DAFTAR ISI
Hal. PERSETUJUAN PEMBIMBING... PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN...
i ii iii iv vi vii viii xi xiii xiv 1 A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Penjelasan Istilah...
1 15 16 16 17 BAB II UPAYA MEMBANGUN KUALITAS SUMBER DAYA
MANUSIA MELALUI PEMBELAJARAN FISIKA DI SEKOLAH... 20 A. B. C. D. E. F. G.
Pentingnya Sumber Daya Manusia Berkualitas... Tujuan Mata Pelajaran Fisika di Sekolah Menengah Pertama.. Kemampuan-kemampuan Fisika yang Dapat Dikembangkan Melalui Pembelajaran Fisika di Tingkat SMP... Identifikasi Kemampuan Generik Sains yang Dapat Dikembangkan Melalui Materi Gerak Lurus... Kemampuan-kemampuan yang Dapat Ditumbuhkembangkan Melalui Upaya Peningkatan Kemampuan Generik Sains... Proses Belajar-Mengajar Fisika di Sekolah... Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK untuk
H. I. J.
Meningkatkan PK dan KGS Siswa... Strategi Pembelajaran yang Dapat Dikembangkan... Model Evaluasi... Hipotesis-hipotesis Statistik... 51 53 58 59 BAB III METODE PENELITIAN... 62
A. Pendekatan Penelitian... B. Subyek Penelitian... C. Instrumen Penelitian... D. Teknik Pengumpulan Data... E. Teknik Analisis Data... F. Analisis Hasil Uji Coba... G. Perbaikan Rancangan Program Pembelajaran...
62 68 69 78 79 83 86 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 90 A. Hasil Penelitian... 90 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uji Persyaratan Analisis... Deskripsi Pemahaman Konsep (PK) dan Kemampuan Generik Sains (KGS) Awal Siswa... Deskripsi Pemahaman Konsep (PK) dan Kemampuan Generik Sains (KGS) Siswa Setelah Memperoleh Pengalaman Belajar... Efektivitas Program Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK) Kemampuan Kerja Laboratorium (KKL) Siswa Kelompok Eksperimen... Respon Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika Berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK)...
95 96 100 104 109 111 B. Pembahasan... 114 1. Efektivitas Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK
dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan
2. 3.
4.
5.
Kemampuan Kerja Laboratorium Siswa... Keunggulan dan Keterbatasan Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK Berdasarkan Hasil Implementasi.... Respon Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika Berbasis IT2PK... Kendala-kendala dalam Implementasi Program...
124
126
128 130 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 133
A. Kesimpulan... B. Saran...
133 134 DAFTAR PUSTAKA... RIWAYAT HIDUP...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kita telah memasuki abad XXI. Era globalisasi harus dilalui
oleh siapapun yang hidup di abad ini. Abad XXI merupakan abad yang sarat
dengan kompetisi, dan pemenangnya sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusianya. Persiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan
kunci untuk memetik kemenangan dalam persaingan di era globalisasi. Berkaitan
dengan hal ini, Tilaar (1999) menyebutkan ada tiga tuntutan terhadap SDM abad
XXI, yaitu: (1) Abad XXI menuntut maanusia yang unggul; (2) SDM abad XXI
adalah manusia yang terus menerus belajar; dan (3) SDM abad XXI adalah
manusia yang mengembangkan nilai-nilai.
Manusia yang bagaimanakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan
manusia unggul? Sehubungan dengan pertanyaan ini, Tilaar (1999) membedakan
dua jenis manusia unggul, yaitu: (1) keunggulan individualistik, yaitu manusia
yang unggul, tapi keunggulan tersebut lebih diperuntukkan bagi kepentingan
dirinya sendiri. Keunggulan yang diperoleh diabdikan untuk mengumpulkan harta
benda untuk kepuasan diri. Manusia unggul tipe ini adalah manusia yang “rakus”,
tidak sejalan dengan citra manusia abad XXI seperti yang diharapkan; dan (2)
keunggulan partisipatoris, ialah manusia unggul yang turut serta aktif di dalam
persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Dengan demikian, manusia
Tugas di masa depan menuntut manusia-manusia berkualitas. Secara
kuantitatif, tolok ukur tentang kualitas SDM suatu bangsa digambarkan oleh nilai
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam UNDP (United Nations
Development Programme), IPM salah satunya ditentukan oleh faktor pendidikan
di samping faktor kelangsungan hidup (faktor kesehatan) dan faktor daya beli
(faktor ekonomi) (Tim Bappeda Jabar, 2003). Artinya bahwa kualitas pendidikan
merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat/bangsa.
Menurut data dari UNDP seperti dilaporkan tanggal 5 oktober 2009, IPM
Indonesia berada pada peringkat 111 dari 180 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu sebesar 0,734, satu tingkat di bawah Palestina dengan
IPM sebesar 0,737. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas sumber daya manusia
Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu sebagai salah satu indikator
kualitas SDM, kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan agar tidak tertinggal
oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Pembangunan bidang pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan
oleh Bangsa Indonesia dalam membangun kualitas sumber daya manusianya.
Dalam dunia pendidikan, pendidikan formal merupakan salah satu wadah yang
sangat strategis untuk meningkatkan kualitas SDM. Semua bidang studi yang
diajarkan di sekolah (termasuk fisika) diharapkan dapat berkontribusi bagi
pengembangan dan peningkatan kemampuan siswa. Dalam upaya peningkatan
kemampuan siswa melalui pendidikan fisika di sekolah, maka peningkatan mutu
Pendidikan Fisika bagi siswa diharapkan dapat mengembangkan pemahaman,
keterampilan, kemampuan, dan sikap ilmiah (Sharma, 1981).
Terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan berbagai hal telah
dilakukan pemerintah, antara lain: penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku
ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan melalui berbagai pelatihan
dan peningkatan kualifikasi pendidikan mereka, peningkatan manajemen
pendidikan, serta pengadaan fasilitas pendidikan. Meskipun upaya-upaya seperti
yang disebutkan di atas telah dilakukan, namun hasilnya belumlah seperti yang
diharapkan. Mutu pendidikan sains (khususnya Pendidikan Fisika) di berbagai
jenjang pendidikan masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari relatif
rendahnya nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) siswa dalam bidang ini yang dari
tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Demikian juga, berdasarkan laporan beberapa lembaga internasional
menunjukkan mutu pendidikan sains siswa-siswa Indonesia juga masih kurang
menggembirakan. Hasil studi dari The Third International Mathematics and
Science Study (TIMSS) tahun 1999 melaporkan bahwa prestasi siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Indonesia dalam bidang sains menempati peringkat
ke-32 dari 38 negara yang disurvei (Martin, et al., 1999). Studi yang sama tahun
2003 menempatkan prestasi sains siswa Indonesia pada urutan ke-36 dari 45
negara (Martin, et al., 2003), dan studi pada tahun 2007 pada urutan ke-35 dari 48
negara peserta (Gonzales, 2009). Hasil studi lembaga internasional lainnya seperti
oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang
pada tahun 2000, melaporkan prestasi siswa SMP di Indonesia dalam bidang sains
menempati posisi ke-38 dari 41 negara (OECD, 2003). Studi yang sama pada
tahun 2003 menempatkan prestasi siswa SMP di Indonesia pada bidang sains pada
urutan ke-38 dari 40 negara (OECD, 2004), dan studi pada tahun 2006 pada
urutan ke-53 dari 57 negara (OECD, 2007).
Pada kesempatan lain, Hinduan (2003) mengungkapkan bahwa secara
kasar penilaian terhadap masih rendahnya mutu pendidikan sains di sekolah dapat
diamati melalui berbagai kejadian atau gejala dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Banyak tingkah laku anggota masyarakat yang menunjukkan bahwa
seakan-akan mereka belum pernah menerima pendidikan sains. Dengan kata lain,
pendidikan sains di sekolah-sekolah di Indonesia seakan tidak berdampak dalam
cara hidup dan cara berpikir sebagian besar rakyat Indonesia.
Temuan-temuan di atas menunjukkan upaya peningkatan mutu yang
selama ini dilakukan belum mampu memecahkan permasalahan mendasar
pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah
penyempurnaan secara mendasar, konsisten, dan sistematik. Di samping itu,
dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas SDM, Anwar (2004) menyatakan
perlunya kesadaran bersama bahwa: (1) komitmen peningkatan mutu pendidikan
merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas SDM, baik sebagai
pribadi-pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan (2)
pemerataan daya tampung pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu
Ditinjau dari tingkat kelangsungan studi anak-anak Indonesia, kenyataan
menunjukkan bahwa tidak semua anak dapat melanjutkan studinya ke jenjang
yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam hasil survei Badan Pusat Statistik
(BPS) untuk tiga tahun terakhir (periode 2006 – 2008) seperti pada tabel 1.1. Bila
mengacu pada program wajib belajar sembilan tahun (Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 6 ayat 1), seharusnya setiap warga negara
harus pernah belajar minimal sampai SMP tanpa terputus di tengah jalan. Namun,
hasil survei memperlihatkan bahwa persentase anak-anak Indonesia yang tidak
bisa melanjutkan sampai jenjang SMP masih cukup besar. Apalagi kalau dilihat
sampai jenjang sekolah yang lebih tinggi, tampak persentase yang tidak dapat
melanjutkan semakin besar.
Tabel 1.1. Kelangsungan Studi Anak-Anak Indonesia
Kelompok Umur (tahun) / Jenjang
Sekolah
Tahun
2006 2007 2008
Bersekolah
(%)
Tidak Sekolah/ Berhenti
(%)
Bersekolah
(%)
Tidak Sekolah/ Berhenti
(%)
Bersekolah
(%)
Tidak Sekolah/ Berhenti
(%) 7 – 12/SD 97,39 2,61 97,60 2,40 97,83 2,17 13 – 15/SMP 84,08 15,92 84,26 15,74 84,41 15,59 16 – 18/SMA 53,92 46,08 54,61 45,39 54,70 45,30 19 – 24/PT 11,38 88,62 12,20 87,80 12,43 87,57 (Sumber: BPS Indonesia – 2009)
Anak-anak yang putus sekolah tersebut pada akhirnya harus kembali ke
masyarakat, yang tentunya diharapkan memasuki dunia kerja agar dapat
berkontribusi dalam proses produksi barang atau jasa. Akan tetapi tidak sedikit
dari mereka yang menganggur, tidak tahu harus berbuat apa akibat kurangnya
keahlian/keterampilan ataupun wawasan yang mereka miliki. Di sinilah
di sekolah peserta didik perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan,
keterampilan, dan wawasan yang cukup memadai agar kelak kalau tidak
melanjutkan sekolah dapat segera memasuki dunia kerja sehingga setidaknya
mampu menghidupi dirinya, syukur kalau dapat turut menghidupi keluarga.
Fisika sebagai salah satu bidang studi di SMP diharapkan dapat berperan dalam
menambah wawasan, meningkatkan pola pikir, serta sikap peserta didik sebagai
bekal mereka terjun ke masyarakat ataupun untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Dalam praktek pembelajaran sains di sekolah yang terjadi selama ini,
kebanyakan guru menekankan pada pembelajaran sains untuk kepentingan peserta
didik yang akan melanjutkan studinya sampai ke perguruan tinggi dan mengambil
bidang IPA (menjadi saintis) yang jumlahnya mungkin tidak banyak. Sementara
siswa yang tidak melanjutkan ke bidang IPA atau bahkan tidak melanjutkan
pendidikan kurang mendapatkan perhatian. Padahal mereka inilah yang menjadi
anggota masyarakat Indonesia yang jumlahnya jauh lebih besar. Bagi mereka ini
sains pelajaran sains (khususnya Fisika) tetap merupakan pelajaran yang sulit dan
menakutkan. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan terus. Pembelajaran sains harus
memberikan manfaat untuk semua siswa. Karena itu perlu dipikirkan bagaimana
pembelajaran sains khususnya Fisika yang sesuai untuk semua siswa (Physics
educations for all).
Keberadaan mata pelajaran sains (termasuk Fisika) di lembaga pendidikan
formal ditujukan untuk mendukung tujuan didirikannya lembaga tersebut yaitu
atau untuk terjun ke masyarakat (Pemerintah RI, 1989). Namun selama ini,
dirasakan ada kesalahan penafsiran terhadap kedua tujuan itu. Disadari atau tidak,
tujuan untuk menyiapkan peserta didik melanjutkan studi, seringkali ditafsirkan
sebagai pemberian materi yang sebanyak-banyaknya agar peserta didik dapat
memperoleh nilai Ujian Nasional (UN) yang tinggi. Sebagai akibatnya, materi
menjadi sangat padat. Menurut Reif (1995), sebetulnya yang terpenting dalam
pembelajaran Fisika adalah bagaimana membantu siswa menguasai
konsep-konsep dasar dan strategis (dalam jumlah yang tidak terlalu banyak), agar mereka
dapat menggunakan pengetahuannya secara fleksibel. Untuk maksud ini siswa
dituntut mampu menginterpretasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar
secara benar, serta mampu memahami hubungan fungsional antar konsep dan
prinsip itu (pada tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan).
Jadi yang diperlukan adalah mengembangkan kemampuan berpikir, kemampuan
analisis, kemampuan pemecahan masalah. Di samping itu juga dibutuhkan
kemampuan-kemampuan seperti kemampuan membaca, kemampuan mencari
informasi yang dibutuhkan, kemampuan dan kemauan bekerja keras dan mandiri,
yang kesemuanya dapat dilatih melalui pembelajaran Fisika di sekolah.
Penafsiran yang kurang tepat juga terjadi dalam mengartikan tujuan
“membekali peserta didik untuk kembali ke masyarakat”, yang sering diartikan
dengan membekali peserta didik keterampilan manual seperti keterampilan teknik,
keterampilan menjahit, keterampilan elektronika, dan sebagainya. Keterampilan
kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan dan kemauan bekerja keras,
melatih sikap jujur, kritis, skeptis, runtut dalam berpikir, dan sebagainya.
Jadi sebetulnya, yang terpenting dalam pembelajaran Fisika di sekolah
adalah bagaimana mengembangkan kemampuan berpikir siswa, kemampuan dan
kemauan bekerja keras dan mandiri, kemampuan untuk mencari informasi yang
diperlukan, melatih berbagai keterampilan dasar dan sifat jujur, disiplin,
tanggungjawab, kritis, runtut dalam berpikir, dan sebagainya.
Kemampuan-kemampuan serta sikap-sikap positif inilah yang dianggap sebagai ciri-ciri SDM
berkualitas (Hinduan, 2003). Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar (1999),
bahwa manusia berkualitas adalah manusia yang dapat mengembangkan
nilai-nilai “DJITU” (berdedikasi dan berdisiplin, jujur, inovatif, tekun, dan ulet).
Mata pelajaran Fisika mempunyai potensi yang sangat besar untuk
dijadikan wahana guna mengembangkan kemampuan-kemampuan dan
sikap-sikap yang mencirikan kualitas SDM seperti disebutkan di atas. Hal ini berarti
membangun kualitas SDM dapat diupayakan diantaranya melalui peningkatan
kualitas pembelajaran Fisika di sekolah. Hal senada juga diungkapkan oleh Sidi
(2000), bahwa upaya membangun kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan
melalui peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Mutu pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis,
dan mampu bersaing sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan semua warga
negara Indonesia yang produktif dan lulusannya mampu berkompetisi secara
Membangun kualitas SDM melalui pembelajaran Fisika di SMP dapat
diupayakan melalui upaya peningkatan kemampuan-kemampuan fisika siswa.
Kemampuan-kemampuan dimaksud antara lain: (1) pemahaman konsep-konsep
dan prinsip-prinsip penting dalam Fisika, atau disebut dengan kemampuan
pemahaman konsep (PK), (2) kemampuan generik sains (KGS), karena
aspek-aspek kemampuan generik ini merupakan kemampuan-kemampuan yang dapat
digunakan untuk mempelajari berbagai konsep dan menyelesaikan berbagai
persoalan fisika. Kemampuan generik sains melibatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi, dan (3) kemampuan kerja laboratorium siswa, karena sikap-sikap
ilmiah dapat dilatih melalui berbagai kegiatan ilmiah di laboratorium. Jadi,
peningkatan pemahaman konsep, peningkatan kemampuan generik sains, serta
peningkatan kemampuan kerja laboratorium siswa selama dan sesudah proses
pembelajaran dijadikan sebagai indikator peningkatan kemampuan-kemampuan
yang mencirikan kualitas SDM.
Pada kenyataannya, kemampuan-kemampuan fisika siswa SMP selama ini
ternyata masih belum seperti diharapkan. Pemahaman terhadap konsep-konsep
Fisika siswa masih sangat rendah. Fakta ini penulis temukan pada pelaksanaan
kegiatan piloting yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Fisika UPI
bersama-sama dengan beberapa sekolah mitra di Bandung (2004). Kemampuan
generik sains (KGS) siswa juga masih sangat kurang. Kebanyakan siswa
mengalami kesulitan mendeskripsikan konsep ke dalam bentuk diagram, grafik,
ataupun dalam bentuk representasi ilmiah lainnya. Siswa juga mengalami
pula kesulitan dalam hal mengaplikasikan konsep-konsep yang telah mereka
terima dalam menyelesaikan permasalahan sederhana. Ternyata temuan ini juga
tidak berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karim (2000) pada
mahasiswa calon guru bahwa sebegian besar mahasiswa mengalami kesulitan
dalam hal: (1) memahami konsep-konsep fisika, (2) membaca grafik dan
menafsirkannya, (3) menginterpretasikan persamaan-persamaan matematis yang
merepresentasikan hubungan antar besaran-besaran, (4) membaca data, dan (5)
mengaitkan suatu konsep dengan konsep yang lainnya. Hal ini berarti masih
kurangnya pemahaman konsep dan kemampuan generik sains juga dialami oleh
peserta didik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil observasi dan pembicaraan informal dengan beberapa
orang guru dan siswa tentang pembelajaran Fisika di sejumlah SMP di Bandung
serta hasil observasi langsung ke sebuah SMP di Mataram-NTB, terungkap
beberapa karakteristik pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini, yaitu:
1. Pembelajaran Fisika masih didominasi oleh metode ceramah, dengan alasan
padatnya materi yang dituntut oleh kurikulum.
2. Pembelajaran Fisika lebih berorientasi pada buku teks. Guru cenderung
menuntaskan materi yang terdapat dalam buku teks. Siswa diajak
menyelesaikan semua soal-soal yang ada dalam buku teks tersebut, dengan
alasan agar bisa menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN).
3. Jarang sekali pemberian pemahaman konsep-konsep atau prinsip-prinsip
4. Guru kurang memperhatikan bahkan mengabaikan pengetahuan yang dimiliki
oleh siswa sebelum proses pembelajaran. Umumnya langsung masuk ke
materi pelajaran.
5. Pembelajaran Fisika di sekolah tampaknya lebih menekankan pada manipulasi
matematis daripada konsep-konsep fisisnya, sehingga belajar Fisika bagi
siswa tidak ubahnya seperti belajar Matematika.
6. Masih belum ada pembelajaran Fisika di sekolah yang dengan sengaja
ditujukan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan generik sains,
nilai-nilai, dan sikap sebagai tujuan pembelajaran.
7. Jarang sekali guru Fisika menyediakan waktu khusus untuk kegiatan
remedial/pengayaan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memperdalam kemampuan pemahaman konsep (PK) dan kemampuan generik
sains (KGS) secara sistematis, seperti: kemampuan membuat grafik,
kemampuan membaca grafik, kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep
fisika dalam persoalan-persoalan sederhana.
8. Guru kurang memberikan kesempatan bertanya kepada siswa. Guru juga
kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan
gagasannya.
9. Seringkali guru terlalu dini memberi tahu siswanya bila mengalami kesulitan,
kurang diberikan waktu untuk berusaha mencoba mengatasi masalahnya
sendiri.
10.Jarang sekali guru melakukan evaluasi terhadap aspek afektif dan psikomotor,
11.Setiap kali memberikan tugas-tugas atau soal-soal latihan kepada siswa, guru
jarang sekali menginformasikan hasil pekerjaan siswa.
12.Kadangkala guru juga memiliki kesalahan konsep, ataupun kurang menguasai
konsep yang diajarkan. Terkadang kesalahan konsep juga terdapat pada
buku-buku pelajaran yang digunakan siswa.
Kondisi-kondisi di atas barangkali yang turut andil menjadikan hasil
belajar Fisika dalam berbagai aspeknya masih tergolong rendah. Oleh karena itu
perlu dilakukan berbagai upaya perubahan. Proses belajar-mengajar (PBM) harus
berubah dari “memberi tahu” menjadi “membantu peserta didik agar menjadi
tahu” melalui proses inkuiri ilmiah. Melibatkan siswa secara aktif dalam proses
inkuiri ilmiah selama pembelajaran merupakan tuntutan dasar dalam pembelajaran
fisika. Siswa diberi kesempatan untuk berlatih menganalisis masalah yang
dihadapi, mencari informasi yang diperlukan, mengambil sari dari suatu bacaan,
bertanya dan mempertanyakan informasi yang dianggap janggal, untuk akhirnya
dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Pembelajaran dengan
melibatkan siswa secara aktif dalam menyelesaikan masalah merupakan modal
bagi siswa untuk memiliki kompetensi yang pada gilirannya dapat memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, lebih mandiri dalam mengikuti jenjang
pendidikan selanjutnya, dan mandiri dalam pekerjaan.
Kegiatan inkuiri ilmiah oleh siswa dapat dilakukan secara bertahap
menurut kemampuan dan jenjang pendidikannya hingga siswa dapat melakukan
proses inkuiri dengan lengkap. Pembelajaran inkuiri yang dapat diberikan pada
awal pembelajaran guru masih banyak memberikan proses bimbingan, kemudian
pada tahap-tahap berikutnya, bimbingan tersebut dikurangi, sehingga siswa
mampu melakukan proses inkuiri secara mandiri. Bimbingan yang diberikan dapat
berupa pertanyaan-pertanyaan dan diskusi multi arah yang dapat menggiring
siswa agar dapat memahami konsep. Di samping itu, bimbingan dapat pula
diberikan melalui lembar kerja siswa yang terstruktur.
Melalui kegiatan inkuiri ilmiah secara terbimbing ini siswa dapat
melakukan penyelidikan secara berkelompok (group investigation) dalam rangka
membangun konsep yang diinginkan. Penyelidikan secara berkelompok ini dapat
melatih siswa bagaimana bekerja dalam tim, sebab banyak pekerjaan di masa
sekarang yang tidak mungkin dikerjakan sendiri. Mereka juga mendapatkan
kesempatan untuk berlatih berdiskusi, mengkomunikasikan hasil pikirannya
secara lisan maupun tertulis.
Pembelajaran Fisika berbasis inkuiri ilmiah ini sesuai dengan tujuan mata
pelajaran IPA di SMP yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar (Balitbang Depdiknas, 2004) yaitu melakukan inkuiri ilmiah
untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta
berkomunikasi. Pendapat Rutherford (1990) juga manyatakan bahwa
pembelajaran Fisika melalui berbagai pengalaman inkuiri ilmiah dapat
menumbuhkan kemampuan memahami konsep abstrak, memanipulasi
simbol-simbol, bernalar secara logika dan menggeneralisasi. Artinya bahwa pembelajaran
berbasis inkuiri dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan
inkuiri secara berkesinambungan dalam pembelajaran Fisika akan
mengembangkan keterampilan berinkuiri bagi siswa yang pada gilirannya dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (Hinduan, 2003).
Beberapa temuan yang dihasilkan oleh para peneliti terdahulu tentang
pembelajaran inkuiri terbimbing, antara lain seperti dilakukan oleh Broto (2009)
pada siswa SMP kelas IX, mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri
terbimbing dengan metode eksperimen dan demonstrasi dapat meningkatkan
prestasi belajar Fisika siswa. Hasil penelitian Mubayatun (2008) pada siswa SMP
kelas VII juga mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing melalui
problem base learning (PBL) dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.
Kemudian, hasil penelitian Santyasa (2009) pada siswa SMA kelas X tentang
pembelajaran berseting penyelidikan kelompok (group investigation)
mengungkapkan bahwa pembelajaran model perubahan konseptual berseting
penyelidikan kelompok dapat meningkatkan pemahaman konsep fisika dan
kemampuan pemecahan masalah siswa.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu mengadakan penelitian
tentang pengembangan program pembelajaran fisika mencakup bagaimana proses
belajar-mengajar dan juga sistem evaluasinya, yang mengacu pada model
pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inkuiry) dalam bentuk pembelajaran
kooperatif tipe penyelidikan kelompok (group investigation) untuk meningkatkan
kemampuan-kemampuan fisika siswa meliputi: pemahaman konsep (PK) dan
kemampuan generik sains (KGS) sebagai upaya membangun kualitas sumber
yang dikembangkan untuk selanjutnya dinamakan dengan Program Pembelajaran
Fisika berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti dikemukakan di atas, maka penelitian
ini dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan berikut: “Bagaimanakah
Program Pembelajaran Fisika untuk meningkatkan pemahaman konsep dan
kemampuan generik sains siswa Sekolah Menengah Pertama Sebagai upaya
membangun kualitas sumber daya manusia?” Selanjutnya masalah penelitian
tersebut dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah implementasi Program Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri
Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK) lebih efektif dalam
meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan generik sains siswa jika
dibandingkan dengan Program Pembelajaran Tradisional?
2. Bagaimanakah profil kemampuan kerja laboratorium (KKL) siswa dalam
proses pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK?
3. Apakah keunggulan dan keterbatasan dari Program Pembelajaran Fisika
berbasis IT2PK berdasarkan hasil implementasinya?
4. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan Program
Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK?
5. Kendala-kendala apa saja yang dijumpai dalam implementasi Program
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengetahui efektivitas Program Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri
Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok (IT2PK) dalam meningkatkan
pemahaman konsep dan kemampuan generik sains siswa jika dibandingkan
dengan Program Pembelajaran Tradisional.
2. Mengetahui profil kemampuan kerja laboratorium (KKL) siswa dalam proses
pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK.
3. Menemukan keunggulan dan keterbatasan dari Program Pembelajaran Fisika
berbasis IT2PK berdasarkan hasil implementasinya.
4. Mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan Program
Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK.
5. Menemukan kendala-kendala yang dijumpai dalam implementasi Program
Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada guru
dalam meningkatkan mutu pendidikan Fisika khususnya di tingkat Sekolah
Menengah Pertama.
2. Kemampuan-kemampuan, nilai-nilai, serta sikap yang dideskripsikan, dapat
mengajar Fisika, sehubungan dengan fungsinya sebagai wahana pendidikan
untuk membangun kualitas sumber daya manusia.
3. Program pembelajaran yang dikembangkan dapat dipertimbangkan untuk
diterapkan pada topik-topik Fisika lainnya yang memungkinkan
ditumbuh-kembangkannya aspek-aspek kemampuan generik sains yang lebih banyak.
E. Penjelasan Istilah
Ada beberapa istilah dalam penelitian ini yang perlu diberi penjelasan agar
diperoleh kesamaan persepsi. Istilah-istilah dimaksud antara lain:
1. Membangun kualitas sumber daya manusia melalui pembelajaran Fisika
maksudnya adalah meningkatkan kemampuan-kemampuan,
keterampilan-keterampilan, serta sikap atau nilai yang menjadi ciri manusia berkualitas,
melalui upaya peningkatan kemampuan-kemampuan fisika.
2. Kemampuan-kemampuan fisika didefinisikan sebagai
kemampuan-kemampuan, keterampilan, serta sikap atau nilai yang dapat
ditumbuh-kembangkan melalui pembelajaran Fisika di sekolah. Dalam penelitian ini
kemampuan-kemampuan fisika yang dimaksudkan adalah pemahaman
konsep-konsep fisika (PK), kemampuan generik sains (KGS), dan
keterampilan kerja laboratorium (KKL). Pemahaman konsep (PK) yang
dimaksudkan adalah pemahaman siswa pada konsep-konsep yang terdapat
pada topik gerak lurus, meliputi: konsep perpindahan dan jarak tempuh,
konsep kecepatan dan kelajuan, konsep kecepatan tetap, dan konsep
kemampuan siswa pada aspek-aspek kemampuan generik yang teridentifikasi
dari topik gerak lurus, meliputi: kemampuan mendeskripsikan konsep,
kemampuan menginterpretasi representasi ilmiah, kemampuan inferensi
logika, dan kemampuan mengaplikasikan konsep pada
permasalahan-permasalahan fisika sederhana. Adapun yang dimaksudkan dengan
kemampuan kerja laboratorium (KKL) adalah kemampuan-kemampuan dalam
melaksanakan kegiatan praktikum di laboratorium, meliputi: kemampuan
mengamati, kemampuan merepresentasikan data dalam bentuk tabel atau
grafik, kemampuan menginterpretasi data, kemampuan mengkomunikasikan
hasil percobaan, serta sikap siswa dalam melakukan kegiatan laboratorium.
3. Program Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan
Kelompok (IT2PK), didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan belajar
-mengajar pada tingkat SMP berbasis inkuiri (terbimbing) dengan bentuk
pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok yang dikembangkan
untuk meningkatkan pemahaman konsep (PK), kemampuan generik sains
(KGS), serta kemampuan kerja laboratorium (KKL) siswa melalui topik gerak
lurus, sebagai bagian dari upaya membangun kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan sains. Melalui kegiatan inkuiri ini siswa melakukan
pengamatan, mengumpulkan data hasil pengamatan, menganalisis dan
menginterpretasi data, melakukan prediksi serta menyimpulkan dan
mengkomunikasikan hasil yang diperoleh.
4. Program Pembelajaran Tradisional didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan
Dalam pembelajaran ini umumnya guru menerangkan suatu materi-materi
Fisika di depan kelas dalam bentuk ceramah, menginformasikan definisi suatu
konsep serta rumus-rumus yang terkait dengan konsep tersebut, memberikan
contoh-contoh soal, dan kemudian memberikan soal-soal latihan yang
kebanyakan menuntut perhitungan-perhitungan matematik. Dalam
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
(Educational Research and Development) yang disingkat R&D. Menurut Borg &
Gall (1983), R&D diarahkan untuk mengembangkan dan memvalidasikan
produk-produk pendidikan. Produk pendidikan dalam hal ini adalah Program
Pembelajaran Fisika berbasis Inkuiri Terbimbing Tipe Penyelidikan Kelompok
(IT2PK) meliputi rencana pembelajaran, skenario pembelajaran, bahan ajar,
lembar kerja siswa serta alat-alat evaluasi . Validasi program dilakukan melalui
ilmplementasi program pembelajaran yang dikembangkan.
Borg & Gall mengemukakan 10 (sepuluh) langkah kegiatan penelitian dan
pengembangan, yang terbagi atas 7 (tujuh) langkah utama. Namun tim dosen
pengembangan kurikulum UPI mengadakan sedikit modifikasi dari
langkah-langkah yang dikemukakan oleh Borg & Gall menjadi tiga langkah-langkah (Sukmadinata,
2002) yaitu: studi pendahuluan, pengembangan program, dan validasi program.
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing langkah tersebut:
Tahap I: Studi Pendahuluan
Ada dua kegiatan dalam studi pendahuluan, yaitu studi kepustakaan dan
survai pendahuluan. Studi kepusatakaan ditujukan untuk mempelajari
landasan-landasan teoritis dari program pembelajaran yang akan dihasilkan, dan hasil-hasil
lapangan diarahkan untuk menemukan program-program yang terkait dengan
program pembelajaran sejenis atau embrio dari program tersebut dalam
pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Tahap II: Pengembangan Program
Pada tahap ini terdiri atas penyusunan rancangan program pembelajaran
dan uji coba.
1. Penyusunan Rancangan Program Pembelajaran
Bertolak dari kemampuan-kemampuan yang mencirikan kualitas SDM,
berbagai kemampuan fisika yang harus dikuasai siswa melalui topik gerak lurus,
dapat dirancang sebuah Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK untuk
meningkatkan hasil belajar fisika siswa. Program ini mencakup
komponen-komponen seperti: kemampuan-kemampuan yang ditumbuhkan melalui topik
gerak lurus, materi/bahan belajar, strategi pembelajaran (pembelajaran berbasis
aktivitas, remedial/pengayaan, dan tugas-tugas mandiri), dan program evaluasi.
Kaitan antara komponen-komponen program pembelajaran itu secara sederhana
2. Uji Coba Rancangan Program dan Instrumen Penelitian
Uji coba program pembelajaran yang telah dikembangkan dalam
penelitian ini dilakukan di sebuah SMP Negeri di Kota Bandung pada siswa kelas
VII(E) semester genap tahun ajaran 2007/2008 dengan jumlah siswa 40 orang,
yang terdiri dari 20 orang laki-laki dan 20 orang perempuan. Uji coba program
dilaksanakan pada bulan April s/d Mei 2008. Dilakukannya uji coba ini pada akhir
semester genap dikarenakan harus disesuaikan dengan urutan topik yang telah
dibuat oleh guru di sekolah bersangkutan, dan dengan kurikulum Fisika 2006
Topik-topik Fisika SMP kelas VII semester 2 Kemampuan-kemampuan
yang harus dikuasai siswa SMP dalam belajar Fisika
Kemampuan-kemampuan yang dapat ditumbuhkan melalui topik Fisika SMP kelas VII semester 2 yang dipilih
Bahan Ajar
Strategi Pembelajaran
Pembelajaran berbasis aktivitas
Remedial/ Pengayaan
Tugas-tugas mandiri
EVALUASI Kemampuan-kemampuan
yang mencirikan kualitas SDM
yang menempatkan topik gerak lurus pada kelas VII akhir semester genap.
Kegiatan pembelajaran pada uji coba ini terdiri dari pembelajaran berbasis
aktivitas yang dilaksanakan sesuai jam pelajaran resmi di sekolah,
remedial/pengayaan dilaksanakan pada sore hari sesuai kesepakatan dengan siswa,
dan tugas-tugas mandiri dalam bentuk Pekerjaan Rumah (PR). Pada akhir
pembelajaran topik gerak lurus ini, siswa diberikan tes untuk mengukur
pemahaman konsep dan kemampuan generik sains siswa setelah belajar dengan
program pembelajaran yang dikembangkan.
Tahap III: Validasi Program Pembelajaran
Program pembelajaran yang telah diperbaiki berdasarkan hasil uji coba,
diimplementasikan dan diuji efektivitasnya. Pada tahap ini diuji seberapa besar
peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan generik sains yang diperoleh
siswa setelah pembelajaran dengan program pembelajaran yang dikembangkan,
kemudian dibandingkan dengan peningkatan kemampuan siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan Program Pembelajaran Tradisional.
Agar program pembelajaran dapat diimplementasikan secara efektif di
sekolah, terlebih dahulu peneliti memberikan pelatihan kepada guru Fisika yang
akan ditugaskan untuk melaksanakan misi studi eksperimental ini. Kemudian,
terhadap guru tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Menguasai materi/bahan ajar dengan baik, dalam arti bahwa guru yang
bersangkutan tidak terdapat miskonsepsi.
2. Tidak memposisikan diri sebagai sumber otoritas pengetahuan, tetapi selalu
3. Memiliki keinginan untuk mengaplikasikan program pembelajaran yang
dikembangkan, serta kesanggupan untuk merubah pembelajaran yang biasa
dilakukan.
Prosedur yang ditempuh pada tahap III ini adalah sebagai berikut:
1. Pemberian pretest kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk
mengetahui kemampuan awal kedua kelompok siswa, baik mengenai
pemahaman konsep (PK) maupun mengenai kemampuan generik sains (KGS).
Hasil tes ini nanti dijadikan sebagai acuan awal untuk melihat sejauh mana
peningkatan kemampuan pada masing-masing kelompok siswa pasca
implementasi program.
2. Melaksanakan proses pembelajaran dengan Program Pembelajaran Fisika
berbasis IT2PK untuk siswa kelompok eksperimen dan dengan Program
Pembelajaran Tradisional untuk kelompok kontrol.
3. Melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar (posttest). Penilaian proses
dilakukan tehadap kelompok eksperimen, dengan mengamati keterlaksanaan
program yang telah dikembangkan sekaligus menilai kemampuan kerja
laboratorium siswa, serta melakukan pencatatan terhadap proses pembelajaran
yang sedang berlangsung dan menemukan kendala-kendala apa saja yang
terjadi sehubungan dengan implementasi program. Sedangkan penilaian hasil
belajar meliputi evaluasi terhadap pemahaman konsep (PK) dan kemampuan
generik sains (KGS), dilakukan terhadap siswa kelompok eksperimen maupun
dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK dilakukan pada siswa
kelompok eksperimen.
4. Melakukan analisis data dan interpretasi. Data yang telah diperoleh dalam
penelitian baik berupa data kualitatif maupun data kuantitatif, dianalisis untuk
melihat keefektifan program pembelajaran yang dikembangkan serta untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program tersebut serta mengetahui
kendala-kendala yang dialami selama implementasi program.
5. Merumuskan temuan-temuan penelitian dan rekomendasi.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain eksperimen kuasi
dengan kelompok kontrol tidak ekivalen (nonequivalent control group design),
disertai pemberian tes awal dan tes akhir. Pada desain ini subyek penelitian tidak
dikelompokkan secara acak. Desain ini dipilih mengingat membuat
pengelompokan baru di lapangan seringkali tidak dimungkinkan. Adapun
rancangan penelitiannya adalah seperti berikut ini:
Tabel 3.1. Rancangan Penelitian Eksperimen Kuasi
(Diadaptasi dari Ruseffendi, 2001). Kelompok Pretest Treatment Posttest
Kelompok Eksperimen O X1 O
Kelompok Kontrol O X2 O
Catatan: X1 adalah pembelajaran untuk kelompok eksperimen (pembelajaran dengan program yang dikembangkan), X2 adalah pembelajaran untuk kelompok kontrol (Pembelajaran Tradisional), serta O adalah berupa pretest ataupun posttest.
Secara garis besar dapat digambarkan prosedur atau langkah-langkah
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII semester 2 di sebuah
Sekolah Menengah Pertama Negeri di kota Mataram- Nusa Tenggara Barat tahun
pelajaran 2008/2009. Siswa ini terdiri dari sembilan kelas, yang tergolong dalam
2(dua) kelas akselerasi dan 7(tujuh) kelas reguler. Oleh karena dua kelas
akselerasi sudah mendapatkan perlakuan yang “khusus”, maka sampel hanya
dipilih dari beberapa kelas reguler saja. Berdasarkan penentuan kelas secara
random terpilihlah kelas VII(C) dan kelas VII(I) menjadi kelas eksperimen serta
kelas VII(D) dan kelas VII(H) menjadi kelas kontrol.
Alasan dipilihnya SMP kelas VII sebagai subyek penelitian, oleh karena
pada jenjang dan kelas inilah mata pelajaran Fisika untuk pertama kalinya mulai
diperkenalkan. Menurut penulis, pada tingkat SMP kelas VII ini merupakan saat PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN STUDI PENDAHULUAN TAHAP PERANCANGAN • Mengidentifikasi kemampuan2 yang dapat dikembangkan dari topik yang dipilih • Menyusun perangkat
pembelajaran • Membuat bahan ajar • Menyusun
instrumen-instrumen penelitian
UJI COBA • Uji coba program
pembelajaran • Uji coba instrumen
VALIDASI PROGRAM PEMBELAJARAN
STUDI LITERATUR • Landasan teoritis
dari program pembelajaran yang dikembangkan • Hasil penelitian
terdahulu
STUDI LAPANGAN • Implementasi
pembelajaran fisika di sekolah • Kondisi kinerja
siswa dan guru • Sarana-prasarana • Lingkungan
belajar
Kelompok Eksperimen • Tes awal • Pembelajaran
Fisika berbasis IT2PK
• Tes akhir
Kelompok Kontrol • Tes awal • Pembelajaran
Tradisional • Tes akhir
Analisis Data
Kesimpulan
UJI PROGRAM
yang tepat untuk memberikan pemahaman konsep-konsep fisika secara lebih
mendalam kepada siswa agar mereka tidak mengalami kesulitan untuk memahami
materi Fisika pada tingkatan yang lebih tinggi ataupun pada jenjang pendidikan
selanjutnya. Tabel 3.2 menunjukkan distribusi sampel penelitian.
Tabel 3.2. Distribusi Sampel Penelitian
Kelas
Jenis Kelamin
Jumlah
(orang) Kelompok Laki-laki
(orang)
Perempuan (orang)
VII(C) 19 21 40
Eksperimen
VII(I) 18 22 40
VII(D) 18 23 41
Kontrol
VII(H) 16 23 39
Jumlah 71 89 160 -
C. Instrumen Penelitian
Instumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Program pembelajaran dan bahan belajar. Program pembelajaran terdiri
dari rencana pembelajaran, pengalaman belajar, dan skenario pembelajaran.
Sedangkan bahan belajar terdiri dari materi pelajaran, panduan praktikum, dan
tugas-tugas latihan.
2. Pedoman observasi, digunakan untuk mengobservasi keterlaksanaan program
pembelajaran. Tiap aspek yang diobservasi akan dinilai dengan empat
kategori, yaitu: angka (4) jika terlaksana dengan sangat baik, angka (3) jika
terlaksana dengan baik, angka (2) jika kurang terlaksana dengan baik, dan
angka (1) jika tidak terlaksana.
3. Kuesioner untuk siswa, digunakan untuk mengetahui pendapat siswa
pembelajaran yang dikembangkan. Variasi skor untuk setiap pertanyaan
dibedakan atas empat kategori yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak
setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS), dengan skor masing-masing 4, 3, 2,
dan 1.
4. Catatan-catatan harian peneliti, digunakan untuk menilai proses
pembelajaran dan kendala-kendala apa saja yang dialami selama pembelajaran
dengan program yang dikembangkan. Setiap kejadian penting selama
pembelajaran dicatat dalam catatan harian ini.
5. Tes hasil belajar, terdiri dari a) tes pemahaman konsep (PK) dalam bentuk
tes objektif pilihan ganda; dan b) tes kemampuan generik sains (KGS) yang
disusun dalam bentuk tes uraian. Langkah-langkah penyusunan tes hasil
belajar ini meliputi penyusunan kisi-kisi, menyusun tes PK dan tes KGS,
melakukan validasi pakar, dan melakukan uji coba empiris.
a. Menyusun kisi-kisi soal
Untuk tes pemahaman kosep (PK), aspek kisi-kisinya meliputi:
subtopik, konsep-konsep dasar, nomor soal, jenjang kemampuan, dan kunci
jawaban. Sedangkan untuk tes kemampuan generik sains (KGS), aspek
kisi-kisinya meliputi: aspek-aspek kemampuan generik sains, indikator
kemampuan, tujuan pembelajaran khusus, subtopik, nomor soal, alokasi
waktu, serta bobot masing-masing soal. Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 berikut ini
Tabel 3.3. Kisi-kisi Tes Pemahaman Konsep (PK)
Subtopik Konsep-konsep
Nomor soal Jenjang
kemampuan
Kunci jawaban
(1) (2) (3) (4) (5)
Tabel 3.4. Kisi-kisi Tes Kemampuan Generik Sains (KGS) yang dikembangkan melalui topik Gerak Lurus
Aspek-aspek Kemampuan Generik Sains
Indikator Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Subtopik Soal No.
Alokasi Waktu
Bobot Soal
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Menggambarkan (mendeskripsikan) pengetahuan fisika secara efektif
Mendeskripsikan situasi fisika ke dalam bentuk kata-kata, gambar, tabel, diagram, atau simbol-simbol matematik. Siswa dapat membedakan konsep perpindahan dan jarak tempuh. Siswa dapat membedakan konsep kecepatan dan kelajuan. Siswa dapat menjelaskan percepatan untuk benda yang bergerak lurus beraturan. Siswa dapat menggambarkan grafik v-t dari gerak benda. Definisi gerak benda Gerak lurus beraturan (GLB) Definisi gerak benda 1 2 6 10 2 menit 3 menit 2 menit 10 menit 2 3 2 10 2. Menginterpretasi-kan konsep atau prinsip dan representasi ilmiah
Memaknai grafik, diagram, atau representasi ilmiah lainnya. Siswa dapat mengidentifikasi kecepatan benda yang bergerak lurus beraturan. Siswa dapat mengidentifikasi apakah benda mengalami percepatan atau tidak, berdasarkan data yang ada.
Siswa dapat mengidentifikasi gerak dua buah benda berdasarkan data yang ada. Siswa dapat mengidentifikasi percepatan benda yang dilemparkan vertikal ke atas
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
3. Inferensi logika - Menjelaskan fakta hasil pengamatan. -Menyimpulkan
berdasarkan data.
lalu jatuh lagi ke tanah. Siswa dapat menjelaskan hasil observasi tentang hubungan kemiringan grafik x-t dengan besar kecepatan benda. Siswa dapat menjelaskan hasil observasi tentang hubungan kemiringan grafik v-t dengan besarnya percepatan benda. Gerak lurus beraturan (GLB) Gerak lurus berubah beraturan (GLBB) 12 13 5 menit 5 menit 5 5 4. Mengaplikasikan konsep Mengaplikasikan konsep pada persoalan-persoalan sederhana. Siswa dapat mengaplikasikan konsep kelajuan rata-rata dalam menyelesaikan persoalan- persoalan fisika sederhana. Siswa dapat membedakan konsep kecepatan dan kelajuan. Siswa dapat mengaplikasikan konsep kecepatan rata-rata dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fisika sederhana. Definisi gerak benda Definisi gerak benda Definisi gerak benda 3 4 5 11 5 menit 5 menit 8 menit 7 menit 5 5 8 7
b. Menyusun tes PK dan tes KGS
Tes pemahaman konsep (PK) disusun dalam bentuk tes objektif pilihan
(nol) untuk jawaban yang salah. Tes ini terdiri dari 20 soal, sehingga dengan
demikian skor minimal ideal adalah 0 (nol) dan skor maksimal idealnya 20.
Tes kemampuan generik sains (KGS) disusun dalam bentuk tes uraian.
Pada tes ini siswa diminta untuk menjawab pertanyaan secara benar dan jelas
baik berupa jawaban secara kuantitatif maupun kualitatif, karena pada
dasarnya tes ini dibuat untuk mengembangkan kemampuan penalaran baik
secara kuantitatif maupun penalaran secara kualitatif. Alokasi waktu dan
bobot setiap jenis soal didasarkan atas tingkat kompleksitas jawaban yang
diminta. Mengingat skor tes uraian tidaklah diskrit, maka untuk setiap soal
ditetapkan pedoman penentuan skor bagi tahapan-tahapan penyelesaian soal
yang dilakukan siswa. Pada kolom (6) dan kolom (7) Tabel 3.4 dapat dilihat
berturut-turut alokasi waktu dan bobot setiap butir soal yang dijawab dengan
utuh dan benar. Dengan demikian skor minimal ideal untuk tes ini adalah 0
(nol) dan skor maksimal idealnya 80.
c. Melakukan Validasi Pakar
Sehubungan dengan keperluan ini peneliti meminta bantuan kepada
lima orang pakar untuk menilai kisi-kisi serta tes yang telah dibuat. Kelima
pakar itu antara lain 3 orang dosen Fisika UPI, satu orang dosen Pendidikan
Fisika dari Universitas Tadulako Palu, dan satu orang lagi dari dosen Fisika
ITB. Untuk tes PK para pakar diminta untuk menilai kesesuaian tiap item soal
dengan pemahaman konsep yang hendak diukur, kesesuaian dengan jenjang
kemampuan, serta kesesuaian kunci jawaban dari tiap item soal tersebut.
tiap item soal dengan aspek kemampuan generik yang hendak diukur, tujuan
pembelajaran khusus, alokasi waktu, dan skor maksimal tiap item soal.
Atas dasar hasil penilaian para pakar tersebut dilakukan revisi atau
bahkan dilakukan penggantian terhadap soal yang dinilai belum sesuai dengan
apa yang hendak diukur.
d. Melakukan Uji Coba Empiris
Uji coba secara empiris dari tes hasil belajar yang telah memenuhi
validitas pakar ini dilakukan di sebuah SMP Negeri di Bandung pada siswa
kelas VII semester genap tahun pelajaran 2007/2008. Sebelum uji coba tes
dilakukan, terlebih dahulu siswa tersebut memperoleh pembelajaran topik
gerak lurus dengan program pembelajaran yang dikembangkan. Hal ini
dilakukan karena pada pembelajaran tradisional tidak dengan sengaja
diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu melalui
topik yang diajarkan, sehingga kalau uji coba dilakukan pada siswa yang tidak
dibelajarkan dengan program pembelajaran yang dengan sengaja dibuat untuk
mengembangkan kemampuan tertentu, akan terjadi ketidaksesuaian antara
tujuan tes dengan proses pembelajaran. Hasil uji coba kemudian dianalisis
reliabilitas dan validitas internal tiap item soal.
Untuk tes PK, reliabilitas diuji dengan menggunakan rumus ANOVA
Hoyt. Dengan cara ini diperoleh koefisien reliabilitas 0,64. Reliabilitas ini
juga diuji dengan menggunakan rumus K-R 20 dan diperoleh koefisien
reliabilitas 0,65. Jika kedua nilai koefisien reliabilitas ini dibandingkan dengan
tampak harga koefisien reliabilitas yang diperoleh dengan kedua rumus itu
lebih besar dari harga r tabel. Hal ini menandakan bahwa tes PK hasil uji coba
cukup reliabel. Validitas internalnya diuji dengan mencari nilai koefisien
korelasi antara skor seluruh siswa pada tiap item dan skor total masing-masing
siswa. Dengan cara ini diperoleh nilai koefisien validitas berkisar antara 0,087
s/d. 0,756. Soal-soal yang memiliki koefisien konsistensi rendah direvisi atau
bahkan ada yang diganti, kemudian dilakukan kembali validasi pakar.
Soal-soal yang telah melewati fase inilah yang kemudian digunakan dalam
implementasi. Setelah digunakan, tes ini kembali diuji reliabilitas dan
validitasnya. Dengan rumus Hoyt diperoleh koefisien reliabilitas = 0,233 atau
dengan rumus K-R 20 diperoleh = 0,244. Pengujian dengan kedua rumus ini
tetap reliebel, karena nilai koefisien reliabilitas dengan kedua rumus tersebut
masih berada di atas nilai kritis (untuk N=80 dan α = 5%, yaitu r = 0,220).
Sedangkan nilai koefisien validitas berkisar antara 0,220 s/d. 0,340, yang
berarti semua butir soal dalam tes PK yang digunakan dalam implementasi
memenuhi validitas internal karena koefisien validitas setiap soal berada di
atas nilai r kritis.
Untuk tes KGS, reliabilitasnya diuji dengan menggunakan rumus
Alpha Gronbach. Dengan cara ini diperoleh koefisien reliabilitas = 0,854. Jika
harga ini dikonsultasikan dengan harga r kritis pada tabel (untuk N=40 dan
taraf signifikansi 5% diperoleh nilai r = 0,312) maka nilai r hitung lebih besar
dari r tabel, yang berarti bahwa instrumen tersebut reliabel. Sedangkan
item soal dengan skor total masing-masing siswa. Nilai koefisien korelasi
antara skor siswa pada setiap item dengan skor total berkisar antara 0,33
sampai dengan 0,85, yang berarti semua butir soal tes KGS memenuhi
validitas internal. Namun demikian peneliti tetap meminta judgment dari pakar
kembali (validasi pakar) dengan maksud untuk mendapatkan butir soal yang
lebih baik. Soal-soal yang menurut pakar masih dianggap kurang sesuai
dengan hal yang hendak diukur dilakukan revisi atau bahkan diganti. Ada
beberapa soal yang direvisi atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan soal
yang lain. Setelah hasil revisi dikonsultasikan kembali dan disetujui oleh para
pakar barulah kemudian digunakan sebagai instrumen untuk memperoleh
informasi tentang kemampuan generik sains baik pada siswa kelompok
eksperimen maupun siswa kelompok kontrol.
Setelah digunakan, tes KGS diuji lagi reliabilitas dan validitasnya.
Ternyata setelah proses pengujian ini tes KGS tetap reliabel dan valid, dengan
koefisien reliabilitas 0, 695 (dikonsultasikan dengan harga r kritis untuk N=80
dan α = 5%, yaitu r = 0,220) dan koefisien korelasi antara skor item dengan
skor total masing-masing siswa yang berjumlah 80 orang berkisar antara 0,25
s/d 0,64.
Kedua tes yang sudah memenuhi persyaratan-persyaratan validitas dan
reliabilitas ini dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.
6. Format penilaian kemampuan kerja laboratorium (KKL), digunakan
untuk menilai kemampuan siswa dalam melaksanakan kegiatan laboratorium.
kecermatan pengamatan, keterampilan membaca alat dengan tepat, melakukan
pengorganisasian menurut suatu aturan pengurutan tertentu, serta mencatat
data hasil pengamatan tersebut secara akurat: 2) keterampilan
merepresentasikan data dalam bentuk tabel dan grafik, yaitu menyajikan data
hasil pengamatan dalam bentuk tabel dan grafik; (3) keterampilan
menginterpretasi data hasil pengamatan (ketepatan menginterpretasi data) dan
menyimpulkannya; (4) keterampilan komunikasi (keterampilan
mengkomuni-kasikan hasil percobaan baik secara lisan maupun tertulis), dan (5) sikap siswa
dalam melakukan kegiatan laboratorium, meliputi sikap antusias terhadap
materi praktikum dan kerjasama siswa dengan anggota kelompok praktikum.
Tiap aspek kegiatan laboratorium ini dinilai dengan empat kategori, yaitu:
angka (4) jika terlaksana dengan sangat baik, cepat, dan teliti; angka (3) jika
terlaksana dengan baik, tepat waktu; angka (2) jika terlaksana dengan baik,
tapi kurang tepat waktu dan kurang teliti; dan angka (1) jika tidak terlaksana
dengan baik.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini meliputi data kuantitatif dan data kualitatif. Data
kuantitatif berupa data tentang skor pemahaman konsep (PK) dan skor
kemampuan generik sains (KGS) yang diperoleh siswa dalam pembelajaran topik
gerak lurus, baik berupa skor pretest maupun posttest. Termasuk juga skor
skor kemampuan generik sains siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes PK
dan tes KGS.
Data kualitatif terdiri dari data tentang sikap dan perilaku siswa selama
proses pembelajaran berlangsung, dan data tentang respon atau tanggapan siswa
mengenai pembelajaran dengan program yang dikembangkan. Data kualitatif
termasuk pula mengenai keunggulan-keunggulan dan keterbatasan dari program
yang dikembangkan berdasarkan hasil implementasinya, serta kendala-kendala
yang dijumpai sehubungan dengan implementasi program. Data kualitatif ini
dikumpulkan melalui observasi, kuesioner, serta catatan-catatan harian peneliti.
E. Teknik Analisis Data
Data tentang hasil belajar siswa yaitu tentang pemahaman konsep (PK)
dan kemampuan generik sains (KGS), dianalisis dengan statistika deskriptif dan
statistika inferensial. Analisis deskriptif terhadap hasil belajar siswa dilakukan
dengan mengkonversi skor rerata siswa pada kedua jenis tes tersebut ke dalam
pedoman konversi yang didasarkan pada kriteria Penilaian Acuan Patokan (PAP).
[image:40.595.111.511.234.745.2]Pedoman konversi secara umum ditunjukkan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Lima (Diadaptasi dari Arikunto, 2003)
Kriteria Kategori Kemampuan
) 0 , 3 ( ) 5 , 1
(Xi + SDi ≤X ≤Smax = Xi+ SDi
) 5 , 1 ( ) 5 , 0
(Xi+ SDi ≤X< Xi+ SDi ) 5 , 0 ( ) 5 , 0
(Xi − SDi ≤X < Xi+ SDi
) 5 , 0 ( ) 5 , 1
(Xi − SDi ≤X < Xi − SDi
) 5 , 1 ( ) 0 , 3 (
min Xi SDi X Xi SDi
S = − ≤ < −
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Keterangan: Xi = 2 1
(Smax + Smin); SDi = 6 1
(Smax – Smin); dan X adalah rerata skor siswa,
dapat berupa rata-rata skor pretest (Spre) ataupun berupa rata-rata skor posttest
(Spost); dengan Xi = rata-rata ideal, SDi = simpangan baku ideal, Smax = skor maksimum ideal, dan Smin = skor minimum ideal.
[image:41.595.114.511.270.620.2]Tes pemahaman konsep (PK), skor minimalnya adalah 0 (nol) dan skor maksimal 20. Sedangkan untuk tes kemampuan generik sains (KGS) memiliki skor minimal 0 (nol) dan skor maksimal 80. Agar pedoman konversi yang dibuat dapat berlaku untuk kedua jenis kemampuan, sebaiknya kriteria skor dibuat dalam skala seratus. Dengan demikian berarti skor maksimal ideal untuk kedua jenis tes setelah diadaptasikan adalah 100 dan skor minimal ideal adalah 0, yang berarti pula skor rata-rata ideal 50 dan simpangan baku ideal 16,67. Dengan mengacu pada pedoman konversi umum seperti Tabel 3.5 dapat dibuat pedoman konversi norma absolut skala lima untuk skor PK dan skor KGS seperti pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Lima untuk Skor PK dan Skor KGS
Kriteria Kategori Kemampuan 00
, 100 00
,
75 ≤ X ≤
00 , 75 33
,
58 ≤ X <
33 , 58 67
,
41 ≤ X <
67 , 41 00
,
25 ≤ X <
00 , 25 00
,
0 ≤ X <
baik Sangat Baik Cukup Kurang Sangat kurang
Untuk melihat peningkatan perolehan skor kemampuan-kemampuan siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran, dilakukan perhitungan normalized gain score (<g>), dengan rumus:
pre pre post S S S S g − − = > < max
Adapun kriteria peningkatan perolehan skor kemampuan dikategorikan seperti
[image:42.595.112.515.181.619.2]dalam Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Pedoman Konversi Peningkatan Perolehan Skor PK dan KGS
Nilai N-Gain (<g>) Kategori Peningkatan Perolehan Skor 0,70 < (<g>) ≤ 1,00 Tinggi 0,30 < (<g>) ≤ 0,70 Sedang (<g>) ≤ 0,30 Rendah
Setelah melakukan analisis deskriptif terhadap skor PK dan KGS siswa
maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis inferensial. Analisis
statistika inferensial ini dicirikan dengan adanya pengujian hipotesis (Spiegel,
2002). Analisis ini dilakukan terhadap uji perbedaan rerata kemampuan awal
maupun terhadap uji perbedaan rerata kemampuan kedua kelompok siswa
(kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) setelah memperoleh pengalaman
belajar yang berbeda. Analisis inferensial juga dilakukan terhadap uji efektivitas
program atau keunggulan komparatif dari program yang dikembangkan terhadap
Program Pembelajaran Tradisional, yaitu dengan menguji perbedaan rerata skor
n-gain pemahaman konsep maupun n-n-gain kemampuan generik sains antara siswa
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Skor siswa kelompok eksperimen dalam melakukan kegiatan laboratorium
dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Penilaian terhadap kemampuan kerja
laboratorium ini juga menggunakan kriteria PAP dengan skor maksimal ideal 20
(jika seorang siswa mendapatkan skor 4 pada setiap aspek yang dinilai) dan skor
minimal ideal 5 (jika seorang siswa mendapatkan skor 1 pada setiap aspek yang
dan skor minimal ideal 25. Dengan demikian (dalam bentuk persentase) tes ini
memiliki skor rerata ideal 62,5 dan simpangan baku ideal 12,5.
Terhadap tanggapan atau respon siswa mengenai program pembelajaran
yang dikembangkan, juga dianalisis secara deskriptif kuantitatif, yaitu dengan
cara menganalisis persentase siswa yang memberikan pernyataan sangat setuju
(SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS) pada
masing-masing pernyataan. Penilaian tentang tanggapan siswa secara umum terhadap
Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK juga menggunakan kriteria PAP
dengan skor maksimal ideal 60 (jika seorang siswa mendapatkan skor 4 pada
setiap nomor pernyataan) dan skor minimal ideal 15 (jika seorang siswa
mendapatkan skor 1 pada setiap nomor pernyataan). Jika dikonversi ke dalam
persen, maka skor maksimal ideal menjadi 100 dan skor minimal ideal 25.
Dengan demikian (dalam bentuk persentase) tes ini memiliki skor rerata ideal 62,5
dan simpangan baku ideal 12,5.
Tampaknya skor kemampuan melakukan kegiatan laboratorium dan skor
respon siswa terhadap program pembelajaran yang dikembangkan, dalam bentuk
persentase memiliki nilai rerata ideal dan simpangan baku ideal yang sama. Hal
ini berarti analisis terhadap kedua jenis data dapat mengacu pada pedoman
konversi yang sama. Dengan demikian, berpedoman pada Tabel 3.5, dapatlah
dibuat pedoman konversi norma absolut skala lima untuk skor kemampuan
melakukan kegiatan laboratorium dan skor respon siswa terhadap program
Tabel 3.8. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Lima untuk Skor Kemampuan Melakukan Kegiatan Laboratorium (KKL) dan Skor Respon Siswa
Kriteria Kategori Kemampuan
00 , 100 25
,
81 ≤X ≤
25 , 81 75
,
68 ≤ X < 75 , 68 25
,
56 ≤ X < 25 , 56 37
,
43 ≤ X < 37 , 43 00
,
25 ≤X <
Sangat baik
Baik
Cukup Kurang
Sangat kurang
Selanjutnya, untuk data kualitatif mengenai kendala-kendala yang
dijumpai dalam implementasi program, serta keunggulan dan keterbatasan
program berdasarkan hasil implementasi diolah secara desktiptif naratif
(kualitatif).
F. Analisis Hasil Uji Coba
Pada akhir pembelajaran topik gerak lurus ini, siswa diberikan tes untuk
mengukur pemahaman konsep (PK) dan kemampuan generik sains (KGS) setelah
belajar dengan Program Pembelajaran Fisika berbasis IT2PK. Adapun hasilnya
[image:44.595.113.512.132.698.2]ditunjukkan pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9. Analisis Deskriptif Hasil Uji Coba
Kemampuan-kemampuan Fisika Skor Total yang Diharapkan
Persentase Skor Rata-Rata
Standar Deviasi
Jumlah Siswa dengan Skor di atas Rata-Rata Pemahaman konsep (PK) 20
(100 %)
10,6 (53,0%)
3,6 20 orang (50,0 %)
Kemampuan generik sains (KGS) 80 (100 %)
43,5 (54,4 %)
Dari tabel di atas, tampak rata-rata skor pemahaman konsep dan skor
kemampuan generik sains siswa peserta uji coba berada dalam rentang nilai
(41,67 % – 58,33 %) berdasarkan Tabel 3.6, yang berarti keduanya dalam
kualifikasi cukup. Persentase siswa yang memiliki nilai di atas skor rata-rata
adalah 50 % untuk PK dan 45 % untuk KGS.
Jika skor pemahaman konsep dianalisis secara perkonsep, rangkuman
[image:45.595.112.512.254.616.2]hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 3.10.
Tabel 3.10. Rangkuman Analisis Deskriptif Perkonsep Skor PK
Konsep-konsep atau Prinsip-prinsip dalam topik Gerak Lurus
Skor Total yang Diharapkan
Persentase Skor Rata-rata
Standar Deviasi
Jumlah Siswa dengan Skor di atas Rata-rata Perpindahan dan jarak tempuh 3 2,0
(66,67%)
0,78 30 orang (75%) Kecepatan dan kelajuan 7 3,9
(55,71%)
1,14 26 orang (65%)
Kecepatan tetap 4 2,3
(55,5%)
1,13 20 orang (50%)
Percepatan tetap 6 2,5
(41,67%)
1,85 22 orang (55%)
Tampak dari tabel di atas bahwa persentase skor rata-rata siswa pada
konsep perpindahan dan jarak tempuh sebesar 66,67 % dari skor total yang
diharapkan. Jika harga ini dikonsultasikan ke dalam Tabel 3.6, diperoleh
kesimpulan bahwa secara umum pemahaman siswa pada konsep perpindahan dan
jarak tempuh dikategorikan baik. Sekitar 75% dari siswa peserta uji coba
memiliki skor di atas rata-rata. Adapun pada konsep nomor 2, 3, dan 4 memiliki
persentase skor rata-rata berturut-turut sebesar 55,71 % , 55,50 % dan 41,67 %
dari skor total yang diharapkan pada masing-masing konsep tersebut, yang berarti
secara umum pemahaman siswa pada konsep kecepatan dan kelajuan, konsep
Persentase jumlah siswa yang memiliki skor di atas rata-rata pada ketiga konsep
mencapai lebih dari 50 % peserta uji coba.
Terhadap skor kemampuan generik sains jika dianalisis peraspek,
rangkuman hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11. Rangkuman Analisis Deskriptif Aspek-aspek Kemampuan Generik Sains (KGS)
Aspek-aspek Kemampuan Generik Sains (KGS) Skor Total yang Diharapkan Persentase Skor Rata-rata Standar Deviasi Jumlah Siswa dengan Skor di atas Rata-rata Mendeskripsikan Pengetahuan fisika
secara efektif
17 10,1 (59,41%)
2,65 20 orang (50 %)
Menginterpretasi konsep atau prinsip dan representasi ilmiah lainnya
28 13,9 (49,64%)
5,52 20 orang (50 %)
Inferensi logika 10 6,3
(63,00%)
2,50 17 orang (42,50%) Mengaplikasikan konsep 25 13,3
(53,20%)
5,00 19 orang (47,50%)
Dari Tabel 3.11 di atas, tampak persentase skor rata-rata siswa pada
aspek kemampuan mendeskripsikan pengetahuan fisika secara efektif dan aspek
inferensi logika berturut-turut sebesar 59,41 % dan 63,00 % dari skor total. Hal ini
berarti secara umum kemampuan siswa pada kedua aspek kemampuan generik
sains ini dikategorikan baik. Sedangkan kemampuan menginterpretasikan konsep
atau hukum atau r