• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggagas Arah Perkembangan Paradigma Baru Historiografi Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menggagas Arah Perkembangan Paradigma Baru Historiografi Indonesia."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGAGAS ARAH

PERKEMBANGAN PARADIGMA BARU

HISTORIOGRAFI INDONESIA

MAKALAH

Disampaikan dalam Konfer ensi Nasional Sejar ah IX pada tanggal 5-8 Juli 2011 di Jakar ta; diselenggar akan oleh Dir ektor at Geogr afi Sejar ah, Dir ektor at Jender al Sejar ah dan Pur bakala,

Kementer ian Kebudayaan dan Par iw isata yang beker ja sama dengan Masyar akat Sejar aw an Indonesia

Oleh

Mumuh Muhsin Z.

DIREKTORAT GEOGRAFI SEJARAH

DIREKTORAT JENDERAL SEJARAH DAN PURBAKALA KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

(2)

MENGGAGAS ARAH

Perkembangan historiografi di Indonesia belakangan ini, terutama yang diproduksi oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi (skripsi, tesisi, disertasi), semakin menunjukkan gejala ke arah antikuarianism. Gejala ini nampak menonjol terutama pada batas periode kajian yang semakin jauh dari periode kekinian. Hal ini, bisa jadi, cukup mengasyikkan secara keilmuan. Akan tetapi nilai praktis atau jarak antara kajian dengan kemanfaatan praktisnya akan semakin jauh.

Kenyataan ini mengandung beberapa implikasi yang kurang menguntungkan sejarawan khususnya dan masyarakat umumnya, di antaranya, adalah:

1. Karya akademik (skripsi, tesis, disertasi) yang diproduksi dengan biaya yang cukup mahal itu hanya berakhir di laci atau rak perpustakaan. Kalaupun sampai dicetak dan dipasarkan, tentu saja dengan konsumen yang terbatas.

2. Dalam penelitian yang dikompetisikan yang dibiayai oleh sejumlah lembaga, banyak proposal penelitian sejarah yang terkalahkan oleh penelitian ilmu sosial lain. Salah satu penyebabnya bisa ditudingkan pada pilihan tema yang antikuarianism itu, sehingga tidak memiliki manfaat praktis.

3. Daya serap pasar terhadap lulusan Program Studi Ilmu Sejarah cukup rendah. Kalaupun mereka terserap pasar, bukan karena latar belakang akademiknya yang sejarah, tetapi lebih karena kemampuan-kemampuan (praktis) lainnya.

(3)

Pengantar

Saya duga – semoga dugaan ini salah – tidak banyak sejarawan yang

sesekali menyisihkan waktu untuk berpikir, merenung, berdiskusi, dan

mengajukan pertanyaan “bagaimana perkembangan Ilmu Sejarah di Indonesia

sekarang ini? Apakah maju, mundur, atau stagnan?” Jawaban terhadap pertanyaan

ini tidak mudah. Akan tetapi, setidaknya sejumlah indikator akan menunjukkan

kecenderungannya. Indikator-indikator itu antara lain:

1) Minat masyarakat untuk menjadi sejarawan.

2) Tingkat produktivitas sejarawan dalam menghasilkan historiografi.

3) Respons masyarakat terhadapnya.

4) Seberapa besar masyarakat, pemerintah, dan para pemangku kepentingan

(stakeholders) lainnya memanfaatkan sejarawan untuk memberikan

kontribusi pemikiran dalam menyusun perencanaan dan membuat

keputusan.

5) Daya serap lapangan kerja terhadap sejarawan.

Meskipun tidak punya data kuantitatif, dugaan saya tidak akan keliru bila

dikatakan bahwa minat masyarakat untuk menjadi sejarawan sangat rendah. Tiap

tahun, seingat saya, setidaknya di Universitas Padjadjaran, mahasiswa baru yang

masuk tidak pernah melebihi satu kelas, artinya sekira 30 sampai 50 orang. Dari

jumlah yang sedikit itu pun kebanyakan yang “tersesat” karena jurusan sejarah

tidak menjadi pilihan utamanya. Apakah ini berarti “raw material”-nya pun

rendah? Saya tidak berani berkomentar terhadap hal ini.

Berkaitan dengan produktivitas historiografi, nampaknya belakangan ini

cukup tinggi. Akan tetapi tingginya produktivitas ini memiliki masalah tersendiri

karena karya itu lahir “tidak disengaja”. Maksudnya adalah si penulis tidak

sengaja untuk menulis buku. Kebanyakan buku sejarah yang terbit adalah berasal

dari skripsi, tesis, atau disertasi setelah sedikit mengalami revisi. Akibatnya

adalah respons masyarakat terhadap buku-buku sejarah relatif rendah. Alasannya

(4)

Sejarawan sering terabaikan untuk dimintai pertimbangannya dalam

penyusunan rencana “pembangunan” atau ketika masyarakat atau pemerintah

membuat keputusan-keputusan. Terkesan ada keraguan atas kemampuan

kontributif sejarawan. Kondisi ini sejajar dengan kenyataan lain, yakni daya serap

lapangan kerja terhadap lulusan sejarah. Kita tidak pernah tahu, bahkan untuk

estimasi sekalipun, berapa banyak sejarawan dibutuhkan pasar tenaga kerja tiap

tahun. Oleh karena itu, kalaupun lulusan sejarah pada akhirnya mendapatkan

pekerjaan, itu bukan karena kesejarawanannya tapi karena

kemampuan-kemampuan lainnya.

Terhadap semuanya kenyataan di atas muncul pertanyaan: kenapa

demikian? siapa dan pihak mana yang harus bertanggung jawab? Makalah ini

akan mencoba menjawab pertanyaan itu.

Temporalitas

Garda terdepan yang sangat besar peranannya dalam menentukan

bagaimana image masyarakat terhadap sejarah dan sejarawan adalah historiografi,

buku atau tulisan-tulisan sejarah. Berkaitan dengan hal ini setidaknya penulis

punya dua pengalaman yang sempat direnungkan. Pertama, ketika penulis menjadi

nara sumber dalam sebuah seminar ada peserta yang menyampaikan kekesalannya

terhadap buku-buku sejarah yang ditulis oleh para sejarawan akademis domestik.

Pada saat yang sama, peserta itu pun memuji-muji buku-buku sejarah yang ditulis

oleh sejarawan asing yang nulis tentang Indonesia. Si peserta itu menyatakan

bahwa buku-buku sejarah tulisan sejarawan akademik dalam negeri itu tidak

menarik dibaca, sulit dipahami, dan terkesan kaku. Sebaliknya, buku sejarah

Indonesia tulisan orang asing itu menarik dibaca, mudah dipahami, dan tidak

kaku. Dia memberi contoh buku sejarawan asing yang dimaksud adalah Sejarah

Indonesia Modern 1200 – 2004 tulisan M.C. Ricklefs.

Kedua, dalam dua tahun terakhir ini ada dua buku sejarah tulisan

sejarawan dalam negeri yang cukup fenomenal, setidaknya dari sudut pandang

(5)

dan buku Asvi Warman Adam berjudul Membongkar Manipulasi Sejarah:

Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (2009).

Dari dua hal di atas – sekali lagi, meskipun hanya dua hal, akan tetapi

cukup representatif untuk menggambarkan dan menganalisis historiografi sejarah

Indonesia terakhir ini. Bagi penulis, setidaknya ada dua issu yang perlu disoroti.

Pertama adalah masalah temporalitas dan kedua masalah eksplisitas teori dan

metodologi termasuk di dalamnya model eksplanasi dan eksposisi (exposition).

Dalam “kata pengantar” untuk edisi kedua buku Metodologi Sejarah

(2003), Kuntowijoyo menyampaikan keprihatinan di samping kebanggaan atas

perkembangan historiografi belakangan ini. Yang membanggakan adalah sudah

banyak kemajuan khususnya dalam variasi tema, deskripsi yang sistematis,

penggunaan teori sosial, dan sumber sejarah yang memadai. Adapun yang

memprihatinkan adalah munculnya gejala historiografi yang antikuarianisme.

Antikuarianisme itu muncul disebabkan oleh adanya gagasan tentang sejarah

sebagai rekonstruksi masa lalu. Seolah-olah “masa lalu” itu harus jauh dari masa

kini.

Pikiran bahwa sejarah adalah masa lalu tanpa peduli relevansi dengan

masalah kontemporer akan merugikan sejarawan dan menjadikan sejarah sebagai

ilmu yang terpencil di tengah perjuangan bangsa untuk meraih masa depan yang

lebih baik. Karenanya, kita perlu berusaha supaya lulusan sejarah mempunyai

sumbangsih kepada bangsa dengan menjadikan ilmunya bagian dari kecerdasan

bersama (collective intelligence) bangsa ini (Kuntowijoyo, 2003: xi-xii). Oleh

karena itu, mengarahkan mahasiswa supaya menulis topik-topik sejarah

kontemporer (1945 – 2000) adalah cukup realistis.

Penghidaran diri dari penulisan sejarah kontemporer hanya karena alasan

takut bertabrakan dengan ilmu-ilmu sosial lain sama sekali keliru. Sejarah adalah

sejarah. Ilmu sosial adalah ilmu sosial. Sejarah dan ilmu sosial lain mempunyai

persamaan dan perbedaan. Keduanya sama-sama harus memberikan deskripsi dan

penjelasan, perbedaannya lebih terletak pada sudut pandang. Dengan demikian,

seperti halnya ilmuwan sosial lain, sejarawan pun berhak berbicara

(6)

memilki sifat contemporaneous memungkinkan para sejarawan muda mampu

terjun ke dunia jurnalistik, politik, birokrasi, dan bidang-bidang lainnya dengan

mantap tanpa kehilangan kesejarawanannya (Kuntowijoyo, 2003: xiii).

Keuntungan praktis pengambilan masalah kontemporer adalah selain dekat

dengan tingkat kecerdasan masyarakat, sumber-sumber pun tersedia dengan

mudah (surat kabar, masyarakat, sejarah lisan), juga tidak memerlukan sumber

asing dan sumber arsip berbahasa Belanda yang sering dinilai menakutkan itu.

Rigiditas Penggunaan Teori

Kita para sejarawan sangat berkepentingan akan kemajuan Ilmu Sejarah.

Setidaknya ada empat cara bisa ditempuh untuk memajukan ilmu ini, yaitu dengan

mengubah filsafatnya, teorinya, metodologinya, dan metodenya (Kuntowijoyo,

2003). Di sini hanya akan disorot masalah teori. Seminar Sejarah Nasional kedua

(1970), dianggap sebagai peletak dasar dari pertumbuhan tradisi penulisan sejarah

Indonesia yang baru. Sejak itu, di bawah pengaruh Sartono Kartodirdjo, beberapa

perubahan terjadi di kalangan sejarawan akademis. Perubahan itu tampak pada

peralihan perhatian dari “sejarah politik” ke “sejarah sosial”, penerapan

konsep-konsep ilmu sosial khususnya sosiologi dalam rekonstruksi sejarah dan pemberian

keterangan, dan pendekatan secara multidimensional (Abdullah, 2001: 227).

Perubahan-perubahan itu sangat kuat pengaruhnya dalam karya-karya

ilmiah sejarah (skripsi, tesis, disertasi). Eksplisitas konsep dan teori itu menjadi

model, bahkan jadi subbab tersendiri. Penggunaan teori dan konsep-konsep

ilmu-ilmu sosial semestinya menambah daya jelas keterangan-keterangan sejarah.

Dalam perkembangan kemudian, idealisme awal mengenai penggunaan teori dan

konsep, untuk menambah daya jelas keterangan sejarah, agak meleset. Kenyataan

yang terjadi kemudian adalah teori dan konsep satu hal, uraian sejarah hal lain.

Teori dan konsep ilmu-ilmu sosial terasa sekali sebagai “tempelan” yang terpisah

dari uraian sejarah. Ketika karya-karya akademis (skripsi, tesis, disertasi) ini

dibukukan, kesan kaku dan tidak enak dibaca yang disampaikan oleh masyarakat

(7)

Buku Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, atau buku Ahmad Mansur

Suryanegara, Api Sejarah, tidak mengeksplisitkan konsep dan teori yang

digunakan. Bahkan untuk sekedar menyebut metode apa yang digunakan untuk

menulis buku itu pun sama sekali tidak disebutkan. Padahal, hampir tidak

mungkin kedua penulis itu tidak menggunakan konsep, teori, atau metode. Akan

tetapi kedua buku tersebut mendapat respons luar biasa dari masyarakat

konsumen. Kekuatan kedua buku ini tidak hanya pada pengimplisitan konsep,

teori, dan metode – yang sering menjadi penyumbang rigiditas dalam eksplanasi –

tapi juga pada sense of relevance-nya dengan masa kini. Sense of relevance karya

sejarah dengan masa kini tampak melalui tiga cara: kesinambungan dan

perubahan, paralelisme, dan perbandingan. Demikian juga pada buku Asvi

Warman Adam (2009).

Sesungguhnya bukan hanya buku-buku di atas, buku-buku akademis karya

sejarawan “luar” ada kecenderungan tidak mengeksplisitkan konsep, teori, bahkan

metode. Sekedar memberikan contoh, saya sampaikan beberapa karya itu:

Vreede-de Stuers (1960), Dobbin (1983), Shiraisi (1990), Houben (1994), Moriyama

(2003), Elsen (1994 dan 2008). Semua historiografi ini tidak mengeksplisitkan

konsep, teori, bahkan metode, apalagi menjadikannya sebagai subbab tersendiri.

Jadi, bila diamati historiografi yang ada ditemuakan empat variasi: ada

yang menghindari penggunaan konsep dan teori, ada yang menggunakannya

secara implisit, ada yang mengunakannya secara eksplisit, dan ada variasi

campuran.

Simpulan

Saya tidak ingin terjebak pada pemikiran dikotomis perlu atau tidak perlu

penggunaan konsep dan teori. Juga mengenai metode, cukup implisit atau harus

eksplisit. Yang penting adalah pengeksplisitan konsep dan teori itu bukan ekspresi

dari “kegenitan” intelektual yang tidak berdaya guna dan berhasil guna dalam

memberikan penjelasan sejarah. Demikian juga dalam pengekspisitan metode

(8)

Sense of relevance harus menjadi pertimbangan penting dalam penelitian

dan penulisan sejarah. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan supaya terhindar

(9)

Daftar Sumber

Abdullah, Taufik. 1997.

“Masalah Kontemporer Ilmu Sejarah dan Historiografi”, dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 Subtema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Deparemen Pendidikan dan Kebudayaan RI; hlm. 17 – 58.

... 2001.

Nasionalisme dan Sejarah. Bandung: Satya Historika.

... 2010 (editor).

Sejarah Lokal di Indonesia. Cetakan keenam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Adam, Asvi Warman. 2009.

Membongkar Manipulasi Sejarah; Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Cetakan kelima. Jakarta: Kompas.

Dobbin, Christine.1983.

Islamic Revivalism in a Changging Peasant Economy Central Sumatra 1784 – 1847. London: Curzon Press.

Elsen, R.E. 1994.

Village Java under the Cultivation System 1830 – 1870. Sydney: Allen and Win.

Houben, Vincent J.H. 1994.

Kraton and Kompeni; Surakarta and Yogyakarta 1830 – 1870. Leiden: KITLV Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1992.

Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kutowijoyo. 1995.

Pengantar Ilmu Sejarah. Cetakan pertama. Yogyakarta: Bentang.

... 2003.

Metodologi Sejarah. Edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Moriyama, Mikihiro. 2003.

A New Sprit; Sundanese Publishing and the Changing Configuration of Writing in Nineteenth Century West Java. Leiden: Universiteit Leiden.

(10)

Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono. Cetakan kedua/ Gadjah Mada Universitu Press.

... 2008.

Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Terjemahan Satrio Wahono dkk. Cetakan II. Jakarta: Serambi.

Shiraisi, Takashi. 1990.

An Age in Motion; Popular Radicalism in Java 1912 – 1926. New York: Cornell University Press.

Vreede-de Stuers, Cora. 1960.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

LMCW1022 Asas Keusahawanan dan Inovasi Basic Entrepreneurship and Innovation CW 2 TTTP2543 Pengaturcaraan Web Web Programming WP 3 TTTH2304 Reka bentuk Perisian

Perangkat keras akan dibangun dengan menggunakan: linear actuator sebagai pedati yang dapat bergerak secara horizontal, encoder sebagai sensor sudut bandul dan posisi

Turbin angin adalah suatu alat yang didesain untuk menangkap energi kinetik angin.Daya yang dihasilkan oleh turbin angin berupa energi mekanik poros yang diperoleh

Salah satu perusahaan pada industri AMDK yang memanfaatkan pangsa pasar tersebut adalah PT Syahid Global International yang baru mulai beroperasi pada pertengahan

Dalam pengujian skenario 2, produk yang diuji adalah produk yang termasuk dalam basis data. Proses pengujian skenario 2 juga dilakukan sebanyak 5 kali pengujian terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Karyawan yang bekerja pada bagian produksi jelly Kurnia Jaya Mandiri merupakan karyawan yang memiliki banyak pengalaman dan sudah bekerja lebih lama karena dibutuhkan ketrampilan

Penulis melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan data dan pengetahuan dari berbagai buku, jurnal dan dari diktat pelatihan petugas kredit yang dibutuhkan