• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

i

TANAH PERTANIAN

SKRIPSI

Oleh

M. Kholilur Rachman NIM: C02212063

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah)

Surabaya

(2)

ii

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Kholilur Rachman

NIM : C02212063

Fakultas/Jurusan/Prodi : Syariah dan Hukum/Hukum Perdata Islam/Muamalah Judul Skripsi : Studi Komparasi Hukum Islam dan Kitab Undang

Undang Hukum Perdata Terhadap Sewa Menyewa Tanah Pertanian

Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Surabaya, 03 Agustus 2016 Saya yang menyatakan,

(3)

iii

Skripsi yang telah ditulis oleh M. Kholilur Rachman NIM. C02212063 ini telah

diperiksa dan disetujui untuk dimunaqosahkan.

Surabaya, 03 Agustus 2016

Pembimbing,

Dr. Sri Warjiyati, S.H., M.H

(4)

iv

dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Islam UIN Sunan Ampel pada hari Selasa, tanggal 16 Agustus 2016, dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam Ilmu Syari'ah.

Majelis Munaqasah Skripsi:

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sri Warjiyati, S.H., M.H. Dr. H. Abd. Salam, M.Ag.

NIP. 196808262005012001 NIP. 195708171985031001

Penguji III, Penguji IV,

Dr. H. Darmawan, S.HI., M.HI. Saoki, M.HI.

NIP. 198004102005011004 NIP. 197404042007101004

Surabaya, 19 Agustus 2016 Mengesahkan,

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Dekan,

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : M. Kholilur Rachman

NIM : C02212063

Fakultas/Jurusan : Syariah dan Hukum/Hukum Perdata Islam

E-mail address : kholilurrachmanMKR@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Skripsi Tesis Desertasi Lain-lain (………)

yang berjudul :

STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

TERHADAP SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih - media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya,

Penulis

( M. Kholilur Rachman )

PERPUSTAKAAN

(6)

vii ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian komparatif untuk menjawab pertanyaan Bagaimana Perbedaan dan Persamaan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang Hukum Perdata Terhadap Sewa Menyewa Tanah Pertanian, Bagaimana analisis persamaan dan perbedaan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang Hukum Perdata Terhadap Sewa Menyewa Tanah Pertanian.

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti merupakan penelitian pustaka, penelitian ini dilakukan dengan cara teknik membaca, menelaah, dan mengkaji sumber kepustakaan, berupa data sekunder yang relevan dengan pembahasan skripsi ini. Data penelitian dihimpun melalui Metode dokumenter yaitu dengan cara membaca, mencatat, dan mengumpulkan dokumen dari beberapa dokumen undang-undang serta pendapat para ulama dan pakar hukum Islam yang telah dibukukan yang berhubungan dengan hukum sewa tanah pertanian, yang kemudian dari pengumpulan data tersebut akan dibahas dan kemudian dilakukan analisis secara komparatif dan kualitatif, Kedua metode ini digunakan untuk menemukan kesimpulan dari persamaan dan perbedaan kedua hukum tersebut.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persamaan antara hukum Islam terdapat pada suatu keumuman diperbolehkannya sewa, kecakapan hukum dan kepemilikan, asas kewajiban mengusahakan sendiri tanah pertanian, kejelasan harga sewa dan waktu pembayaran, dan penyelesaian sengketa. Sedangkan perbedaan antara kedua hukum tersebut terletak pada beberapa ketentuan, antara lain tentang diperbolehkannya sewa tanah pertanian, penggantian kerugian dalam sewa tanah pertanian, akibat hukum dari perjanjian atau akad sewa tanah pertanian, dan yang terakhir mengenai alternatif sewa tanah pertanian yang dianjurkan dan untuk selain pertanian.

(7)

x DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN DALAM HUKUM ISLAM ... 18

A. Pengertian Ijarah (Sewa Menyewa) ... 18

B. Dasar Hukum Sewa Menyewa ... 19

C. Syarat, Rukun, dan Ketentuan Sewa Menyewa ... 22

D. Berakhirnya Akad Ijarah (Sewa Menyewa) ... 28

(8)

xi

BAB III SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN DALAM KITAB

UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN PERATURAN

LAINNYA YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 37

A. Definisi Sewa Menyewa ... 37

B. Ketentuan Dalam Sewa Menyewa ... 38

C. Hukum Sewa Menyewa Tanah Pertanian ... 41

D. Hubungan Landreform dalam Sewa Tanah Pertanian ... 47

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DALAM HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DALAM MENGATUR SEWA MENYEWA TANAH ... 51

A. Persaman antara Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam Mengatur Sewa Menyewa Tanah Pertanian ... 51

B. Perbedaan antara Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam Mengatur Sewa Menyewa Tanah Pertanian ... 56

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya setiap kegiatan muamalah hukumnya diperbolehkan.

Hal ini berdasarkan beberapa kaidah fiqih yang berbunyi:

مُلْصَْأَر

م

مِ

م

مِ َيْشَأر

م

مُ َحَِِإر

م

مَِح

م

موُدَ

مُلْيِادار

م

َلَ

م

مِِْْ ْحتار

Artinya: Asal dari muamalah hukumnya adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengaharamkannya.1

Maksudnya adalah setiap kegiatan muamalah itu boleh dilakukan,

selama tidak ada dalil-dalil yang mengharamkan ataupun yang

memakruhkannya. Hal ini dapat diambil contoh dalam kaidah fiqih lainnya

yang berbunyi:

مُزْ َُُ ََ

َِأ

مِ ِ ْذِإم ََِبمِهِْ َغمِكْلِمم ِيمَفَ َصَتََ مْ َأمِدَح

Artinya: Tidak boleh seseorang melakukan perbuatan atau tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya2.

Maksud dari dalil tersebut adalah melakukan kegiatan muamalah yang

asalnya memiliki hukum mubah menjadi tidak diperbolehkan atau

diharamkan karena ada dalil yang menyebutkan salah satu hal yang

mengharamkan, yaitu mengerjakan perbuatan hukum atas milik orang lain

tanpa seizin pemiliknya bisa disebut juga tanpa melakukan akad terlebih

dahulu.

1

Hj. Mohd Qary Al-Tantawy Mesry Al-Kelantani, Qawaid Fiqhiyah, (Mesir: Persekutuan Melayu Republik Arab Mesir, 2003), 30.

2 Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

(10)

Sebagai contoh yang mudah dalam jual beli, seseorang menjual bunga

milik tetangganya tanpa melakukan akad kerjasama apapun atau tanpa seizin

pemiliknya. Contoh tersebut terdapat salah satu kegiatan muamalah yaitu

jual beli yang pada dasarnya hukum jual beli tersebut sebagaimana kaidah

fiqih yang disebut di atas adalah diperbolehkan, namun jika kegiatan

tersebut dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan yang diharamkan maka

hukumnya menjadi haram.

Salah satu kegiatan muamalah lainnya selain yang telah disebut di atas

yaitu sewa menyewa. Selama sewa menyewa itu dilakukan berdasarkan

syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan, maka hukumnya mubah.

Kegiatan sewa menyewa hampir menyerupai dengan jual beli, yang

berbeda di sini adalah pada pemindahan kepemilikan bendanya, dalam jual

beli benda yang telah dibeli dapat berpindah kepemilikannya pada si pembeli

sedangkan dalam sewa menyewa hanya berpindah manfaat benda yang

disewa selama yang menyewa membayarkan ujrah-nya kepada pemilik benda

tersebut.

Sewa menyewa dapat dilakukan terhadap benda bergerak maupun yang

tidak bergerak, seperti kendaraan, bangunan, tanah, dan lain sebagainya. Hal

ini sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata yang

tertuang dalam buku tiga tentang perikatan pada bab VII tentang sewa

menyewa pasal 1548 yaitu:

“Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu

(11)

yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang

bergerak”.3

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa semua jenis barang dapat

disewakan baik yang tetap (tidak bergerak) maupun yang bergerak, selama

pihak yang menyewa menyanggupi pembayaran harga barang yang

disewakan tersebut.

Sedangkan dalam Islam sewa menyewa disebut dengan istilah ijarah

yang sekarang ini telah banyak dipraktikkan di lembaga-lembaga keuangan

khususnya yang berlabel syariah. Namun tidak menutup kemungkinan di

dalam masyarakat juga banyak terjadi kegiatan sewa menyewa seperti yang

kita ketahui bersama menyewa kos-kosan atau kontrakan yang obyeknya

salah satu benda tidak bergerak.

Salah satu benda yang memiliki potensi untuk disewakan adalah benda

yang tidak bergerak, seperti contoh yang disebut diatas. Selain itu juga ada

berupa tanah yang dapat disewakan untuk kegiatan usaha seperti untuk

membuka usaha dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan dengan

membuka budidaya ikan air tawar, dan lain sebagainya. Dari hasil usaha

tersebut dapat diperoleh keuntungan yang sebagaiannya untuk pembayaran

sewa (ujrah) dan sebagian lagi untuk pihak penyewa sebagai keuntungan

bersihnya.

3

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya

(12)

Dalam kitab undang-undang hukum perdata terdapat aturan khusus

yang mengatur tentang sewa atas tanah, bagian 4 tentang aturan khusus

berlaku bagi sewa tanah, terdapat dalam buku ketiga tentang perikatan pada

bab VII tentang sewa menyewa, salah satunya terdapat dalam pasal 1589

kurang lebih membahas kewajiban pihak penyewa, yang bunyinya:

“Jika penyewa tanah tidak melengkapi tanah itu dengan ternak atau peralatan pertanian yang diperlukan untuk pengembalian atau penanaman; jika ía berhenti melakukan pengembalian atau penanaman. atau dalam hal itu tidak berlaku sebagai kepala rumah tangga yang baik, jika ia memakai barang yang disewa untuk suatu tujuan yang lain dengan tujuan yang dimaksudkan atau, pada umumnya, jika ia tidak memenuhi janji-janji yang dibuat dalam persetujuan sewa dan karena itu timbul suatu kerugian bagi pihak yang menyewakan. Maka pihak itu berhak untuk menuntut pembatalan sewa menurut keadaan, serta

penggantian biaya, kerugian dan bunga”.4

Maksudnya adalah jika pihak penyewa tidak melakukan sebagaimana

mestinya dalam perjanjian sewa, semisal dalam perjanjian pihak penyewa

akan menggunakan tanah untuk usaha jual beli namun pihak penyewa

menggunakannya untuk pertanian, jika hal ini merugikan pihak penyewa

maka pihak penyewa dapat membatalkan perjanjian sewanya, artinya pihak

penyewa telah melalaikan kewajibannya terhadap benda yang disewakan

kepadanya.

Kembali kepada hukum Islam mengenai hukum menyewakan tanah

pertanian, yang termasuk salah satu benda yang tidak bergerak, dalam kitab

undang-undang hukum perdata termasuk barang yang tetap, yang artinya

dapat dipersewakan.

4

(13)

Dalam hukum Islam menyewakan tanah pertanian lahan pertanian,

hukumnya mutlak dilarang, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw

yang terdapat di dalam hadith yang terdapat dalam s}ah}i>h} Bukhari:

مِ َبْ ََتم ُبَأمُعِفَ مْ ِبمُعْيِب ارمَو َ َ

م:

مَيضَرمَة ْ َ ُميأمْ َ ماَ َ ْلَ ميَأمْ مايَحمْ َ ماَ َ ِ َ ُمم َلََثدَح

مو م ل م

م:

مو

م:

ممل م يل م م لصم مو رمو

م:

ُُ

مْ َأما َ ْ َرْ ََيْلََفمٌضْرَأمُ َامْتَ َ مْ َمم

مُ َضْرَأمْكِسْ ُيْلََفم َ َأمْ ِإَفماُه َخَأم َ ْحَلْ َيِا

م

ََ 5

“Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau

hendaknya diberikan kepada saudaranya, apabila dia mengabaikannya, maka

hendaknya tanahnya diambil”.6

Dan di dalam sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud

dari Rafi’ bin Khudaij :

مُه َخَأم َ ْحَلْ َيِامْ َأما َ ْ َرْ ََيْلََفمٌضْرَأمُ َامْتَ َ مْ َم

َسُممِم َ َ ِبمَََ مٍعُبُ ِبمَََ مٍ ُلَُثِبم َ َْ ِر َ َ َََ ما

.

“Siapa saja yang mempunyai tanah, hendaknya menanami tanahnya, atau hendaknya (diberikan agar) ditanami oleh saudaranya. Dan janganlah menyewakannya dengan sepertiga, seperempat, maupun dengan makanan

yang sepadan”.7

Maksud dari hadits tersebut sepadan dengan asas sewa tanah yang ada

pada pasal 10 Undang-undang Pokok Agraria, yang berbunyi:

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.8

Perbedaan ketetapan antara hukum Islam dengan undang-undang

hukum perdata mengenai obyek sewa menyewa tanah pertanian, membuat

tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang salah satu obyek sewa

5 Syekh Isla>m Abi Yahya> Zakaria> bin Muhammad Al- Ans>{ari, Tuh{fatul Ba>ri> Bisyarh{ S{ah{i>h{ul

Bukhari>, ( Beirut - Libanon: Darul Kitab Al-Ilmiah, 1425 H/2004 M), 145.

6 Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Drs. Moh.

Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), 145.

7 Ibid., 146.

8

(14)

menyewa tanah pertanian, dalam hal ini terdapat beberapa persamaan dan

juga perbedaan dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan yang

diperlukan dengan merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah

orientasi hukum itu sendiri.9 Sebagaimana kaidah di bawah ini:

مِيْ ََت

مْ

مِدِئرَ َ ارَ مِت َيِّلارَ مِورَ ْحَأرَ مِ َلَ ْممَأرَ مِ َلِمْزَأرمِِ ْ ََتمِ َسَِ م َ َُف ََِتْخرَ م َ َْتَفارمُر

م

Berubah dan bedanya fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan ada kebiasaan.10

Dan dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti

untuk mengkaji dan meneliti masalah dengan judul :

Studi Komparasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Terhadap Sewa Menyewa Tanah Pertanian.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah merupakan penyajian terhadap

kemungkinan-kemungkinan beberapa cakupan yang dapat muncul dengan mengidentifikasi

dan inventarisasi sebanyak mungkin yang diduga sebagai masalah.11

Dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Ketentuan undang-undang hukum perdata dan hukum Islam mengenai

sistem sewa menyewa tanah pertanian.

9 Abd. Rahman, Gitu Aja Kok Repot, (Yogyakarta: PALAPA, 2014), 121.

10 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), xix.

11

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk

(15)

2. Ketentuan dalam pembayaran ujrah (upah) dalam sewa menyewa tanah

pertanian.

3. Perbedaan dan persamaan dalam praktik sewa menyewa tanah pertanian

antara hukum Islam dan Undang-undang hukum perdata.

4. Perbedaan dan persamaan antara hukum Islam dan undang-undang hukum

perdata terhadap hukum sewa menyewa tanah pertanian.

Dari beberapa permasalahan yang ada di atas, ada yang perlu dikaji

dengan menetapkan batasan-batasan masalah sebagai berikut:

a. Persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan undang-undang hukum

perdata terhadap hukum sewa menyewa tanah pertanian.

b. Ketentuan-ketentuan tentang sewa menyewa tanah dalam hukum Islam

dan undang-undang hukum perdata.

C. Rumusan Masalah

Dalam rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian

berdasarkan paparan latar belakang, indentifikasi dan batasan masalah di

atas maka peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Islam dengan

Undang-Undang Hukum Perdata Terhadap Sewa Menyewa Tanah

Pertanian?

2. Bagaimana Analisis Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Islam dan

Undang-Undang Hukum Perdata tentang Sewa Menyewa Tanah

(16)

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan suatu deskripsi singkat tentang

kajian/penelitian yang pernah diteliti sehingga terlihat jelas letak perbedaan

dengan kajian yang akan dilakukan, dengan tujuan menghindari duplikasi

atau pengulangan kajian/penelitian yang sudah ada.12

Dari hasil pengamatan peneliti tentang kajian-kajian maupun

penelitian sebelumnya, ditemukan beberapa kajian maupun penelitian

sebagai berikut:

1. Skripsi yang ditulis oleh Kholipatul Muhdi yang berjudul “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Praktek Sewa Menyewa Lahan Pertanian di Desa

Getasrejo Kec. Grobogan”. Skripsi ini menjelaskan tentang bentuk

transaksi sewa lahan pertanian yang ada di Getasrejo menurut penulis

merupakan konsep baru dalam hal sewa menyewa, dan tidak banyak

keterangan dalam literature fiqh Islam, sehingga hukumnya tidak dapat

ditemukan dalam kitab-kitab fiqh yang ada selama ini, dan menurut

analisis peneliti bentuk transaksi sewa lahan pertanian yang ada di

Getasrejo diperbolehkan berdasarkan urf dan KUH Perdata pasal 1338

ayat 1 memberikan kebebasan bagi setiap orang yang ingin mengadakan

perjanjian dalam hal apapun.13

2. Skripsi yang ditulis oleh Afif Rahman yang berjudul “Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Lahan Pertanian di Desa Golokan

12 Ibid., 8.

13 Kholipatul Muhdi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Sewa Menyewa Lahan Pertanian

(17)

Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik”. Skripsi ini menjelaskan tentang

kesesuaian rukun dan syarat-syarat dalam melakukan akad sewa di Desa

Golokan Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik, dan menurut peneliti

sewa tanah yang dilakukan di Desa Golokan Kecamatan Sidayu

Kabupaten Gresik tidak sah karena mengandung unsur merugikan salah

satu pihak.14

3. Skripsi yang ditulis oleh Selamet Riyadin yang berjudul “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Tegalan Yang Dikelola

Kelompok Tani Di Desa Putat Kecamatan Tanggulangin Kabupaten

Sidoarjo”. Skripsi ini menjelaskan tentang Menjelaskan bagaimana tata

cara sewa menyewa tanah tegalan yang dilakukan kelompok tani terhadap

warga Desa Putat Kecamatan Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo.15

Skripsi di atas lebih menekankan pada penelitian praktik yang ada

dilapangan, dengan menyesuaikan dengan hukum yang ada tentang

persyaratan, sistem yang baru dalam sewa menyewa tanah pertanian dan

kerjasama menyewa tanah pertanian oleh kelompok tani di tempat

penelitian dilakukan, sedangkan yang akan peneliti lakukan fokusnya

terhadap perbedaan terhadap hukum sewa menyewa tanah pertanian

antara hukum Islam dan Undang-undang Hukum Perdata dalam

menganalisis persamaan serta perbedaan hukum yang ada dalam hukum

14 Afif Rahman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Lahan Pertanian di Desa

Golokan Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 69.

15 Selamet Riyadin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Sewa Tanah Tegalan Yang

(18)

Islam dan yang terdapat dalam kitab Undang-undang hukum perdata dan

dalam peraturan-peraturan khusus tentang pertanahan dalam kitab

undang-undang hukum agraria.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang akan dilakukan ini

sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Islam

dengan Undang-Undang Hukum Perdata Terhadap Sewa Menyewa Tanah

Pertanian.

2. Untuk menjelaskan Bagaimana Analisis Persamaan dan Perbedaan antara

Hukum Islam dan Undang-Undang Hukum Perdata tentang Sewa

Menyewa Tanah Pertanian.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat bermanfaat dan

berguna bagi peneliti maupun pembaca lain, diantaranya:

Kegunaan secara teoritis, dengan adanya penelitian ini diharapkan

dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan

khusunya ilmu Hukum Ekonomi Syariah (muamalah).

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dan

(19)

1. Peneliti

Sebagai media untuk dapat menambah wawasan keilmuan dalam

bidang Hukum Ekonomi Syariah dan Hukum Perdata khususnya

mengenai akad maupun transaksi sewa menyewa tanah pertanian

2. Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

akademisi, yaitu manfaat berupa sumbangan dalam pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya di bidang Hukum Ekonomi Syariah.

3. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan pemahaman

yang lebih mendalam kepada masyarakat dalam melakukan berbagai

macam kegiatan ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam khususnya

sewa menyewa lahan pertanian.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional di sini memuat beberapa penjelasan tentang

pengertian yang bersifat operasional, yaitu memuat masing-masing variabel

yang digunakan dalam penelitian yang kemudian didefinisikan secara jelas

dan mengandung spesifikasi mengenai variabel yang digunakan dalam

penelitian ini. Beberapa istilah dalam penelitian ini sebagai berikut:

Studi Komparasi : Penelitian ini bermaksud untuk

membandingakan antara dua hukum

(20)

diterapkan, yaitu hukum Islam dan

undang-undang hukum perdata.

Hukum Islam : Hukum yang bersumber dari

beberapa ayat-ayat al-Qur’an,

hadith Nabi Muhammad Saw yang

diriwayatkan oleh Rafi’ bin

Khudaij, pendapat ulama tentang

sewa menyewa tanah pertanian,

dalam aspek kebolehan maupun

larangan.

Undang-Undang Hukum Perdata : Peraturan yang membahasa tentang

keperdataan, yaitu beberapa pasal

pada bab perikatan yang membahas

tentang sewa menyewa, khususnya

sewa menyewa tanah.

Sewa menyewa tanah Pertanian : Kegiatan atau perjanjian untuk

memanfaatkan obyek sewa tanah

pertanian dengan membayar ujrah

terlebih dahulu.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian

(21)

kegiatan membaca, mengkaji, menelaah sumber kepustakaan, baik yang

berupa data-data primer dan data-data sekunder yang relevan dengan

pembahasan skripsi ini. Penelitian ini juga dapat disebut juga dengan

penelitian doktrinal, karena mengkaji peraturan-peraturan hukum tertulis

yang ada dengan memfokuskan pada perbandingan hukum.16

Dalam hal ini peneliti membandingkan antara hukum Islam dengan

Kitab Undang-undang Hukum perdata tentang sewa menyewa tanah

pertanian, berikut rangkaian metode dalam penelitian ini:

1. Data-data yang dikumpulkan

Data merupakan sekumpulan dari beberapa keterangan maupun

informasi yang benar dan nyata yang diperoleh dari sumber-sumber

primer maupun sekunder.17 Data yang peneliti kumpulkan sebagai

berikut:

a. Data mengenai sewa menyewa yang berupa hadith yang diriwayatkan

oleh Rafi’ bin Khudaij, khusunya yang membahas mengenai sewa

menyewa tanah pertanian.

b. Data tentang sewa menyewa tanah yang diatur dalam undang-undang

hukum perdata yaitu bab tiga tentang perikatan pada pasal khusus

tentang sewa menyewa tanah.

c. Data tentang teori tentang sewa menyewa yang ada pada Undang

Undang Pokok Agraria.

16 Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafindo, 1996), 13.

(22)

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini terdapat dua sumber, yaitu bahan data primer

dan sumber data sekunder, yang diambil dari bahan pustaka dan dokumen

yang ada dan berhubungan dengan penelitian ini. Bahan data primer

diambil dari Al-Qura>n al-Kari>m wa Tarjamatu Ma’a>ni>hi Ilallughatil

Induni>siyyah dan kitab Tuh}fatul Ba>ri Bisharh} S}ah}ih{ul Bukhari karangan

Syekh Islam Abi Yahya Zakaria bin Muhammad, sedangkan sumber data

skunder antara lain:

1) Fiqh Sunnah, terjemahan karangan Sayyid Sabiq Muhammad

at-Tihami.

2) Al-Fiqh@u Sunnah, karangan Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihami.

3) Fiqh Islam wa Adillatuhu, terjemahan karangan Wahbah az-Zuhaili.

4) Bidayatul Mujtahid, Karangan Ibnu Rusyd.

5) Fiqh Islam, karangan H. sulaiman Rasjid.

6) Pembangunan Sistem Ekonomi Alternatif Perspekif Islam, karangan

Taqyuddin An-Nabhani.

7) Asas-Asas Muamalat, karangan Ahmad Azhar Basyir.

8) Fiqh Muamalat, karangan Nasroen Haroen.

9) Fiqh Muamalat, karangan Hendi Suhendi.

10) 101 Hadits tentang Budi Luhur karangan M. Said.

11) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, susunan Prof. R. Subekti,

S.H., dan R. Tjitrosudibio.

(23)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari

membaca dan mencatat data dari kitab-kitab dan buku-buku yang ada

hubungannya dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengelolan Data

Tahapan-tahapan dalam pengelolaan data pada penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Organizing yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,

pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.18

b. Editing yaitu kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan data

tersebut.19 serta memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh

dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang

meliputi kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya,

keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan. Teknik ini

digunakan peneliti untuk memeriksa kelengkapan data-data yang sudah

diperoleh.20

c. Coding yaitu kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data yang

relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.21

d. Analyzing, yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang diperoleh dari sumber-sumber

18 Sony Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 89.

19 Ibid., 97.

20 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, ( Jakarta: Bumi aksara, 1997), 153.

(24)

penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya, sehingga

diperoleh kesimpulan.22

5. Teknik Analisis Data

Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan selanjutya akan

dibahas yang kemudian dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu dengan

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dengan metode ini.

Dan Selanjutkan akan dilakukan analisis secara kualitatif, dengan

menggunakan metode komparasi, yaitu metode yang digunakan untuk

menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingakan antara

sumber data yaitu hukum Isalam dengan Undang-undang Hukum Perdata,

dan Undang Undang Pokok Agraria yang membahas hukum sewa

menyewa khususnya sewa menyewa tanah pertanian, untuk kemudian

diambil suatu hukum yang seharusnya diterapkan dalam melaksanakan

kegiatan muamalah.

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis agar mempermudah

pembahasan dalam penelitian ini, sistematika pembahasannya sebagai

berikut:

Bab pertama yang merupakan pendahuluan yang memaparkan latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,

(25)

kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional,

metode penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua adalah landasan teori yang menjelaskan beberapa

ketentuan-ketentuan dalam Islam dalam hal ini berupa al-Qur’an, hadith dan

pendapat beberpa ulama mengenai sewa menyewa tanah pertanian.

Bab ketiga yang mengulas deskripsi yang menjelaskan beberapa

ketentuan-ketentuan dalam beberapa regulasi yang berlaku di Indonesia,

yaitu Undang Undang Hukum Perdata pada buku perikatan dalam pasal sewa

menyewa dan pasal khusus tentang sewa tanah, begitu juga yang ada pada

Undang Undang Pokok Agraria.

Bab keempat yaitu mengurai tentang analisis komparasi hukum yang

memuat beberapa persamaan dan perbedaan yang ada pada hukum dan

peraturan yang berlaku di Indonesia.

Bab kelima merupakan penutup yang memuat hasil akhir dari

prnrlitian yaitu berupa kesimpulan yang menjawab rumusan masalah serta

(26)

18

BAB II

SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian ijarah (Sewa Menyewa)

Istilah sewa menyewa dalam literatur hukum Islam memang sudah

tidak asing lagi yang disebut dengan ijarah, namun kata ijarah memiliki arti

asal yaitu upah yang biasa disebut ujrah, dalam istilah bahasa arab kata

al-Ijarah dengan kata al-Ajr memiliki makna yang berbeda, al-al-Ijarah diartikan

sebagai imbalan jasa atau pekerjaan, sedangkan al-Ajr memiliki arti yang

sama dengan al-Tsawab yang memiliki makna pahala dari Allah sebagai

imbalan taat.1

Dalam fiqh, istilah al-Ijarah memiliki arti transaksi memberikan

imbalan tertentu untuk mendapatkan manfaat suatu barang atau jasa. Ada

juga istilah ijarah fi dzimmah yaitu upah dalam tanggungan, merupakan

upah yang diberikan sebagai imbalan suatu pekerjaan tertentu.2 Dengan kata

lain sewa jika dilihat dari objeknya bisa dibedakan menjadi dua, yaitu

apabila memanfaatkan suatu jasa tertentu dari seorang aji>r (yang disewa)

maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya atau keahliannya, sehingga

ditentukan bentuk pekerjaannya, upah, waktu dan keahliannya untuk

1Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid

Analisa Fiqih Para Mujtahid, Drs. Imam Ghazali, MA dan Drs. Achmad Zaidun jilid 3 (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 61.

(27)

menghindari kesamaran. Sebaliknya jika berupa barang maka yang

dimanfaatkan fungsi dan kegunaan barang tersebut.3

Beberapa definisi yang diungkapkan oleh kalangan ulama mdzhab

tentang ijarah seperti Hanafiyah yang mengatakan bahwa ijarah merupakan

akad manfaat yang disertai ujrah (imbalan). Hal ini serupa dengan definisi

yang diungkapkan oleh kalangan ulama Syafi’iyah yaitu suatu akad atas

manfaat yang mengandung maksud atau tujuan tertentu dengan kebolehan

penggantian tertentu. Sedikit berbeda dengan madhhab Malikiyah dan

Hanabilah namun memiliki makna yang sama, dengan mendefinisikannya

sebagai memberikan hak kepemilikan manfaat sesuatu yang diperbolehkan

dengan masa dan waktu tertentu.4

Jadi istilah ijarah (sewa menyewa) dapat didefinisikan suatu akad atau

transaksi untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa dengan suatu upah

atau imbalan tertentu dan kejelasan tertentu dalam akad tersebut.

B. Dasar Hukum Sewa Menyewa

Dasar hukum yang akan dipaparkan merupakan dasar hukum sewa

menyewa secara umum dari beberapa kalangan fuqaha tentang kebolehan

maupun larangan sewa menyewa. Seluruh fuqaha amshar dan fuqaha periode

pertama membolehkan sewa menyewa, dalil-dalil yang digunakan jumhur

3 Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya:

Risalah Gusti, 2009), 84.

4Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid 5 (Jakarta:

(28)

fuqaha dibolehkannya sewa menyewa yaitu firman Allah Swt dalam QS.

al-Qas}as} (28) ayat 27:

                                        ...

Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu.5

Dan dalam firman-Nya yang termasuk dalil para fuqaha yang

membolehkan sewa menyewa terdapat pada sebagian ayat di dalam QS.

ath-Thalaq (65) ayat 6:

           .... 

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.6

Dilanjutkan kepada dalil yang berasal dari hadith s}ahih yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah r.a. Ia berkata:

مِِّ لارمَجْ َزم َ َْلَ مُ مَيِضَرمَ َ ِئ َ مْ َأمِْ ََب ارمِ ْبمَةَ ْ ُ مْ َ

مْتَا َ م

:

مِ ْ ُ َرمَ َجْأَتْ ِر

م م لص

مل م يل

مِ ْياِإمَ َفَدَفمٍشْ َ َُ مِر فُ مِ ْ ِدم َلَ مَ َُ مً تْ ِّ ِخمًاِد َمِلْ ِّدارم َِِبمْ ِمم ًَُجَرمٍ ْ َبْ َُبَأَ م

م َ ِ ْيََتَلِحرَ ِبمٍوَ يَامِثَََثمَدْ ََبمٍرْ ََثمَر َغمُهرَدَ رَ َ م َ ِ ْيََتَلِحرَر

يراخبلا هجرخأ

م

“Az Zubairi bahwasanya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha istri Nabi shallallahu

‘alaihi wasallam berkata: Rasulullah Saw dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari bani Ad-Dil, sedangkan seorang tersebut memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Kemudian Rasululullah Saw dan Abu Bakar memberikan kendaraan kepada orang itu untuk bertemu di Gua

5 Menteri Agama, Al-Qura>n al-Kari>m wa Tarjamatu Ma’a>ni>hi Ilallughatil Induni>siyyah, (Jakarta:

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Quran, 1971), 613.

(29)

Tsur, sesudah berpisah tiga malam dengan membawa kendaraan Nabi Saw

dan Abu Bakar.” (HR. Bukhari).7

Ada dua hukum mubah atau kebolehan dalam hadith di atas, yang

pertama memperbolehkan sewa menyewa secara umum dan yang kedua

membolehkan sewa menyewa dengan non muslim.

Ada beberapa hadith yang menjadi dasar sewa menyewa jika dilihat

dari maknanya akan mendekati akad jual beli, hadith ini bisa dijadikan dalil

sewa menyewa dikarenakan jual beli dari bentuk akadnya hampir mendekati

sewa menyewa, jika dari sisi barang yang disewa maka hanya sebatas

menggunakaan atau tanpa diperbolehkan untuk melakukan akad atau

transaksi yang lain terhadap barang tersebut, dan jika dilihat dari sisi sewa

jasa maka hanya sampai memakai jasa tertentu dan tidak diperkenankan

menyewakan kepada orang lain, kemudain setelah batas waktu yang

ditentukan maka barang tersebut maupun sesuatu yang disewa jasanya harus

dikembalikan kepada orang yang menyewakan bisa disebut juga sebagai

pemilik asalnya, yang artinya segala sesuatu yang pemenuhannya boleh

dengan syarat, maka pemenuhannya boleh dengan sewa menyewa juga.

Kemudian hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:

مُ َر

مُهَ ْجَرمَم َحرم َ ْ َرَ مَمَ َتْحِرم

م.

ناخيشلا اور

م

“Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah berbekam kepada seseorang, dan

beliau memberi upah tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).8

7

Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid..., 62.

(30)

Adapun fuqaha yang melarang sewa menyewa seperti Abu Bakar

al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hasan Basri, al-Qasyani, An-Nahrawani, dan

Ibnu Kaisan, mereka beralasan bahwa dalam urusan tukar menukar harus

berwujud antara harga dan penyerahan barang, sedangkan manfaat dalam

transaksi sewa menyewa tidak ada, oleh karena itu sewa menyewa

merupakan kegiatan menjual manfaat yang tidak pernah ada dalam akad, hal

ini dikatakan sebagai tindak penipuan dan dianggap menjual sesuatu yang

tidak ada.9 Namun hal ini dibantah oleh Ibnu Rusyd, walaupun manfaat itu

tidak ada pada saat akad, tapi secara umum manfaat itu dapat tercapai.10

Pada masa sahabat sebelum keberadaan Asham dan Ibnu Ulayyah, dan

ulama lainnya. Sepakat membolehkan akad ijarah hal ini didasarkan pada

kebutuhan masyarakat pada masa itu terhadap manfaat ijarah sebagaimana

kebutuhan terhadap barang riil.11

C. Syarat, Rukun, dan Ketentuan dalam Sewa Menyewa

Sebagaimana pada akad-akad muamalah lainnya, ijarah memiliki

beberapa syarat dan rukun dalam menunjang keabsahan akad ini agar

tercapainya hak dan kewajiban masing-masing pelaku akad yang sifatnya

mengikat satu dengan yang lainnya. Yang pertama dengan beberapa syarat,

dalam hal ini syarat merupakan ketentuan sebelum melaksanakan akad ijarah

dan akad lainnya dalam bermuamalah, dalam hal ini syarat-syarat dalam

9Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

Mujtahid..., 63.

(31)

akad ijarah baik itu dalam subjek, objek, dan hal lain yang berhubungan

dengan akad ijarah dibagi menjadi enam macam antara lain:12

1. Shart} al-In’iqad (Syarat Wujud)

Syarat wujud disebutkan ada tiga macam yaitu syarat akad,

pelaku, dan tempat akad. Dalam hal ini akan disebutkan syarat yang

berlaku pada pelaku akad, antara lain pelaku akad harus berakal, jika

dilakukan oleh orang yang gila, atau anak kecil yang tidak mumayyiz

maka akad tidak sah. Dalam istilah yang disebut dalam kompilasi hukum

ekonomi syariah yaitu memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan

hukum.13

Menurut ulama Hanafiyah, mencapai usia baligh bukan termasuk

dalam syarat ini, jika ada pelaku akad seorang anak kecil namun

mumayyiz dan diizinkan oleh walinya maka akad tersebut sah. Hal ini

sejalan dengan ulama Malikiyah, namun usia baligh menjadi salah satu

syarat berlaku yang akan dijelaskan berikutnya.

Berbeda dengan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, syarat baligh

dan berakal merupakan syarat taklif (pembebanan kewajiban syariat), dan

kedua syarat tersebut merupakan syarat wujud.

2. Shart} an-Na>fadz (Syarat Berlaku)

Adanya kepemilikan atau kekuasaan oleh penyewa atau wakil dan

pengampu merupakan syarat berlaku, sehingga jika seorang fud}ul (orang

12 Ibid., 389-407.

13 Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor:

(32)

yang membelanjakan harta orang lain tanpa izin) yang melakukan akad,

maka akad tersebut tidak sah. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah akad ini

harus atas dasar persetujuan pemiliknya.

Berbeda dengan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa

persetujuan pemilik dapat berlaku pada akad ijarah tergantung wujud

objek ijarahnya. Jika seorang fud}uli melakukan akad ijarah dan

mendapatkan persetujuan dari pemilik, maka ada dua letak persetujuan

yang menyebabkan sah tidaknya akad ijarah yang dilakukan, pertama jika

persetujuan akad itu terjadi sebelum menfaat barang digunakan maka

akadnya sah dan si fud}ul berhak atas upahnya.

Sebaliknya jika persetujuan itu terjadi setelah manfaat barang

digunakan, maka akadnya tidak sah.

3. Shart} as}-S}ih}h}ah} (Syarat Sah)

Merupakan syarat yang berkaitan dengan pelaku akad, objek akad,

tempat, upah, dan akad ijarah antara lain:

a. Kerelaan pelaku akad, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS.

An-Nisa>’ (4) ayat 29:

 م   م  م   م  م  م  م   م   م  م   م   م  م  م   م  م   م  م   م  م   م  م   م   م  م  مم

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan14 yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

14 Disebut perniagaan dikerenakan adanya pertukaran nilai harta dengan harta sebagaimana

(33)

dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.15

b. Diketahui sifat dari manfaat objek akad, hal ini untuk menghindari

perselisihan diantara pelaku akad. Meliputi:

1) Tempat manfaat, yaitu dengan mengetahui barang yang

disewakan beserta manfaatnya dengan jelas. Syaikh Abu Syujak

berkata:

مِةَر َجِإرم ِيمٌلْصَف

م:

مرَذِإماُ ُتَر َجِإمْتحَصمِ ِلْيَ مِ َقََبمَعَممِ ِبمُ َ فِتْ َِرمَ َ ْمَأم َمملُ َ

مِ ْ َ ْمَأمِدَحَِِمُ ُتَ َْلَممْتَرِّدُ

م:

مٍلَ َ مْ َأمٍةدُم

م.

“Setiap benda yang boleh dimanfaatkan dengan mengekalkan

zatnya, sah menyewakannya, jika diukur manfaatnya dengan salah

satu dua perkara ini; yaitu masa dan kerja”.16

2) Kejelasan masa waktu ijarah, untuk objek akad yang tidak jelas

kadarnya, maka dengan penentuan waktu, seperti menyewa

apartemen, rumah, dan lainnya. Menurut ulama Syafi’iyah tidak

ada batas waktu terlama dalam akad ijarah dikarenakan tidak

disebutkan dalam ketentuan syar’i. Ulama Hanafiyah tidak

mensyaratkan penentuan permulaan ijarah. Sedangkan ulama

Syafi’iyah mengatakan penentuan permulaan akad merupakan

syarat yang harus dipenuhi sehingga ketentuan waktu dapat

diperhitungkan bersamaan dengan imbalan yang akan diterima.

c. Objek akad dapat diserahkan secara hakiki (nyata) dan syara, hal ini

menurut kesepakatan fuqaha. Abu Hanifah, Zufar, dan ulama

15

Menteri Agama, Al-Qura>n al-Kari>m wa Tarjamatu..., 122.

16

(34)

Hanabilah berpendapat bahwa benda yang dimiliki bersama tidak

boleh disewakan kecuali pada mitranya.

d. Manfaat objek ijarah dibolehkan secara syarat, seperti contoh orang

kafir menyewa rumah kepada orang muslim untuk ibadah.

e. Jika berupa jasa maka pekerjaan yang ditugaskan bukan kewajiban

bagi penyewa sebelum akad ijarah.

f. Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya,

seperti yang diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau melarang

tukang giling mengambil dari apa yang digiling selain upahnya, hal ini

yang disepakati oleh ulama Syafi’iya. Masalah ini juga disebutkan

dalam kaidah fiqih oleh para ulama Hanafiyah yaitu”memberikan

upah dari sebagian pekerjaan orang yang disewa dapat merusak akad”.

Namun berbeda denga yang diungkapkan oleh ulama Malikiyah dan

Hanabilah yang memperbolehkan hal ini jika takarannya jelas.

g. Manfaat dari objek akad itu harus dimaksudkan dan biasa melalui

akad ijarah, maksudnya tidak boleh menyewakan sesuatu diluar

manfaat yang tidak bisa didapat dari objek akad.

4. Syarat Objek Akad

Jika objek akad itu berupa barang bergerak, disyaratkan harus

terjadi penerimaan, sedangkan untuk barang tidak bergerak dibolehkan

menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf.

(35)

Khusus yang menyewa jasa. Ada dua syarat upah, pertama upah harus

bernilai dan diketahui, yang kedua upah tidak berbentuk manfaat yang

sejenis dengan ma’quud alaih (objek akad), seperti seorang penggilang

gandum tidak diperkenankan menerima upah berupa gandum yang

digiling tersebut.

6. Shart} al-Lu>zum (Syarat Kelaziman)

Dua syarat yang harus terpenuhi dalam akad ijarah menjadi lazim

(mengikat), yang pertama terbebasnya barang yang disewakan dari cacat

yang merusak pemanfaatannya, yang kedua tidak terjadi alasan yang

membolehkan membatalkan ijarah.

Setelah syarat-syarat yang disebutkan di atas telah terpenuhi maka

yang harus diperhatikan berikutnya yaitu rukun dari akad ijarah. Ada empat

rukun ijarah, yaitu dua pihak yang berakad, s}ighah, manfaat dan harga atau

upah, berikut akan dijelaskan satu persatu rukun tersebut:17

1. Kedua pihak memiliki kemampuan berakad, kedua pihak merupakan

pemilik dan penyewa yang telah mencapai baligh, berakal, dan tidak

dilarang membelanjakan hartanya. Anak kecil, orang gila, dan orang

yang tidak memiliki kuasa terhadap dirinya dan harta yang akan

dipersewakan tidak sah melakukan akad.

2. Sighah, yaitu dengan ijab dan qabul, atau dengan yang menggantikan

keduanya yaitu mu’at}ah (saling memberi tanpa ada sighah), namun

(36)

menurut Imam Nawawi, mu’at}ah hanya dilakukan pada akad yang umum

telah menjadi kebiasaan seperti jual beli.

3. Manfaat, yaitu sesuatu yang bernilai baik secara umum maupun syara,

dapat diserahkan dan tidak dimanfaatkan oleh orang yang menyewakan.

4. Upah atau harga, yaitu berupa sesuatu yang suci, dapat diserahkan,

bermanfaat, dan diketahui oleh kedua belah pihak.

D. Berakhirnya Akad Ijarah (Sewa Menyewa)

Akad ijrah dapat berakhir dikarenakan beberapa sebab, antara lain:

dikarenakan salah satu pihak meninggal, adanya iqalah (pengguguran akad),

rusaknya barang yang disewakan, dan habisnya masa ijarah. Berikut

penjelasan masing-masing sebab di atas:18

1. Meninggalnya salah satu pihak, hal ini merupakan kesepakatan jumhur

ulama, dikarenakan akad ijarah sifatnya mengikat yaitu penyewa

memiliki kepemilikan yang lazim atas manfaat barang, maka dapat

diwariskan, tapi hal ini tidak berlaku bagi perempuan tukang menyusui,

sewa menyewa tetap batal dikarenakan sulitnya objek akad.

2. Adanya iqalah (pengguguran akad), dikarenakan ijarah merupakan suatu

akad yang dapat dibatalkan sebagaimana jual beli.

3. Rusaknya barang yang disewakan, menurut Imam Zaila’i yang mengambil

pendapat Muhammad Ibnul Hasan, “bahwa ijarah tidak akan batal

dikarenakan rusaknya barang yang disewakan, karena manfaat yang telah

(37)

hilang dimungkinkan dapat kembali lagi”. Pendapat yang paling s}ah}ih}

menurut uama-ulama Hanafiyah berdasrkan penulis kitab ad-Durrul

Mukhta>r yang dikuatkan oleh Ibnu Abidin, “jika objek ijarah hancur,

maka upahnya gugur seluruhnya, sedangkan ijarahnya tidak batal selama

penyewa tidak membatalkannya.

4. Habisnya masa ijarah kecuali karena ada uzur, seperti contoh menyewa

tanah yang sudah habis masa sewanya namun masa panen belum sampai,

sehingga ijarah tetap dilanjutkan dengan pembayaran upah umum.

E. Ijarah (Sewa Menyewa) Tanah Pertanian

Setelah mengetahui beberapa syarat dan rukun dalam ijarah,

selanjutnya pembahasan mengenai salah satu objek akad dengan

kemanfaatan khusus yaitu menyewa tanah pertanian.

Para fuqaha banyak yang berbeda pendapat mengenai ijarah tanah

pertanian, berikut beberapa perbedaaan ulama fuqaha dengan dasar hukum

yang digunakan:19

1. Fuqaha yang melarang menyewakan tanah, pendapat ini dikemukakan

oleh Thawus dan Abu Bakar bin Abdurrahman, dengan dasar hadith yang

diriwayatkan oleh Malik dengan sanad Rafi’ bin Khadij r.a :

مِ ِررَ َ ْارمِ َر ِ مْ َ م َ ََ م مِ مَو ُ َرم َر

.

ملسم و يراخبلا هجرخأ

م

“Rasulullah Saw melarang persewaan tanah pertanian”. (HR. Bukhari dan

Muslim).

19 Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

(38)

Menurut Abu Umar bin Abdurrahman, fuqaha yang melarang

menyewakan tanah pertanian juga beralasan dengan hadith Dhamrah dari

Ibnu Syaudzab dari Mutharrif, dari Atha’, dari Jabir r.a. Ia berkata:

مَو َقََفم مِ مُو ُ َرم َلََبَ َخ

م:

مَ ْ ِجرَ َُ مَََ م َ ْ ِرْ َُيِاْ َأم َ ْ َرْ ََيْلََفمٌضْرَأمُ َامْتَ َ مْ َم

م.

هجرخأ

اس لا

ﻲﺋ

هجام نبا و

“Rasulullah Saw berpidato kepada kami. Kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa mempunyai tanah, maka hendaklah ia menanaminya, atau menyuruh orang lain menanaminya, dan janganlah ia menyewakannya.”

(HR. Nasai dan Ibnu Majah).

Hadith yang sama juga diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a:

مو م م ِ لارم َرماَ ْلَ مُ مَيِضَرمِ مُدبَ م بمِ ِب َجمْ َ

:

ُُم

مَ ْ َرْ ََيْلََفمٌضْرَأمُ َامْتَ َ مْ َم

مَ ِ ْ ُ َََ ماُه َخَرمَ ْ َرْ ََيِاْ َأ

م.ََ

يراخبلا هجرخأ

م

“Dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Rasulullah Saw pernah

Bersabda: “Barangsiapa mempunyai tanah, maka tanamilah atau supaya

ditanami oleh saudaranya, dan janganlah menyewakan.” (HR. Bukhari).20

Dengan melihat dasar hadith yang digunakan para fuqaha ini, mereka

berpendapat bahwa dilarangnya persewaan tanah itu dikarenakan di

dalamnya terdapat unsur penipuan, dan untuk menghindari kemungkinan

ditimpa bencana, sehingga mengakibatkan penyewa tetap membayar sewa

tanah tanpa memperoleh manfaat apapun.

2. Fuqaha yang membolehkan penyewaan tanah hanya dengan uang,

dikemukakan oleh Rabi’ah dan Said bin Musayyab, dengan hadith yang

berasal Thariq bin Adburrahman dari Said bin al-Musayyab, dari Rafi’ bin

Khadij r.a., dari Rasulullah Saw:

20

(39)

مُ َأ

مَوَ م

م:ِﺇ

مٌ َثَََثمُ َرْ ََ مَ

م:

مًضْرَأمَحِلُممٌلُجَرَ مَ ُ َرْ ََيََفمٌضْرَأمُ َامٌلُجَر

ر

مَ ممُ َرْ ََ م ُ ََفم

م

ماَحِلُم

مٍ ضِفمْ َرم ٍ َ َذِبم َ ََتْ رمٌلُجَرَ

م.

اس لاو هجام نبا هجرخأ

ﻲﺋ

م

“Bahwa sesungguhnaya Nabi Saw bersabda, “hanya ada tiga orang yang boleh menanam, yaitu orang yang mempunyai tanah kemudian menanaminya, orang yang diberi tanah kemudain menanami tanah yang diberikan kepadanya itu, dan orang yang menyewa tanah dengan emas

dan perak” (HR. Ibnu Majah dan an-Nasai).

Menurut mereka hadith lainnya bersifat mutlak, sedangkan hadith ini

bersifat muqayyad, maka seharusnya yang mutlak dibawa kepada yang

muqayyad.

3. Fuqaha yang membolehkan persewaan tanah dengan selain makanan,

pendapat ini diungkapkan oleh Malik dan pengikutnya, dengan

berdasarkan hadith dari Ya’la bin Hakim dari Sulaiman bin Yasar, dari

Rafi’ bin Khadij:

م مِ مُو ُ َرمَو َ

م:

مٍعُبُرمَََ م ٍ ُلَُثِبمَ ِ ْ ُ مَََ مُه َخَأمَ ْ َرْ ََيِاْ َأمَ ْ َرْ ََيْلََفمٌضْرَأمُ َامْتَ َ مْ َم

مٍَْ ُممٍمَ َ ِبَََ

.

Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, maka hendaklah

dia menanaminya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Dan janganlah ia menyewakan dengan sepertiga atau seperempat (dari penghasilan tanah tersebut) atau dengan makanan

tertentu”.

Mereka menyebut sewa tanah semacam ini sama dengan muhaqalah

(menyewakan tanah dengan gandum) yang dilarang oleh Rasulullah Saw.

Dan mereka menyebutnya sebagai jual makanan dengan cara nasiah

(penundaan).

4. Fuqaha yang membolehkan penyewaan tanah dengan segala sesuatu yang

(40)

merupakan suatu kegiatan menyewa suatu manfaat tertentu dengan

sesuatu yang tertentu pula. Oleh karena itu persewaan ini dibolehkan

dengan mengqiyaskan kepada semua yang bermanfaat. Sebagimana

hadith dari Salim bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Rafi’ yaitu

ucapannya:

مَوَ ماًَْقَحمِ َلَْ ِدَ ْارمُلَْأمَ ََثْ َأمَ لَ

م:

مُو ُقََ َ مُ َضْرَأمْ ِ ْ ُ مَ ُدَحَأمَ َ َ

م:

مِهِذََ مِِْمُ َ ْ ِقارمِهِذَ

م ِ لارمُمُ َ ََلََفمِهِذَمْجِ ُُْمَْ َ مِهِذَمْتَجَ ْخَأمَ َُرَ ماَكَا

م.

يراخبلا هجرخأ

“Kami penduduk Madinah yang paling banyak memiliki ladang. Rafi’ berkata “salah satu dari kami menyewa tanahnya dan berkata, “bagian ini untukku dan bagian ini untukmu, boleh jadi bagian ini mengeluarkan hasil, sedang bagian yang lain tidak mengeluarkan hasil, karena itu Nabi

Saw melarang mereka”. (HR. Bukhari).

Selanjutnya mengenai larangan penyewaan tanah dengan sesuatu yang

tumbuh dari tanah yang disewa tersebut, yang menjadi dasar di sini adalah

hadith yang diriwayatkan oleh Khadij dari Dhuhair bin Rafi’ ra, Ia berkata:

مُتْلُقََفما َلِبم ًقَْفَرمَ َ مٍ ْمَأمْ َ م مِ مُو ُ َرمَ َ ََ

م:

وَ ماٌقَحمَ ُ ََفم مِ مُو ُ َرمَو َ م َم

مم:

مَو َقََفم مِ مُو ُ َرم ِِ َ َد

م:

َلْلَُ ماْمُ ِلِ مَ حََِمَ ْ ُ ََلْصَت َم

م:

مَ ِممِقَ ْ َأرم َلَ َ مِعُب ارم َلَ م َُ ِجَر ُ

م مِ مُوْ ُ َرمَو َقََفماِْ ِ ارَ مِ ْ تار

م:

مَ ْ ُ ِسْمَأمْ َأمَ ْ ُ ِرَرزمْ َأمَ ْ ُ ِرْزِرمارْ ُلَ ْفََت ََ

م.

هجرخأ

ملسم و يراخبلا

“Rasulullah Saw melarang kami dari sesuatu perkara yang sebelumnya merupakan kemurahan bagi kami. Aku berkata, semua yang disabdakan oleh Rasulullah Saw adalah benar. Dhuhair berkata, Rasulullah memanggil aku,

kemudian beliau bersabda, “apa yang telah kau perbuat terhadap kebunmu?, kami menjawab: “kami menyewakannya dengan harga seperempat (dari penghasilan) atau dengan beberapa wasaq kurma dan sya’ir”, kemudian Rasulullah Saw bersabda “jangan kau lakukan itu! Tanamilah kebun-kebun

itu, atau suruh orang lain menanaminya, atau tahanlah ia”. (HR. Bukhari dan

(41)

Sedangkan fuqaha yang membolehkan penyewaan tanah dengan

sesuatu yang tumbuh dari tanah itu berdasar pada hadith yang diriwayatkan

oleh Ibnu Umar:

مَعَفَدم مِ مَوْ ُ َرم َأ

ِﺇ

م َلَ مْمِهرَ ْمَأمْ ِمم َْ ُلَ ْ ََ مْ َأم َلَ م َ َضْرَأَ مَ ََبَْيَخمَلََْمَ ََبَْيَخمِدْ ُ ََ مَى

مُةَ ْ ثارَ مٌضْرَأرمُ ُجِ ُُْم َممِ ْصِ

م.

هجام نبا هجرخأ

“Rasulullah Saw memberikan dan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi Khaibar dengan syarat mereka menganggapnya dengan modal biaya dari harta mereka sendiri dengan imbalan setengah dari hasil tanah dan buah”.

(HR. Ibnu Majah).

Selanjutnya hadith yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu

Abbas r.a:

ِﺇ

مَو َ مْ ِ َاَ ما َ َْلَ مَ ْلََ مَْ م م ِ لارم

م:

ِﺇ

مُ ْلِممرَذُخََْمْ َأمْ ِممُ َامرً َْيَخمْ ُ َ مُه َخَأمْمُ ُدَحَأمْحَلََْمْ

ًئَْيَش

م.

ملسم و يراخبلا هجرخأ

“Nabi Saw tidak melarang penyewaan tanah, tetapi beliau bersabda: apabila

salah satu di antara kamu memberikan kepada saudaranya (orang lain), maka hal itu lebih baik baginya ketimbang ia mengambil sesuatu darinya”. (HR.

Bukhari dan Muslim).

Menurut fuqaha yang membolehkan penyewaan tanah dengan sesuatu

yang tumbuh dari tanah, hadith yang terakhir yang disampaikan oleh Ibnu

Umar dan Ibnu Abbas merupakan hadith yang lebih valid dibandingkan

dengan hadith yang disampaikan oleh Rafi’ bin Khudaij. Mereka juga

berpendapat, “seandainya hadith hadith Rafi’ itu s}ah}ih} maka bukan termasuk

larangan, namun lebih kepada kemakruhan sebagaimana hadith yang

disampaikan oleh Ibnu Abbas.21

21 Al Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

(42)

Pendapat ini sejalan dengan Ibnu Taimiyah, dikarenakan tanah

pertanian memperoleh perhatian yang sangat kuat dalam hadith. Menggarap

tanah yang tak produktif sesuatu yang sangat dihargai oleh Rasulullah Saw,

pada awal Islam prinsip yang digunakan yaitu mendistribusikan tanah yang

dikuasai kepada para tentara, tapi khalifah Umar bin Khattab membiarkan

tanah tersebut berapa pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj

(pajak). Hal ini dilakukan oleh kahalifah dikarenakan pertimbangan terhadap

kesejahteraan publik, dengan memperoleh penghasilan dari tanah tersebut

bisa diharapkan tercapainya kesejahteraan.22

Menurut ustadz M. Taufik N. T dalam diskusi di website miliknya

mengenai pengelolaan tanah pertanian yang terlarang, persoalan ini

merupakan permasalahan yang khilafiyyah ada yang membolehkan namun

dengan syarat-syarat yang harus terpenuhi seperti tanah yang disewakan

tidak kosong dari tanaman, yang merupakan syarat dari ulama Syafi’iyah.23

Dasar hukum yang digunakan yaitu hadith dari Rafi’ bin Khadij:

مَ َ َ َفم سُ ْارمِم َ ارَ مِعُب ارَ مِ ُلَثاِِم َ َْ ِ ْ ُلََفم م مُوْ ُ َرمِدْ َ م َلَ مَضْرََرمُلِ َُُم لُ

مَ م مُ َيِ رَ َطمَ م ً ِفَ م َلَامَ َ مٍ ْمَأمْ َ م م مُوْ ُ َرمَ َ ََ مَو َقََفم َِِمْ ُ ُ مْ َممٌلُجَرمٍمْ ََ مَترَذ

مبَرمَ َمَأَ م َسُ ْارمِم َ ارَ مِعُب ارَ مِ ُلَثارم َلَ م َ ََ ِ ْ ُلََفمِضْرََرِِمَلِ َُُمْ َرمَ َ ََ م َلَامُعَفََ َرمِ ِاْ ُ َر

مَكِاَذم َ ِ م َمَ م ََ رَ ِ مَهِ َ َ م َ َ ِرْ َُ مْ َرم َ َ َرْ ََ مْ َرمِضْرََر

ملسما هجرخأ

“Dulu di zaman Rasulullah Saw biasa melakukan melakukan muhaqalah tanah perkebunan, oleh karena itu kami biasa menyewakannya dengan bayaran sepertiga atau seperempat (dari hasil panen) atau dengan bayaran

22 A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, H. Anshari Thayib (Surabaya: PT Bina Ilmu,

1997), 294-295.

23 M. Taufik. N. T, “Hukum Islam Seputar Tanah 4: Pengelolaan Tanah Pertanian yang

(43)

makanan tertentu. Hingga pada suatu ketika, salah seorang pamanku datang seraya berkata: Rasulullah Saw telah melarang usaha kita yang menguntungkan ini, tetapi mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kita. Beliau melarang kita menyewakan tanah dengan memungut sepertiga atau seperempat hasil tanaman atau makanan tertentu. Dan Allah memerintahkan kita supaya menanaminya sendiri atau ditanami

orang lain tanpa memungut sewa atau yang semisal”. (HR. Muslim).24

مٍ ْيَشمْ َرمِ َ ِبْرََرم َلَ مُتُبََْم ََِم م ِ لارمِدْ َ م َلَ مِضْرََرمَ ْ ُ ْ ُ مرْ َُ َ مْمُ َ َرمَ َ م ِىَثدَح

مِمَْرِّدارَ مِر َلَْ ِّداِِمَيِمَ ْيَ َفمِعِفَر ِامُتْلُقََفمَكِاَذم م م ِ لارم َ ََلََفمِضْرََرمِ ِح َصمِ يِلْثََتْسَ

مِ ْيِفَ َظَ مْ َا َممَكِاذم َ مَيُُِم ِذارمَ َ َ مُ ْيلَارمَوَ َ مِمَْرِّدارَ مٍر َلَْ ِّداِِمٌسْ َِم َِِمَسْيَامِعِفرَرمَو َقََف

مِةَ َط َخُ ْارمَ ِممِ ْيِفم َ ِامُهْ ُ َْيُُِمَْ مِمرَ َْحرمَ مِوَََحِِمِمْ َفار مُ َذ

يراخبلا هجرخأ

“Telah menceritakan kepadaku kedua pamanku bahwasanya mereka

menyewakan tanah ladang pada zaman Nabi Saw atas apa yang tumbuh di atasnya dengan bagian seperempat atau sesuatu yang dikecualikan oleh pemilik tanah, maka kemudian Nabi Saw melarangnya. Lalu aku bertanaya

kepada Rafi’ “bagaimana bila pembayaranya dengan dinar atau dirham?”.

Maka Rafi’ Berkata: “tidak dosa (boleh) dengan dinar dan dirham”. Berkata

al-Laits: pelarangan tentang itu bila dipandang oleh yang faham tentang halal haram bisa tidak diperbolehkan karena khawatir ada bahayanya”. (HR.

Bukhari).25

Dasar hadith selanjutnya berasal dari Abdullah bin Umar r.a, dan

Utsman bin Sahl bin Rafi’ bin Khadij:

مْدَ م م ِ لارمَ ْ ُ َ مْ َرم مُدْبَ مَيِ َخمُم َ ْ ُتمَضْرََرم َرم م مُوْ ُ َرمِدْ َ م ِمُمَلْ َرمُتْلُ

م ِضْرََْرَ رَ ِ مَكَ ََتََفمُ ُ َلْ ََ مْ ُ َ مَْ م ًئَْيَشمَكِاَذم ِمَثَدْحَر

يراخبلا هجرخأ

“Aku mengetahui bahwa ladang biasa disewakan pada zaman Rasulullah Saw. Kemudian Abdullah bin Umar r.a takut kalau Nabi Saw telah mengeluarkan sabda lain tentang masalah itu yang dia tidak mengetahui sehingga akhirnya dia meninggalkan menyewakan tanah ladang. (HR. Bukhari).26

م َلَْ َ ْ َرمَو َقََفمٍلْ َ مُ ْبمُ رَ ْ ِ م ِخَرمُ َئ َ َفمُ َ َممُتْ َ َحَ مٍجْ ِدَخمِ ْبمِعِفرَرمِ ْ ِحم ِمٌمْيِتَيَامِّنِر

مم ِضْرََرمِ رَ ِ مْ َ م َ ََ م م ِ لارم ِإَفمُ ْ َدمَو َقََفمٍمَْرِدمََََْئ ََِمَ َ ََُفم َلَضْرَر

دوادوبا هجرخأ

(44)

“Sungguh aku dahulu adalah anak yatim di dalam asuhan Rafi’ bin Khadij,

dan akau pernah berhaji bersamanya. Kemudian saudara Imran bin Sahl datang kepada Fulanah dengan upah dua ratus dirham. Kemudian ia berkata; tinggalkan pekerjaan tersebut karena sesungguhnya Nabi Saw melarang dari

menyewakan tanah”. (HR. Abu Dawud).27

Jika melihat makna dari hadith-hadith tersebut di atas, dapat dipahami

bahwa menyewakan tanah pada zaman Rasulullah Saw dilarang, sehingga

para sahabat yang pernah melakukannya banyak yang meninggalkan praktik

tersebut, dan melarang sahabat lainnya yang melakukan praktik tersebut

karena ditakutkan terjadi bahaya yang terduga.

Menurut Sayyid Abul A’la Maududi penggarpan tanah pertanian

dengan cara menyewakan merupakan paraktik pembungaan uang sehingga

mengandung sifat riba yang diharamkan dalam Islam.28

Dikarenakan persoalan ini merupakan permasalahan yang iktilaf dalam

kalangan ulama, maka masih diperkenankan untuk mengikuti salah satu dari

beberapa pendapat yang tersebut di atas dengan syarat mempertimbangkan

segala risiko yang akan dihadapi, sebagaimana prinsip kehati-hatian dalam

Islam untuk menghindari sesuatu yang lebih menibulkan mad}arat

(kerusakan) dari pada manfaat.

27 Ibid.

28 Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar (Fundamental of Islamic

(45)

37

BAB III

SEWA MENYEWA TANAH PERTANIAN DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN PERATURAN LAINNYA YANG

BERLAKU DI INDONESIA

A. Definisi Sewa Menyewa

Setelah mengetahui definisi sewa menyewa beserta deskripsi sewa

menyewa tanah pertanian dalam hukum Islam, selanjutnya akan dipaparkan

mengenai hal yang sama namun akan ditinjau dari hukum positif khususnya

pada kitab undang undang hukum perdata.

Yang pertama mengenai definisi sewa menyewa yang disebutkan

dalam kitab undang undang hukum perdata pada buku ke III tentang

perikatan pada bab ke VII tentang sewa menyewa bagian ke satu ketentuan

umum diartikan sebagai suatu perjanjian yang dilakukan oleh satu pihak

dengan cara mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang

lainnya suatu kenikmatan atau manfaat barang maupun jasa, selama waktu

tertentu dengan kesanggupan suatu pembayaran.1

Sewa menyewa didefinisikan juga suatu kegiat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah pembelajaran dengan menggunkana media lingkungan dapat meningkatkan

Dalam penelitian ini, pengkategorian otomatis artikel ilmiah dilakukan dengan menggunakan kernel graph yang diterapkan pada graph bipartite antara dokumen artikel

Dengan menggunakan Algoritma Greedy pada graph di atas, hasil akhir yang akan didapatkan sebagai jarak terpendek adalah A-C-D-E-F-B.. Hasil jarak terpendek yang

Melalui kegiatan membaca teks cerpen pada google classroom, peserta didik dapat menemukan nilai-nilai cerpen secara mandiri.. Setelah menemukan nilai-nilai cerpen,

laboratorium busana meliputi papan tulis, lantai, dinding, ventilasi, jendela, penerangan dan atap. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis perawatan sarana

Dari tabel tersebut dapat diartikan bahwa cluster 1 dicirikan dengan pH, salinitas, dan tebal lumpur yang rendah serta suhu yang sedang dan oksigen terlarut yang

Berdasarkan pendidikan kepala rumah tangganya, rumah tangga miskin di perkotaan yang kepala rumah tangganya di atas SD pengeluaran untuk konsumsi rokok nyata lebih tinggi

Dalam jual beli Account Clash of Clans Via Online tidak memenuhi asas dari akad karena akibat yang ditimbulkan oleh jual beli tersebut. mengandung jebakan dan jual beli