walaupun perbedaan antar klas relatif kecil).

Apabila keragaan pola pengeluaran rumahtangga di KT1 berdasar klas konsumsi energi diamati di masing-masing propinsi, keragaannya disajikan pada Tabel Lampiran 10. Lampiran I? dan Lampiran 12 masing-masing untuk wilayah kota dan desa, wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan Kawasan Tirnur Indonesia tahun 1996.

Dari ketiga lampiran tersebut terlihat bahwa pertama, di propinsi NTB. NTT, Sulut, Sulteng. dan Sultra mempunyai pola bahwa rnakin tinggi klas konsumsi energi pangsa pengeluaran pangan cenderung menurun. Untuk propinsi yang lainnya memiliki pola pengeluaran yang tidak konsisten. Terdapat kecenderugan makin tinggi klas konsumsi energi makin tinggi pula pangsa pengeluaran untuk pangan.

Kedua,

untuk daerah perkotaan hampir semua propinsi (kecuali NTB, NTT, Timor Timur dan Kalimantan Barat) mempunyai pola makin tinggi klas konsumsi energi pangsa pengeluaran pangan cenderung meningkat. Sementara untuk keempat propinsi yang terkecuali tersebut memiliki pola makin tinggi klas konsumsi energi makin rendah pangsa pengeluaran untuk pangan. Ketiga, untuk daerah pedesaan

(6)

hampir semua propinsi (kecuali Sulawesi Tengah) menunjukkan pola yang cukup konsisten yaitu makin tinggi klas konsumsi energi makin tinggi pula pangsa pengeluaran untuk pangan.

Berdasarkan pembahasan pola pengeluaran seperti diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelompokan rumahtangga berdasar tingkat pendapatan memberikan pola yang konsisten baik ditihat antar wilayah (desa- kota), antar kelompok pendapatan (rendah-sedang-tinggi) maupun antar propinsi. Sementara itu pengelompokan rumahtangga berdasar klas konsumsi energi menunjukkan hasil bahwa pola pengeluaran rumahtangga tidak konsisten (terdapat pola yang bervariasi) antar wiiayah (desa-kota), antar klas konsumsi energi (rendah-sedang-tinggi) maupun antar propinsi. Berdasar kenyataan tersebut pengelompokan rurnahtangga berdasar tingkat pendapatan dipilih untuk pembahasan pola konsumsi maupun permintaan pangan pada bab-bab selanjutnya.

5.2. Proporsi Pengeluaran Pangan Menurut Jenis

Pengetahuan tentang besarnya proporsi masing-masing jenis pangan terhadap struktur pengeluaran pangan, dapat mengidentifikasi peranan pangan tersebut dalam alokasi pendapatan rumahtangga. lnformasi tersebut dapat digunakan sebagai salah satu acuan pertimbangan pengambil keputusan di bidang panganlgizi terutama dikaitkan dengan kebijakan harga pangan maupun program penyediaan dan distribusi pangan. Hal ini

(7)

didasarkan pada kenyataan bahwa pangsa pengeluaran jenis pangan tertentu yang rnerupakan proporsi dari jurnlah komoditasljenis pangan yang dikonsumsi dikalikan dengan harga pangan tersebut terhadap pendapatan rumahtangga yang diaiokasikan untuk pangan (secara keseluruhan). Keragaan pangsa pengeluaran berbagai jenis pangan terhadap total pengeluaran pangan di KT1 dan 4 propinsi contoh disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Pangsa Pengeluaran Berbagai Jenis Pangan Terhadap Total Pengeluaran Pangan Rurnahtangga KT1 dan 4 Propinsi Contoh, Tahun 1996

Jenis Pangan Beras

,

Serealia lain Umbi-umbian Mielterigu Daging lkan Telur Susu Sayuran Buah-buahan Kacang-kacangan Gula pasir Minyak goreng Makanan jadi Pangan lain NTT

I

Kalteng

1

Dari Tabel 10 terlihat bahwa proporsi pengeluaran untuk beras menempati porsi pengeluaran pangan terbesar baik di wilayah KT1 secara keseluruhan rnaupun di empat propinsi contoh dengan kisaran antara 22 sampai 32 persen. Di wifayah KT1 secara keseluruhan pangsa pengeluaran untuk beras hampir 28 persen dari total pengeluaran pangan, diikuti oleh porsi

Sulsel 29.0 1.2 1 .I 3.1 2.3 19.1 3.3 2.2 7.4 5.5 2.1 4.9 5.0 6.3 7.5 Maluku 22.3 0.3 8.1 4.1 2.1 17.6 1.9 2.2 11.3 3.8 1.9 6.9 7.0 5.8 4.8

(8)

pengeluaran untuk ikan sekitar ? 5 persen, sayuran, pangan lain, dan makanan jadi masing-masing sekitar 10 persen, 7 persen dan 6 persen dari total pengeluaran pangan. Secara nasional rata-rata pangsa pengeluaran untuk serealia (padi-padian termasuk beras) pada tahun yang sama sekitar 13 persen, dan porsi pengeluaran untuk umbi-umbian hanya sekitar satu persen (di KT1 untuk kedua jenis pangan tersebut masing-masing sekitar 2 dan 3 persen dari total pengeluaran pangan). Sesuai dengan potensi wilayahnya porsi pengeluaran untuk ikan di wilayah KT1 relatif tinggi dibanding porsi rata- rata rumahtangga secara nasional yaitu 15 persen dibanding 5 persen (BPS, 1996a).

Apabila pola pengeluaran rumahtangga di empat propinsi contoh dibandingkan, terlihat bahwa propinsi NTT yang merniliki pola pangan pokok beras-jagung memiliki pangsa pengeluaran untuk beras dan serealia lain (jagung termasuk di dalamnya) yang tinggi dibanding propinsi lainnya. Sementara itu di propinsi Maluku yang memiliki pola pangan pokok beras- sagu, merniliki pangsa pengeluaran untuk beras terendah dan urnbi-urnbian (sagu termasuk didalamnya) tertinggi dibanding propinsi lainnya.

Untuk pangan sumber protein, propinsi NTT sebagai wilayah sentra produksi ternak rnemiliki pangsa pengeluaran untuk daging yang tinggi (sekitar 7 persen) dibanding Sulawesi Selatan dan Maluku yang masing-masing hanya rnemiliki pangsa pengeluaran untuk daging sekitar 2 persen. Namun demikian Sulawesi Selatan dan Maluku sebagai wilayah perairan dengan potensi

(9)

perikanan memiliki porsi pengeluaran untuk ikan masing-masing sekitar 79 dan 18 persen dari total pengeluaran pangan (bandingkan dengan porsi pengeluaran ikan di NTT yang hanya sekitar 8 persen).

Hal rnenarik yang juga bisa diungkap dari Tabel 10 adalah relatif rnenonjolnya pangsa pengeluaran untuk rnakanan jadi yang berkisar antara 5.8 persen sampai 6.5 persen dari total pengeluaran pangan. Walaupun secara persentase proporsi pengeluaran makanan jadi tersebut rnasih kurang dari 10 persen namun dari segi urutan besarnya pangsa dalarn pola pengeluaran pangan rumahtangga menunjukkan adanya fenomena mulai disukainya konsurnsi pangan yang siap santap. Kecenderungan tersebut diduga sebagai dampak dari berkembangnya industri pengolahan pangan dan juga rurnah makanlwarung rnakan yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu rnakin rneningkatnya partisipasi wanita dafam angkatan kerja dan bekerja di luar rurnah yang berakibat makin terbatasnya waktu yang dapat dicurahkan oleh wanita untuk rnemasak diduga pula rnenjadi pendorong berperannya porsi pengeluaran makanan jadi datam sruktur pola pengeluaran rurnahtangga.

5.3. Proporsi Pengeluaran Non Pangan Menurut Jenis

Keragaan proporsi pengeluaran non-pangan menurut jenisnya di wilayah KT1 dapat disimak pada Tabel I I. Di wilayah KT1 secara keseluruhan, menurut daerah (desa-kota), rnaupun menurut kelompok pendapatan (rendah-

(10)

sedang-tinggi) terlihat bahwa proporsi pengeluaran untuk perurnahan rnenempati urutan pertarna diantara berbagai jenis pengeluaran non-pangan dengan pangsa sekitar 55 persen dari total pengeluaran non-pangan. Bahkan untuk rurnahtangga berpendapatan rendah lebih dari 60 persen (kecuali untuk rumahtangga kelompok pendapatan tinggi sekitar 50 persen). Oleh karena itu program kredit perumahan rakyat (KPR) yang telah dikembangkan selama ini perlu dipertirnbangkan keberlanjutannya, khususnya pada kelompok pendapatan rendah.

Pola dorninannya pangsa pengeluaran perumahan dalarn struktur pengeluaran non-pangan urnurnnya terjadi di negara berkernbang seperti Indonesia. Penelitian Maxwell, (2000) di Greater Accra, Ghana rnempunyai pola berbeda, dirnana pangsa pengeluaran untuk perurnahan hanya sebesar 4 persen dari total pengeluaran rumahtangga pada tahun 2000.

Tabel 11. Pola Pengeluaran Non Pangan Rurnahtangga di Wilayah KT1 Menurut Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996

(%) Jenis Pengeluaran Non Pangan Perurnahan Pendidikan Kesehatan Sandang Lainnya Total (Rp.OOO/kap/bln)

Kawasan Tirnur Indonesia Total 55.51 4.31 4.49 1 6.09 19.60 100.00 (40.08) Kota 55.45 5.44 4.58 13.93 20.60 100.00 (56.82) Desa 55.57 3.18 4.40 18.25 18.60 100.00 (23.35) Rendah 60.36 4.22 4.38 15.71 15.32 100.00 (1 4.50) Sedang 54.48 3.85 4.62 17.19 19.85 100.00 (31.09) Tinggi 49.52 3.98 4.43 f 6.48 25.57 . 100.00 (85.34)

(11)

Dorninannya pangsa pengetuaran perurnahan dalam struktur pengeluaran non-pangan tidak hanya terjadi di wirayah KT1 secara keseluruhan, namun konsisten terjadi di sernua propinsi baik di daerah kota, desa maupun pada tiga kelompok pendapatan (Lampiran 13 dan Lampiran 14).

Urutan berikutnya setelah perumahan adalah pangsa pengeluaran untuk sandang (dalam beberapa kategori urutan kedua adalah untuk pengeluaran lainnya). Namun demikian mengingat pengeluaran lainnya rneliputi berbagai jenis pengeluaran, maka besarnya porsi pengeluaran lainnya lebih disebabkan oleh penjumlahan berbagai jenis pengeluaran. Besarnya proporsi pengeluaran untuk sandang untuk berbagai kategori pengelompokan rumahtangga di KT1 berkisar antara 14-18 persen dari total pengeluaran non- pangan. Sementara itu porsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, masing-masing sekitar 4-5 persen dari total pengeluaran non-pangan.

Menarik untuk diungkap bahwa pangsa pengeluaran untuk pendidikan di daerah pedesaan yang lebih rendah dari pada di kota baik di KT! secara keseluruhan maupun keragaan di masing-masing propinsi (Lampiran 13), bahkan di daerah pedesaan NTT dan Timor Timur porsi pengeluaran untuk pendidikan kurang dari 2 persen. Hal ini menunjukkan relatif rendahnya perhatian ataupun prioritas terhadap bidang pendidikan di wilayah tersebut. Kenyataan tersebut dapat disebabkan setidaknya oleh dua ha1 yaitu terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah pedesaan dan masih kurangnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan.

(12)

5.4. Tingkat Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat

Karbohidrat rnerupakan salah satu jenis zat gizi yang berperan sebagai pernbangun tenaga (energi). Berbagai jenis pangan pokok umumnya terrnasuk kelompok pangan sumber karbohidrat. Keragaan tingkat konsumsi pangan surnber karbohidrat di wilayah KT1 rnenurut daerah dan kelornpok pendapatan pada tahun 1996 disajikan pada Tabel 12.

Konsurnsi beras terlihat masih mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat, baik di KT1 secara keseluruhan, rnenurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan. Tingkat konsurnsi beras rata-rata rurnahtangga di KT1 secara umum masih lebih rendah dibanding rata-rata konsumsi beras di tingkat nasionat (104.52 kglkaplth dibanding 154.49 kglkaplth). Apabila tingkat konsurnsi beras di daerah kota dibandingkan dengan wilayah pedesaan KTl, tingkat konsurnsi beras raia-rata rumah tangga di desa sedikit lebih tinggi dari pada di kota. Pola tersebut serupa dengan pola konsumsi beras rata-rata nasional namun di tingkat nasional perbedaan tingkat konsumsi beras antara penduduk kota dan desa cukup nyata (11.6 kglkapltahun) pada tahun yang sarna (BPS, 1996a). Dari Tabel 12 terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan semakin tinggi pula rata-rata tingkat konsumsi beras. Pola tersebut searah dengan pola konsurnsi beras rata-rata di tingkat nasional (Ewidodo,

a

g! 1999). Temuan tersebut rnengindikasikan bahwa di KT1 telah terjadi pergeseran pola pangan pokok yang rnengarah ke beras (dari sagulumbi-umbian lain rnaupun jagung).

(13)

Tabel 12. Tingkat Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Wilayah KT1 Menurut Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996

Jenis Pangan Beras Jagung Ubi kayu Ubi jafar Sagu Mielterigu Serealia lain Umbi-umbian lain

I

3.64

1

3.12

1

4.16

1

3.64

1

3.12

]

4.16 (eterangan: tingkat konsumsilkaplminggu dikalikan 52.

kglkaplth * Kawasan Timur Indonesia

Pergeseran p o l a pangan pokok y a n g rnengarah k e b e r a s juga ditunjukkan oleh bergesernya pola pangan p o k o k di propinsi-propinsi wilayah

Total 104.52 4.94 17.68 5.20 2.86 3.64 0.84

KTI. P a d a t a h u n 1979 h a n y a propinsi Kalsel y a n g berpola beras, pada tahun Desa 105.04 8.32 24.96 7.80 4.68 2.60 1.56 Kota 104.00 1.56 10.40 2.60 i .04 4.68 0.12

1996 propinsi NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltirn, Sulut, Sulteng d a n Sulsel rnenjadi propinsi-propinsi dengan pola p a n g a n pokok beras (Tabel 13). Beras

Rendah 99.37 8.32 23.40 6.76 3.64 2.60 1.56

s u d a h rnengarah p a d a komoditas bergengsi y a n g ditunjukkan oleh rneningkatnya konsumsi beras d e n g a n m a k i n tingginya pendapatan.

Sedang 106.60 6.78 16.64 4.68 2.60 3.64 1.04 Tinggi 113.36 3.12 13.52 4.16 2.60 5.72 0.52

(14)

Tabel 13. Distribusi Propinsi di KT1 Menurut Pola Konsurnsi Makanan Pokok Tahun 1979,1984, dan 1996

2

1

Beras + urnbi-urnbian

I

Kaltim. NTB, Kaltirn. Kalteng. Kalteng, Kalbar

I

Kalbar. Kalsel

1

-

No. Pola Makanan Pokok

I

1979 ' 1984 a

3. 4. 1996 5. 6. 9.

I

Beras + jagung

I

-

Beras + jagung + urnbi-urnbian

Beras + umbi-urnbian + jagung

7 .

8.

Beras + umbi-urnbian + sagu + pisang

Beras + sagu + umbi-urnbian

Sulut, NTT

Sulsel

Beras + umbi-umbian + sagu + jagung Beras + sagu 10. Maluku lrian Jaya Sulteng lrian Jaya

Keterangan: 1. Pola rnakanan pokok beras apabila surnbangan energl dari beras > 90% dari total energl rnakanan pokok.

2. Pola rnakanan pokok beras + rnakanan lain bila masing-masing rnakanan lain rnenyurnbang r 5% terhadap total energl rnakanan pokok.

3. Pada tahun 1996 surnbangan energi dari beras di propinsi NTB. Kalteng. Kalsel dan Kaltlrn masing-rnaslng rnencapai lebih dari 99 persen terhadap total energi makanan pokok.

Sulut. Tim-Tim NTT Maluku

Maluku, lrja

Beras + jagung + sagu + umbi- urnbian

? I.

Sultra

Sultra

Sumber : a. Pusat Penelitian Agro Ekonorni. f989. Pola Konsurnsi Pangan. Proporsi dan Ciri Rumah Tangga dengan Konsurnsi Energi di Bawah Standar Kebutuhan. Kerjasama Dit. Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Pernbinaan Kesehatan Masyarakat. Depkes dengan Puslit Agro Ekonomi. Laporan Penelitian.

b. Data Susenas 1996 (diolah). Beras + sagu + umbi-urnbian + iagung

(15)

Untuk wilayah KTI secara keseluruhan, tingkat konsurnsi ubikayu, ubi jalar, jagung. rnielterigu dan umbi-umbian lain, sagu serta serealia lain rnerupakan urutan tingkat konsurnsi pangan surnber karbohidrat seteiah beras dari yang besar ke yang kecil tingkat konsurnsinya. Pola urutan tingkat konsurnsi surnber karbohidrat selain beras polanya berbeda antara daerah kota dan desa. Untuk daerah kota peranan rnielterigu cukup rnenonjol (urutan ketiga setelah beras dan ubikayu). Sernentara itu untuk daerah pedesaan peranan jagung, ubi jalar, sagu, dan umbi-urnbian lainnya cukup rnenonjol, masing-masing urutan 3 persen, 4 persen, 5 persen, dan 6 persen setelah beras dan ubikayu. Tingginya konsurnsi ubikayu di wilayah KT1 terkait dengan perkembangan produksi ubikayu di wilayah KT1 yang cenderung meningkat setiap tahunnya (Larnpiran 15).

Urutan tingkat konsurnsi pangan surnber karbohidrat setelah beras dan ubikayu antar kelornpok pendapatan di KT1 rnerniliki pola yang berbeda. Pada kelornpok pendapatan rendah urutan besarnya tingkat konsurnsi adalah jagung, ubijalar, sagulumbi-urnbian lain, mielterigu dan terakhir serealia lain. Untuk kelornpok pendapatan sedang, urutan tersebut adalah, jagung, ubijalar. rniefterigu, urnbi-urnbian lain, sagu, serta serealia lain. Sementara itu untuk kelornpok pendapatan tinggi urutan tingkat konsurnsi setelah beras dan ubikayu adalah rnielterigu, ubijalar/umbi-urnbian lain, jagung, sagu, dan serealia lain.

(16)

Dari uraian di atas terungkap bahwa peranan mielterigu dalam struktur pola konsumsi pangan sumber karbohidrat menernpati urutan ketiga setelah beras dan ubikayu bagi rata-rata penduduk di wilayah kota dan penduduk berpendapatan tinggi di KT]. Sementara itu untuk rata-rata rumahtangga di desa dan kelompok penduduk berpendapatan rendah dan sedang urutan ketiga tesebut diisi oleh konsumsi jagung. Selain itu konsumsi ubijalar dan sagu terlihat cukup tinggi hanya di daerah pedesaan dan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah.

Keragaan tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat di masing- masing propinsi menurut daerah dan menurut kelompok pendapatan masing- masing dapat disimak pada Lampiran 16 dan Lampiran 17. Dari kedua lampiran tersebut beberapa ha1 yang penting diungkap adalah pertarna konsumsi jagung yang cukup tinggi terdapat di propinsi NTT dan Timor Timur baik di desa maupun di kota, konsumsi ubikayu yang cukup tinggi di daerah perkotaan Maluku, Tim-Tim dan NTT serta daerah pedesaan Maluku. Tim-Tim, Irja, NTT dan Suttra; Kedua, tingkat konsumsi ubijalar yang cukup tinggi terdapat di daerah pedesaan lrian Jaya. Maluku, dan Tim-Tim; konsumsi sagu yang tinggi terdapat di daerah perkotaan Sulawesi Tengah, lrian Jaya, Sulawesi Tenggara dan Maluku serta daerah pedesaan lrian Jaya, Maluku Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Ketiga, tingkat konsumsi jagung yang tinggi di propinsi NTT dan Timor Timur terutama adalah konsumsi oleh kelompok pendapatan rendah dan sedang, demikian pula

(17)

tingkat konsumsi ubijalar yang tinggi di wilayah lrian Jaya dan Maluku terutarna dikonsurnsi oleh kelornpok penduduk pendapatan rendah dan sedang. K e e m p a t , tingginya konsurnsi sagu di lrian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku terjadi di ketiga kelornpok pendapatan dengan besaran tingkat konsurnsi per kapita yang harnpir sama antar kelornpok pendapatan.

Larnpiran 18 sarnpai dengan Larnpiran 21 masing-masing rnenyajikan inforrnasi tentang tingkat konsurnsi energi dan protein dari pangan surnber karbohidrat menurut propinsi, daerah dan kelornpok pendapatan. Hal penting yang dapat diungkap dari keernpat lampiran tersebut adalah bahwa peranan beras sebagai penyurnbang utama dalarn konsurnsi energi rnaupun protein rnendorninasi jenis pangan surnber karbohidrat yang lain. Hal ini rnerupakan konsekuensi logis dari besamya tingkat konsurnsi beras di masing-masing propinsi secara rata-rata rnaupun berdasar daerah dan kelornpok pendapatan dibanding pangan surnber karbohidrat yang lain.

5.5. T i n g k a t Konsumsi Pangan Surnber Protein Hewani

Protein merupakan salah satu jenis zat gizi yang berperan sebagai zat pembangunl untuk perturnbuhan (khususnya perturnbuhan otak bagi janin dan balita). Menurut sumbernya protein dapat diperoleh dari pangan hewani (hasil ternak) dan nabati (hasil tanarnan). Keragaan tingkat konsurnsi pangan surnber protein hewani di wilayah KT1 rnenurut daerah dan kelornpok

(18)

pendapatan disajikan pada Tabel 14. Diantara jenis pangan surnber protein hewani, tingkat konsumsi ikan di wilayah KT1 paling tinggi, dengan perbedaan kuantitas yang sangat nyata (sekitar 6 kali lipat dari konsumsi telur, 10 kali lipat dari konsumsi daging ayam, 16 kali lipat dari konsumsi daging sapi, dan sekitar 22 kali lipat dari konsumsi susu).

Apabila tingkat konsumsi pangan sumber protein hewani antar daerah dibandingkan, terlihat bahwa untuk semua jenis pangan tingkat konsumsi rata- rata penduduk di kota lebih tinggi dari pada di desa. Temuan ini searah dengan hasil penelitian sebelumnya (Ariani,

&

2000; Erwidodo,

&

1998 dan Erwidodo, &

&

1999). Perbedaan tingkat konsumsi pangan hewani antara kota dan desa cukup mencolok yaitu hampir dua kali lipat untuk semua jenis pangan, kecuali ikan perbedaannya tidak terlalu besar.

Tabel 14. Tingkat Konsumsi Pangan Surnber Protein Hewani di Wilayah KT1 Menurut

Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996

Apabila rurnahtangga di KT1 dibedakan menurut tingkat pendapatan, konsisten untuk sernua jenis pangan sumber protein hewani bahwa tingkat kglkaplth ' Jenis Pangan Daging sapi Daging ayam Daging lainnya lkan Telur Susu

Keterangan : * Tingkat konsumsilkaplminggu dikalikan 52.

Kawasan Timur Indonesia Total 1.95 3.07 0.55 31.54 5.04 1.46 Kota 2.08 4.00 0.73 33.59 6.86 2.24 Desa 1.82 2.13 0.36 29.48 3.22 0.68 Rendah 1.04 1.35 0.31 28.60 3.43 0.52 Sedang 1.86 2.70 0.47 30.32 4.26 1.20 Tinggi 3.90 5.98 0.94 37.80 6.81 2.65

(19)

konsurnsi semakin tinggi dengan rnakin tingginya tingkat pendapatan. Pola konsurnsi seperti itu searah dengan pola konsurnsi rata-rata nasional seperti dilaporkan oleh Erwidodo,

et

(1998). Mengingat pentingnya pangan surnber protein bagi kecerdasan bangsa, rendahnya tingkat konsurnsi protein hewani bagi kelornpok penduduk berpendapatan rendah (khususnya bagi wanita hamillrnenyusui dan balita), rnaka upaya peningkatan konsurnsi bagi mereka perlu diperhatikan. Hal ini karena tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan kernampuan rnernbeli pangan tersebut rendah, oleh karena itu program pernberian makanan tarnbahan bagi kelornpok penduduk rawan gizi perlu diberdayakan secara optimal terutarna pada rurnahtangga berpendapatan rendah. Program pernberdayaan Posyandu yang dicanangkan pernerintah (Departernen Kesehatan, 1998) rnerupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk rnembantu peningkatan konsurnsi pangan sumber protein hewani bagi rurnahtangga berpendapatan rendah.

Larnpiran 22 dan Larnpiran 23 rnenyajikan keragaan tingkat konsurnsi pangan surnber protein hewani di 13 propinsi wilayah KT1 rnenurut daerah dan menurut kelompok pendapatan. Beberapa ha1 penting yang dapat diungkap dari kedua tabel lampiran tersebut adalah pertarna, di daerah perkotaan KTI, tingkat konsurnsi daging sapi tertinggi di propinsi Timor Timur (0.173 kglkaplrninggu) diikuti oleh propinsi NTT, Sulut dan Kalteng, sedang konsurnsi daging sapi terendah di propinsi Maluku (0.01 kglkaplrninggu); konsumsi daging ayarn tertinggi di Kalbar (0.162 kglkaplrninggu), diikuti oleh propinsi

(20)

Kalteng, Kattirn. NTT. dan Sulut. terendah di Maluku (0.02 kglkapl minggu); konsurnsi telur teti~nggi di propinsi Tim-Tim (0.002 kglkaplrninggu) diikuti oleh propinsi Kalbar. Kalteng. Kalsel, dan Kaltirn. terendah di Maluku (0.053 kglkaplrninggu); tingkat konsurnsi susu di perkotaan KT1 relatii kecil berkisar antara 0.020 kglkaplminggu di NTB sampai 0.069 kglkaplminggu di propinsi lrian Jaya.

Kedua, di daerah pedesaan KT!, tingkat konsurnsi daging sapi berkisar antara 0.001 kglkaplminggu di Maluku sarnpai 0.136 kglkaplminggu di lrian Jaya; konsumsi daging ayam berkisar antara 0.001 kglkaplrninggu di Maluku sampai 0.09 kglkaplminggu di Kalimantan Tengah, konsumsi ikan tertinggi di propinsi Maluku (1.03 kglkaplrninggu) dan terendah di propinsi Tim-Tim (0.1 14 kglkapl rninggu); untuk telur, konsumsi tertinggi di Kalsel (0.1 14 kglkaplminggu dan terendah di propinsi NTT (0.019 kglkaplrninggu); konsurnsi susu di pedesaan KT1 relatif kecil dengan kisaran antara 0.006 kglkaplrninggu (di NTT) sampai 0.031 kglkaplrninggu di propinsi Kalirnantan Selatan.

Ketiga, walaupun secara urnurn KT1 terlihat poia yang konsisten untuk sernua jenis pangan surnber protein hewani yaitu makin tinggi tingkat konsurnsi dengan makin tingginya pendapatan, namun keragaan di rnasing- masing propinsi terdapat beberapa jenis pangan yang pola konsurnsinya tidak konsisten. Sebagai contoh untuk konsurnsi daging sapi di propinsi Tim-Tim, Kalbar dan Sutut, konsurnsi rneningkat dari keiompok pendapatan rendah ke

(21)

sedang, narnun dari kelornpok pendapatan sedang ke pendapatan tinggi tingkat konsumsi daging sapi justru mengalarni penurunan.

5.6. Tingkat Konsumsi Pangan Sumber Protein

Nabati

Diantara ketiga jenis pangan sumber protein nabati, tingkat konsurnsi kacang-kacangan lain di KT1 relatif paling tinggi (3.12 kg/kap/tahun). Sernentara itu secara urnurn rata-rata konsurnsi tahu di KT1 sedikit lebih tinggi dibanding tempe sebesar 2.65 dibanding 2.50 kglkaptth (Tabel 15).

Tabel 15. Tingkat Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati di Wilayah KT1 Menurut Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996

kglkaplth '

Seperti halnya konsurnsi pangan sumber protein hewani, tingkat konsurnsi pangan sumber protein nabati di daerah kota di KT1 lebih tinggi dari pada di daerah pedesaan KTI. Dalarn ha1 ini, untuk konsumsi tahu dan ternpe di kota lebih dari 2 kali lipat dibanding konsurnsi tahu dan ternpe di desa.

Apabila dilihat antar kelornpok pendapatan, terdapat pola yang konsisten untuk semua jenis pangan sumber protein nabati yaitu tingkat konsumsi rneningkat dengan sernakin tingginya tingkat pendapatan. Sekali lagi data pada Tabel 15 rnendukung data sebelurnnya (Tabel 14) bahwa

Jenis Pangan Tahu

Tempe

Kacang-kacangan lain

Kawasan Timur Indonesia

Total ) Kota

1

Desa

I

Rendah

I

Sedang

1

Tinggi 2.65

1

4.26

1

1.82

1

2.18

1

2.55

1

4.21 Keterangan: " Tingkat konsumsi/kap/minggu dikalikan 52.

2.50 3.12 3.80 3.80 1.77 3.48 2.13 2.29 2.34 3.48 3.54 5.30

(22)

kelornpok penduduk atau rurnahtangga berpendapatan rendah rnerupakan kelornpok masyarakat yang perlu mendapat perhatian dalarn peningkatan konsumsi protein. Selain itu, dari Tabel 14 dan 15 juga terungkap bahwa rata- rata penduduk di daerah pedesaan pertu rnendapat prioritas program dibanding di kota apabila terdapat program peningkatan konsurnsi pangan khususnya pangan surnber protein. baik melalui program peningkatan pendapatan ataupun program bantuan pangan.

Keragaan tingkat konsurnsi pangan sumber protein nabati rnasing- rnasing propinsi di KT1 rnenurut daerah dan rnenurut kelornpok pendapatan pada tahun 1996 dapat disirnak pada Larnpiran 24 dan Larnpiran 25. Secara urnum terlihat bahwa konsumsi ketiga jenis pangan surnber protein nabati di kota lebih tinggi dari pada di desa di harnpir sernua propinsi, kecuali konsurnsk tahu di Maluku dan konsumsi kacang-kacangan lain di propinsi Tim Tim, Sulut, Sulteng, Sulsel dan lrian Jaya.

Keragaan antar kelornpok pendapatan di masing-masing propinsi di KT1 menunjukkan bahwa secara urnurn untuk ketiga jenis pangan sumber protein nabati rnakin tinggi tingkat pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsurnsi. Narnun demikian terdapat sedikit pengecualian untuk konsurnsi tahu di Kalimantan Tengah dari kelornpok pendapatan rendah ke sedang konsurnsi tahu rnenurun, tetapi dari kelornpok pendapatan sedang ke pendapatan tinggi konsumsinya meningkat lagi. Pengecualian seperti itu terjadi juga untuk

(23)

konsurnsi tempe di propinsi Kalimantan Tengah dan Kalirnantan Tirnur. serta konsurnsi kacang-kacangan lain di propinsi Kalirnantan Tirnur.

5.7. Tingkat Konsumsi Pangan Sumber VitaminlMineral, MinyaWLernak dan Pangan Lain

Kondisi tubuh yang sehat dari seseorang dapat diperoleh dengan mengkonsumsi rnakanan yang seirnbang menurut norrna gizi. Selain karbohidrat, protein (hewani dan nabati). diperlukan vitamin dan mineral yang berfungsi sebagai zat pengatur rnetabolisme tubuh. Sayuran dan buah- buahan merupakan dua jenis pangan surnber vitarninlrnineral yang utama. Selain itu IemaWminyak dan pangan lainnya juga diperlukan bagi tubuh. Tabel 16 rnenyajikan keragaan tingkat konsurnsi pangan sumber vitarninlrnineral, minyak/lernak dan pangan lainnya di KT1 menurut daerah dan kelompok pendapatan.

Tabel 16. Tingkat Konsumsi Pangan Sumber Vitamin Mineral, Minyakllemak, dan Pangan tainnya di KT1 Menurut Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996

Jenis Pangan Total

I

Kawasan Timur Indonesia

Kota

I

Desa

1

Rendah

1

Sedang

1

Tinggi Sb. vitaminlmineral :

-

sayuran - buah-buahan Minyakllernak Pangan lain :

-

gula pasir - pangan lainnya 60.57 35.46 29.95

Keterangan: ' tingkat konsumsilkaplminggu dikalikan 52. 16.13 200.47 60.22 36.18 27.57 17.85 279.10 60.78 35.02 31.23 15.09 159.10 37.08 18.67 19.30 9.30 80.82 65.31 36.58 33.81 97.97 66.72 42.96 17.41 201.89 27.23 286.90

(24)

Dari Tabel 16 terlihat bahwa tingkat konsumsi sayuran rata-rata rumahtangga di kota sedikii lebih rendah dari pada di desa, namun untuk konsumsi buah-buahan terjadi ha1 sebaliknya. Selain itu, rata-rata rumahtangga di daerah perkotaan juga mengkonsumsi rninyakllemak, gula pasir dan pangan lainnya lebih banyak dibanding rata-rata konsumsi penduduk desa.

Apabila keragaan tingkat konsumsi beberapa jenis pangan tersebut dibedakan menurut kelompok pendapatan, konsisten untuk semua jenis pangan sayuran, buah-buahan, rninyakllemak. gula pasir dan pangan lainnya konsumsinya makin tinggi dengan meningkatnya pendapatan. Data pada Tabel 16 juga mendukung pembahasan sebelumnya yaitu bahwa kelompok penduduk pendapatan rendah dan daerah pedesaan rata-rata mengkonsumsi (hampir) sernua jenis pangan yang lebih rendah dibanding kelompok pendapatan sedang dan tinggi ataupun penduduk daerah kota. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan penduduk, maka program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan perlu diprioritaskan pada kelompok pendapatan rendah dan penduduk daerah pedesaan.

5.8. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Diantara berbagai jenis zat gizi, energi dan protein merupakan dua jenis zat gizi yang umum digunakan sebagai indikator untuk mengukur status gizi

(25)

(terutama bagi penduduk usia bawah lima tahun). Oleh karena itu penting menelaah seberapa jauh tingkat konsumsi berbagai jenis pangan yang telah dibahas pada bagian sebelumnya menghasilkan kondisi kesehatan penduduk yang memadai menurut norrna gizi. Tabel 17 menyajikan tingkat konsumsi energi dan protein oleh rata-rata penduduk di wilayah KTt menurut daerah dan kelompok pendapatan.

Tabel 17. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi dan Protein di Wilayah KT1 Menurut Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996

(Kkallkapihari)

'

Kota Desa Total Uraian Konsurnsi energi

I

Total 45.59 60.19 76.84 57.69

Keterangan: ' sebagai acuan tingkat konsumsi energi dan protein yang dianjurkan masing-masing sebesar 2150 KkaVkapIhari dan 46.2 gr/kap/hari (WKNPG V, 1993).

Konsumsi protein (grarnlkaplhari)"

Kota Desa

Dari Tabel 17 terlihat bahwa di wilayah KT1 secara total maupun rata- rata di kota atau desa tingkat konsumsi energi penduduknya masih kurang dari standar norma gizi yang dianjurkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 1993 (2 128 Kkallkaplhari vs 2 150 Kkallkaplhari untuk KT1 secara rata-rata). Namun demikian tingkat konsumsi protein sudah

Total Kelompok Pendapatan

melebihi batas yang dianjurkan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pola Rendah 44.23 45.86 Sedang 56.02 63.19 Tinggi 74.85 82.07 61.20 55.55

(26)

konsumsi rata-rata penduduk KT1 yang rnengkonsurnsi ikan jauh di atas rata- rata konsurnsi ikan nasional. Dalarn hal ini, ikan rnerupakan jenis pangan yang rnerniliki kandungan protein cukup tinggi.

Searah dengan pola konsumsi pula bahwa rendahnya tingkat konsumsi (hampir) semua jenis pangan rata-rata penduduk desa dan penduduk kelornpok pendapatan rendah rnenyebabkan rendahnya pula konsurnsi energi dan protein mereka dibanding kelornpok penduduk kategori yang lain. Tingkat konsurnsi energi rata-rata penduduk pedesaan wilayah KT1 sekitar 99 persen dari norma yang dianjurkan. Sementara itu tingkat konsurnsi energi kelornpok penduduk berpendapatan rendah baru rnencapai 84 persen dari standar kecukupan energi yang dianjurkan WKNPG V dan untuk konsumsi protein sudah mencapai 99 persen dari anjuran. Narnun tingkat konsumsi protein kelornpok penduduk KT1 kategori yang lainnya sudah melebihi standar kecukupan protein yang dianjurkan oleh WKNPG V.

Sesuai dengan pola konsurnsi yang ada. terlihat beras berperan sangat dorninan dalam menyumbang energi rata-rata penduduk di KTI. Dalarn hat ini lebih dari 54 persen konsurnsi energi berasal dari konsurnsi beras (Tabel 18). Pola tersebut selama 18 tahun sedikit sekali rnengalami pergeseran. Hasil penelitian Chernichovsky and Meesook ('1984) dengan rnenggunakan data Susenas tahun 1978 rnenunjukkan bahwa proporsi beras dalam total konsumsi energi sebesar 57.3 persen dan 60.8 persen masing-masing untuk Jawa dan luar Jawa. Selain beras, jenis pangan yang cukup berperan dalam

(27)

rnenyumbang konsurnsi energi rata-rata penduduk wilayah KT1 adalah minyak goreng, umbi-umbian, gula pasir, ikan dan pangan lain dengan pangsa s e k i i r 4-1 0 persen.

Tabel 18. Pangsa Masing-masing Jenis Pangan Terhadap Konsumsi Energi dan Protein di Wilayah KTI, Tahun 1996

(%)

Dari Tabel 18 juga terungkap bahwa beras dominan pula dalam rnenyumbang konsurnsi protein rata-rata penduduk KTI, dengan pangsa lebih dari 46 persen. Sesuai pula dengan pola konsurnsinya, ikan rnenempati urutan kedua setelah beras dalam menyurnbang konsurnsi protein rata-rata penduduk KT1 dengan pangsa lebih dari 21 persen. Selain itu jenis pangan lain yang cukup berperan dalam rnenyumbang konsurnsi protein penduduk

Jenis Pangan Beras Serealia lain Urnbi-umbian Mielterigu Daging lkan Teiur Susu Sayuran Buah-buahan Kacang-kacangan Gula pasir Minyak goreng Makanan Jadi Pangan lain Konsumsi Energi 54.3 3.0 5.3 2.2 1.9 4.1 0.8 0.8 1.7 2.1 2.2 5.3 10.5 1.8 4.2

.

.

Konsumsi Protein 46.2 2.6 1 .I 1.9 4.2 21.2 2.3 1.7 4.9 0.9 6.3 0.0 I.? 2.7 3.5

(28)

wilayah KT1 adalah kacang-kacangan, daging, sayuran, dan pangan Iain dengan pangsa berkisar antara 3.5 - 6.3 persen dari total konsumsi protein.

5.9. Pola Konsumsi Pangan Antar Wilayah

Seperti telah diungkap dalam metoda penelitian, untuk menangkap keragaman sumberdaya wilayah dan sosio-budaya seternpat, analisis pola konsumsi (dan permintaan) pangan dilakukan pemilihan propinsi secara purposive empat propinsi yaitu NTT untuk daerah lahan kering potensi peternakan, Kalteng daerah pedalaman potensi perkebunanlkehutanan, Sulsel untuk derah subur dan potensi tanaman pangan (padi), serta Maluku sebagai wilayah kepulaan dengan potensi perikanan.

Keragaman sumberdaya dan sosio-budaya tersebut terlihat pula dalam keragaman pola konsumsinya. Dari beberapa jenis pangan penting dapat dilihat bahwa propinsi NTT yang beragroekosistem lahan kering dengan potensi usaha peternakan mengkonsumsi beras relatif sedikit dan rnengkonsumsi daging serta jagung lebih tinggi dibanding propinsi lainnya. Sulawesi Selatan sebagai wilayah sentra produksi tanaman pangan (padi) di wilayah KTI, tingkat konsumsi berasnya teti~nggi dibanding propinsi lainnya. Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan basis sumberdaya perikanan mengkonsumsi beras paling sedikit namun konsumsi umbi-umbian (sagu tennasuk di dalamnya) dan ikan relati tinggi. Sementara itu di Kalimantan Tengah, sebagai daerah pedalaman dengan basis sumberdaya hutanlkebun,

(29)

pola konsumsi makannya berada diantara ketiga propinsi lainnya baik dalam beras maupun jenis pangan yang lain (Tabel 19).

Apabila tingkat konsumsi pangan dikaitkan dengan proporsi pengeluaran masing-masing jenis pangan terhadap total pengeluaran pangan (Tabet 20) ternyata tidak selalu searah. Sebagai contoh, propinsi NTT yang tingkat konsurnsi berasnya lebih kecil dari Sulsel dan Kalteng, mengatokasikan pengeluaran untuk beras lebih tinggi dibanding di Sulsel dan Kalteng. Hal ini wajar mengingat dalam struktur pengeluaran, selain tingkat konsumsi (jumlah) juga dipengaruhi oleh faktor harga. ketersediaan, dan distribusi pangan yang ada di wilayah yang bersangkutan.

Tabel 19. Tingkat Konsumsi Beberapa Pangan Penting di Propinsi NTT, Kalteng, Subel, Maluku Tahun 1996

kglkaplth * Jenis Pangan Beras Jagung Ubikayu Ubijalar Sagu Mielterigu Daging sapi Daging ayam l kan Telur Gula pasir Minyak goreng

Keterangan: * tingkat konsurnsilkap/minggu dikalikan 52. NTT 111.54 23.66 9.1 0 0.08 0.00 2.60 2.64 2.81 15.24 2.1 8 1 1.85 28.05 Kalteng I 1 9.60 0.00 12.74 3.12 1.56 3.64 1.87 6.08 36.04 6.76 20.97 22.92 Sulsel 128.70 2.34 4.34 1.82 1.30 3.90 0.73 1.87 36.76 4.89 15.75 24.55 Maluku 82.94 1.56 12.48 6.76 4.68 2.60

0.29

0.55 41 -70 2.24 17.80 44.28

(30)

Tabel 20. Pangsa Pengeluaran Berbagai Jenis Pangan Terhadap Total Pengeluaran Pangan Rumahtangga di NTT, Kalteng,

Sulsel. dan Maluku. Tahun 1996

Sulsel 29.0 1.2 1.1 3.1 2.3 19.1 3.3 2.2 7.4 Jenis Pangan Beras Serealia lain Umbi-umbian Mielterigu Daging l kan Tel u r Susu Sayuran Buah-buahan Kacang-kacangan Gula pasir Minyak goreng Makanan jadi Pangan lain

(%I

Maluku 22.3 0.3 8.1 4.1 2.1 17.6 1.9 2.2 11.1 3.8 1.9 6.9 7.0 5.8 4.8

Dengan pola konsumsi (dan pengeluaran) seperti di atas, keragaan NTT

32.4 8.1

tingkat konsumsi energi dan protein di empat propinsi contoh menurut daerah Kalteng

24.9 0.1

dan kelompok pendapatan dapat disimak pada Tabel 21. Dari Tabel 21 terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk desa di NTT dan Sulsel

3.1 2.0 6.6 7.9

relatif lebih tinggi dibanding rata-rata konsumsi energi penduduk kota. Narnun 1.2

3.1 7.0 19.0

di propinsi Kalteng dan Maluku berlaku ha1 sebatiknya. Seperti halnya keragaan rata-rab konsumsi energi di wilayah KT1 secara keseluruhan, tingkat

1.6 1.3 11.9 3.9 2.0 4.8 5.1 5.8 3.5

konsumsi energi rata-rata penduduk di ernpat propinsi contoh masih lebih 4.0 2.3 9.7 4.5 2.4 4.6 4.1 6.5 7.1

rendah dari rata-rata kecukupan energi yang dianjurkan dalam WKNPG V tahun 1993, kecuali Sulsel yang hampir sarna dengan anjuran.

(31)

Tabel 21. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi dan Protein di NTT. Kalteng. Sulsel. dan Maluku menurut Daerah dan Kelornpok Pendapatan, Tahun 1996

Apabila rumahtangga di empat propinsi dibedakan menurut kelompok pendapatan, terlihat pola konsumsi energi yang konsisten di masing-masing wilayah. Dalarn ha1 ini sernakin tinggi tingkat pendapatan, sernakin tinggi pula rata-rata konsurnsi energinya. Dari tiga kelornpok pendapatan yang dianalisis, hanya kelornpok pendapatan rendah di empat propinsi serta kelompok pendapatan sedang di Maluku yang memiliki tingkat konsumsi energi kurang dari kecukupan yang dianjurkan dengan kisaran antara 79 sampai 87 persen

Uraian

Konsumsi energi (Kkal/kap/hr) Menurut wilayah: Kota + Desa Kota Desa Kelompok pendapatan: Rendah Sedang Tinggi

Konsumsi protein (grmtkapthr) Menurut wilayah: Kota + Desa Kota Desa Kelompok pendapatan Rendah Sedang Tinggi - dari anjuran. NTT 2 130 2 123 2 133 1 749 2 238 2 676 55.97 59.51 54.53 43.62 57.55 77.50 Ualteng 2 214 2 217 2 210 1 877 2 292 2 731 63.74 66.51 6? .58 51.82 65.61 83.82 Sulsel 2 149 2 110 2 179 1 873 2 217 2 566 60.65 61 .O1 60.37 50.94 62.70 75.95 Maluku 2 035 2 055 2 019 1 698 2 139 2 496 52.61 54.83 50.79 40.43 56.40 69.23

(32)

Rata-rata tingkat konsumsi protein di empat propinsi contoh secara total maupun rata-rata daerah desa maupun kota telah melebihi standar kecukupan yang dianjurkan WKNPG V. Namun demikian apabila dilihat antar kelompok pendapatan, rata-rata konsumsi protein rumahtangga berpendapatan rendah di propinsi NTT dan Maluku masih kurang dari rata-rata kecukupan yang dianjurkan, masing-masing baru mencapai 94 persen dan 87 persen dari anjuran.

Apabila rata-rata konsumsi energi dan protein di empat propinsi contoh dirinci berdasar kontribusi masing-masing jenis (kelompok) pangan, keragaannya dapat disimak pada Tabel 22. Dari kelima belas kelompok pangan yang dianalisis, terlihat beras memberikan kontribusi terbesar dalam menyumbang energi di empat propinsi contoh dengan kisaran antar 40 persen (di Maluku) sampai 60 persen di Sulawesi Selatan. Di propinsi NTT, urutan kedua setelah beras adalah serealia lain (jagung termasuk didalamnya) mencapai lebih dari

13

persen terhadap total konsurnsi energi, diikuti oleh kontribusi minyak goreng (sekiiar 9 persen), dan umbi-umbian serta gula pasir masing-masing sekitar 5 persen dan 4 persen dan total konsumsi energi rata- rata penduduk di NlT.

Di propinsi Kalteng, peranan minyak goreng, gula pasir, serta pangan lain cukup menonjol setelah beras, masing-masing berkontribusi sekitar 9 persen, 7 persen dan 5 persen terhadap rata-rata konsumsi energi penduduk di Kalteng. Pota serupa tejadi di Sulawesi Selatan dengan pangsa ketiga

(33)

jenis pangan tersebut berturut-turut sebesar 9 persen, 5 persen, dan 4 persen, ditambah pangsa ikan yang juga sekibr 4 persen terhadap konsumsi energi rata-rata penduduk Sulsel. Propinsi Maluku memiliki pola yang berbeda, di wilayah ini peranan umbi-umbian (sagu terrnasuk didalamnya) teriihat cukup menonjol (sekitar 13 persen) setelah beras dan minyak goreng. Urutan berikutnya adalah kontribusi gula pasir. ikan dan makanan jadi masing-masing berturut-turut sekitar 7 persen dan 5 persen terhadap rata-rata konsumsi energi di wilayah Maluku.

Tabel 22. Pangsa Konsumsi Energi dan Protein Masing-masing Jenis Pangan Terhadap Rata-rata Konsumsi di NTT, Kalteng, Sulsel dan Maluku, Tahun 1996

(%I

Untuk konsumsi protein. tellihat di keempat propinsi bahwa beras mempunyai peran paling besar dalam menyumbang rata-rata konsumsi protein dengan kisaran antara

36.2

persen di Maluku dan 49.4 persen di Sulawesi

Jenis Pangan Beras Serealia lain Umbi-umbian Mielterigu Daging lkan Telur Susu Sayuran Buah-buahan

Pangsa Konsumsi Energi Pangsa Konsumsi Protein

2.2 7.1 15.9 5.3 0.7 N77 44.7 12.9 1.3 1.3 5.1 11.8 1.1 0.7 9.5 0.8 5.5 0.0 1.2 2.3 1.6 NTT Kalteng Sulsel Kacang-kacangan Gula pasir Minyak goreng Makanan jadi Pangan lain Maluku 7.0 0.0 0.6 3.5 3.3 2.6 7.2 9.5 2.2 5.3 2.2 4.5 9.5 1.5 1.8 39.9 0.3 23.4 3.1 0.8 5.3 0.4 0.8 1.9 2.8 Maluku 50.1 13.3 5.3 1.5 2.4 1.9 0.4 0.4 3.0 2.1 Kalteng 2.3 5.3 9.5 1.9 4.4 Sulsel 5.3 0.0 0.9 2.5 1.9 44.1 0.0 0.8 1.8 6.7 22.3 3.1 1.3 4.5 0.9 54.1 0.1 2.9 2.2 3.3 3.9 1.3 1 .O 2.8 2.7 5.3 0.0 2.1 2.6 3.3 59.6 1.7 2.0 2.4 1.0 4.3 0.9 0.8 1.3 2.5 49.4 1.4 0.4 1.9 2.2 25.1 2.3 0.9 3.3 0.9 36.2 0.3 3.2 2.3 1.9 33.3 1.2 1.1 5.9 1.2

(34)

Selatan. Setelah beras, ikan menempati urutan kedua dalam menyumbang konsumsi protein rata-rata penduduk di Kalteng, Sulsel, dan Maluku masing- masing pangsanya sekiar

22

persen. 25 persen dan 33 persen dari total konsumsi protein. Sementara itu di wilayah NTT sesuai dengan pola konsumsi pangan pokoknya, urutan kedua ditempati oleh serealia lain (termasuk jagung) dengan pangsa sekitar 13 persen dan total konsumsi protein. Selain itu peranan ikan, sayuran, daging dan kacang-kacangan dalam menyumbang konsumsi protein di NTT juga cukup menonjol, masing-masing kontribusinya sekitar 12 persen, 9 persen dan 5 persen terhadap rata-rata konsumsi protein di NTT.

Di propinsi Kalimantan Selatan, peran kacang-kacangan, daging. dan sayuran cukup menonjol dengan kontribusi masing-masing sekitar 7 persen, 6.7 persen dan 4.5 persen terhadap total konsumsi protein. Di Sulawesi Selatan kontribusi kacang-kacangan. sayuran dan makanan jadi sekitar 5 persen, 3 persen dan 2.5 persen dari total konsumsi protein. Sementara itu di propinsi Maluku peranan sayuran, kacang-kacangan, pangan lain dan urnbi- umbian menempati urutan setelah beras dan ikan. Kontribusi masing-masing jenis pangan tersebut berturut-turut sekitar 6 persen, 5 persen dan 3 persen dari rata-rata konsumsi protein di propinsi Maluku.

Gambar

Tabel 8.  Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rurnahtangga di  KT1 Menurut Kelompok Pendapatan dan Daerah, Tahun  1996
Tabel 9 .   Proporsi Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumahtangga di  KT1 Menurut Daerah dan Klas Konsumsi Energi, Tahun  1996
Tabel 10.  Pangsa Pengeluaran Berbagai Jenis Pangan Terhadap Total Pengeluaran  Pangan Rurnahtangga KT1 dan 4 Propinsi Contoh, Tahun  1996
Tabel 11.  Pola Pengeluaran Non Pangan Rurnahtangga di Wilayah KT1  Menurut  Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun  1996
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) t hitung metode CIRC sebesar (4.229) > t tabel (2.000) dan selisih nilai posttest sebesar 8,38 sehingaa penerapan metode CIRC efektif

Materi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah algoritma Neural Network yang dilihat dari variabel – variabel seperti varian Jenis industri hilir aluminium

Digunakan sebagai alat pembatas atau untuk menutupi permukaan kendaraan agar tidak terkena cat pada saat proses

Tahap akhir dari proses penelitian adalah penulisan laporan yang menyajikan data/ informasi/temuan secara sistimatik dan logik. Laporan akhir penelitian adalah laporan ilmiah

valve dan sesudah shutdown valve. 2) Apabila ditinjau dari nilai time respons shutdown valve, kinerja shutdown valve masih tergolong bagus, karena dapat menutup aliran fluida

Alat dan sarana transportasi yang telah lancar itu membuat pompong, sebuah angkutan sungai, tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat.. Nasib pompong pun sama seperti sampan

Uji aktivitas katalis CaO/abu layang yang dihasilkan dari limbah menunjukan bahwa katalis tersebut aktif dalam reaksi transesterifikasi sintesis biodiesel. Dibandingkan

Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan komunikasi interpersonal antara guru dengan siswa penyandang autis di Sekolah Luar Biasa Insan Mutiara Pekanbaru dalam