i
PEDOMAN
PEMERIKSAAN/IDENTIFIKASI
JENIS IKAN DILARANG TERBATAS
(KEPITING BAKAU/
Scylla
spp.)
PUSAT KARANTINA DAN KEAMANAN HAYATI IKAN BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU
DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
ii
Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/
Scylla spp.)
Pengarah:
Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
Penanggung Jawab:
Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
2016
iii
KATA PENGANTAR
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai sumber pendapatan nelayan serta devisa bagi negara. Indonesia sebagai negara dengan lahan hutan bakau yang luas, mempunyai potensi kepiting bakau yang sangat menjanjikan.
Tingginya permintaan pasar terhadap kepiting bakau khususnya pasar luar negeri, berakibat terhadap semakin tingginya tingkat eksploitasi biota tersebut di alam. Eksploitasi yang tidak bertangungjawab akan menyebabkan terancamnya kelestarian sumberdaya kepiting bakau. Guna mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 telah menetapkan kepiting bakau (Scylla spp.) sebagai salah satu jenis ikan (krustasea) yang dilarang penangkapan maupun peredarannya dalam kondisi bertelur dan di bawah ukuran (layak tangkap).
BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) sebagai benteng terakhir pengeluaran produk perikanan, perlu membekali petugasnya di UPT-KIPM (Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan, Pengendali Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) dalam mengidentifikasi kepiting bakau (Scylla spp.) baik jenis maupun stadianya dalam kondisi bertelur atau tidak bertelur. Oleh karena itu, guna menghindari kesalahan dalam pemeriksaan/identifikasi dan penegakan hukum, diperlukan Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla spp.). Pedoman ini disusun dalam rangka memberikan acuan bagi petugas karantina ikan di UPT-KIPM dalam melakukan pemeriksaan/identifikasi jenis dan stadia kepiting bakau (Scylla spp.)
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga penyusunan pedoman ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Semoga pedoman ini bermanfaat bagi petugas karantina ikan dan pemangku kepentingan terkait lainnya di lapangan dalam memeriksa/mengidentifikasi kepiting bakau (Scylla spp.).
Jakarta, Agustus 2016
Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan
v
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau menurut Estampador (1949) dan
vi
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau menurut (Keenan dkk. 1989) --- 5
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla serrata (Keenan dkk. 1999) --- 6
Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla paramamosain (Keenan dkk. 1999) --- 6
Gambar 4. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla tranquebarica (Keenan dkk. 1999) --- 7
Gambar 5. Morfologi Kepiting Bakau spesies Scylla olivacea (Keenan dkk. 1999) --- 7
Gambar 6. Bagian-bagian Tubuh Kepiting Bakau --- 9
Gambar 7. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan dan Betina --- 10
Gambar 8. Tiga Bentuk Penutup Abdomen. A. Tipe Meruncing dan Triangular (V shape), B. Tipe Lebar dan Globular (U shape), dan C. Tipe Antara V dan U (intermediate V-U) --- 10
Gambar 9. Morfologi Kepiting Bakau (tampak atas) --- 11
Gambar 10. Morfologi Kepiting Bakau (tampak bawah) --- 12
Gambar 11. Bagian Organ Dalam Kepiting Bakau --- 13
Gambar 12. Distribusi Kepiting Bakau di Dunia --- 14
Gambar 13. Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.) (Sunarto, 2015) --- 16
Gambar 14. Siklus Hidup Kepiting Bakau --- 19
Gambar 15. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S. Islam dkk. 2010) --- 21
Gambar 16. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S. Islam dkk. 2010) --- 21
Gambar 17. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S. Islam dkk. 2010) --- 22
Gambar 18. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S. Islam dkk. 2010) --- 22
vii
Gambar 20. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal
(M. S. Islam dkk. 2010) --- 24 Gambar 21. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir
(M. S. Islam dkk. 2010) --- 24 Gambar 22. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir
(M. S. Islam dkk. 2010) --- 25 Gambar 23. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Sempurna
(M. S. Islam dkk. 2010) --- 26 Gambar 24. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Sempurna
(M. S. Islam dkk. 2010) --- 26 Gambar 25. Perkembangan Gonad Melalui Pengamatan Luar
(Tanpa Pembedahan - Karapas) Gonad Mulai Matang Kuning (a,b) dan Gonad Sudah Matang Kuning-Oranye (c,d,e) --- 28 Gambar 26. Perkembangan Telur yang telah dibuahi, Mulai Dari
Telur Berwarna Kuning (Gambar. a) Hingga Telur
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 1980-an, kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting, mempunyai nilai ekonomis penting, dan memiliki harga yang tinggi baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri, antara lain di Asia (seperti Singapura, Thailand, Taiwan, Hongkong dan China) (Rusdi dan Hanafi, 2009), maupun di Amerika dan Eropa. Dalam perdagangan internasional jenis kepiting bakau dikenal sebagai Mud Crab atau bahasa Latinnya Scylla spp.
Perkembangan usaha perdagangan kepiting bakau sampai saat ini terus
meningkat karena peluang pasar ekspor yang terbuka luas (dengan lebih dari 10 negara konsumen), potensi lahan bakau yang merupakan habitat hidupnya cukup besar, pengetahuan dan teknologi yang semakin meningkat baik budidaya (pembenihan, pembesaran), maupun teknologi penangkapannya. Peluang pasar yang cukup besar dengan harga tinggi tersebut menyebabkan bisnis kepiting berkembang di banyak tempat di negara kita seperti di Kalimantan (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah), Jawa (Subang, Indramayu, Cilacap, Pemalang, Gresik, Sidoarjo), Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Utara, Lampung), Papua, Papua Barat dan lain-lain, dengan target pemasaran lokal maupun ekspor (antara lain Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, Australia dan Prancis).
Sebagai salah satu sumber pendapatan nelayan dan devisa negara, kepiting perlu mendapatkan perhatian dari segi kelestarian dan keberlangsungan hidupnya di alam. Dalam rangka perlindungan dan menjaga kelestarian kepiting bakau, Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunuspelagicus spp.).
Dalam penerapan peraturan tersebut, petugas Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (UPT-KIPM)
2
jenis kepiting bakau yang terdapat di Indonesia serta stadia bertelur dan tidak bertelur. Oleh karena itu, perlu disusun Pedoman Pemeriksaan/Identifikasi Jenis Ikan Dilarang Terbatas (Kepiting Bakau/Scylla spp.).
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman ini adalah untuk memberikan acuan bagi petugas UPT-KIPM dalam mengidentifikasi jenis dan stadia bertelur kepiting bakau.
1.3. Sasaran
Sasaran pedoman ini adalah petugas UPT-KIPM agar mampu mengidentifikasi jenis dan stadia bertelur kepiting bakau.
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi morfologi, jenis, habitat dan distribusi, serta biologi kepiting bakau (Scylla spp.).
1.5. Dasar Hukum
Dasar hukum penyusunan pedoman ini adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan tumbuhan;
3. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to The Convention on Biological
Diversity (Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati);
3 6. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan;
9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 1/PERMEN-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).
1.6. Definisi Istilah
Berikut ini beberapa istilah yang umum ditemukan pada kepiting bakau:
Capit (Claw atau Chela) : bagian kaki pertama yang umumnya paling besar;
Kaki jalan : kaki kepiting yang umumnya berjumlah 4, yang berfungsi untuk berjalan;
Kaki renang : kaki kepiting yang ujungnya berbentuk dayung, berfungsi untuk berenang;
Merus : bagian kaki kepiting yang dekat denga bagian badan;
Corpus : bagian kaki kepiting yang terletak atara merus dan propodus;
Propondus : bagian kaki kepiting yang posisinya jauh dari badan
Dactylus : bagian propondus yang dapat digerakkan; Duri kepala (frontal spine) : duri yang terdapat pada bgian dahi kepala
kepiting bakau;
Duri lengan : duri yang terdapat pada bagian lengan corpus;
Duri samping (lateral spine): duri yang terdapat pada bagian samping badan kepiting bakau;
Karapas : cangkang keras yang melindungi organ dalam;
4
II.
JENIS-JENIS KEPITING BAKAU
Menurut Stephenson dan Campbell (1960), Motoh (1977), Warner (1977), Moosa (1980) dan Keenan dkk (1998), kepiting bakau dapat diklasifikasikan
Spesies : Scylla serrata (Forskal, 1775), S. tranquiberica
(Fabricus, 1798), S.parama mosain (Estampador, 1949), dan S. olivacea (Herbst, 1796). maupun investigasi metode genetik yakni mitokondria DNA dan allozim elektroforesis. Pemberian nama tersebut berbeda dengan nama-nama spesies yang disampaikan oleh Estampador (1949), dan hingga kini paling layak untuk diacu sebagai kunci identifikasi di alam. Perbandingan pemberian nama Estampador (1949) dan Keenan dkk (1998) disampaikan pada Tabel 1.
5 Tabel 1. Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Estampador (1949) dan Keenan
dkk (1998)
Gambar 1.Jenis-jenis Kepiting Bakau Menurut Keenan dkk (1998) Penamaan oleh Estampador (1949) Penamaan oleh Keenan dkk (1998)
Scylla oceanica
S. serrata
S. tranquebarica
S. serrata var. paramamosain
Scylla serrata
S. olivacea
S. tranquebarica
S. paramamosain
Scylla paramamosain Scylla serrata
6
Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla serrata (Keenan dkk. 1999)
Kepiting bakau jenis Scylla serrata memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri bagian depan kepala umumnya lancip, dan memiliki duri tajam pada bagian corpus.
Gambar 3.Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla paramamosain (Keenan dkk. 1999)
Kepiting bakau jenis Scylla paramamosain memiliki duri yang relatif agak tinggi/sedang, memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen
7 Gambar 4.Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla tranquebarica (Keenan dkk.
1999)
Kepiting bakau jenis Scylla transquebarica memiliki warna karapas kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya. Duri bagian depan kepala umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian bagian corpus.
Gambar 5.Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla olivacea (Keenan dkk. 1999)
8
Tabel 2. Perbandingan Karakter Pada Genus Scylla
Karakter Scyllaolivacea Scyllaparamamosain Scyllaserrata Scyllatranquebarica
Capit
Muka karapas
9
III.
MORFOLOGI DAN ANATOMI KEPITING BAKAU
3.1. Morfologi Kepiting Bakau
Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea. Tubuh kepiting ditutupi dengan karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar) dan berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007). Kulit yang keras tersebut berkaitan dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang selalu terjadi proses pergantian kuit (moulting). Kepiting bakau genus Scylla ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi panjangnya terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua matanya.
Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah karapas. Anggota badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 (lima) pasang kaki.
10
Gambar 6.Bagian-bagian Tubuh Kepiting Bakau
Berdasarkan morfologinya, perbedaan pada kepiting bakau jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 3. dan Gambar 7.
Tabel 3. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina
Bagian tubuh Jantan Betina
Capit Lebih besar dan panjang Lebih kecil dan relatif lebih pendek Pleopod (kaki renang) berfungsi sebagai alat
kopulasi
berfungsi sebagai tempat meletakkan telur
Ukuran Tubuh Memiliki ukuran tubuh yang besar
11 Gambar 7.Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan (kiri) dan Betina
(kanan)
Pada kepiting betina, berdasarkan bentuk penutup abdomen terdapat 3 jenis atau tipe meruncing dan triangular (V shape), tipe lebar dan globular (U shape), dan tipe antara V dan U (intermediate V-U) (Gambar 8).
A B C
Gambar 8.Tiga Bentuk Penutup Abdomen. A. tipe Meruncing dan Triangular (V shape), B. Tipe Lebar dan Globular (U shape), dan C. Tipe Antara V dan U (intermediate V-U)
Menurut Siahainenia (2008), kepiting bakau memiliki warna karapas yang bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan. Hal itu karena habitat alami hewan ini yang berada di kawasan mangrove yang bertekstur tanah pasir
berlumpur. Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang dalam keadaan normal capit (cheliped) sebelah kanan lebih besar dibandingkan capit sebelah kiri
(Kasry, 1996).
12
usus, tepi posterior, daerah protobranchial, daerah mesobranchial, daerah metabranchial, propodus, dactylus, kaki jalan, dan kaki renang.
Foto: Asriansyah, 2016
Gambar 9. Morfologi Kepiting Bakau (tampak atas)
Keterangan:
1. Capit 7. Daerah orbital 13. Daerah metagastric 19. Badan
2. Manus 8. Mata majemuk 14. Daerah jantung, 20. Daerah protobranchial,
3. Carpus 9. Daerah epigastric, 15. Daerah
anterolateral
21. Daerah mesobranchial,
4. Merus 10. Daerah propoga stric 16. Branchial Lobe 22. Daerah metabranchial,
5. Ischium 11. Daerah hati 17. Usus 23. Propodus,
6. Daerah frontal 12. Daerah mesogastric 18. Tepi Posterior 24. Dactylus, B-D. kaki jalan,. dan E. kaki renang
Jika dilihat dari bawah, tampak beberapa bagian antara lain: dactylus, propodus, carpus, merus, ischium, basis, coxa, thorax, badan, daerah sub hepatic, merus dengan 3 mexilliped, ischium dengan 3 mexiliiped, tiga mexilliped, manus,
13 Foto: Asriansyah, 2016
Gambar 10. Morfologi Kepiting Bakau (tampak bawah) Keterangan:
1. Dactylus 7. Coxa 13. Ischium dengan 3 Maxiliped
2. Propodus 8. Thorax 14. Tiga Maxiliped
3. Carpus 9. Badan 15. Manus
4. Merus 10. Daerah subhepatic a-d. Sternum ke 7,6,5,4
5. Ischium 11. Hepatic
6. Basis 12. Merus
3.2. Anatomi Kepiting Bakau
Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan
14
Gambar 11.Bagian Organ Dalam Kepiting Bakau
15
IV.
DISTRIBUSI DAN HABITAT
4.1. Distribusi
Kepiting bakau mempunyai habitat hidup di daerah pantai dengan vegetasi bakau di sekitar muara sungai. Genus Scylla spp. memiliki penyebaran yang sangat luas (Gambar 12). Menurut Moosa dkk. (1985) dalam Mardjono dkk. (1994) kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis mulai dari Pantai Barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah Utara: dari Jepang bagian Selatan sampai Pantai Utara Australia, dan di Pantai Barat Amerika bagian Selatan. Kepiting
bakau sesuai dengan jenisnya, memiliki wilayah habitat yang juga spesifik. Scylla serrata merupakan spesies kepiting bakau yang memiliki distribusi penyebaran paling luas dibanding spesies lainnya (Hubatsch dkk., 2015). S. serrata dapat ditemukan di wilayah pesisir perairan tropis dan subtropis, diantaranya adalah pantai selatan dan timur Afrika, Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australia. Selain itu, S. serrata juga ditemui di kepulauan Indo Pasifik seperti Kepulauan Mariana, Kepulauan Fiji, Kepulauan Samoa, Kepulauan Seychelles, Kepulauan Maladewa, dan Pulau Mauritius. Populasi S. serrata menyebar hingga wilayah perairan sampai 38° Lintang Selatan, sedangkan 3 spesies lainnya berpusat di perairan sekitar garis khatulistiwa (Hubatsch dkk., 2015).
Distribusi kepiting bakau jenis S. tranquebarica, S. olivacea, dan S.
paramamosain menyebar di wilayah perairan Landasan Kontinen (wilayah laut dangkal di sepanjang pantai dengan kedalaman kurang dari 200 meter) Asia dan hanya jenis S. olivacea yang dapat ditemukan di wilayah perairan bagian utara Australia. Ketiga spesies tersebut menyebar di Laut Cina Selatan, dan Laut Jawa
16
Sumber:Hubatsch dkk., 2015
Gambar 12.Distribusi Kepiting Bakau di Dunia
Indonesia dengan potensi hutan bakau yang sangat besar (4,25 juta ha) tersebar di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, diduga merupakan habitat dan fishing ground kepiting bakau. Kepiting bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuari dengan kadar garam 0 sampai 35 ppt. Hewan ini menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air yang tidak terlalu dalam (sekitar 10-80 cm) dan terlindung, seperti di wilayah hutan bakau. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak.
Ekosistem hutan bakau atau mangrove merupakan ekosistem hutan yang tumbuh di lingkungan pantai dan sebagai sumber produktivitas primer, sehingga
berfungsi sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground), tempat berlindung/daerah asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning
17 mangrove sangat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kepiting bakau di dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur terdapat di daerah laut dekat pantai yang merupakan tempat melakukan perkawinan (spawning ground). Selain itu kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak di daerah pertambakan dan hutan bakau yang berair tak terlalu dangkal (lebih dari 0,5 m).
4.2. Habitat
Habitat hutan bakau merupakan habitat utama kepiting untuk tumbuh dan berkembang (nursery ground) dikarenakan terdapat organisme kecil yang menjadi makanan dari kepiting bakau. Habitat alami kepiting bakau adalah daerah
perairan payau yang dasarnya berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai yang banyak ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Vegetasi mangrove yang umum
dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia sp.), nyrih (Xylocarpus sp.), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), tanjang (Brugueira sp.), tengar (Ceriops sp.) dan buta-buta (Exoecaria sp.).
18
Keterangan Lokasi Stasiun:
1 = Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. (TSDR) 2 = Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. (TSDA) 3 = Kanal dominan Rhizopora sp. (KDR)
4 = Kanal dominan Avicennia sp. (KDA) 5 = Pinggiran Hutan Mangrove (PHM)
Gambar 13.Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.) (Sunarto, 2015)
Di wilayah hutan mangrove Sancang, Kabupaten Garut (Jawa Barat), dijumpai 3 jenis spesies kepiting bakau (Avianto dkk, 2013), yaitu S. serrata, S. tanquaberica, S. olivacea. Jenis kepiting bakau S. serrata diperkirakan mendominasi di wilayah zona dekat laut, dengan kadar salinitas >28 ‰. Di Zona penelitian yang agak ke tengah (yang merupakan kawasan tengah hutan mangrove dengan toleran pada salinitas 24 - >28 ‰) ditemukan S.tanquaberica. Pada zona agak jauh dari pantai (yang merupakan wilayah belakang hutan mangrove dan diduga toleran pada salinitas cukup rendah 22,44 ‰) ditemukan cukup banyak jenis S. olivacea. Pada wilayah hutan mangrove yang dekat dengan pantai, umumnya didominasi oleh jenis Avicenia sp. dan Sonneratia sp., pada zona agak ke tengah ditemukan banyak jenis Rhizopora sp., sedangkan wilayah yang agak
19
V.
BIOLOGI
5.1. Sumber Makanan dan Kebiasaan Makan
Di dalam habitat alaminya kepiting bakau mengkonsumsi berbagai jenis pakan antara lain alga, daun-daun yang telah membusuk, akar serta jenis kacang-kacangan, jenis siput, kodok, katak, daging kerang, udang, ikan, bangkai hewan (Kasry, 1996), sehingga kepiting bakau bersifat omnivore (pemakan segala). Kepiting bakau aktif makan pada waktu malam hari, namun sebenarnya waktu makannya tidak beraturan. Pada saat stadia larva, kepiting bakau lebih cenderung mengkonsumsi pakan dari jenis planktonik seperti Diatom sp., Tetraselmis sp.,
Chlorella sp., Rotifer (Brachionus sp.), serta larva Echinodermata, Moluska, cacing dan lain-lain (Kasry, 1996; Kordi, 1997).
5.2. Siklus hidup
Amir (1994) dalam Agus (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau tumbuh berkembang. Kepiting betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm.
Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap) tetapi kepiting bakau juga melakukan perkawinan pada siang hari (Ditjen Perikanan 1994). Spermatofor kepiting jantan akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur
20
Sumber: Hubatsch dkk., 2015
Gambar 14. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan pantai
sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Zoea membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali untuk
menjadi kepiting dewasa.
21 5.3. Tingkat Kematangan Gonad
Kepiting bakau merupakan organisme yang dioceous, artinya mempunyai jenis kelamin jantan dan betina pada individu yang berbeda. Perbedaan kepiting jantan dan betina dapat diketahui secara morfologi.
Sistem reproduksi kepiting betina terdiri atas ovarium, saluran telur, dan spermateka, sedangkan pada kepiting jantan terdiri atas testis, saluran sperma, dan alat ejakulasi. Pada betina, ovarium terletak di dalam rongga abdomen, melintang tepat di atas kelenjar pencernaan, demikan juga pada kepiting jantan. Ujung spermateka mengarah pada koksa dari pasangan kaki ketiga, sedangkan saluran sperma terbuka kearah koksa pada pasangan kaki terakhir. Ujung dari saluran telur mengalami modifikasi membentuk spermateka dan vagina untuk menangkap
pleopod jantan. Ukuran spermateka berubah-ubah sesuai volume sperma yang dikandungnya (Diesel, 1991).
Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) pada kepiting bakau betina dapat dilakukan dengan dua pemeriksaan yaitu pemeriksaan secara morfologis dan histologis. Pengamatan secara morfologis dilakukan dengan melihat perubahan ukuran dan warna yang tampak pada bagian bawah abdomen. Kedua teknik penentuan tingkat kematangan gonad dari kepiting bakau ini berdasarkan Kasry (1996) yang dikombinasikan dengan Islam dkk. (2010) dan Ikhwanuddin dkk. (2014) yaitu:
1. TKG I belum matang (immature, polyferation)
Pada tingkat kematangan gonad pertama, gonad memiliki ciri morfologis antara lain ovarium berbentuk sepasang filamen yang mengarah ke punggung, berwarna kuning keputihan, seluruhnya ditutupi selaput peritoneum tipis (Gambar 15).
22
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland
Gambar 15.Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S. Islam dkk. 2010).
Keterangan: O: Ovary
Gambar 16.Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Belum Matang (M. S. Islam dkk. 2010).
23 plastik di kolam air tambak atau saluran tambak, setelah 5-10 hari, gonad sudah mulai agak berkembang.
2. TKG II berkembang (developing, previtellogeneisis, early maturing)
Gonad memiliki ciri morfologis antara lain.ukuran ovarium bertambah dan meluas baik ke arah lateral maupun antero posterior, butiran telur belum kelihatan dan warnanya menjadi kuning keemasan (Gambar 17).
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland; Cs: Cardiac stomach
Gambar 17. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S. Islam dkk. 2010).
24
Keterangan: P: Primary oocytes; V: Vacuolated globule
Gambar 18. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Berkembang (M. S. Islam dkk. 2010).
Pada perkembangan gonad dari kondisi berkembang menjadi menjelang matang diperlukan waktu 10-15 hari. Pada kondisi tersebut tersebut, gonad sudah mulai berkembang, namun masih belum besar (kurang dari 20%).
3. TKG III menjelang matang (maturing, primary vitellogenesis)
Pada fase ini gonad memiliki ciri morfologis antara lain ovarium semakin membesar. Warnanya mulai orange muda dan butiran telurnya sudah terlihat,
namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak (Gambar 19).
25 Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland; Cs: Cardiac stomach
Gambar 19. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal (M. S. Islam dkk. 2010).
Keterangan: F: Follicle cell; N: Nukleus; Yg: Yolk globule; Nu: Nucleolus
Gambar 20. Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Awal (M. S. Islam dkk. 2010).
Pada perkembangan gonad dari kondisi menjelang matang menjadi matang diperlukan waktu 15-20 hari. Pada kondisi tersebut tersebut, gonad berkembang
26
4. TKG IV matang sampai matang akhir (mature-fully mature, secondary-tertiary vitellogenesis)
Gonad pada fase matang, gonad memiliki ciri morfologis antara lain butiran telur semakin membesar dan terlihat jelas berwarna orange serta dapat dipisahkan dengan mudah karena lapisan minyak sudah semakin berkurang (Gambar 21).
Keterangan: O: Ovary; D: Digestive gland
Gambar 21. Kondisi Morfologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir (M. S. Islam dkk. 2010).
27 Keterangan: F :Follicle cell; N: Nukleus; Yg: Yolk globule; Nu: Nucleolus
Gambar 22.Kondisi Histologis Gonad Dalam Keadaan Matang Akhir (M. S. Islam dkk. 2010).
Pada perkembangan gonad dari kondisi menjelang matang menjadi matang diperlukan waktu 20-30 hari. Pada kondisi tersebut tersebut, gonad berkembang sampai 50% atau lebih.
28
Keterangan: O: Ovary
Gambar 23.Kondisi morfologis gonad dalam keadaan matang sempurna (M. S. Islam dkk. 2010).
Keterangan: F: Follicle cell; N: Nukleus; Vt: Vitellus
Gambar 24.Kondisi histologis gonad dalam keadaan matang sempurna (M. S. Islam dkk. 2010).
Berdasarkan perkembangan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) di atas, maka kepiting bakau dianggap bertelur apabila sudah mencapai TKG 3 sampai dengan TKG 4.
29 perairan. Di seluruh perairan tropis di Indonesia, hewan ini melakukan pemijahan sepanjang tahun, namun karena adanya perbedaan musim hujan dan musim kemarau, puncak kegiatan memijah tidak sama untuk setiap tempat dan setiap tahunnya. Proses pemijahan biasa dilakukan pada dasar perairan, di sekitar kawasan hutan mangrove di pinggir pantai, akan tetapi pada saat tertentu kepiting ini juga ada di sekitar tambak dan estuaria. Berdasarkan penelitian Kasry (1996) dan Kanna (2002), kepiting bakau juga dapat dipijahkan di laboratorium dengan masa inkubasi 12 hari, namun tingkat kelulusan hidup (survival) larva hasil pemijahan di laboratorium masih rendah. Tingkat perkembangan indung telur (gonad) merujuk pada tingkat kematangan gonad, menjelang matang (mature) belum dapat dilihat dengan mata telanjang dan terbentuk sepasang filamen seperti
sari susu berwarna kuning keputihan. Ketika telur matang sedang, ukuran gonad bertambah besar dan mengisi hampir seluruh permukaan ruang bagian punggung
dan daerah dada, terlihat berwarna kemerahan atau kuning keemasan. Selanjutnya telur itu akan berkembang dengan baik (Poovachiranon, 1991).
30
Gambar 25.Perkembangan Gonad Melalui Pengamatan Luar (Tanpa Pembedahan Karapas) Gonad Mulai Matang Kuning (a,b) dan Gonad Sudah Matang Kuning-Oranye (c,d,e)
Kepiting betina yang sudah kawin dan memijah (melepaskan telur-telurnya), telur tersebut dibuahi (fertilisasi) oleh sperma yang sudah disimpan ketika perkawinan terjadi. Telur yang sudah terfertilisasi tidak dilepaskan ke dalam air melainkan segera menempel pada rambut-rambut yang terdapat pada umbai-umbai di bagian bawah abdomen. Di Indonesia yang beriklim tropika telur
itu “dierami” selama 20 - 23 hari sampai menetas (tergantung tingginya suhu air). Seekor induk betina kepiting bakau yang beratnya 100 gram (lebar karapas 11 cm) menghasilkan telur 1-1,5 juta butir. Semakin besar /berat induk kepiting, semakin banyak telur yang dihasilkan.
a b
c d
31 Telur yang baru difertilisasi (dibuahi) berwarna kuning-oranye. Semakin berkembang embrio dalam telur, warna telur akan berubah menjadi semakin gelap yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman ketika hampir menetas (Gambar 26).
Induk yang mengerami telur umumnya sedikit atau tidak makan sama sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya dan sering tampak berdiri tegak pada kaki dayungnya, agar telur-telur mendapat aliran air segar yang cukup oksigen.
Gambar 26.Perkembangan Telur yang Telah Dibuahi, Mulai Dari Telur Berwarna Kuning Hingga Telur Berwarna Kehitaman
a b c
32
DAFTAR PUSTAKA
Agus M. 2008. Analisis Carring Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro, Semarang.
Avianto I, Sulistiono, I Setyobudiandi. 2013. Karakteristik Habitat Dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S. transquaberica, dan S. olivacea) Di Hutan Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya perairan. Aquasains. 97-106 p.
Baliao, D.D., E.M. Rodriques and D.D. Gerochi. 1981. Culture of the Mud Crab, Scylla serrata (Forskal) at Different Stocking Densities in Brackish Waterpond. SEAFDEC. Quar, Res, Report, 5 : 10 - 14.
Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific Volume 2: Cephalopods, crustaceans, holothurians and shark. Food And Agriculture Organization of the United States. Roma.
Catacutan, M. R. (2002). Growth and body composition of juvenile mud crab, Scylla serrata, fed different dietary protein and lipid levels and protein to energy ratios. Aquaculture, 208(1-2), 113-123.
Clark JE. 1974. Coastal Ecosystem : Ecological Consideration for Management of the Coastal Zone. The Conservation Foundation Washington, D.C. NOAA Office of Coastal Environment U.S. Dept. Of Commerce.
Diesel, R. 1991. Sperm Competition and the Evolution of Mating Behavior in Brachyura, with Special Reference to Spider Crabs (Decapoda: Majidae). In: Bauer, R. T. & Martin, J. W. (Hg.): Crustacean Sexual Biology, pp 145-163. Columbia University Press, New York.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jenderal Perikanan. 40 hlm.
Estampador, E. P. 1949. "Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae) I. Revision of the genus. Philipp. J. Sci. 78(1): 95-108. pls. 1-3.
Giri, I.N.A, F. Johnny, K. Suwirya dan M. Marzuqi. 2002. Kebutuhan vitamin C untuk pertumbuhan dan meningkatkan ketahanan benih kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol-Bali. TA. 2003. Halaman: 133-143. Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015.
33 Hutabarat, R. B. 1983. Beberapa Segi Kehidupan Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskal) di Perairan Mangrove Ujung Alang, Cilacap. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Jend. Sudirman, Purwokerto.
Hutasoit, B. 1991. Telaah Segi-Segi Ekologi Kepiting Bakau. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.
Ikhwanuddin, M., J. Nur-Atika, A.B. Abol-Munafi, H. Muhd-Farouk. 2014. Reproductive biology on the gonad female orangemud crab Scylla olivacea (Herbst, 1796) from the West Coastal Water of Peninsular Malaysia. Asian Journal of Cell Biology 9 (1):14-22.
Juwana, S dan K. Romimohtarto. 2001. Cara Budidaya Kepiting, Rajungan dan Menu Masakan. Djambatan, Jakarta.
Kanna, I. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau Pembesaran dan Pembenihan. Kanisius. Yogyakarta. 80 hlm.
Karim, M. Y. 2005. Kinerja pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forsskal) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas Optimum dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 50 hal.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bharata, Jakarta. 93 p.
Keenan, C. P., P. J. F Davie, dan D. L. Mann. 1998. ‘A Revision of The Genus
Scylla de Haan, 1833 (Crustacea : Decapoda : Brachyura : Portunidae)’,
Raffles Bulletin of Zoology 46 : 217-245.
Keenan C. P. 1999. The fouth spesies of scylla. Dalam Mud crab aquaculture and biology. ACIAR proceedings. 78. ACIAR. Canberra. 48-58.
Kordi, G. H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistim Polikatur. Dahara Press. Semarang.
Kordi G. H. 2012. Jurus Jitu Pengelolaan Tambak untuk Budi Daya Perikanan Ekonomis. ANDI. Yogyakarta. 396 hlm.
M. S. Islam dkk. 2010. Ovarian Development of the Mud Crab Scylla paramamosain in a Tropical Mangrove Swamps, Thailand. Hournal of Scientific Research. 2 (2), 380-389.
Macnae. 1968. A General Account of Fauna of The Mangrove Swamps of Inhaca Island, Mocambique. J. Ecol. 50 : 93-128.
Mardjono, M. 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau. Direktorat Jendral Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Moosa, M. K. 1980. Systematical and zoogeographical observation the Indo-West Pasific Portunidae. LON - LIPI. Jakarta. Hal 1-138.
Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimango, Genus Scylla. Quart. Res. Rep. SEAFDEC. 3 : 136-157.
34
Nirmalasari I. W. 2011. Pengelolaan Zona Pemnafaatan Ekosistem Mangrove Melalui Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla seratta) Di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Disertasi IPB, Hal: 1 – 293.
Poovachiranon, S. dan P. Tantichodok. 1991. The Role of Sesarmid Crabs in The Mineralization of Leaf Litter of Rhizophora apiculata in a Mangrove, Southern Thailand. Research Bulletin of Phuket Marine Biological Centre 56: 63-74.
Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Species Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.
Retnowati, T. 1991. Menentukan Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla serrata, Forskal) Secara Morfologis dan Kaitannya dengan Perkembangan Gamet. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Perikanan, IPB.
Rusdi I., dan A. Hanafi, 2009. Pembesaran Krablet Kepiting Bakau Scylla paramamosain Asal Hatchery di Lahan Mangrove. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali 2009.
Siahainenia, L. 2000. Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (S. serrata, S. oceanica dan S. tranquebarica) dan Hubungannya dengan Karakteristik Habitat pada Kawasan Hutan Mangrove Teluk Pelita Jaya, Seram Ba rat-Maluku. Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. 95 p.
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Stephenson, W., B. Campbell. 1959.‘The Australians Portunids (Crustacea:
Portunidae) III, The genus Portunus’, Aust J.mar. Freshwat. Res. 10: 84 –
124.
Sunarto, 2015. Hubungan Antara Keberadaan Kepiting Bakau (Scylla spp.) Dengan Kondisi Mangrove Dan Substrat Di Kawasan Tambak Silvofishery, Eretan Indramayu. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. Wahyuni, I. S. dan Sunaryo. 1981. Beberapa Catatan tentang Scylla serrata
(Forskal) di Daerah Muara Dua, Segara Anakan, Cilacap. Makalah pada Kongres Nasional Biologi V di Semarang, 26-28 Juni.
Wahyuni I.S. dan W. Ismail. 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan Kepiting Bakau (Scylla serrata, Forskal) di Perairan Tanjung Pasir, Tangerang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 38: p. 59-68.