PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI PADA PT. MEGA
AUTO CENTRAL FINANCE CABANG PAYAKUMBUH)
Diajukan oleh:
OLIVIA PRIMA LENTARI
1120115066
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
ABSTRAK
Sebagai upaya mengamankan pembiayaan yang diberikannya, PT. Mega Auto/Central Finance (PT. MACF) melakukan pengikatan jaminan secara fidusia yang dibuat dalam bentu klausula baku. Istilah Klausula Baku sendiri sesungguhnya tidak terdapat didalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Jaminan Fidusia, karenanya hal tersebut perlu dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen merumuskan dan mengatur mengenai Klausula Baku. Untuk itu, dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan pembebanan serta pendaftaran Jaminan Fidusia pada PT. MACF setelah diberlakukannya Sistem Administrasi Fidusia Online dan bagaimana keterkaitan antara pelaksanaan pembebanan Jaminan Fidusia pada PT. MACF dengan Hukum Perlindungan Konsumen. Untuk mengkaji permasalahan tersebut dilakukan penelitian pada kantor PT. MACF Cabang Payakumbuh dengan menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara terhadap Konsumen,
ABSTRACT
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Selama kurun waktu satu dekade terakhir, perkembangan lembaga pembiayaan di Indonesia melaju pesat. Hal ini juga dilatar belakangi oleh pembangunan di bidang ekonomi yang berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan ketersediaan dana baik bagi orang perorangan maupun badan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa maupun untuk maksud pengembangan usaha dalam peningkatan mutu produk oleh perusahaan.
Sebelumnya, lembaga perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling diandalkan oleh para debitur sebagai salah satu lembaga pemberi kredit bagi para pihak yang membutuhkan dana. Namun dalam perkembangannya, Bank yang selama ini sudah dikenal luas dikalangan masyarakat tidak dapat memenuhi berbagai kebutuhan dana ditengah perkembangan masyarakat dengan lebih optimal. Kesulitan masyarakat dalam mengakses dana dari Bank antara lain disebabkan jangkauan penyebaran kredit yang belum merata, ketidak tersediaan jaminan oleh debitur, serta standar prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan.
karena diluar lembaga pembiayaan masih banyak lembaga keuangan lain yang dapat memberikan bantuan dana, seperti pegadaian, pasar modal, bank dan sebagainya. Namun demikian, keberadaan lembaga pembiayaan merupakan salah satu pilihan yang potensial saat ini dan menjadi pertimbangan para pihak.
Di samping berperan sebagai sumber dana alternatif, lembaga pembiayaan juga mempunyai peranan penting dalam hal pembangunan, yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan. Aspirasi dan minat masyarakat dalam pembangunan (ekonomi) ini bisa terwujud jika ada pihak yang memfasilitasinya. Lembaga pembiayaan sebagai sumber pembiayaan dapat memberikan kontribusinya dalam bantuan dana guna menumbuhkan dan mewujudkan aspirasi dan minat masyarakat tersebut. Dengan bantuan dana dari lembaga pembiayaan, diharapkan masyarakat (pelaku usaha) dapat mengatasi salah satu faktor krusial yang dialami yaitu faktor permodalan.1
Walaupun sama-sama bergerak di bidang keuangan dan memberikan pinjaman kepada masyarakat , namun kedua lembaga ini tidaklah sama. Bank mengambil dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan (tabungan) dan menyalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Sementara, lembaga pembiayaan tidak menghimpun dana secara langsung dari masyarakat serta pinjaman yang diberikan tidak berbentuk dana tunai (cash) tapi berupa pembiayan (pelunasan terlebih dahulu kepada supplier) atas pembelian
1
barang yang dibutuhkan oleh Konsumen yang biasanya berupa barang-barang bergerak.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, dirumuskan pengertian lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiaayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Perusahaan Pembiayaan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Lembaga Pembiayaan meliputi:
1. Perusahaan Pembiayaan; 2. Perusahaan Modal Ventura;
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
Sedangkan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi : 1. Sewa Guna Usaha;
2. Anjak Piutang;
3. Usaha Kartu Kredit; dan atau 4. Pembiayaan Konsumen
berkembang di Indonesia seiring dengan dikeluarkannya pranata hukum berupa Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 yang kemudian dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan. Pertumbuhan bisnis pembiayaan konsumen ini berkembang dengan pesat yang sekaligus menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang dengan cara cicilan atau angsuran sebagaimana mekanisme kegiatan usaha pada lembaga pembiayaan konsumen. Hal ini dapat dilihat melalui Tabel Perkembangan Industri Pembiayaan pada Bapepam LK yang menunjukkan perkembangan industry pembiayaan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun mulai dari 2007 hingga 2011.
Tabel 1
Perkembangan Industri Pembiayaan
Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Perusahaan 217 212 198 192 195
Total Aset 127 168 174 230 291
Jumlah Kontrak 6.722.988 8.748.617 12.527.581 15.281.581 18.123.165 Piutang Pembiayaan
(Rp Triliun) 107,7 137,2 142,5 186,4 245,3
Laba (Rugi) Tahun Berjalan
(Rp Triliun) 4,4 6,4 7,8 8,9 9,1
Penyaluran Pembiayaan
(Rp Triliun) 45,7 58,9 56,2 81,6 98,9
Jumlah Tenaga Kerja 92.384 104.58 115.151 147.594 176.814 Sumber : Factbook Bapepam-LK
membiayainya. Pembiayaan konsumen biaya diberikan oleh perusahaan pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen biaya diberikan oleh Bank. Di Inggris, kredit konsumen ini telah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu dalam Undang-Undang Kredit Konsumen (Consumen Credit Act, 1974).2
Dalam kegiatannya, perusahaan pembiayaan konsumen melakukan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan system pembayaran angsuran ataupun pembayaran secara berkala oleh konsumen. Menurut Pasal 1 angka (6) Perpres Nomor 9 Tahun 2009, Pembiayaan Konsumen
(Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran angsuran. Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pembiayaan konsumen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Subjek, adalah pihak yang terkait dalam hubungan hukum pembiayaan konsumen yaitu perusahaan pembiayaan konsumen (kreditor), konsumen (debitur) dan penyedia barang (pemasok, supplier)
b. Objek, adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi, kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan.
c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-dokumen. d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen wajib
membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen dan membayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayar secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen.
2
e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen (debitur) bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen dimana semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen (fiduciary transfer of ownership) sampai angsuran terakhir dilunasi. Adapun jamina tambahan berupa pengauan utang (promissory notes) dari konsumen.3
Sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan, lembaga pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan (collateral). Namun karena pembiayaan konsumen merupakan lembaga bisnis, maka dalam kegiatan pembiayaan perusahaan pembiayaan konsumen tidak bisa steril dari unsur resiko. Oleh karena itu dalam praktek perusahaan pembiayaan konsumen akan meminta jaminan tertentu guna mengamankan pembiayaan yang diberikan.4
Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit menyatakan bahwa Jaminan adalah suatu keyakinan Bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan. Keberadaan jaminan sesungguhnya merupakan prasyarat untuk memperkecil resiko kreditur dalam penyaluran kredit. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali kredit atau pembiayaan yang telah diberikan kepada debitur, jaminan hendaknya memenuhi dua unsur yaitu :
3
Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati,Lembaga Keuangan dan Pembiayaan,(Bandung; Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 246.
4
1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur maka Bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.5
Sebagaimana jaminan kredit pada umumnya, pada prinsipnya jaminan yang terdapat pada lembaga pembiayaan konsumen adalah sama dengan jaminan kredit pada lembaga perbankan yang biasanya terdiri dari jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan utama merupakan kepercayaan dari perusahaan pembiayaan yang bersangkutan kepada konsumen berdasarkan prinsip
the 5C’sbahwa konsumen dapat dipercaya dan sanggup membayar secara berkala
atau dengan kata lain dapat mengembalikan seluruh pembiayaan yang telah diterimanya dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama. Disamping itu, untuk lebih mengamankan dana yang telah diberikan kepada konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen juga akan meminta jaminan pokok yang berupa barang yang dibeli dengan dana yang berasal dari perusahaan pembiayaan yang biasanya berupa barang-barang bergerak seperti motor, mobil dan sebagainya. Untuk jaminan tambahan pada perusahaan pembiayaan tidaklah seketat pada lembaga perbankan yang lazimnya bisa berupa surat pengakuan utang atau mengikutkan persetujuan suami/isteri.
5
Pembebanan jaminan kebendaan sebagai jaminan pokok dalam lembaga pembiayaan konsumen tersebut dibuat dalam bentuk fiduciary transfer of ownership atau yang lebih popular dengan istilah fidusia. Istilah fidusia berasal
dari bahasa belanda yaitu “fiducie” sedangkan dalam bahasa inggris disebut
“fiduciary transfer of ownership” yang artinya kepercayaan. Didalam berbagai
literature, fidusia lazim disebut dengan istilah “eigendom overdracht” (FEO),
yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan.6
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dirumuskan pengertian Fidusia sebagai pengalihan hak kepemilikan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dari rumusan tersebut terlihat terlihat adanya dua unsur yang khas dalam jaminan fidusia yaitu :
1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan.
2. Benda yang dialihkan hak kepemilikannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Doktrin para sarjana mengemukakan bahwa dalam fidusia, pengalihan hak milik atas dasar kepercayaan tidak benar-benar menjadikan kreditur sebagai pemilik atas benda yang telah dijaminkan tetapi hanya memberikan hak jaminan saja pada kreditur sebagaimana tujuan dari pengalihan tersebut tidak lain hanyalah
6
untuk memberikan jaminan atas suatu pemenuhan hak tagihan atas eksekusi terhadap jaminan.7
Selanjutnya secara yuridis hak terhadap benda tersebut telah diserahkan, namun pemberi jaminan masih mempunyai hak untuk menikmati atau memanfaatkan benda yang telah dibebani jaminan tersebut meskipun dengan sendirinya atas hak yang diserahkan tersebut bukan hak kepemilikan suatu benda sepenuhnya, melainkan hak milik terhadap jaminan atas benda tersebut. Dalam prosedur pemberian jaminan secara fidusia oleh perusahaan pembiayaan konsumen, pihak konsumen terlebih dahulu mengajukan permohonan pembiayaan kepada lembaga pembiayaan yang bersangkutan. Apabila permohonan tesebut disetujui oleh perusahaan pembiayaan, selanjutnya perusahaan mengambil alih atau memiliki kewajiban untuk memberikan sejumlah unag yang telah ditentukan jumlahnya kepada supplier atau delaer sebagai pelunasan atas barang yang dibeli oleh konsumen. Selanjutnya dengan pengikatan jaminan secara fidusia atas barang
yang telah “dibelikan” oleh perusahaan, konsumen berkewajiban untuk melunasi
pembiayaan tersebut secara angsuran kepada perusahaan.
Pada fidusia, terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda yang dijaminkan atas dasar kepercayaan dengan kondisi bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihhkan tetap berada dalam penguasaan sipemberi fidusia (debitur). Bukti hak kepemilikan atas benda jaminan diserahkan kepada kreditur
7
pemegang jaminan namun kedudukan atas benda yang dijaminkan tetap berada di tangan debitur pemilik benda. Hal ini juga berarti bahwa kewenangan untuk mengambil manfaat atas benda yang dijaminkan tetap dimiliki oleh debitur.
Sebagai penerima fidusia, lembaga pembiayaan selaku kreditur adalah orang yang memiliki kepentingan atas barang jaminan sehingga meskipun kewenangan atas barang jaminan itu tetap berada di pihak konsumen, secara teoritis pihak kreditur sepatutnya mempunyai hak untuk melakukan pengawasan atas barang jaminan tersebut, meskipun dalam prakteknya sangat sulit bagi kreditur seperti Lembaga Perbankan atau Lembaga Pembiayaan lainnya yang memiliki debitur relatif banyak untuk dapat mengawasi satu persatu barang jaminan.
Dalam hal suatu benda dijaminkan dengan jaminan fidusia maka harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Perbuatan hukum yang melahirkan jaminan fidusia adalah pendaftarannya dalam Buku Daftar Fidusia. Permohonan pendaftaran fidusia ini dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa/wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia pada wilayah kerja masing-masing daerah provinsi sebagai Kantor Pendaftaran Fidusia ditunjuk.
System) tertanggal 05 Maret 2013, Kantor Pendaftaran Fidusia di seluruh Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak lagi menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia secara manual dan turut meninformasikan kepada pemohon untuk melakukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik atau dengan sistem online. Pengumuman pemberlakuan sistem administrasi pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik pada seluruh Kantor Pendaftaran Fidusia yang secara resmi dilakukan pada tanggal 05 Maret 2013 melalui media televisi ini diharapkan memberikan dampak positif terutama dalam hal efektifitas dan efisiensi baik dalam hal waktu, tenaga serta biaya yang dikeluarkan dalam rangka memenuhi syarat pendaftaran dalam pembebanan jaminan secara fidusia.
Pendaftaran Jaminan Fidusia bertujuan untuk memenuhi asas publisitas agar masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan benda yang merupakan objek fidusia. Juga, untuk memberikan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia, hal ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang dilarang Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.8
Namun dalam aplikasinya dalam praktek pada perusahaan pembiayaan selaku pelaku usaha tidak semua jaminan fidusia tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia. Padahal, pendaftaran jaminan fidusia yang melahirkan
8
Sertipikat Fidusia merupakan alas hak yang kuat bagi pelaku usaha untuk
“menguasai” objek jaminan dalam hal terjadinya wanprestasi. Dengan alas hak
yang kuat tentu saja juga bisa melindungi perusahaan pembiayaan sebagai pelaku usaha dari akal muslihat konsumen-konsumen nakal yang beritikad tidak baik dalam melangsungkan perjanjian pembiayaan.
perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.9
Menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Klausula Baku merupakan setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ketentuan-ketentuan didalam suatu klausula baku telah ada dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha tanpa campur tangan konsumen sehingga tidak jarang ketentuan didalamnya tidak mengakomodir kepentingan konsumen dengan seksama dan cenderung berat sebelah. Kita tidak menampik bahwa tidak jarang Pelaku Usaha, termasuk juga Perusahaan Pembiayaan Konsumen juga kerap dirugikan oleh ulah-ulah konsumen. Berbagai modus dan tipu muslihat para konsumen nakal mulai identitas ataupun data-data palsu hingga penjualan atas bagian-bagian atau spare part kendaraan yang masih menjadi objek jaminan secara terpisah demi keuntungan pribadi dan sebagainya. Namun di sisi lain kita juga mengakui bahwabargaining positionkonsumen pada prakteknya berada dibawah pelaku usaha.
Dalam rangka melindungi kedudukan konsumen yang cenderung lemah sebagai salah satu hal mendasar dalam rangka mewujudkan perlindungan terhadap konsumen, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya
9
pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. 10 Dalam hal kesepakatan yang dibuat para pihak telah dituangkan dalam suatu klausula baku atau dikenal juga dengan nama Perjanjian Standar, maka harus memperhatikan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai larangan pencantuman Klausula Eksonerasi.
Dengan berbagai kelebihan dan kemudahan yang ditawarkannya sebagai alternatif sumber dana yang meringankan beban konsumen akan ketersediaan dana, lembaga pembiayaan konsumen selaku lembaga keuangan yang sedang dan akan terus berkembang tentu saja tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan yang akan terus dibenahinya seiring dengan eksistensinya sebagai salah satu lembaga keuangan vital di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas, Penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dalam tesis ini dengan judul : “PEMBEBANAN
JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI PADA PT. MEGA AUTO CENTRAL FINANCE CABANG PAYAKUMBUH)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
10Ibid.,
1. Bagaimanakah proses pengikatan dan pendaftaran jaminan fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance cabang Payakumbuh setelah diberlakukannya sistem administrasi pendaftaran fidusia secara elektronik?
2. Bagaimanakah perlindungan konsumen dan pelaku usaha dalam jaminan fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance Cabang Payakumbuh?
C.Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada Kepustakaan Universitas Andalas, beberapa judul penelitian berikut ini juga telah membahas mengenai pembebanan jaminan secara fidusia yaitu :
1.Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan (Studi Pada PT. Adira Cabang Padang) oleh Meuthia Anwar, Program Pasca Sarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Andalas, Tahun 2012, yang merumuskan permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan pembebanan Jaminan Fidusia pada PT. Adira Dinamika Multifinance Cabang Padang 2 serta bagaimana pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan pada PT. Adira Dinamika Cabang Padang 2.
Companies serta proses/cara penyelesaian debitur melakukann wanprestasi di PT. Astra Credit Companies.
Berbeda denga kedua tesis di atas, dalam penelitian ini akan memaparkan mengenai pelaksanaan pembebanan jaminan secara fidusia setelah diberlakukannya ketentuan mengenai pendaftaran fidusia secara elektronik serta melihat praktek pembebanan jaminan fidusia dalam kaitannya dengan Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
D.Tujuan Penelitian
Disamping untuk memenuhi persyaratan akademik dalam rangka menyelesaikan pendidikan serta menyandang gelar akademik Magister Kenotariatan (MKn), tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah proses pengikatan dan pendaftaran jaminan
fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance cabang Payakumbuh setelah diberlakukannya sistem administrasi pendaftaran fidusia secara elektronik. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan konsumen dan pelaku usaha
dalam perjanjian fidusia pada PT. Mega Auto Central Finance cabang Payakumbuh.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Disamping menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum jaminan dan perlindungan konsumen, bagi Penulis sendiri penelitian dalam rangka penulisan tesis ini terutama sekali merupakan pemenuhan kewajiban akademis pada program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan dunia usaha untuk menciptakan keseimbangan dan kesinambungan antara peraturan perundang-undangan dengan efektifitas penerapannya di lapangan guna kemanfaatan bagi semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha dan konsumen.
b. Sebagai suatu sarana pemberi informasi kepada masyarakat selaku konsumen akan pentingnya pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai konsumen.
F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teoritis
dengan hal tersebut kerangka teori yang digunakan pada penulisan tesis ini adalah:
a. Teori Jaminan Fidusia
Secara yuridis, dalam ketentuan umum Undang-Undang Jaminan Fidusia, pasal 1 ayat (1) dapat kita ketahui konsepsi mengenai fidusia adalah: pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dilihat dari konsepsi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam fidusia terkandung unsur pokok yaitu :
1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan; Doktrin para sarjana mengemukakan bahwa dalam Fidusia,
“pengalihan hak milik atas dasar kepercayaan”, tidak benar-benar
menjadikan kreditur sebagai pemilik atas benda yang telah dijaminkan, tetapi hanya memberikan hak jaminan saja pada kreditur
sebagaimana tujuan dari kata “pengalihan” tersebut tidak lain
hanyalah untuk memberikan jaminan atas suatu pemenuhan hak tagihan atas eksekusi terhadap jaminan.11
2. Benda yang hak kepemilikannya dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan pemilik benda.
11
Dalam fidusia, terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda yang dijaminkan atas dasar kepercayaan dengan kondisi bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihhkan tetap berada dalam penguasaan sipemberi fidusia (debitur). Bukti hak kepemilikan atas benda jaminan diserahkan kepada kreditur pemegang jaminan namun kedudukan atas benda yang dijaminkan tetap berada di tangan debitur pemilik benda. Hal ini juga berarti bahwa kewenangan untuk mengambil manfaat atas benda yang dijaminkan tetap dimiliki oleh debitur.
Praktek jaminan fidusia telah lama dikenal sebagai salah satu instrument jaminan kebendaan bergerak yang bersifat non-possessory, berbeda dengan jaminan kebendaan yang bersifatpossessory seperti gadai, jaminan fidusia memungkinkan pihak debitur sebagai pemberi jaminan untuk tetap menguasai dan mengambil manfaat atas benda bergerak yang telah dijaminkan tersebut.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Keberadaan asas ini disandarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dengan batasan ketentuan Pasal 1337KUHPerdata asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan baik dan ketertiban umum.
Sebagai salah satu wujud asas kebebasan berkontrak muncul berbagai jenis perjanjian yang untuk menjawab kebutuhan ditengah masyarakat. Standard Contract merupakan salah satu bentuk perjanjian yang diatur diluar KUHPerdata yang tumbuh seiring perkembangan dalam dunia bisnis untuk alasan efisiensi dan kepraktisan. Meskipun secara substansial salah satu pihak dalam perjanjian tidak ikut merumuskan isi dan syarat perjanjian yang telah dibuat secara sepihak, namun Ia masih memiliki p-ilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian tersebut (take it or leave it). Dalam praktek penggunaan klausula baku dalam standard contract pada dunia usaha sering kali merugikan konsumen atas ketentuan-ketentuan yang dibuat sepihak dan hanya memperhatikan kepentingan pelaku usaha tanpa adanya kesempatan bernegosiasi lagi terhadap isi dan syarat perjanjian. Untuk mengimbangi hal tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang akan memayungi hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam rangka pemanfaatan barang dan atau jasa bagi keduanya.
Salah satu asas dalam penegakan hukum perlindungan konsumen yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah azas keseimbangan. Dalam azas ini jelas-jelas mengedepankan keseimbangan kedudukan baik hak dan kewajiban serta tanggung jawab antara konsumen dan pelaku usaha. Segala ketentuan baik berupa tindakan, kebijakan maupun penyelesaian sengketa antara para pihak hendaklah memperhatikan azas keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Segala stigma mengenai lemahnya posisi konsumen atau kegiatan pelaku usaha yang hanya mengedapankan keuntungan semata tidak boleh menjadi pembenaran yang akhirnya akan memunculkan keberpihakan pada salah satu pihak dan kesewenangan kepada pihak lain. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang ini juga secara tegas mengatakan bahwa asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Disamping dalam penegakan hukum perlindungan konsumen tersebut, jika dikaitkan dengan asas dalam hukum perjanjian, asas keseimbangan dalam perjanjian menghendaki keseimbangan antara para pihak dalam perjanjian untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah mereka sepakati dengan itikad baik untuk saling memenuhi prestasi sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat.
Beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain : a. Pembebanan adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya) membebani atau
membebankan
b. Pengikatan adalah perbuatan untuk melangsungkan perjanjian
c. Perseptif adalah tanggapan langsung dari sesuatu, mempunyai kesadaran yang tajam, tajam tilik, berhubungan dengan pengertian.
d. Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
e. Jaminan adalah suatu keyakinan Bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan.
f. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
h. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
i. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen dan/atau usaha kartu kredit.
j. Pembiayaan Konsumen(Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
k. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan konsumen.
l. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
m. Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
G.Metode Penelitian
karena itu objek dan macam-macam penelitian yang akan menentukan fungsi suatu penelitian.12
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian yang disusun berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dikaitkan dengan kaidah hukum positif yang berlaku. Dengan pendekatan tersebut dilakukan jenis penelitian deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
2. Sumber dan Jenis Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum terarah pada penelitian data sekunder dan data primer.13
Dalam penelitian ini, adapun sumber dan jenis data yang digunakan adalah : a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sampel dan responden melalui metode wawancara. Berkaitan dengan permasalahan yang hendak dirumuskan sebelumnya maka wawancara dalam rangka pengumpulan data dilakukan terhadap konsumen dan pihak
12
Zainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 21
13 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis
perusahaan pembiayaan selaku para pihak dalam perjanjian serta notaris selaku pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta otentik.
b. Data Sekunder
Untuk melengkapi data primer juga dibutuhkan data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan ini bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan menelusuri data-data sekunder mencakup bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer serta bahan hukum tersier yakni yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. i. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki
kekuatan mengikat secara yuridis, yaitu: a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
f. Surat Edaran Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor AHU-06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik (Online System)
ii. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa:
a. Dokumen-dokumen yang mendukung segala perjanjian pembiayaan dan pengikatan jaminan fidusia oleh lembaga pembiayaan konsumen;
b. Literatur dan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Metode yang dilakukan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan:
a. Pengumpulan Data Primer
kepada Pimpinan PT. Mega Auto Central Finance Cabang Payakumbuh atau yang mewakilinya, konsumen, dan Notaris.
b. Pengumpulan Data Sekunder
Cara pengumpulan data sekunder menyangkut bahan hukm primer, sekunder dan tersier dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari dan meneliti dokumen-dokumen yang ada baik berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 4. Tekhnik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif normatif yakni analisis yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan statistika dan matematika artinya artinya data yang diperoleh dalam penelitian akan disajikan dalam bentuk uraian, dimana hasil analisis akan dipaparkan secara deskriptif dengan harapan dapat menggambarkan secara jelas mengenai pelaksanaan jaminan fidusia pada lembaga pembiayaan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomad 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB II