BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 1nteraksi Sosial
Interkasi sosial dapat diartikan oleh para ahli seperti S.S Sargent yang
berpendapat bahwa interaksi sosial pada pokoknya memandang tingkah laku
sosial yang selalu dalam rangka kelompok seperti struktur dan fungsi dalam
kelompok. Tingkah laku sosial dipandang sebagai akibat adanya struktur
kelompok seperti struktur dan fungsi kelompok. H. Bonner memberi rumusan
interaksi sosial adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia ketika
kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
kelakuan individu lain, atau sebaliknya (Sentosa, 2009:11).
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa bentuk umum proses sosial adalah
interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial
yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu.
Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin
berkelahi.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara
kelompok tersebut sebagai kesatuan. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala
Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat,
yaitu:
A. Adanya kontak sosial (sosial-contact)
Dalam bahasa latin cum (bersama-sama) dan Tango (menyentuh).
Secara harafiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak
baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu
tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat
mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya. Kontak
sosial dapat pula bersifat primer dan skunder. Kontak primer terjadi
apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan
muka. Sebaliknya kontak yang skunder memerlukan suatu perantara.
B. Adanya komunikasi
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting. Dalam komunikasi
kemungkinan seringkali terjadi pelbagai macam penafsiran terhadap
tingkah laku orang lain. Seulas senyuman, misalnya dapat ditafsirkan
sebagai keramah-tamahan, sikap bersahabat itu bahkan sebagai sikap sinis
dan sikap ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi
memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau anatara
kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah
satu syarat terjadinya kerja sama (Soekanto, 1990 :61-64).
2.2 Interaksionisme Simbolik
Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai
interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.
Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah
interaksi sosial, kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam
interkasi.
Herbert Blumer dalam Kamanto Sunarto (2004: 35-36), salah seorang
penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai
interaksionisme simbolik. Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme
simbolik ada tiga :
A. Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (Thing) atas dasar makna
(meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya.
B. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari
interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.
C. Makna diperlukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran
(interpretative process), yang digunakan orang menghadapi sesuatu yang
dijumpainya.
Blumer dalam buku Poloma (2010:263) menyatakan keistimewaan
pendekatan kaum interaksionis simbolis ialah manusia dilihat saling menafsirkan
atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi
kepada setiap tindakan itu menurut metode stimulus-repon. Seseorang tidak
langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian
yang diberikan kepada tindakan itu. Ia menyatakan, “dengan demikian interaksi
manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh
kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain, Dalam kasus perilaku
stimulus dan repon”. Blumer berpandangan tidak mendesakkan prioritas dominasi
kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari
tindakan inividu: “masyarakat harus dilihat sebagai terdiri dari tindakan
orang-orang, dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan orang itu”.
Blumer menunjukan ide ini dengan menujukan bahwa kelompok yang demikian
merupakan respon pada situasi-situasi dimana orang menemukan dirinya.
Interaksionisme-simbolis yang diketengahkan Blumer dalam Margaret M.
Poloma (2010 : 264-266) mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar,
yang dapat diringkas sebagia berikut:
A. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi
B. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain.
C. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik ; makna merupakan
produk interaksi-simbolis.
D. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat
dirinya sebagai obyek.
E. Tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dibuat oleh manusia
itu sendiri.
F. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok: hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai;
“organisasi sosial dari prilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.
Sebagian besar tindakan bersama terlumer dalam Polsebut berulang-ulang
dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai
2.3 Hubungan Antar-Kelompok
Pembahasan menegnai hubungan antar kelompok cenderung dipusatkan
pada deskripsi dan penjelasan hubungan sosial anatara kelompok yang statusnya
berbeda. Kata kelompok dalam konsep hubungan antar kelompok mencakup
semua kelompok yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria ciri fisiologis,
kebudayaan, ekonomi dan perilaku. Faktor yang mempengaruhi kelompok
minoritas dapat dikaji dengan menggunakan dimensi sejarah, demografi, sikap,
institusi, gerakan sosial dan tipe utama hubungan antar-kelompok. Suatu bentuk
hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan antar-kelompok
ialah hubungan mayoritas-minoritas. Dalam defenisi Kinloch kelompok mayoritas
ditandai oleh adanya kelebihan kekuasaan, konsep mayoritas tidak dikaitkan
dengan jumlah anggota kelompok. Adapula ilmuan sosial yang berpendapat
bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan jumlah anggota (Sunarto,
2004 :143-149).
Stanley Liberson mencoba mengklasifikasikan pola hubungan antara
kelompok. Menurutnya kita dapat membedakan antara dua pola utama: pola
dominasi kelompok pendatang atas pribumi (migrant superordination), dan pola
dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous
Superordination). Menurut Liberson perbedaan pola hubungan
superordinasi-subordinasi antara migran penduduk asli menentukan pola hubungan antara kedua
kelompok.
Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik, di pihak lain, kurang
memancing konflik dengan pihak migran yang didominasi. Penguasa pribumi
Kelompok pribumi dominan, di pihak lain, berusaha mempertahankan dominasi
mereka dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk dalam
masyarakat mereka. Dalam situasi dominasi penduduk setempat, di pihak lain,
kelompok migran cenderung mengasimilasikan diri dengan penduduk setempat
(Sunarto, 2004 :150-151).
Melihat kondisi saat ini, Kelurahan Tiga Binanga banyak dikunjungi oleh
para migran yang berasal dari berbagai Daerah dengan berbagai perbedaan baik
ekonomi, kebudayaan dan ciri pisiologis. Maka dari itu akan terjadi hubungan
antar-kelompok yaitu adanya hubungan yang terjalin antara masyarakat Suku
Karo sebagai penduduk pribumi serta mendominasi wilayah teresebut dengan
penduduk migran yang berasal dari Suku Jawa, Batak Toba, Padang dan Nias.
Adanya perbedaan kebudayaan menyebabkan terjadinya proses saling
mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki kelakuan individu sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku di Kelurahan Tiga Binanga. Hubungan
antar-kelompok juga terlihat dari adanya proses asimilasi dan amalgamasi pada
masyarakat Kelurahan Tiga Binanga , sehingga dalam penelitian ini saya
menyoroti hal tersebut di tengah-tengah masyarakat Kelurahan Tiga Binanga
kecamatan Tiga Binanga.
2.4 Teori Asimilasi Budaya
Arti dari kata asimilasi menurut Koentjaraningrat (2002: 248) adalah proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima
dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
Koentjaraningrat (2002: 255) mengatakan bahwa asmilasi timbul bila ada,
golongan- golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda- beda,
saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga,
kebudayaan- kebudayaan golongan- golongan tadi masing- masing berubah sifat
khasnya, dan juga unsur- unsurnya masing- masing berubah wujudnya menjadi
unsur- unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara
suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu
biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan
golongan mayoritas, sehingga sifat- sifat khas dari kebudayaan lambat- laun
berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan Mayoritas.
Asimilasi merupakan adanya usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang
terdapat diantara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan
meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan
proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan bersama. (Setiadi dan Kolip,
2011: 81). Apabila orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok
manusia atau masyarakat, maka dia tidak akan lagi membeda-bedakan dirinya
dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai
orang asing. Dalam proses asimilasi, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan
kepentingan-kepentingan secara tujuan-tujuan kelompok. Apabila dua kelompok
manusia mengadakan asimilasi, batas-batas anatara kedua kelompok tadi dengan
pengembangan sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional,
dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi
(Soekanto, 1990 : 81).
A. Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara
lain:
1. Teloransi
2. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
6. Perkawinan campur (amalgamation)
7. Adanya musuh bersama dari luar (Setiadi dan Kolip 2011: 83-84).
2.5 Adaptasi Sosial
Walaupun konsep tindakan sosial tetap dipakai sebagai dasar teori,
perburuan intelektual Parsons dalam Poloma (2010: 171 ) secara perlahan ternyata
bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur dan fungsi masyarakat.
Parsons melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial
bisa terorganisir. Disamping itu terdapat dua sistem tindakan lain yang saling
melengkapi yaitu ; sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol
serta sistem kepribadian para pelaku individual. Sistem sosial individu menduduki
satu tempat (status), dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma atau
aturan-aturan yang dibuat oleh sistem.
Konsepsi Parsons mengenai Teori Induk dimana Parsons setuju terhadap
kesatuan ilmu-ilmu prilaku, yang keseluruhannya meruapakan suatu studi tentang
sistem yang hidup (living system). Dia menyatakan bahwa konsep fungsi
merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup. Dia menekankan
bahwa sistem yang hidup itu adalah sistem terbuka yaitu mengalami saling
pertukaran dengan lingkungannya.
Functional imperatives atau prasyarat. Ciri-ciri umum yang ada dalam
seluruh sistem yang hidup adalah prasyarat atau functional imperative. Menurut
Parsons terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus
dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestariannya. Dua pokok penting
1) yang berhubungan dengan kebutuhan sistem internal atau kebutuhan
sistem ketika berhubungan dengan lingkungannya (sumbu
internal-eksternal), dan
2) yang berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana
yang perlu untuk mencapai tujuan itu (sumbu
instrumental-consummatory).
Berdasarkan premis itu secara deduktif Parsons menciptakan empat
kebutuhan fungsional. Keempat fungsi primer itu, yang dapat dirangkaikan
dengan seluruh sistem yang hidup adalah Latent pattern-maintenance (L),
integration (I), Goal attainment (G) dan Adaptation (A). Dalam hal ini kita akan
membahas mengenai adaptasi. Adaptasi menunjuk pada keharusan bagi
sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungan. Ada dua dimensi masalah yang
pertama, harus ada penyesuaian diri sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang
keras yang tidak dapat diubah (inflexible) yang datang dari lingkungan (atau kalau
menggunakan terminology Parsons yang terdahulu, pada kondisi tindakan).
Kedua, ada proses transformasi aktif dari situasi itu. Ini meliputi penggunaan
segi-segi situasi itu yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.
Tetapi, usaha untuk memperoleh alat itu secara analisis harus dipisahkan dari
pencapaian tujuan. Lingkungan, meliputi yang fisik yang sosial. Untuk suatu
kelompok kecil, lingkungan sosial akan terdiri dari satuan intitusional yang lebih
besar dimana kelompok itu berada. (Dalam studi Bales mengenai kelompok kecil,
lingkungan itu adalah lingkungan akademis). Untuk sistem-sistem yang lebih
sistem-sistem sosial lainnya (masyarakat lain) dan lingkungan fisik (Jhonson,
1990 : 130).
Persons menyatakan bahwa adaptasi merupakan Kebutuhan fungsional
berupa kemampuan sistem menjamin kebutuhannya dari lingkungan dan
mendistribusikan sumber-sumber itu ke seluruh sistem; dalam masyarakat fungsi
ini dilakukan oleh sistem ekonomi (Poloma, 2010: 170-181).
Contohnya dalam buku Suprapti dan kawan-kawan yang berjudul adaptasi
migran musiman terhadap lingkungan tempat tinggal daerah khusus ibukota
Jakarta Raya dimana masyarakat yang berpindah tersebut bertujuan untuk bekerja
dan mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya. Di tempat perantauan
hubungan sosial dengan warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya hanya
terbentuk dalam hubungan sepintas lalu atau saling kenal. Namun demikian,
dengan beberapa warga biasanya tetangga bersebelahan rumah hubungan sosial
cukup akrab. Hubungan akrab terwujud dalam saling bertandang dan
berbincang-bincang, saling memberi makan, saling memberi bantuan dan sebagainya, yang
mereka wujudkan karena frekuensi tatap mukanya cukup tinggi. Dengan mereka
yang pergi ke Jakarta bekerja sebagai penjaja bakso dan penjaja sayur juga
memiliki hubungan interaksi yang cukup baik dengan warga disekitar tempat
tinggal mereka. Terlebih lagi bagi para pelanggan dagangannya serta hubungan
dengan pemilik kontrakan.
Bentuk hubungan yang mereka wujudkan cukup mendalam atau akrab
yang tercermin pula dalam kehidupan sehari-harinya, bersenda-gurau,
mengungkapkan masalah yang dialami, memberikan makanan dan memberi
dagang secara kekeluargaan. Supaya banyak pembeli dan dagangan cepat laku,
para penjaja sayur bersikap ramah dan berusaha melayani dengan sebaik-baiknya
dan memberi pelanggan berhutang dengan bayar bulanan. Sementara hubungan
dengan pejabat RT setempat terjalin dengan cara berpartisipasi dan mematuhi
peraturan yang berlaku, misalnya memberi sumbangan untuk kegiatan perayaan
hari-hari besar nasional, memberi sumbangan untuk warga RT yang kemalangan,
membayar iuran keamanan dan iuran sampah khusus bagi migran yang
mengontrak. Serta migran juga tetap menjalin hubungan dengan keluarga di
daerah asal mereka (Suprapti dkk, 1990: 167-187).
2.6 Amalgamasi
Perkawinan campur (amalgamation) agaknya merupakan faktor paling
menguntungkan bagi lancarnya proses asimilasi. Hal itu terjadi apabila seorang
warga dari golongan tertentu menikah dengan warga golongan lain. Apakah itu
terjadi antara golongan minoritas dan mayoritas dan sebaliknya. Proses asimilasi
dipermudah dengan adanya kawin campur walau memakan waktu yang agak
lama. Hal ini disebabkan oleh karena antara penjajah dan yang dijajah terdapat
perbedaan-perbedaan ras dan kebudayaan. Penjajah pada mulanya tidak
menyetujui perkawinan campur dan ini memperlambat proses asimilasi. Setelah
waktu yang relatif agak lama penjajah biasanya memperistri wanita-wanita warga
masyarakat yang dijajahnya. Apabila dari mereka yang dijajah ada yang
dipekerjakan (sebagai budak, pegawai rendahan dan sebagainya), maka golongan
dengan cara memperluas kebudayaan penjajah di kalangan masyarakat yang
dijajah (Soekanto, 1990 :80-84).
Isu-isu pembaruan antara warga pribumi dan nonpribumi, perkawinan antara
suku, antar ras yang terpisah-pisah sebagaimana yang pernah disosialisasikan oleh
pemerintah diharapkan mampu menekan perpecahan antar kelomok suku, agama,
ras dan antargolongan (Setiadi dan Kolip 2011 : 84). Amalgamasi juga ditemukan
di Kelurahan Tiga Binanga dimana adanya perkawinan campur antara penduduk
migran dengan penduduk lokal. Penduduk migran yang berasal dari kebudayaan
yang berbeda dengan penduduk lokal bersatu dan menghasilkan budaya
campuran.
2.7 Teori Migrasi
Migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi
permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya,
yaitu apakah tindakan itu bersifat suka rela atau terpaksa. Migran biasanya
mempunyai alasan-alasan tertentu yang menyebabkan mereka meninggalkan
kampung halamannya dan seterusnya memilih tempat-tempat yang mereka
anggap dapat memenuhi kalau sekiranya tetap bertahan di tempat asal. Migran
akan bergerak dari tempat yang kurang berkembang menuju daerah-daerah yang
lebih maju. Alasan migran paling utama meninggalkan negara/daerah asal
adalah karena faktor ekonomi, terutama disebabkan sukarnya menapatkan
pekerjaan, serta wujudnya keinginan untuk mendapatkan penghasilan lebih
Proses migrasi terjadi sebagai jawaban terhadap adanya sejumlah
perbedaan antartempat. Perbedaan tersebut menyangkut faktor-faktor ekonomi,
sosial dan lingkungan baik pada tataran individu maupun masyarakat. Faktor
ekonomi merupakan faktor primer yang mempengaruhi migrasi. Faktor ekonomi
tersebut seperti mobilitas jabatan (mobilitas sosial), upah yang lebih tinggi,
kesempatan kerja yang lebih banyak dan lainnya. Aswatini mengemukakan
bahwa alasan pindah biasanya disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, budaya,
dan keamanan, kesulitan ekonomi, tekanan penduduk dan faktor geografis
(Nasution, 1999: 109-110).
Secara teoritis pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, negara, kawasan
ataupun daerah tertentu akan diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar dalam
segala aspek kehidupan masyarakat. Perubahan pola konsumsi masyarakat
misalnya merupakan salah satu aspek yang terlihat paling memonjol. Aktivitas
migrasi yang belangsung dari wilayah ke wilayah tertentu pun merupakan imbas
positif yang berkembang sebagai konskuensi pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan. Makin baik perkembangan ekonomi suatu wilayah maka
kemungkinan terjadinya perkembangan volume migrasipun makin tinggi.
Kedatangan migran kedalam suatu wilayah dapat juga menimbulkan
etnosentrisme misalnya dalam penelitian Muba Simanihuruk mengenai interaksi
antara migran pendatang dengan penduduk lokal studi tentang interaksi antara
migran Batak toba, Tionghoa dan Melayu di Pangkalan Brandan. Hasil
penelitian menunjukkan, ertnis Melayu menganggap (terutama) etnis Tionghoa
bersifat licik dan tidak dapat disaingi lagi karena mereka telah menguasai
menjadi pekerjaan utama mereka. Kebencian yang sama juga ditujukan oleh
kelompok etnis Batak Toba dengan tingkatan yang lebih rendah, dengan
tuduhan bahwa kelompok etnis Tionghoa “pintar”menipu. Namun pada dimensi
kultural dan agama, mereka masih bisa berafilasi. Bahkan dalam kegiatan
ekonomi, etnis Batak Toba dan Tionghoa melakukan kerjasama ekonomi yang
saling menguntungakan, dimana etins Batak Toba menyewakan rumah-rumah
mereka di pusat bisnis kota dengan harga relatif mahal pada kelompok
orang-orang Tionghoa. Simbioasa mutualisme juga terjelma pada saat kelompok etnis
Tionghoa meminjam modal kepada etnis Toba yang berprofesi sebagai rentenir
(bank berjalan). Sebaliknya terjadi dengan etnis Melayu dimana secara kultural
berbeda jauh dengan kelompok etnis Batak Toba dan Tionghoa di samping
perbedaan secara ekonomi. Di kubu lain, etnis Tionghoa merasa diperlakukan
secara diskriminatif oleh pemerintah dan sering dijadikan sapi perahan baik oleh