• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KH. ABDULLAH FAQIH DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN (1971-2012).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN KH. ABDULLAH FAQIH DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN (1971-2012)."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KH. ABDULLAH FAQIH DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN (1971-2012)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh

Afwin Muhafatul Aula NIM: A0.22.12.031

Oleh:

Afwin Muhafatul Aula NIM: A0.22.12.031

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Dalam skripsi yang berjudul Peranan KH. Abdullah Faqih dalam Perkembangan Pondok Pesantren ini penulis berusaha mengungkap bebrapa persoalan sebagai berikut: 1) Bagaimana Profil Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban? 2) Siapa Sajakah Para Pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban? 3) Apa Peran KH. Abdullah Faqih dalam Perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban (1971-2012)?

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian Sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut: Heuristik (pengumpulan data); Verifikasi data (mengkritisi data, ada kritik intern dan kritik ekstern); Analisis, Historiografi (penulisan sejarah). Secara umum penelitian ini adalah penelitian histotis yang digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Adapun pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan sosiologis yaitu sebagai alat bantu yang bertujuan untuk mendeskripikan segala sesuatu yang mengalami perubahan di Pondok Pesantren Langitan. Teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori kepemimpinan karismatik yang dikemukakan oleh Max Weber yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi.

(6)

ABSTRACT

In a thesis entitled The Role of KH. Abdullah Faqih in a boarding school development is the author trying to uncover and keeping the following issues: 1) How Profile Boarding Langitan Widang Tuban? 2) Who are the caretakers Boarding Langitan Widang Tuban? 3) What is the role of KH. Abdullah Faqih in development Boarding Langitan Widang Tuban (1971-2012)?

In writing this essay the author uses history research methods with the steps as follows: Heuristics (data collection); Verification of the data (scrutinize the data, there is criticism of internal and external criticism); Analysis, historiography (history writing). In general, this research is histotis used to describe the events that occurred in the past. The approach used by the authors is a sociological approach that is as a tool that aims to describe everything changes at boarding school Langitan. The theory used in this thesis is charismatic leadership theory proposed by Max Weber that is based on personal influence and authority.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Bahasan ... 14

BAB II PROFIL PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN A. Lokasi dan Asal Nama Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban ... 16

B. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban ... 17

C. Tujuan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban ... 29

D. Aktifitas Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban ... 31

(8)

BAB III BIOGRAFI PENGASUH PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN

A. KH. Muhammad Nur ... 44

B. KH. Ahmad Shaleh ... 45

C. KH. Ahmad Khazin ... 46

D. KH. Abdul Hadi Zahid ... 47

E. KH. Ahmad Marzuki ... 49

F. KH. Abdullah Faqih ... 53

BAB IV PERANAN KH. ABDULLAH FAQIH DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN (1971-2012) A. Bidang Pendidikan... 61

B. Pendirian Madrasah Al-Mujibiyah Putri ... 66

C. Bidang Sosial ... 68

D. Pemikiran KH. Abdullah Faqih ... 79

1. Murtad ... 79

2. Enam Orang yang Menjadi Ahli Neraka ... 81

3. Makna Syahadah ... 90

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan mengamalkan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.1

Pesantren merupakan lembaga pendidikan pertama kali yang dikenal di Indonesia. Keberadaan pesantren sebagai wadah untuk memperdalam agama sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam diperkirakan masuk sejalan dengan gelombang pertama dari proses pengislaman di daerah Jawa sekitar abad ke-16.2 Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakain berkembang dengan munculnya tempat-tempat pengajian (nggon ngaji). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap atau disebut dengan pemondokan bagi para pelajar (santri), yang

kemudian disebut “pesantren”.3

1

Yayasan Kantata Bangsa, Pemberdayaan Pesantren (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005),

1.

2

Tim Penulis Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan

Perkembangannya (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003), 1.

3

(10)

2

Pesantren sendiri memiliki lima elemen, yaitu4: Pondok, yaitu asrama bagi para santri yang berada dalam lingkungan kompleks pesantren; masjid, sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam

praktik shalat lima waktu, khutbah dan shalat jum’at, dan pengajaran kitab

-kitab Islam klasik; pengajaran -kitab--kitab Islam klasik, yang biasanya menggunakan sistem sorogan dan weton/bandongan; santri, artinya adalah san itu suci dan tri itu tiga, berarti suci dalam tiga hal, yaitu suci hatinya, suci ucapannya, suci tindakannya5; kiai, merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren, karena ia merupakan pendirinya.

Keterkaitan dan peran kiai dalam pesantren memang tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang, mereka saling berperan penting. Kiai memiliki kharisma demikian tidak lain karena ia memiliki kemantapan moral dan kualitas keilmuan, sehingga ia memiliki kepribadian yang magnetis (penuh daya tarik) bagi para pengikutnya. Kiai tidak hanya dikatagorikan sebagai elit agama tetapi juga elit dalam adminstrasi dan pengembangan masyarakat pesantren yaitu membina para santri.

Peran kiai dalam masyarakat pesantren memiliki otoritas tinggi di dalam menyebarkan dan menyimpan pengetahuan keagamaan. Serta berkopetensi mewarnai corak dan pola kepemimpinan. Tipe kharismatik yang

4

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 44.

5

Abdullah Faqih, “Bertaqwa Urusan Jadi Mudah,” dalam KAKILANGIT (Tuban: Kesan Langitan,

(11)

3

melekat pada dirinya menjadi tolak ukur kewajiban pesantren. Dipandang dari segi kehidupan santri, kharisma kiai adalah karunia Tuhan yang diperoleh dari kekuatan Tuhan. Kekuatan kharisma seorang kiai menjadi kekuatan sentral yang diperkuat dengan literature yang hanya diajarkan di pondok peantren yang menempatkan guru sebagai sosok yang wajib dihormati dan diperlakukan secara khusus seperti yang diajarkan dalam kitab ta’lim muta’alim (ucapan yang dijadikan pegangan).

Seperti halnya KH. Abdullah Faqih, ia adalah seorang ulama’ besar

yang juga merupakan pengasuh pondok pesantren Langitan Widang-Tuban generasi kelima. Beliau lahir di desa Mandungan Widang Tuban pada tanggal 12 Mei 1932.6 Ia adalah seorang kiai yang kharismatik dan sangat disegani oleh masyarakat dari berbagai kalangan, baik dari kalangan masyarakat biasa

maupun dari kalangan para ulama’.

Pondok Pesantren Langitan merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pondok Pesantren Langitan adalah pondok pesantren salafi yang didirikan pada tahun 1852 M di desa Mandungan, kecamatan Widang, kabupaten Tuban Oleh KH. Muhammad Nur. Awalnya pesantren ini hanya sebua bangunan mushola kecil milik KH. Muhammad Nur. Ia mengasuh Pondok Pesanten Langitan selama kurang lebih 18 tahun (1852-1870). Setelah ia wafat kemudian kepengasuhan diteruskan oleh KH.

6

Hasyim dan Sholeh, Potret dan Teladan Syaikhina KH. Abdullah Faqih (Tuban: Kakilangit Book,

(12)

4

Ahmad Shaleh putra kedua beliau (1870-1902 M). Kemudian di teruskan oleh KH. Ahmad Khazin (1902-1921 M), KH. Abdul Hadi Zahid (1921-1971), selanjutnya pada generasi ke lima di asuh oleh KH. Ahmad Marzuki (1971-2000 M) bersama KH. Abdullah Faqih (1971-2012). Dan saat ini diasuh oleh KH. Abdullah Habib dan KH. Abdurrahman Faqih putra ke 7 dan ke 9 KH. Abdullah Faqih.

Sejak kecil KH. Abdullah Faqih belajar pada ayahnya yang bernama KH. Abdul Hadi Zahid. Setelah belajar kepada ayahnya, sudah waktunya ia pergi dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari ilmu dan kalam hikmah. Ia mondok hanya selama 4 tahun, di antaranya yaitu mondok di Lasem selama dua setengah tahun, di Senori enam bulan, dan setelah itu pindah ke pesantren lainnya.

Ketika KH. Abdullah Faqih mengasuh Pondok Pesantren Langitan, ia banyak memberikan pengaruh atas perkembangan pesantren, seperti dalam bidang perluasan pembangunan ia mendirikan madrasah al-Mujibiyah, BUMP (Badan Usaha Milik Pondok), toko induk, koperasi, wartel dan Kantor Kesan yang membawahi produksi air minum, redaksi Kakilangit, dan mini market Smesco.

(13)

5

paket B, dan C bagi santri yang ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi setelah lulus dari pesantren.

Termasuk peranan beliau juga yaitu membuat perubahan yang dulunya para santri diperbolehkan merokok dengan batasan umur mulai 18 tahun keatas kemudian sekarang para santri dilarang merekok, bahkan Pondok Pesantren Langitan sekarang menjadi kawasan dilarang merokok sehingga pada tahun 2007 KH. Abdullah Faqih mendapat penganugrahan dari bapak mantan presiden Susilo Bambang Yudoyono Lencana Ksatria Bhakti Husada Aratula atas jasa besarnya dalam menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat.7

Dari sedikit uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Peranan KH. Abdullah Faqih dalam Perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban (1971-2012) karena menurut saya KH. Abdullah Faqih adalah seorang kiai yang memiliki pengaruh besar dan merupakan tokoh pembaruan dalam perkembangan Pondok Pesantren Langitan, maka menurut saya penting untuk dikaji lebih dalam lagi.

Dalam hal ini, penulisan skripsi ini lebih menekankan pada peranan KH. Abdullah Faqih dalam mengembangkan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban mulai tahun 1971-2012.

7

NU Online, “SBY Berikan Penghhargaan pada Sahal Mahfudz dan Hasyim Muzadi”, dalam

(14)

6

B.

Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana profil Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban? 2. Siapa sajakah pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban? 3. Apa peran KH. Abdullah Faqih dalam perkembangan Pondok Pesantren

Langitan Widang Tuban (1971-2012)?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tentang tujuan penelitian Peran KH. Abdullah Faqih dalam Perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui profil Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban. 2. Untuk mengetahui para pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang

Tuban mulai dari pendirinya sampai sekarang.

3. Untuk mengetahui peran KH. Abdullah Faqih dalam perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban (1971-2012).

D.

Kegunaan Penelitian

(15)

7

1. Secara Akademik Sebagai upaya menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang sejarah Indonesia. Di samping itu, KH. Abdullah Faqih adalah tokoh yang berperan sangat penting dalam perkembangan Pondok Pesantren Langitan dalam menghadapi modernisasi.

2. Secara Praktis Dengan skripsi ini diharapkan penulis dapat menyelesaikan kuliahnya di Strata satu (S-1) jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel mendapatkan gelar sarjanahnya.

E.

Pendekatan dan Kerangka Teoritik

(16)

8

Kepemimpinan terbagi menjadi dua ruang lingkup, pertama yang bersifat resmi (formal leadrship) yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan, dan ada pula kepemimpinan karena pengakuan dari masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Kedua tidak resmi (informal leadership) yang mempunyai perbedaan yang sangat mencolok yakni kepemimpinan yang resmi di dalam pelaksanaannya harus selalu di atas landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi, seperti Dekan ataupun Rektor sehingga daya cakupnya agak terbatas. Kepemimpinan tidak resmi, mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi, oleh karena kepemimpinan tersebut didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan masyarakat, seperti halnya KH. Abdullah Faqih.

Di sini penulis menggunakan teori kepemimpinan kharismatik, jenis kepemimpinan ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli sosiologi Jerman yakni Max Weber. Kepemimpinan kharismatik didefinisikan oleh Weber:8

Berdasarkan persembahan pemimpin terhadap para pengikut dengan kesucian, kepahlawanan, karakter khusus seorang individu, dan juga pola normatif atau keteraturan yang telah disampaikan. Pemimpin kharismatik muncul pada waktu krisis atau keadaan yang sukar, termasuk jika ada masalah-masalah ekonomi, agama, ras, politik, sosial.

Teori ini bisa dipakai untuk menganalisis beberapa jenis pemimpin, termasuk pemimpin agama, spiritual dan politik. Dalam rangka untuk

8

Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim

(17)

9

mengungkapkan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar menghasilkan penjelasan kausal mengenai pelaksanaan dan akibat-akibatnya.

Hal ini penulis gunakan untuk mengetahui bagaimana KH. Abdullah Faqih menjalankan fungsinya sebagai seorang kiai, panutan masyarakat serta sebagai seorang pemimpin di pesantrennya. Menurut Weber ada tiga kepemimpinan yang dimiliki oleh para pemimpin agama, yaitu:

1. Tipe kepemimpinan kharismatik, bahwa kepatuhan diberikan kepada pemimpin yang diakui karena sifat-sifat keteladanan pribadi yang dimilikinya.

2. Kepemimpinan tradisional, bahwa tugas mereka adalah mempertahankan aturan-aturan yang telah berlaku dalam agama.

3. Kepemimpinan rasional-legal bahwa kekuasaannya bersumber pada dan dibatasi oleh hokum

F.

Penelitian Terdahulu

(18)

10

Skripsi yang berjudul “Peranan KH. Abdullah Faqih dalam sejarah

terbentuknya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) tahun (2006-2007), oleh Fatah Yasin K.A-2008/015/SPI”. Dalam skripsi tersebut

membahas tentang peranan KH. Abdullah Faqih dalam politik, yaitu kiprahnya dalam terbentuknya partai PKNU. Ia menjadi rois atau ketua deklarator PKNU di dalam tim 17, yaitu tim yang mendeklarasikan partai PKNU. Ia juga menjadi rujukan akhir, penasihat partai PKNU dalam masalah-masalah kepartaian.

Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Hukum Islam terhadap

Pandangan KH. Abdullah Faqih Langitan Widang Tuban tentang Mahar Alquran dan Alat Shalat, oleh Ach. Ainus Tsabit S-2007/020/AS”. Dalam

skripsi ini menjelaskan tentang pandangan KH. Abdullah Faqih tentang hukum mahar alquran dan alat shalat. Menurutnya mahar al-Quran dan alat shalat itu hukumnya mubah, mahar al-Quran dalam pernikahan itu kurang etis karena pada hakikatnya mahar dalam pernikahan adalah kewajiban yang harus dibayar suami sebagai ganti dari farji. Sedangkan mahar alat shalat hendaknya digunakan penggantian istilah dari alatus sholah menjadi libasu as-sholah. Karena pada dasarnya shalat tidak membutuhkan alat, tetapi yang dibutuhkan hanyalah pakaian.

(19)

11

yang membedakan skripsi di atas dengan skripsi ini yaitu di sini lebih difokuskan pada peranan KH. Abdullah Faqih dalam perkembangan Pondok Pesantren Langitan.

G.

Metode Penelitian

1. Heuristik

Heuristik yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah.9

Adapun pada penelitian ini, sumber yang digunakan dibagi dalam dua kategori, yakni:

a. Sumber Primer

1) karyanya yang berjudul Taqriran Hisnul Hasin yang isinya mengenai fadilah perkomponen wirid ratibul Hadad, makna gandul nadzom hidayatul adzkiya, dan “Menolak Kiai Khos dan

Kiai Kampung” dalam surat kabar Jawa Pos pada tanggal 4 April

2007

2) transkip beberapa tausiah KH. Abdullah Faqih yang diterjemahkan dalam majalah Kaki Langit

b. Sumber Sekunder.

Selain menggunakan sumber primer di atas, penulis juga menggunakan sumber-sumber skunder, seperti: Tim Redaksi, Buku

9

(20)

12

Kenangan SAHEBA, Tanpa Penerbit, 2010., Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri, Majlis Idaroh Ammah Putra Pondok Pesantren Langitan, 2015.

2. Verifikasi atau Kritik Sumber

Setelah sumber-sumber ditemukan, maka sumber-sumber itu diisi dengan kritik yaitu suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik atau tidak.10 Kritik dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Kritik ekstern, yaitu kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.

b. Kritik intern, yaitu menyangkut tentang isi, dokumen atau manuskrip yang diperoleh penulis cukup kredibel atau tidak.

3. Interpretasi atau Penafsiran

Interpretasi atau Penafsiran adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang sumber yang didapatkan, apakah sumber-sumber tersebut saling berhubungan antara yang satu dan yang lain.11 Dalam hal ini yang terkumpul dibandingkan lalu disimpulkan agar bisa

10 Ibid.

11

(21)

13

dibuat suatu penafsiran terhadap data tersebut sehingga dapat diketahui hubungan kausalitas dan kesesuaian dengan masalah yang diteliti. Dalam penulisan mengenai peranan KH. Abdullah Faqih dalam perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban (1971-2012) penulis menganlisa secara mendalam terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh baik primer maupun sekunder, kemudian penulis menyimpulkan sumber-sumber tersebut sebagaimana dalam kajian yang diteliti.

4. Historiografi

Historiografi adalah menyusun atau merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis.12 Penulis menuangkan penelitian dari awal hingga akhir berupa karya ilmiah. Pada laporan ini ditulis tentang profil Pondok Pesantren Langitan, biografi pengasuh Pondok Pesantren Langitan, serta peran KH. Abdullah Faqih dalam mengembangkan Pondok Pesantren Langitan.

Bentuk tulisan ini merupakan bentuk tulisan yang sejarah deskriptif analistik, yang merupakan metodologi dimaksudkan menguraikan sekaligus menganalisis. Dengan menggunakan kedua cara tersebut secara bersamaan maka diharapkan objek dapat diberikan makna secara

(22)

14

maksimal. Jadi penulis akan menguraikan tentang perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban ketika berada di bawah asuhan KH. Abdullah Faqih.

H.

Sistematika Pembahasan

Penyajian dalam penulisan penelitian yang berjudul “Peranan KH.

Abdulla Faqih dalam perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban (1971-2012)” ini mempunyai tiga bagian, diantaranya meliputi: Pengantar, Hasil Penelitian, dan Simpulan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini disusun dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman sehingga dapat menghasilkan pembahasan yang sistematis. Penulisan penelitian ini terbagi dalam lima bab, dan didalam setiap bab terbagi manjadi beberapa sub-bab. Pembagian ini didasarkan atas pertimbangan adanya permasalahan-permasalahan yang perlu diklasifikasikan dalam bagian-bagian yang berbeda.

Adapun sistematika pembahasan secara terperinci yang penulis pergunakan adalah sebagai berikut:

(23)

15

BAB kedua: Dalam bab ini dipaparkan tentang profil Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban yang berisi tentang letak geografis, sejarah berdirinya, tujuan, aktifitas, dan peraturan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban.

BAB ketiga: Dalam bab ini dipaparkan tentang biografi para pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban yaitu, KH. Muhammad Nur, KH. Ahmad Shaleh, KH. Ahmad Khazin, KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad Marzuki, dan KH. Abdullah Faqih.

BAB keempat: Dalam bab ini dipaparkan tentang peranan yang di lakukan oleh KH. Abdullah Faqih dalam mengembangkan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban.

(24)

16

BAB II

PROFIL PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN A. Lokasi dan Asal Nama Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban

Pondok Pesantren Langitan terletak di Desan Mandungan, Widang, Tuban, Jawa Timur. Lokasi Pondok Pesantren Langitan berada kira-kira 400 meter sebelah selatan kecamatan Widang, atau kurang lebih 30 kilo sebelah selatan ibu kota Tuban. Pondok Pesantren Langitan juga berbatasan dengan desa Babat, kecamatan Babat, kabupaten Lamongan dengan jarak kira-kira satu kilo meter. Pondok Pesantren Langitan juga berada di samping bengawan Solo dan dikelilingi oleh rumah warga desa Mandungan.1

Bangunan Pesantren Langitan ini berdiri kokoh persis di depan jalur Surabaya-Semarang dan lokasinya sangat strategis, karena dapat dijangkau dengan mudah dengan menggunakan berbagai sarana transportasi baik itu berupa bus, kapal, kereta api, dan angkutan umum lainnya.

Adapun penggunaan nama “Langitan” diambil dari kata “plang” yang berarti Papan Pembatas dan “wetan” yang berarti Timur, kedua kata ini merupakan istilah bahasa Jawa. Memang di sekitar daerah Widang dahulu, ketika Pondok Pesantren Langitan ini didirikan pernah berdiri dua buah plang atau papan nama, masing-masing terletak di Timur dan Barat. Kemudian di dekat plang sebelah wetan dibangun sebuah lembaga pendidikan Islam ini,

1

(25)

17

yang kelak karena kebiasaan para pengunjung menjadikan plang wetan sebagai tanda untuk memudahkan orang mendata dan mengunjungi pondok pesantren, maka secara alamiyah pondok pesantren ini diberi nama Plangitan yang kemudian terkenal dengan Langitan. Kebenaran kata ini juga didasari tulisan tangan KH. Ahmad Sholeh dalam kitab “Fathul Mu’in” dengan bahasa melayu pada tanggal 29 Robi’ul Awal 1297 H tepatnya pada hari selasa.

B. Sejarah Berdirinya dan Perkembangan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban

1. Masa Perintisan (1852-1870 M)

Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, salah satunya yaitu Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur. Pondok Pesantren Langitan adalah pondok pesantren salafiyah yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.2

Pondok Pesantren Langitan didirikan pada tahun 1852 M di desa Mandungan, kecamatan Widang, kabupaten Tuban oleh KH. Muhammad Nur jauh sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1852 M.3

2

Tim Penulis Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah. 29

3

(26)

18

Dahulunya Pondok Pesantren Langitan hanyalah sebuah bangunan mushola kecil milik KH. Muhammad Nur. Ia mengajarkan ilmunya dan menggembleng keluarga dan tetangga dekat untuk meneruskan perjuangan mengusir para penjajah dari tanah Jawa. Ia mengasuh pondok pesantren selama kurang lebih 18 tahun (1852-1870). Setelah itu kepengasuhan pesantren diserahkan kepada KH. Muhammad Sholeh.

2. Masa Perkembangan (1870-1921 M)

Pondok Pesantren Langitan mengalami perkembangan mulai pada masa kepemimpinan KH. Muhammad Sholeh. Pada masa ini pesantren mengalami peningkatan yang pesat meskipun dengan saranan dan fasilitas yang minim seperti dengan mulai membangun perbaikan langgar/mushola dan bangunan fisik pondok.Terbukti dengan munculnya para ulama’ yang sampai sekarang berhasil mengabadikan beberapa lembaga pendidikan pesantren yang terkenal, seperti KH. Zainuddin (Pondok Pesantren Mojosari, Nganjuk), KH. Umar Dahlan (pesantren Sarang, Lasem), KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng, Jombang dan pendiri NU), KH. M. Shidiq (Jember), KH. M. Kholil (Bangkalan, Madura), KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras, Jombang).4

4

Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri (Tuban: Majlis Idaroh Ammah Putra

(27)

19

Setelah ia mengasuh pesantren kurang lebih 30 tahun, KH. Ahmad Sholeh wafat pada tahun 1902 M. Kemudian kepengasuhan pesantren diserahkan kepada KH. Ahmad Khozin yang merupakan menantu KH. Ahmad Sholeh. Pada masa KH. Ahmad Khozin, bangunan fisik langgar dan pondok lokasinya telah dipindahkan dari tepi bengawan Solo ke Utara tanggul bengawan Solo karena Pondok Pesantren Langitan telah dilanda banjir.5 Upaya ini juga dibarengi dengan perluasan area pondok dan perbaikan sarana dan fasilitas pemukiman santri yang rusak akibat banjir. Pondok yang berhasil dibangun pada saat itu adalah sebanyak empat unit yang terdiri dari Pondok Kidul yang sekarang disebut dengan Pondok Al Ghozali, Pondok Lor yang terkenal dengan nama Pondok Al Maliki, Pondok Kulon atau yang saat ini lebih populer dengan nama Pondok As Syafi’i dan Pondok Wetan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pondok Al-Hanafi.Beliau mengasuh pesantren selama kurang lebih 20 tahun, kemudian ia wafat pada tahun 1921 M.

3. Masa Pembaharuan (1921-2012 M).

Setelah itu kepengasuhan diserahkan kepada KH. Abdul Hadi Zahid (menantu KH. Khozin). Pada masa ini pesantren mengalami banyak perubahan pada lembaga pendidikan Pondok Pesantren Langitan, baik dari segi pendidikan maupun segi fisik bangunan pesantren. Dalam bidang

5

Masyhudi, “Manuskrip “Nazham Nashi Hun” Abad XIX Koleksi Kiai Haji Ahmad Shalih dari

(28)

20

pendidikan, yang awalnya hanya menggunakan metode weton dan sorogan, kini terselenggara tingakatan ibtidaiyah dan tsanawiyah al-Falahiyah. Pada masa ini juga dibangun pondok pesantren putri, perbaikan mushola, penambahan kamar mandi dan perbaikan perpustakaan. Selain itu, terdapat penambahan kegiatan seperti jam’iyah mubalighin, jam’iyah quro’ dan khufadz, batsul masaildan lain-lain.

Setelah ia wafat maka kepengasuhan dipegang oleh KH. Ahmad Marzuki dan KH. Abdullah Faqih. Keduanya memiliki kemahiran yang sama dengan KH.Abdul Hadi Zahid. Pondok Pesantren Langitan terus mengalami perubahan dan mencapai tahap maksimal selain menjadi salah satu pondok pesantren terbesar di Jawa Timur, Langitan juga menyandang gelar lembaga pendidikan berbasis internasional.

Perubahan-perubahan tersebut nampak dengan adanya berdirinya bangunan-bangunan baru seperti BUMP (Badan Usaha Milik Pondok), kepontren, wartel, madrasah al-Mujibiyah, madrasah Al-Roudhoh, pusat pelatihan computer, TPQ, jurnalistik, dan Kantor Kesan yang membawahi majalah Kakilangit dan produksi air minum, dan minimarket Smesco.6

Perkembangan santri Pondok Pesantren Langitan semakin lama juga semakin banyak jumlah santrinya, berikut adalah daftar tabel jumlah santri setiap tahunnya:

6

(29)

21

Tabel 2.1. Daftar santri setiap tahun.

Tahun Jumlah Santri

1988 2488

1989 2887

1990 3211

1991 3371

1992 3438

1993 3426

1994 3099

1995 3006

1996 3045

1997 2832

1998 3164

1999 3856

2000 4242

2001 4525

2002 4296

2003 3982

(30)

22

2005 3900

2006 3429

2007 3352

2008 2948

2009 2659

2010 4405

2011 3015

2012 4408

2013 3205

2014 3759

2015 4197

Sedangkan dalam bidang pendidikan kini Pondok Pesantren Langitan menggunakan dua sistem pengajaran yaitu:7

a. Sistemma’hadiyah

Sistem ma’hadiyah yaitu sistem pengajaran dengan menggunakan metode weton atau bandongan dan sorogan. Metode weton atau bandonganadalah sebuah model pengajian di mana sekelompok santri

7

(31)

23

mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya masing-masing dan membuat catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.8

Sedangkan metode sorogan adalah sistem perngajaran di mana santri atau murid membaca, sedangkan kiai atau ustadz mendengarkan sambil memberikan pembetulan, komentar atau bimbingan yang diperlukan.

Kedua metode ini sama-sama mempunyai nilai yang penting dan cirri penekanan pada pemahaman sebuah disiplin ilmu, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Namun, sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim, karena sistem ini seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.9

Dalam pelaksanaannya, system ma’hadiyah ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

1) Umum, yaitu progam pendidikan non klasikal yang dilaksanakan setiap hari (selain hari selasa dan jum’at).

8

Zamakhsyari Dhofier, Trasisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,

1994), 28.

9

(32)

24

2) Tahassus yaitu progam pendidikan khusus bagi santri pasca aliyah dan santri-santri lain yang dianggap telah memiliki penguasaan ilmu-ilmu dasar seperti nahwu, sorof, aqidah, dan syari’ah. Progam ini lebih dikenal dengan sebutan musyawirin, yang diasuh langsung oleh majlis masyayekh.

b. SistemMadrasiyah

Sistem Madrasiyah atau sistem pendidikan klasikal adalah sebuah model pengajaran yang bersifat formalistik, orientasi pendidikan dan pengajarannya terumuskan secara teratur dan prosedural, baik dalam masalah kurikulum, tingkatan, dan kegiatan-kegiatannya.

Yang dimaksud dengan sistem madrasiyahdi sini adalah madrasah diniyah (sistem pembelajaran dengan tetap mempertahankan dominasi pendidikan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab10) dimana kurikulum yang diajarkan adalah berupa kitab-kitab tertentu dalam cabang ilmu tertentu. Kitab-kitab tersebut dalam kalangan pondok pesantren biasanya disebut dengan kitab kuning.

Pendidikan dengan sistem madrasiyah di Pondok Pesantren Langitan kini telah telah berdiri 3 lembaga yaitu:

1) Madrasah al-Falahiyah yang didirikan pada tahun 1949 oleh KH. Abdul Hadi Zahid, lembaga ini berada di pondok putra yang

10

(33)

25

terdiri dari dua tingkatan, yaitu MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Baru kemudian pada masa kepemimpinan KH. Abdullah Faqih berdiri tingkatan PAUD, RA, MA (Madrasah Aliyah), dan Tahassus.

2) Madrasah al-Mujibiyah yang didirikan pada tahun 1976 oleh KH. Abdullah Faqih, lembaga ini terletak di pondok putri bagian Barat yang juga terdiri atas beberapa tingkatan yaitu MI, MTs, MA, dan Tahassus.

3) Madrasah al-Roudhoh yang didirikan pada tahun 1982 oleh KH. Ahmad Marzuki, lembaga ini berada di pondok putri bagian Timur yang juga terdiri dari tingkat MI, MTs, MA, dan Tahassus.

Ketiga lembaga di atas memiliki kesamaan dan keserupaan hampir dalam semua aspek termasuk juga kurikulumnya, karena ketiganya beradah di bawah satu atap yaitu Pondok Pesantren Langitan. Sebagai penunjang dan pelengkap kegiatan yang berada di madrasah dan bersifat mengikat kepada semua peserta didik sebagai wahana mempercepat proses pemahaman terhadap disiplin ilmu yang diajarkan, maka Pondok Pesantren Langitan juga memberlakukan ekstrakulikuler yang meliputi:

1) Musyawaroh atau munadzoroh (diskusi)

(34)

26

dengan jumlah tertentu membentuk halaqoh yang dipimpin langsung oleh kiai atau ustadz, atau mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya.11

Kegiatan musyawaroh berlangsung setiap malam kecuali malam Rabo dan Jum’at. Metode ini dimaksudkan sebagai media bagi santri untuk menelaah, mamahami dan mendalami suatu topik atau masalah yang terdapat dalam masing-masing kitab kuning. 2) Muhafadhoh (hafalan)

Metode muhafadhoh atau hafalan adalah sebuah sistem yang identik dengan pendidikan tradisional termasuk juga pondok pesantren. Kegiatan ini juga bersifat mengikat kepada setiap peserta didik dan diadakan setiap malam selasa. Adapun standar kitab yang dijadikan obyek hafalan (muhafadhoh) menurut tingkatannya masing-masing adalah Alala, Ro’sun Sirah, Aqidah al-awam, Hidayah al-shibyan, Tashrif al Istilahi dan Lughowi,

Qowa’id al I’lal, Matan al-jurumiyah, Tuhfah al-athfal, Arba’in

al-nawawi,‘Imrithi, Maqshud, Idah al-farid, Alfiyah Ibnu Malik, Jawahir al-maknun, Sulam al-munawaroq danQowaid al-fiqhiyah.

11

(35)

27

Dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Langitan juga mendirikan lembaga TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) dan Madin (Madrasah Diniyah) yang sampai saat ini telah mempunyai beberapa cabang. Yang dimaksud cabang di sini adalah cabang yang mempunyai arti suatu usaha, lembaga, perkumpulan, kantor, dan sebagainya yang merupakan bagian dari satuan yang lebih besar.12 Adapun lembaga TPQ memiliki sebanyak 878 cabang yang tersebar di berbagai kota, seperti:

a. Tuban terdapat 222 cabang, yaitu di kecamatan Widang (39 TPQ), Kerek (13 TPQ), Palang (43 TPQ), Plumpang (34 TPQ), Rengel (35 TPQ), Tuban Kota (11 TPQ), Jenu (7 TPQ), Merak Urak (11 TPQ), Semanding (11 TPQ), Parengan dan Jatirogo (4 TPQ).

b. Lamongan terdapat 500 cabang, yaitu di kecamatan Babat (59 TPQ), Deket (14 TPQ), Kalitengah (18 TPQ), Karang Binangun (8 TPQ), Karanggeneng (13 TPQ), Kedungpring (56 TPQ), Kembangbahu (30 TPQ), Mantup (42 TPQ), Modo (45 TPQ), Ngimbang (38 TPQ), Pucuk (16 TPQ), Solokuro (22 TPQ), Sugio (53 TPQ), Sukodadi (10 TPQ), Turi (28 TPQ), Glagah (5 TPQ), Sekaran (8 TPQ), Maduran (4 TPQ), Lamongan Kota (13 TPQ), Laren (6 TPQ), Bluluk (5 TPQ), Paciran (7 TPQ).

12

(36)

28

c. Gresik terdapat 60 cabang, yaitu di kecamatan Dukun (10 TPQ), Manyar (14 TPQ), Menganti (26 TPQ), Cerme, Balong Panggang (10 TPQ).

d. Sidoarjo, Waru (8 TPQ).

e. Pasuruan dan sekitarnya terdapat 14 TPQ. f. Surabaya dan sekitarnya terdapat 10 TPQ. g. Jombang dan sekitarnya terdapat 6 TPQ. h. Jawa Tengah dan sekitarnya terdapat 19 TPQ.

i. Balen kabupaten Bojonegoro dan sekitarnya terdapat 37 TPQ. j. Luar Jawa terdapat 2 TPQ.

Ssedangkan lembaga MADIN (Madrasah Diniyah) yang sampai saat ini memiliki sebanyak 79 cabang, yang terdiri dari:

a. Lamongan terdapat 30 cabang, yaitu di Lamongan (1 Madin), Modo (23 Madin), Sekaran (1 Madin), Sugio (2 Madin), Sukodadi (1 Madin), Tikung (2 Madin).

b. Palembang terdapat 1 cabang Madin. c. Pasuruan terdapat 1 cabang Madin.

d. Tuban terdapat 46 cabang, yaitu di kecamatan Palang (1 Madin), Plumpang (33 Madin), Rengel (9 Madin), Widang (3 Madin).

(37)

29

Pondok Pesantren Langitan akan terus melakukan upaya perbaikan dan pembaharuan-pembaharuan khususnya dalam bidang pendidikan dan manajemen dengan berpegang teguh pada kaidah “al-Muhafadzotul Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” yaitu memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya-budaya-budaya baru yang lebih baik.13 Istilah memelihara hal-hal lama yang baik (al-muhafadzoh ‘ala al -qodim al-saleh) adalaha refleksi dari tradisi, sedang istilah mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-akhdu bi al-jadid al-aslah) adalah refleksi dari penerimaan modernisasi.14

C. Tujuan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban

Tujuan institusional pesantren yang lebih luas dengan tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam musyawaroh /lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren di Jakarta yang berlangsung pada 2 s/d 6 Mei 1978 bahwa tujuan umum pesantren adalah membina warga Negara berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta

13

Tim BPS Pondok Pesantren Langitan,Buku Penuntun Santri,33.

14

Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta:

(38)

30

menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan Negara.15

Begitu juga dengan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban akan dinilai masyarakat. Pesantren perlu mempunyai cara pandang yang ideal dengan penilaian masyarakat, sebab pendirian pesantren harus sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga membuat dampak yang positif dan baik pada masyarakat atau warga disekitar pesantren, maka dasar dan tujuan berdirinya Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban yaitu:

1. Visi:

Menyiapkan masa depan santri berkualitas yang kuat agamanya, luas ilmunya, dan mulia akhlaknya.

2. Missi:

a. Membina santri menjadi seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas (alim) yang bersedia mengamalkan ilmunya, rela berkorban dan berjuang dalam menegakkan syiar Islam.

b. Membina santri yang mempunyai kepribadian yang baik (sholeh) dan bertaqwa kepada Allah SWT serta bersedia menjalankan syari’atnya. c. Membina santri yang cakap dalam persoalan agama (kafi), yang dapat

menempatkan masalah agama pada proporsinya, dan bisa

15

(39)

31

memecahkan berbagai persoalan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.16

D. Aktifitas Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban

Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban dalam mengembangkan pesantren dan ajaran keagamaan Islam dalam lingkup lembaga pesantren ini benar-benar memberikan manfaat dan nilai hikmah Islam. Beberapa pengembangan pesantren baik secara fisik maupun kegiatan yang bersifat secara Islami. Dengan begitu terlihat jelas nilai keislaman pada corak pesantren sehingga pesantren dapat menjadi tempat bagi seorang santri untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban.

Dengan langkah seperti itu, maka Pondok Pesantren Langitan memberi sumbangsih pada masyarakat. Tidak lain pula kegiatan Pondok Pesantren Langitan menjadi sorotan bagi masyarakat sekitar pesantren. Tujuan adanya kegiatan di Pondok Pesantren Langitan agar para santri bisa belajar dalam mempraktikan keilmuannya dan intelektual pada kegiatan dalam pesantren sehingga apabila santri tersebut sudah lulus belajarnya, maka dapat memberikan nuansa baru di masyarakat.

16

(40)

32

Kegiatan-kegiatan yang ada di Pondok Pesantren Langitan merupakan kegiatan sebagai penunjang dan kemandirian santri, adapun kegiatan yang ada di pondok pesantren Langitan di antaranya yaitu:

1. Muhadoroh

Kegiatan santri ini merupakan kegiatan yang susunan acaranya seperti pengajian, yaitu pembukaan, pembacaan sholawat, dan ceramah. Kegiatan tersebut melibatkan santri untuk memberikan buah pikirannya lalu disampaikan kepada santri yang lain. Dengan cara seperti itu maka santri dapat mengambil hikmah apa yang disampaikan dalam acara tersebut.

Kegiatan muhadoroh ini dilakukan seminggu sekali pada setiap hari selasa malam rabo setelah kegiatan musyawaroh. Dengan kegiatan tersebut santri dapat belajar menjadi MC, bersolawat, dan ceramah, sehingga para santri memiliki bekal keberanian diri dengan kemampuan dakwah Islam, yaitu memaparkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tersirat maupun tersurat.17

2. Ro’an

Ro’an artinya yaitu kerja bakti atau gotong royong. Di pondok pesantren Langitan, semua santri harus mengikuti kegiatan ro’an setiap hari selasa dan jum’at pagi, yaitu mulai dari membersihkan kamar, merapikan perabotan, menyapu halaman sekitar lingkungan pondok,

17

(41)

33

menguras kamar mandi, membuang sampah dan lain-lain. Sebenarnya tidak hanya hanya husus dua hari itu saja, namun setiap hari santri juga harus selalu membersihkan dan merapikan apa saja yang ada di sekitar, oleh karena itu setiap kompleks diadakan jadwal menyapu halaman dan membersihkan kamar yang digilir setiap santri.

Selain itu ro’an juga bisa dijadikan istilah untuk segala bentuk pekerjaan yang dilakukan bersama-sama, mulai dari pembangunan, pembenahan, persiapan acara atau apa saja.

Tabel 2.2. Kegiatan santri sehari-hari.

Waktu Kegiatan Ekstra

04.00 - 05.00 WIS Bangun tidur, shalat tahajud, dan persiapan 05.00 - 05.30 WIS Jama’ah shalat subuh

05.30 - 06.30 WIS Pengajian weton pagi

06.30 - 08.00 WIS Sarapan, shalat dhuha, persipan sekolah

08.00 - 12.00 WIS Sekolah tingkat MTs dan Aliyah

12.00–13.00 WIS Istirahat

(42)

34

13.30–14.00 WIS Jama’ah shalat dhuhur 3. Tahfidzul Qur’an

4. Rebana

5. Memasak

6. Kerajinan

7. Menjahit

8. Komputer

9. Olahraga 14.00-16.30 WIS Sekolah tingkat MI

14.00–14.30 WIS Musyawaroh siang

14.30–16.00 WIS Belajar dan istirahat

16.00–16.30 WIS Persiapan shalat asar

16.30–17.00 WIS Jama’ah shalat asar

17.00–17.30 WIS Pengajian weton sore

17.30–18.00 WIS Persiapan shalat maghrib

18.00–18.30 WIS Jama’ah shalat maghrib

18.30–19.30 WIS Pengajian al-Qur’an

19.30–20.30 WIS Belajar

20.30–21.00 WIS Persiapan shalat isya’

21.00–21.30 WIS Jama’ah shalat isya’

21.30–22.30 WIS Musyawaroh malam

22.30–23.00 WIS Persiapan tidur

(43)

35

E. Peraturan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban

Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim, maka agar pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Langitan bisa lebih tertib dan sempurna dalam mewujudkan santri yang alim, sholeh/sholehah, dan cerdas, maka ditetapkan peraturan pondok pesantren yang diputuskan dalam sidang umum Majlis Permusyawaratan Santri (MPS) yang dilaksanakan setiap 2 tahun sekali. Adapun peraturan-peraturan tersebut terdiri dari lima pasal yaitu: 1. Pasal I : Kewajiban

a. Berakidah Islamiyah ‘ala Ahlis Sunnah wak Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i.

b. Taat kepada Masyayikh, menghormati a’wan dan keluarga.

c. Membayar iuran yang diwajibkan oleh pengurus pondok, kecuali yang dibebaskan dengan ketentuan dari pengurus.

d. Bersekolah dan bermusyawarah bagi santri yang masih dalam tingkatan sekolah, kecuali yang mendapatkan izin dari masyayikh. e. Kembali dan menetap di pondok bagi siswa lulusan aliyah minimal

satu tahun serta mengabdikan diri di kepengurusan pondok minimal satu periode.

f. Mengikuti pengajian musyawirin dan weton kepada masyayikh serta mengikuti progam pasca aliyah (tahassus) bagi santri musyawirin. g. Mengaji al-Quran bagi yang belum bisa membaca al-Quran dengan

(44)

36

h. Nderes, belajar kelompok dan mengaji setelah jama’ah shalat maghrib sampai dengan jam 20.15 Wis.

i. Mengikuti pengajian setelah subuh sesuai dengan tingkatan masing-masing.

j. Mengikuti pengajian masyayikh setelah jama’ah asar.

k. Shalat berjama’ah lima kali dan membaca aurad bersama masyayikh di tempat.

l. Melaksankan shalat sunnah rawatib muakkadah di tempat.

m. Mendapatkan surat izin dari keamanan bila hendak pulang atau pergi. n. Tidur pada pukul 23.00 Wis dan bangun pagi pukul 04.00 Wis. o. Menghormati tamu.

2. Pasal II : Keharusan

a. Sowan kepada majlis Masyayikh bila hendak pulang atau pergi sekira bermalam, terutama santri musyawirin, pengurus dan asatidz.

b. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata dan berpakaian yang sopan (sesuai dengan kepribadian santri).

c. Berbaju lengan panjang dan tidak bergambar serta berkopyah putih atau hitam (songkok nasional) ketika berjama’ah, mengaji, dan sowan kepada masyayikh.

d. Berbusana warna putih, bersongkok warna putih dan beralas kaki sandal ketika pergi shalat jama’ah.

(45)

37

f. Berangkat shalat jum’at selambat-lambatnya pukul 11.30 Wis. g. Mengikuti ro’an umum (kerja bakti).

h. Mengikuti kegiatan yang ada di pondok, sesuai dengan ketentuan jadwal.

i. Berada di pondok mulai pukul 18.00 Wis sampai pukul 07.00 Wis atau sampai selesainya kegiatan pagi.

j. Melaporkan kepada keamanan bila terjadi pelanggaran atau mengetahui orang yang mencurigakan.

k. Melaporkan kepada keamanan bila menerima tamu yang bermalam. l. Berbahasa Arab bagi semua santri pada hari-hari yang telah ditentukan

sesuai dengan kemampuan, khususnya yang berdomisili di Darut Tauhid.

m. Berdomisili di Darut Tauhid bagi siswa aliyah.

n. Memakai pakaian almamater serta bersongkok nasional jika pulang atau pergi.

3. Pasal III : Larangan-larangan

a. Melakukan segala larangan syari’at Islam khususnya larangan mencuri, menggasab, menipu, berkelahi, dan mengadakan ancaman. b. Menjalin hubungan dengan wanita bukan makhram.

c. Bermain dan berolah raga yang tidak mendapat restu dari masyayikh atau di luar waktu dan tempat yang ditentukan.

(46)

38

e. Bersuara keras atau bergurau terutama setelah pukul 23.00 Wis dan di waktu jama’ah atau pengajian sedang berlangsung.

f. Menemui santri putri di luar waktu dan tempat yang telah ditentukan. g. Masuk kamar lain tanpa seizin penghuninya atau setelah pukul 23.00

Wis.

h. Tidur di kamar lain, aula, atau mushola. i. Memasuki atau melewati pondok putri. j. Melewati jalur utara pondok putri. k. Berkeliaran di luar lingkungan pondok. l. Memasak setelah pukul 23.00

m. Memasak atau makan pada waktu jama’ah, jam belajar, ro’an umum, atau kegiatan lain sedang berlangsung.

n. Membeli jajan atau makan di warung setelah pukul 22.00 Wis. o. Makan di warung luar pondok.

p. Menyaksikan pertandingan, menonton TV, film, atau pertunjukan yang sejenis di pondok.

q. Pergi ke Babat selain hari jum’at pagi. r. Merokok di lingkungan atau di luar pondok.

s. Menyimpan radio, Tape Recorder dan sejenisnya, senjata tajam dan barang-barang terlarang.

(47)

39

u. Berambut dan berkuku panjang atau yang tidak sesuai dengan etika santri.

v. Bercengkrama atau mengobrol yang berlebihan. w. Berkeliaran di bantaran dan mandi di bengawan Solo. x. Mengikuti kegiatan di luar pondok tanpa seizing keamanan.

y. Memakai celana pondek, dua per tiga, tau celana yang dipotong khususnya pada waktu olah raga dan ro’an.

z. Memakai sajadah atau surban sebagai kerudung saat berangkat sholat jum’at.

aa. Kost/ ngontrak/ bajak bagi santri.

bb. Bepergian secara kolektif kecuali mendapat izin dari majlis masyayikh.

cc. Membeli Koran, majalah, dan bacaan-bacaan yang tidak layak dikonsumsi santri.

4. Pasal IV: Sanksi Pelanggaran

a. Pasal 1 ayat 1 : Sekali diperingatkan, dua kali dipulangkan. b. Pasal 1 ayat 2 & 15 : Sekali diperingatkan, dua kali dicukur, dan

menghafal.

(48)

40

d. Pasal 1 ayat 5 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali dinyatakan sebagai santri yang kurang berkelakuan baik dan disowankan.

e. Pasal 1 ayat 6-10 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali berjamaah di Masjid selama 1 Minggu dan dicukur.

f. Pasal 1 ayat 11 : Membuang sampah minimal 10 kali.

g. Pasal 1 ayat 12 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali mengikuti jama’ah di dalam Musholla.

h. Pasal 1 ayat 13 : Dicukur, disowankan kepada wali kelasnya dan dipanggil orang tuanya.

i. Pasal 1 ayat 14 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali membangunkan santri waktu Subuh selama 1 Minggu.

j. Pasal 2 ayat 1 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali membersihkan lingkungan pondok.

k. Pasal 2 ayat 2-6 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali membersihkan lingkungan dan dinyatakan sebagai santri santri yang tidak berkelakuan baik dan dicukur.

l. Pasal 2 ayat 7 : Membersihkan parit atau lingkungan pondok. m. Pasal 2 ayat 8-11 : Diperingatkan atau membersihkan parit.

(49)

41

o. Pasal 2 ayat 13 : Sekali dua kali diperingatkan, dan tiga kali disowankan.

p. Pasal 2 ayat 14 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali membersihkan lingkungan.

q. Pasal 3 ayat 1

17. 1. (mencuri) : Diusir (dipulangkan tidak terhormat), dicukur di halaman dan mengembalikan barang yang dicuri.

17. 2. (Menggasap/menipu) : Memberi ganti rugi kepada yang punya hak dan dicukur di halaman.

17. 3. (berkelahi/mengancam) : dicukur, diskors atau diusir. r. Pasal 3 ayat 2 : Dicukur, diskors atau dipulangkan.

s. Pasal 3 ayat 3 : membersihkan lingkungan atau di cukur.

t. Pasal 3 ayat 4 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali dikeluarkan dari pondok atau sanggup meninggalkan sekolah.

u. Pasal 3 ayat 5-15 : Sekali dua kali diperingatkan, tiga kali dicukur.

v. pasal 3 ayat 16 : Dicukur dan menghafal.

w. Pasal 3 ayat 17 : Membersihkan parit atau dicukur.

x. Pasal 3 ayat 18 : Disowankan kepada masyayokh dan didenda / dicukur / menghafal.

(50)

42

aa. Pasal 3 ayat 21, 23, 24, dan 26 : sekali dua kali diperingatkan, tiga kali dicukur atau membersihkan parit.

bb. Pasal 3 ayat 27 : Sekali diperingatkan, dua kali dicukur dan dipanggil orang tuanya.

cc. Pasal 3 ayat 28 : Dicukur atau menghafal.

dd. Pasal 3 ayat 29 : Sekali disita, dua kali disita dan dicukur.

(51)

43

BAB III

BIOGRAFI PENGASUH PONDOK PESANTREN LANGITAN WIDANG TUBAN

Sistem pemerintahan dalam pesantren adalah monarki absolute yaitu bentuk pemerintahan sebuah Negara yang dipimpin oleh seorang raja, ratu, syah, atau kaisar yang kekuasaannya tidak dibatasi.1 Bagitu juga dalam pesantren segala kebijakan berada di tangan kiai, segala apa yang di dawuhkan kiai tidak bisa diganggu gugat. Selain itu pelimpahan amanah kepengasuhan kepada keluarga kiai menjadi catatan tersendiri yang dipandang sebagai keniscayaan yang tidak mencerahkan. Sekalipun putra sang kiai tidak begitu berbakat menjadi pemimpin, tetapi ia masih tetap memiliki peluang besar untuk mewarisi kepemimpinan ayahnya.

Berbeda dengan sistem pemerintahan pada Pondok Pesantren Langitan, struktur pergantian pengasuh tidak sebagaimana pondok pesantren lainnya yang menggunakan system monarki absolute. Di Pondok Pesantren Langitan sistem pergantian pengasuh ini tidak harus dipegang oleh keturunan yang bersifat vertikal. Akan tetapi, penerus dipilih dari anggota keluarga yang alim, luas pengetahuannya, dan berbakat mejadi pemimpin.

1

(52)

44

Silsilah kepengasuhan di Pondok Pesantren Langitan yaitu pertama didirikan oleh KH. Muhammad Nur, setelah ia wafat digantikan oleh anaknya yang bernama KH. Ahmad Sholeh. Kemudian setelah KH. Ahmad Sholeh wafat diterukan oleh menantunya yang bernama KH. Ahmad Khozin, setelah itu dilanjutkan oleh menantunya yang bernama KH. Abdul Hadi Zahid, kemudian setelah ia wafat dilanjutkan lagi oleh KH. Ahmad Marzuki Zahid yaitu adik KH. Abdul Hadi dan dibantu oleh KH. Abdullah Faqih yang merupakan keponakan dan anak angkat KH. Abdul Hadi. Dari sini dapat dilihat bahwa struktur pergantian pengasuh tidak harus bersifat vertikal, namun bisa turun pada menantu, kemudian dari menantu turun pada menantu, bahkan bisa digantikan oleh keponakan, dikarenakan mereka melihat dari keilmuan yang ada dalam diri keluarga mereka.

A. KH. Muhammad Nur

Hadratussyekh KH. Muhammad Nur adalah pendiri pertama Pondok Pesantren Langitan. Ia adalah keturunan seorang kiai dari Desa Tuyuhan Kabupaten Rembang Jawa Tengah, dan jika dirunut lebih ke atas lagi maka ia juga termasuk keturunan Mbah Abdurrahman, Pangeran Sambo. Ia mengasuh Pondok Pesantren Langitan ini selama kurang lebih 18 tahun (1852-1870 M.).2

Cita-cita luhur dan semangatnya dalam membidangi berdirinya pesantren ini cukup membuahkan hasil yang signifikan, terbukti dengan tampilnya

2

Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri (Tuban: Majlis Idaroh Ammah Putra

(53)

45

putrinya dalam mengemban amanat sekaligus menjadi pemimpin umat. Ia wafat pada Hari Senin, 30 Jumadil Ula 1297 H. dan dimakamkan di komplek pesarehan Sunan Bejagung Lor Tuban.

B. KH. Muhammad Sholeh

KH. Ahmad Sholeh adalah pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi kedua, ia adalah putra kedua dari sembilan bersaudara putra-putri KH. Muhammad Nur. Pendidikan KH. Ahmad Sholeh selain mengaji kepada ayahanya sendiri, ia juga belajar kepada H. Abdul Qohhar Sidoresmo Surabaya dan belajar di pondok Sembilangan Madura di bawah asuhan KH. Hasbullah. Selain itu ia juga sempat melakukan studi (tabarrukkan) kepada beberapa ulama besar di Masjidil Haram, di antaranya adalah Syeh Ahmad Zaini Dahlan saat beliau menunaikan ibadah haji Ke Mekkah pada tahun 1289 H.3

Menurut Abdul Wahid Hasyim, KH. Ahmad Sholeh belum diketahhui kapan tahun kelahirannya. Pada tahun 1287 H, ia menikah dengan Raden Nyai Asriyah, putri KH. Mukhtar, pengasuh Pesantren Cepoko Nganjuk. Setelah berkeluarga ia mempunyai beberapa putra dan putri yaitu:

1. Nyai Shofiyah yang dinikahkan dengan KH. Khozin 2. H. Dahlan.Hasbullah.

3. K. Adnan

4. Nyai Sholihah yang dinikahkan dengan Kiai Zainuddin Mojosari.

3

(54)

46

5. Nyai Khodiyah yang dinikahkan dengan Kiai Rofi’I Gondanglegi Kediri.

Menurut sumber tertulis, KH. Ahmad Sholeh mempunyai seorang putri lagi yang dinikahkan dengan Nur Iman ng berdomisili di Tuban, dan mempunyai anak yang bernama Abdul Hayyi.4

KH. Ahmad Sholeh diangkat menjadi pengasuh Pondok Pesantren Langitan pada tahun 1870 M. Ia mengembangkan pesantren ini kurang lebih 32 tahun (1870-1902 M.). Ia wafat pada tahun 1320 H bertepatan dengan tahun 1902 M, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Mandungan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban, kurang lebih 400 meter sebelah Utara lokasi Pondok Pesantren Langitan.

C. KH. Ahmad Khozin

KH. Muhammad Khozin adalah pengasuh Pondok Pesantren Langitan periode ketiga, yang tak lain adalah menantu KH.Ahmad Sholeh, yaitu putra KH. Shihabuddin Rengel Tuban.

Selain belajar di Pondok Pesantren Langitan, ia juga pernah belajar di Pondok Pesantren Kademangan di bawah asuhan KH. Mohammad Kholil Bangkalan, selama dua tahun.5 Kemudian pada tahun 1894 M, ia menikah dengan putri KH. Ahmad Sholeh, yang bernama Ning Shofiyah dan sejak itu ia mulai

4

Masyhudi, “Manuskrip “Nazham Nashi Hun” Abad XIX Koleksi Kiai Haji Ahmad Shalih dari

Pondok Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur” (Laporan Penelitian Individual, Surabaya, 2004), 14.

5

(55)

47

aktif mengajar hingga menerima tugas mulia yaitu memimpin dan mengasuh pesantren setelah ayah mertuanya wafat pada tahun 1320 H./1902 M.

Pada tahun 1904 M, ia pergi menunaikan rukun Islam kelima yaitu ibadah haji ke Makkah Al Mukarramah. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh KH. Ahmad Khozin untuk mengaji (tabarrukan) kepada Syeh Makhfudz Al-Termasi dan beberapa masyayekh lain di Masjid Al Haram.

Pada tahun 1340 H/1921 M KH. Ahmad Khozin telah wafat dan dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Mandungan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban. Ia mengasuh dan mengembangkan pesantren ini selama kurang lebih sembilan belas tahun (1902-1921 M).6

D. KH. Abdul Hadi Zahid

KH. Abdul Hadi Zahid adalah menantu dari KH. Ahmad Khozin, dan merupakan pengasuh pondok pesantren Langitan generasi keempat. Ia di lahirkan di Desa Kauman Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan pada tanggal 17

Rabi’ul Awwal 1309 H.7 KH. Abdul Hadi Zahid adalah putra pertama dari pasangan KH. Zahid dengan Nyai ‘Alimah. Sejak berusia sebelas tahun ia sudah

mulai belajar di Pondok Pesantren Langitan hingga usia sembilan belas tahun, dan atas saran KH. Muhammad Khozin ia melanjutkan studi di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Kholil selama tiga tahun.

6

Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri, 46.

(56)

48

Pada usia 23 tahun, ia belajar di Pesantren Jamsaren Solo yang di asuhan oleh KH. Idris.

Setelah itu KH. Abdul Hadi Zahid kembali lagi nyantri di Pondok Pesantren Langitan hingga pada usia 25 tahun, kemudian ia diambil menantu oleh KH. Muhammad Khozin, dinikahkan dengan putrinya yang bernama Ning Juwairiyah. Pada usia yang relatif muda, yaitu pada usia 30 tahun tapatnya pada tahun 1921 M. ia sudah menerima tugas berat sebagai pengasuh Pondok Pesantren Langitan. Selama mengasuh pondok pesantren, ia selalu berpesan kepada para santrinya agar setidak-tidaknya para santri harus mondok selama 6 tahun.

KH. Abdul Hadi Zahid adalah seorang ulama yang bertipikal sangat disiplin waktu dan terkenal keistiqomahannya, terlebih dalam hal sholat berjamaah. Sebagaimana yang diceritakan oleh KH. M. Ihya’ Ulumuddin

(seorang alumni ponpes Langitan dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Malang) bahwa, dia dan para santri yang lain yang bertugas jaga malam, ketika mendengar suara kriek dari pintu belakang rumah yang terbuat dari bambu karena KH. Abdul Hadi keluar untuk mengambil air wudlu itu menunjukkan jam yang tepat kira-kira jam 2 malam.8

8

(57)

49

KH. Abdul Hadi Zahid mengasuh pondok pesantren selama kurang lebih 50 tahun, ia pulang ke rahmatullah pada tanggal 9 Shofar 1391 H atau bertepatan pada tanggal 5 April 1971 M.

E. KH. Ahmad Marzuki Zahid

`KH. Ahmad Marzuki Zahid dilahirkan di Desan Kauman Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan pada hari kamis pon tanggal 22 Jumadil Ula tahun 1327 H, yang bertepatan pada tanggal 10 Juni 1909 M.9 Ia adalah putra ke

Sembilan dari KH. Zahid dan Nyai ‘Alimah dari sebelas bersaudara, yang berarti

juga ia adalah adik dari KH. Abdul Hadi Zahid.

Sejak kecil KH. Ahmad Marzuki telah mempelajari tentang dasar-dasar agama, karena sejak balita ia bersama saudara-saudaranya hidup dalam lingkungan yang relegius di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Ketika berusia 10 tahun, ia mulai melanjutkan studi dan memperdalam pengetahuan agama di Pondok Pesantren Langitan di bawah asuhan KH. Abdul Hadi yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Ia mendalami agama dan meningkatkan kemampuan intelektualnya di Pondok Pesantren Langitan selama 10 tahun dengan tekun dan sabar. Selain belajar di Pondok Pesantren Langitan ia juga kadang-kadang mengikuti pengajian di Pondok Pesantren Tebuireng di bawah bimbingan ulama’

9

(58)

50

besar KH. Hasyim Asy’ari, dan beliau juga bernah mendalami ilmu seni kaligrafi

kepada KH. Basuni di Blitar Jawa Timur.10

KH. Ahmad Marzuki adalah sosok yang pekerja keras, ketika masih muda ia suka sekali mencangkul di sawah meskipun sudah memiliki banyak abdi ndalem, tidak jarang pula beliau mencuci sendiri. Cirri khas KH. Ahmad Marzuki yang cukup populer di kalangan santri adalah ia tidak mau memakai pengeras suara ketika mengaji. Ia berprinsip demikian ini karena didorong oleh keinginan supaya para santri kalau mengaji tertuntut untuk lebih mendekat kepada kiai dan melipat gandakan konsentrasinya.11

Karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam bidang pengetahuan agama, ia mendapat amanat dari KH. Abdul Hadi Zahid untuk mengajar di Pondok Pesantren Langitan. Selain memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama yang luas ia juga mempunyai banyak pengetahuan tentang dasar managemen organisasi sehingga pada tahun 1944 M. ia mendapat kepercayaan menjadi ro’is Am di Pondok Pesantren Langitan. Ia melaksanakan tugasnya dengan penuh ketekunan, kesabaran dan konsisten. Kemudian ketika KH. Ahmad Marzuki berumur 36 tahun, ia dinikahkan dengan Ning Halimah putri KH. Zaini Pambon Brondong Lamongan yang termasuk juga putra menantu KH. Muhammad Khozin.

10

Langitan Net, “KH. Ahmad Marzuki Zahid”, dalam http:/www.KH.Ahmad Sholeh Pondok Pesantren

Langitan.htm (14 Oktober 2015).

11

(59)

51

KH. Ahmad Marzuki Zahid bersama Nyai Halimah dikaruniai sembilan putra-putri yang kelak menjadi penerus perjuangan ayah ibundanya dalam menegakkan panji-panji Islam. Kesembilan putra-putrinya adalah:

1. Ning Khahifah (meninggal dalam usia muda)

2. Ning Muflihah (diperistri oleh KH. Dimyati Romli, PP. Darul Ulum Jombang)

3. KH. Abdullah Munif (beristrikan Ning Qurratul Ishaqiyyah, Surabaya) 4. Ibu Nyai Hj. Faizah (istri KH. Sholeh Badawi, Langitan)

5. KH. Muhammad Ali (beristrikan Ning ‘Aisyah, Surabaya) 6. Ning Mahmudah (dipersunting oleh KH. Basthomi, Nganjuk) 7. Ning Nihayatus Sa’adah (istri oleh Agus A’la Bashir, Madura)

8. Ning Shofiyah (istri Agus JJ. Abdul Razaq, Sumedang Jawa Barat) 9. Ning Masrurah (istri Ust. Miftahul Munir, Manyar Gresik)

(60)

52

dunia perpolitikan dengan menjadi anggota DPR Kabupaten Tuban hasil pemilu tahun 1955 dengan membawa bendera Nahdlotul Ulama (NU).12

Kemudian pada tahun 1971 KH. Ahmad Marzuki Zahid menjadi pengasuh Pondok Pesantren Langitan yang di bantu oleh KH. Abdullah Faqih. Cita-cita dan harapan para pengasuh pendahulu Pondok Pesantren Langitan diterjemahkan dengan baik dan penuh kearifan oleh KH. Ahmad Marzuqi Zahid bersama KH. Abdullah Faqih. Kerjasama yang sinergis antar keduanya dalam memimpin roda kepengasuhan Pondok Pesantren Langitan telah banyak membuahkan hasil yang signifikan. Seperti kebijakan baru di bidang pendidikan dan ketrampilan berupa pelajaran Manhaj Tadris, pembentukan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, administrasi dan manajemen, diklat jurnalistik, pertanian dan peternakan, pendirian Taman Kanak-kanak (TK) dan Taman Peldidikan Al Quran (TPQ), dan lain- lain

Tepat pada tanggal 6 Juni 1992 M, Nyai Halimah kembali ke rahmatullah. Setelah dua tahun sepeninggal Nyai Halimah, tepatnya pada tanggal 7 April 1994 M. KH. Ahmad Marzuqi Zahid menikah lagi dengan Nyai Sholihah dari Desa Manyar Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan, yang mendampingi hingga

akhir hayatnya. Kemudian tepat pada hari Sabtu 21 Rabi’ul Awwal 1421 H. atau

bertepatan dengan tanggal 24 Juni 2000 M. KH. Ahmad Marzuqi Zahid berpulang ke rahmatullah, ketika itu ia berumur 91 tahun, setelah mengasuh Pondok

12

(61)

53

Pesantren Langitan selama kurang lebih 29 tahun (1971 -2000 M). Sehingga roda kepemimpinan dilanjutkan oleh KH. Abdullah Faqih.13

F. KH. Abdullah Faqih 1. Genealogi

KH. Abdullah Faqih dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1932 M atau tepat 1 Muharram 1351 H pada hari Sabtu di Desa Mandungan, Widang, Tuban, Jawa Timur.14Ayahnya bernama KH. Rofi’i yang merupakan adik dari KH. Abdul

Hadi Zahid, dan ibunya bernama Nyai Khodijah, saudaranya bernama Khozin dan Hamim. Sejak kecil ia bersama saudara-saudaranya berada di lingkungan religious karena berada dalam asuhan KH. Abdul Hadi Zahid yang mana

ketika itu KH. Rofi’i wafat disaat KH. Abdullah Faqih masih kecil.

2. Masa Pendidikan

Dengan berjalannya waktu, semakin lama watak dan karakter dari ketiga saudara ini yaitu Abdullah Faqih, Khozin, dan Hamim sudah mengalami perbedaan, yaitu Abdullah Faqih dan Hamim muda senang bergelut dengan kitab-kitab keagamaan sementara Khozin muda senang bepergian.

KH. Abdullah Faqih sejak kecil belajar kepada ayahnya yaitu sendiri KH. Abdul Hadi Zahid. Selain belajar kepada ayahnya, ia juga mondok di beberapa tempat untuk mencari ilmu dan kalam hikmah. Namun ia hanya

13

Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri, 52.

14

Hasyim dan Sholeh, Potret dan Teladan Syaikhina KH. Abdullah Faqih (Tuban: Kakilangit Book,

(62)

54

mondok selama tidak lebih 4 tahun, dalam suatu kesempatan ia pernah bercerita “di Lasem mondok dua setengah tahun, di Senori Enam bulan,

setelah itu satu bulan pindah ke pesantren lain, total semuanya tidak lebih dari

empat tahun”.15

Meskipun Abdullah Faqih mondok hanya tidak lebih dari empat tahun, namun keteguhannya dalam menuntut ilmu sangat luar biasa. Tidak hanya dengan membaca dan belajar dengan giat, namun ia juga menggunakan dasar batin yaitu dengan tirakat dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ia pernah menceritakan keadaannya ketika beliau mondok kepada para santri, ia bercerita “saya belajar di Lasem kurang lebih selama dua setengah tahun,

kebanyakan bekal teman-teman saat itu bisa dapat 24-40 kg beras, tapi bekal saya hanya dapat dibelikan 6 kg beras. Saya tidak pernah meminta tambahan kiriman (uang saku). Saya niati tirakat, meski awalnya terpaksa. Makan ketela saja pernah. Sementara yang paling sering sehari makan nasi ketan satu lepek dan kopi satu cangkir. Bahkan pernah dalam bulan Ramadhan tidak sahur dan buka, tapi cuma minum sebanyak-banyaknya”.16

Selama di Lasem Jawa Tengah ia belajar kepada beberapa kiai, di

antaranya yaitu KH. Baidhowi, KH. Ma’sum, KH. Fathurrohman, KH.

Maftuhin, KH. Mansur, dan KH. Masdhuqi. Sementara di Bangilan beliau

15

Tim BPS Pondok Pesantren Langitan, Buku Penuntun Santri, 53.

16

(63)

55

belajar kepada para kiai yang salah satunya adalah KH. Fadhol. Kemudian ia melanjutkan menuntut ilmu ke beberapa pesantren untuk bertabaruk di antaranya yaitu di Watu Congol, Magelang yang diasuh oleh KH. Dalhar dan belajar kepada Abuya Dimyathi Pandeglang, Banten.

Dari para ulama yang tersebut di atas, yang termasuk guru utama KH. Abdullah Faqih adalah KH. Ma’sum dan KH. Fadhol Senori. Mereka berdua merupakan tokoh yang penting dalam pembentukan karakter KH. Abdullah Faqih.

3. Masa Pernikahan

Selama KH. Abdullah Faqih mondok di Lasem, KH. Ma’sum memiliki

perhatian yang khusus kepada KH. Abdullah Faqih. Sehingga ia dipinang oleh

KH. Ma’sum untuk dinikahkan dengan keponakannya yang termasuk juga

putri rodha’ KH. Ma’sum yang bernama Nyai Hunainah. Mendapat lamaran

dari sang kiai, ia tidak langsung menerima, ia pulang ke Langitan dan

kemudian mendapat dawuh dari ayahnya “ojo pilih-pilih tebu, manuto opo

seng didawuhno kiaimu”. Baru setelah itu ia mantap menerima pinangang

KH. Ma’sum.17

17

(64)

56

KH. Abdullah Faqih dan Nyai Hunainah dikaruniai dua belas putra dan putri yang kelak akan menjadi penerus perjuangan Pondok Pesantren Langitan. Adapun ke dua belas putra putri KH. Abdullah Faqih adalah:18

a. KH. Ubaidillah Faqih

b. Agus Rofiq (meninggal saat masih kecil) c. KH. Muhammad Faqih

d. Agus Mujab Faqih (almarhum)

e. Agus Mujib Faqih (meninggal saat studi di Makkah al-Mukarromah) f. Ning Hanifah Faqih

g. KH. Abdullah Habib Faqih h. Ning Salamah Faqih i. KH. Abdurrohman Faqih

j. Ning Zaimah (meninggal saat masih kecil) k. Agus H. Ma’sum Faqih

l. Ning Hj. Amiroh Faqih 4. Karir

Setelah KH. Abdullah Faqih kembali ke Langitan dengan memboyong keluarganya, ia langsung ikut mengabdi ke Pesantren Langitan. Ia aktif mengajar dan mulai ikut menata keberadaan pondok. Pada saat ia mengabdi,

18

(65)

57

ia pernah menjadi lurah pondok dan banyak memberikan warna dalam pemikiran serta pengembangan pesantren.

KH. Abdullah Faqih dikenal sangat disiplin, rajin, dan tertib, ia biasanya terjun langsung ke kamar-kamar asrama untuk mengajak belajar, musyawaroh, dan shalat malam. Begitu juga dengan masalah kebersihan, ia sangat perhatian terhadap kebersihan lingkungan ponndok.

Selain mengabdi pada pondok pesantren, ia juga sering diutus oleh KH. Abdul Hadi untuk berdakwah keluar dengan mengisi pengajian-pengajian agama kepada masyarakat. Cara dakwah KH. Abdullah Faqih sangat disukai oleh masyarakat karena bahasa yang dipakainya berdakwah sangat santun dan berisi. Setelah beberapa tahun, nama KH. Abdullah Faqih semakin berkibar di atas mimbar dan dikenal di kalangan luas. Sehingga pada tahun 1971 ia diangkat menjadi pengasuh Pondok Pesantren Langitan setelah ayahnya wafat. Setelah itu ia lebih banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya di Pondok Pesantren Langitan, ia hampir tidak pernah lagi menerima undangan pidato kecuali pada acara-acara penting dan berada di luar jam mengajar di pesantren.

Gambar

Tabel 2.1. Daftar santri setiap tahun.
Tabel 2.2. Kegiatan santri sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

(3) perkembangan Pondok Pesantren Darut Tauhid dapat dilihat dari segi pendidikan yang dulunya hanya pendidikan non formal kini berkembang dengan adanya pendidikan

(2) Berkembangnya agama Islam di desa Sendang Senori Tuban tidak lepas dari peran KH Munawwar, dengan ketekunan beliau mengembangkan agama Islam melalui pondok

HENDRAWAN HARI WIJAYA. Perkembangan Pondok Pesantren Al Ukhuwah Sukoharjo tahun 2002-2012. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas

yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan, sehingga disertasi yang berjudul "Konsep dan Praktik Pendidikan Abdullah Said dalam Mengembangkan Pondok

Apakah peranan Pondok Pesantren Jamiatul Ikhasniah Mukhatriyah Ambai, pondok pesantren Nurul Haq Semurup, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kayu Aro dan Pondok

Abdullah Zawawi Izhom dalam penyebaran Islam juga cukup signifikan, dan selama ini belum ada penelitian yang membahas tentang peran beliau dalam penyebaran agama Islam di

Ahmad Wasik Masykur, 2016 : Implementasi Kepembinaan KH. Itsbat Abdullah terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nurul Imam Randuagung Sumberjambe Jember. Akhlak

Implikasi Rekontruksi Kurikulum Pondok Pesantren Al-Anwar 2 Sarang dan Mansya’ul Huda 2 Senori dalam Menghadapi Era Milenial Beberapa gambaran tentang pondok pesantren Al-Anwar 2