• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Forcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru: studi kasus seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Forcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru: studi kasus seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya."

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGIFORCING CONFORMITYUNTUK MENGEMBANGKAN ADAPTASI DIRI SANTRI TERHADAP PERATURAN BARU (Studi Kasus: Seorang Santri MTs Kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi

Al-Fithrah Surabaya)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

FEBRI ZULKARNAIN NIM: B53213049

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Febri Zulkarnain (B53213049), Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).

Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)? (2) Bagaimana Hasil Konseling dengan Menggunakan StrategiForcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan jenis studi kasus, dan analisa data deskriptif komparatif. Peneliti melakukan wawancara, mengamati dan mempelajari secara terperinci, mendalam dan menyeluruh terhadap permasalahan adaptasi diri seorang santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah surabaya. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses strategi forcing conformity dalam menangani permasalahan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Adapun untuk mengetahui hasil akhir dari pelaksanaan strategi forcing

conformityini peneliti membandingkan antara teori dengan pelaksanaan pemberian

treatment di lapangan, mengamati dan membandingkan kondisi konseli sebelum

dan sesudah pelaksanaan strategiforcing conformity.

Proses pelaksanaan strategi forcing conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, dilaksanakan melalui tahap identifikasi masalah, diagnosis, prognosis,

treatment, dan evaluasi/follow up. adapun pada proses treatment konselor

menggunakan teknik Reframing (reframing content dan reframing context) dan menggunakan teknikReward and punishmentsebagai penguatan agar konseli bisa berkomitmen dan konsisten dengan perubahan perilaku lebih baik yang terjadi. Hasil akhir dari pemberian treatment ini dapat dinyatakan berhasil dengan prosentase 80%, hasil tersebut dapat dilihat dari perubahan yang ada pada diri konseli. konseli sudah tidak pernah membolos sekolah, konseli tidak lagi berpura-pura sakit dan tidur di kamar, konseli tidak lagi berkeliaran diluar kelas saat pembelajaran berlangsung, dan konseli sudah mau untuk menambal kitabnya.

(7)

PERNYATAAN OTENTITAS SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Definisi Operasional ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 13

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian... 14

3. Jenis Sumber Data... 15

4. Tahap-tahap Peneitian ... 17

5. Teknik Pengumpulan Data... 19

6. Teknik Analisis Data... 21

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 22

G. Sistematika Pembahasan... 23

BAB II: FORCING CONFORMITY, ADAPTASI DIRI, PERATURAN DAN TATA TERTIB A. Forcing Conformity... 25

1. PengertianForcing Conformity... 25

2. StrategiForcing Conformity... 28

3. Teknik-teknik dalam StrategiForcing Conformity... 29

a. Reframing... 29

b. Reward and Punishment ... 33

B. Adaptasi Diri... 43

1. Pengertian Adaptasi Diri ... 43

2. Unsur-unsur Adaptasi Diri ... 45

3. Bentuk-bentuk Adaptasi Diri ... 46

4. Jenis-jenis Adaptasi Diri ... 48

5. Macam-macam Adaptasi Diri ... 50

6. Kriteria Adaptasi Diri... 51

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptasi Diri... 52

(8)

x

1. Pengertian Peraturan ... 53

2. Tata Tertib ... 53

a. Pengertian Tata Tertib... 54

b. Tujuan Tata Tertib... 55

c. Tipe-tipe Kepatuhan Siswa terhadap Tata Tertib.... 56

D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan... 57

BAB III: PENYAJIAN DATA PELAKSANAAN STRATEGI FORCING CONFORMITY UNTUK MENGEMBANGKAN ADAPTASI DIRI SANTRI TERHADAP PERATURAN BARU (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya) A. Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru Assalafi Al Fithrah Surabaya ... 59

1. Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 59

a. Sejarah Berdirinya... 59

b. Jaminan Mutu Lulusan ... 60

c. Visi dan Misi ... 61

d. Struktur Organisasi Lembaga... 61

2. Identitas Konseli... 75

a. Kepribadian Konseli... 76

b. Latar belakang Pendidikan... 77

c. Latar Belakang Agama... 78

d. Latar Belakang Ekonomi... 78

e. Kondisi Sosial dan Budaya ... 79

3. Masalah Adaptasi Diri Konseli ... 79

4. Deskripsi Konselor... 82

a. Biodata Konselor... 82

b. Riwayat Pendidikan Konselor... 83

c. Pengalaman dan Kompetensi Konselor ... 83

B. Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 85

1. Proses Penerapan Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 85

a. Identifikasi Masalah ... 86

b. Diagnosis... 86

c. Prognosis ... 87

d. Treatment ... 88

e. Evaluasi/Follow Up... 96

(9)

xi

BAB IV : ANALISIS DATA

A. Analisis Proses Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan

Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya .. 99 B. Analisis Hasil Akhir Strategi Forcing Conformity untuk

Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan

Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya .. 108

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 108 B. Saran ... 109

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengakar di

Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Pondok pesantren sudah ada sejak lama di Indonesia, bahkan sebelum lembaga pendidikin modern ada. Berdirinya pesantren berawal dari masuknya ajaran Islam ke tanah Indonesia yang

dibawa oleh para da’i, mubaligh dan wali dari luar negeri.

Pondok pesantren merupakan wadah pendidikan yang mempunyai

kurikulum dan sistem terbaik. Tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu ukhrawi, pesantren juga mengajarkan ilmu-ilmu duniawi.

Secara etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari pondok

dan pesantren. Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam pesantren Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan

padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar sebagai asrama bagi para santri. Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang berarti tempat santri.2

Sejarah pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari peran para Wali Sembilan atau lebih dikenal dengan Walisongo yang menyebarkan Islam di

pulau Jawa pada khususnya. Pada masa Walisongo inilah istilah pondok

(11)

2

pesantren mulai dikenal di Indonesia.3 Ketika itu Sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa. Para santri

yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agam. Padepokan Sunan Ampel inilah yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya

pesantren-pesantren yang tersebar di Indonesia.4

Seiring berkembangnya zaman, sudah banyak sekali pesantren-pesantren yang telah berkembang di indonesia. Data Kementerian Agama

tahun 2012 misalnya, menunjukan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data 1997,

yang tercatat baru sebanyak 4.196 buah. Data saat ini menunjukan setidaknya ada 3.004.807 anak yang tercatat sebagai santri mukim (79,93 %). Sisanya, sebanyak 754.391 untuk santri yang tidak menetap.5

Secara umum, pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni pesantrensalaf(tradisional) dan pesantrenkhalaf(modern). Pembedaan

ini didasarkan atas dasar materi-materi yang disampaikan dalam pesantren. Dalam sistem dan kultur pesantren dilakukan perubahan yang cukup drastis:6 ada beberapa perubahan yang bisa kita lihat di beberapa pondok

pesantren yang ada sekarang ini diantaranya yaitu: perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang

3Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, (Pati: Staimafa Press, 2013), hal. 10.

4Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 11.

5 http://ditpdpontren.kemenag.go.id/berita/mengapa-harus-pilih-pendidikan-pesantren-ini-jawabannya/, Diakses pada taggal 11 Oktober 2016.

(12)

3

kemudian dikenal dengan istilah madrasah (sekolah), pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa

Arab, bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar,

kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga serta kesenian yang Islami, lulusan pondok pesantren diberikan

syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut. Biasanya

ijazah bernilai sama dengan ijazah negeri, dan lembaga pendidikan tipe universitas sudah mulai didirikan di kalangan pesantren. Melihat kondisi ini

mencerminkan bahwa pondok pesantren sudah mulai menerima dan mulai bangkit untuk mengikuti perkembangan zaman atau dalam isitilah lain disebut zaman modernisasi.

Modernisasi dalam pendidikan Islam merupakan pembaharuan yang terjadi dalam pondok pesantren. Setidak-tidaknya dapat menghapus image

sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pondok pesantren hanyalah sebagai lembaga pendidikan tradisional. Kini pesantren disamping berkeinginan mencetak para ulama juga bercita-cita melahirkan para ilmuwan

sejati yang mampu mengayomi umat dan memajukan bangsa dan negara. Beranjak dari penjelasan sekilas tentang pondok pesantren mulai dari

zaman para walisongo hingga sekarang ini, tentunya banyak hal atau inovasi baru demi mengimbangi pergerakan zaman yang semakin canggih. sehingga menuntut para santri untuk tidak hanya pandai dalam membaca kitab, dan

(13)

4

Salah satu pesantren salaf yang sudah mulai memasukan pelajaran umum adalah pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Pondok Pesantren

Assalafi Al Fithrah didirikan pada tahun 1985 bermula dari kediaman Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. dan musholla. Pada

saat itu ikut serta beberapa santri dari pondok Darul `Ubudiyah Jatipurwo Surabaya yang didirikan dan diasuh Hadhratusy Syaikh Al-Arif Billah KH. Muhammad Oetsman Al Ishaqy RA. Pada tahun 1990 datanglah beberapa

santri dengan kegiatan ‘Ubudiyah dan mengaji secara sorogan & bandongan di Musholla.

Dalam perkembangannya jumlah anak yang ingin mengaji dan nyantri semakin banyak sehingga pada tahun 1994. Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. Memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren dan

mengatur pendidikan secara klasikal.

Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah semakin berkembang dan

dikenal di masyarakat secara luas, sehingga banyak masyarakat yang memohon kepada Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. Untuk menerima santri putri. Atas dorongan itulah pada tahun 2003 beliau

membuka

Pendaftaran santri putri dan terdaftarlah 77 santri putri. Seiring animo

masyarakat untuk memondokkan anak usia dini, Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah sebagai wujud tanggung jawab, maka pada hari Senin 3 Dzulqo`dah 1431 Hijriah bertepatan 11 Oktober 2010 membuka Pondok

(14)

5

Pendidikan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah dilaksanakan pada pagi dan siang hari, sedangkan pendidikan malam hari diperuntukkan bagi

santri yang tidak menetap atau masyarakat sekitar pondok yang pada pagi harinya sekolah pendidikan umum diluar pondok.

Selama Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori belum wafat, semua kendali pondok berada di tangan beliau, apapun yang beliau katakan dan perintahkan kepada para santri, pasti santri akan menurutinya dengan tulus.

Namun setelah wafatnya beliau, samua kendali pondok ada pada kepala pondok dan pengurus pondok hingga sekarang warga ndalem belum

berpartisipasi penuh dalam urusan pondok pesantren.

Melihat perkembangan jumlah santri dari tahun per tahun yang semakin banyak di setiap unitnya tentunya permasalahan-permasalahan yang

muncul pun juga semakin beragam. dalam memberikan penanganan setiap kasus atau pelanggaran yang ada, pengurus pondok memberikan sanksi yang

berbeda-beda tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan untuk membuat efek jera pada santri. Menurut ustadz Ilyas selaku wakil pimpinan pondok mengatakan bahwa cara penanganan santri yang melanggar aturan yaitu

dengan berbagai macam sanksi diantaranya di gundul, di suruh membaca shalawat sambil berdiri di depan gerbang santri putri, bahkan ada yang

sampai di pukul dengan rotan terutama untuk jenis pelanggaran yang berat.7 Namun dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia (HAM) dan juga undang-undang yang mengatur tentang

(15)

6

perlindungan anak, akhir-akhir ini marak peristiwa yang menyangkut beberapa nama oknum guru atau pendidik yang harus mendekam di penjara

gara-gara memberi sanksi dengan cara memukul, mencubit dan hukuman berupa kontak fisik lainnya. Seperti yang terjadi pada Nurmayani guru

biologi SMPN 1 Banteang Sulawesi Selatan pada Agustus 2015 silam harus mendekam dipenjara hanya gara-gara mencubit salah satu siswi yang melakukan pelanggaran bermain air sisa pel lantai.8 hal yang serupa juga

terjadi pada Muhammad Samhudi menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Kamis (14/7/2016). Ia dibawa ke meja hijau setelah

dlaporkan karena mencubit muridnya. Oleh Jaksa Penuntut Umum dia dituntut enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Dalam tuntutan yang dibacakan jaksa Andrianis, guru SMP Raden Rahmad,

Kecamatan Balongbendo Sidoarjo itu dinilai bersalah dan melanggar pasal 80 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak.9

Melihat realitas yang ada pengurus pondok membuat inovasi baru untuk memberi hukuman kepada santri yaitu melalui sistem poin sebagai pengganti hukuman yang bersifat kekerasan fisik. Dalam sistem poin ini ada

banyak kriteria pelanggaran yang masing-masingnya ada poin tersendiri mulai darip poin yang terkecil 5 dan poin terbesar 250 poin, dengan ketentuan

apabila poin telah mencapai 100 maka akan ada surat peringatan (SP1), apabila poin mencapai 150 maka akan dikenakan SP2 dan jika mencapai poin

8 Andry Trysandy Mahany, 4%20Kasus%20sepele%20guru%20vs%20murid%20yang %20berakhir%20miris,%20bikin%20geram%20deh!.html. Di Akses pada, Sabtu, 22 Juli 2017.

(16)

7

200 maka akan dikenakan SP3 dan apabila santri telah mencapai poin maksimal dengan jumlah 250 maka santri akan diboyongkan.

Dalam penegakan peraturan baru ini tentunya santri harus beradaptasi untuk bisa menerima peraturan tersebut, karena tidak semua santri bisa

menerima peraturan dengan sistem poin tersebut, banyak keluhan yang telah peneliti temukan saat peneliti melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dimana setiap peneliti masuk keruang kelas dan menanyakan

bagaimana perasaan saat berada di pondok, dan rata-rata mereka menjawab tidak enak karena segala sesuatunya di kenai poin.

Dalam kondisi seperti ini para santri tentu tidak mudah untuk menerima dengan cepat terhadap peraturan baru yang berlaku, butuh waktu yang lama untuk bisa terbiasa mengikuti peraturan yang ada. Maka dari itu

penyesuaian diri sangatlah penting bagi santri meski sulit untuk bisa menerimanya, sehingga terkadang santri harus memaksakan dirinya untuk

bisa terbiasa dengan itu semua.

Penyesuaian diri merupakan sebuah proses perubahan pada mental dan perilaku seseorang yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh untuk

mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik yang dirasakan pada dirinya karena adanya ketidak harmonisan antara tuntutan dari diri sendir dengan

(17)

8

baik jika berhasil merespon dengan matang, misalnya seseorang dapat merespon dan mengikuti dengan baik terhadap tuntutan zaman.10

Seperti halnya dalam kasus ini, terdapat seorang santri kelas 8D yang memiliki masalah penyesuaian diri terhadap peraturan baru yang diterapkan.

Dalam hal ini, ada salah satu santri yang membuat peneliti tertarik untuk mendalami lebih jauh permasalahan konseli yaitu Sandi (nama samaran) yang sekarang duduk di kelas 8 D. Saat peneliti melakukan pertemuan pertama kali

dengan konseli, konseli mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan peraturan baru yang di buat oleh para pimpinan dan pengurus pondok pesantren.

Menurut konseli bahwa peraturan itulah yang akhirnya membuat konseli malas untuk sekolah dan menurut konseli karena peraturan itu yang malah menjadikannya merasa tidak ikhlas untuk berangkat sekolah melainkan ia

hanya takut bahwa nantinya akan dikenakan poin.11

Hal ini terlihat saat peneliti mengikuti kegiatan bimbingan saur manuk

yang diadakan setiap malam selasa. Saat itu peneliti menggantikan ustadz yang tidak hadir yang seharusnya memberikan bimbingan di kamar 26 pada saat peneliti hadir ke kamar para santri meminta untuk berpindah tempat ke

lapangan. Ketika semua santri sudah berkumpul tampak konseli datang terlambat dan tidak membawa buku. Dan saat proses bimbingan berlangsung

peneliti memerhatikan raut wajah yang kesal serta sanggahan-sanggahan konseli yang seakan-akan menolak nasehat yang peneliti berikan untuk bisa

10Nasaruddin Umar,Tuntutan Keluarga Sakinah“Seri Psikologi”, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007), hal 13.

(18)

9

menerima peraturan baru yang telah ditetapkan pimpinan dan pengurus pondok pesantren.12

Tidak hanya itu, untuk mengetahui lebih dalam permasalahan konseli, konselor mencari data dengan menanyakan bagaimana kegiatan sehari-hari

konseli baik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstra. Dari data yang konselor peroleh maka diketahui bahwa konseli sering membolos sekolah dengan berbagai macam alasan bahkan konseli terkadang

berpura-pura sakit dan tidur di kamar. Konseli juga memiliki minat belajar yang rendah, hal ini terbukti bahwa menurut temannya konseli malas-malasan

saat pelajaran berlangsung, seperti ribut sendiri saat ustadz berbicara, tidak menulis pelajaran yang diajarkan dan terkadang konseli malah berjalan-jalan diluar kelas pada saat ustadz sedang mengajar.

Dengan melihat fenomena yang ada, hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Strategi Forcing

Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap

Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).”

(19)

10

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing

Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap

Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok

Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?

2. Bagaimana Hasil Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing

Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap

Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Memahami Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi

Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap

Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).

2. Mengetahui Hasil Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing

Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap

Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok

Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa berguna untuk pengembangan khasanah keilmuan bagi pembaca dan khususnya bagi mahasiswa yang

(20)

11

2. Manfaat praktis

a. Bagi santri al-fithrah, diharapkan bisa lebih membuka dirinya untuk

menerima peraturan yang ada di pondok pesantren dengan lapang dada dan bisa dengan mudah untuk beradaptasi terhadap peraturan baru yang

telah diterapkan.

b. Bagi mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam dan guru BK yang berada di lingkungan pesantren, hasil penelitian ini

diharapkan bisa menjadi referensi untuk menangani permasalahan konseli, dalam hal ini yaitu mengembangkan adaptasi diri santri

terhadap peraturan baru yang ada di lingkungan pesantren.

E. Definisi Operasional

1. Forcing Conformity

Konformitas (Conformity) menurut Baron dan Byrne adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku

mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.13

Forcing Conformity (memaksa penyesuaian) yaitu merupakan

strategi membantu konseli dalam kondisi yang mengharuskan konseli

untuk memaksakan dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada, dalam kondisi ini, di satu

sisi konseli harus melaksanakan tugas-tugas tertentu dan harus dijalani,

(21)

12

namun pada sisi lainnya ia tidak senang untuk melaksanakannya. Apabila konseli ingin mencapai tujuan hidupnya ia harus lakukan juga.14

Dalam penelitian ini, karena tidak memungkinkan bagi peneliti untuk mengubah lingkungan (peraturan pondok) yang ada, maka yang

harus dipaksa untuk berubah adalah diri konseli itu sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memperbaiki pola pikir konseli dengan menggunakan teknik

reframing yaitu membingkai ulang pemikiran negatif atau pemikiran yang

salah yang dimiliki konseli terhadap perturan baru menjadi pemikiran yang lebih positif dan membangun.

Peneliti juga akan memperbaiki tingkah laku klien yang cenderung bermalas-malasan menggunakan teknik reward and punishment dengan memberikan penghargaan setiap tingkah laku positif yang dilakukan

konseli dan memberikan hukuman saat konseli melakukan hal yang negatif.

2. Adaptasi Diri

Adaptasi diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap

dirinya dan terhadap lingkungan.15

Penyesuaian diri mengandung banyak arti, antara lain usaha

manusia untuk menguasai tekanan akibat dorongan kebutuhan, usaha memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntunan lingkungan, dan usaha menyelaraskan hubungan individu dengan realitas.

14 Mary Nosemove, Konsep Dasar Konseling, (http://marynosemove.blogspot.co.id /2013/01/konsep-dasar-konseling.html), Diakses 10 Oktober 2016.

(22)

13

Ia memberikan batasan penyesuaian diri sebagai proses yang melibatkan respon mental dan perilaku manusia dalam usahanya mengatasi

dorongan-dorongan dari dalam diri agar diperoleh kesesuaian antara tuntutan dari dalam diri dan dari lingkungan. Ini berarti penyesuaian diri merupakan

suatu proses dan bukan kondisi statis.16

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan adaptasi diri yaitu adaptasi diri konseli terhadap peraturan baru yang ada di pondok pesantren

Assalafi Al-Fithrah surabaya. 3. Peraturan

Peraturan adalah suatu tata cara yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menertibkan dan menyelaraskan dengan keperluan suatu pihak tersebut. Peraturan juga berguna bagi perkembangan mental dan psikologis

bagi yang menaatinya. Menumbuhkan rasa hormat serta pembentukan pribadi yang baik.17

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peraturan yaitu tata tertib baru yang berlaku sejak awal tahun ajaran 2016-2017 pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang di kutip oleh Tohirin dalam bukunya

16 Nur Ghufran dan Rini Risnawati S, Teori-teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 50.

(23)

14

“Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling)”, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat di amati18.

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, institusi atau

gejala-gejala tertentu.19 Dalam studi kasus, peneliti mencoba untuk mencermati individu atau satu unit secara mendalam.

Tujuan penelitian kasus adalah untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, sosial, masyarakat.20

Alasan peneliti menggunakan penelitian studi kasus, karena subyek dalam penelitian ini adalah suatu kasus yang hanya dialami oleh satu orang

anak, sehingga harus dilakukan secara intensif, menyeluruh dan terperinci untuk mengembangkan adaptasi diri konseli.

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Sehubungan dengan penelitian yang sifatnya studi kasus, yang hanya melibatkan satu orang, maka dalam penelitian ini tidak

menggunakan sampel atau populasi. Jadi, hanya berdasarkan atas

18 Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 2.

19 Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 20.

(24)

15

pengenalan diri konseli dengan cara mempelajari dan mendalami perkembangan konseli secara terperinci dan mendalam. Adapun subyek

dalam penelitian ini adalah: a. Konseli

Adalah seorang santri kelas VIII D Madrasah Tsanawiyah yang secara pribadi belum bisa menerima peraturan baru yang ditetapkan oleh para ustadz dan pengurus pondok pesantren. dalam penelitian ini,

bertujuan untuk meningkatkan adaptasi diri santri dengan menggunakan strategiforcing conformity.

b. Informan

Informan dalam penelitian ini adalah orang tua konseli, teman sekelas, juga teman satu asrama konseli, dan para ustadz yang bisa

membantu untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan diri konseli. Sedangkan lokasi penelitian ini, penulis memilih tempat di

pondok pesantren Assalafi al-Fithrah yang beralamatkan di Jalan Kedinding Lor No. 99 Surabaya.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian kasus yang sifatnya adalah

terhadap suatu masalah penelitian, maka jenis data yang digunakan adalah data yang bersifat non statistik dimana data yang akan diperoleh nantinya dalam bentuk verbal bukan angka. Jenis data pada penelitian

(25)

16

1) Kata-kata dan Tindakan

Kata-kata dan tindakan orang yang diwawancarai merupakan

data utama. dalam penelitian ini peneliti melakukan pencatatan sumber data utama melalui pengamatan, wawancara dengan orang

yang berperan dalam penelitian, misalnya konseli, teman sekelas dan teman sekamar, serta para ustadz konseli sebagai informan dalam penelitian ini.

Peneliti menulis semua kata-kata dan tindakan konseli yang dirasa sangat penting dari para informan dari kehidupan sehari-hari

yang kemudian di proses sihingga menjadi data yang akurat. 2) Sumber Tertulis

Sumber tertulis merupakan sumber kedua yang tidak dapat

diabaikan bila di lihat dari segi sumber data. Bahkan tambahan data dari sumber tertulis bisa dokumentasi tentang konseli yang berupa

identitas konseli secara lengkap dan dokumentasi tentang lembaga. Dalam hal ini sumber tertulis yang peneliti gunakan adalah hasil pertemuan dengan konseli dan hasil wawancara dengan ketua

kamar serta teman-teman konseli. b. Sumber Data

Untuk mendapatkan keterangan sumber tertulis, peneliti mendapatkannya dari sumber data. Adapun sumber data dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:

(26)

17

Sumber data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan

penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.21

Dalam penelitian ini, sumber data primer yang ada adalah

Sandi, seorang santri di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah kelas VIII D.

2) Sumber Data Sekunder

Adalah informasi yang telah dikumpulkan dari pihak lain. Dan yang menjadi sumber data sekundernya yaitu meliputi

orang-orang dekat konseli yang dalam hal ini yaitu orang-orang tua, teman, dan ustadz konseli.

4. Tahap-tahap Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga tahapan dalam penelitian, diantaranya: tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan

tahap analisa data.22 Untuk lebih jelasnya peneliti akan menguraikan tiap-tiap tahapan sebagai berikut:

a. Tahap Pra Lapangan

1) Menyusun Rancangan Penelitian

Untuk menyusun rancangan penelitian, peneliti terlebih

dahulu membaca fenomena yang ada di lingkungan yang akan dijadikan objek penelitian dan memilih satu penelitian tentang

21Iqbal Hasan,Analisis Data Penelitian dengan Statistik,(Jakarta: Media Grafika, 2004), hal. 19.

(27)

18

Bimbingan dan Konseling Islam dengan StrategiForcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri.

2) Memilih Lapangan Penelitian

Setelah membaca fenomena yang ada peneliti memilih

lapangan penelitian di Pondok Pesantren Assalafi al-Fithrah Kedinding Surabaya.

3) Mengurus Perizinan

Dalam hal ini yang dilakukan peneliti adalah mencari siapa saja orang yang berkuasa dan berwenang memberi izin untuk

pelaksanaan penelitian, kemudian peneliti melakukan langkah-langkah persyaratan untuk mendapatkan izin tersebut.

4) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Dalam perlengkapan penelitian, peneliti menyiapkan pedoman wawancara, alat tulis, recorder, kamera dan sebagainya.

Itu semua bertujuan untuk mendapatkan deskripsi data dan sebagainya.

b. Tahapan Pekerjaan Lapangan

Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian yaitu, peneliti memahami penelitian, mempersiapkan diri untuk

(28)

19

mengumpulkan data-data hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan.

Informan dalam penelitian ini adalah teman satu kelas konseli, ustadz, dan beberapa teman dekat konseli yang bisa membantu untuk

mendapatkan data-data yang terkait dengan konseling dan juga melibatkan anak yang bermasalah tersebut.

c. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti menganalisa data yang telah didapatkan dari lapangan yakni dengan menggambarkan atau menguraikan masalah

yang ada sesuai dengan kenyataan. Analisis data mencakup menguji, menyeleksi, membandingkan, mengategorikan, mengevaluasi, menyortir, dan merenungkan data yang telah di rekam, juga meninjau

kembali data mentah dan terekam.23 Semua ini dilakukan oleh peneliti guna menghasilkan pemahaman terhadap data.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik ini dibutuhkan dalam

penelitian untuk dapat memudahkan dalam memperoleh data yang berhubungan dengan masalah penelitian yang ingin selesaikan. Adapun

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara

(29)

20

Wawancara atau interview yaitu cara menghimpun data dengan jalan bercakap-cakap, berhadapan langsung dengan pihak yang akan

dimintai pendapat, pendirian atau keterangan.24 Seperti yang telah

dikemukakan oleh Muh. Nazir dalam bukunya “Metode Penelitian”

bahwa yang di maksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil tatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau

responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).25

Adapun yang digali dalam wawancara adalah tentang riwayat hidup, latar belakang keluarga, kebiasaan konseli yang terbentuk sbelum di pondok, aktivitas keseharian konseli di pondok, perasaan

konseli saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, sikap dan perilaku konseli terhadap peraturan baru yang berlaku, dan bentuk

peraturan yang disenangi dan tidak disenangi konseli.

Dalam hal ini peneliti mewawancarai konseli, orangtua konseli, teman-teman konseli, serta ustadz yang mengajar konseli.

b. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan

secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang diselidiki. Observasi ini berfungsi untuk memperoleh gambaran, pengetahuan serta pemahaman mengenai data

(30)

21

konseli dan untuk menunjang serta melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui wawancara.26

Dalam observasi ini, peneliti mengamati segala perilaku konseli saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, kedisiplinan

konseli dalam mengikuti kegiatan pondok, keaktifan konseli dalam mengikuti kegiatan pondok (intra dan ekstra), ketaatan konseli terhadap peraturan baru yang berlaku.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik yang dilakukan dengan mencari data

mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, catatan harian dan sebagainya.27 Di mana teknik ini akan di pakai dalam mengumpulkan data tentang keadaan lokasi

penelitian, keadaan konseli, serta catatan-catatan konselor sewaktu menjalankan konseling.

Dalam hal ini bahan yang peneliti guanakan yaitu dokumen atau catatan mengenai konseli yaitu berupa catatan pelanggaran, catatan wali kelas, absensi kelas (formal dan musyawarah), absensi kegiatan

bimbingan setiap malam selasa, untuk mengetahui keaktifan santri. 6. Teknik Analisis Data

Di dalam pelaksanaan penelitian setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis dengan analisa deskriptif, yaitu dapat diartikan sebagai

26 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 153.

(31)

22

pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan pada

fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya.28 7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Agar penelitian dapat menjadi sebuah penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan, maka peneliti perlu untuk mengadakan pemikiran keabsahan data yaitu:

a. Perpanjangan Penelitian

Yaitu lamanya peneliti pada penelitian dalam pengmpulan data

serta dalam meningkatkan derajat kepercayaan data yang dilakukan dalam kurun waktu yang lebih panjang.

Lamanya peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.

Lamanya peneliti tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat,tetapi memerlukan perpanjangan penelitian.

b. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan diharapkan sebagai upaya untuk memahami pokok perilaku, situasi, kondisi, dan proses tertentu sebagai

pokok penelitian. Dengan kata lain, jika perpanjangan menyediakan data yang lengkap, maka ketekunan pengamatan menyediakan

pendalaman data. Oleh karena itu ketekunan pengamatan merupakan bagian penting dalam pemeriksaan keabsahan data.

c. Triangulasi

(32)

23

Triangulasi adalah teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau

sebagai pembanding terhadap data itu. Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi

kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan.29

G. Sistematika Pembahasan

Tujuan Sistematika Pembahasan turut serta ditulis dalam proposal ini

adalah semata-mata untuk mempermudah pembaca agar lebih cepat mengetahui tentang gambaran penulisan proposal penelitian ini.

Adapun sistematika pembahasan penelitian mendatang adalah sebagai

berikut:

Bab I menjelaskan tentang latar belakag, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, sasaran dan lokasi penelitianjenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis

data, teknik pemeriksaan keabsahan data), sistematika pembahasan.

Bab II menjelaskan tentang kajian teoritik, yang meliputi: strategi

Forcing Conformity(pengertian konformitas, pengertianForcing Conformity,

strategiForcing Conformity dalam pendekatan Cognitive Behavior Therapy). Selanjutnya membahas tentang adaptasi diri (pengertian adaptasi diri,

(33)

24

unsur adaptasi diri, bentuk-bentuk adaptasi diri, jenis-jenis adaptasi diri, macam-macam adaptasi diri, kriteria adaptasi diri, faktor-faktor yang

mempengaruhi adaptasi diri). Selanjutnya membahas tentang peraturan (pengertian peraturan).

Bab III penyajian data yang menjelaskan tentang deskripsi umum lokasi penelitian yang meliputi (deskripsi lokasi penelitian, deskripsi konselor, deskripsi konseli, deskripsi masalah). Selanjutnya menjelaskan

tentang deskripsi hasil penelitian meliputi (deskripsi proses pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk

Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru Di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya dan deskripsi hasil akhir Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk

Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru Di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya).

Bab VI analisis data menjelaskan tentang analisis proses pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru (studi kasus:

seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya) dan analisis hasil akhir Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan

Strategi Forcing Conformity Untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).

(34)

25

BAB II

FORCING CONFORMITY,ADAPTASI DIRI,

PERATURAN DAN TATA TERTIB

A. Forcing Conformity

1. PengertianForcing Conformity

Forcing Conformity merupakan gabungan dari dua kata yaitu

Forcing dan Conformity. Arti forcing sendiri yaitu memaksa. Dalam

kamusOxford,kataforcingberasal dari kata dasarforce(n) yang memiliki beberapa makna yaitu strength(kekuatan), power (kekuasaan)or violence

(kekerasan)30. Sedangkan kata conformity berasal dari kata conform yaitu

keep to generally accepted rules(Mematuhi peraturan yang berlaku secara

umum).31

Konformitas (Conformity) menurut Baron dan Byrne adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku

mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.32 Konformitas tidak hanya bertindak atau bertingkah laku seperti yang orang lain lakukan tetapi juga terpengaruh bagaimana orang lain bertindak. Seorang laki-laki

cenderung berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan dari laki-laki lain dan perempuan berperilaku seperti perempuan.

.

30Bull Victoria,Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 173.

31Bull Victoria,Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 89.

(35)

26

Berperilaku seperti laki-laki atau perempuan lebih disebabkan karena identitas diri sebagai laki-laki atau perempuan yang diberikan

kepada kita melalui sosialisasi dan internalisasi.

Konformitas merupakan suatu bentuk sikap penyesuaian diri

seseorang dalam masyarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada. Adanya konformitas bisa dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena

adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh maupun yang dibayangkan saja.33Sarwono menyebutkan bahwa konformitas memiliki 2

jenis yaitu :

a. Menurut (compliance) yaitu konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju;

b. Penerimaan (acceptance) yaitu konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial.34

Konformitas juga memiliki sisi positif dan negatif, dari sisi positif, yaitu masyarakat akan berfungsi lebih baik ketika orang-orang tahu bagaimana berperilaku pada situasi tertentu, dan ketika mereka memiliki

kesamaan sikap dan tata cara berperilaku. Sedangkan dari sisi negatif, konformitas bisa menghambat kreatifitas berpikir kritis, pengaruh bahasa

33John W. Santrock,Adolescence: Perkembangan Remaja,(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 221

(36)

27

yang asal-asalan, mencuri, mencoret-coret, serta mempermainkan orangtua dan guru.35

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa forcing

conformity adalah kekuatan atau penguasaan diri seseorang dalam

memaksakan dirinya untuk mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan tatanan atau norma sosial yang berlaku dan telah disepakati meski dilakukan dengan terpaksa.

Contoh penerapan forcing conformity juga dijelaskan dalam hadits nabi tentang bagaimana cara mendidik anak kecil untuk membiasakan

shalat lima waktu sejak kecil sebagai berikut:

ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ

(ABUDAUD - 418) : Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya."36

35John W. Santrock,Adolescence: Perkembangan Remaja,(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 223.

(37)

28

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita

melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka

belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitupula dengan

perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab

ketika sudah besar.

Pada kondisi seperti itu ada kemungkinan sang anak tidak melakukannya dengan senang hati melainkan dengan keterpaksaan dan

berat hati karena takut akan pukulan yang nantinya mereka dapatkan saat meninggalkan shalat. Namun sebagai umat muslim yang taat, mereka

harus melakukannya demi mencapai tujuan yang baik yaitu kedekatan dan kecintaan kepada Allah sang maha pencipta.

2. StrategiForcing Conformity

Forcing Conformity (memaksa penyesuaian) yaitu merupakan salah

satu strategi untuk membantu konseli saat berada dalam kondisi yang

mengharuskan konseli untuk memaksakan dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada. dalam kondisi ini, di satu sisi konseli harus melaksanakan tugas-tugas

(38)

29

melaksanakannya. Apabila konseli ingin mencapai tujuan hidupnya ia harus lakukan juga.37

3. Teknik-teknik dalam StrategiForcing Conformity

Seperti yang telah kita ketahui dari penjelasan di atas bahwa

strategi forcing conformity merupakan salah satu strategi implementasi konseling yang digunakan sebagai pedoman dalam mengimplementasikan pemecahan masalah. Strategi ini mengharuskan individu untuk

memaksakan dirinya dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada.

Dalam proses konseling, untuk mengimplementasikan strategi ini kepada konseli tentunya ada beberapa aspek yang harus disentuh sehingga strategi ini efektif untuk membantu konseli dalam menangani masalahnya.

Setidaknya ada dua aspek yang perlu konselor sentuh dengan menggunakan teknik yang tepat dalam setiap aspeknya yaitu aspek

kognitif dengan menggunakan teknik reframing dan aspek behavior dengan menggunakan teknikreward and punishmentyang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Reframing(Membingkai ulang)

1) Pengertianreframing

Reframing adalah upaya untuk membingkai ulang sebuah

kejadian, dengan mengubah sudut pandang tanpa mengubah kejadiannya itu sendiri. Hampir sama dengan relabeling atau

(39)

30

redefining, reframing berhubungan dengan bagaimana, dan bukan

apa.38

Ada dua jenis reframing yaitu reframing content dan

reframing context. Reframing content adalah memberikan makna

baru atas realitas yang ada, sedangkan reframing context yaitu menyampaikan contoh suatu kondisi peristiwa lain dalam konteks yang berbeda atas realitas yang ada. Tujuan utama reframing yaitu

untuk mendapatkan sebuah sudut pandang baru agar tidak terjebak hanya pada satu pilihan sudut pandang saja. Dengan adanya sudut

pandang baru diharapkan mampu memiliki pilihan pemikiran yang baru.39

2) Tahap-tahap teknikreframing

Cormier menyebutkan ada enam tahapan strategireframing antara lain :40

a) Rasional

Rasional yang digunakan dalam strategi reframing bertujuan untuk menyakinkan konseli bahwa persepsi atau

retribusi masalah dapat menyebabkan tekanan emosi. Tujuannya adalah agar konseli mengetahui alasan atau gambaran singkat

mengenai strategi reframing dan untuk menyakinkan konseli

38 Wiwoho, Reframing Kunci Hidup Bahagia 24 Jam Sehari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 60.

39 Pramudianto, I’m Coach Strategi Mengembangkan Potensi Diri dengan Coaching, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015), hal. 137.

(40)

31

bahwa cara pandang terhadap suatu masalah dapat menyebabkan tekanan emosi.

b) Identifikasi persepsi dan perasaan konseli dalam situasi masalah Dalam tahap ini, konselor membantu konseli untuk

mengidentifikasi persepsi atau pikiran-pikiran yang muncul dalam situasi yang menimbulkan kecemasan berbicara di depan umum. Selain itu juga bertujuan untuk membantu konseli menjadi

waspada pada apa yang mereka hadapi dalam situasi masalah, karena konseli sering tidak memperhatikan detail-detail yang

mereka hadapi dan informasi tentang situasi yang mereka pikirkan.

c) Menguraikan peran dari fitur-fitur persepsi terpilih

Setelah konseli menyadari kehadiran otomatis mereka. Mereka diminta untuk memerankan situasi dan sengaja

menghadapi fitur-fitur terpilih yang telah mereka proses secara otomatis. Tujuannya adalah agar konseli dapat mengenali pikiran-pikiran dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang

menimbulkan kecemasan, yang dirasakan mengganggu diri konseli dan mengganti pikiran-pikiran tersebut agar tidak

menimbulkan kecemasan d) Identifikasi persepsi alternatif

Pada tahap ini konselor dapat membantu konseli

(41)

32

dari masalah yang dihadapi. Tujuannya adalah agar konseli mampu menyeleksi gambaran-gambaran lain dari perilaku yang

dihadapi

e) Modifikasi dan persepsi dalam situasi masalah

Konselor dapat membimbing konseli dengan mengarahkan konseli pada titik perhatian lain dari situasi masalah. Tujuannya adalah agar konseli dapat menciptakan respon dan pengamatan

baru yang didesain untuk memecahkan perumusan model lama dan meletakkan draft untuk perumusan baru yang lebih efektif.

Beralih dari pikiran-pikiran konseli dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dirasakan mengganggu konseli ke pikiran yang tidak

menimbulkan kecemasan.

f) Pekerjaan rumah dan penyelesaiannya

Konselor dapat menyarankan yang diikuti konseli selama situasi ini format yang sama dengan yang digunakan dalam terapi. Konseli diinstruksi menjadi lebih waspada akan fitur-fitur terkode

yang penting atau situasi profokatif dan penuh tekanan, untuk menggabungkan perasaan yang tidak nyaman, untuk melakukan

uraian peranan atau kegiatan praktik dan mencoba membuat pergantian perceptual selama situasi-situasi ini ke fitur-fitur lain dari situasi yang dulu diabaikan. Tujuannya adalah agar konseli

(42)

33

berlangsung serta bisa menggunakan pikiran-pikiran dalam situasi yang tidak mengandung tekanan dalam situasi masalah yang

nyata.

b. Reward and punishment

1) Reward

Reward dapat diartikan sebagai sebuah penguat

(reinforcement) terhadap perilaku peserta didik. Reinforcement

(penguatan) merupakan penggunaan konsekuensi untuk memperkuat perilaku.41 Artinya, bahwa sebuah perilaku yang dilakukan oleh

peserta didik dan dianggap sesuai kemudian diikuti dengan penguatan, maka hal tersebut akan meningkatkan peluang bahwa perilaku tersebut akan dilakukan lagi oleh anak.

Ganjaran dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak didik untuk melakukan perbuatan yang positif

dan bersikap progresif. Di samping juga dapat menjadi pendorong bagi anak-anak didik lainnya dan mengikuti anak yang telah memperoleh pujian dari gurunya. Namun, tidak dapat dipungkiri

bahwa metode ini juga mempunyai kelemahan diantaranya dapat menimbulkan dampak negatif apabila guru melakukannya tidak

secara profesional, sehingga mungkin bisa mengakibatkan murid

(43)

34

merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari teman-temannya (sombong).42

Penguatan (reinforcement) dibagi menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.

a) Penguatan positif

(1) Pengertian penguatan positif

Setiap kali sebuah stimulus khusus dihadirkan setelah

sebuah perilaku dan perilaku tersebut meningkat sebagai hasilnya, maka penguatan positif telah terjadi. Jangan

terkecoh dengan kata positif, di sini kata tersebut tidak memiliki hubungan dengan daya tarik yang menyenangkan atau yang membuat orang suka pada stimulus yang

dihadirkan. Penguatan positif dapat terjadi kalaupun stimulus yang dihadirkan mungkin dianggap tidak menyenangkan atau

tidak diinginkan. Kata positif disini hanya berarti menambahkan sesuatu pada situasi yang bersangkutan. Misalnya, beberapa siswa akan membuat sebuah respon

untuk memperoleh pujian dari guru, tetapi yang lainnya mungkin berperilaku dengan cara memancing omelan orang

lain.

Berikut merupakan contoh-contoh bentuk penguatan positif:

(44)

35

(a) Penguat konkret, adalah sebuah benda nyata yaitu sesuatu yang dapat disentuh. Misalnya, makanan ringan,

mainan, stiker, dll.

(b) Penguat sosial, adalah sebuah gerak isyarat atau tanda

(misalnya, senyum, perhatian, pujian atau ucapan terima kasih) yang diberikan seseorang kepada orang lain, seringkali untuk mengomunikasikan sesuatu yang positif.

(c) Penguat aktivitas, adalah kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas yang disukai. Siswa sering melakukan

suatu kegiatan, bahkan sesuatu yang tidak mereka sukai, jika kegiatan itu memudahkan mereka melakukan sesuatu yang mereka sukai.

(d) Terkadang pesan sederhana bahwa sebuah jawaban itu benar atau suatu tugas telah diselesaikan dengan baik

umpan balik positif dapat menjadi penguat. Umpan balik positif paling efektif dilakukan ketika umpan balik itu memberitahu siswa dengan istilah yang eksplisit dalam

hal-hal apa saja mereka bekerja dengan baik dan apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong performa

mereka menjadi lebih bagus lagi.43 (2) Prinsip-prinsip penerapan penguatan positif

(45)

36

Dalam menggunakan penguatan positif, konselor perlu memperhatikan prinsip-prinsip penguatan

(reinforcement) agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Prinsip-prinsip penguatan antara lain:

(a) Penguatan positif tergantung pada penampilan tingkah laku yang diinginkan

(b) Tingkah laku yang diinginkan diberi penguatan segera

setelah tingkah laku tersebut ditampilkan

(c) Pada tahap awal, proses perubahan tingkah laku yang

diinginkan diberi penguatan setiap kali tingkah laku tersebut ditampilkan

(d) Ketika tingkah laku yang diinginkan sudah dapat

dilakukan dengan baik, penguatan diberikan secara berkala dan pada akhirnya dihentikan.

(e) Pada tahap awal, penguatan sosial selalu diikuti dengan penguatan yang berbentuk benda.44

(3) Penerapan penguatan positif yang efektif

Untuk menerapkan penguatan positif yang efektif, konselor perlu mempertimbangkan beberapa syarat,

diantaranya adalah:

(a) Memberikan penguatann dengan segera

(46)

37

(b) Penguatan akan memiliki efek yang lebih bermakna bila diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan

dilakukan oleh konseli. Alasan pemberian penguatan dengan segera adalah untuk menghindari terdapat

tingkah laku lain yang menyela tingkah laku yang diharapkan. Dengan demikian tujuan pemberian penguatan terfokus pada tingkah laku yang diharapkan.

(c) Memilih penguatan yang tepat (d) Mengatur kondisi situasional

(e) Menentukan kuantitas penguatan (f) Memberikan sampel penguatan

(g) Memilih kualitas dan kebaruan penguatan

(h) Menangani persaingan asosiasi (i) Mengatur jadwal penguatan

(j) Mempertimbangkan efek penguatan pada kelompok (k) Menangani efek kontrol kontra.45

(4) Langkah-langkah pemberian penguatan (reinforcement)

Adapun langkah-langkah penerapan penguatan positif adalah sebagai berikut:

(a) Mengumpulkan informasi tentang permasalahan melalui analisis ABC

(i) Antecedent(pencetus perilaku)

(47)

38

(ii) Behavior(perilaku yang dipermasalahkan; frekuensi,

intensitas, dan durasi)

(iii)Concequence (akibat yang diperoleh dari perilaku tersebut)

(b) Memilih perilaku target yang ingin ditingkatkan (c) Menetapkan data awal perilaku awal

(d) Menentukan penguatan yang bermakna

(e) Menetapkan jadwal pemberian penguatan (f) Penerapan penguatan positif.46

b) Penguatan negatif

Perbedaan mendasar antara penguatan positif dan penguatan negatif ini terletak pada sifat penguatnya. Penguat pada

penguatan negatif haruslah tetap berupa hal-hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dengan cara mengurangi hal-hal

tertentu yang selama ini dirasakan sebagai hukuman atau sesuatu yang tidak menyenangkan, atau sesuatu yang selama ini menjadi beban dan memberatkan bagi si pelaku.

Contoh penguatan negatif adalah: Intan bangun tengah malam dan menangis, ia ingin tidur bersama orangtuanya. Agar

Intan berhenti menangis dan tidur, orangtuanya memperbolehkan Intan untuk tidur bersama mereka. Dengan diperbolehkannya

(48)

39

Intan tidur ditempat tidur orangtuanya meningkatkan perilaku menangis dan tidur bersama orangtuanya.47

2) Punishment

a) Pengertian hukuman (punishment)

Hukuman atau punishment merupakan intervensi operant

conditioning yang digunakan konselor untuk mengurangi tingkah

laku yang tidak diinginkan. Hukuman terdiri dari stimulus yang

tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari tingkah laku. Skinner berkeyakinan bahwa hukuman kerap kali digunakan

bukan untuk menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan tetapi hanya mengurangi kecenderungan tingkah laku. Ketika hukuman dihilangkan maka tingkah laku tersebut akan muncul

kembali.

Akan tetapi, hukuman memiliki efek emosional yang

negatif seperti kemarahan dan depresi. Bila hukuman digunakan harus diiringi dengan penguatan positif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Skinner menunjukkan bahwa penguatan positif

memberikan efek yang lebih efektif dibanding aversif dan hukuman.48

Ahmad Ali Budaiwi menjelaskan bahwa ada beberapa aspek fundamental yang selayaknya dipertimbangkan oleh orang yang hendak menjadikan hukuman (punishment) sebagai teknik

(49)

40

pendidikan untuk mengontrol siswa di dalam kelas, aspek tersebut adalah sebagai berikut:49

(1) Hukuman itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi hukuman merupakan sarana untuk memperbaiki perilaku

siswa yang salah dan untuk meluruskan respons murid yang tidak sempurna.

(2) Penting sekali anak yang dikenai hukuman memahami tujuan

dibalik hukuman itu, yaitu keinginan guru kuat untuk memperbaiki muridnya dan membimbingnya pada jalan

pembelajaran. Perbaikan itu dilakukan melalui pemberian hukuman dan melalui kondisi psikologis guru. Namun hendaknya guru waspada agar murid tidak merasa

diintimidasi atau ingin balas dendam.

(3) Hukuman harus disesuaikan dengan besaran pelanggaran

yang dilakukan oleh murid; tidak boleh kurang atau lebih. Hal itu karena apabila siswa merasakan hukuma yang melebihi kesalahannya, timbullah dalam hatinya perasaan

diintimidasi dak dikhianati. Jika menurut penilaiannya hukuman itu tidak selaras dengan besarnya kesalahan yang

telah dilakukannya dan murid mengetahui keteledoran ini, maka dia akan mengulangi kesalahannya, dan barangkali hal itu akan menyebabkan dia jatuh ke dalam penyimpangan diri.

(50)

41

(4) Para guru hendaknya memahami bahwa siswa mereka itu bervariasi dan berbeda-beda. Murid yang tidak menjadi baik

kecuali dengan pukulan, berbeda dengan murid yang cukup diperbaiki dengan pandangan marah; bahwa hukuman yang

cocok untuk kesalahan tertentu belum tentu cocok untuk kesalahan lainnya; dan bahwa cara sebagian guru dalam menggunakan hukuman berbeda dengan cara guru lainnya.

(5) Hukuman dihentikan dengan terhentinya sikap yang menimbulkan hukuman itu. Tidak diperbolehkan

mempermalukan murid karena perbuatannya atau menceritakan kesalahan murid. Guru harus sadar betul bahwa sebagian murid suka mempermalukan teman-temannya yang

menerima hukuman. Hal ini tentu menyakiti perjalanan murid di jalan yang benar.

(6) Hukuman harus diberikan untuk memperbaiki perilaku individu demi kebaikan kelompok. Tatkala guru memberikan hukuman karena suatu kesalahan maka guru itu merupakan

bagian dari kelompok besar yang memiliki rasa tanggungjawab sosial. Oleh karenanya hukuman itu tidak

boleh sesuai dengan selera pribadinya atau demi keuntungan yang diharapkannya.

(7) Jika hukuman atas kesalahan itu dilaksanakan di depan

(51)

42

kelompok lain, imbalan pun harus diberikan di depan banyak orang dan di depan kelompok yang sama, sehingga

memungkinkan terjadinya penguatan perilaku positif.

(8) Penting bagi guru dan murid untuk memahami makna

kependidikan yang ada di balim hukuman, yaitu dengan menjelaskan sikap guru dan unsur-unsurnya secara lengkap setelah dia memberikan hukuman, agar guru tidak kehilangan

ikatan kasih sayang dengan murid-muridnya.

Diantara jenis hukuman yang digunakan di kelas ialah

hukuman fisik. Hukuman ini merupakan hukuman yang paling buruk, bukan karena ada jejaknya pada tubuh, melainkan karena ada jejak psikologisnya menimbulkan perasaan hina dan rendah

diri pada anak, dan barangkali menyebabkan pembangkangan dan pelaksanaan kesalahan secara terus-menerus.

Sebagian guru menggunakan hukuman psikologis, misalnya dengan memberikan teguran dan celaan, tetapi bukan dengan kata-kata kotor dan keji. Guru harus sangat waspada agar

tidak kehilangan nilai hukuman.

b) Hal-hal yang harus diperhatikan saat memberikan hukuman

Dalam pemberian hukuman terdapat beberapa prinsip

punishmentyang harus diperhatikan yaitu:

(1) Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak

(52)

43

memiliki keinginan untuk mengulang kembali perilaku tersebut bila berada pada situasi yang sama

(2) Penerapanpunishmentdalam pengubahan tingkah laku, lebih kepada fungsi konsekuensi yang memberi efek penurunan

perilaku

(3) Pemberian hukuman bisa dilakukan sebagai tambahan atas konsekuensi tingkah laku (tambahan tugas) atau

penghilangan sesuatu yang menyenangkan bagi siswa (mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diganti dengan tugas

tambahan).50

B. Adaptasi Diri

1. Pengertian Adaptasi diri

Adaptasi diri atau penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia

merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.51

Menurut Schneiders penyesuaian diri merupakan sebuah proses perubahan pada mental dan perilaku seseorang yang dilakukannya dengan

sungguh-sungguh untuk mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik yang dirasakan pada dirinya karena adanya ketidak harmonisan antara tuntutan

dari diri sendir dengan dunia nyata. Seseorang bisa dikatakan berhasil menyesuaikan diri dengan baik jika berhasil merespon dengan matang,

50 Gantika Komalasari dan Eka Wahyuni, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT Indeks, 2011), hal. 188.

(53)

44

misalnya seseorang dapat merespon dan mengikuti dengan baik terhadap tuntutan zaman.52

Menurut Mustofa Fahmi bahwa penyesuaian diri adalah proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah diri agar terjadi hubungan yang

lebih sesuai antara diri dengan lingkungannya sehingga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan yaitu lingkungan alam, sosial dan manusia.53

Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa menjelaskan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses mental dan tingkah laku individu

untuk menyesuaikan diri dengan kemauan yang berasal dari diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya.54

Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas dapat

disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses seseorang dalam memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntutan

yang harus dijalankan dalam lingkungan, sehingga merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.

Pentingnya adaptasi diri juga diterangkan dalam Al Quran Surat Al

Isra’ ayat 15

52Nasaruddin Umar,Tuntutan Keluarga Sakinah“Seri Psikologi”, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007), hal 13.

53 Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.25.

(54)

45

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka

sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan

barangsiapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian)itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus

seorang rasul.44

Dari ayat dapat disimpulkan bahwa manusia yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah dan Rosulnya, itu berarti dia telah berbuat untuk

menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia tersebut akan mendapatkan rasa bahagia pada dirinya karena mampu memenuhi beberapa keinginan dan

kebutuhan serta mampu menjalankan kehidupannya dengan puas dan bisa bertanggung jawab dengan melaksanakan norma-norma agama dan masyarakat secara baik sehingga bisa diterima oleh publik.

2. Unsur-unsur Adaptasi Diri

a. Adaptation

Adaptation artinya penyesuaian diri dipandang sebagai

kemampuan beradaptasi. Orang penyesuaian dirinya baik berarti ia mempunyai hubungan yang memuaskan dengan lingkungan.

Penyesuaian diri dalam hal ini diartikan dalam kondisi fisik, misalnya untuk menghindari ketidaknyamanan akibat cuaca yang tidak diharapkan, maka orang membuat sesuatu untuk bernaung.

b. Conformity

Conformity artinya seseorang dikatakan memiliki penyesuaian

(55)

46

c. Mastery

Masteryartinya orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

adalah yang memiliki kemapuan untuk membuat rencana dan mengorganisasikan suatu respon diri sehingga dapat menyusun dan

menanggapi segala masalah dengan efisien.

d. Individual variation

Individual variation artinya ada perbedaan individual pada

perilaku dan responnya dalam menanggapi masalah. Setiap individu memiliki pola penyesuaian diri yang khas terhadap setiap situasi dan

kondisi serta lingkungan yang dihadapinya. Bagaimana individu menyesuaikan diri di lingkungan rumah dan keluarganya, disekolahnya, bagaimana individu dapat menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri.55

3. Bentuk-bentuk Adaptasi Diri a. Adaptasi diri personal

Penyesuaian diri personal adalah ppenyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Adaptasi diri personal meliputi

1) Adaptasi diri fisik dan emosi, penyesuaian diri ini melibatkan

respon-respon fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik merupakan pokok untuk pencapaian

penyesuaian diri yang sehat.

Gambar

 Tabel 3.2Struktur Bidang Pendidikan
Tabel 3.3 Struktur Bagian Umum
 Tabel 3.4
Tabel 3.5Jadwal Kegiatan Harian Lembaga
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan peraturan perundang-Undangan, hasil-hasil penelitian, atau

117/KEP-DJP2HP/2014 tentang Kelompok Peng- olah Pemasar Penerima Bantuan Langsung Masyarakat pada Program Nasional Pemberdaya- an Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan

Sebagaimana tujuan Kementerian Kesehatan khususnya Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dalam peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit serta pengelolaan kedaruratan

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dan pengambilan sampel dengan teknik sensus sampling pada 75 orang aparat pengawas intern

Pada tahap selanjutnya parameter- parameter tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan misalnya menentukan laju absorpsi, metabolisme dan ekskresi melalui urin:

Mesin cuci merupakan kelompok alat rumah tangga listrik dalam penggolongan pengkondisian mekanis karena pada mesin cuci tenaga listrik dikonversi menjadi energi

[r]