BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia mengenal perbedaan antara laki-laki dan perempuan beserta peran-peran luhur yang menyertai pembedaan jenis kelamin antara laki- laki dan perempuan. Namun, pada kenyataannya, selain perempuan dan laki-laki yang kita ketahui, muncul gejala yang disebut sebagai keragaman jenis kelamin yakni jenis kelamin diantara perempuan dan laki-laki yakni suatu gejala dengan ciri, sifat-sifat dan karakter yang dimiliki oleh individu yang berorientasi pada keinginan menjadi anggota lawan jenis, baik secara psikologis, pembedahan anatomis, maupun diri secara sosial. Istilah gejala ini yang dikenal dengan berbagai terminologi, seperti transgender, transseksual, transvetisisme, gender crossdressing, lesbian, gay dan biseksual serta berbagai istilah lain. Istilah-istilah
ini mengacu selain pada perubahan pada bentuk fisik, psikologis, juga terutama orientasi seksualnya.
Salah satu istilah yang kita kenal sejak zaman dahulu ialah istilah
homoseksual. Yakni istilah yang menggambarkan mengenai orientasi seksual pada
sesama jenis kelamin. Salah satunya adalah istilah lesbian. Lesbian akhir-akhir ini
menjadi marak dan muncul di permukaan. Pada beberapa kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan kota-kota lain telah
menunjukkan berbagai bentuk perilaku dan eksistensi kelompok homoseksual baik
gay maupun lesbian. Maraknya fenomena lesbian di masyarakat memberi
pengertian bahwa, unit-unit di dalam masyarakat bukan hanya sekedar hitam dan
putih saja, namun ada hal yang berada di tengah-tengahnya. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang memiliki orientasi seksual yang berbeda bagi masyarakat heteroseksual yakni orientasi seksual kepada sesama jenis kelamin. Hal ini juga merujuk pada istilah yang memberi pengertian bahwa perempuan mencintai sesamanya baik secara fisik, emosional, dan spiritual.
Lesbian yang dikenal oleh masyarakat terbagi menjadi tiga. Femme, Butch atau Butchie dan Andro yakni gabungan dari keduanya. Femme atau bisa disebut sebagai lipstick lesbian, yang berarti seorang femme adalah seorang perempuan dengan atribut keperempuanan, memiliki sifat dan perilaku lemah lembut, manja dan halus. Istilah femme diadopsi dari Bahasa Perancis untuk menggambarkan seorang perempuan dengan sifat dan perilaku yang keperempuanan Berbeda dengan istilah Butch atau Butchie yang berarti ‘anak laki-laki yang kuat’. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orientasi gender secara individual. Seseorang dengan karakter maskulin pada perempuan dapat digambarkan sebagai seorang butch atau butchie. Butchie direpresentasikan sebagai sosok laki-laki yang kuat
dengan karakter maskulin namun berada dalam tubuh seorang perempuan. pada relasi sesama jenis butch berperan sebagai sosok laki-laki, dengan mengemban tugas sebagai seorang laki-laki, dan femme menjadi seorang perempuan secara utuh baik secara fisik maupun psikologis. Ketiga, adalah androgini, istilah yang digunakan untuk menggambarkan peleburan antara butch dan femme menjadi satu dalam waktu yang bersamaan. Berasal dari bahasa Yunani ‘aner’ yang berarti laki- laki dan ‘gune’ yang berarti perempuan yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep yang berkaitan dengan gender yakni arti dari percampuran keduanya.
Seorang perempuan lesbian dalam konteks ini adalah termasuk dalam golongan
Butchie. Memiliki identitas jenis kelamin yang lain dalam tubuhnya yang
merupakan seorang perempuan.
Fenomena lesbian sudah dikenal secara luas oleh masyarakat. Fenomena homoseks, gay dan lesbian sudah dikenal semenjak zaman nabi, dan mengalami perkembangan hingga saat ini. Meski keberadaannya masih rahasia dan tidak secara terbuka seperti kelompok gay dan waria, namun bukan berarti fenomena lesbian tidak merebak di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya dan konstruksi masyarakat mengenai konsep laki-laki dan perempuan.
masyarakat terbiasa dan terlena oleh eksistensi pria-pria ‘wadam’ dan kelompok homoseksual gay, dan menganggap biasa jika perempuan bermain, melakukan kegiatan bersama dengan sesama perempuan dan menaruh curiga jika hal yang serupa dilakukan oleh sesama pria. Selain itu, salah satu latar belakang kenapa keum lesbian masih terkadang sulit untuk dilacak bahwa tidak dipungkiri seorang perempuan-tidak terkecuali perempuan lesbian-memiliki sifat dasar perasaan peka dan sensitivitas yang tinggi sehingga menyebabkan tersembunyinya relasi sesama jenisnya, dan hubungan-hubungan komitmen diantara mereka. Namun di masa sekarang baik kelompok gay, waria dan lesbian tampaknya mulai menggaumkan eksistensinya sebagai kelompok minoritas dan memperjuangkan haknya (Septin, 2011)
LGBTQ
1adalah singkatan dari ‘lesbian, gay, biseksual, dan transgender’.
Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990an dan menggantikan frasa "komunitas gay’. Terminologi ini mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.
1Tambahan huruf Q yang berarti queer yang memiliki pengertian politis oleh kelompok-kelompok minoritas seksual yang menganggap identitas seksual adalah sesuatu yang cair dan tidak dapat dikotak-jkotakkan secara kaku dalam kategori lesbian, gay atau transgender (Kembaren, 2014) diunduh dari www.repository.usu.ac.id
Akronim LGBT dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman
‘budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender’
2. Istilah LGBT menggambarkan mengenai komunitas yang bertujuan untuk pengakuan diri secara luas atas kelompok-kelompok minoritas yang berorientasi seksual yang ‘berbeda’
dengan masyarakat luas. LGBT memiliki hak-hak yang berbeda menurut tiap wilayah dan negara. Hukum mengenai LGBT meliputi pengakuan Pemerintah terhadap hubungan sesama jenis, adopsi anak oleh pasangan LGBT, karir militer, imigrasi, hukum atas diskriminasi tindakan terhadap kekerasan atas kaum LGBT.
Hukum LGBT antara wilayah dan tiap negara berbeda-beda menurut kebutuhan yang harus terpenuhi.
Di Indonesia, LGBT kurang mendapat perhatian serius dari Pemerintah, namun disisi lain, sebagai negara dengan mayoritas Agama Islam, Indonesia cukup toleran terhadap komunitas ini. Pada tahun 1982, kelompok hak asasi gay didirikan di Indonesia. Lambda Indonesia dan organisasi sejenis lainnya bermunculan pada akhir tahun 1980an dan 1990an. Kini, asosiasi LGBT utama di Indonesia adalah
‘Gaya Nusantara’ di Surabaya, ‘Arus Pelangi’. Di Yogyakarta. Indonesia, merupakan tempat diadakannya pertemuan puncak hak LGBT pada tahun 2006 yang menghasilkan Yogyakarta Principles atau Prinsip-Prinsip Yogyakarta. Pada tahun 2010 Kota Surabaya menjadi tempat bertemunya seluruh anggota LGBT dengan kegiatan yang bertajuk International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Intersex Association (ILGA) menggelar konferensi regional ILGA ke-4 tingkat Asia pada 26-28 Maret, namun sayangnya dikutuk oleh Majelis Ulama Indonesia dan diganggu oleh demonstran konservatif.
2www.wikipedia.com/LGBT tanggal 28-06-2014, pukul 11.41
Meski komunitas telah terbentuk dikota-kota besar seperti Jakarta dengan Swara Srikandi, Surabaya dengan Gaya Nusantara, Yogyakarta dengan Arus Pelangi yakni memperjuangkan hak minoritas mereka secara kolektif dan legal.
Namun tidak menutup kemungkinan kelompok lesbian yang lebih memilih untuk menutup diri dengan tidak mengikuti komunitas dengan alasan bahwa pengaruh pihak luar (lingkungan, tempat tinggal, masyarakat) tidak mentoleransi keberadaan lesbian dengan cara melakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka.
Penelitian mengenai lesbian di Kota Bandung oleh Reni Septin tahun 2011 terkait munculnya kaum lesbian di Kota Bandung yang aktif berkomunikasi dalam dunia maya atau media sosial. Di kehidupan ‘nyata’, kaum lesbian tidak segan- segan untuk menampilkan diri dengan sering nongkrong di beberapa mall dan tempat hiburan malam di Kota Bandung yang kemudian memberi pengertian bahwa, meski jumlahnya yang relatif lebih sedikit dan minoritas, namun dengan perkembangan zaman dan dengan atas perjuangan hak secara pribadi untuk diakui semakin kuat dan tak terbendung. Dengan demikian, kemunculan kaum lesbian di tempat-tempat umum menunjukkan terjadinya pergeseran budaya dalam masyarakat yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan (Septin, 2011).
Dalam penelitian yang berjudul Eksistensi Komunitas Lesbian yang
terpinggirkan di Kelurahan Kuta, Bali, peneliti menaruh perhatian pada identitas
lesbian yang membedakan dengan kaum heteroseksual. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa kehidupan kaum lesbian di Kuta, Bali tergolong glamour,
hal ini dicerminkan dari seringnya mereka pergi ke tempat hiburan malam hanya
sekedar hang out. Sementara itu faktor-faktor yang menyebabkan lesbian seperti
faktor biologis, psikososial, lingkungan saling mempengaruhi. Dengan demikian
memunculkan makna yang meliputi pencarian identitas dan makna solidaritas, bagaimanapun komunitas lesbian harus mulai dipertimbangakan karena merupakan bagian dari masyarakat dan ingin menunjukkan citra diri dan eksistensinya kepada masyarakat hanya untuk sekedar pengakuan (Handayani, 2011).
Penelitian Meyer dan Lewin menyatakan bahwa kekerasan negara terhadap lesbian merupakan salah satu bentuk pengabaian dan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas juga memunculkan dampak-dampak lain seperti prasangka seksual, homophobia yakni ketakutan berlebih atas kelompok-kelompok manusia dengan orientasi seksual yang berbeda sehinga memunculkan banyak perlakuan kasar, diskriminasi.
Selanjutnya peneliti memaparkan mengenai kekerasan negara terhadap kaum LGBT akibat konstruksi sosial masyarakat yang hidup dalam budaya patriarki yang memiliki pengharapan terhadap peran gender sesuai dengan jenis kelamin yang dimiliki. Namun, sayangnya ketika masyarakat dihadapkan dengan kaum minoritas ini akan memunculkan banyak permasalahan, khususnya permasalahan yang muncul dari arah negara dengan budaya ‘kaku’ mengenai peran gender sesuai kodrat, meliputi diskriminasi, perlakuan tidak adil, cemooh hingga tindak kekerasan (Rahmawati, 2010)
Penelitian selanjutnya mengambil fokus yakni mengidentifikasi beberapa
isu seksualitas kaum lesbian masih terpinggirkan, baik secara akademik maupun
politik menjadi dasar pemikiran dalam penelitiannya mengenai konsep diri seorang
lesbian. Pertama, Komnas Perempuan dalam peluncuran sebuah buku mengenai
seksualitas lesbian, menyebutkan bahwa masih terpinggirkannya isu seksualitas
perempuan, khususnya relasi seksual sesama jenis. Peminggiran ini dilakukan berlandaskan agama, budaya, norma sosial, konsesus masyarakat atau kelaziman masyarakat patriarkal yang cenderung untuk tidak mendengarkan suara perempuan. Kedua, terjadi bias terhadap penelitian mengenai seksualitas (Kembaren, 2014).
Blackwood menjelaskan bahwa adanya keengganan dan bahkan ketidakmampuan untuk menggali informasi atas praktek-praktek seksual yang dilakukan oleh perempuan sebab akses informasi yang didominasi oleh peneliti laki-laki serta sikap ketidakpedulian mereka terhadap keragaman seksual. Ketiga, bahwa adanya fakta mengenai kaum lesbian sebagai pihak yang mengalami diskriminasi yang berlapis, baik diskriminasi sebagai perempuan oleh sistem patriarki dan ideologi heteroseksismenya dan diskriminasi atas preferensi seksual yang berbeda dari heteroseksual
3.
Munculnya organisasi-organisasi untuk memperjuangkan hak asasinya sebagai seorang manusia merupakan bentuk eksistensi yang nyata dari kaum yang tergolong minoritas ini. Meski tidak sebebas kaum gay dan waria, namun perempuan lesbian tampaknya mulai menujukkan eksistensi dan berunjuk gigi untuk memperjuangkan haknya sebagai seorang LGBT. Tidak ada asap maka tak ada api, pepatah yang tepat untuk fenomena perempuan lesbian yang memperjuangkan haknya sebagai seorang perempuan dengan orientasi seksual yang berbeda. Meski turut serta dalam memperjuangkan hak sebagai seorang
3 Merupakan tulisan Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood, “Gambaran Lesbianisme : Tantangan Kebisuan dalam Studi Seksualitas”, Hasrat Perempuan : Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia, eds. Prof. DR. Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood.
warga negara, namun didalam pikiran dan hati masing-masing pelaku tentulah berbeda.
Dalam perjuangan hak kebebasan orientasi seksual serta menuntut pengakuan atas eksistensinya, tentu memiliki dasar pemikiran yang khas, yang membedakan antara satu dengan yang lain. Masing-masing perempuan memiliki tolak ukur yang berbeda dalam perjuangan hak yang meliputi kebebasan seksual, perilaku anti-diskriminatif, dan mendapat pengakuan, memiliki alasan yang berbeda, dan cara pandang yang berbeda mengenai dunia yang mereka diami. Hal ini tentu mempengaruhi pandangan mereka mengenai perjuangan hak yang mereka lakukan. Sebab, isu mengenai seksualitas perempuan masih isu yang kontroversial di Indonesia. Dyah Irawaty dalam Komnas Perempuan menyatakan bahwa para aktivis LGBT dan gerakan perempuan telah dengan berani menyuarakan suaranya dengan tujuan untuk memecah kebisuan publik dan mengangkat masalah seksualitas yang masih tabu dan berhasil menelurkan alat utama dalam perjuangan hak LGBT dalam Yogyakarta Principle tahun 2006
4.
Yogyakarta Principle adalah seperangkat prinsip-prinsip yang berkaitan
dengan identitas gender, yang dimaksudkan untuk menerapkan standar hukum hak asasi manusia internasional untuk mengatasi pelecehan hak asasi manusia terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender. Berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan suara bulat oleh para ahli, bersama dengan rekomendasi kepada Pemerintah dan lembaga-lembaga Pemerintah dan PBB
5. Yogyakarta Principle sebagai respon atas ketiadaan implementasi hak asasi manusia dasar untuk LGBT
6. Sehingga, menjadi
4www.komnasperempuan.or.id
5www.wikipedia.org
6www.lgbtnet.dk