• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK NOMOR 60 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK NOMOR 60 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK NOMOR 60 TAHUN 2013

TENTANG

PEDOMAN PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK,

Menimbang : a. bahwa untuk kelancaran penyediaan data indeks harga perdagangan besar provinsi, perlu disusun pedoman Penghitungan Indeks Harga Perdagangan Besar Provinsi;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, perlu menetapkan Pedoman Penghitungan Indeks Harga Perdagangan Besar Provinsi dengan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3683);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3854);

3. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2007 tentang Badan Pusat Statistik;

4. Keputusan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Statistik Dasar;

5. Keputusan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 121 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Badan Pusat Statistik di Daerah;

(2)

-2-

6. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pusat Statistik;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI.

Pasal 1

Pedoman Penghitungan Indeks Harga Perdagangan Besar Provinsi merupakan acuan dan panduan dalam menghitung diagram timbang dan Indeks Harga Perdagangan Besar di tingkat Provinsi.

Pasal 2

Pedoman Penghitungan Indeks Harga Perdagangan Besar Provinsi, sebagaimana tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik ini.

Pasal 3

Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 1 November 2013 KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK,

SURYAMIN

(3)

LAMPIRAN

PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK NOMOR 60 TAHUN 2013

TENTANG

PEDOMAN PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI

PEDOMAN PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 1999, telah memberi otoritas kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menyusun dan mengimplementasikan sendiri rencana dan kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya mulai tahun 2001. Untuk itu, Pemda perlu mempunyai data-data daerah yang mendukung penyusunan rencana dan kebijakan pembangunan di daerahnya.

BPS Provinsi selaku instansi penyedia data harus mampu menyediakan data-data dengan cakupan wilayah yang lebih kecil (provinsi atau kabupaten/kota). Salah satu data yang perlu disediakan adalah data Indeks Harga Perdagangan Besar/Grosir (IHPB) Provinsi yang akan digunakan sebagai deflator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Selama ini, deflator PDRB menggunakan IHPB Nasional dengan tahun dasar 2005. Angka IHPB Nasional kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya untuk suatu daerah.

IHPB Nasional di-update secara berkala setiap lima tahun untuk dapat lebih menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur perekonomian nasional. Hasil pembangunan nasional telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pesat, dan akhirnya membawa dampak terhadap perubahan struktur dan peranan komoditi yang beredar di pasaran, sehingga paket komoditi dan diagram timbangan IHPB perlu diperbaharui karena sudah dianggap tidak sesuai dengan keadaan saat ini. Sehubungan dengan perubahan yang terjadi

(4)

tersebut akan dilakukan penggantian tahun dasar penghitungan IHPB Nasional menjadi tahun 2010. Seiring dengan pergantian tahun dasar IHPB Nasional (2010=100) diharapkan setiap daerah dapat melakukan penghitungan IHPB untuk tingkat provinsi dengan tahun dasar yang sama.

Melalui IHPB tingkat provinsi diharapkan dapat diperoleh suatu indikator ekonomi daerah yang lebih lengkap, karena IHPB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk:

1. Menganalisa perkembangan perekonomian secara umum;

2. Menganalisa tingkah laku harga lainnya (harga produsen dan harga konsumen) yang ada hubungannya dengan Harga Perdagangan Besar (HPB), karena HPB merupakan price leader dari tingkat harga yang lain;

3. Menganalisa situasi pasar, situasi moneter dan sebagainya;

4. Menganalisa data pendapatan regional dalam hubungannya dengan pendapatan riil (sebagai deflator); dan

5. Eskalasi harga suatu proyek konstruksi.

B. Tujuan

a. Memberikan petunjuk dan arahan di dalam penyusunan paket komoditi dan diagram timbang dalam penghitungan IHPB; dan

b. Membantu BPS Provinsi dalam penyediaan data IHPB yang utamanya untuk deflator PDRB.

C. Ruang Lingkup

Penghitungan IHPB diharapkan dapat dilakukan di 33 Provinsi dengan tahun 2010 sebagai tahun dasar (2010=100). Sektor-sektor perdagangan dalam manual IHPB ini baru mencakup grosir Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan Sektor Industri Pengolahan. Sedangkan Sektor Perdagangan antar wilayah (ekspor-impor internasional dan domestik) belum dicakup karena masih dalam tahap study.

Banyaknya komoditi yang masuk dalam Paket Komoditi IHPB disesuaikan dengan kondisi masing-masing provinsi melalui prosedur pemilihan paket komoditi.

(5)

II. PENYUSUNAN DIAGRAM TIMBANG (DT)/BOBOT INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR (IHPB) PROVINSI

A. Sumber Data

Sumber data utama yang dibutuhkan untuk menyusun Diagram Timbang (DT)/bobot IHPB tahun 2010, adalah nilai output komoditi yang dapat diperoleh dari:

1. Tabel Input Output (I-O) tahun 2010.

2. LK PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2010.

Contoh LK PDRB ada pada lampiran 1 sampai dengan lampiran 12.

3. Perkalian antara volume atau jumlah produksi dengan harga pada tahun 2010 atau biasa disebut sebagai Nilai Produksi tahun 2010.

Ketiga sumber data tersebut bersifat hierarki, yaitu jika sumber data no.1 tidak tersedia, maka gunakan yang no.2, dst.

LK PDRB bisa didapatkan dari Bidang Nerwilis. Jika LK tidak tersedia, bisa menggunakan data output atas dasar harga produsen (harga berlaku 2010) untuk semua komoditi yang ada di Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan Sektor Industri. Atau bisa memberikan tabel seperti di gambar 1 untuk diisi oleh rekan-rekan di Bidang Nerwilis.

Untuk memperoleh diagram timbang di Sektor Perdagangan Grosir Domestik (Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan) adalah dengan melakukan pengisian tabel berikut:

Tabel 1: PENGHITUNGAN DIAGRAM TIMBANG IHPB

Sektor: Grosir Domestik

Provinsi: …………..

No. Komoditi Output Rasio MS

Nilai MS (3)x(4)

(1) (2) (3) (4) (5)

(6)

B. Cara Penyusunan Diagram Timbang (DT)

1. Urutkan semua komoditi dari Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan Sektor Industri, beserta nilai outputnya dalam tabel penyusunan DT IHPB 2010.

Berdasarkan LK PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 Provinsi Kalimantan Tengah (lihat lampiran 1 s/d 12):

Gambar. 1: Contoh Tabel Permintaan Data Output PDRB

a) Komoditi dari setiap sektor bisa dikutip dari kol (2): uraian komoditi.

b) Nilai output untuk komoditi Tanaman Pangan (Padi dan Palawija) dikutip dari kol (19) LK: B011a, Sayur-sayuran dikutip dari kol (19) LK: B011b, Buah-buahan dikutip dari kol (19) LK: B011c, Perkebunan dikutip dari kol (19) LK: B0130, Kehutanan dikutip dari kol (19) LK: B0150, dan Perikanan dikutip dari kol (19) LK:

B0160.

c) Nilai output komoditi Peternakan dikutip dari kol (11) LK: B0140a, sedangkan Produk Peternakan lainnya dikutip dari kol (9) LK:

B0140b.

d) Nilai output komoditi Pertambangan dikutip dari kol (7) LK: B0210, Penggalian dikutip dari kol (7) LK: B0220.

(7)

e) Nilai output komoditi Industri Non Migas dikutip dari kol (7) LK:

B0310 (Industri Besar dan Sedang), dan kol (7) LK: B0320 (Industri Kecil dan Rumah tangga).

Maka urutan komoditi dan nilai output untuk Provinsi Kalimantan Tengah menjadi seperti di gambar 2.

Gambar 2: LK DT IHPB 2010

2. Untuk komoditi-komoditi yang dalam LK PDRB nya masih berbentuk kelompok komoditi (seperti buah-buahan, sayur-sayuran, perikanan darat, perikanan laut, komoditi-komoditi di Sektor Industri,dll), maka bobotnya harus dipecah dengan menggunakan data sekunder lain sebagai alokator. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan observasi data harga di lapangan.

Data sekunder tersebut tidak harus data BPS, tetapi dapat berasal dari instansi/lembaga lain. Catat semua sumber data sekunder yang digunakan agar bisa ditelusuri kembali saat up dating Diagram Timbang.

Contoh:

Data yang ada di LK PDRB adalah unggas dan hasil-hasilnya (tidak ada rincian output ayam, bebek, telur, dll). Alokatornya merupakan proporsi/persentase yang bisa dihitung dari nilai produksi (produksi X harga), bisa ditulis sebagai

(8)

Ai = Alokator komoditi i

Vi = Nilai produksi komoditi i i = Komoditi

Jadi:

Contoh penghitungan:

Output unggas dan hasil-hasilnya = 44.887.769 (data pada LK PDRB)

Maka output untuk ayam ras, bebek, telur ayam ras, telur ayam buras,

dan telur itik adalah sebagai berikut:

No. Komoditi Produksi Harga (rupiah)

Nilai

% Output

Produksi

(1) (2) (3) (4) (5)=(3)x(4) (6) (7)

1 Ayam Ras 65.000 7.000 455.000.000 76,7965 34.472.231 2 Itik 60.000 400 24.000.000 4,0508 1.818.315 3 Telur

Ayam Ras 100.000 300 30.000.000 5,0635 2.272.894 4 Telur

Ayam

Buras 85.500 450 38.475.000 6,4939 2.914.987 5 Telur Itik 90.000 500 45.000.000 7,5953 3.409.341 T O T A L 592.475.000 100,0000 44.887.769

(9)

Catatan:

- Sektor Pertanian

Jika nilai produksi atau output tidak tersedia, maka harus dihitung dari produksi dikali harga atau Volume Produksi X Harga.

- Sektor Pertambangan dan Penggalian

output penggalian biasanya adalah barang-barang bahan konstruksi, jadi bisa konsultasi ke Dinas Pekerjaan Umum (P.U).

Tanyakan secara umum perbandingan nilai penggunaan barang- barang galian seperti pasir, batu kerikil, batu koral dalam pembangunan di provinsi masing-masing untuk digunakan sebagai alokator Subsektor Penggalian. Nilai penggunaan barang- barang galian bisa dilihat pada kontrak-kontrak pembangunan yang telah direalisasi di provinsi masing-masing.

- Sektor Industri

Output dari Industri Besar dan Sedang (IBS) bisa didownload dari shpb online (shpb.bps.go.id). Alokator untuk suatu komoditi merupakan gabungan output dari IBS dengan Industri Kecil dan Rumahtangga.

Cara penggabungannya adalah sbb:

i. Masing-masing subsektor yang ada di tiap-tiap kelas industri, di-break down menjadi komoditi-komoditi. Misal:

Sub Komoditi Industri

Sektor Bsr dan Sdg Kecil RT

31 A, B, C,D, E C, E, F, G, H, I C, G, I, J, K 32 L, M, N, O, P M,O, P R, S, T dst

ii. Komoditi-komoditi yang bersesuaian di setiap kelas industri selanjutnya digabung, sehingga berdasarkan contoh di point i, output komoditi C adalah gabungan dari output komoditi C yang ada di IBS + Industri Kecil + Industri RT. Sedangkan output komoditi E hanya merupakan penggabungan dari output komoditi E di IBS dan Industri Kecil saja karena tidak ada di industri rumahtangga, dst.

(10)

iii. Hal ini berlaku sama untuk subsektor 32, 33, dst. sesuai dengan data yang ada di LK PDRB.

Pengklasifikasian jenis-jenis industri pada LK PDRB menggunakan KLUI dengan deskripsi sebagai berikut:

KLUI DESKRIPSI

31 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 32 Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 33 Industri Kayu dan Barang dari Kayu Lainnya 34 Industri Kertas dan Barang Cetakan

35 Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 36 Industri Semen dan Barang Galian Bukan Logam 37 Industri Logam Dasar Besi dan Baja

38 Industri Barang dari Logam, Mesin dan Peralatannya 39 Industri Pengolahan Lainnya

Jenis-jenis industri yang ada/tergabung di setiap subsektor berdasarkan KBLI 2005 dan 2009, bisa dilihat pada file “Master Konversi KBLI-KLUI” yang dapat didownload dari shpb online.

Bila pengklasifikasian subsektor di PDRB belum menggunakan KBLI 2009 (seperti di IBS) maka harus disesuaikan dengan KBLI 2009 karena IHPB tahun dasar 2010 dirancang menggunakan KBLI 2009. Untuk lebih jelasnya sebaiknya ditanyakan langsung ke Bidang Nerwilis selaku penyusun data PDRB.

Sedangkan untuk kode komoditi, IHPB 2010 menggunakan KBKI 2012. Pengkodean dengan KBLI dan KBKI dapat diakses di www.spkonline.bps.go.id.

Berdasarkan konsep, data industri yang seharusnya digunakan adalah data yang sama dengan tahun dasar IHPB, yaitu data industri tahun 2010. Namun untuk beberapa provinsi, ragam komoditi yang ada di data tahun 2010 kurang bervariasi dibandingkan data tahun 2007. Oleh karena itu, disarankan agar melakukan perbandingan ragam komoditi antara data tahun 2007

(11)

dengan tahun 2010. Jika ada komoditi di tahun 2007 yang tidak muncul lagi di data tahun 2010, sementara diketahui kalau komoditi tersebut masih diproduksi di provinsi itu dan dikonsumsi oleh banyak orang, maka boleh menggunakan data tahun 2007 untuk alokator.

Misal:

Data Industri Provinsi Kalimantan Tengah

PROV KBLI5 KOMODITI NILAI (000 rp) 2010 2007 62 15494 Tahu 4.166.640 1.008.000 62 15494 Tempe 1.393.200 2.925.000 62 15496 Emping melinjo - 1.579.675

62 20101 Balok - 8.704.025

Berdasarkan data diatas, maka:

- Alokator untuk komoditi tahu dan tempe adalah data nilai produksi masing-masing komoditi pada tahun 2010, yaitu 4.166.640 (tahu) dan 1.393.200 (tempe).

- Alokator untuk emping melinjo dan balok, boleh menggunakan data nilai produksi masing-masing komoditi pada tahun 2007.

Jadi, alokator untuk Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kombinasi antara data tahun 2010 dengan 2007 dengan asumsi nilai produksi tahun 2010 sama dengan tahun 2007. Jangan lupa, beri catatan di insert comment untuk data yang bukan berasal dari tahun yang sama dengan tahun dasar (tahun 2007). Untuk mencari bobot dengan alokator, gunakan lembar kerja (LK) pembantu di sheet lain. Lebih jelasnya lihat gambar. 3.

Untuk data PDRB yang masih dalam bentuk perikanan laut, dan perikanan darat (umum/air tawar), maka dapat menggunakan data dari publikasi Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010 dan Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010, yang bisa di- download dari homepage Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di http://statistik.kkp.go.id/ index.php/statistik/.

(12)

Gambar 3: Penghitungan Alokator

Pada publikasi Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010, perikanan tangkap terdiri dari 2 jenis yaitu: Perairan Laut (perikanan laut) dan Perairan Umum (perikanan darat/tawar).

Sedangkan pada publikasi Perikanan Budidaya Indonesia 2010, budidaya dibedakan atas budidaya air tawar (jaring apung, kolam, keramba, dan sawah), budidaya air payau (tambak), dan budidaya air laut. Karena beberapa jenis ikan yang di budidaya adalah sama dengan jenis ikan yang ada di perairan laut/umum, maka pada Sektor Perikanan pengelompokkan didasarkan pada asal ikan umumnya diperoleh.

Contoh: ikan kakap yang diperdagangkan di daerah “A” umumnya merupakan hasil budidaya air laut, maka dalam pengelompokkan di Sektor Perikanan, ikan kakap di daerah “A” dikategorikan sebagai Perikanan Budidaya. Sedangkan di daerah “B” ikan kakap yang diperdagangkan umumnya merupakan hasil tangkapan nelayan di laut lepas, maka dalam pengelompokkan Sektor Perikanan, ikan kakap di daerah “B” dikategorikan sebagai Perikanan Tangkap.

Berdasarkan data dari publikasi tersebut diatas, jenis ikan yang ada di budidaya dapat dirangkum seperti dalam tabel 2.

(13)

Tabel 2: Rangkuman Publikasi Perikanan Tangkap dan Budidaya Indonesia Tahun 2010

Jenis Ikan

Budidaya Air Tawar

Budidaya Air Payau

Budidaya Air Jaring

Apung Keramba Kolam Sawah Tambak Laut

Bandeng √ √

Baung √ √ √

Bawal √ √ √ √

Belanak √

Betok √ √ √

Betutu √ √ √

Gabus √ √ √ √

Gurame √ √ √ √

Jelawat √ √ √

Kakap √ √

Kerapu √ √

Kekerangan √

Kepiting √

Lele √ √ √ √

Lobster √

Mas √ √ √ √

Mujair √ √ √ √ √

Nila √ √ √ √ √

Nilem √ √ √ √

Patin/Patin

Jambal √ √ √ √

Rajungan √

Rumput Laut √ √

Sepat Siam √ √ √ √

Sidat √ √ √ √ √

Tambakan √ √ √

Tawes √ √ √ √

Teripang √

Toman √ √ √ √

(14)

Udang

Lainnya √

Udang Putih √

Udang Galah √

Udang Rostris √

Udang

Vanamei √

Udang Windu √

Perairan Umum (darat/tawar)

Perairan Laut

Jadi, alokator untuk ikan baung adalah total nilai produksi ikan baung hasil budidaya air tawar di jaring apung + keramba +kolam.

3. Mengisi kolom Rasio Marketed Surplus

Marketed Surplus (MS) yang digunakan adalah MS Perdagangan Besar (PB), yaitu barang-barang yang dipasarkan di tingkat perdagangan besar/grosir. Rasio MS didefinisikan sebagai rasio antara nilai barang-barang yang dipasarkan di tingkat grosir dengan nilai barang-barang yang diproduksi.

Rasio MS 1

Dalam penyusunan DT IHPB 2010, RMS yang digunakan adalah hasil survei pola distribusi (Poldis) di tingkat perdagangan grosir (lihat lampiran 13). Untuk provinsi yang tidak memiliki data hasil survei Poldis, maka bisa menggunakan data dari provinsi lain dimana barang biasa berasal dan atau mempunyai kemiripan dalam rantai distribusi (catat data provinsi mana yang digunakan).

Jika komoditi yang dimaksud tidak ada di survei Poldis, maka bisa menggunakan RMS PB yang ada di lampiran 14 apabila dirasakan sesuai dengan kondisi masing-masing provinsi. Jika tidak sesuai, maka boleh dilakukan adjustment atau penyesuaian, namun hal ini sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Bidang Nerwilis.

(15)

4. Mengisi kolom Nilai MS.

Nilai MS merupakan perkalian dari rasio MS dengan output.

Selanjutnya, tentukan komoditi yang akan masuk dalam paket komoditi IHPB dengan ketentuan sebagai berikut:

- Pedagang yang menjual komoditi tersebut HARUS PEDAGANG GROSIR, BUKAN PRODUSEN atau merangkap pedagang ECERAN.

- Komoditi tersebut banyak diperdagangkan di pasaran sehingga mudah untuk memantau harganya.

- Komoditi tersebut BUKAN tergolong barang musiman, yaitu barang yang hanya ada di pasaran pada saat saat tertentu saja.

Untuk lebih jelasnya, lihat gambar 4.

C. Format Diagram Timbang IHPB

Agar lebih terstruktur, DT IHPB di-format seperti pada gambar 4.

Selanjutnya, lengkapi dengan satuan dan keterangan dari komoditi yang diobservasi. Untuk lebih jelasnya, lihat lampiran 15.

Gambar 4: LK DT IHPB Kalimantan Tengah

(16)

Satuan dari komoditi

Satuan ini merupakan satuan umum yang berlaku di pasaran untuk komoditi yang diperdagangkan dalam partai besar (grosir) dan bukan untuk konsumsi rumahtangga (eceran). Gunakan satuan standar nasional untuk komoditi yang akan diobservasi harganya. Jika menggunakan satuan lokal, maka konversi antara satuan lokal dengan standar nasional harus dicatat.

Contoh:

Komoditi Satuan

Grosir Eceran

Gula pasir Karung = 25 kg Kg

Kemeja Lengpan Kodi (20 buah) atau Lusin (12 buah)

Helai (1 buah)

Dalam menentukan satuan, ada baiknya observasi lapangan dilakukan terlebih dulu agar satuan yang akan digunakan merupakan satuan yang banyak dipergunakan dalam transaksi perdagangan. Misal: satuan untuk gula pasir yang akan digunakan untuk observasi lapangan adalah karung isi 25 kg, padahal satuan yang banyak diperdagangkan di provinsi adalah karung isi 50 kg. Maka sebaiknya satuan yang digunakan untuk komoditi tersebut adalah 50 kg.

Karena kedepannya penghitungan IHPB akan dilakukan dengan program online yang terintegrasi dengan program penghitungan IHPB Nasional, maka satuan dalam IHPB sebaiknya diselaraskan dengan satuan standar yang tersedia pada program online tersebut.

CATATAN:

Harga yang di-entry ke dalam program merupakan HARGA GROSIR yang disesuaikan dengan satuan standar yang tertera pada program. Jadi jika satuan gula pasir yang digunakan dalam program adalah kilogram, maka harga yang di-entry merupakan pembagian dari harga sekarung gula pasir (misal ukuran 25 kg) dibagi dengan 25 atau sekarung gula pasir ukuran 50 kg dibagi dengan 50, bukan sebaliknya, satuan yang digunakan adalah karung isi 50 kg tetapi harga yang di-entry merupakan harga/kg dikali dengan 50.

Pada penyusunan DT IHPB 2010 bobot komoditi merupakan Nilai Marketed Surplus (NMS) tingkat perdagangan besar pada tahun 2010 yang

(17)

sebenarnya, atau dengan kata lain tidak ada proses imputasi dari komoditi yang tidak terpilih masuk dalam paket komoditi (pakom) IHPB.

Dengan demikian maka perlakuan untuk komoditi yang tidak terpilih tersebut adalah:

1) Jika komoditi bersifat musiman maka data harga asli (saat sedang musim komoditi tersebut) tetap dimasukkan dalam database.

Sedangkan bulan-bulan berikutnya (saat musim dari komoditi tersebut sudah selesai), data harga dikosongkan sampai dengan komoditi tersebut kembali muncul di pasaran. Jangan lupa, beri catatan di insert comment bahwa data harga yang kosong tersebut adalah karena bukan musim dari komoditi tersebut.

Jika sewaktu-waktu IHPB dari komoditi ini dibutuhkan/harus dirilis, maka dilakukan penghitungan ulang dengan menggunakan data harga yang ada di database dan judgement dari Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi.

2) Untuk komoditi yang tidak terpilih karena kontinuitas dari data harga sulit, maka data harga dikosongkan dengan disertai catatan pada insert comment. Karena data harganya tidak ada, maka angka IHPB komoditi ini benar-benar tidak bisa dirilis.

Untuk lebih jelasnya, kedua perlakuan diatas dapat dilihat pada gambar 5 dan 6, atau lampiran 16 dan 22

Gambar 5: Contoh Pengumpulan Data Harga Komoditi Musiman dan yang tidak masuk Pakom IHPB Tahun 2010

(18)

Keterangan gambar 5:

- Komoditi labu kuning tidak masuk Pakom IHPB Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) 2010 karena kontinuitas data harganya sulit untuk dipantau, sehingga IHPB untuk komoditi ini benar-benar tidak dapat dirilis.

- Komoditi mangga dan durian merupakan komoditi musiman.

Harga mangga pada bulan Januari s/d Juli merupakan harga transaksi riil di pasaran, sedangkan harga pada bulan Agustus s/d Desember tidak di-entry karena komoditi tersebut sedang tidak ada di pasaran.

- Komoditi rambutan menggunakan satuan ikat, dimana setelah dicek, konversi untuk 1 ikat = 0,8 kg. Jadi, jika satuan rambutan dikonversi ke satuan standar nasional maka harga yang ada di database adalah per 80 Kg. Karena rambutan merupakan buah- buahan musiman, maka perlakuannya sama dengan mangga dan durian (mohon maaf, di gambar tidak dibuatkan insert comment, karena tempatnya tidak tersedia).

Gambar 6: Contoh IHPB Kalimantan Tengah Subsektor Pertanian Tanaman Semusim dan Pertanian Tanaman Tahunan Tahun Dasar 2010 (2010=100)

(19)

Catatan:

Diagram Timbang IHPB Provinsi yang telah selesai disusun sebaiknya dipersentasikan dahulu di hadapan Bidang Nerwilis selaku pengguna data utama, dan Bidang Statistik Produksi selaku penyedia data untuk penghitungan alokator komoditi di semua sektor IHPB. Persentasi ini dimaksudkan untuk memperoleh saran dan masukan terhadap kewajaran dari setiap bobot komoditi yang akan digunakan untuk penghitungan IHPB Provinsi.

III. PENGHITUNGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR PROVINSI (IHPB-Prov)

Formula yang digunakan dalam penghitungan IHPB-Prov sama dengan formula yang digunakan untuk penghitungan IHPB Nasional, yaitu Modified Laspeyres

100

*

1 0 0

1 ( 1) 0

) 1 (

P Q P Q P

P I

i j

i i j

i n i i

i n

ni

ni

Keterangan :

I

ni = Indeks (HPB) komoditi i pada periode berlaku (bulan ke-n)

P

ni = Harga komoditi i pada periode yang berlaku (bulan ke-n)

P

(n1)i = Harga komoditi i pada periode sebelumnya (bulan ke-(n-1))

P P

i n

ni ) 1 (

= Rasio harga jenis barang i bulan ke-n terhadap bulan ke-(n-1)

P

(n1)i

Q

0i= Nilai marketed surplus (NMS) komoditi i yang diperdagangkan pada periode (n-1) atau penimbang berjalan periode (n-1)

P

0i

Q

0i = Nilai marketed surplus komoditi i yang diperdagangkan pada tahun dasar atau penimbang tahun dasar

A. Penghitungan pada Tahun Dasar

1. Menentukan rata-rata harga pada tahun dasar

a) Buat series data harga dari setiap komoditi yang masuk dalam paket komoditi IHPB selama setahun (Januari-Desember 2010).

(20)

Series data harga yang dikumpulkan adalah series harga grosir, bukan harga konsumen/eceran yang disesuaikan dengan satuan grosir. Jika tidak ada harga grosir, maka gunakan harga yang dibeli oleh pedagang lain (bukan rumah tangga) meskipun satuannya eceran.

Contoh:

Komoditi Satuan grosir

Harga grosir

Harga produsen

(HP)

Harga

eceran Keterangan Kemeja

Katun Lengan panjang

Lusin - - 100.000/he

lai

- Harga grosir ≠ 100.000 X 12 -Tanyakan dlm satuan yg lebih kecil seperti:

½ lusin, per 3 atau 4 helai atau harga eceran kalau yang membeli pedagang lain (bukan rumah- tangga)

Jagung segar

Kw - 650.000 10.000/kg -Gunakan harga yang di- beli oleh pedagang

(bukan rumah- tangga) lain bisa 650.000 bisa juga 10.000.

(21)

b). Rata-ratakan harga dari setiap komoditi selama setahun dengan formula:

Lebih jelasnya lihat kolom (18) pada gambar 5.

2. Menentukan RH bulanan pada tahun dasar

Harga dari masing-masing bulan (Januari,...,Desember 2010) dibagi dengan rata-rata harga pada tahun dasar atau hasil penghitungan pada point 3.1.a.2.

Formula yang digunakan:

3.

3. Menentukan NMS bulanan (NMS0i) pada tahun dasar

NMS bulanan dari setiap komoditi (NMS0i) diperoleh dengan cara RH bulanan dari komoditi (hasil penghitungan point 3.1.b) dikali dengan bobot asli dari komoditi (NMS atau P0Q0), lalu dibagi 100.

Atau jika ditulis dengan formula adalah sebagai berikut:

100 100

0 0 0 0

0

i i i i

i i

Q xP xNMS RH

NMSRH

4. Menentukan Bobot bulanan pada tahun dasar

Bobot bulanan dari setiap komoditi diperoleh dengan cara NMS0i

bulanan dari komoditi i dibagi dengan total NMS0 (NMS0 Umum) dari semua komoditi pada bulan yang bersesuaian.

100

1

0

0

x

NMS BOBOT

n

NMS

i

i i

5. Menghitung IHPB bulanan pada tahun dasar

IHPB bulanan dari setiap komoditi dihitung dengan cara: NMS komoditi i pada bulan berjalan dibagi dengan rata-rata NMS komoditi i pada tahun dasar lalu dikalikan 100. Lebih jelasnya lihat kolom (19) s/d (30) pada gambar 8. Atau:

(22)

100

0 0 0

0 x

NMS I NMS IHPB

i i i

i  

Dimana:

= Indeks komoditi i pada tahun dasar

= Nilai marketed surplus komoditi i pada tahun dasar

= Rata-rata nilai marketed surplus komoditi i pada tahun dasar

Jadi:

...

6. Menghitung Rata-rata IHPB komoditi pada tahun dasar

IHPB komoditi hasil penghitungan point 3.1.e dirata-ratakan dengan cara yang sama seperti menghitung rata-rata harga pada tahun dasar. Rata-rata IHPB dari setiap komoditi harus sama dengan 100.

Lihat kolom (31) pada gambar 6.

B. Penghitungan Pada Tahun Selanjutnya 1. Menentukan RH bulan berjalan

, dimana:

Pni = Harga komoditi i pada bulan ke-n P(n-1)i = Harga komoditi i pada bulan ke-(n-1)

2. Menghitung NMS bulan berjalan

Dimana :

(23)

= Nilai marketed surplus (NMS) komoditi i pada bulan ke-n = Nilai marketed surplus (NMS) komoditi i pada bulan ke-(n-1)

= relatif harga komoditi i pada bulan ke-n

3. Penghitungan Indeks bulan berjalan

Dimana:

= Indeks komoditi i pada bulan ke-n

= Nilai marketed surplus komoditi i pada bulan ke-n = Nilai marketed surplus komoditi i pada tahun dasar C. Penghitungan Inflasi

Penghitungan inflasi HPB terdiri dari inflasi bulanan, tahun kalender dan Y-o-Y.

1. Inflasi Bulanan Inflasi bulanan =

Dimana:

= indeks komoditi i pada bulan ke-n = indeks komoditi i pada bulan ke-(n-1) 2. Inflasi Tahun Kalender

Inflasi Tahun Kalender =

Dimana:

= indeks komoditi i pada bulan ke-n tahun a

= indeks komoditi i pada bulan Desember tahun a-1 3. Inflasi Year on Year (Y-o-Y)

(24)

Inflasi Y-o-Y =

Dimana:

= indeks komoditi i pada bulan ke-n tahun a = indeks komoditi i pada bulan ke-n tahun a-1

D. Penghitungan Share/Andil

=

100 ) 100

(RHnixBobot(n1) Dimana:

= sumbangan/andil inflasi/deflasi komoditi i pada bulan ke-n = nilai marketed surplus (NMS) komoditi i yang diperdagangkan

pada periode n-1 atau sama dengan bobot pada bulan ke-(n-1) = relatif harga komoditi i pada bulan ke-n

Pada dasarnya rumus Indeks Laspeyres modifikasi tersebut dapat digunakan untuk penghitungan IHPB dengan pengelompokan apapun seperti IHPB menurut kelompok komoditi, sub-sektor, sektor, maupun umum.

Penghitungan IHPB akan lebih mudah dilakukan apabila dihitung secara bertahap, dimulai dari pengelompokan terkecil.

Contoh penghitungan IHPB mulai dari pengumpulan data sampai dengan penghitungan IHPB tahun kalender dan year on year ada pada lampiran 16 sampai dengan 26.

(25)

IV. PUBLIKASI

IHPB-Prov akan dirilis melalui BERITA RESMI STATISTIK (BRS) setiap tanggal 1 bulan berikutnya, bersamaan dengan pres rilis data-data BPS lainnya seperti: inflasi bulanan, volume ekspor-impor, tingkat hunian hotel, dan sebagainya.

Pada dasarnya tidak ada format khusus dalam penulisan BRS IHPB-Prov. Namun demikian, BRS IHPB-Prov harus memuat tabel 1 yang ada di BRS IHPB Nasional (seperti pada tabel 3). Ulasan yang lain dalam BRS IHPB-Prov diserahkan ke masing-masing BPS Provinsi.

Tabel 3: Persentase dan Andil Perubahan IHPB-Prov “X”

November 2012 Menurut Sektor/Kelompok Barang (2010=100)

Sektor/Kelompok Barang

IHPB Desember

2011

IHPB Oktober

2012

IHPB November

2012

Perubahan IHPB

November 2012 thd Oktober 2012

(%)

Laju Inflasi Tahun Kalender 2012 (%)

Laju Inflasi

Year- on- Year

(%)

Andil Nov 2012

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

SektorDomestik 1. Pertanian 2. Pertambang

an dan Penggalian 3. Industri

Umum XXX XXX XXX XXX XXX XXX

(26)

Catatan:

Andil/share komoditi merupakan penjumlahan dari andil kualitas-kualitas yang termasuk dalam komoditi tersebut atau Andil komoditi X =

j

i

Ain 1

, dimana j adalah banyaknya kualitas yang termasuk dalam komoditi X. Dengan kata lain, andil kelompok/sektor/umum merupakan aggregat dari unsur penyusun dibawahnya (komoditi/kelompok/sektor).

V. PENUTUP

1. IHPB-Prov (2010=100) merupakan indeks harga di tingkat perdagangan besar/grosir yang pertama kali dihitung BPS di level provinsi. Sebelumnya, BPS RI hanya menghitung IHPB dengan cakupan nasional.

2. Ke depan, cakupan sektor dalam IHPB-Prov akan mengikuti IHPB Nasional yaitu terdiri dari sektor-sektor domestik (Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, dan Industri) dan Sektor Perdagangan antar wilayah.

3. Tahun dasar 2010 merupakan tahun dasar IHPB-Prov dan PDRB, sehingga IHPB-Prov dapat langsung digunakan sebagai deflator PDRB tanpa harus melakukan backcasting (penyamaan tahun dasar) terlebih dahulu.

4. Walaupun memiliki tahun dasar yang sama, IHPB Nasional (2010=100) bukan merupakan agregat dari lHPB-Prov (2010=100). Hal ini dikarenakan sumber data yang digunakan untuk bobot IHPB Nasional dan IHPB-Prov berbeda.

5. Dalam penyusunan Bobot/Diagram Timbang IHPB-Prov, bobot/NMS dari komoditi-komoditi yang tidak masuk paket komoditi (pakom) IHPB-Prov tidak diimputasi/diprorate ke dalam bobot komoditi-komoditi yang masuk dalam pakom IHPB-Prov. Jadi, bobot komoditi yang masuk pakom IHPB- Prov merupakan bobot murni/riil dari PDRB di tingkat perdagangan besar/grosir, sehingga dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari pergerakan IHPB-Prov. Hal ini juga sesuai dengan keinginan rekan-rekan dari Direktorat Neraca Produksi dan Neraca Pengeluaran selaku user utama data IHPB-Prov, yang disampaikan pada rapat tanggal 17 Oktober 2013 di gedung 2 lantai 5 BPS RI.

6. Di masa datang penghitungan dilakukan dengan program shpb online.

Namun sebelum program penghitungan dalam shpb online tersedia, IHPB- Prov akan dihitung oleh Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi.

7. Terkadang terdapat sedikit perbedaan hasil hitungan antara penghitungan program excel maupun online dengan penghitungan manual langsung

(27)

menggunakan IHPB dua dijit dibelakang koma. Hal ini utamanya terjadi pada data perubahan indeks (inflasi) dan share (andil inflasi) yang dikarenakan rounded angka dibelakang koma. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 7.

Berdasarkan penghitungan dengan Program Online, andil Subsektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air pada bulan Desember 2013 adalah sebesar 0,04 persen (lihat gambar 7). Padahal secara teori, andil Subsektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air merupakan penjumlahan dari andil komoditi-komoditi yang ada di subsektor tersebut. Jadi secara manual seharusnya andil Subsektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air pada bulan Desember 2013 adalah sebesar 0,03 yang merupakan penjumlahan dari andil ikan teri asin/kering ditambah andil ikan asin/kering lainnya ditambah andil ikan beku.

Terhadap perbedaan ini, Bidang Statistik Distribusi dapat menyikapi dengan bijaksana yaitu dengan memilih besaran andil yang dirasa lebih tepat untuk mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Namun yang perlu diingat, angka IHPB Prov, inflasi grosir dan andil yang telah dirilis ke publik harus selalu konsisten dengan data yang telah dirilis terlebih dahulu.

Misalkan berdasarkan gambar 7, andil Subsektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Air yang dirilis ke publik adalah 0,03, maka pada rilis data IHPB Prov bulan-bulan berikutnya harus tetap 0,03 yang digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas angka yang telah dirilis dan mencegah kebingungan dari pengguna data.

Gambar 7: Hasil Penghitungan IHPB Nasional dengan Program Online

(28)

8. Softcopy BRS dalam bentuk pdf dikirimkan ke email Subdirektorat Statistik Harga Perdagangan Besar (shpb@bps.go.id) paling lambat tanggal 25 setiap bulannya. Dan BPS Provinsi akan merilis angka IHPB-Prov setiap hari kerja pertama di bulan berikutnya.

9. Contoh penghitungan IHPB lengkap, mulai dari pencatatan data harga termasuk penambahan dan pengurangan kualitas, sampai dengan penghitungan IHPB tahun kalender dan Year on Year dapat dipelajari pada lampiran 16 sampai dengan lampiran 26.

10. Untuk pengklasifikasian komoditi utamanya di Subsektor Pertanian Tanaman Semusim dan Subsektor Pertanian Tanaman Tahunan, harap berpedoman pada KBLI 2009, bukan pada contoh yang ada di lampiran.

KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK,

SURYAMIN

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan dan pencatatan terhadap penampilan reproduksi induk babi landrace yang dipelihara secara intensif di kabupaten Badung dapat disimpulkan bahwa lama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi oleh bentuk lahan vulkanik (71.1%) sesuai dengan proses pembentukan pulau tersebut, sedangkan yang lainnya

Pada tahap berbunga serapan hara N tajuk pada pengelolaan hara N dengan dosis 125 kg N/ha menghasilkan nilai tertinggi untuk varietas Pandan Wangi, Maro, dan galur B11143,

• Penyalahgunaan zat atau bahan lainnya (NAPZA) yaitu penggunaan zat/obat yang dapat menyebabkan ketergantungan dan efek non-terapeutik atau non-medis

Mellisa : Jadi aku mau Tanya, selama bekerja jadi FDA, mbak Dewi pernah mengalami kesulitan dalam menghadapi tamu yang mendesak mbak Dewi untuk dapet kamar gak?. Dewi : Tentu

Permasalahan yang timbul dari penerapan JKN di RSUD Kota Surakarta selama ini dapat diatasi dengan baik, misalnya dengan kebijakan: adanya antrian di IGD,

mengatur dan melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan pelaksanaan lapangan dan anggaran kegiatan statistik industri kecil dan rumah tangga serta data

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah merupakan suatu pengukuran untuk menggambarkan tingkat kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam urusan membiayai sendiri