1 RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….. TAHUN ……….
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN KUALITAS UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11, Pasal 20,
Pasal 56, Pasal 57 ayat (5), Pasal 75, serta Pasal 83
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas udara.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN KUALITAS UDARA. BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
1. Udara adalah kesatuan ruang yang terdapat di atas
permukaan tanah, termasuk pengertian stratosfer.
2. Perlindungan dan pengelolaan kualitas udara adalah
kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum dalam rangka menjamin terpeliharanya kualitas udara sesuai fungsinya.
3. Kualitas udara adalah kondisi kualitas udara tertentu
yang diukur dan/atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Kriteria kualitas udara adalah tolok ukur kualitas
udara.
5. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam udara ambien.
6. Baku mutu emisi adalah ukuran batas atau kadar
unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di udara limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber udara dari suatu usaha dan atau kegiatan.
2
7. Status kualitas udara adalah tingkat kondisi kualitas
udara yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi
baik di udara dalam waktu tertentu dengan
membandingkan dengan baku mutu udara ambien yang ditetapkan.
8. Pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya
mikroorganisme, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia yang tidak memenuhi baku mutu udara ambien dan/atau menyebabkan dilampauinya baku mutu udara ambien yang telah ditetapkan.
9. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur
pencemar yang terkandung di dalam udara.
10.Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan
udara, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan kondisi udara tersebut menjadi cemar.
11.Inventarisasi sumber pencemar udara adalah kegiatan
penelusuran, pendataan, dan pencacahan terhadap seluruh aktivitas yang berpotensi menghasilkan udara limbah yang masuk ke dalam sumber udara.
12.Identifikasi sumber pencemar udara adalah kegiatan
penelaahan, penentuan dan/atau penetapan besaran dan/atau karakteristik dampak dari masing-masing sumber pencemar udara yang dihasilkan dari kegiatan inventarisasi.
13.Emisi adalah gas yang dibuang sebagai sisa dari suatu
hasil usaha dan atau kegiatan.
14.Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang
mempunyai sertifikat akreditasi laboratorium pengujian
parameter kualitas lingkungan dan mempunyai
identitas registrasi.
15.Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
Pasal 2
Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas udara bertujuan untuk:
a. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
manusia;
b. menjaga kelestarian fungsi ekosistem udara;
c. mengendalikan pemanfaatan ruang udara secara
bijaksana; dan
d. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas udara
bersih sebagai bagian dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 3
Ruang Lingkup Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Udara meliputi:
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
3
e. pengelolaan data dan informasi; dan
f. pengawasan dan penegakan hukum.
BAB II PERENCANAAN
Pasal 4
Perencanaan perlindungan dan Pengelolaan Kualitas udara dilakukan melalui tahapan:
a. inventarisasi kualitas udara;
b. penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan
kualitas udara; dan
c. penetapan wilayah pengelolaan kualitas udara.
Bagian Kesatu
Inventarisasi Kualitas Udara Pasal 5
Inventarisasi kualiatas udara dilaksanakan melalui:
a. inventarisasi permukaan lahan atau tutupan lahan; dan
b. identifikasi status kualitas udara.
Pasal 6
(1) Inventarisasi permukaan lahan atau tutupan lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan untuk mengetahui sumber pencemar udara.
(2) Sumber pencemar udara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh:
a. Menteri pada tingkat nasional,
b. gubernur pada tingkat provinsi, dan
c. bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota
Pasal 7
(1) Identifikasi status kualitas udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kondisi udara berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi udara.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh:
a. Menteri pada tingkat nasional;
b. gubernur untuk tingkat provinsi; dan
c. bupati/walikota untuk tingkat kabupaten/kota
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan bagian dari informasi publik lingkungan hidup.
Pasal 8
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pemutakhiran data dan
informasi kualitas udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Bagian Kedua
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Kualitas Udara Pasal 9
4
(1) Rencana Perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf b terdiri dari :
a. rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas
udara nasional;
b. rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas
udara provinsi; dan
c. rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas
udara kabupaten/kota.
(2) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi kualitas udara nasional.
(3) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
a. rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas
udara nasional; dan
b. inventarisasi kualitas udara provinsi.
(4) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan:
a. rencana perlindungan pengelolaan kualitas udara
provinsi;
b. inventarisasi kualitas udara kabupaten/kota.
Pasal 10
(1) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a disusun oleh Menteri.
(2) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b disusun oleh gubernur.
(3) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c disusun oleh bupati/walikota.
Pasal 11
(1) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 menjadi bagian dari rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Dalam hal rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup belum ditetapkan, rencana
perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 12
(1) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
paling sedikit memuat rencana:
a. pemanfaatan;
b. pengendalian pencemaran udara;
c. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau
5
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim;
dan
e. pemantauan, pengawasan dan penegakan hokum;
f. rencana transportasi berkelanjutan dan ramah
lingkungan; dan/atau
g. rencana evaluasi pelaksanaan dan indikator
keberhasilan pelaksanaan perlindungan dan
pengelolaan kualitas udara.
(2) Rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan:
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. tingkat kerentanan masyarakat dan wilayah
terhadap penurunan kualitas udara;
f. aspirasi masyarakat; dan
g. perubahan iklim.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
Pasal 14
Kewajiban melakukan evaluasi pelaksanaan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup setiap tahun untuk provinsi dan Menteri.
Bagian Ketiga
Penetapan Wilayah Pengelolaan Kualitas Udara Pasal 15
(1) Penetapan wilayah pengelolaan kualitas udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c ditetapkan menjadi 3 (tiga) kelas:
a. wilayah pengelolaan kualitas udara kelas I;
b. wilayah pengelolaan kualitas udara kelas II;
c. wilayah pengelolaan kualitas udara kelas III.
(2) Wilayah pengelolaan kualitas udara kelas I adalah area
tertentu yang tidak boleh tercemar.
(3) Wilayah pengelolaan kualitas udara kelas II adalah area
tertentu dengan perubahan kualitas udara yang masih dapat ditoleransi.
(4) Wilayah pengelolaan kualitas udara kelas III adalah area
tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan industri, zona industri atau area dengan jumlah industri yang besar.
(5) Penetapan wilayah pengelolaan kualitas udara
sebagimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) ditetapkan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
6
(1) Menteri menetapkan wilayah pengelolaan kualitas udara
yang bersifat lintas batas provinsi dan lintas batas Negara.
(2) Gubernur menetapkan wilayah pengeloaan kualitas
udara yang bersifat lintas batas kabupaten/kota.
(3) Bupati/walikota menetapkan wilayah pengelolaan
kualitas udara di wilayahnya. Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai rentang konsentrasi rona awal, kenaikan besaran konsentrasi yang diizinkan di setiap kelas, serta tata cara penetapan kelas wilayah pengelolaan kualitas udara diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB III
PEMANFAATAN RUANG UDARA Pasal 18
(1) Pemanfaatan ruang udara dilakukan berdasarkan
rencana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara.
(2) Dalam hal rencana perlindungan dan pengelolaan
kualitas udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum tersusun, pemanfaatan ruang udara
menggunakan penetapan daya dukung dan daya tampung kualitas udara dengan memperhatikan:
a. keberlanjutan proses dan fungsi ekosistem udara;
b. keberlanjutan produktivitas ekosistem udara; dan
c. Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan
masyarakat.
(3) Penetapan daya dukung dan daya tampung kualitas
udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh:
a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung
kualitas udara nasional dan pulau/kepulauan;
b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung
kualitas udara provinsi; atau
c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya
tampung kualitas udara kabupaten/kota.
(4) Dalam hal penetapan daya dukung dan daya tampung
kualitas udara belum dilaksanakan, pemanfaatan udara harus mendapatkan:
a. izin pemanfaatan udara dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya udara; dan
b. izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dari Menteri. Pasal 19
Pemanfatan ruang udara berdasarkan Rencana
perlindungan dan pengelolaan kualitas udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi:
a. ekosistem udara yang menjamin keberlanjutan makhluk
hidup termasuk manusia;
b. media informasi dan komunikasi; dan
7 Pasal 20
Penetapan pemanfaatan ruang udara pada:
a. ruang udara lintas provinsi dan/atau lintas batas
negara ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
b. ruang udara lintas kabupaten/kota diatur dengan
Keputusan Gubernur; dan
c. ruang udara dalam wilayah kabupaten/kota ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota. Pasal 21
(1) Menteri melakukan kajian daya tampung beban
pencemaran udara nasional.
(2) Gubernur melakukan kajian daya tampung beban
pencemaran udara provinsi.
(3) Bupati/walikota melakukan kajian daya tampung beban
pencemaran udara kabupaten/kota.
Pasal 22
(1) Daya tampung beban pencemaran udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan untuk mengetahui
besarnya kemampuan udara menampung beban
pencemar dan kontribusi beban pencemaran udara dari masing-masing sumber pencemar udara.
(2) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:
a. kondisi udara;
b. tata udara;
c. status kualitas udara;
d. baku mutu udara ambien; dan
e. beban pencemar pada masing-masing sumber.
(3) Pedoman perhitungan daya tampung beban pencemaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
Kajian daya tampung beban pencemaran udara pada sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 digunakan sebagai dasar:
a. penetapan izin lokasi bagi usaha dan/atau kegiatan oleh
bupati/walikota;
b. penetapan izin lingkungan yang berkaitan dengan emisi
ke udara oleh bupati/walikota;
c. penetapan baku mutu emisi oleh Menteri dan/atau
pemerintahan daerah provinsi;
d. penetapan kebijakan dalam pengendalian pencemaran
udara;
e. penyusunan rencana tata ruang wilayah; dan
f. penentuan kualitas udara sasaran.
Pasal 24
(1) Kajian daya tampung beban pencemaran udara pada
sumbernya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Kajian daya tampung beban pencemaran pada sumber
8
dilaksanakan untuk menyesuaikan terhadap
perubahan:
a. kondisi udara;
b. jumlah beban dan jenis sumber pencemar udara;
c. pemanfaatan ruang udara;
d. sirkulasi udara; dan
e. iklim yang dapat menyebabkan berubahnya daya
tampung beban pencemar udara. Pasal 25
(1) Gubernur mengkomunikasikan hasil kajian daya
tampung beban pencemaran udara kepada Menteri.
(2) Bupati/walikota mengkomunikasikan hasil kajian daya
tampung beban pencemaran udara kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
BAB IV
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA Pasal 26
(1) Pengendalian pencemaran udara meliputi:
a. pencegahan;
b. pemantauan;
c. penanggulangan; dan
d. pemulihan.
(2) Pengendalian pencemaran udara dilaksanakan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawabnya masing-masing.
Bagian Kesatu Pencegahan
Pasal 27
(1) Pencegahan pencemaran udara dilakukan melalui:
a. pengurangan emisi;
b. pembatasan emisi; dan
c. pemanfaatan kembali emisi menjadi energi.
(2) Pelaksanaan pencegahan pencemaran sumber udara
yang dilakukan oleh pemerintah menggunakan
instrumen:
a. Amdal;
b. baku mutu udara ambien;
c. baku mutu emisi;
d. baku mutu gangguan;
e. izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
f. instrumen ekonomi;
g. perdagangan Emisi;
h. mekanisme pembangunan bersih;
i. penerapan teknologi ramah lingkungan;
j. penerapan produksi bersih;
k. standar mutu bahan bakar bersih;
l. pengelolaan sistem transportasi perkotaan terpadu;
9
n. pembinaan usaha/kegiatan skala kecil;
o. manajer pengendalian pencemaran udara; dan
p. instrumen lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Paragraf Kesatu
Amdal dan UKL-UPL Pasal 28
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak
penting terhadap udara wajib memiliki Amdal
(2) Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan informasi mengenai:
a. prakiraan sumber dan jumlah beban emisi yang
dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
b. sebaran zat pencemar ke lingkungan atau udara
ambien; dan
c. pengaruh zat pencemar yang dihasilkan terhadap
kenaikan konsentrasi zat pencemar tersebut di udara ambien.
(3) Hasil prakiraan jumlah beban emisi sebagimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a digunakan untuk:
a. mengklasifikasikan suatu usaha dan/atau kegiatan
dalam kelas perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; dan
b. menentukan kewajiban untuk memasang alat
pengendalian pencemaran udara yang terbaik yang tersedia jika kualitas udara ambien akan terlewati.
Paragraf Kedua Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 29
(1) Baku mutu udara ambien ditetapkan untuk
menyatakan:
a. kondisi cemar, apabila kualitas udara tidak
memenuhi baku mutu udara ambien berdasarkan klasifikasi fungsinya; dan
b. kondisi tujuan, agar kualitas udara memenuhi baku
mutu udara ambien sesuai fungsi ekosistemnya.
(2) Kriteria kondisi udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinilai dalam:
a. kadar pencemar udara atau parameter lingkungan;
dan/atau
b. keterangan atau deskripsi mengenai kualitas udara.
(3) Pencemar udara sebagaimana dimaksud pada ayat 2
huruf a terdiri dari:
a. pencemar udara kriteria (umum);
b. pencemar udara berbahaya atau beracun; dan
c. pencemar udara organik yang tidak mudah terurai.
(4) Kriteria kondisi udara ditetapkan sesuai dengan fungsi
ekosistem udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a.
(5) Baku mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan hasil
inventarisasi kualitas udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
10
(6) Baku mutu udara ambien nasional untuk pencemar
udara kriteria adalah sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan pemerintah ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu udara
ambien untuk pencemar udara berbahaya/beracun dan pencemar udara organik yang tidak mudah terurai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Pasal 30
(1) Atas pertimbangan kesehatan manusia dan
perlindungan fungsi lingkungan hidup, Menteri dapat menambahkan parameter dari kriteria kondisi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) Tambahan parameter baku mutu udara ambien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari kementerian/lembaga terkait.
Pasal 31
(1) Gubernur dapat menetapkan baku mutu udara ambien
provinsi yang lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) pada ruang udara lintas wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Baku mutu udara ambien sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Pasal 32
(1) Bupati dapat menetapkan baku mutu udara Ambien
yang lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional dan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) pada ruang udara dalam wilayah
kabupaten/kota
(2) Baku mutu udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan bupati/walikota
Paragraf Ketiga Baku Mutu Emisi
Pasal 33
(1) Untuk mencapai status kualitas udara sesuai baku
mutu udara ambien, Menteri menetapkan baku emisi nacional dari sumber pencemar tidak bergerak dan sumber pencemar bergerak sebagai rujukan baku mutu emisi daerah
(2) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan bagi:
a. usaha dan/atau kegiatan sebagai persyaratan dan
kewajiban dalam izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang wajib ditaati oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; dan
b. pemilik kendaraan bermotor sebagai persyaratan
dalam registrasi dan perpanjangan registrasi
kendaraan bermotor dan pembayaran pajak
11 Pasal 34
(1) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 berdasarkan hasil kajian dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar, kualitas bahan baku, dampak terhadap kesehatan manusia, serta teknologi yang dapat diterapkan.
(2) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 dapat ditinjau kembali apabila terjadi perkembangan teknologi yang diterapkan dan perubahan kebijakan pengendalian pencemaran udara.
Paragraf Keempat Baku Mutu Gangguan
Pasal 35
(1) Menteri menetapkan baku mutu gangguan baik yang
berasal dari sumber tidak bergerak dan/atau sumber bergerak.
(2) Baku mutu gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. baku mutu kebisingan;
b. baku mutu getaran;
c. baku mutu kebauan; dan
d. baku tingkat gangguan lainnya.
(3) Baku mutu gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
kesehatan, kenyamanan terhadap manusia, dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
(4) Baku mutu gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Paragraf Kelima
Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang pada tahap
opersionalnya melakukan kegiatan pembuangan emisi wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas izin pembuangan emisi ke udara dari bupati/walikota.
(3) Tata cara dan persyaratan perizinan yang berkaitan
dengan pembuangan emisi ke udara atau pemanfaatan ruang udara diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 37
(1) Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
didasarkan atas jumlah beban emisi yang dihasilkan dan diterbitkan oleh:
a. Menteri,untuk sumber emisi skala besar;
b. gubernur, untuk sumber emisi skala menengah; dan
12
(2) Ketentuan mengenai klasifikasi usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 38
(1) Pemegang izin emisi yang mempergunakan teknologi
pengendalian pencemaran udara terbaik yang tersedia.
(2) Batas beban emisi tahunan adalah batas paling tinggi
jumlah emisi yang dapat dikeluarkan oleh usaha atau kegiatan yang tidak boleh terlampaui.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan
ambang batas beban emisi dan batas paling tinggi beban emisi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf Keenam Instrumen Ekonomi
Pasal 39
(1) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan dan
pengelolaan kualitas udara, Menteri, gubernur,
bupati/walikota menerapkan instrumen ekonomi yang bersifat:
a. insentif; atau
b. disinsentif.
(2) Penerapan kebijakan insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a antara lain meliputi:
a. pengenaan biaya pembuangan emisi yang lebih
murah dari tarif baku, apabila melakukan minimasi pembuangan emisi;
b. peringanan atau pembebasan bea dan/atau pajak
untuk penggunaan sarana dan/atau prasarana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara;
c. pinjaman lunak untuk penggunaan sarana dan/atau
prasarana perlindungan dan pengelolaan kualitas udara;
d. pemberian penghargaan sebagai perintis, pengabdi,
dan penyelamat di bidang perlindungan dan pengelolaan kualitas udara;
e. pengumuman peringkat baik atas riwayat kinerja
penaatan usaha dan/atau kegiatan kepada
masyarakat; dan/atau
f. Pemberian hak untuk menjual alokasi ambang batas
beban emisi tahunan.
(3) Penerapan kebijakan disinsentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b antara lain meliputi:
a. pengenaan biaya pembuangan emisi yang lebih
mahal dari tarif baku secara progresif;
b. penambahan bea dan/atau pajak untuk penggunaan
sarana dan/atau prasarana yang menambah beban pencemaran udara;
c. penambahan frekuensi swapantau; dan/atau
d. pengumuman peringkat buruk atas riwayat kinerja
penaatan usaha dan/atau kegiatan kepada
13 Pasal 40
(1) Alokasi ambang batas beban emisi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat
diperdagangkan diantara para pemegang izin dalam sektor industri yang sama.
(2) Pemegang izin pembuangan emisi hanya dapat membeli
tambahan alokasi pembuangan emisi selama tidak melebihi batas maksimum beban emisi tahunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan alokasi
batas beban emisi tahunan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
Paragraf Ketujuh
Standar Mutu Bahan Bakar Bersih Pasal 41
Menteri yang bertanggung jawab dibidang energi dan sumber daya mineral menetapkan standar mutu bahan bakar nasional dengan mempertimbangkan saran dan masukan dari Menteri.
Paragraf Kedelapan Pembinaan
Pasal 42
(1) Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pembinaan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan skala kecil dalam upaya perlindungan dan pengelolaan kualitas udara.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara, antara lain:
a. menyebarluaskan informasi mengenai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan kualitas udara;
b. mendorong upaya penerapan teknologi pengendalian
pencemaran udara;
c. mendorong upaya minimisasi emisi;
d. mendorong upaya pemanfaatan emisi menjadi
energi;
e. mendorong upaya penerapan teknologi sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
f. menyelenggarakan pelatihan, mengembangkan
forum-forum bimbingan dan/atau konsultasi teknis dalam bidang perlindungan dan pengelolaan kualitas udara; dan
g. menyediakan dan menerapkan sistem evaluasi
kinerja pemanfaatan teknologi ramah lingkungan di bidang perlindungan dan pengelolaan kualitas udara.
(3) Pengaturan lebih lanjut tentang pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Paragraf Kesembilan
14 Pasal 43
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang termasuk usaha
dan/atau kegiatan skala besar dan menengah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 wajib memiliki
manajer pengendalian pencemaran udara yang
bersertifikat.
(2) Tata cara dan mekanisme sertifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf Kesepuluh
Pemantauan Kualitas Udara Pasal 44
(1) Pemantauan kualitas udara ambien dilakukan dalam
rangka evaluasi pelaksanaan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Evaluasi rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup status kualitas udara tahunan.
(3) Pemantauan kualitas udara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan untuk:
a. mengukur kualitas udara ;
b. memastikan kualitas udara memenuhi baku mutu
untuk penggunaan tertentu;
c. menilai beban material yang masuk ke udara;
d. mengetahui karakteristik biota udara;
e. menilai status kualitas udara;
f. menilai efektifitas perlindungan dan pengelolaan
kualitas udara;
g. mengidentifikasi kecenderungan kondisi udara; dan
h. mengembangkan baku mutu udara ambien.
(4) Pemantauan kualitas udara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. penyusunan desain pemantauan;
b. pengambilan sampel;
c. analisa sampel di laboratorium;
d. pengolahan data dan interpretasi data; dan
e. pelaporan.
(5) Pemantauan kualitas udara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
(6) Mekanisme dan/atau prosedur pemantauan kualitas
udara diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Pasal 45
(1) Menteri melakukan pemantauan kualitas udara
nasional;
(2) Gubernur melakukan pemantauan kualitas udara
provinsi;
(3) Bupati/walikota melakukan pemantauan kualitas udara
pada wilayah kabupaten/kota;
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan (3), dikomunikasikan kepada Menteri.
(5) Dalam melaksanakan pemantauan kualitas udara,
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pemantau kualitas lingkungan hidup yang merupakan jabatan fungsional.
15 Pasal 46
(1) Pemantauan kualitas udara ambien dapat
menggunakan peralatan otomatis, metode aktif manual atau peralatan sederhana.
(2) Penggunaan jenis peralatan pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan sesuai dengan tipe lokasi atau area pemantauan.
(3) Tipe lokasi atau area pemantauan ditentukan
berdasarkan kriteria jumlah penduduk, kondisi
transportasi, dan jumlah industri dan status kualitas udara ambien.
(4) Wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk lebih dari
1 juta orang wajib menggunakan peralatan pemantauan otomatis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tipe lokasi atau area
pemantauan serta jenis peralatan pemantauan yang digunakan pada masing-masing tipe lokasi atau area pemantauan diatur dalam peraturan menteri.
Pasal 47
Wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta orang wajib menggunakan peralatan pemantauan otomatis.
Pasal 48
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang diklasifikasikan sebagai
usaha dan/atau kegiatan besar wajib memiliki alat
pemantauan emisi berkesinambungan (continues
emission monitoring).
(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan secara langsung dan seketika kepada unit khusus dibawah instansi lingkungan hidup daerah dan Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
Paragraf Kesebelas Status Kualitas udara
Pasal 49
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota wajib
memberitahukan informasi mengenai status kualitas udara kepada masyarakat.
(2) Pemberitahuan status kualitas udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk menyatakan:
a. kondisi cemar, apabila kualitas udara tidak
memenuhi baku mutu udara berdasarkan klasifikasi fungsinya; dan
b. kondisi baik, apabila kualitas udara memenuhi baku
mutu udara sesuai klasifiksi fungsinya.
(3) Pemberian informasi status kualitas udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari informasi publik lingkungan hidup
16 Pasal 50
(1) Dalam hal status kualitas udara menunjukkan kondisi
cemar, maka Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan upaya pemulihan kualitas udara sesuai baku mutu udara ambien.
(2) Dalam hal status kualitas udara menunjukkan kondisi
baik, maka Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mempertahankan atau meningkatkan kualitas udara.
Pasal 51
(1) Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan kualitas
udara, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib melakukan mitigasi gas rumah kaca sesuai dengan kewenangannya.
(2) Mitigasi gas rumah kaca meliputi
a. mengurangi emisi gas rumah kaca; dan
b. memanfaatkan emisi gas rumah kaca sebagai energi.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang analisis mitigasi
perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Pasal 52
(1) Status mutu udara diperoleh dari stasiun pemantau
mutu udara ambien secara berkesinambungan.
(2) Status mutu udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
(3) Menteri wajib menetapkan tata cara pemantauan,
perhitungan, dan pelaporan serta informasi status mutu udara.
(4) Status mutu udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dipergunakan untuk :
a. bahan informasi kepada masyarakat tentang mutu
udara ambien di daerah tertentu dan pada waktu tertentu;
b. bahan pertimbangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam melaksanakan
pengendalian pencemaran udara. Bagian Kedua
Penanggulangan
Pasal 53
(1) Setiap orang yang menyebakan terjadinya pencemaran
udara wajib melakukan penanggulangan pencemaran udara.
(2) Penanggulangan pencemaran udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran udara
kepada masyarakat;
17
c. merelokasi penduduk/masyarakat ke tempat yang
aman;
d. melaksanakan Standard Operasional Prosedur (SOP)
untuk penanggulangan pencemaran udara;
e. menetapkan tindakan-tindakan lain yang dapat
mengurangi dampak pencemaran udara; dan
f. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Kewajiban melakukan penanggulangan pencemaran
udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan tanggungjawab hukum bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 54
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menetapkan kebijakan penanggulangan pencemaran udara meliputi:
a. SOP untuk penanggulangan pencemaran sumber tidak
bergerak;
b. pemberian informasi peringatan pencemaran udara
kepada masyarakat;
c. pengisolasian pencemaran emisi sumber tidak bergerak;
d. penghentian sumber pencemaran emisi sumber tidak
bergerak; dan
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan
pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 54 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Tanggap Darurat
Pasal 56
(1) Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan
darurat pencemaran udara secara nasional.
(2) Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan
darurat pencemaran udara di daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian
kewenangan, pembentukan tim, prosedur kerja,
parameter keadaan darurat dan tata cara penetapan keadaan darurat diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.
Pasal 57
(1) Apabila terjadi keadaan darurat maka setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib:
a. melaksanakan standar operasi prosedur tanggap
darurat; dan
b. melaksanakan ganti rugi pencemaran yang
18
(2) Tata cara perhitungan ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.
Bagian Keempat Pemulihan
Pasal 58
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
melaksanakan pemulihan kualitas udara sesuai
fungsinya akibat pencemaran usaha dan/atau
kegiatannya
(2) Pemulihan fungsi udara akibat pencemaran yang tidak
diketahui penanggung jawab usaha dan
atau/kegiatannya dilaksanakan oleh :
a. Menteri apabila dampak pencemaran lintas provinsi
b. gubernur apabila dampak pencemaran lintas
kabupaten/kota
c. bupati apabila dampak pencemaran terbatas dalam
kabupaten/kota
(3) Pemulihan fungsi ekosistem udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penghentian sumber pencemaran;
b. pembersihan unsur pencemar;
c. remediasi;
d. rehabilitasi;
e. restorasi; dan/atau
f. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(4) Penanggungjawab usaha dan/atau yang melakukan
pencemaran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan.
Pasal 59
(1) Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau/kegiatan
tidak melaksanakan pemulihan sebagaimana dimaksud pada pasal 58 ayat (1) dan ayat (4), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi ekosistem udara atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Dalam melakukan pemulihan fungsi ekosistem udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota dapat menggunakan dana penjaminan yang disediakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan pada saat mengajukan permohonan izin lingkungan.
(3) Apabila dana penjaminan yang disediakan tidak
memadai untuk melakukan pemulihan fungsi ekosistem udara, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menanggung sisa biaya pemulihan kualitas udara.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan pemulihan kualitas udara sebagaimana dimaksud pada
19 Pasal 58 sampai dengan Pasal 59 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V PEMELIHARAAN
Pasal 61
(1) Pemeliharaan kualitas udara dilakukan melalui upaya:
a. konservasi kualitas udara;
b. pencadangan ruang udara; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi kegiatan:
a. pemanfaatan ruang udara secara lestari;
b. perlindungan kualitas udara; dan
c. pengawetan fungsi ekosistem udara.
(3) Pencadangan ruang udara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan melalui penetapan ruang udara yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 62
(1) Pemanfaatan ruang udara secara lestari sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a melalui pemanfaatan sesuai RPPKU.
(2) Perlindungan kualitas udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b dilakukan melalui pelaksanaan rencana perlindungan kualitas udara.
(3) Pengawetan ekosistem udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (2) huruf c dilakukan pada ruang udara sesuai tata ruang.
BAB VI
PENGELOLAAN INFORMASI Pasal 63
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib
memberikan informasi mengenai perlindungan dan pengelolaan kualitas udara kepada masyarakat.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. informasi ruang udara dan kualitas udara yang
memuat:
1. arus udara;
2. baku mutu udara;
3. status kualitas udara; dan
4. daya tampung beban pencemaran udara;
b. beban Pencemaran udara yang diperoleh dari hasil
inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar; dan
c. izin pembuangan emisi ke udara.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya melakukan pemutakhiran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Dalam rangka memberikan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri, gubernur, atau
20 mengembangkan sistem informasi perlindungan dan pengelolaan kualitas udara.
(5) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
menjadi bagian dari sistem informasi lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Pasal 64
(1) Menteri dan gubernur wajib mempublikasikan laporan
evaluasi pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan kualitas udara.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:
a. status pelaksanaan rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai indikator
keberhasilan yang ditetapkan dalam rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. hasil inventarisasi emisi;
c. hasil pemantauan udara ambien; dan
d. status kualitas udara.
Pasal 65
(1) Menteri menunjuk laboratorium lingkungan sebagai
laboratorium rujukan nasional.
(2) Pelaksanaan pengujian dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan kualitas udara wajib dilakukan oleh
laboratorium yang telah terakreditasi sebagai
laboratorium lingkungan rujukan nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang laboratorium lingkungan
diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 66
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil uji parameter baku
mutu ambien, baku mutu emisi dan/atau baku mutu gangguan dari dua atau lebih laboratorium maka dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan
laboratorium rujukan nasional. BAB VII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRASI Pasal 67
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas:
a. Peraturan perundang-undangan mengenai
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan pemeliharaan kualitas udara; dan
b. Persyaratan dan/atau kewajiban yang harus di
penuhi yang tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
21
(2) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Pasal 68
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi;
dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas
lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang
menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
Pasal 69
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup merupakan
pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan
kepangkatan paling rendah penata muda
golongan/ruang IIIa.
(2) Selain persyaratan kepangkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pegawai negeri sipil harus lulus dalam pendidikan dan pelatihan pengawas lingkungan hidup.
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan atau berdasarkan
peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.
Pasal 71
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melaksanakan pembuangan emisi dan pemanfatan ruang udara tanpa memiliki izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
dikenakan sanksi administratif berupa penghentian
sementara seluruh kegiatan. Pasal 72
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang melanggar persyaratan dan kewajiban izin
22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembayaran denda;
d. pembekuan izin lingkungan; atau
e. pencabutan izin lingkungan.
(2) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. penghentian sementara kegiatan pembuangan dan
pemanfaatan udara limbah;
b. pemindahan instalasi pengolahan udara limbah;
c. pembongkaran instalasi pengolahan udara limbah;
d. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
mencemari udara; dan/atau
e. penghentian sementara seluruh kegiatan yang
menghasilkan dan/atau memanfaatkan udara
limbah.
Pasal 73
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang tidak melakukan penanggulangan pencemaran
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dikenakan sanksi administratif berupa paksaan
pemerintah untuk menghentikan pencemaran udara.
(2) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan penanggulangan pencemaran udara atas beban biaya penanggung jawab usaha/kegiatan.
Pasal 74
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang tidak melakukan pemulihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dikenakan sanksi
administratif berupa paksaan pemerintah untuk
memulihkan fungsi ekosistem udara.
(2) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menunjuk pihak ketiga untuk memulihkan fungsi ekosistem udara atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 75
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 dan Pasal 74 yang tidak dilakukan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
diperhitungkan sebagai kerugian lingkungan.
(2) Besaran kerugian lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dengan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
23 BAB VIII
PENUTUP Pasal 76
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 77
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 78
Peraturan Pelaksanaan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan.
Pasal 79
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
1 LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR .... TAHUN ....
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN KUALITAS UDARA
BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL
No. Parameter Waktu Pengukuran Usulan Angka BM
(µg/Nm3)
1. Ozone (O3) 1 jam 200
24 jam 100
1 tahun 8 Jam
2. Nitrogen Dioksida (NO2) 1 jam 320
24 jam 100
1 tahun 90
3. Sulfur Dioksida (SO2) 1 jam 750
24 jam 300
1 tahun 60
4. Karbon Monoksida (CO) 1 jam 30.000
24 jam 10.000 8 Jam 1 tahun 5. Hidrokarbon (HC) 3 jam 160 6. Total Suspended Partikel (TSP) 1 jam 24 jam 200 1 tahun 7. Timbal (Pb) 1 jam 24 jam 2 1 bulan 3 bulan 1 tahun 1 8. Ammonia (NH3) 1 jam 1
9. Hidrogen Sulfida (H2S) 1 jam 0.5
10. Partikulat Matter -10 1 jam
24 jam 150
1 tahun 50
11. Partikulat Matter -2.5 1 jam
24 jam 60