• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Salah satu jalur strategis yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas itu adalah melalui pendidikan. Hal ini karena tujuan utama yang ingin dicapai oleh pendidikan adalah optimalisasi dan aktualisasi potensi manusia.

Pendidikan diharapkan secara terencana dapat meningkatkan kualitas manusia dalam Ibrahim, 1993).

Pendidikan adalah salah satu hal yang penting dalam kehidupan seseorang, yang berlangsung di sepanjang kehidupan manusia, yang dapat membuat manusia tersebut dalam hal ini khususnya anak didik dapat menjadi tunas harapan bangsa yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa dan menjadi calon kompetitor dalam menghadapi persaingan dimasa yang akan datang. Dan yang menjadi sarana pendidikan tersebut salah satunya adalah sekolah (dalam Suryabrata, 1998).

Sekolah adalah salah satu sarana pendidikan untuk menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Peristiwa mulai sekolah merupakan langkah maju dalam kehidupan anak. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa yang menegangkan, menakjubkan, yang menakutkan atau yang asing bagi anak

(2)

(dalam Sukadji, 2000). Sekolah dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia.

Sekolah dasar adalah jenjang sekolah yang wajib diikuti oleh anak mulai dari usia 6 tahun (dalam Rifai, 1993). Sekolah dasar merupakan landasan bagi pendidikan selanjutnya dan bahwa siswa sekolah dasar mengalami tingkat perkembangan yang berbeda dari sekolah-sekolah tingkat selanjutnya (dalam Kumara, 1997). Ketika seorang anak telah mencapai usia sekolah, kehidupan rumahpun telah digantikan dengan kehidupan sekolah. Sekolah kemudian memiliki arti yang penting karena dapat menjadi sarana bagi pengembangan prestasi anak. Sebaliknya, sekolah dapat pula menjadi sumber masalah bagi anak.

Siswa belajar melakukan kontak sosial di sekolah, melalui permainan dan pergaulannya dengan siswa lain, siswa diperkenalkan pula pada tatanan yang berlaku di lingkungannya (dalam Daud, 2003). Pada usia ini anak tidak hanya dituntut untuk mempelajari keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga diharapkan mampu bergaul dengan teman-teman sebaya dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang positif sesuai dengan budaya tempat tinggalnya yang dapat juga kita sebut sebagai kemampuan bersosialisasi, sesuai dengan tugas perkembangannya (Mubin, 2006).

Siswa sekolah dasar umumnya berusia 6 sampai 12 tahun. Usia 6 tahun merupakan usia awal dari masa kanak-kanak akhir, menurut Hurlock (1999) masa kanak-kanak akhir dimulai pada usia 6 tahun sampai dengan usia 13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki. Menurut Rifai (1993) masa

(3)

kanak-kanak akhir merupakan masa sekolah dasar, yaitu periode perkembangan anak antara usia 6 sampai 12 tahun.

Anak usia 6 tahun sudah dianggap matang untuk belajar di sekolah dasar, tapi ternyata tidak semua anak siap untuk pergi ke sekolah. Anak bisa merasa belum siap walaupun usianya sudah mencukupi untuk masuk sekolah. Di sekolah terdapat individu-individu yang belum pernah bersamanya dalam kehidupan keluarga dan belum pernah bergaul dengannya. Pada awalnya anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah.

Tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi dengan cepat (dalam Mahfuzh, 2001).

Proses mempersiapkan anak kecil untuk beradaptasi dengan sekolah, termasuk salah satu proses sosial yang sangat susah dan sekaligus sangat penting.

Proses ini memerlukan kajian yang mendalam terhadap masing-masing anak dalam rangka untuk mengetahui iklim di sekitar sekolah, mengenali kebutuhan- kebutuhan yang riil dan mengamati secara mendalam semua perilaku serta upayanya dalam mengatasi berbagai kesulitan yang anak dapati di lingkungan keluarga. Ketika menuju sekolah, seorang anak membawa beban-beban emosional tertentu yang berpotensi menghalangi anak berangkat ke sekolah. Jika beban- beban emosional ini dibiarkan, akan menimbulkan beberapa tingkah laku yang tidak normal, yang salah satunya adalah school refusal (dalam Mahfuzh, 2001).

School refusal terjadi ketika anak tidak mau pergi ke sekolah atau

mengalami distres yang berat berkaitan dengan kehadiran di sekolah. School refusal adalah kriteria diagnostik dari gangguan kecemasan berpisah, kondisi

(4)

mental yang dikarakteristikkan oleh ketidaknormalan, kecemasan yang tinggi, berkenaan dengan perpisahan yang sebenarnya dari orangtua atau individu lain yang dekat dengan anak (dalam Kahn, 1981). Anak yang mengalami school refusal merasa tidak nyaman karena perasaan cemas sehingga mereka dapat

kehilangan kemampuan untuk menguasai tugas-tugas perkembangan pada berbagai tahap pada masa perkembangan mereka. Secara spesifik, seorang anak yang sangat pemalu dan sangat tidak mampu berinteraksi dengan teman sebaya, tidak mungkin belajar bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain (dalam Davison, 2006).

School refusal dapat terjadi karena adanya keadaan yang membuat anak

menjadi stress, seperti sibling antar saudara; kematian anggota keluarga, teman dekat atau hewan peliharaan; perubahan di sekolah, seperti guru baru, kehilangan teman; perubahan keluarga, seperti perceraian atau pernikahan kembali (dalam Kahn, 1981).

Peneliti mendapatkan beberapa data dari anak yang merupakan subjek prapenelitian yaitu A dan B, dari hasil wawancara berikut ini :

“……Di sekolahku ga’ ada yang baek... ...ga’ mau sekolah, enakan dirumah. Tapi mama bilang harus sekolah... ... ...ya aku sekolah, biar pintar. Tapi males kali pergi sekolah... ... ...ga’ bisa ketemu mama. Pernah ga’ masuk sekolah lama, enak kali... soalnya bisa jalan-jalan ama mama, papa, kakak... ...disekolah ga’ enak... ...ga’ enak... ...” (A komunikasi personal, 16 Maret 2006)

“……Sekolah enak……bisa ketemu temen-temen, tapi tugasnya banyak.

Kalau ketemu teman-teman bisa main sama-sama... main kejar- kejaran...main...main deh... ... trus bisa belajar bersama... ... kan kalau saya ga’ tahu bisa tanya ama temen... ... tapi bukan saat ujian, kalau ujian ga’ boleh tanya-tanya... ... Main sama mama dan kakak di rumah kalau dah pulang sekolah, kalau ama temen ya di sekolah.…e...dirumah juga,

(5)

dekat rumah ada temen... ...ya main juga... tapi kata mama harus siap dulu Prnya... ... ” (B komunikasi personal, 16 Maret 2006)

Perbedaan yang dapat dilihat dari hasil wawancara di atas adalah anak yang pertama adalah anak yang merasa takut jika harus sendirian dan berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengannya. Dengan kata lain anak tersebut telah mengalami penolakan terhadap sekolah (school refusal). Sedangkan anak yang kedua sama sekali tidak mengalami school refusal karena anak tersebut terlihat sangat menikmati pergi ke sekolah.

Penyebab school refusal cukup bervariasi, dalam wawancara di atas dapat dilihat bahwa penyebab anak tersebut mengalami school refusal adalah karena ia ingin selalu berada didekat ibunya karena dengan berada dekat ibunya ia merasa aman dan tidak terancam (dalam Rini, 2002). Kecemasan berpisah sering kali merupakan penyebab utama School refusal. Salah satu studi oleh Last dan Strauss (1990) menemukan bahwa 75% anak-anak yang menolak untuk sekolah disebabkan oleh kecemasan berpisah dari ibu atau orang yang terdekat dengannya (dalam Davison, 2006). School refusal juga dapat terjadi karena pengalaman negatif di sekolah, seperti mendapat cemoohan, ejekan atau pun diganggu teman- temannya. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, gendut, kurus, hitam atau takut gagal dan mendapat nilai buruk. Biasanya anak terlihat murung ketika waktu sekolah tiba, tidak bersemangat. Atau malah mengeluh sakit ketika waktu pergi sekolah tiba (dalam Rini, 2002).

Peneliti juga menanyakan pendapat seorang guru SD mengenai anak yang mengalami school refusal :

(6)

“……… karena sering tidak masuk sekolah ia jadi ketinggalan banyak pelajaran. Bukan hanya itu saya lihat ketika ia sudah mau masuk sekolah, anaknya pendiam dan ga mau bergaul dengan teman-temannya yang lain.

Jadi dia cukup sulit saya rasa untuk terus mengikuti pelajaran. ……tapi kalau dibilang anaknya kurang pintar ya ga juga………” (C, komunikasi personal, 10 Mei 2006)

School refusal memiliki konsekuensi akademik dan sosial yang serius bagi

anak dan dapat sangat merusak (dalam Davison, 2006). Salah satu konsekuensinya adalah anak jadi kurang bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan anak tidak mau berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengannya, sehingga anak kurang bergaul dengan teman-teman sebayanya atau orang lain diluar orang yang dekat dengannya. Kurangnya sosialisasi ini secara tidak langsung mempengaruhi prestasi belajar anak, karena anak tergantung pada ibu atau orang yang dekat dengannya maka prestasi belajarnya juga tergantung pada orang-orang tersebut (dalam Rifai, 1993). Dan dampak yang paling buruk adalah anak bisa dikeluarkan dari sekolah (dropout) karena terlalu lama tidak masuk sekolah (dalam Kearney, 2001).

Menurut Wanda P.Fremont (2003), sebanyak 1-5% anak usia sekolah mengalami school refusal dan merata terjadi pada anak laki-laki dan perempuan.

Dan pada dasarnya school refusal terjadi pada setiap usia, tapi lebih sering terjadi pada usia 5-6 tahun dan 10-11 tahun. School refusal juga terjadi bukan karena adanya perbedaan sosial ekonomi.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti ingin mengetahui lebih lanjut apa itu school refusal dan mengapa lebih banyak terjadi pada anak sekolah dasar.

Penelitian ini juga diharapkan akan bisa lebih banyak lagi menggali tentang school refusal dan bagaimana gejala-gejala serta dinamika yang bisa terjadi pada

(7)

anak sekolah dasar. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif, agar diperoleh pemahaman menurut penghayatan atau sudut pandang subjek penelitian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Irwin Deutcher (dalam Moleong, 2000) salah satu keuntungan pendekatan kualitatif adalah berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang- orang itu, yang terpenting adalah kenyataan yang terjadi sebagaimana yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri.

Penelitian ini akan melibatkan anak sekolah dasar yang mengalami school refusal sebagai subjek penelitian dan dilakukan di kota Medan, karena peneliti

adalah mahasiswa yang berada di kota Medan, sehingga akan lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.

I.B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya maka peneliti menemukan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap anak terhadap sekolah.

2. Bagaimana gejala school refusal yang ditunjukkan oleh anak, meliputi:

frekuensi, durasi, intensitas, dan bentuk perilakunya.

3. Apa yang memicu sehingga anak mengalami school refusal.

4. Bagaimana respon dan sikap orangtua terhadap anak yang mengalami school refusal.

(8)

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gejala-gejala school refusal dan bagaimana dinamika school refusal tersebut pada anak sekolah dasar.

I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan, terutama mengenai school refusal.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai school refusal pada anak sekolah dasar atau penelitian lain yang berkaitan dengan school refusal.

I.D.2. Manfaat praktis

Penelitian ini juga diharapkan menjadi tambahan informasi dan menjadi bahan masukan bagi para orangtua, guru dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan kondisi anak sekolah yang mengalami school refusal. Melalui informasi ini orangtua dapat memahami keadaan anak, mengetahui dengan jelas gejala dan dinamika dari school refusal pada anak mereka.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan: berisikan latar belakang permasalahan, identifikasi

masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

(9)

Bab II Landasan Teori: dalam bab ini berisi uraian beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang menjelaskan data penelitian, yaitu teori tentang school refusal, yang didalamnya termasuk defenisi school refusal, tingkatan-tingkatan school refusal dan beberapa penyebab terjadinya school refusal.

Bab III Metode penelitian: membicarakan tentang metode penelitian kualitatif yang digunakan, metode pengumpulan data, subjek dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian dan prosedur analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan sampel/subjek yang digunakan dalam penelitian.

Bab IV Analisa dan Interpretasi Data: berisikan gambaran umum subjek penelitian, data wawancara dan observasi, analisa data dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan, diskusi dan saran: berisikan kesimpulan hasil penelitian, diskusi dan saran yang berhubungan dengan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui keefektifan dan pebedaan antara penerapan model guided discovery learning disertai concept mapping dalam meningkatkan

masing-masing Kelurahan menunjukan bahwa Kelurahan Malendeng yang paling tinggi penyebaran nyamuk di Kecamatan Paal Dua yaitu dengan total 49 nyamuk Culex spp,

Akibat hukum dari penyitaan ini ialah bahwa pemohon atau penyita barang tidak menguasai barang yang telah disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk

BANTUAN KEGIATAN PENGUATAN PKBM MELALUI PERMAGANGAN A. Bantuan kegiatan penguatan PKBM melalui permagangan adalah kegiatan yang difasilitasi oleh Direktorat Pembinaan

Data tentang faktor-faktor yang mendukung dan menghambat model kepemimpinan guru mata pelajaran tematik kelas V Surgi Mufti 4 Banjarmasin dalam pembelajaran

Namun dalam literatur Bibowo dan Masdupi (2015), menunjukkan bahwa secara langsung pengembangan karir tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi

Sedangkan analisa yang dilakukan pada data seismik adalah analisa hasil inversi secara vertikal untuk mengetahui nilai Impedansi Elastik zona target dan analisa

Model Pembelajaran Gallery Walk menggunakan gambar sebagai media pembelajaran. Selain itu, pembelajaran berlangsung dalam kelompok. Dalam pembelajaran tersebut,