• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KEMAMPUAN GENERIK SAINS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROGRAM PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KEMAMPUAN GENERIK SAINS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA."

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Hal. PERSETUJUAN PEMBIMBING... PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN...

i ii iii iv vi vii viii xi xiii xiv 1 A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Penjelasan Istilah...

1 15 16 16 17 BAB II UPAYA MEMBANGUN KUALITAS SUMBER DAYA

MANUSIA MELALUI PEMBELAJARAN FISIKA DI SEKOLAH... 20 A. B. C. D. E. F. G.

Pentingnya Sumber Daya Manusia Berkualitas... Tujuan Mata Pelajaran Fisika di Sekolah Menengah Pertama.. Kemampuan-kemampuan Fisika yang Dapat Dikembangkan Melalui Pembelajaran Fisika di Tingkat SMP... Identifikasi Kemampuan Generik Sains yang Dapat Dikembangkan Melalui Materi Gerak Lurus... Kemampuan-kemampuan yang Dapat Ditumbuhkembangkan Melalui Upaya Peningkatan Kemampuan Generik Sains... Proses Belajar-Mengajar Fisika di Sekolah... Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK untuk

(2)

H. I. J.

Meningkatkan PK dan KGS Siswa... Strategi Pembelajaran yang Dapat Dikembangkan... Model Evaluasi... Hipotesis-hipotesis Statistik... 51 53 58 59 BAB III METODE PENELITIAN... 62

A. Pendekatan Penelitian... B. Subyek Penelitian... C. Instrumen Penelitian... D. Teknik Pengumpulan Data... E. Teknik Analisis Data... F. Analisis Hasil Uji Coba... G. Perbaikan Rancangan Program Pembelajaran...

62 68 69 78 79 83 86 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 90 A. Hasil Penelitian... 90 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Uji Persyaratan Analisis... Deskripsi Pemahaman Konsep (PK) dan Kemampuan Generik Sains (KGS) Awal Siswa... Deskripsi Pemahaman Konsep (PK) dan Kemampuan Generik Sains (KGS) Siswa Setelah Memperoleh Pengalaman Belajar... Efektivitas Program Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK) Kemampuan Kerja Laboratorium (KKL) Siswa Kelompok Eksperimen... Respon Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK)...

95 96 100 104 109 111 B. Pembahasan... 114 1. Efektivitas Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK

dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan

(3)

2. 3.

4.

5.

Kemampuan Kerja Laboratorium Siswa... Keunggulan dan Keterbatasan Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK Berdasarkan Hasil Implementasi.... Respon Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK... Kendala-kendala dalam Implementasi Program...

124

126

128 130 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 133

A. Kesimpulan... B. Saran...

133 134 DAFTAR PUSTAKA... RIWAYAT HIDUP...

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kita telah memasuki abad XXI. Era globalisasi harus dilalui

oleh siapapun yang hidup di abad ini. Abad XXI merupakan abad yang sarat

dengan kompetisi, dan pemenangnya sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya

manusianya. Persiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan

kunci untuk memetik kemenangan dalam persaingan di era globalisasi. Berkaitan

dengan hal ini, Tilaar (1999) menyebutkan ada tiga tuntutan terhadap SDM abad

XXI, yaitu: (1) Abad XXI menuntut maanusia yang unggul; (2) SDM abad XXI

adalah manusia yang terus menerus belajar; dan (3) SDM abad XXI adalah

manusia yang mengembangkan nilai-nilai.

Manusia yang bagaimanakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan

manusia unggul? Sehubungan dengan pertanyaan ini, Tilaar (1999) membedakan

dua jenis manusia unggul, yaitu: (1) keunggulan individualistik, yaitu manusia

yang unggul, tapi keunggulan tersebut lebih diperuntukkan bagi kepentingan

dirinya sendiri. Keunggulan yang diperoleh diabdikan untuk mengumpulkan harta

benda untuk kepuasan diri. Manusia unggul tipe ini adalah manusia yang “rakus”,

tidak sejalan dengan citra manusia abad XXI seperti yang diharapkan; dan (2)

keunggulan partisipatoris, ialah manusia unggul yang turut serta aktif di dalam

persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Dengan demikian, manusia

(5)

Tugas di masa depan menuntut manusia-manusia berkualitas. Secara

kuantitatif, tolok ukur tentang kualitas SDM suatu bangsa digambarkan oleh nilai

Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam UNDP (United Nations

Development Programme), IPM salah satunya ditentukan oleh faktor pendidikan

di samping faktor kelangsungan hidup (faktor kesehatan) dan faktor daya beli

(faktor ekonomi) (Tim Bappeda Jabar, 2003). Artinya bahwa kualitas pendidikan

merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat/bangsa.

Menurut data dari UNDP seperti dilaporkan tanggal 5 oktober 2009, IPM

Indonesia berada pada peringkat 111 dari 180 negara anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu sebesar 0,734, satu tingkat di bawah Palestina dengan

IPM sebesar 0,737. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas sumber daya manusia

Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu sebagai salah satu indikator

kualitas SDM, kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan agar tidak tertinggal

oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Pembangunan bidang pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan

oleh Bangsa Indonesia dalam membangun kualitas sumber daya manusianya.

Dalam dunia pendidikan, pendidikan formal merupakan salah satu wadah yang

sangat strategis untuk meningkatkan kualitas SDM. Semua bidang studi yang

diajarkan di sekolah (termasuk fisika) diharapkan dapat berkontribusi bagi

pengembangan dan peningkatan kemampuan siswa. Dalam upaya peningkatan

kemampuan siswa melalui pendidikan fisika di sekolah, maka peningkatan mutu

(6)

Pendidikan Fisika bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan pemahaman,

keterampilan, kemampuan, dan sikap ilmiah (Sharma, 1981).

Terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan berbagai hal telah

dilakukan pemerintah, antara lain: penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku

ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan melalui berbagai pelatihan

dan peningkatan kualifikasi pendidikan mereka, peningkatan manajemen

pendidikan, serta pengadaan fasilitas pendidikan. Meskipun upaya-upaya seperti

yang disebutkan di atas telah dilakukan, namun hasilnya belumlah seperti yang

diharapkan. Mutu pendidikan sains (khususnya Pendidikan Fisika) di berbagai

jenjang pendidikan masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari relatif

rendahnya nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) siswa dalam bidang ini yang dari

tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Demikian juga, berdasarkan laporan beberapa lembaga internasional

menunjukkan mutu pendidikan sains siswa-siswa Indonesia juga masih kurang

menggembirakan. Hasil studi dari The Third International Mathematics and

Science Study (TIMSS) tahun 1999 melaporkan bahwa prestasi siswa Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di Indonesia dalam bidang sains menempati peringkat

ke-32 dari 38 negara yang disurvei (Martin, et al., 1999). Studi yang sama tahun

2003 menempatkan prestasi sains siswa Indonesia pada urutan ke-36 dari 45

negara (Martin, et al., 2003), dan studi pada tahun 2007 pada urutan ke-35 dari 48

negara peserta (Gonzales, 2009). Hasil studi lembaga internasional lainnya seperti

oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang

(7)

pada tahun 2000, melaporkan prestasi siswa SMP di Indonesia dalam bidang sains

menempati posisi ke-38 dari 41 negara (OECD, 2003). Studi yang sama pada

tahun 2003 menempatkan prestasi siswa SMP di Indonesia pada bidang sains pada

urutan ke-38 dari 40 negara (OECD, 2004), dan studi pada tahun 2006 pada

urutan ke-53 dari 57 negara (OECD, 2007).

Pada kesempatan lain, Hinduan (2003) mengungkapkan bahwa secara

kasar penilaian terhadap masih rendahnya mutu pendidikan sains di sekolah dapat

diamati melalui berbagai kejadian atau gejala dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari. Banyak tingkah laku anggota masyarakat yang menunjukkan bahwa

seakan-akan mereka belum pernah menerima pendidikan sains. Dengan kata lain,

pendidikan sains di sekolah-sekolah di Indonesia seakan tidak berdampak dalam

cara hidup dan cara berpikir sebagian besar rakyat Indonesia.

Temuan-temuan di atas menunjukkan upaya peningkatan mutu yang

selama ini dilakukan belum mampu memecahkan permasalahan mendasar

pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah

penyempurnaan secara mendasar, konsisten, dan sistematik. Di samping itu,

dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM, Anwar (2004) menyatakan

perlunya kesadaran bersama bahwa: (1) komitmen peningkatan mutu pendidikan

merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas SDM, baik sebagai

pribadi-pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan (2)

pemerataan daya tampung pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu

(8)

Ditinjau dari tingkat kelangsungan studi anak-anak Indonesia, kenyataan

menunjukkan bahwa tidak semua anak dapat melanjutkan studinya ke jenjang

yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam hasil survei Badan Pusat Statistik

(BPS) untuk tiga tahun terakhir (periode 2006 – 2008) seperti pada tabel 1.1. Bila

mengacu pada program wajib belajar sembilan tahun (Undang-Undang nomor 20

tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 6 ayat 1), seharusnya setiap warga negara

harus pernah belajar minimal sampai SMP tanpa terputus di tengah jalan. Namun,

hasil survei memperlihatkan bahwa persentase anak-anak Indonesia yang tidak

bisa melanjutkan sampai jenjang SMP masih cukup besar. Apalagi kalau dilihat

sampai jenjang sekolah yang lebih tinggi, tampak persentase yang tidak dapat

melanjutkan semakin besar.

Tabel 1.1. Kelangsungan Studi Anak-Anak Indonesia

Kelompok Umur (tahun) / Jenjang

Sekolah

Tahun

2006 2007 2008

Bersekolah

(%)

Tidak Sekolah/ Berhenti

(%)

Bersekolah

(%)

Tidak Sekolah/ Berhenti

(%)

Bersekolah

(%)

Tidak Sekolah/ Berhenti

(%) 7 – 12/SD 97,39 2,61 97,60 2,40 97,83 2,17 13 – 15/SMP 84,08 15,92 84,26 15,74 84,41 15,59 16 – 18/SMA 53,92 46,08 54,61 45,39 54,70 45,30 19 – 24/PT 11,38 88,62 12,20 87,80 12,43 87,57 (Sumber: BPS Indonesia – 2009)

Anak-anak yang putus sekolah tersebut pada akhirnya harus kembali ke

masyarakat, yang tentunya diharapkan memasuki dunia kerja agar dapat

berkontribusi dalam proses produksi barang atau jasa. Akan tetapi tidak sedikit

dari mereka yang menganggur, tidak tahu harus berbuat apa akibat kurangnya

keahlian/keterampilan ataupun wawasan yang mereka miliki. Di sinilah

(9)

di sekolah peserta didik perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan,

keterampilan, dan wawasan yang cukup memadai agar kelak kalau tidak

melanjutkan sekolah dapat segera memasuki dunia kerja sehingga setidaknya

mampu menghidupi dirinya, syukur kalau dapat turut menghidupi keluarga.

Fisika sebagai salah satu bidang studi di SMP diharapkan dapat berperan dalam

menambah wawasan, meningkatkan pola pikir, serta sikap peserta didik sebagai

bekal mereka terjun ke masyarakat ataupun untuk melanjutkan pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi.

Dalam praktek pembelajaran sains di sekolah yang terjadi selama ini,

kebanyakan guru menekankan pada pembelajaran sains untuk kepentingan peserta

didik yang akan melanjutkan studinya sampai ke perguruan tinggi dan mengambil

bidang IPA (menjadi saintis) yang jumlahnya mungkin tidak banyak. Sementara

siswa yang tidak melanjutkan ke bidang IPA atau bahkan tidak melanjutkan

pendidikan kurang mendapatkan perhatian. Padahal mereka inilah yang menjadi

anggota masyarakat Indonesia yang jumlahnya jauh lebih besar. Bagi mereka ini

sains pelajaran sains (khususnya Fisika) tetap merupakan pelajaran yang sulit dan

menakutkan. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan terus. Pembelajaran sains harus

memberikan manfaat untuk semua siswa. Karena itu perlu dipikirkan bagaimana

pembelajaran sains khususnya Fisika yang sesuai untuk semua siswa (Physics

educations for all).

Keberadaan mata pelajaran sains (termasuk Fisika) di lembaga pendidikan

formal ditujukan untuk mendukung tujuan didirikannya lembaga tersebut yaitu

(10)

atau untuk terjun ke masyarakat (Pemerintah RI, 1989). Namun selama ini,

dirasakan ada kesalahan penafsiran terhadap kedua tujuan itu. Disadari atau tidak,

tujuan untuk menyiapkan peserta didik melanjutkan studi, seringkali ditafsirkan

sebagai pemberian materi yang sebanyak-banyaknya agar peserta didik dapat

memperoleh nilai Ujian Nasional (UN) yang tinggi. Sebagai akibatnya, materi

menjadi sangat padat. Menurut Reif (1995), sebetulnya yang terpenting dalam

pembelajaran Fisika adalah bagaimana membantu siswa menguasai

konsep-konsep dasar dan strategis (dalam jumlah yang tidak terlalu banyak), agar mereka

dapat menggunakan pengetahuannya secara fleksibel. Untuk maksud ini siswa

dituntut mampu menginterpretasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar

secara benar, serta mampu memahami hubungan fungsional antar konsep dan

prinsip itu (pada tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan).

Jadi yang diperlukan adalah mengembangkan kemampuan berpikir, kemampuan

analisis, kemampuan pemecahan masalah. Di samping itu juga dibutuhkan

kemampuan-kemampuan seperti kemampuan membaca, kemampuan mencari

informasi yang dibutuhkan, kemampuan dan kemauan bekerja keras dan mandiri,

yang kesemuanya dapat dilatih melalui pembelajaran Fisika di sekolah.

Penafsiran yang kurang tepat juga terjadi dalam mengartikan tujuan

“membekali peserta didik untuk kembali ke masyarakat”, yang sering diartikan

dengan membekali peserta didik keterampilan manual seperti keterampilan teknik,

keterampilan menjahit, keterampilan elektronika, dan sebagainya. Keterampilan

(11)

kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan dan kemauan bekerja keras,

melatih sikap jujur, kritis, skeptis, runtut dalam berpikir, dan sebagainya.

Jadi sebetulnya, yang terpenting dalam pembelajaran Fisika di sekolah

adalah bagaimana mengembangkan kemampuan berpikir siswa, kemampuan dan

kemauan bekerja keras dan mandiri, kemampuan untuk mencari informasi yang

diperlukan, melatih berbagai keterampilan dasar dan sifat jujur, disiplin,

tanggungjawab, kritis, runtut dalam berpikir, dan sebagainya.

Kemampuan-kemampuan serta sikap-sikap positif inilah yang dianggap sebagai ciri-ciri SDM

berkualitas (Hinduan, 2003). Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar (1999),

bahwa manusia berkualitas adalah manusia yang dapat mengembangkan

nilai-nilai “DJITU” (berdedikasi dan berdisiplin, jujur, inovatif, tekun, dan ulet).

Mata pelajaran Fisika mempunyai potensi yang sangat besar untuk

dijadikan wahana guna mengembangkan kemampuan-kemampuan dan

sikap-sikap yang mencirikan kualitas SDM seperti disebutkan di atas. Hal ini berarti

membangun kualitas SDM dapat diupayakan diantaranya melalui peningkatan

kualitas pembelajaran Fisika di sekolah. Hal senada juga diungkapkan oleh Sidi

(2000), bahwa upaya membangun kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan

melalui peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Mutu pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis,

dan mampu bersaing sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan semua warga

negara Indonesia yang produktif dan lulusannya mampu berkompetisi secara

(12)

Membangun kualitas SDM melalui pembelajaran Fisika di SMP dapat

diupayakan melalui upaya peningkatan kemampuan-kemampuan fisika siswa.

Kemampuan-kemampuan dimaksud antara lain: (1) pemahaman konsep-konsep

dan prinsip-prinsip penting dalam Fisika, atau disebut dengan kemampuan

pemahaman konsep (PK), (2) kemampuan generik sains (KGS), karena

aspek-aspek kemampuan generik ini merupakan kemampuan-kemampuan yang dapat

digunakan untuk mempelajari berbagai konsep dan menyelesaikan berbagai

persoalan fisika. Kemampuan generik sains melibatkan kemampuan berpikir

tingkat tinggi, dan (3) kemampuan kerja laboratorium siswa, karena sikap-sikap

ilmiah dapat dilatih melalui berbagai kegiatan ilmiah di laboratorium. Jadi,

peningkatan pemahaman konsep, peningkatan kemampuan generik sains, serta

peningkatan kemampuan kerja laboratorium siswa selama dan sesudah proses

pembelajaran dijadikan sebagai indikator peningkatan kemampuan-kemampuan

yang mencirikan kualitas SDM.

Pada kenyataannya, kemampuan-kemampuan fisika siswa SMP selama ini

ternyata masih belum seperti diharapkan. Pemahaman terhadap konsep-konsep

Fisika siswa masih sangat rendah. Fakta ini penulis temukan pada pelaksanaan

kegiatan piloting yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Fisika UPI

bersama-sama dengan beberapa sekolah mitra di Bandung (2004). Kemampuan

generik sains (KGS) siswa juga masih sangat kurang. Kebanyakan siswa

mengalami kesulitan mendeskripsikan konsep ke dalam bentuk diagram, grafik,

ataupun dalam bentuk representasi ilmiah lainnya. Siswa juga mengalami

(13)

pula kesulitan dalam hal mengaplikasikan konsep-konsep yang telah mereka

terima dalam menyelesaikan permasalahan sederhana. Ternyata temuan ini juga

tidak berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karim (2000) pada

mahasiswa calon guru bahwa sebegian besar mahasiswa mengalami kesulitan

dalam hal: (1) memahami konsep-konsep fisika, (2) membaca grafik dan

menafsirkannya, (3) menginterpretasikan persamaan-persamaan matematis yang

merepresentasikan hubungan antar besaran-besaran, (4) membaca data, dan (5)

mengaitkan suatu konsep dengan konsep yang lainnya. Hal ini berarti masih

kurangnya pemahaman konsep dan kemampuan generik sains juga dialami oleh

peserta didik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil observasi dan pembicaraan informal dengan beberapa

orang guru dan siswa tentang pembelajaran Fisika di sejumlah SMP di Bandung

serta hasil observasi langsung ke sebuah SMP di Mataram-NTB, terungkap

beberapa karakteristik pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini, yaitu:

1. Pembelajaran Fisika masih didominasi oleh metode ceramah, dengan alasan

padatnya materi yang dituntut oleh kurikulum.

2. Pembelajaran Fisika lebih berorientasi pada buku teks. Guru cenderung

menuntaskan materi yang terdapat dalam buku teks. Siswa diajak

menyelesaikan semua soal-soal yang ada dalam buku teks tersebut, dengan

alasan agar bisa menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN).

3. Jarang sekali pemberian pemahaman konsep-konsep atau prinsip-prinsip

(14)

4. Guru kurang memperhatikan bahkan mengabaikan pengetahuan yang dimiliki

oleh siswa sebelum proses pembelajaran. Umumnya langsung masuk ke

materi pelajaran.

5. Pembelajaran Fisika di sekolah tampaknya lebih menekankan pada manipulasi

matematis daripada konsep-konsep fisisnya, sehingga belajar Fisika bagi

siswa tidak ubahnya seperti belajar Matematika.

6. Masih belum ada pembelajaran Fisika di sekolah yang dengan sengaja

ditujukan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan generik sains,

nilai-nilai, dan sikap sebagai tujuan pembelajaran.

7. Jarang sekali guru Fisika menyediakan waktu khusus untuk kegiatan

remedial/pengayaan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

memperdalam kemampuan pemahaman konsep (PK) dan kemampuan generik

sains (KGS) secara sistematis, seperti: kemampuan membuat grafik,

kemampuan membaca grafik, kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep

fisika dalam persoalan-persoalan sederhana.

8. Guru kurang memberikan kesempatan bertanya kepada siswa. Guru juga

kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan

gagasannya.

9. Seringkali guru terlalu dini memberi tahu siswanya bila mengalami kesulitan,

kurang diberikan waktu untuk berusaha mencoba mengatasi masalahnya

sendiri.

10.Jarang sekali guru melakukan evaluasi terhadap aspek afektif dan psikomotor,

(15)

11.Setiap kali memberikan tugas-tugas atau soal-soal latihan kepada siswa, guru

jarang sekali menginformasikan hasil pekerjaan siswa.

12.Kadangkala guru juga memiliki kesalahan konsep, ataupun kurang menguasai

konsep yang diajarkan. Terkadang kesalahan konsep juga terdapat pada

buku-buku pelajaran yang digunakan siswa.

Kondisi-kondisi di atas barangkali yang turut andil menjadikan hasil

belajar Fisika dalam berbagai aspeknya masih tergolong rendah. Oleh karena itu

perlu dilakukan berbagai upaya perubahan. Proses belajar-mengajar (PBM) harus

berubah dari “memberi tahu” menjadi “membantu peserta didik agar menjadi

tahu” melalui proses inkuiri ilmiah. Melibatkan siswa secara aktif dalam proses

inkuiri ilmiah selama pembelajaran merupakan tuntutan dasar dalam pembelajaran

fisika. Siswa diberi kesempatan untuk berlatih menganalisis masalah yang

dihadapi, mencari informasi yang diperlukan, mengambil sari dari suatu bacaan,

bertanya dan mempertanyakan informasi yang dianggap janggal, untuk akhirnya

dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Pembelajaran dengan

melibatkan siswa secara aktif dalam menyelesaikan masalah merupakan modal

bagi siswa untuk memiliki kompetensi yang pada gilirannya dapat memecahkan

masalah dalam kehidupan sehari-hari, lebih mandiri dalam mengikuti jenjang

pendidikan selanjutnya, dan mandiri dalam pekerjaan.

Kegiatan inkuiri ilmiah oleh siswa dapat dilakukan secara bertahap

menurut kemampuan dan jenjang pendidikannya hingga siswa dapat melakukan

proses inkuiri dengan lengkap. Pembelajaran inkuiri yang dapat diberikan pada

(16)

awal pembelajaran guru masih banyak memberikan proses bimbingan, kemudian

pada tahap-tahap berikutnya, bimbingan tersebut dikurangi, sehingga siswa

mampu melakukan proses inkuiri secara mandiri. Bimbingan yang diberikan dapat

berupa pertanyaan-pertanyaan dan diskusi multi arah yang dapat menggiring

siswa agar dapat memahami konsep. Di samping itu, bimbingan dapat pula

diberikan melalui lembar kerja siswa yang terstruktur.

Melalui kegiatan inkuiri ilmiah secara terbimbing ini siswa dapat

melakukan penyelidikan secara berkelompok (group investigation) dalam rangka

membangun konsep yang diinginkan. Penyelidikan secara berkelompok ini dapat

melatih siswa bagaimana bekerja dalam tim, sebab banyak pekerjaan di masa

sekarang yang tidak mungkin dikerjakan sendiri. Mereka juga mendapatkan

kesempatan untuk berlatih berdiskusi, mengkomunikasikan hasil pikirannya

secara lisan maupun tertulis.

Pembelajaran Fisika berbasis inkuiri ilmiah ini sesuai dengan tujuan mata

pelajaran IPA di SMP yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar (Balitbang Depdiknas, 2004) yaitu melakukan inkuiri ilmiah

untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta

berkomunikasi. Pendapat Rutherford (1990) juga manyatakan bahwa

pembelajaran Fisika melalui berbagai pengalaman inkuiri ilmiah dapat

menumbuhkan kemampuan memahami konsep abstrak, memanipulasi

simbol-simbol, bernalar secara logika dan menggeneralisasi. Artinya bahwa pembelajaran

berbasis inkuiri dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan

(17)

inkuiri secara berkesinambungan dalam pembelajaran Fisika akan

mengembangkan keterampilan berinkuiri bagi siswa yang pada gilirannya dapat

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (Hinduan, 2003).

Beberapa temuan yang dihasilkan oleh para peneliti terdahulu tentang

pembelajaran inkuiri terbimbing, antara lain seperti dilakukan oleh Broto (2009)

pada siswa SMP kelas IX, mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri

terbimbing dengan metode eksperimen dan demonstrasi dapat meningkatkan

prestasi belajar Fisika siswa. Hasil penelitian Mubayatun (2008) pada siswa SMP

kelas VII juga mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing melalui

problem base learning (PBL) dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.

Kemudian, hasil penelitian Santyasa (2009) pada siswa SMA kelas X tentang

pembelajaran berseting penyelidikan kelompok (group investigation)

mengungkapkan bahwa pembelajaran model perubahan konseptual berseting

penyelidikan kelompok dapat meningkatkan pemahaman konsep fisika dan

kemampuan pemecahan masalah siswa.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu mengadakan penelitian

tentang pengembangan program pembelajaran fisika mencakup bagaimana proses

belajar-mengajar dan juga sistem evaluasinya, yang mengacu pada model

pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inkuiry) dalam bentuk pembelajaran

kooperatif tipe penyelidikan kelompok (group investigation) untuk meningkatkan

kemampuan-kemampuan fisika siswa meliputi: pemahaman konsep (PK) dan

kemampuan generik sains (KGS) sebagai upaya membangun kualitas sumber

(18)

yang dikembangkan untuk selanjutnya dinamakan dengan Program Pembelajaran

Fisika berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang seperti dikemukakan di atas, maka penelitian

ini dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan berikut: “Bagaimanakah

Program Pembelajaran Fisika untuk meningkatkan pemahaman konsep dan

kemampuan generik sains siswa Sekolah Menengah Pertama Sebagai upaya

membangun kualitas sumber daya manusia?” Selanjutnya masalah penelitian

tersebut dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah implementasi Program Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri

Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK) lebih efektif dalam

meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan generik sains siswa jika

dibandingkan dengan Program Pembelajaran Tradisional?

2. Bagaimanakah profil kemampuan kerja laboratorium (KKL) siswa dalam

proses pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK?

3. Apakah keunggulan dan keterbatasan dari Program Pembelajaran Fisika

berbasis IT2PK berdasarkan hasil implementasinya?

4. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan Program

Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK?

5. Kendala-kendala apa saja yang dijumpai dalam implementasi Program

(19)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui efektivitas Program Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri

Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK) dalam meningkatkan

pemahaman konsep dan kemampuan generik sains siswa jika dibandingkan

dengan Program Pembelajaran Tradisional.

2. Mengetahui profil kemampuan kerja laboratorium (KKL) siswa dalam proses

pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK.

3. Menemukan keunggulan dan keterbatasan dari Program Pembelajaran Fisika

berbasis IT2PK berdasarkan hasil implementasinya.

4. Mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan Program

Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK.

5. Menemukan kendala-kendala yang dijumpai dalam implementasi Program

Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada guru

dalam meningkatkan mutu pendidikan Fisika khususnya di tingkat Sekolah

Menengah Pertama.

2. Kemampuan-kemampuan, nilai-nilai, serta sikap yang dideskripsikan, dapat

(20)

mengajar Fisika, sehubungan dengan fungsinya sebagai wahana pendidikan

untuk membangun kualitas sumber daya manusia.

3. Program pembelajaran yang dikembangkan dapat dipertimbangkan untuk

diterapkan pada topik-topik Fisika lainnya yang memungkinkan

ditumbuh-kembangkannya aspek-aspek kemampuan generik sains yang lebih banyak.

E. Penjelasan Istilah

Ada beberapa istilah dalam penelitian ini yang perlu diberi penjelasan agar

diperoleh kesamaan persepsi. Istilah-istilah dimaksud antara lain:

1. Membangun kualitas sumber daya manusia melalui pembelajaran Fisika

maksudnya adalah meningkatkan kemampuan-kemampuan,

keterampilan-keterampilan, serta sikap atau nilai yang menjadi ciri manusia berkualitas,

melalui upaya peningkatan kemampuan-kemampuan fisika.

2. Kemampuan-kemampuan fisika didefinisikan sebagai

kemampuan-kemampuan, keterampilan, serta sikap atau nilai yang dapat

ditumbuh-kembangkan melalui pembelajaran Fisika di sekolah. Dalam penelitian ini

kemampuan-kemampuan fisika yang dimaksudkan adalah pemahaman

konsep-konsep fisika (PK), kemampuan generik sains (KGS), dan

keterampilan kerja laboratorium (KKL). Pemahaman konsep (PK) yang

dimaksudkan adalah pemahaman siswa pada konsep-konsep yang terdapat

pada topik gerak lurus, meliputi: konsep perpindahan dan jarak tempuh,

konsep kecepatan dan kelajuan, konsep kecepatan tetap, dan konsep

(21)

kemampuan siswa pada aspek-aspek kemampuan generik yang teridentifikasi

dari topik gerak lurus, meliputi: kemampuan mendeskripsikan konsep,

kemampuan menginterpretasi representasi ilmiah, kemampuan inferensi

logika, dan kemampuan mengaplikasikan konsep pada

permasalahan-permasalahan fisika sederhana. Adapun yang dimaksudkan dengan

kemampuan kerja laboratorium (KKL) adalah kemampuan-kemampuan dalam

melaksanakan kegiatan praktikum di laboratorium, meliputi: kemampuan

mengamati, kemampuan merepresentasikan data dalam bentuk tabel atau

grafik, kemampuan menginterpretasi data, kemampuan mengkomunikasikan

hasil percobaan, serta sikap siswa dalam melakukan kegiatan laboratorium.

3. Program Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan

Kelompok (IT2PK), didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan belajar

-mengajar pada tingkat SMP berbasis inkuiri (terbimbing) dengan bentuk

pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok yang dikembangkan

untuk meningkatkan pemahaman konsep (PK), kemampuan generik sains

(KGS), serta kemampuan kerja laboratorium (KKL) siswa melalui topik gerak

lurus, sebagai bagian dari upaya membangun kualitas sumber daya manusia

melalui pendidikan sains. Melalui kegiatan inkuiri ini siswa melakukan

pengamatan, mengumpulkan data hasil pengamatan, menganalisis dan

menginterpretasi data, melakukan prediksi serta menyimpulkan dan

mengkomunikasikan hasil yang diperoleh.

4. Program Pembelajaran Tradisional didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan

(22)

Dalam pembelajaran ini umumnya guru menerangkan suatu materi-materi

Fisika di depan kelas dalam bentuk ceramah, menginformasikan definisi suatu

konsep serta rumus-rumus yang terkait dengan konsep tersebut, memberikan

contoh-contoh soal, dan kemudian memberikan soal-soal latihan yang

kebanyakan menuntut perhitungan-perhitungan matematik. Dalam

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis Penelitian dan Pengembangan Pendidikan

(Educational Research and Development) yang disingkat R&D. Menurut Borg &

Gall (1983), R&D diarahkan untuk mengembangkan dan memvalidasikan

produk-produk pendidikan. Produk pendidikan dalam hal ini adalah Program

Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok

(IT2PK) meliputi rencana pembelajaran, skenario pembelajaran, bahan ajar,

lembar kerja siswa serta alat-alat evaluasi . Validasi program dilakukan melalui

ilmplementasi program pembelajaran yang dikembangkan.

Borg & Gall mengemukakan 10 (sepuluh) langkah kegiatan penelitian dan

pengembangan, yang terbagi atas 7 (tujuh) langkah utama. Namun tim dosen

pengembangan kurikulum UPI mengadakan sedikit modifikasi dari

langkah-langkah yang dikemukakan oleh Borg & Gall menjadi tiga langkah-langkah (Sukmadinata,

2002) yaitu: studi pendahuluan, pengembangan program, dan validasi program.

Berikut adalah penjelasan dari masing-masing langkah tersebut:

Tahap I: Studi Pendahuluan

Ada dua kegiatan dalam studi pendahuluan, yaitu studi kepustakaan dan

survai pendahuluan. Studi kepusatakaan ditujukan untuk mempelajari

landasan-landasan teoritis dari program pembelajaran yang akan dihasilkan, dan hasil-hasil

(24)

lapangan diarahkan untuk menemukan program-program yang terkait dengan

program pembelajaran sejenis atau embrio dari program tersebut dalam

pelaksanaan pendidikan di sekolah.

Tahap II: Pengembangan Program

Pada tahap ini terdiri atas penyusunan rancangan program pembelajaran

dan uji coba.

1. Penyusunan Rancangan Program Pembelajaran

Bertolak dari kemampuan-kemampuan yang mencirikan kualitas SDM,

berbagai kemampuan fisika yang harus dikuasai siswa melalui topik gerak lurus,

dapat dirancang sebuah Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK untuk

meningkatkan hasil belajar fisika siswa. Program ini mencakup

komponen-komponen seperti: kemampuan-kemampuan yang ditumbuhkan melalui topik

gerak lurus, materi/bahan belajar, strategi pembelajaran (pembelajaran berbasis

aktivitas, remedial/pengayaan, dan tugas-tugas mandiri), dan program evaluasi.

Kaitan antara komponen-komponen program pembelajaran itu secara sederhana

(25)

2. Uji Coba Rancangan Program dan Instrumen Penelitian

Uji coba program pembelajaran yang telah dikembangkan dalam

penelitian ini dilakukan di sebuah SMP Negeri di Kota Bandung pada siswa kelas

VII(E) semester genap tahun ajaran 2007/2008 dengan jumlah siswa 40 orang,

yang terdiri dari 20 orang laki-laki dan 20 orang perempuan. Uji coba program

dilaksanakan pada bulan April s/d Mei 2008. Dilakukannya uji coba ini pada akhir

semester genap dikarenakan harus disesuaikan dengan urutan topik yang telah

dibuat oleh guru di sekolah bersangkutan, dan dengan kurikulum Fisika 2006

Topik-topik Fisika SMP kelas VII semester 2 Kemampuan-kemampuan

yang harus dikuasai siswa SMP dalam belajar Fisika

Kemampuan-kemampuan yang dapat ditumbuhkan melalui topik Fisika SMP kelas VII semester 2 yang dipilih

Bahan Ajar

Strategi Pembelajaran

Pembelajaran berbasis aktivitas

Remedial/ Pengayaan

Tugas-tugas mandiri

EVALUASI Kemampuan-kemampuan

yang mencirikan kualitas SDM

(26)

yang menempatkan topik gerak lurus pada kelas VII akhir semester genap.

Kegiatan pembelajaran pada uji coba ini terdiri dari pembelajaran berbasis

aktivitas yang dilaksanakan sesuai jam pelajaran resmi di sekolah,

remedial/pengayaan dilaksanakan pada sore hari sesuai kesepakatan dengan siswa,

dan tugas-tugas mandiri dalam bentuk Pekerjaan Rumah (PR). Pada akhir

pembelajaran topik gerak lurus ini, siswa diberikan tes untuk mengukur

pemahaman konsep dan kemampuan generik sains siswa setelah belajar dengan

program pembelajaran yang dikembangkan.

Tahap III: Validasi Program Pembelajaran

Program pembelajaran yang telah diperbaiki berdasarkan hasil uji coba,

diimplementasikan dan diuji efektivitasnya. Pada tahap ini diuji seberapa besar

peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan generik sains yang diperoleh

siswa setelah pembelajaran dengan program pembelajaran yang dikembangkan,

kemudian dibandingkan dengan peningkatan kemampuan siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan Program Pembelajaran Tradisional.

Agar program pembelajaran dapat diimplementasikan secara efektif di

sekolah, terlebih dahulu peneliti memberikan pelatihan kepada guru Fisika yang

akan ditugaskan untuk melaksanakan misi studi eksperimental ini. Kemudian,

terhadap guru tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:

1. Menguasai materi/bahan ajar dengan baik, dalam arti bahwa guru yang

bersangkutan tidak terdapat miskonsepsi.

2. Tidak memposisikan diri sebagai sumber otoritas pengetahuan, tetapi selalu

(27)

3. Memiliki keinginan untuk mengaplikasikan program pembelajaran yang

dikembangkan, serta kesanggupan untuk merubah pembelajaran yang biasa

dilakukan.

Prosedur yang ditempuh pada tahap III ini adalah sebagai berikut:

1. Pemberian pretest kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk

mengetahui kemampuan awal kedua kelompok siswa, baik mengenai

pemahaman konsep (PK) maupun mengenai kemampuan generik sains (KGS).

Hasil tes ini nanti dijadikan sebagai acuan awal untuk melihat sejauh mana

peningkatan kemampuan pada masing-masing kelompok siswa pasca

implementasi program.

2. Melaksanakan proses pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika

berbasis IT2PK untuk siswa kelompok eksperimen dan dengan Program

Pembelajaran Tradisional untuk kelompok kontrol.

3. Melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar (posttest). Penilaian proses

dilakukan tehadap kelompok eksperimen, dengan mengamati keterlaksanaan

program yang telah dikembangkan sekaligus menilai kemampuan kerja

laboratorium siswa, serta melakukan pencatatan terhadap proses pembelajaran

yang sedang berlangsung dan menemukan kendala-kendala apa saja yang

terjadi sehubungan dengan implementasi program. Sedangkan penilaian hasil

belajar meliputi evaluasi terhadap pemahaman konsep (PK) dan kemampuan

generik sains (KGS), dilakukan terhadap siswa kelompok eksperimen maupun

(28)

dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK dilakukan pada siswa

kelompok eksperimen.

4. Melakukan analisis data dan interpretasi. Data yang telah diperoleh dalam

penelitian baik berupa data kualitatif maupun data kuantitatif, dianalisis untuk

melihat keefektifan program pembelajaran yang dikembangkan serta untuk

mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program tersebut serta mengetahui

kendala-kendala yang dialami selama implementasi program.

5. Merumuskan temuan-temuan penelitian dan rekomendasi.

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain eksperimen kuasi

dengan kelompok kontrol tidak ekivalen (nonequivalent control group design),

disertai pemberian tes awal dan tes akhir. Pada desain ini subyek penelitian tidak

dikelompokkan secara acak. Desain ini dipilih mengingat membuat

pengelompokan baru di lapangan seringkali tidak dimungkinkan. Adapun

rancangan penelitiannya adalah seperti berikut ini:

Tabel 3.1. Rancangan Penelitian Eksperimen Kuasi

(Diadaptasi dari Ruseffendi, 2001). Kelompok Pretest Treatment Posttest

Kelompok Eksperimen O X1 O

Kelompok Kontrol O X2 O

Catatan: X1 adalah pembelajaran untuk kelompok eksperimen (pembelajaran dengan program yang dikembangkan), X2 adalah pembelajaran untuk kelompok kontrol (Pembelajaran Tradisional), serta O adalah berupa pretest ataupun posttest.

Secara garis besar dapat digambarkan prosedur atau langkah-langkah

(29)

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII semester 2 di sebuah

Sekolah Menengah Pertama Negeri di kota Mataram- Nusa Tenggara Barat tahun

pelajaran 2008/2009. Siswa ini terdiri dari sembilan kelas, yang tergolong dalam

2(dua) kelas akselerasi dan 7(tujuh) kelas reguler. Oleh karena dua kelas

akselerasi sudah mendapatkan perlakuan yang “khusus”, maka sampel hanya

dipilih dari beberapa kelas reguler saja. Berdasarkan penentuan kelas secara

random terpilihlah kelas VII(C) dan kelas VII(I) menjadi kelas eksperimen serta

kelas VII(D) dan kelas VII(H) menjadi kelas kontrol.

Alasan dipilihnya SMP kelas VII sebagai subyek penelitian, oleh karena

pada jenjang dan kelas inilah mata pelajaran Fisika untuk pertama kalinya mulai

diperkenalkan. Menurut penulis, pada tingkat SMP kelas VII ini merupakan saat PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN STUDI PENDAHULUAN TAHAP PERANCANGAN • Mengidentifikasi kemampuan2 yang dapat dikembangkan dari topik yang dipilih • Menyusun perangkat

pembelajaran • Membuat bahan ajar • Menyusun

instrumen-instrumen penelitian

UJI COBA • Uji coba program

pembelajaran • Uji coba instrumen

VALIDASI PROGRAM PEMBELAJARAN

STUDI LITERATUR • Landasan teoritis

dari program pembelajaran yang dikembangkan • Hasil penelitian

terdahulu

STUDI LAPANGAN • Implementasi

pembelajaran fisika di sekolah • Kondisi kinerja

siswa dan guru • Sarana-prasarana • Lingkungan

belajar

Kelompok Eksperimen • Tes awal • Pembelajaran

Fisika berbasis IT2PK

• Tes akhir

Kelompok Kontrol • Tes awal • Pembelajaran

Tradisional • Tes akhir

Analisis Data

Kesimpulan

UJI PROGRAM

(30)

yang tepat untuk memberikan pemahaman konsep-konsep fisika secara lebih

mendalam kepada siswa agar mereka tidak mengalami kesulitan untuk memahami

materi Fisika pada tingkatan yang lebih tinggi ataupun pada jenjang pendidikan

selanjutnya. Tabel 3.2 menunjukkan distribusi sampel penelitian.

Tabel 3.2. Distribusi Sampel Penelitian

Kelas

Jenis Kelamin

Jumlah

(orang) Kelompok Laki-laki

(orang)

Perempuan (orang)

VII(C) 19 21 40

Eksperimen

VII(I) 18 22 40

VII(D) 18 23 41

Kontrol

VII(H) 16 23 39

Jumlah 71 89 160 -

C. Instrumen Penelitian

Instumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Program pembelajaran dan bahan belajar. Program pembelajaran terdiri

dari rencana pembelajaran, pengalaman belajar, dan skenario pembelajaran.

Sedangkan bahan belajar terdiri dari materi pelajaran, panduan praktikum, dan

tugas-tugas latihan.

2. Pedoman observasi, digunakan untuk mengobservasi keterlaksanaan program

pembelajaran. Tiap aspek yang diobservasi akan dinilai dengan empat

kategori, yaitu: angka (4) jika terlaksana dengan sangat baik, angka (3) jika

terlaksana dengan baik, angka (2) jika kurang terlaksana dengan baik, dan

angka (1) jika tidak terlaksana.

3. Kuesioner untuk siswa, digunakan untuk mengetahui pendapat siswa

(31)

pembelajaran yang dikembangkan. Variasi skor untuk setiap pertanyaan

dibedakan atas empat kategori yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak

setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS), dengan skor masing-masing 4, 3, 2,

dan 1.

4. Catatan-catatan harian peneliti, digunakan untuk menilai proses

pembelajaran dan kendala-kendala apa saja yang dialami selama pembelajaran

dengan program yang dikembangkan. Setiap kejadian penting selama

pembelajaran dicatat dalam catatan harian ini.

5. Tes hasil belajar, terdiri dari a) tes pemahaman konsep (PK) dalam bentuk

tes objektif pilihan ganda; dan b) tes kemampuan generik sains (KGS) yang

disusun dalam bentuk tes uraian. Langkah-langkah penyusunan tes hasil

belajar ini meliputi penyusunan kisi-kisi, menyusun tes PK dan tes KGS,

melakukan validasi pakar, dan melakukan uji coba empiris.

a. Menyusun kisi-kisi soal

Untuk tes pemahaman kosep (PK), aspek kisi-kisinya meliputi:

subtopik, konsep-konsep dasar, nomor soal, jenjang kemampuan, dan kunci

jawaban. Sedangkan untuk tes kemampuan generik sains (KGS), aspek

kisi-kisinya meliputi: aspek-aspek kemampuan generik sains, indikator

kemampuan, tujuan pembelajaran khusus, subtopik, nomor soal, alokasi

waktu, serta bobot masing-masing soal. Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 berikut ini

(32)
[image:32.595.116.512.132.626.2]

Tabel 3.3. Kisi-kisi Tes Pemahaman Konsep (PK)

Subtopik Konsep-konsep

Nomor soal Jenjang

kemampuan

Kunci jawaban

(1) (2) (3) (4) (5)

(33)
[image:33.595.113.511.136.756.2]

Tabel 3.4. Kisi-kisi Tes Kemampuan Generik Sains (KGS) yang dikembangkan melalui topik Gerak Lurus

Aspek-aspek Kemampuan Generik Sains

Indikator Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)

Subtopik Soal No.

Alokasi Waktu

Bobot Soal

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Menggambarkan (mendeskripsikan) pengetahuan fisika secara efektif

Mendeskripsikan situasi fisika ke dalam bentuk kata-kata, gambar, tabel, diagram, atau simbol-simbol matematik. Siswa dapat membedakan konsep perpindahan dan jarak tempuh. Siswa dapat membedakan konsep kecepatan dan kelajuan. Siswa dapat menjelaskan percepatan untuk benda yang bergerak lurus beraturan. Siswa dapat menggambarkan grafik v-t dari gerak benda. Definisi gerak benda Gerak lurus beraturan (GLB) Definisi gerak benda 1 2 6 10 2 menit 3 menit 2 menit 10 menit 2 3 2 10 2. Menginterpretasi-kan konsep atau prinsip dan representasi ilmiah

Memaknai grafik, diagram, atau representasi ilmiah lainnya. Siswa dapat mengidentifikasi kecepatan benda yang bergerak lurus beraturan. Siswa dapat mengidentifikasi apakah benda mengalami percepatan atau tidak, berdasarkan data yang ada.

Siswa dapat mengidentifikasi gerak dua buah benda berdasarkan data yang ada. Siswa dapat mengidentifikasi percepatan benda yang dilemparkan vertikal ke atas

(34)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

3. Inferensi logika - Menjelaskan fakta hasil pengamatan. -Menyimpulkan

berdasarkan data.

lalu jatuh lagi ke tanah. Siswa dapat menjelaskan hasil observasi tentang hubungan kemiringan grafik x-t dengan besar kecepatan benda. Siswa dapat menjelaskan hasil observasi tentang hubungan kemiringan grafik v-t dengan besarnya percepatan benda. Gerak lurus beraturan (GLB) Gerak lurus berubah beraturan (GLBB) 12 13 5 menit 5 menit 5 5 4. Mengaplikasikan konsep Mengaplikasikan konsep pada persoalan-persoalan sederhana. Siswa dapat mengaplikasikan konsep kelajuan rata-rata dalam menyelesaikan persoalan- persoalan fisika sederhana. Siswa dapat membedakan konsep kecepatan dan kelajuan. Siswa dapat mengaplikasikan konsep kecepatan rata-rata dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fisika sederhana. Definisi gerak benda Definisi gerak benda Definisi gerak benda 3 4 5 11 5 menit 5 menit 8 menit 7 menit 5 5 8 7

b. Menyusun tes PK dan tes KGS

Tes pemahaman konsep (PK) disusun dalam bentuk tes objektif pilihan

(35)

(nol) untuk jawaban yang salah. Tes ini terdiri dari 20 soal, sehingga dengan

demikian skor minimal ideal adalah 0 (nol) dan skor maksimal idealnya 20.

Tes kemampuan generik sains (KGS) disusun dalam bentuk tes uraian.

Pada tes ini siswa diminta untuk menjawab pertanyaan secara benar dan jelas

baik berupa jawaban secara kuantitatif maupun kualitatif, karena pada

dasarnya tes ini dibuat untuk mengembangkan kemampuan penalaran baik

secara kuantitatif maupun penalaran secara kualitatif. Alokasi waktu dan

bobot setiap jenis soal didasarkan atas tingkat kompleksitas jawaban yang

diminta. Mengingat skor tes uraian tidaklah diskrit, maka untuk setiap soal

ditetapkan pedoman penentuan skor bagi tahapan-tahapan penyelesaian soal

yang dilakukan siswa. Pada kolom (6) dan kolom (7) Tabel 3.4 dapat dilihat

berturut-turut alokasi waktu dan bobot setiap butir soal yang dijawab dengan

utuh dan benar. Dengan demikian skor minimal ideal untuk tes ini adalah 0

(nol) dan skor maksimal idealnya 80.

c. Melakukan Validasi Pakar

Sehubungan dengan keperluan ini peneliti meminta bantuan kepada

lima orang pakar untuk menilai kisi-kisi serta tes yang telah dibuat. Kelima

pakar itu antara lain 3 orang dosen Fisika UPI, satu orang dosen Pendidikan

Fisika dari Universitas Tadulako Palu, dan satu orang lagi dari dosen Fisika

ITB. Untuk tes PK para pakar diminta untuk menilai kesesuaian tiap item soal

dengan pemahaman konsep yang hendak diukur, kesesuaian dengan jenjang

kemampuan, serta kesesuaian kunci jawaban dari tiap item soal tersebut.

(36)

tiap item soal dengan aspek kemampuan generik yang hendak diukur, tujuan

pembelajaran khusus, alokasi waktu, dan skor maksimal tiap item soal.

Atas dasar hasil penilaian para pakar tersebut dilakukan revisi atau

bahkan dilakukan penggantian terhadap soal yang dinilai belum sesuai dengan

apa yang hendak diukur.

d. Melakukan Uji Coba Empiris

Uji coba secara empiris dari tes hasil belajar yang telah memenuhi

validitas pakar ini dilakukan di sebuah SMP Negeri di Bandung pada siswa

kelas VII semester genap tahun pelajaran 2007/2008. Sebelum uji coba tes

dilakukan, terlebih dahulu siswa tersebut memperoleh pembelajaran topik

gerak lurus dengan program pembelajaran yang dikembangkan. Hal ini

dilakukan karena pada pembelajaran tradisional tidak dengan sengaja

diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu melalui

topik yang diajarkan, sehingga kalau uji coba dilakukan pada siswa yang tidak

dibelajarkan dengan program pembelajaran yang dengan sengaja dibuat untuk

mengembangkan kemampuan tertentu, akan terjadi ketidaksesuaian antara

tujuan tes dengan proses pembelajaran. Hasil uji coba kemudian dianalisis

reliabilitas dan validitas internal tiap item soal.

Untuk tes PK, reliabilitas diuji dengan menggunakan rumus ANOVA

Hoyt. Dengan cara ini diperoleh koefisien reliabilitas 0,64. Reliabilitas ini

juga diuji dengan menggunakan rumus K-R 20 dan diperoleh koefisien

reliabilitas 0,65. Jika kedua nilai koefisien reliabilitas ini dibandingkan dengan

(37)

tampak harga koefisien reliabilitas yang diperoleh dengan kedua rumus itu

lebih besar dari harga r tabel. Hal ini menandakan bahwa tes PK hasil uji coba

cukup reliabel. Validitas internalnya diuji dengan mencari nilai koefisien

korelasi antara skor seluruh siswa pada tiap item dan skor total masing-masing

siswa. Dengan cara ini diperoleh nilai koefisien validitas berkisar antara 0,087

s/d. 0,756. Soal-soal yang memiliki koefisien konsistensi rendah direvisi atau

bahkan ada yang diganti, kemudian dilakukan kembali validasi pakar.

Soal-soal yang telah melewati fase inilah yang kemudian digunakan dalam

implementasi. Setelah digunakan, tes ini kembali diuji reliabilitas dan

validitasnya. Dengan rumus Hoyt diperoleh koefisien reliabilitas = 0,233 atau

dengan rumus K-R 20 diperoleh = 0,244. Pengujian dengan kedua rumus ini

tetap reliebel, karena nilai koefisien reliabilitas dengan kedua rumus tersebut

masih berada di atas nilai kritis (untuk N=80 dan α = 5%, yaitu r = 0,220).

Sedangkan nilai koefisien validitas berkisar antara 0,220 s/d. 0,340, yang

berarti semua butir soal dalam tes PK yang digunakan dalam implementasi

memenuhi validitas internal karena koefisien validitas setiap soal berada di

atas nilai r kritis.

Untuk tes KGS, reliabilitasnya diuji dengan menggunakan rumus

Alpha Gronbach. Dengan cara ini diperoleh koefisien reliabilitas = 0,854. Jika

harga ini dikonsultasikan dengan harga r kritis pada tabel (untuk N=40 dan

taraf signifikansi 5% diperoleh nilai r = 0,312) maka nilai r hitung lebih besar

dari r tabel, yang berarti bahwa instrumen tersebut reliabel. Sedangkan

(38)

item soal dengan skor total masing-masing siswa. Nilai koefisien korelasi

antara skor siswa pada setiap item dengan skor total berkisar antara 0,33

sampai dengan 0,85, yang berarti semua butir soal tes KGS memenuhi

validitas internal. Namun demikian peneliti tetap meminta judgment dari pakar

kembali (validasi pakar) dengan maksud untuk mendapatkan butir soal yang

lebih baik. Soal-soal yang menurut pakar masih dianggap kurang sesuai

dengan hal yang hendak diukur dilakukan revisi atau bahkan diganti. Ada

beberapa soal yang direvisi atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan soal

yang lain. Setelah hasil revisi dikonsultasikan kembali dan disetujui oleh para

pakar barulah kemudian digunakan sebagai instrumen untuk memperoleh

informasi tentang kemampuan generik sains baik pada siswa kelompok

eksperimen maupun siswa kelompok kontrol.

Setelah digunakan, tes KGS diuji lagi reliabilitas dan validitasnya.

Ternyata setelah proses pengujian ini tes KGS tetap reliabel dan valid, dengan

koefisien reliabilitas 0, 695 (dikonsultasikan dengan harga r kritis untuk N=80

dan α = 5%, yaitu r = 0,220) dan koefisien korelasi antara skor item dengan

skor total masing-masing siswa yang berjumlah 80 orang berkisar antara 0,25

s/d 0,64.

Kedua tes yang sudah memenuhi persyaratan-persyaratan validitas dan

reliabilitas ini dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.

6. Format penilaian kemampuan kerja laboratorium (KKL), digunakan

untuk menilai kemampuan siswa dalam melaksanakan kegiatan laboratorium.

(39)

kecermatan pengamatan, keterampilan membaca alat dengan tepat, melakukan

pengorganisasian menurut suatu aturan pengurutan tertentu, serta mencatat

data hasil pengamatan tersebut secara akurat: 2) keterampilan

merepresentasikan data dalam bentuk tabel dan grafik, yaitu menyajikan data

hasil pengamatan dalam bentuk tabel dan grafik; (3) keterampilan

menginterpretasi data hasil pengamatan (ketepatan menginterpretasi data) dan

menyimpulkannya; (4) keterampilan komunikasi (keterampilan

mengkomuni-kasikan hasil percobaan baik secara lisan maupun tertulis), dan (5) sikap siswa

dalam melakukan kegiatan laboratorium, meliputi sikap antusias terhadap

materi praktikum dan kerjasama siswa dengan anggota kelompok praktikum.

Tiap aspek kegiatan laboratorium ini dinilai dengan empat kategori, yaitu:

angka (4) jika terlaksana dengan sangat baik, cepat, dan teliti; angka (3) jika

terlaksana dengan baik, tepat waktu; angka (2) jika terlaksana dengan baik,

tapi kurang tepat waktu dan kurang teliti; dan angka (1) jika tidak terlaksana

dengan baik.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini meliputi data kuantitatif dan data kualitatif. Data

kuantitatif berupa data tentang skor pemahaman konsep (PK) dan skor

kemampuan generik sains (KGS) yang diperoleh siswa dalam pembelajaran topik

gerak lurus, baik berupa skor pretest maupun posttest. Termasuk juga skor

(40)

skor kemampuan generik sains siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes PK

dan tes KGS.

Data kualitatif terdiri dari data tentang sikap dan perilaku siswa selama

proses pembelajaran berlangsung, dan data tentang respon atau tanggapan siswa

mengenai pembelajaran dengan program yang dikembangkan. Data kualitatif

termasuk pula mengenai keunggulan-keunggulan dan keterbatasan dari program

yang dikembangkan berdasarkan hasil implementasinya, serta kendala-kendala

yang dijumpai sehubungan dengan implementasi program. Data kualitatif ini

dikumpulkan melalui observasi, kuesioner, serta catatan-catatan harian peneliti.

E. Teknik Analisis Data

Data tentang hasil belajar siswa yaitu tentang pemahaman konsep (PK)

dan kemampuan generik sains (KGS), dianalisis dengan statistika deskriptif dan

statistika inferensial. Analisis deskriptif terhadap hasil belajar siswa dilakukan

dengan mengkonversi skor rerata siswa pada kedua jenis tes tersebut ke dalam

pedoman konversi yang didasarkan pada kriteria Penilaian Acuan Patokan (PAP).

[image:40.595.111.511.234.745.2]

Pedoman konversi secara umum ditunjukkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Lima (Diadaptasi dari Arikunto, 2003)

Kriteria Kategori Kemampuan

) 0 , 3 ( ) 5 , 1

(Xi + SDiXSmax = Xi+ SDi

) 5 , 1 ( ) 5 , 0

(Xi+ SDiX< Xi+ SDi ) 5 , 0 ( ) 5 , 0

(XiSDiX < Xi+ SDi

) 5 , 0 ( ) 5 , 1

(XiSDiX < XiSDi

) 5 , 1 ( ) 0 , 3 (

min Xi SDi X Xi SDi

S = − ≤ < −

Sangat baik

Baik

Cukup

Kurang

(41)

Keterangan: Xi = 2 1

(Smax + Smin); SDi = 6 1

(Smax – Smin); dan X adalah rerata skor siswa,

dapat berupa rata-rata skor pretest (Spre) ataupun berupa rata-rata skor posttest

(Spost); dengan Xi = rata-rata ideal, SDi = simpangan baku ideal, Smax = skor maksimum ideal, dan Smin = skor minimum ideal.

[image:41.595.114.511.270.620.2]

Tes pemahaman konsep (PK), skor minimalnya adalah 0 (nol) dan skor maksimal 20. Sedangkan untuk tes kemampuan generik sains (KGS) memiliki skor minimal 0 (nol) dan skor maksimal 80. Agar pedoman konversi yang dibuat dapat berlaku untuk kedua jenis kemampuan, sebaiknya kriteria skor dibuat dalam skala seratus. Dengan demikian berarti skor maksimal ideal untuk kedua jenis tes setelah diadaptasikan adalah 100 dan skor minimal ideal adalah 0, yang berarti pula skor rata-rata ideal 50 dan simpangan baku ideal 16,67. Dengan mengacu pada pedoman konversi umum seperti Tabel 3.5 dapat dibuat pedoman konversi norma absolut skala lima untuk skor PK dan skor KGS seperti pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Lima untuk Skor PK dan Skor KGS

Kriteria Kategori Kemampuan 00

, 100 00

,

75 ≤ X

00 , 75 33

,

58 ≤ X <

33 , 58 67

,

41 ≤ X <

67 , 41 00

,

25 ≤ X <

00 , 25 00

,

0 ≤ X <

baik Sangat Baik Cukup Kurang Sangat kurang

Untuk melihat peningkatan perolehan skor kemampuan-kemampuan siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran, dilakukan perhitungan normalized gain score (<g>), dengan rumus:

pre pre post S S S S g − − = > < max

(42)

Adapun kriteria peningkatan perolehan skor kemampuan dikategorikan seperti

[image:42.595.112.515.181.619.2]

dalam Tabel 3.7.

Tabel 3.7. Pedoman Konversi Peningkatan Perolehan Skor PK dan KGS

Nilai N-Gain (<g>) Kategori Peningkatan Perolehan Skor 0,70 < (<g>) ≤ 1,00 Tinggi 0,30 < (<g>) ≤ 0,70 Sedang (<g>) ≤ 0,30 Rendah

Setelah melakukan analisis deskriptif terhadap skor PK dan KGS siswa

maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis inferensial. Analisis

statistika inferensial ini dicirikan dengan adanya pengujian hipotesis (Spiegel,

2002). Analisis ini dilakukan terhadap uji perbedaan rerata kemampuan awal

maupun terhadap uji perbedaan rerata kemampuan kedua kelompok siswa

(kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) setelah memperoleh pengalaman

belajar yang berbeda. Analisis inferensial juga dilakukan terhadap uji efektivitas

program atau keunggulan komparatif dari program yang dikembangkan terhadap

Program Pembelajaran Tradisional, yaitu dengan menguji perbedaan rerata skor

n-gain pemahaman konsep maupun n-n-gain kemampuan generik sains antara siswa

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Skor siswa kelompok eksperimen dalam melakukan kegiatan laboratorium

dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Penilaian terhadap kemampuan kerja

laboratorium ini juga menggunakan kriteria PAP dengan skor maksimal ideal 20

(jika seorang siswa mendapatkan skor 4 pada setiap aspek yang dinilai) dan skor

minimal ideal 5 (jika seorang siswa mendapatkan skor 1 pada setiap aspek yang

(43)

dan skor minimal ideal 25. Dengan demikian (dalam bentuk persentase) tes ini

memiliki skor rerata ideal 62,5 dan simpangan baku ideal 12,5.

Terhadap tanggapan atau respon siswa mengenai program pembelajaran

yang dikembangkan, juga dianalisis secara deskriptif kuantitatif, yaitu dengan

cara menganalisis persentase siswa yang memberikan pernyataan sangat setuju

(SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS) pada

masing-masing pernyataan. Penilaian tentang tanggapan siswa secara umum terhadap

Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK juga menggunakan kriteria PAP

dengan skor maksimal ideal 60 (jika seorang siswa mendapatkan skor 4 pada

setiap nomor pernyataan) dan skor minimal ideal 15 (jika seorang siswa

mendapatkan skor 1 pada setiap nomor pernyataan). Jika dikonversi ke dalam

persen, maka skor maksimal ideal menjadi 100 dan skor minimal ideal 25.

Dengan demikian (dalam bentuk persentase) tes ini memiliki skor rerata ideal 62,5

dan simpangan baku ideal 12,5.

Tampaknya skor kemampuan melakukan kegiatan laboratorium dan skor

respon siswa terhadap program pembelajaran yang dikembangkan, dalam bentuk

persentase memiliki nilai rerata ideal dan simpangan baku ideal yang sama. Hal

ini berarti analisis terhadap kedua jenis data dapat mengacu pada pedoman

konversi yang sama. Dengan demikian, berpedoman pada Tabel 3.5, dapatlah

dibuat pedoman konversi norma absolut skala lima untuk skor kemampuan

melakukan kegiatan laboratorium dan skor respon siswa terhadap program

(44)

Tabel 3.8. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Lima untuk Skor Kemampuan Melakukan Kegiatan Laboratorium (KKL) dan Skor Respon Siswa

Kriteria Kategori Kemampuan

00 , 100 25

,

81 ≤X

25 , 81 75

,

68 ≤ X < 75 , 68 25

,

56 ≤ X < 25 , 56 37

,

43 ≤ X < 37 , 43 00

,

25 ≤X <

Sangat baik

Baik

Cukup Kurang

Sangat kurang

Selanjutnya, untuk data kualitatif mengenai kendala-kendala yang

dijumpai dalam implementasi program, serta keunggulan dan keterbatasan

program berdasarkan hasil implementasi diolah secara desktiptif naratif

(kualitatif).

F. Analisis Hasil Uji Coba

Pada akhir pembelajaran topik gerak lurus ini, siswa diberikan tes untuk

mengukur pemahaman konsep (PK) dan kemampuan generik sains (KGS) setelah

belajar dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK. Adapun hasilnya

[image:44.595.113.512.132.698.2]

ditunjukkan pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9. Analisis Deskriptif Hasil Uji Coba

Kemampuan-kemampuan Fisika Skor Total yang Diharapkan

Persentase Skor Rata-Rata

Standar Deviasi

Jumlah Siswa dengan Skor di atas Rata-Rata Pemahaman konsep (PK) 20

(100 %)

10,6 (53,0%)

3,6 20 orang (50,0 %)

Kemampuan generik sains (KGS) 80 (100 %)

43,5 (54,4 %)

(45)

Dari tabel di atas, tampak rata-rata skor pemahaman konsep dan skor

kemampuan generik sains siswa peserta uji coba berada dalam rentang nilai

(41,67 % – 58,33 %) berdasarkan Tabel 3.6, yang berarti keduanya dalam

kualifikasi cukup. Persentase siswa yang memiliki nilai di atas skor rata-rata

adalah 50 % untuk PK dan 45 % untuk KGS.

Jika skor pemahaman konsep dianalisis secara perkonsep, rangkuman

[image:45.595.112.512.254.616.2]

hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10. Rangkuman Analisis Deskriptif Perkonsep Skor PK

Konsep-konsep atau Prinsip-prinsip dalam topik Gerak Lurus

Skor Total yang Diharapkan

Persentase Skor Rata-rata

Standar Deviasi

Jumlah Siswa dengan Skor di atas Rata-rata Perpindahan dan jarak tempuh 3 2,0

(66,67%)

0,78 30 orang (75%) Kecepatan dan kelajuan 7 3,9

(55,71%)

1,14 26 orang (65%)

Kecepatan tetap 4 2,3

(55,5%)

1,13 20 orang (50%)

Percepatan tetap 6 2,5

(41,67%)

1,85 22 orang (55%)

Tampak dari tabel di atas bahwa persentase skor rata-rata siswa pada

konsep perpindahan dan jarak tempuh sebesar 66,67 % dari skor total yang

diharapkan. Jika harga ini dikonsultasikan ke dalam Tabel 3.6, diperoleh

kesimpulan bahwa secara umum pemahaman siswa pada konsep perpindahan dan

jarak tempuh dikategorikan baik. Sekitar 75% dari siswa peserta uji coba

memiliki skor di atas rata-rata. Adapun pada konsep nomor 2, 3, dan 4 memiliki

persentase skor rata-rata berturut-turut sebesar 55,71 % , 55,50 % dan 41,67 %

dari skor total yang diharapkan pada masing-masing konsep tersebut, yang berarti

secara umum pemahaman siswa pada konsep kecepatan dan kelajuan, konsep

(46)

Persentase jumlah siswa yang memiliki skor di atas rata-rata pada ketiga konsep

mencapai lebih dari 50 % peserta uji coba.

Terhadap skor kemampuan generik sains jika dianalisis peraspek,

rangkuman hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11. Rangkuman Analisis Deskriptif Aspek-aspek Kemampuan Generik Sains (KGS)

Aspek-aspek Kemampuan Generik Sains (KGS) Skor Total yang Diharapkan Persentase Skor Rata-rata Standar Deviasi Jumlah Siswa dengan Skor di atas Rata-rata Mendeskripsikan Pengetahuan fisika

secara efektif

17 10,1 (59,41%)

2,65 20 orang (50 %)

Menginterpretasi konsep atau prinsip dan representasi ilmiah lainnya

28 13,9 (49,64%)

5,52 20 orang (50 %)

Inferensi logika 10 6,3

(63,00%)

2,50 17 orang (42,50%) Mengaplikasikan konsep 25 13,3

(53,20%)

5,00 19 orang (47,50%)

Dari Tabel 3.11 di atas, tampak persentase skor rata-rata siswa pada

aspek kemampuan mendeskripsikan pengetahuan fisika secara efektif dan aspek

inferensi logika berturut-turut sebesar 59,41 % dan 63,00 % dari skor total. Hal ini

berarti secara umum kemampuan siswa pada kedua aspek kemampuan generik

sains ini dikategorikan baik. Sedangkan kemampuan menginterpretasikan konsep

atau hukum atau r

Gambar

Tabel 1.1. Kelangsungan Studi Anak-Anak Indonesia
Gambar 3.1. Kaitan Antar Komponen-komponen Program Pembelajaran
Tabel 3.1. Rancangan Penelitian Eksperimen Kuasi (Diadaptasi dari Ruseffendi, 2001).
Gambar 3.2. Langkah-langkah Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2013 ini berjanji akan mewujudkan target kinerja tahunan sesuai lampiran perjanjian ini dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah

Teknik ini digunakan untuk mengamati dari dekat dalam upaya mencari dan menggali data melalui pengamatan secara langsung dan mendalam terhadap subjek dan

DiajukanUntukMemenuhiSalah Satu Syarat Menempuh Ujian Sidang Sarjana Ekonomi pada Program Studi Akuntansi. Oleh:

Pengaruh motivasi dan tingkat disiplin terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran sepakbola.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

[r]

[r]

Bekas dengan Teknik Mikrofiltrasi dan Transesterifikasi Sebagai Alternatif. Bahan Bakar Mesin

Kini dengan tiga lapis sistem keamanan yang membentuk suatu piramida keamanan yang terdiri dari penggunaan SIM card, proses authhentikasi yang akan memeiksa terlebih dahulu