POLA PARENTING DI PESANTREN DALAM MEMBENTUK PERILAKU POSITIF REMAJA SANTRI
(Studi Pola Kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh: Ro’fatul Ummah Nim: B53212087
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 8
C.Tujuan Masalah ... 8
D.Batasan Masalah ... 8
E. Manfaat Menelitian ... 9
F. Definisi Konsep G.Metodologi Penelitian ... 14
H.Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II: PARENTING, PESANTREN, DAN PERILAKU REMAJA A.Kajian Teoritik 1. Parenting ... 22
a. Pengertian Parenting ... 23
b. Jenis-jenis Parenting ... 26
2. Pesantren ... 31
3. Konsep dan Teori Perilaku a. Pengertian perilaku ... 32
b. Proses Pembentukan Perilaku ... 33
c. Komponen Perilaku ... 37
d. Perilaku Positif ... 38
e. Bentuk Perilaku ... 38
f. Perilaku Ibadah ... 39
g. Interpesonal Skill ... 40
h. Perilaku Kesantunan ... 47
i. Perilaku Seksual ... 49
4. Masa Remaja a. Pengertian Remaja ... 51
b. Karakteristik umum perkembangan Remaja ... 52
5. Pola Parenting di pesantren dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja santri B. Penelitian Terdahulu yang Terkait ... 53
BAB III : HASIL PENELITIAN A. Profil Pondok Pesantren langitan B. Deskipsi Data Penelitian 1. Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban a. Gambaran Pola Parenting oleh Ibu Nyai ... 56
b. Gambaran Pola Parenting oleh Dewan Ustadzah ... 68
c. Gambaran Pola Parenting oleh Pengurus Pondok ... 70
d. Pendapat Santri Terhadap Pola Parenting Pengasuh ... 71 2. Dampak Implementasi Pola Parenting Dalam Membentuk
a. Perilaku Ibadah ... 73
b. Perilaku Kesantunan ... 74
c. Perilaku Intepersonal Skill ... 76
d. Perilaku Belajar ... 77
e. Perilaku Pemenuhan Seksual ... 78
BAB IV: ANALISIS DATA A.Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban 1. Gambaran Pola Parenting oleh Ibu Nyai ... 88
2. Gambaran Pola Parenting oleh Dewan Ustadzah ... 91
3. Gambaran Pola Parenting oleh Pengurus Pondok ... 92
B.Dampak Implementasi Pola Parenting Dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri Di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban 1. Perilaku Ibadah ... 93
2. Perilaku Kesantunan ... 94
3. Perilaku Interpersonal Skill ... 95
4. Perilaku Belajar ... 96
5. Perilaku Pemenuhan Seksual ... 97
C.Konfirmasi antara Temuan dan Teori ... 97
BAB IV : PENUTUP A.Kesimpulan... 105
B.Saran ... 107
ABSTRAK
Ro’fatul Ummah (B5321287 Pola Parenting di Pesantren dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja Santri (Studi Pola Kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban)
Pola Parenting adalah cara atau model yang digunakan oleh Parent (pengasuh) dalam mendidik, dan membina anak dalam bentuk perlakuan fisik maupun psikis yang tercermin dalam tutur kata, sikap, perilaku dan tindakan yang diberikan. Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang ikut andil dalam mendidik dan membina santri agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Sedangkan Perilaku positif adalah tindakan-tindakan baik yang sesuai dengan norma, nilai dan peraturan yang berlaku.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola parenting yang diterapkan di pesantren Langitan widang Tuban dalam membentuk perilaku positif remaja santri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif, yakni menggambarkan pola
parenting di pesantren dengan menggunakan kata-kata. Sedangkan jenis penelitiannya
menggunakan etnografi untuk memaparkan keunikan dan kompleksitas pola
parenting (kepengasuhan) pondok pesantren Langitan Widang Tuban. Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa pola parenting yang paling dominan dalam membentuk perilaku positif remaja santri di Pesanten Langitan adalah pola parenting
dengan metode nasehat, keteladanan (direct dan indiect), dan pengganjaran meliputi penghargaan dan hukuman yang sesuai dengan konsep pola kepengasuhan Ki Hajar Dewantara, yaitu, “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani” yang berarti di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan. Pola parenting tersebut cukup berhasil dalam membentuk perilaku positif santri remaja meliputi perilaku ibadah, perilaku belajar, perilaku kesantunan, perilaku Interpersonal skill, dan perilaku pemenuhan kebutuhan seksual.
1
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Anak merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya, dimana secara
alamiah anak tumbuh menjadi besar dan dewasa. Mereka adalah penerus perjuangan bangsa yang akan menerima estafet kepemimpinan di kelak kemudian hari. Sebagai pewaris kemerdekaan, pemuda bertugas mengisi
kemerdekaan, memikul tanggung jawab masa depan terhadap maju mundurnya suatu negara. Agar anak mampu melaksanakan tugas-tugas melanjutkan estafet
kepemimpinan dan pembangunan dari generasi pendahulunya, maka kepadanya perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar baik rohaniah, jasmaniah maupun sosial.
Salah satu pasal yang di dalamnya mencakup Hak Anak termuat pada BAB II pasal 2, yang menyatakan bahwa anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya.1
Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan
anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang dibawah pengasuhan dan perawatan orang tua. Oleh karena itu, orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan
1
Undang-undang Perlindungan anak, Keppres No. 77 tentang Komisi Perlindungan
2
lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Betapa besarnya tanggungjawab orang tua
dihadapan allah SWT terhadap pendidikan anak. Tentang perkara ini Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim: 6)
Wali atau orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik
anak-anaknya. Memerintahkan kepada kebaikan, termasuk memerintahkan untuk melaksanakan sholat. Sebagaimana hadist yang disampaikan oleh Rosulullah
SAW.2
ع ن
ع
م
بور
ش ن
ع ي
ع ب
ن
أ يب
ع ه
ن
ج
د
ق
لا
اق :
ل
ر س
و ل
م ها
ر و
أ ا
و ل
َ
ك
م
صلااب
ل
و
م
أ ب
ء ا
س ب
س ع
ي
و ,
ضا
ر ب و
م
ع ل
ي ه
و ا
م
أ ب
ءا
ع
ش
ر
و .
ف ر
ق
و
ب ا
ي ه
م
ف
لا
م
ض
جا
ع.
اور
َواَوبأ
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat itu jika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)
Remaja yang dibesarkan dengan pengasuhan yang kurang tepat, kurang
terpenuhinya kebutuhan psikologis mereka sesuai dengan tahap perkembangannya, menjadikan mereka tumbuh dan berkembang dengan cara
3
yang salah. Kurangnya pengarahan dan penanaman nilai-nilai positif pada anak kurang dapat menempatkan dirinya dengan benar di lingkungan.
Namun, Pada umumnya saat ini banyak remaja yang dalam proses pembentukannya bukan hanya diasuh oleh orang tua (ayah-ibu) yang
merupakan basis dalam proses pengasuhan, melainkan juga oleh individu-individu lain dan atau lembaga pendidikan baik formal maupun informal yang ada disekitarnya. Orang tua bekerja sama dengan pihak yang dianggap
mampu memberikan pendidikan yang baik, kasih sayang, dan perhatian yang cukup kepada anak. Hal tersebut mempunyai alasan yang beragam, di
antaranya orang tua merasa khawatir tidak mampu memberikan pendidikan yang maksimal dan terbaik kepada anak, sehingga peran orang tua digantikan oleh pihak lain, salah satunya pondok pesantren.
Fenomena di atas sesuai dengan definisi parenting. Parent dalam
parenting (pengasuhan) memiliki beberapa definisi di antaranya ibu, ayah,
seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi,
membimbing dan mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya.3
UU RI No 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 17 menyatakan bahwa wali adalah orang atau
3
4
badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
Pondok Pesantren adalah salah satu lembaga yang ikut andil dalam proses kepengasuhan anak yang mempunyai visi mendidik, membina dan
mengasuh individu untuk menjadi manusia yang beriman – taqwa, berbudi pekerti luhur dengan berbekal keterampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengemban amanat dan kewajibannya dalam
menjalankan ajaran agama untuk kepentingan membangun bangsa dan negara. Dhofier menyatakan bahwa unsur-unsur dasar yang membentuk lembaga
pondok pesantren adalah kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning.4
Lembaga pondok Pesantren menyediakan asrama atau pondok (pemondokan) sebagai tempat tinggal bersama sekaligus tempat belajar
para santri di bawah bimbingan Kyai agar terjadi sikap timbal balik antara kyai dan santri yang berupa terciptanya hubungan kekerabatan seperti halnya
hubungan ayah dan anak.
Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama,
dan memudahkan dalam pengawasan dan pembinaan kepada para santri secara intensif dan istiqomah. Dengan adanya peraturan-peraturan yang telah
dibuat oleh pesantren, secara otomatis mereka akan belajar hal baru yang
4
5
menjadikan anak mengalami berbagai perubahan secara fisik, emosi, perilaku dan sosial.5
Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral
keagamaan yang kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu yang menyediakan layanan kosultasi bagi masyarakat, anak-anak, dan para remaja.
Pada umumnya santri yang tinggal di pondok pesantren saat ini adalah anak pada usia remaja yakni usia 12-21 tahun. Masa ini disebut sebagai masa
peralihan, dimana usianya berkisar 12 sampai 21 tahun yang tidak menyenangkan dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis maupun social.
Periode ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadianya sedang mengalami pembentukan. Kondisi
tersebut apabila didukung dengan lingkungan yang kurang kondusif, kurangnya bimbingan ataupun pendidikan, ketidakmampuan menyesuaikan diri serta sifat kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu buruk terhadap
prilaku pada remaja.6
Pola pengasuhan yang salah terhadap remaja akan mengakibatkan
ketergantungan, frustasi dan akhirnya akan mengganggu proses perkembangan konsep dirinya. Konsep diri yang rendah bisa menghasilkan beberapa konsekuensi psikologi, fisik, dan perilaku sosial yang bisa mempengaruhi
5
S, Galba, Pesantren sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 22.
6 Ermi Yantiek, “Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual
dan Perilaku Prososial
6
sebaik apakah remaja mengendalikan masa remaja dan transisi tak terelakkan menuju dunia dewasa.
Sayangnya, dan terlalu sering terjadi, konsekuensi ini termasuk depresi, kurangnya motivasi belajar, rendahnya spiritual, kurangnya penghargaan
terhadap sistem nilai kesantunan dan kesopanan terhadap yang lebih tua, kurang ta‟dzim pada guru, kurang menyayangi sesama teman sebaya, dan kesalahan dalam pemenuhan kebutuhan seksual, sehingga sangat memerlukan
pola asuh yang sesuai dengan kebutuhan remaja.7
Dengan demikian, usia remaja adalah usia pencarian identitas dan
sangat rentan terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang cenderung negatif. Oleh karena itu, dibutuhkan pembinaan, pemahaman, pendidikan dan pengasuhan yang bersifat bersifat spiritual.8
Lingkungan pesantren memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika dan estetika untuk pembentukan karakter,
pembentukan karakter tidak semata-mata dilakukan melalui pembelajaran pengetahuan, akan tetapi melalui penanaman nilai-nilai yang diwjudkan dalam aktifitas social. Dalam hal ini, santri akan mendapat pengawasan dan
bimbingan dari kyai dan para ustadz/ustadzah melalui metode keteladanan di pesantren.
Dengan demikian apa yang dilakukan di pesantren tidak hanya menekankan pentingnya nilai-nilai itu diimplementasikan dalam kehidupan
7Dennis Trittin dan Arlyn Lawrence, Parents Are you ready to Launch?. Terjemahan oleh
Cheryl Rosa, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2014), terj, hal. 107.
8
Didiki Suhardi, “Peran SMP berbasisi Pesantren sebagai Upaya Penanaman
7
sehari-hari, melainkan memberikan contoh langsung dalam kehidupan mereka di pesantren.9 Ukuran keberhasilan santri dalam studi di pesantren tidak
semata-mata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam melahap dan menguasai kitab kuning atau pengetahuan lainnya, lebih dari itu terletak pada
relasinya dengan kyai, sesama santri dan lingkungannya.10
Saat ini pondok pesantren langitan widang dihuni lebih dari 5500 santri yang mayoritas adalah usia remaja dari berbagai daerah di Indonesia dan
sebagian malaysia. Dalam rentang masa satu setengah abad pondok pesantren Langitan widang Tuban telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa.
Banyak tokoh-tokoh besar dan pengasuh pondok pesantren yang dididik dan dibesarkan di pondok pesantren langitan ini, seperti K.H. Kholil Bangkalan, K.H. Hasyim Asy’ary, K.H. Syamsul Arifin dan lain-lain.11
Pola kepengasuhan pesantren tersebut mampu membuat perubahan perilaku yang signifikan terhadap perilaku santri, pondok pesantren telah
menerapkan pola atau Gaya kepengasuhan khas yang sudah berjalan berabad-abad. Oleh karena itu, sangat menarik untuk mengambil judul penelitian tentang “Pola Parenting di Pesantren dalam Membentuk Perilaku Positif
Remaja Santri (Studi Pola Kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban).”
9Abdul Syakur, “
Peran Pesantren dalam Pendidikan Nilai”, Jurnal Pesantren Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren-Jenderal Pendidikan Islam-Kementrian Agama RI, (Volume 1, 2010), hal. 89-90.
10
Achmad Fahruddin, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Link Brothers, 1999), hal. 42.
11
8
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan asumsi-asumsi teoritik, penelitian terdahulu dan realitas di
lapangan, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana Pola Parenting dalam Membentuk Perilaku Positif Remaja di
Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban?”
Selanjutnya pertanyaan pokok tersebut diperinci ke dalam beberapa pertanyaan untuk memudahkan pencapaian tujuan penelitian.
1. Bagaimana pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren Langitan Widang Tuban?
2. Bagaimana dampak implementasi pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren langitan Widang Tuban?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Menggambarkan pola parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri di pondok pesantren Langitan Widang Tuban
2. Menjelaskan dampak implementasi pola parenting dalam membentuk
perilaku positif remaja santri di pondok pesantren langitan Widang Tuban?
D.Batasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitiannya tentang pola
parenting dalam membentuk perilaku positif remaja santri putri berusia 12
sampai 21 tahun yang tinggal di pesantren Langitan Widang Tuban yang
9
Adapun santri yang diteliti berjumlah 35 orang, tiga orang dewan masyayikh (pak kiai dan bunyai), 5 ustadzah dan 7 pengurus
E.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Menambah pemahaman peneliti tentang pola Parenting di pesantren terhadap pembentukan perilaku positif remaja santri
2. Diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan teoritis
khususnya dalam masalah penerapan kepengasuhan terhadap pembentukan perilaku positif remaja santri di lembaga pesantren.
3. Dapat menambah kepustakaan sebagai bantuan dan studi banding bagi mahasiswa di masa mendatang
4. Diharapkan bisa bermanfaat bagi individu atau kelompok khususnya para
pelaksana kepengasuhan di pesantren Langitan Widang Tuban sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengasuh
5. Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam memberikan bantuan kepada pelaksana kepengasuhan dalam mengoptimalkan pembentukan perilaku positif remaja di pondok pesantren Langitan Widang Tuban
F. Definisi Konsep
1. Pola Parenting di Pesantren
10
Dalam kamus ilmiah popular pola bermakna model, contoh, pedoman (rancangan) dasar kerja.12 Sedangkan Parenting berasal dari
kata parent yang artinya orang tua, ayah, ibu.13
Parenting dalam Bahasa Indonesia bermakna kepengasuhan.
Berasal dari kata pengasuh yang artinya individu-individu yang mengasuh, melindungi, membimbing dari bayi hingga tahap dewasa. Kepengasuhan adalah sebuah proses tindakan dan interaksi antara orang
tua dan anak. Parent dalam parenting (pengasuhan) memiliki beberapa definisi di antaranya ibu, ayah, seseorang yang Akan membimbing dalam
kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent
adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, membimbing dan
mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya.14
b. Pondok Pesantren
Menurut Ahmad Tafsir, “Istilah Pesantren adalah lembaga Pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah berfungsi sebagai salah
satu pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim Indonesia”. Jadi pondok pesantren sebagai tempat untuk belajar ilmu
agama Islam sekaligus juga tempat tinggal para santri. Sedangkan
12
Puis A Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 605.
13John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia an English Indonesian
Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 418.
14
11
pondok, masjid, kiai, santri dan pengajian kitab-kitab klasik merupakan Lima elemen dasar bagi pondok pesantren. Istilah pondok diambil dari
Bahasa Arab Funduq, yang berarti hotel, penginapan. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama yang sebagai tempat tinggal santri dalam
menuntut ilmu agama di lingkungan pesantren. Dengan demikian pondok mengandung arti sebagai tempat tinggal. Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam,
dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.15
Lingkungan pesantren mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan karakter melalui penanaman nilai-nilai etika dan estetika melalui metode keteladanan yang dilakukan oleh kyai, ustadz dan para pengurus pesantren.
Lembaga pondok Pesantren menyediakan asrama atau pondok (pemondokan) sebagai tempat tinggal bersama sekaligus tempat
belajar para santri di bawah bimbingan Kyai agar terjadi sikap timbal balik antara kyai dan santri yang berupa terciptanya hubungan kekerabatan seperti halnya hubungan ayah dan anak. Sikap timbal
balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama,
dan memudahkan dalam pengawasan dan pembinaan kepada para santri secara intensif dan istiqomah.16
c. Pola Parenting di Pesantren
15
Suyono dkk, Peranan Pondok Pesantren Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja Studi
Kasus Di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, jurnal, hal. 4.
12
Parenting adalah kepengasuhan yang dilakukan oleh orang tua
dalam membantu perkembangan anak meliputi perkembangan fisik,
psikologis, dan social.
UU RI No 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Bab
1 ketentuan umum pasal 1 ayat 17 menyatakan bahwa wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Dalam hal ini peran pesantren dan
komponen yang membimbing santri adalah wali (pengasuh).
Adapun pola parenting di pesantren yang peneliti maksud adalah
cara, model, contoh kepengasuhan yang diterapkan oleh kyai, ustdaz/ustadzah dan pengurus pesantren meliputi cara mendidik, memberikan perlindungan, aturan-aturan, hadiah atau hukuman, serta
memberikan tanggapan kepada santri remaja dalam lingkup pesantren agar menjadi manusia dewasa yang memiliki perilaku positif yang mana
berupaya untuk tidak melanggar kaidah-kaidah hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dalam norma-norma yang berlaku dalam agama.
d. Perilaku Positif Remaja
Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), perilaku adalah
tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.17
17
13
Moral atau perilaku dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus.18
Dikatakan remaja (adolence) adalah mereka yang berusia 12-21 tahun, yaitu masa topan badai (strum und drang), yang mencerminkan
kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai.19 Ketika memasuki usia remaja, anak-anak tidak lagi begitu saja menerima kode perilaku dari orang tua, guru, bahkan teman-teman
sebaya. Sekarang dia sendiri ingin membentuk kode sendiri berdasarkan konsep tentang benar dan salah yang telah diubah dan diperbaiki agar
sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan yang telah dilengkapi dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orang tua, guru dan orang sekitarnya. Beberapa remaja
bahkan melengkapi kode perilaku mereka dengan pengetahuan yan diperoleh dari pelajaran agama.20
Perilaku positif adalah perilaku yang tidak melanggar kaidah-kaidah hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dalam norma-norma yang berlaku dalam agama.
Adapun Perilaku positif remaja yang penulis maksud disini adalah sikap, perbuatan, tindakan baik yang tidak melanggar aturan dan sesuai
dengan sistem nilai dan moral yang berlaku di pesantren yang dimunculkan oleh santri remaja dalam kehidupan sehari-hari meliputi
18
Wahyudi Kumorotomo, Etika Adminitrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 6.
19
Sarlito Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hal. 29-30.
20
Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
14
perilaku ibadah, perilaku belajar, kesantunan, interpersonal skill, dan pemenuhan kebutuhan seksual.
G.Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Jika melihat permasalahan yang dikemukakan dapat dikatakan bahwa Tipe pertanyaan penelitian ini lebih banyak berkaitan dengan
pemahaman (meaning). Karena itu jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif dimana data yang dikumpulkan
adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan dalam bentuk angka. Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan atau memo, jurnal dan dokumen resmi
lainnya.21 b. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif etnografi. Penelitian etnografi bermaksud mendeskripsikan suatu komunitas atau Kultur, mengetahui gambaran tentang keunikan
kelompok, kompleksitas penuh nuansa-nuansa interaksi, praktik budaya dan setingnya sehingga pembaca mampu merasakan secara actual
menghayati pengalaman dari kelompok yang diteliti.22
21 John Creswell, Edisi Ketiga Research Design Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 4-5.
22
15
Peneliti menggunakan penelitian kualitatif etnografi untuk menggambarkan serta memaparkan keunikan dan kompleksitas pola
parenting (kepengasuhan) pondok pesantren Langitan Widang Tuban yang berkaitan dengan pola parenting dalam membentuk perilaku positif
remaja santri di pondok pesantren langitan Widang Tuban. 2. Informan dan Lokasi Penelitian
a. Informan Penelitian
Adapun informan dalam penelitian ini adalah bu nyai, ustadz-ustadzah dan pengurus sebagai pelaksana pola parenting dan santri
(remaja usia 12-21 tahun) sebagai obyek pola parenting di pondok pesantren langitan Widang Tuban.
b. Lokasi Penelitian
Peneliti memilih Lembaga pendidikan Pondok pesantren langitan Widang Tuban yang mana dianggap sebagai pelaksana parenting yang
unik, tidak saja karena keberadaanya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut mampu mencetak para remaja menjadi pribadi yang luar biasa,
agamawan, berwawasan luas sehingga tugas-tugas perkembangan psikologis-nya terpenuhi.
16
Dalam penelitian ini peneliti berusaha memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti. Adapun
tahap-tahap penelitian yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut: 23 1) Tahap Orientasi
Tahap ini dilakukan sebelum merumuskan masalah secara umum. Peneliti hnaya berbekal perkiraan tentang kemungkinan adanya masalah yang layak diungkapkan melalui penelitian. Dari hasil
orientasi itulah dirumuskan Masalah yang masih umum sebagai focus penelitian.
2) Tahap Eksplorasi
Pada tahap ini peneliti memasuki proses Menentukan instrumen dan rencana pengumpulan data yang digunakan untuk mempertajam
masalah atau merumuskan kesimpulan atau menyusun teori-teori. Instrument yang banyak digunakan adalah wawancara, sebagai
instrumen dalam penelitian dengan tehnik komunikasi langsung. Selanjutnya juga menggunakan tehnik Observasi (pengamatan), baik langsung maupun tidak langsung. Dalam penggunaan instrument ini,
maka alat yang paling banyak digunakan adalah pencacatan dengan berbagai bentuk jenisnya. Adapun secara rinci sebagai berikut:
a) Menyusun rancangan penelitian b) Memilih lapangan penelitian
c) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan
23
17
d) Memilih dan memanfaatkan informan e) Menyiapkan perlengkapan penelitian
f) Memahami etika penelitian
3) Analisis data dan penyusunan laporan penelitian
a) Analisis data umum untuk mempertajam masalah
b) Analisis data dilakukan untuk sampai pada tafsiran-tafsiran yang berhubungan dengan setiap sub masalah atau aspek-aspek yang
telah dipertajam.
c) Mengecek kembali kebenaran dan kemungkinan mengembangkan
penafsiran-penafsiran dengan masuknya data baru.
d) Analisis untuk menemukan makna data dan tafsirannya dalam Konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Dan bersamaan
dengan proses menghimpun dan menganalisis data itu disusun laporan penelitian dan hasil-hasilnya.
d. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif maka peneliti menggunakan dua jenis data untuk menggali data sebagai berikut
1) Data primer
Data ini berupa teks hasil observasi dan wawancara dengan
informan.24 Dalam hal ini data primer bersumber dari ibu nyai, ustadzah, pengurus dan santri remaja santri pondok pesantren Langitan Widang Tuban.
24
18
2) Data sekunder
Data sekunder berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat
diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau mendengarkan.25 Peneliti menggali data berupa foto, buku profil
pesantren, hasil rekaman, video sambutan pengasuh mengenai profil pondok pesantren, surat-surat dan dokumen semacamnya.
e. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam usaha mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam pembahasan laporan ini, penulis menggunakan beberapa metode atau
teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1) Wawancara
Wawancara adalah kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.26 Dalam penelitian ini yang menjadi
responden adalah kyai, ustdadz/ustadzah, pengurus pesantren selaku pelaksana parenting dan santri sebagai obyek parenting tentang hal-hal yang terkait pola parenting terhadap perubahan perilaku santri remaja
di pesantren Langitan Widang Tuban. 2) Observasi
Observasi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengamati secara langsung maupun tidak langsung terhadap
25Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006), hal. 211.
26
19
kegiatan yang Sedang berlangsung.27 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tehnik participant observation yakni peneliti ikut
langsung dalam kegiatan sehari-hari untuk mengumpilkan data tentang keadaan pondok pesantren Langitan Widang Tuban.
3) Dokumentasi
Schatman dan Strauss menegaskan bahwa dokumen historis merupakan bahan penting dalam penelitian kualitatif. Dokumentasi
merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai sumber data. Dokumen-dokumen tersebut
dapat berupa: buku raport pesantren, buku induk santri, buku profil pesantren dan rekaman. 28
f. Tehnik Analisis Data
Peneliti melakukan aktivitas analisis data dengan menggunakan analisis intraktif yang meliputi tiga tahapan berikut:29
1) Reduksi data
Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan memfokuskan pada hal-hal yang penting.
2) Penyajian data
Data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan
antara kategori dan sejenisnya. Menyajikan data Akan mempermudah
27 Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2012), hal. 145.
28Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu social lainnya (Bandung: Remaja PosdaKarya, 2004), hal. 195.
29
20
peneliti untuk memahami apakah yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan hal-hal yang dipahami.
3) Penarikan kesimpulan
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara,
dan Akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya. Jika ada bukti yang mendukung maka Akan menjadi kesimpulan yang kredibel.
g. Tehnik keabsahan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tehnik keabsahan data
sebagai berikut: 30
1) Perpanjangan Keikutsertaan
Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrument itu sendiri.
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Perpanjangan keikutsertaan peneliti memungkinkan peningkatan
derajat kepercayaan data yang dikumpulkan.
Agar keabsahan data dapat diterima maka peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian, yakni ke pondok pesantren Langitan
Widang Tuban dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data
2) Ketekunan Pengamatan
Dalam penelitian ini peneliti mengamati dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap factor-faktor yang menonjol.
30
21
3) Triangulasi
Triangulasi Dapat dilakukan dengan cara (a) Membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (b) Membandingkan apa yang orang katakan di depan umum dan apa
yang dikatakannya secara pribadi, (c) membandingkan keadaan dengan perspektif orang dengan berbagai pendapat
H.Sistematika Pembahasan
Bab I, pendahuluan, merupakan bagian awal dari penelitian yang dapat dijadikan sebagai awalan dalam memahami keseluruhan dari pembahasan. Bab
ini berisi beberapa sub bagian meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, definisi konsep, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II, berisi kerangka teoritis yang dijadikan sebagai pisau analisis data, meliputi teori parenting, teori Pesantren, dan teori perilaku remaja. Kedua
berisi penelitian terdahulu yang relevan.
Bab III, uraian tentang objek penelitian. Bab ini menjelaskan latar belakang sejarah berdirinya Pesantren, pola parenting dan hal-hal yang terkait
dengan tema penelitian di pondok pesantren Langitan Widang Tuban.
Bab IV, merupakan analisis data yang meliputi sajian data dan
pembahasan.
22
BAB II
PARENTING, PESANTREN DAN PERILAKU POSITIF REMAJA
A.Kerangka Teoritik
1. Parenting
a. Pengertian Parenting
Parent dalam parenting (pengasuhan) memiliki beberapa definisi
di antaranya ibu, ayah, seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, dan mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan
perkembangannya.
Rahmat Fajar mengemukakan bahwa memberikan tanggung jawab
dan perhatian yang mencakup kasih sayang dan hubungan dengan anak yang terus berlangsung, Kebutuhan material seperti makanan, pakaian
dan tempat tinggal, Akses kebutuhan medis, Disiplin yang bertanggung jawab, menghindarkan dari serta hukuman fisik yang berbahaya, Pendidikan intelektual dan moral, Persiapan bertanggung jawab sebagai
orang dewasa.31
Ketika orang tua memberikan perhatian dan hal yang dibutuhkan
anak, pengasuhan tidak berjalan satu arah, melainkan ada interaksi dan timbal balik antara orang tua dan anak. Kedua pihak saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa.32
31 Jane Brooks, the Process of Parenting. Terjemahan oleh Rahmat Fajar (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), Hal. 21.
32
23
Dengan demikian Peran dasar orang tua ialah bertanggung jawab atas pemeliharaan. Orang tua mempunyai wewenang untuk memenuhi
kebutuhan komples anak karena dianggap mengetahui hal-hal terbaik untuk anaknya.
b. Jenis-jenis Pola Parenting
Pola asuh orang tua terhadap remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja
sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang penuh kasih sayang. Perbedaan pola asuh orang tua
dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi, perilaku dan sosial remaja.
Saiful Bahri Djamarah mengemukakan beberapa macam tipe-tipe
pola asuh orang tua, yaitu:33 1) Pola Parenting Otoriter
Pola asuh otoriter adalah tipe pola asuh yang memaksakan kehendak. Orang tua cenderung menjadi pengendali dan pengawas, selalu memaksakan kehendak kepada anak, tidak terbuka terhadap
anak, sangat sulit menerima saran dan cenderung memaksakan kehendak dalam perbedaan. Hubungan orang tua dan anak cenderung
renggang.
2) Pola Parenting Demokratis
33
Saiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang tua dan Komunikasi dalam Keluarga upaya
membangun Citra Membentuk Pribadi Anak Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), Hal.
24
Tipe demokratis adalah tipe pola asuh yang terbaik. Tipe ini mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan individu.
Orang tua menggunakan kontrol terhadap anak. Orang tua mengharapkan anak untuk berbagi tanggung jawab dan mampu
mengembangkan potensi anaknya. Tipe pola asuh ini berjalan dalam suasana yang rileks dan memiliki kecenderungan untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas.
3) Pola Parenting Karismatik
Tipe pola asuh karismatik adalah pola asuh orang tua yang
memiliki kewibawaan yang kuat. Kewibawaan itu hadir bukan karena kekuasaan atau ketakutan, tetapi karena adanya relasi kejiwaan antara orang tua dan anak. Adanya kekuatan internal luar biasa yang
diberkahi kekuatan gaib (supernatural powers) oleh tuhan dalam diri orang tua. Sehingga dalam waktu singkat dapat menggerakkan anak
tanpa bantahan.
4) Pola Parenting Transaksi
Pola asuh orang tua ini selalu melakukan perjanjian (transaksi),
di mana antara orang tua dan anak membuat kesepakatan dari setiap tindakan yang diperbuat. Orang tua menghendaki anaknya mematuhi
25
Menurut Saiful Djamrah pengganjaran dalam pola pengasuhan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu hukuman dan penghargaan.
a. Hukuman
Hukuman berasal dari kata latin “punire” yang berarti
menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan. b. Penghargaan
Istilah penghargaan berarti tiap bentuk penghargaanuntuk setiap hasil yang baik. Penghargaan tidak harus dalam bentuk
materi, tetapi dapat berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan dipunggung.
c. Model Parenting
Widjaja mengemukakan dua tipe parenting dalam keluarga, yaitu pola kepengasuhan Ki Hajar Dewantara dan pola kepengasuhan
Pancasila.34
1) Pola Parenting Ki Hajar Dewantara
Pola kepengasuhan yang dikemukakan oleh ki Hajar Dewantara
adalah ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Yang berarti di dapan memberi teladan, di tengah
memberi semangat, di belakang memberi pengaruh. 2) Pola Parenting Pancasila
34 Saiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang tua dan Komunikasi dalam Keluarga upaya
membangun Citra Membentuk Pribadi Anak Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), Hal.
26
Kepengasuhan pancasila mengikuti pola seimbang, selaras dan serasi menurut keadaan. Yaitu mengikuti asas pola Parenting
pancasila, yaitu di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi pengaruh, di atas memberi
pengayoman/perlindungan, di bawah menunjukkan pengabdian. Maka seorang pengasuh yang baik diharapkan mengerti dan memahami di mana dia harus menempatkan diri pada situasi dan kondisi tertentu
serta mengenal karakteristik anak, dan obyektif.35 d. Metode Islamic Parenting
Ada beberapa metode Islamic parenting diantaranya adalah metode cerita, pembiasaan, memberi nasehat, keteladanan, pembinaan dengan hukuman, dan memberikan imbalan hadiah
1) Metode Cerita
Metode cerita juga digunakan dalam upaya menanamkan
sejumlah nilai kepada anak. Penggunaan metode cerita cukup banyak disebutkan dalam Al Quran yang berbunyi:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui (QS. Yusuf:3)
Menurut Sulityowati, “Lewat cerita diupayakan menanamkan
benih kecerdasan, inovasi dan kreativitas pada akal anak. Keteladan
35
Saiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang tua dan Komunikasi dalam Keluarga upaya
27
yang baik lewat cerita edukatif perlu diberikan untuk mengimbangi cerita-cerita yang tidak edukatif yang berpotensi merusak kepribadian anak”.36
2) Metode Keteladanan
Keteladanan adalah metode atau cara membina dengan memberikan pembelajaran kepada anak dengan cara memberikan contoh yang baik, baik melalui perkataan ataupun perbuatan.
Keteladanan orang tua sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak.
Sebuah pepatah mengatakan bahwa, “pengaruh perbuatan satu
orang terhadap seribu orang lebih besar dari pada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang.”37 Sedangkan menurut Quthub,
seorang ulama mesir, mengatakan bahwa teladan yang baik sangat membantu dalam membentuk karakter yang baik.38
Dalam praktek kepengasuhan, metode keteladanan ini dilaksanakan dalam dua cara. Yaitu Pertama, secara langsung
(direct) maksudnya bahwa pengasuh benar-benar menjadikan
dirinya sebagai contoh teladan yang baik bagi anak didik.
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu
36
Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim, (Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 21
37
Hery Huzairy, Agar Anak Kita Menjadi Sholeh, (Solo: Aqwam, 2015), hal. 73
28
membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?. (Q.S. Al Baqoroh:44)
Kedua, secara tidak langsung (indirect) yang maksudnya,
pengasuh menceritakan riwayat para nabi, kisah-kisah orang besar, pahlawan dan syuhada, yang tujuannya agar anak didik menjadikan
tokoh-tokoh tersebut sebagai suri teladan dalam kehidupan mereka. Mengasuh dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode kepengasuhan yang dianggap besar pengaruhnya. segala yang
dicontohkan oleh Rosulullah saw dalam kehidupannya merupakan cerminan kandungan Al Quran secara utuh.39
Sebagaimana firman Allah swt sebagai berikut:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahdzab: 21)
3) Metode nasehat
Menurut Sulistyowati metode nasehat cukup berhasil dalam pembentukan akidah anak dan mempersiapkan secara baik secara
moral, emosional maupun social. Petuah yang tulus dan nasehat akan berpengaruh jika memasuki jiwa yang bening, hati yang terbuka, akal
39
29
yang jernih dalam berpikir dan akan cepat mendapat respon yang baik dan meninggalkan bekas yang sangat dalam. 40
Al Quran telah menegaskan pengertian ini dalam banyak ayat dan berulang-ulang kali menyebutkan menfaat dari peringatan dengan
kata-kata yang mengandung petunjuk dan nasehat yang tulus. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran
dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Ad Dzariyat:55)
4) Metode Perhatian dan Pengawasan
Mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan social serta kemampuan pemikirannya. Mengawasi dari berbagai aspek meliputi
keimanan anak, moral anak, mental dan intelektual anak, jasmani anak, psikologi anak, social anak dan spiritual anak.41
5) Pembinaan dengan Hukuman
Rosulullah SAW telah meletakkan tata cara bagi para pengasuh untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, membina, meluruskan kebengkokannya, membentuk perilaku dan spiritualnya.
Memberikan hukuman tidak boleh dilakukan dengan sembarangan.
40 Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,
(Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 24.
41
30
Beberapa persyaratan dalam memberikan hukuman kepada anak yaitu:42
a. Pengasuh tidak terburu-buru menggunakan pukulan kecuali setelah menggunakan semua cara lembut yang mendidik dan
membuat jera
b. Pengasuh tidak memukul ketika dalam keadaan yang sangat marah
c. Ketika memukul menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada, dan perut
d. Pukulan yang diberikan tidak terlalu keras
e. Tidak memukul anak sebelum usia sepuluh tahun
f. Jika kesalahan untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi
kesempatan untuk bertaubat dan memberi kesempatan untuk minta maaf
Para pengasuh dianjurkan untuk menghindari hukuman dengan pukulan, Ada beberapa alternatif lain di antaranya43
a. Nasehat dan petunjuk
b. Ekspresi cemberut c. Pembentakan
d. Memberi pekerjaan rumah (PR) atau tugas lainnya e. Alternatif terakhir adalah dengan pukulan ringan
42 Sulistyowati Khairu, Kesalahan fatal Orang Tua dalam Mendidik Anak Muslim,
(Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 28.
43
31
6) Metode Hadiah dan Imbalan
Para ulama salaf telah menetapkan pentingnya pemberian
dorongan kegembiraan kepada anak-anak dan balasan untuk mereka atas kebaikan yang dilakukan.44 Sedangkan menurut Mohammad
Muhyiddin jika hukuman merupakan cara yang dipakai atau digunakan oleh orang tua untuk mengembalikan sikap dan perilaku yang negatif, maka hadiah merupakan cara untuk mendukung
perilaku yang baik, yang telah ditunjukkan anak.45 2. Pesantren
Menurut Zamakhsari Dhofier “Pesantren adalah salah satu lembaga
yang ikut andil dalam proses kepengasuhan anak yang mempunyai visi mendidik dan membina individu untuk menjadi manusia yang
beriman-bertakwa, berbudi pekerti luhur dengan berbekal ketrampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengemban
amanat dan kewajibannya dalam menjalankan ajaran agama untuk kepentingan membangun bangsa dan Negara.46
Achmad Fahruddin mengungkapkan, Menurut para ahli, pesantren
baru dapat di sebut pesantren apabila memenuhi lima syarat, yaitu (1) ada
44 Syekh Khalid Bin Abdurrahman Al Akk, Cara Islam Mendidik Anak, (Yogyakarta: Ad
Dawa, 2006), hal. 162.
45 Mohammad Muhyiddin, ESQ Power for Better Life, (Yogyakarta: Tunas Publishing,
2006), hal. 374
46 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pendangan Hidup, (Jakarta:
32
kyai, (2) asrama atau pondok, (3) masjid, (4) santri, dan (5) pengajaran kitab kuning.47
Sedangkan M. Arifin mengatakan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat
sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri santri menerima pendidikan melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah pimpinan kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
karismatik dan independen dalam segala hal.48
Ukuran keberhasilan santri dalam studi di pesantren tidak semata-mata
diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam melahap dan menguasai kitab kuning atau pengetahuan lainnya, lebih dari itu terletak pada relasinya dengan kyai, sesama santri dan lingkungannya.49
3. Konsep dan Teori Perilaku a. Pengertian Perilaku
Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa, “Psikologi memandang
perilaku manusia (human Behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Perilaku bersifat komplek karena
Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam membentuk perilaku,
47
Achmad Fahruddin, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Link Brothers, 1999), hal.41
48Suyono, “Peranan Pesantren Dalam Mengatasi Kenakalan Remaja” (Solo, 2007), Hal.
4. 49
33
bahkan terkadang pengaruh karakteristik lingkungan lebih besar dari pada karakteristik individu. 50
Kurt Lewin merumuskan suatu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah karakteristik individu dan
karakteristik lingkungan. Karakteristik individu meliputi motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi dengan karakteristik lingkungan.
b. Proses Pembentukan perilaku
Muhammad Athiyah Al Abrasyi mengatakan bahwa pembentukan
perilaku merupakan pendidikan budi pekerti serta akhlak ke dalam jiwa setiap individu.
Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut
Abraham Harold Maslow, kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagai berikut:51
1) Kebutuhan Fisiologi
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar. Kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu
kebutuhan akan makan, minum, seks, istirahat dan oksigen (bernafas). 2) Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap orang. Agar kebutuhan akan rasa aman ini terpenuhi, maka perlu diciptakan iklim kehidupan
50 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengakuannya, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2015), hal. 9.
51
34
yang memberi kebebasan untuk berekspresi yang perlu bimbingan dari orang tua.
3) Kebutuhan Pengakuan dan Kasih Sayang
Kebutuhan ini dapat diekspresikan dalam berbagai cara, seperti:
persahabatan, percintaan, ataupun pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari pengakuan, dan curahan kasih sayang dari orang lain, baik dari orang tua, saudara, guru, pimpinan,
teman, atau orang dewasa lainnya. 4) Kebutuhan Penghargaan
Kebutuhan ini meliputi kepercayaan diri, kompetensi, kecukupan, prestasi, dan kebebasan, Penghargaan dari orang lain meliputi pengakuan, perhatian, prestise, respek, dan kedudukan
(status).
5) Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini merupakan puncak dari hirarki kebutuhan manusia yaitu perkembangan atau perwujudan potensi dan kapasitas secara penuh. Walaupun kebutuhan lainnya terpenuhi, tidak
mengembangkan atau tidak mampu menggunakan kemampuan bawahannya secara penuh, maka seseorang akan mengalami
kegelisahan, ketidaksenangan, atau frustasi.
Menurut Maslow ada dua jenis motivasi atau kebutuhan. Yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan spiritual. Motivasi jenis pertama
35
kebutuhan fitri. Kebutuhan spiritual untuk melakukan refleksi secara spiritual dan melakukan retropeksi atas perilakunya sendiri, serta
membuat kalkulasi apakah hidupnya cukup berimbang antara kebutuhan material dengan kebutuhan non material.52
Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat deferensial. Yang mana satu stimulus akan menimbulkan respon yang beragam dan sebaliknya beberapa stimulus yang beragam
dapat menimbulkan satu reaksi yang sama. Secara ilustratif hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:53
S1 R1
S2
(1)
R2
S3 R3
[image:43.595.136.514.270.553.2]S4 R4
Gambar.2.1. Sifat Diferensial Perilaku
Gambar di atas mengilustrasikan bahwa S melambangkan stimulus lingkungan yang diterima oleh individu 1 dapat menimbulkan respon yang dilambangkan oleh R. jadi , respon R3
dapat timbul dikarenakan stimulus S3 ataupun oleh stimulus S1 dan stimulus S2 dapat menimbulkan respon R2 ataupun respon R4.
Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action). Tentang penyebab perilaku
52 Bartono dan Ruffino, Tehnik Supervisi dan Uji Kompetensi untuk Pendidikan
Pariwisata, Ebook, (Yogyakarta: CV. Andi, 2010), hal. 210.
53
36
volisional (perilaku yang dilakukan atas kemuan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
1) Manusia pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal
2) Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada
3) Secara implisit maupun eksplisit manusia mempertimbangkan keterlibatan tindakan mereka.
Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia mempunyai keyakinan bahwa
perbuatan itu positif dan orang lain menginginkan perbuatan itu untuk dilakukan.
c. Komponen Perilaku
Komponen perilaku atau komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten,
selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Kedua komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:54
1) Komponen Kognitif (kepercayaan)
54
37
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek perilaku. Kepercayaan
datang dari apa yang telah dilihat dan diketahui oleh seseorang. Berdasarkan apa yang dilihat akan terbentuk ide atau gagasan
mengenai sifat atau karakteristik umum suatu obyek. 2) Komponen Afeksi
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subyektif
seseorang terhadap obyek perilaku. Secara umum, komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu, namun
pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya jika dikaitkan dengan perilaku. Reaksi emosional dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dianggap sebagai benar dan berlaku bagi
obyek yang dimaksud. d. Perilaku Positif
Anwarul Haq mengatakan, “Dan sesungguhnya Dalam ayat lain
disebutkan bahwa tujuan diutusnya nabi Saw adalah mengajar dan mendidik masyarakat untuk berperilaku baik yang di dalamnya termasuk
ruh kesabaran, pengendalian atau mawas diri, keteguhan hati, simpati kepada orang-orang yang membutuhkannya.55 Sedangkan menurut
Mansur perilaku positif adalah tindakan-tindakan baik yang datang dari sifat-sifat batin yang ada dalam hati menurut syara’”56
55S. Anwarul Haq, Prophet’s Guidances for Childreen. Terjemahan Oleh Anwarul Haq,
Bimbingan Remaja Berakhlak Mulia, (Bandung: Marja’, 1881), hal. 80.
56
38
Allah yang maha agung berfirman dalam Al Quran
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. Al Qolam: 4)
e. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu
terhadap rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu:57
1) Perilaku Pasif (respons internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap
belum ada tindakan yang nyata. 2) Aktif (respons eksternal)
Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.
f. Perilaku Ibadah Remaja
1) Pengertian Ibadah
Perilaku ibadah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada
Allah, yang didasari ketaan mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya.58 Ibadah-ibadah itu berpola dalam bentuk sholat, zakat, puasa, dan haji, serta ibadah sunnah yang telah dilakukan oleh nabi
39
Muhammad Saw seperti membaca dzikir, membaca tahlil, membaca Al Quran, dan membaca sholawat kepada nabi Muhammad Saw
2) Motivasi Beribadah
Nabi Muhammad Saw datang untuk mengajarkan manusia
tentang perkara-perkara agama dan pedoman hidup. Yakni mengajakan bagaimana menyembah Allah SWT yang tidak mempunyai sekutu, dan untuk meningkatkan akhlak-akhlak mulia.
Layak disebutkan disini, bahwa ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam dan dianggap sebagai pilar-pilar keimanan bukanlah
azimat kosong yang menghubungkan manusia dengan hal-hal gaib yang tidak jelas dan membebani manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersembunyi dan gerakan-gerakan tanpa makna. Akan tetapi
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam adalah latihan-latihan yang berulang-ulang untuk membiasakan seseorang agar hidup
dengan akhlak yang benar dan agar senantiasa berpegang teguh dengan akhlak tersebut meskipun zaman berubah.
Atas dasar ini, ibadah dalam Islam adalah sebuah kewajiban
yang ditetapkan Allah SWT sebagai bentuk ketundukkan hamba kepada Tuhannya. Dalam slam ibadah adalah pedoman pendidikan
40
Mementingkan ibadah sama halnya dengan mementingkan perilaku yang benar.59
g. Perilaku Belajar Remaja 1) Definisi Belajar
Cronbach memberikan definisi belajar sebagai Learning is
shown by a change in behvior result of experience (belajar merupakan
aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman). Menurut Sardiman belajar adalah perubahan tingkah laku dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan
membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.60 Sedangkan Syaiful Bahri Djamrah merumuskan belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya.61
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha perubahan tingkah laku yang kompleks dilakukan seseorang dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya, akibat interaksinya dengan lingkungan.
59
Syekh Khalid bin Abdurrahman Al Akk, Cara Islam mendidik Anak, (Yogyakarta: Ad Dawa, 2006), hal. 318
60 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
Hal. 20.
61
41
2) Lingkungan Belajar
Surachmand mengemukakan lima hal yang berhubungan dengan
perilaku belajar yang baik, yaitu Kebiasaan mengikuti pelajaran, Kebiasaan memantabkan pelajaran, Kebiasaan membaca buku,
Kebiasaan menyiapkan karya tulis, dan kebiasaan menghadapi ujian.62 Untuk meningkatkan kebiasaan belajar, sebaiknya terlebih dahulu menggariskan waktu belajar, kapan dan dimana belajar,
bagaimana membagi waktu belajar, seberapa baik konsentrasi dan bagaimana sikap dan metode yang digunakan dalam belajar.
Menurut Roestiah bahwa belajar yang efisien dapat dicapai apabila menggunakan strategi yang tepat, yakni adanya pengaturan waktu untuk mengikuti pelajaran, belajar di asrama, belajar kelompok,
maupun mengikuti ujian. Perilaku belajar mempengaruhi prestasi belajar.63
Menurut Hamalik, ada beberapa factor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu:64
1) Factor yang bersumber dari diri sendiri, seperti tidak mempunyai
tujuan dan minat terhadap bahan ajaran, kesehatan yang sering menganggu, dan kurangnya penguasaan bahan pelajaran.
62 Hanifah, “
Pengaruh Perilaku Belajar Tehadap Prestasi Akademik Mahasiswa
Akutansi”, Vol. 1, (Desember, 2001), hal. 67.
63Syukri, “Kebiasaan Belajar Mahasiswa Pada Program Studi Pendidikan Dunia Usaha
Ekonomi Koperasi Fakultas” (Skripsi, fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh, 1995), hal. 133
64
42
2) Factor yang bersumber dari lingkungan belajar, misalnya cara meberi pelajaran, kurangnya bahan pelajaran, kurangnya alat-alat,
bahan pelajaran tidak sesuai dengan kemampuan 3) Factor yang bersumber dari lingkungan keluarga
4) Factor yang bersumber dari masyarakat, seperti gangguan jenis kelamin, bekerja di samping sekolah, aktif bernegosiasi, dan tidak dapat mengatur waktu rekreasi dan waktu istirahat.
h. Interpersonal Skill Remaja
1) Pengertian Interpersonal Skill
Remaja dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja antara lain, membina hubungan dengan teman sebaya dan
menjalankan peran sosialnya. Keberhasilan remaja dalam membina hubungan dengan teman sebaya dan menjalankan peran sosialnya
dipengaruhi oleh kemampuan yang dimilikinya. Buhrmester, Furman, Witterberg, & Reisht mengistilahkan kemampuan ini sebagai
interpersonal skill.
Interpersonal skill remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga
dan proses hidup yang dijalaninya sehari-hari. Kemampuan remaja
membina hubungan interpersonal dengan orang lain tidak terjadi begitu saja melainkan pola hubungan orang tua dan anak dalam keluarga akan menjadi model bagi hubungan anak dengan orang lain
43
Remaja baik adalah remaja yang memiliki interpersonal skill
yang baik, misalnya jika melihat teman kesulitan, langsung tanggap
untuk memberikan bantuan dan merasa terpanggil untuk membantu orang lain. Semua ini harus diraih dalam suatu lingkungan yang sarat
dengan cinta dan kepedulian.
Kecerdasan yang mempengaruhi interpersonal skill remaja adalah Emotional Quotient (EQ) atau yang lebih kita kenal dengan
kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi menjadikan seseorang lebih mendalami dalam berbuat dan berprilaku, karena Emotional Quotient
(EQ) merupakan salah satu aspek kecerdasan dalam menentukan efektifitas penggunaan kecerdasan yang konvensioanal tersebut. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola perasaan,
kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut dan menentukan potensi seseorang untuk
mempelajari ketrampilan ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.65
2) Factor Interpersonal Skill Remaja
Beberapa faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal
remaja, yaitu a) Kematangan beragama, Remaja yang matang kehidupan beragamanya memiliki interpersonal skill lebih tinggi dibandingkan remaja yang kurang matang kehidupan beragamanya. b)
65 Goleman, Kecerdasan Emosi untuk mencapai puncak, (Jakarta: Gramedia Pustaka
44
Kontak anak dengan orang tua, Kontak anak dengan orang tua menunjang anak untuk belajar dan bersosialisasi dengan lingkungan
sosialnya di luar rumah. Anak-anak yang mempunyai kontak yang baik dengan orang tuanya menunjukkan perilaku sosial yang baik
dengan teman-teman sebayanya di l