5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS 2.1 Interkasi Simbolik
Interaksi adalah istilah dan garapan sosiologi sedangkan simbolik adalah garapan komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama sosiologi pada perkembangan ilmu psikologi sosial yang melahirkan perspektif interaksi simbolik.
2.2.1 Makna Interaksi Simbolik
Herbert Blumer dalam Ahmadi D ( 2008: 309-3010), konsepnya tentang interaksi simbolik, Blumer menunjuk kepada sifat khas dari tindakan atau interaksi antar manusia.
Kekhasannya bahwa manusia saling menerjemahkan, mendefenisikan tindakannya, bukan hanya reaksi dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang, tidak dibuat secara langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan.
Olehnya, interaksi dijembatani oleh penggunaan simbol, penafsiran, dan penemuan makna tindakan orang lain.
Blumer Soeprapto (2002), mengatakan bahwa individu bukan dikelilingi oleh lingkungan objek-objek potensial yang mempermainkan dan membentuk perilakunya, sebaliknya ia membentuk objek-objek itu. Dengan begitu, manusia merupakan actor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan objek yang diketahuinya melalui apa yang disebutnya sebagai self-indication. Maksudnya, proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memberi tindakan dalam konteks sosial. Menurutnya dalam teori interaksi simbolik mempelajari suatu masyarakat disebut “tindakan bersama”.
Dalam perspektif Blumer, teori interaksi simbolik mengandung beberapa ide dasar, yaitu: (1) Masyarakat terdiri atas manusia yang bertinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur sosial; (2) Interaksi terdiri atas berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi nonsimbolis mencakup stimulus respons, sedangkan interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan-tindakan; (3) Objek-objek tidak memiliki makna yang intrinsik.
Makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Objek-objek tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu objek fisik, objek sosial, dan objek abstrak;
6
(4) Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal. Mereka juga melihat dirinya sebagai objek;(5) Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat manusia itu sendiri;
(6) Tindakan tersebut saling berkaitan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.
Ini merupakan “tindakan bersama”. Sebagian besar “tindakan bersama” tersebut dilakukan berulang-ulang, namun dalam kondisi yang stabil. Kemudian di saat lain ia melahirkan kebudayaan (Bachtiar, 2006:249-250).
2.1.2. Konsep Diri Dalam Interaksi Simbolik
Menurut G. Herbert Mead dalam Ahmadi D ( 2008: 307-308), mengatakan bahwa teori interaksi simbolik adalah tentang “diri” (self), menganggap bahwa konsepsi-diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Bagi Mead, individu adalah makhluk yang bersifat sensitif, aktif, kreatif, dan inovatif. Konsep
“diri” (self) dapat bersifat sebagai objek maupun subjek sekaligus. Objek yang dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu mencapai kesadaran diri (self conciousness), dan dasar mengambil sikap untuk dirinya, juga untuk situasi sosial.
Menurut Charles Horton Cooley dalam Ahmadi D ( 2008: 307-308), mengatakan bahwa tentang “Diri” yang penting dalam perkembangan Interaksi simbolik ini berusaha mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai individu, namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat. Cooley mendefinisikan “diri” sebagai segala sesuatu yang dirujuk dalam pembicaran biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal. Cooley berpendapat bahwa “aku” (I), “daku”, (me), “milikku”, (mine), dan “diriku” (my self).
Menurutnya, segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat dibandingkan dengan yang tidak dikaitkan dengan diri bahwa diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif. Dalam teorinya the lookingglass self, Cooley berargumen bahwa konsep diri individu secara signifikan ditentukan apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenaidirinya. Artinya, individu memerlukan respons orang lain yang ditafsirkan subjektif sebagai data dirinya, (Mulyana, 2006).
Menurut William Jamesdalam Ahmadi D ( 2008: 307-308), menjelaskan “Diri” tidak jauh berbeda dengan argumentasi Mead bahwa konsep “diri”(self) dapat bersifat sebagai objek maupun subjek sekaligus. Objek yang dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai
7
karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu mencapai kesadaran diri (self conciousness), dan dasar mengambil sikap untuk dirinya juga untuk situasi sosial. James mengakui bahwa individu mempunyai banyak “diri” sebanyak kelompok berlainan yang merespon individu tersebut. Prinsipnya bahwa “diri” merefleksikan masyarakat, memerlukan suatu pandangan atas ‘diri” sesuai dengan realitas. William James menyimpulkan bahwa tidak ada realitas tunggal, melainkan realitas yang tak terbatas, seperti realitas kehidupan sehari-hari, mimpi, sains termasuk realitas pribadi.
2.2. Solidaritas Sosial menurut Durkheim
Durkheim mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil dari sebuah kebersamaan yang disebut dengan solidaritas sosial, yaitu satu keadaan hubungan antara individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Johnson, 1988:181).
Durkheim dalam Johnson (1988), indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan. Solidaritas mekanis menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness), yang menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Menurut Doyle Paul Johnson (1986), solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya.
Perubahan dalam pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar bagi struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain, perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi solidaritas sosial menjadi dua, yaitu solidaritas mekanis dan organis. (Ritzer dan Goodman, 2010: 90-91). Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dalam masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif lebih kuat yang melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat diyakini, sangat rigid, dan isinya sangat bersifat religius, yaitu pemahaman, norma dan
8
kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif.
Masyarakat modern lebih mungkin bertahan bersama dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang dimiliki orang lain daripada bertahan dengan kesadaran kolektif bersama dan kuat. Kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang rigid, dan isinya adalah kepentingan individu yang lebih tinggi daripada pedoman moral. Oleh karena itu, meskipun masyarakat organis memiliki kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk yang lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan individual (Ritzer dan Goodman, 2010: 92).
Solidaritas mekanik merupakan dasar kohesi sosial, di sana tingkat perorangan sangat rendah, karena setiap individu merupakan satu mikrokosmos yang bersifat kolektif, maka setiap anggota masyarakat semacam ini kesempatan untuk mengembangkan sifat kepribadian khusus sangat terbatas. Artinya bahwa solidaritas ini telah diperkuat oleh disiplin suatu komunitas berdasarkan kebersamaan moral dan sosial. Dalam rangka seperti ini, tradisi sangat berkuasa, individualisme sama sekali tidak ada dan keadilan ditujukan kepada tunduknya individu kepada kehidupan bersama karena solidaritas ini lahir dari kesamaankesamaan yang ada dalam diri anggota masyarakat, ia timbul dari kenyataan bahwa sejumlah keadaan kesadaran dimiliki bersama oleh semua anggota masyarakat itu (Muhni, 1994:33). Dominasi kolektivitas terhadap perorangan terlihat dalam hukuman- hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang menyimpang dari aturan-aturan atau kode-kode tingkah laku yang ditetapkan oleh kesadaran kolektif.
9 2.3. Kerangka Pikir
Keterangan Kerangka Berpikir:
Masyarakat Sumba merupakan masyarakat yang kaya akan kebudayaan atau tradisi yang secara turun temurun melekat dalam kehidupan masyarakat Sumba. Salah satu budaya masyarakat Sumba adalah mengkonsumsi atau mkan sirih pinang. Di Sumba Timur, khususnya Desa Ngongi Siri Pinang merupakan hal yang paling penting untuk disediakaan dalam melakukan interaksi antar individu atau antar kelompok dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam prosesi adat. Dalam kehidupan sehari-hari Siri Pinang dikonsumsi dan digunakan sebagai bagian jamuan tuan rumah ketika ada tamu yang datang berkunjung. Selain itu dalam kegiatan adat Siri Pinang juga harus disediakan sebagai media untuk menghargai orang lain atau sesama yang berkaitan dengan prosesi adat yang berlangsung.
Dalam kehidupan sehari-hari dan kegiatan adat sirih pinang digunakan sebagai media perantara untuk memperlancar proses komunikasi. Mengkonsumsi Sirih pinang secara bersama-
Ritual adat Masyrakat Ngongi
Budaya sirih pinang
Kehidupan sehari hari
Solidaritas Interaksi Simbolis
10
sama, mampu menghilangkan kesenjangan antar individu atau kelompok sehingga rasa solidaritas dapat terbagun dikalangan masyarakat Sumba.