• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 1nteraksi Sosial - Asimilasi Antara Penduduk Migran Dengan Penduduk Lokal (Studi kasus : Interaksi Multietnis di Kelurahan Tigabinanga,Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 1nteraksi Sosial - Asimilasi Antara Penduduk Migran Dengan Penduduk Lokal (Studi kasus : Interaksi Multietnis di Kelurahan Tigabinanga,Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 1nteraksi Sosial

Interkasi sosial dapat diartikan oleh para ahli seperti S.S Sargent yang

berpendapat bahwa interaksi sosial pada pokoknya memandang tingkah laku

sosial yang selalu dalam rangka kelompok seperti struktur dan fungsi dalam

kelompok. Tingkah laku sosial dipandang sebagai akibat adanya struktur

kelompok seperti struktur dan fungsi kelompok. H. Bonner memberi rumusan

interaksi sosial adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia ketika

kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki

kelakuan individu lain, atau sebaliknya (Sentosa, 2009:11).

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa bentuk umum proses sosial adalah

interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya

aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial

yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara

kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok

manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu.

Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin

berkelahi.

Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara

kelompok tersebut sebagai kesatuan. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala

(2)

Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat,

yaitu:

A. Adanya kontak sosial (sosial-contact)

Dalam bahasa latin cum (bersama-sama) dan Tango (menyentuh).

Secara harafiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak

baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu

tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat

mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya. Kontak

sosial dapat pula bersifat primer dan skunder. Kontak primer terjadi

apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan

muka. Sebaliknya kontak yang skunder memerlukan suatu perantara.

B. Adanya komunikasi

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Dalam komunikasi

kemungkinan seringkali terjadi pelbagai macam penafsiran terhadap

tingkah laku orang lain. Seulas senyuman, misalnya dapat ditafsirkan

sebagai keramah-tamahan, sikap bersahabat itu bahkan sebagai sikap sinis

dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi

memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau anatara

kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah

satu syarat terjadinya kerja sama (Soekanto, 1990 :61-64).

2.2 Interaksionisme Simbolik

Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai

(3)

interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.

Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah

interaksi sosial, kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam

interkasi.

Herbert Blumer dalam Kamanto Sunarto (2004: 35-36), salah seorang

penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai

interaksionisme simbolik. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme

simbolik ada tiga :

A. Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (Thing) atas dasar makna

(meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.

B. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari

interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.

C. Makna diperlukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran

(interpretative process), yang digunakan orang menghadapi sesuatu yang

dijumpainya.

Blumer dalam buku Poloma (2010:263) menyatakan keistimewaan

pendekatan kaum interaksionis simbolis ialah manusia dilihat saling menafsirkan

atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi

kepada setiap tindakan itu menurut metode stimulus-repon. Seseorang tidak

langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian

yang diberikan kepada tindakan itu. Ia menyatakan, “dengan demikian interaksi

manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh

kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain, Dalam kasus perilaku

(4)

stimulus dan repon”. Blumer berpandangan tidak mendesakkan prioritas dominasi

kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari

tindakan inividu: “masyarakat harus dilihat sebagai terdiri dari tindakan

orang-orang, dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan orang itu”.

Blumer menunjukan ide ini dengan menujukan bahwa kelompok yang demikian

merupakan respon pada situasi-situasi dimana orang menemukan dirinya.

Interaksionisme-simbolis yang diketengahkan Blumer dalam Margaret M.

Poloma (2010 : 264-266) mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar,

yang dapat diringkas sebagia berikut:

A. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi

B. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan

kegiatan manusia lain.

C. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik ; makna merupakan

produk interaksi-simbolis.

D. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat

dirinya sebagai obyek.

E. Tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dibuat oleh manusia

itu sendiri.

F. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota

kelompok: hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai;

“organisasi sosial dari prilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.

Sebagian besar tindakan bersama terlumer dalam Polsebut berulang-ulang

dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai

(5)

2.3 Hubungan Antar-Kelompok

Pembahasan menegnai hubungan antar kelompok cenderung dipusatkan

pada deskripsi dan penjelasan hubungan sosial anatara kelompok yang statusnya

berbeda. Kata kelompok dalam konsep hubungan antar kelompok mencakup

semua kelompok yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria ciri fisiologis,

kebudayaan, ekonomi dan perilaku. Faktor yang mempengaruhi kelompok

minoritas dapat dikaji dengan menggunakan dimensi sejarah, demografi, sikap,

institusi, gerakan sosial dan tipe utama hubungan antar-kelompok. Suatu bentuk

hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan antar-kelompok

ialah hubungan mayoritas-minoritas. Dalam defenisi Kinloch kelompok mayoritas

ditandai oleh adanya kelebihan kekuasaan, konsep mayoritas tidak dikaitkan

dengan jumlah anggota kelompok. Adapula ilmuan sosial yang berpendapat

bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan jumlah anggota (Sunarto,

2004 :143-149).

Stanley Liberson mencoba mengklasifikasikan pola hubungan antara

kelompok. Menurutnya kita dapat membedakan antara dua pola utama: pola

dominasi kelompok pendatang atas pribumi (migrant superordination), dan pola

dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous

Superordination). Menurut Liberson perbedaan pola hubungan

superordinasi-subordinasi antara migran penduduk asli menentukan pola hubungan antara kedua

kelompok.

Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik, di pihak lain, kurang

memancing konflik dengan pihak migran yang didominasi. Penguasa pribumi

(6)

Kelompok pribumi dominan, di pihak lain, berusaha mempertahankan dominasi

mereka dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk dalam

masyarakat mereka. Dalam situasi dominasi penduduk setempat, di pihak lain,

kelompok migran cenderung mengasimilasikan diri dengan penduduk setempat

(Sunarto, 2004 :150-151).

Melihat kondisi saat ini, Kelurahan Tiga Binanga banyak dikunjungi oleh

para migran yang berasal dari berbagai Daerah dengan berbagai perbedaan baik

ekonomi, kebudayaan dan ciri pisiologis. Maka dari itu akan terjadi hubungan

antar-kelompok yaitu adanya hubungan yang terjalin antara masyarakat Suku

Karo sebagai penduduk pribumi serta mendominasi wilayah teresebut dengan

penduduk migran yang berasal dari Suku Jawa, Batak Toba, Padang dan Nias.

Adanya perbedaan kebudayaan menyebabkan terjadinya proses saling

mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki kelakuan individu sesuai dengan

nilai dan norma yang berlaku di Kelurahan Tiga Binanga. Hubungan

antar-kelompok juga terlihat dari adanya proses asimilasi dan amalgamasi pada

masyarakat Kelurahan Tiga Binanga , sehingga dalam penelitian ini saya

menyoroti hal tersebut di tengah-tengah masyarakat Kelurahan Tiga Binanga

kecamatan Tiga Binanga.

2.4 Teori Asimilasi Budaya

Arti dari kata asimilasi menurut Koentjaraningrat (2002: 248) adalah proses

sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan

sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima

dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

(7)

Koentjaraningrat (2002: 255) mengatakan bahwa asmilasi timbul bila ada,

golongan- golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda- beda,

saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga,

kebudayaan- kebudayaan golongan- golongan tadi masing- masing berubah sifat

khasnya, dan juga unsur- unsurnya masing- masing berubah wujudnya menjadi

unsur- unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara

suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu

biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan

golongan mayoritas, sehingga sifat- sifat khas dari kebudayaan lambat- laun

berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan Mayoritas.

Asimilasi merupakan adanya usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang

terdapat diantara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan

meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan

proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan bersama. (Setiadi dan Kolip,

2011: 81). Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok

manusia atau masyarakat, maka dia tidak akan lagi membeda-bedakan dirinya

dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai

orang asing. Dalam proses asimilasi, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan

kepentingan-kepentingan secara tujuan-tujuan kelompok. Apabila dua kelompok

manusia mengadakan asimilasi, batas-batas anatara kedua kelompok tadi dengan

pengembangan sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional,

dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi

(Soekanto, 1990 : 81).

A. Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara

lain:

1. Teloransi

2. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi

3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat

(8)

6. Perkawinan campur (amalgamation)

7. Adanya musuh bersama dari luar (Setiadi dan Kolip 2011: 83-84).

2.5 Adaptasi Sosial

Walaupun konsep tindakan sosial tetap dipakai sebagai dasar teori,

perburuan intelektual Parsons dalam Poloma (2010: 171 ) secara perlahan ternyata

bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur dan fungsi masyarakat.

Parsons melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial

bisa terorganisir. Disamping itu terdapat dua sistem tindakan lain yang saling

melengkapi yaitu ; sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol

serta sistem kepribadian para pelaku individual. Sistem sosial individu menduduki

satu tempat (status), dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma atau

aturan-aturan yang dibuat oleh sistem.

Konsepsi Parsons mengenai Teori Induk dimana Parsons setuju terhadap

kesatuan ilmu-ilmu prilaku, yang keseluruhannya meruapakan suatu studi tentang

sistem yang hidup (living system). Dia menyatakan bahwa konsep fungsi

merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup. Dia menekankan

bahwa sistem yang hidup itu adalah sistem terbuka yaitu mengalami saling

pertukaran dengan lingkungannya.

Functional imperatives atau prasyarat. Ciri-ciri umum yang ada dalam

seluruh sistem yang hidup adalah prasyarat atau functional imperative. Menurut

Parsons terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus

dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestariannya. Dua pokok penting

(9)

1) yang berhubungan dengan kebutuhan sistem internal atau kebutuhan

sistem ketika berhubungan dengan lingkungannya (sumbu

internal-eksternal), dan

2) yang berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana

yang perlu untuk mencapai tujuan itu (sumbu

instrumental-consummatory).

Berdasarkan premis itu secara deduktif Parsons menciptakan empat

kebutuhan fungsional. Keempat fungsi primer itu, yang dapat dirangkaikan

dengan seluruh sistem yang hidup adalah Latent pattern-maintenance (L),

integration (I), Goal attainment (G) dan Adaptation (A). Dalam hal ini kita akan

membahas mengenai adaptasi. Adaptasi menunjuk pada keharusan bagi

sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungan. Ada dua dimensi masalah yang

pertama, harus ada penyesuaian diri sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang

keras yang tidak dapat diubah (inflexible) yang datang dari lingkungan (atau kalau

menggunakan terminology Parsons yang terdahulu, pada kondisi tindakan).

Kedua, ada proses transformasi aktif dari situasi itu. Ini meliputi penggunaan

segi-segi situasi itu yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.

Tetapi, usaha untuk memperoleh alat itu secara analisis harus dipisahkan dari

pencapaian tujuan. Lingkungan, meliputi yang fisik yang sosial. Untuk suatu

kelompok kecil, lingkungan sosial akan terdiri dari satuan intitusional yang lebih

besar dimana kelompok itu berada. (Dalam studi Bales mengenai kelompok kecil,

lingkungan itu adalah lingkungan akademis). Untuk sistem-sistem yang lebih

(10)

sistem-sistem sosial lainnya (masyarakat lain) dan lingkungan fisik (Jhonson,

1990 : 130).

Persons menyatakan bahwa adaptasi merupakan Kebutuhan fungsional

berupa kemampuan sistem menjamin kebutuhannya dari lingkungan dan

mendistribusikan sumber-sumber itu ke seluruh sistem; dalam masyarakat fungsi

ini dilakukan oleh sistem ekonomi (Poloma, 2010: 170-181).

Contohnya dalam buku Suprapti dan kawan-kawan yang berjudul adaptasi

migran musiman terhadap lingkungan tempat tinggal daerah khusus ibukota

Jakarta Raya dimana masyarakat yang berpindah tersebut bertujuan untuk bekerja

dan mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya. Di tempat perantauan

hubungan sosial dengan warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya hanya

terbentuk dalam hubungan sepintas lalu atau saling kenal. Namun demikian,

dengan beberapa warga biasanya tetangga bersebelahan rumah hubungan sosial

cukup akrab. Hubungan akrab terwujud dalam saling bertandang dan

berbincang-bincang, saling memberi makan, saling memberi bantuan dan sebagainya, yang

mereka wujudkan karena frekuensi tatap mukanya cukup tinggi. Dengan mereka

yang pergi ke Jakarta bekerja sebagai penjaja bakso dan penjaja sayur juga

memiliki hubungan interaksi yang cukup baik dengan warga disekitar tempat

tinggal mereka. Terlebih lagi bagi para pelanggan dagangannya serta hubungan

dengan pemilik kontrakan.

Bentuk hubungan yang mereka wujudkan cukup mendalam atau akrab

yang tercermin pula dalam kehidupan sehari-harinya, bersenda-gurau,

mengungkapkan masalah yang dialami, memberikan makanan dan memberi

(11)

dagang secara kekeluargaan. Supaya banyak pembeli dan dagangan cepat laku,

para penjaja sayur bersikap ramah dan berusaha melayani dengan sebaik-baiknya

dan memberi pelanggan berhutang dengan bayar bulanan. Sementara hubungan

dengan pejabat RT setempat terjalin dengan cara berpartisipasi dan mematuhi

peraturan yang berlaku, misalnya memberi sumbangan untuk kegiatan perayaan

hari-hari besar nasional, memberi sumbangan untuk warga RT yang kemalangan,

membayar iuran keamanan dan iuran sampah khusus bagi migran yang

mengontrak. Serta migran juga tetap menjalin hubungan dengan keluarga di

daerah asal mereka (Suprapti dkk, 1990: 167-187).

2.6 Amalgamasi

Perkawinan campur (amalgamation) agaknya merupakan faktor paling

menguntungkan bagi lancarnya proses asimilasi. Hal itu terjadi apabila seorang

warga dari golongan tertentu menikah dengan warga golongan lain. Apakah itu

terjadi antara golongan minoritas dan mayoritas dan sebaliknya. Proses asimilasi

dipermudah dengan adanya kawin campur walau memakan waktu yang agak

lama. Hal ini disebabkan oleh karena antara penjajah dan yang dijajah terdapat

perbedaan-perbedaan ras dan kebudayaan. Penjajah pada mulanya tidak

menyetujui perkawinan campur dan ini memperlambat proses asimilasi. Setelah

waktu yang relatif agak lama penjajah biasanya memperistri wanita-wanita warga

masyarakat yang dijajahnya. Apabila dari mereka yang dijajah ada yang

dipekerjakan (sebagai budak, pegawai rendahan dan sebagainya), maka golongan

(12)

dengan cara memperluas kebudayaan penjajah di kalangan masyarakat yang

dijajah (Soekanto, 1990 :80-84).

Isu-isu pembaruan antara warga pribumi dan nonpribumi, perkawinan antara

suku, antar ras yang terpisah-pisah sebagaimana yang pernah disosialisasikan oleh

pemerintah diharapkan mampu menekan perpecahan antar kelomok suku, agama,

ras dan antargolongan (Setiadi dan Kolip 2011 : 84). Amalgamasi juga ditemukan

di Kelurahan Tiga Binanga dimana adanya perkawinan campur antara penduduk

migran dengan penduduk lokal. Penduduk migran yang berasal dari kebudayaan

yang berbeda dengan penduduk lokal bersatu dan menghasilkan budaya

campuran.

2.7 Teori Migrasi

Migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi

permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya,

yaitu apakah tindakan itu bersifat suka rela atau terpaksa. Migran biasanya

mempunyai alasan-alasan tertentu yang menyebabkan mereka meninggalkan

kampung halamannya dan seterusnya memilih tempat-tempat yang mereka

anggap dapat memenuhi kalau sekiranya tetap bertahan di tempat asal. Migran

akan bergerak dari tempat yang kurang berkembang menuju daerah-daerah yang

lebih maju. Alasan migran paling utama meninggalkan negara/daerah asal

adalah karena faktor ekonomi, terutama disebabkan sukarnya menapatkan

pekerjaan, serta wujudnya keinginan untuk mendapatkan penghasilan lebih

(13)

Proses migrasi terjadi sebagai jawaban terhadap adanya sejumlah

perbedaan antartempat. Perbedaan tersebut menyangkut faktor-faktor ekonomi,

sosial dan lingkungan baik pada tataran individu maupun masyarakat. Faktor

ekonomi merupakan faktor primer yang mempengaruhi migrasi. Faktor ekonomi

tersebut seperti mobilitas jabatan (mobilitas sosial), upah yang lebih tinggi,

kesempatan kerja yang lebih banyak dan lainnya. Aswatini mengemukakan

bahwa alasan pindah biasanya disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, budaya,

dan keamanan, kesulitan ekonomi, tekanan penduduk dan faktor geografis

(Nasution, 1999: 109-110).

Secara teoritis pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, negara, kawasan

ataupun daerah tertentu akan diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar dalam

segala aspek kehidupan masyarakat. Perubahan pola konsumsi masyarakat

misalnya merupakan salah satu aspek yang terlihat paling memonjol. Aktivitas

migrasi yang belangsung dari wilayah ke wilayah tertentu pun merupakan imbas

positif yang berkembang sebagai konskuensi pertumbuhan ekonomi daerah

bersangkutan. Makin baik perkembangan ekonomi suatu wilayah maka

kemungkinan terjadinya perkembangan volume migrasipun makin tinggi.

Kedatangan migran kedalam suatu wilayah dapat juga menimbulkan

etnosentrisme misalnya dalam penelitian Muba Simanihuruk mengenai interaksi

antara migran pendatang dengan penduduk lokal studi tentang interaksi antara

migran Batak toba, Tionghoa dan Melayu di Pangkalan Brandan. Hasil

penelitian menunjukkan, ertnis Melayu menganggap (terutama) etnis Tionghoa

bersifat licik dan tidak dapat disaingi lagi karena mereka telah menguasai

(14)

menjadi pekerjaan utama mereka. Kebencian yang sama juga ditujukan oleh

kelompok etnis Batak Toba dengan tingkatan yang lebih rendah, dengan

tuduhan bahwa kelompok etnis Tionghoa “pintar”menipu. Namun pada dimensi

kultural dan agama, mereka masih bisa berafilasi. Bahkan dalam kegiatan

ekonomi, etnis Batak Toba dan Tionghoa melakukan kerjasama ekonomi yang

saling menguntungakan, dimana etins Batak Toba menyewakan rumah-rumah

mereka di pusat bisnis kota dengan harga relatif mahal pada kelompok

orang-orang Tionghoa. Simbioasa mutualisme juga terjelma pada saat kelompok etnis

Tionghoa meminjam modal kepada etnis Toba yang berprofesi sebagai rentenir

(bank berjalan). Sebaliknya terjadi dengan etnis Melayu dimana secara kultural

berbeda jauh dengan kelompok etnis Batak Toba dan Tionghoa di samping

perbedaan secara ekonomi. Di kubu lain, etnis Tionghoa merasa diperlakukan

secara diskriminatif oleh pemerintah dan sering dijadikan sapi perahan baik oleh

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubunganpositif antara pengetahuan dengan penggunaan Terapi Tradisional Cina, serta

ceramah sebagai metode utama dan sering dilakukan. Gaya mengajar guru yang sering digunakan oleh guru di SMP Negeri 8 Palu adalah gaya mengajar klasik. Gaya mengajar ini

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan regresi linear berganda untuk menganalisis pengaruh antara sistem informasi, penganggaran, pelaporan dan analisis berpengaruh

Karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan oleh seluruh bangsa di dunia untuk berkomunikasi, bahasa ini dapat dengan mudah masuk dan diterima oleh

Dari segi linguistik ini dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan

The context-aware discovery service obtains context information in two steps: it first obtains references to relevant context sources through one or more context agents

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulan bahwa para ulama telah membuat kralifikasi ilmu tasawuf dalam islam. Kedudukan ilmu tasawuf saat ini merupakan bagian

4. Conclusions and Recommendations Based on this study, El Nino reduces the climatological rainfall of Cilacap Regency DSSUR[LPDWHO\ WR PP 0HDQZKLOH La Nina phenomenon