STRATEGIFORCING CONFORMITYUNTUK MENGEMBANGKAN ADAPTASI DIRI SANTRI TERHADAP PERATURAN BARU (Studi Kasus: Seorang Santri MTs Kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi
Al-Fithrah Surabaya)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
FEBRI ZULKARNAIN NIM: B53213049
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Febri Zulkarnain (B53213049), Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)? (2) Bagaimana Hasil Konseling dengan Menggunakan StrategiForcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan jenis studi kasus, dan analisa data deskriptif komparatif. Peneliti melakukan wawancara, mengamati dan mempelajari secara terperinci, mendalam dan menyeluruh terhadap permasalahan adaptasi diri seorang santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah surabaya. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses strategi forcing conformity dalam menangani permasalahan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Adapun untuk mengetahui hasil akhir dari pelaksanaan strategi forcing
conformityini peneliti membandingkan antara teori dengan pelaksanaan pemberian
treatment di lapangan, mengamati dan membandingkan kondisi konseli sebelum
dan sesudah pelaksanaan strategiforcing conformity.
Proses pelaksanaan strategi forcing conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri terhadap peraturan baru di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, dilaksanakan melalui tahap identifikasi masalah, diagnosis, prognosis,
treatment, dan evaluasi/follow up. adapun pada proses treatment konselor
menggunakan teknik Reframing (reframing content dan reframing context) dan menggunakan teknikReward and punishmentsebagai penguatan agar konseli bisa berkomitmen dan konsisten dengan perubahan perilaku lebih baik yang terjadi. Hasil akhir dari pemberian treatment ini dapat dinyatakan berhasil dengan prosentase 80%, hasil tersebut dapat dilihat dari perubahan yang ada pada diri konseli. konseli sudah tidak pernah membolos sekolah, konseli tidak lagi berpura-pura sakit dan tidur di kamar, konseli tidak lagi berkeliaran diluar kelas saat pembelajaran berlangsung, dan konseli sudah mau untuk menambal kitabnya.
PERNYATAAN OTENTITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Definisi Operasional ... 11
F. Metode Penelitian ... 13
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 13
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian... 14
3. Jenis Sumber Data... 15
4. Tahap-tahap Peneitian ... 17
5. Teknik Pengumpulan Data... 19
6. Teknik Analisis Data... 21
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 22
G. Sistematika Pembahasan... 23
BAB II: FORCING CONFORMITY, ADAPTASI DIRI, PERATURAN DAN TATA TERTIB A. Forcing Conformity... 25
1. PengertianForcing Conformity... 25
2. StrategiForcing Conformity... 28
3. Teknik-teknik dalam StrategiForcing Conformity... 29
a. Reframing... 29
b. Reward and Punishment ... 33
B. Adaptasi Diri... 43
1. Pengertian Adaptasi Diri ... 43
2. Unsur-unsur Adaptasi Diri ... 45
3. Bentuk-bentuk Adaptasi Diri ... 46
4. Jenis-jenis Adaptasi Diri ... 48
5. Macam-macam Adaptasi Diri ... 50
6. Kriteria Adaptasi Diri... 51
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptasi Diri... 52
x
1. Pengertian Peraturan ... 53
2. Tata Tertib ... 53
a. Pengertian Tata Tertib... 54
b. Tujuan Tata Tertib... 55
c. Tipe-tipe Kepatuhan Siswa terhadap Tata Tertib.... 56
D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan... 57
BAB III: PENYAJIAN DATA PELAKSANAAN STRATEGI FORCING CONFORMITY UNTUK MENGEMBANGKAN ADAPTASI DIRI SANTRI TERHADAP PERATURAN BARU (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya) A. Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru Assalafi Al Fithrah Surabaya ... 59
1. Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 59
a. Sejarah Berdirinya... 59
b. Jaminan Mutu Lulusan ... 60
c. Visi dan Misi ... 61
d. Struktur Organisasi Lembaga... 61
2. Identitas Konseli... 75
a. Kepribadian Konseli... 76
b. Latar belakang Pendidikan... 77
c. Latar Belakang Agama... 78
d. Latar Belakang Ekonomi... 78
e. Kondisi Sosial dan Budaya ... 79
3. Masalah Adaptasi Diri Konseli ... 79
4. Deskripsi Konselor... 82
a. Biodata Konselor... 82
b. Riwayat Pendidikan Konselor... 83
c. Pengalaman dan Kompetensi Konselor ... 83
B. Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 85
1. Proses Penerapan Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya ... 85
a. Identifikasi Masalah ... 86
b. Diagnosis... 86
c. Prognosis ... 87
d. Treatment ... 88
e. Evaluasi/Follow Up... 96
xi
BAB IV : ANALISIS DATA
A. Analisis Proses Strategi Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan
Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya .. 99 B. Analisis Hasil Akhir Strategi Forcing Conformity untuk
Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap Peraturan
Baru di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya .. 108
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 108 B. Saran ... 109
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengakar di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Pondok pesantren sudah ada sejak lama di Indonesia, bahkan sebelum lembaga pendidikin modern ada. Berdirinya pesantren berawal dari masuknya ajaran Islam ke tanah Indonesia yang
dibawa oleh para da’i, mubaligh dan wali dari luar negeri.
Pondok pesantren merupakan wadah pendidikan yang mempunyai
kurikulum dan sistem terbaik. Tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu ukhrawi, pesantren juga mengajarkan ilmu-ilmu duniawi.
Secara etimologis, pondok pesantren adalah gabungan dari pondok
dan pesantren. Pondok, berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, yang dalam pesantren Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan
padepokan yang dipetak-petak dalam bentuk kamar sebagai asrama bagi para santri. Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang berarti tempat santri.2
Sejarah pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari peran para Wali Sembilan atau lebih dikenal dengan Walisongo yang menyebarkan Islam di
pulau Jawa pada khususnya. Pada masa Walisongo inilah istilah pondok
2
pesantren mulai dikenal di Indonesia.3 Ketika itu Sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa. Para santri
yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agam. Padepokan Sunan Ampel inilah yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya
pesantren-pesantren yang tersebar di Indonesia.4
Seiring berkembangnya zaman, sudah banyak sekali pesantren-pesantren yang telah berkembang di indonesia. Data Kementerian Agama
tahun 2012 misalnya, menunjukan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data 1997,
yang tercatat baru sebanyak 4.196 buah. Data saat ini menunjukan setidaknya ada 3.004.807 anak yang tercatat sebagai santri mukim (79,93 %). Sisanya, sebanyak 754.391 untuk santri yang tidak menetap.5
Secara umum, pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni pesantrensalaf(tradisional) dan pesantrenkhalaf(modern). Pembedaan
ini didasarkan atas dasar materi-materi yang disampaikan dalam pesantren. Dalam sistem dan kultur pesantren dilakukan perubahan yang cukup drastis:6 ada beberapa perubahan yang bisa kita lihat di beberapa pondok
pesantren yang ada sekarang ini diantaranya yaitu: perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang
3Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, (Pati: Staimafa Press, 2013), hal. 10.
4Adnan Mahdi, dkk, Jurnal Islamic Review “J.I.E” Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, hal. 11.
5 http://ditpdpontren.kemenag.go.id/berita/mengapa-harus-pilih-pendidikan-pesantren-ini-jawabannya/, Diakses pada taggal 11 Oktober 2016.
3
kemudian dikenal dengan istilah madrasah (sekolah), pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa
Arab, bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar,
kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga serta kesenian yang Islami, lulusan pondok pesantren diberikan
syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut. Biasanya
ijazah bernilai sama dengan ijazah negeri, dan lembaga pendidikan tipe universitas sudah mulai didirikan di kalangan pesantren. Melihat kondisi ini
mencerminkan bahwa pondok pesantren sudah mulai menerima dan mulai bangkit untuk mengikuti perkembangan zaman atau dalam isitilah lain disebut zaman modernisasi.
Modernisasi dalam pendidikan Islam merupakan pembaharuan yang terjadi dalam pondok pesantren. Setidak-tidaknya dapat menghapus image
sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pondok pesantren hanyalah sebagai lembaga pendidikan tradisional. Kini pesantren disamping berkeinginan mencetak para ulama juga bercita-cita melahirkan para ilmuwan
sejati yang mampu mengayomi umat dan memajukan bangsa dan negara. Beranjak dari penjelasan sekilas tentang pondok pesantren mulai dari
zaman para walisongo hingga sekarang ini, tentunya banyak hal atau inovasi baru demi mengimbangi pergerakan zaman yang semakin canggih. sehingga menuntut para santri untuk tidak hanya pandai dalam membaca kitab, dan
4
Salah satu pesantren salaf yang sudah mulai memasukan pelajaran umum adalah pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya. Pondok Pesantren
Assalafi Al Fithrah didirikan pada tahun 1985 bermula dari kediaman Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. dan musholla. Pada
saat itu ikut serta beberapa santri dari pondok Darul `Ubudiyah Jatipurwo Surabaya yang didirikan dan diasuh Hadhratusy Syaikh Al-Arif Billah KH. Muhammad Oetsman Al Ishaqy RA. Pada tahun 1990 datanglah beberapa
santri dengan kegiatan ‘Ubudiyah dan mengaji secara sorogan & bandongan di Musholla.
Dalam perkembangannya jumlah anak yang ingin mengaji dan nyantri semakin banyak sehingga pada tahun 1994. Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. Memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren dan
mengatur pendidikan secara klasikal.
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah semakin berkembang dan
dikenal di masyarakat secara luas, sehingga banyak masyarakat yang memohon kepada Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. Untuk menerima santri putri. Atas dorongan itulah pada tahun 2003 beliau
membuka
Pendaftaran santri putri dan terdaftarlah 77 santri putri. Seiring animo
masyarakat untuk memondokkan anak usia dini, Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah sebagai wujud tanggung jawab, maka pada hari Senin 3 Dzulqo`dah 1431 Hijriah bertepatan 11 Oktober 2010 membuka Pondok
5
Pendidikan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah dilaksanakan pada pagi dan siang hari, sedangkan pendidikan malam hari diperuntukkan bagi
santri yang tidak menetap atau masyarakat sekitar pondok yang pada pagi harinya sekolah pendidikan umum diluar pondok.
Selama Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori belum wafat, semua kendali pondok berada di tangan beliau, apapun yang beliau katakan dan perintahkan kepada para santri, pasti santri akan menurutinya dengan tulus.
Namun setelah wafatnya beliau, samua kendali pondok ada pada kepala pondok dan pengurus pondok hingga sekarang warga ndalem belum
berpartisipasi penuh dalam urusan pondok pesantren.
Melihat perkembangan jumlah santri dari tahun per tahun yang semakin banyak di setiap unitnya tentunya permasalahan-permasalahan yang
muncul pun juga semakin beragam. dalam memberikan penanganan setiap kasus atau pelanggaran yang ada, pengurus pondok memberikan sanksi yang
berbeda-beda tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan untuk membuat efek jera pada santri. Menurut ustadz Ilyas selaku wakil pimpinan pondok mengatakan bahwa cara penanganan santri yang melanggar aturan yaitu
dengan berbagai macam sanksi diantaranya di gundul, di suruh membaca shalawat sambil berdiri di depan gerbang santri putri, bahkan ada yang
sampai di pukul dengan rotan terutama untuk jenis pelanggaran yang berat.7 Namun dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia (HAM) dan juga undang-undang yang mengatur tentang
6
perlindungan anak, akhir-akhir ini marak peristiwa yang menyangkut beberapa nama oknum guru atau pendidik yang harus mendekam di penjara
gara-gara memberi sanksi dengan cara memukul, mencubit dan hukuman berupa kontak fisik lainnya. Seperti yang terjadi pada Nurmayani guru
biologi SMPN 1 Banteang Sulawesi Selatan pada Agustus 2015 silam harus mendekam dipenjara hanya gara-gara mencubit salah satu siswi yang melakukan pelanggaran bermain air sisa pel lantai.8 hal yang serupa juga
terjadi pada Muhammad Samhudi menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Sidoarjo, Kamis (14/7/2016). Ia dibawa ke meja hijau setelah
dlaporkan karena mencubit muridnya. Oleh Jaksa Penuntut Umum dia dituntut enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Dalam tuntutan yang dibacakan jaksa Andrianis, guru SMP Raden Rahmad,
Kecamatan Balongbendo Sidoarjo itu dinilai bersalah dan melanggar pasal 80 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak.9
Melihat realitas yang ada pengurus pondok membuat inovasi baru untuk memberi hukuman kepada santri yaitu melalui sistem poin sebagai pengganti hukuman yang bersifat kekerasan fisik. Dalam sistem poin ini ada
banyak kriteria pelanggaran yang masing-masingnya ada poin tersendiri mulai darip poin yang terkecil 5 dan poin terbesar 250 poin, dengan ketentuan
apabila poin telah mencapai 100 maka akan ada surat peringatan (SP1), apabila poin mencapai 150 maka akan dikenakan SP2 dan jika mencapai poin
8 Andry Trysandy Mahany, 4%20Kasus%20sepele%20guru%20vs%20murid%20yang %20berakhir%20miris,%20bikin%20geram%20deh!.html. Di Akses pada, Sabtu, 22 Juli 2017.
7
200 maka akan dikenakan SP3 dan apabila santri telah mencapai poin maksimal dengan jumlah 250 maka santri akan diboyongkan.
Dalam penegakan peraturan baru ini tentunya santri harus beradaptasi untuk bisa menerima peraturan tersebut, karena tidak semua santri bisa
menerima peraturan dengan sistem poin tersebut, banyak keluhan yang telah peneliti temukan saat peneliti melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dimana setiap peneliti masuk keruang kelas dan menanyakan
bagaimana perasaan saat berada di pondok, dan rata-rata mereka menjawab tidak enak karena segala sesuatunya di kenai poin.
Dalam kondisi seperti ini para santri tentu tidak mudah untuk menerima dengan cepat terhadap peraturan baru yang berlaku, butuh waktu yang lama untuk bisa terbiasa mengikuti peraturan yang ada. Maka dari itu
penyesuaian diri sangatlah penting bagi santri meski sulit untuk bisa menerimanya, sehingga terkadang santri harus memaksakan dirinya untuk
bisa terbiasa dengan itu semua.
Penyesuaian diri merupakan sebuah proses perubahan pada mental dan perilaku seseorang yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh untuk
mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik yang dirasakan pada dirinya karena adanya ketidak harmonisan antara tuntutan dari diri sendir dengan
8
baik jika berhasil merespon dengan matang, misalnya seseorang dapat merespon dan mengikuti dengan baik terhadap tuntutan zaman.10
Seperti halnya dalam kasus ini, terdapat seorang santri kelas 8D yang memiliki masalah penyesuaian diri terhadap peraturan baru yang diterapkan.
Dalam hal ini, ada salah satu santri yang membuat peneliti tertarik untuk mendalami lebih jauh permasalahan konseli yaitu Sandi (nama samaran) yang sekarang duduk di kelas 8 D. Saat peneliti melakukan pertemuan pertama kali
dengan konseli, konseli mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan peraturan baru yang di buat oleh para pimpinan dan pengurus pondok pesantren.
Menurut konseli bahwa peraturan itulah yang akhirnya membuat konseli malas untuk sekolah dan menurut konseli karena peraturan itu yang malah menjadikannya merasa tidak ikhlas untuk berangkat sekolah melainkan ia
hanya takut bahwa nantinya akan dikenakan poin.11
Hal ini terlihat saat peneliti mengikuti kegiatan bimbingan saur manuk
yang diadakan setiap malam selasa. Saat itu peneliti menggantikan ustadz yang tidak hadir yang seharusnya memberikan bimbingan di kamar 26 pada saat peneliti hadir ke kamar para santri meminta untuk berpindah tempat ke
lapangan. Ketika semua santri sudah berkumpul tampak konseli datang terlambat dan tidak membawa buku. Dan saat proses bimbingan berlangsung
peneliti memerhatikan raut wajah yang kesal serta sanggahan-sanggahan konseli yang seakan-akan menolak nasehat yang peneliti berikan untuk bisa
10Nasaruddin Umar,Tuntutan Keluarga Sakinah“Seri Psikologi”, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007), hal 13.
9
menerima peraturan baru yang telah ditetapkan pimpinan dan pengurus pondok pesantren.12
Tidak hanya itu, untuk mengetahui lebih dalam permasalahan konseli, konselor mencari data dengan menanyakan bagaimana kegiatan sehari-hari
konseli baik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstra. Dari data yang konselor peroleh maka diketahui bahwa konseli sering membolos sekolah dengan berbagai macam alasan bahkan konseli terkadang
berpura-pura sakit dan tidur di kamar. Konseli juga memiliki minat belajar yang rendah, hal ini terbukti bahwa menurut temannya konseli malas-malasan
saat pelajaran berlangsung, seperti ribut sendiri saat ustadz berbicara, tidak menulis pelajaran yang diajarkan dan terkadang konseli malah berjalan-jalan diluar kelas pada saat ustadz sedang mengajar.
Dengan melihat fenomena yang ada, hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).”
10
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok
Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?
2. Bagaimana Hasil Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya)?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Memahami Proses Konseling dengan Menggunakan Strategi
Forcing Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
2. Mengetahui Hasil Konseling dengan Menggunakan Strategi Forcing
Conformity untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri terhadap
Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok
Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa berguna untuk pengembangan khasanah keilmuan bagi pembaca dan khususnya bagi mahasiswa yang
11
2. Manfaat praktis
a. Bagi santri al-fithrah, diharapkan bisa lebih membuka dirinya untuk
menerima peraturan yang ada di pondok pesantren dengan lapang dada dan bisa dengan mudah untuk beradaptasi terhadap peraturan baru yang
telah diterapkan.
b. Bagi mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam dan guru BK yang berada di lingkungan pesantren, hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi referensi untuk menangani permasalahan konseli, dalam hal ini yaitu mengembangkan adaptasi diri santri
terhadap peraturan baru yang ada di lingkungan pesantren.
E. Definisi Operasional
1. Forcing Conformity
Konformitas (Conformity) menurut Baron dan Byrne adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku
mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.13
Forcing Conformity (memaksa penyesuaian) yaitu merupakan
strategi membantu konseli dalam kondisi yang mengharuskan konseli
untuk memaksakan dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada, dalam kondisi ini, di satu
sisi konseli harus melaksanakan tugas-tugas tertentu dan harus dijalani,
12
namun pada sisi lainnya ia tidak senang untuk melaksanakannya. Apabila konseli ingin mencapai tujuan hidupnya ia harus lakukan juga.14
Dalam penelitian ini, karena tidak memungkinkan bagi peneliti untuk mengubah lingkungan (peraturan pondok) yang ada, maka yang
harus dipaksa untuk berubah adalah diri konseli itu sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memperbaiki pola pikir konseli dengan menggunakan teknik
reframing yaitu membingkai ulang pemikiran negatif atau pemikiran yang
salah yang dimiliki konseli terhadap perturan baru menjadi pemikiran yang lebih positif dan membangun.
Peneliti juga akan memperbaiki tingkah laku klien yang cenderung bermalas-malasan menggunakan teknik reward and punishment dengan memberikan penghargaan setiap tingkah laku positif yang dilakukan
konseli dan memberikan hukuman saat konseli melakukan hal yang negatif.
2. Adaptasi Diri
Adaptasi diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap
dirinya dan terhadap lingkungan.15
Penyesuaian diri mengandung banyak arti, antara lain usaha
manusia untuk menguasai tekanan akibat dorongan kebutuhan, usaha memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntunan lingkungan, dan usaha menyelaraskan hubungan individu dengan realitas.
14 Mary Nosemove, Konsep Dasar Konseling, (http://marynosemove.blogspot.co.id /2013/01/konsep-dasar-konseling.html), Diakses 10 Oktober 2016.
13
Ia memberikan batasan penyesuaian diri sebagai proses yang melibatkan respon mental dan perilaku manusia dalam usahanya mengatasi
dorongan-dorongan dari dalam diri agar diperoleh kesesuaian antara tuntutan dari dalam diri dan dari lingkungan. Ini berarti penyesuaian diri merupakan
suatu proses dan bukan kondisi statis.16
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan adaptasi diri yaitu adaptasi diri konseli terhadap peraturan baru yang ada di pondok pesantren
Assalafi Al-Fithrah surabaya. 3. Peraturan
Peraturan adalah suatu tata cara yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menertibkan dan menyelaraskan dengan keperluan suatu pihak tersebut. Peraturan juga berguna bagi perkembangan mental dan psikologis
bagi yang menaatinya. Menumbuhkan rasa hormat serta pembentukan pribadi yang baik.17
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peraturan yaitu tata tertib baru yang berlaku sejak awal tahun ajaran 2016-2017 pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang di kutip oleh Tohirin dalam bukunya
16 Nur Ghufran dan Rini Risnawati S, Teori-teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 50.
14
“Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling)”, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat di amati18.
Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, institusi atau
gejala-gejala tertentu.19 Dalam studi kasus, peneliti mencoba untuk mencermati individu atau satu unit secara mendalam.
Tujuan penelitian kasus adalah untuk mempelajari secara intensif latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, sosial, masyarakat.20
Alasan peneliti menggunakan penelitian studi kasus, karena subyek dalam penelitian ini adalah suatu kasus yang hanya dialami oleh satu orang
anak, sehingga harus dilakukan secara intensif, menyeluruh dan terperinci untuk mengembangkan adaptasi diri konseli.
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sehubungan dengan penelitian yang sifatnya studi kasus, yang hanya melibatkan satu orang, maka dalam penelitian ini tidak
menggunakan sampel atau populasi. Jadi, hanya berdasarkan atas
18 Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 2.
19 Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif (dalam pendidikan dan bimbingan konseling), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 20.
15
pengenalan diri konseli dengan cara mempelajari dan mendalami perkembangan konseli secara terperinci dan mendalam. Adapun subyek
dalam penelitian ini adalah: a. Konseli
Adalah seorang santri kelas VIII D Madrasah Tsanawiyah yang secara pribadi belum bisa menerima peraturan baru yang ditetapkan oleh para ustadz dan pengurus pondok pesantren. dalam penelitian ini,
bertujuan untuk meningkatkan adaptasi diri santri dengan menggunakan strategiforcing conformity.
b. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah orang tua konseli, teman sekelas, juga teman satu asrama konseli, dan para ustadz yang bisa
membantu untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan diri konseli. Sedangkan lokasi penelitian ini, penulis memilih tempat di
pondok pesantren Assalafi al-Fithrah yang beralamatkan di Jalan Kedinding Lor No. 99 Surabaya.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian kasus yang sifatnya adalah
terhadap suatu masalah penelitian, maka jenis data yang digunakan adalah data yang bersifat non statistik dimana data yang akan diperoleh nantinya dalam bentuk verbal bukan angka. Jenis data pada penelitian
16
1) Kata-kata dan Tindakan
Kata-kata dan tindakan orang yang diwawancarai merupakan
data utama. dalam penelitian ini peneliti melakukan pencatatan sumber data utama melalui pengamatan, wawancara dengan orang
yang berperan dalam penelitian, misalnya konseli, teman sekelas dan teman sekamar, serta para ustadz konseli sebagai informan dalam penelitian ini.
Peneliti menulis semua kata-kata dan tindakan konseli yang dirasa sangat penting dari para informan dari kehidupan sehari-hari
yang kemudian di proses sihingga menjadi data yang akurat. 2) Sumber Tertulis
Sumber tertulis merupakan sumber kedua yang tidak dapat
diabaikan bila di lihat dari segi sumber data. Bahkan tambahan data dari sumber tertulis bisa dokumentasi tentang konseli yang berupa
identitas konseli secara lengkap dan dokumentasi tentang lembaga. Dalam hal ini sumber tertulis yang peneliti gunakan adalah hasil pertemuan dengan konseli dan hasil wawancara dengan ketua
kamar serta teman-teman konseli. b. Sumber Data
Untuk mendapatkan keterangan sumber tertulis, peneliti mendapatkannya dari sumber data. Adapun sumber data dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
17
Sumber data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan
penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.21
Dalam penelitian ini, sumber data primer yang ada adalah
Sandi, seorang santri di pondok pesantren Assalafi Al-Fithrah kelas VIII D.
2) Sumber Data Sekunder
Adalah informasi yang telah dikumpulkan dari pihak lain. Dan yang menjadi sumber data sekundernya yaitu meliputi
orang-orang dekat konseli yang dalam hal ini yaitu orang-orang tua, teman, dan ustadz konseli.
4. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga tahapan dalam penelitian, diantaranya: tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan
tahap analisa data.22 Untuk lebih jelasnya peneliti akan menguraikan tiap-tiap tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Pra Lapangan
1) Menyusun Rancangan Penelitian
Untuk menyusun rancangan penelitian, peneliti terlebih
dahulu membaca fenomena yang ada di lingkungan yang akan dijadikan objek penelitian dan memilih satu penelitian tentang
21Iqbal Hasan,Analisis Data Penelitian dengan Statistik,(Jakarta: Media Grafika, 2004), hal. 19.
18
Bimbingan dan Konseling Islam dengan StrategiForcing Conformity untuk mengembangkan adaptasi diri santri.
2) Memilih Lapangan Penelitian
Setelah membaca fenomena yang ada peneliti memilih
lapangan penelitian di Pondok Pesantren Assalafi al-Fithrah Kedinding Surabaya.
3) Mengurus Perizinan
Dalam hal ini yang dilakukan peneliti adalah mencari siapa saja orang yang berkuasa dan berwenang memberi izin untuk
pelaksanaan penelitian, kemudian peneliti melakukan langkah-langkah persyaratan untuk mendapatkan izin tersebut.
4) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Dalam perlengkapan penelitian, peneliti menyiapkan pedoman wawancara, alat tulis, recorder, kamera dan sebagainya.
Itu semua bertujuan untuk mendapatkan deskripsi data dan sebagainya.
b. Tahapan Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian yaitu, peneliti memahami penelitian, mempersiapkan diri untuk
19
mengumpulkan data-data hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan.
Informan dalam penelitian ini adalah teman satu kelas konseli, ustadz, dan beberapa teman dekat konseli yang bisa membantu untuk
mendapatkan data-data yang terkait dengan konseling dan juga melibatkan anak yang bermasalah tersebut.
c. Tahap Analisis Data
Pada tahap ini, peneliti menganalisa data yang telah didapatkan dari lapangan yakni dengan menggambarkan atau menguraikan masalah
yang ada sesuai dengan kenyataan. Analisis data mencakup menguji, menyeleksi, membandingkan, mengategorikan, mengevaluasi, menyortir, dan merenungkan data yang telah di rekam, juga meninjau
kembali data mentah dan terekam.23 Semua ini dilakukan oleh peneliti guna menghasilkan pemahaman terhadap data.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik ini dibutuhkan dalam
penelitian untuk dapat memudahkan dalam memperoleh data yang berhubungan dengan masalah penelitian yang ingin selesaikan. Adapun
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara
20
Wawancara atau interview yaitu cara menghimpun data dengan jalan bercakap-cakap, berhadapan langsung dengan pihak yang akan
dimintai pendapat, pendirian atau keterangan.24 Seperti yang telah
dikemukakan oleh Muh. Nazir dalam bukunya “Metode Penelitian”
bahwa yang di maksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil tatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau
responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).25
Adapun yang digali dalam wawancara adalah tentang riwayat hidup, latar belakang keluarga, kebiasaan konseli yang terbentuk sbelum di pondok, aktivitas keseharian konseli di pondok, perasaan
konseli saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, sikap dan perilaku konseli terhadap peraturan baru yang berlaku, dan bentuk
peraturan yang disenangi dan tidak disenangi konseli.
Dalam hal ini peneliti mewawancarai konseli, orangtua konseli, teman-teman konseli, serta ustadz yang mengajar konseli.
b. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang diselidiki. Observasi ini berfungsi untuk memperoleh gambaran, pengetahuan serta pemahaman mengenai data
21
konseli dan untuk menunjang serta melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui wawancara.26
Dalam observasi ini, peneliti mengamati segala perilaku konseli saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, kedisiplinan
konseli dalam mengikuti kegiatan pondok, keaktifan konseli dalam mengikuti kegiatan pondok (intra dan ekstra), ketaatan konseli terhadap peraturan baru yang berlaku.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik yang dilakukan dengan mencari data
mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, catatan harian dan sebagainya.27 Di mana teknik ini akan di pakai dalam mengumpulkan data tentang keadaan lokasi
penelitian, keadaan konseli, serta catatan-catatan konselor sewaktu menjalankan konseling.
Dalam hal ini bahan yang peneliti guanakan yaitu dokumen atau catatan mengenai konseli yaitu berupa catatan pelanggaran, catatan wali kelas, absensi kelas (formal dan musyawarah), absensi kegiatan
bimbingan setiap malam selasa, untuk mengetahui keaktifan santri. 6. Teknik Analisis Data
Di dalam pelaksanaan penelitian setelah data terkumpul, maka data tersebut dianalisis dengan analisa deskriptif, yaitu dapat diartikan sebagai
26 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 153.
22
pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan pada
fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya.28 7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Agar penelitian dapat menjadi sebuah penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan, maka peneliti perlu untuk mengadakan pemikiran keabsahan data yaitu:
a. Perpanjangan Penelitian
Yaitu lamanya peneliti pada penelitian dalam pengmpulan data
serta dalam meningkatkan derajat kepercayaan data yang dilakukan dalam kurun waktu yang lebih panjang.
Lamanya peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.
Lamanya peneliti tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat,tetapi memerlukan perpanjangan penelitian.
b. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan diharapkan sebagai upaya untuk memahami pokok perilaku, situasi, kondisi, dan proses tertentu sebagai
pokok penelitian. Dengan kata lain, jika perpanjangan menyediakan data yang lengkap, maka ketekunan pengamatan menyediakan
pendalaman data. Oleh karena itu ketekunan pengamatan merupakan bagian penting dalam pemeriksaan keabsahan data.
c. Triangulasi
23
Triangulasi adalah teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu. Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi
kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan.29
G. Sistematika Pembahasan
Tujuan Sistematika Pembahasan turut serta ditulis dalam proposal ini
adalah semata-mata untuk mempermudah pembaca agar lebih cepat mengetahui tentang gambaran penulisan proposal penelitian ini.
Adapun sistematika pembahasan penelitian mendatang adalah sebagai
berikut:
Bab I menjelaskan tentang latar belakag, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, sasaran dan lokasi penelitianjenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, teknik pemeriksaan keabsahan data), sistematika pembahasan.
Bab II menjelaskan tentang kajian teoritik, yang meliputi: strategi
Forcing Conformity(pengertian konformitas, pengertianForcing Conformity,
strategiForcing Conformity dalam pendekatan Cognitive Behavior Therapy). Selanjutnya membahas tentang adaptasi diri (pengertian adaptasi diri,
24
unsur adaptasi diri, bentuk-bentuk adaptasi diri, jenis-jenis adaptasi diri, macam-macam adaptasi diri, kriteria adaptasi diri, faktor-faktor yang
mempengaruhi adaptasi diri). Selanjutnya membahas tentang peraturan (pengertian peraturan).
Bab III penyajian data yang menjelaskan tentang deskripsi umum lokasi penelitian yang meliputi (deskripsi lokasi penelitian, deskripsi konselor, deskripsi konseli, deskripsi masalah). Selanjutnya menjelaskan
tentang deskripsi hasil penelitian meliputi (deskripsi proses pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk
Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru Di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya dan deskripsi hasil akhir Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk
Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru Di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya).
Bab VI analisis data menjelaskan tentang analisis proses pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan Strategi Forcing ConformityUntuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru (studi kasus:
seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya) dan analisis hasil akhir Bimbingan Dan Konseling Islam Dengan
Strategi Forcing Conformity Untuk Mengembangkan Adaptasi Diri Santri Terhadap Peraturan Baru (studi kasus: seorang santri MTs kelas 8D di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya).
25
BAB II
FORCING CONFORMITY,ADAPTASI DIRI,
PERATURAN DAN TATA TERTIB
A. Forcing Conformity
1. PengertianForcing Conformity
Forcing Conformity merupakan gabungan dari dua kata yaitu
Forcing dan Conformity. Arti forcing sendiri yaitu memaksa. Dalam
kamusOxford,kataforcingberasal dari kata dasarforce(n) yang memiliki beberapa makna yaitu strength(kekuatan), power (kekuasaan)or violence
(kekerasan)30. Sedangkan kata conformity berasal dari kata conform yaitu
keep to generally accepted rules(Mematuhi peraturan yang berlaku secara
umum).31
Konformitas (Conformity) menurut Baron dan Byrne adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku
mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.32 Konformitas tidak hanya bertindak atau bertingkah laku seperti yang orang lain lakukan tetapi juga terpengaruh bagaimana orang lain bertindak. Seorang laki-laki
cenderung berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan dari laki-laki lain dan perempuan berperilaku seperti perempuan.
.
30Bull Victoria,Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 173.
31Bull Victoria,Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 89.
26
Berperilaku seperti laki-laki atau perempuan lebih disebabkan karena identitas diri sebagai laki-laki atau perempuan yang diberikan
kepada kita melalui sosialisasi dan internalisasi.
Konformitas merupakan suatu bentuk sikap penyesuaian diri
seseorang dalam masyarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada. Adanya konformitas bisa dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena
adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh maupun yang dibayangkan saja.33Sarwono menyebutkan bahwa konformitas memiliki 2
jenis yaitu :
a. Menurut (compliance) yaitu konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju;
b. Penerimaan (acceptance) yaitu konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial.34
Konformitas juga memiliki sisi positif dan negatif, dari sisi positif, yaitu masyarakat akan berfungsi lebih baik ketika orang-orang tahu bagaimana berperilaku pada situasi tertentu, dan ketika mereka memiliki
kesamaan sikap dan tata cara berperilaku. Sedangkan dari sisi negatif, konformitas bisa menghambat kreatifitas berpikir kritis, pengaruh bahasa
33John W. Santrock,Adolescence: Perkembangan Remaja,(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 221
27
yang asal-asalan, mencuri, mencoret-coret, serta mempermainkan orangtua dan guru.35
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa forcing
conformity adalah kekuatan atau penguasaan diri seseorang dalam
memaksakan dirinya untuk mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan tatanan atau norma sosial yang berlaku dan telah disepakati meski dilakukan dengan terpaksa.
Contoh penerapan forcing conformity juga dijelaskan dalam hadits nabi tentang bagaimana cara mendidik anak kecil untuk membiasakan
shalat lima waktu sejak kecil sebagai berikut:
ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ
(ABUDAUD - 418) : Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya."36
35John W. Santrock,Adolescence: Perkembangan Remaja,(Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 223.
28
Dari hadits diatas dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita
melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka
belum berusia baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitupula dengan
perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum baligh, agar mereka tidak terbiasa dan akrab
ketika sudah besar.
Pada kondisi seperti itu ada kemungkinan sang anak tidak melakukannya dengan senang hati melainkan dengan keterpaksaan dan
berat hati karena takut akan pukulan yang nantinya mereka dapatkan saat meninggalkan shalat. Namun sebagai umat muslim yang taat, mereka
harus melakukannya demi mencapai tujuan yang baik yaitu kedekatan dan kecintaan kepada Allah sang maha pencipta.
2. StrategiForcing Conformity
Forcing Conformity (memaksa penyesuaian) yaitu merupakan salah
satu strategi untuk membantu konseli saat berada dalam kondisi yang
mengharuskan konseli untuk memaksakan dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada. dalam kondisi ini, di satu sisi konseli harus melaksanakan tugas-tugas
29
melaksanakannya. Apabila konseli ingin mencapai tujuan hidupnya ia harus lakukan juga.37
3. Teknik-teknik dalam StrategiForcing Conformity
Seperti yang telah kita ketahui dari penjelasan di atas bahwa
strategi forcing conformity merupakan salah satu strategi implementasi konseling yang digunakan sebagai pedoman dalam mengimplementasikan pemecahan masalah. Strategi ini mengharuskan individu untuk
memaksakan dirinya dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungan agar sesuai dengan norma yang ada.
Dalam proses konseling, untuk mengimplementasikan strategi ini kepada konseli tentunya ada beberapa aspek yang harus disentuh sehingga strategi ini efektif untuk membantu konseli dalam menangani masalahnya.
Setidaknya ada dua aspek yang perlu konselor sentuh dengan menggunakan teknik yang tepat dalam setiap aspeknya yaitu aspek
kognitif dengan menggunakan teknik reframing dan aspek behavior dengan menggunakan teknikreward and punishmentyang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Reframing(Membingkai ulang)
1) Pengertianreframing
Reframing adalah upaya untuk membingkai ulang sebuah
kejadian, dengan mengubah sudut pandang tanpa mengubah kejadiannya itu sendiri. Hampir sama dengan relabeling atau
30
redefining, reframing berhubungan dengan bagaimana, dan bukan
apa.38
Ada dua jenis reframing yaitu reframing content dan
reframing context. Reframing content adalah memberikan makna
baru atas realitas yang ada, sedangkan reframing context yaitu menyampaikan contoh suatu kondisi peristiwa lain dalam konteks yang berbeda atas realitas yang ada. Tujuan utama reframing yaitu
untuk mendapatkan sebuah sudut pandang baru agar tidak terjebak hanya pada satu pilihan sudut pandang saja. Dengan adanya sudut
pandang baru diharapkan mampu memiliki pilihan pemikiran yang baru.39
2) Tahap-tahap teknikreframing
Cormier menyebutkan ada enam tahapan strategireframing antara lain :40
a) Rasional
Rasional yang digunakan dalam strategi reframing bertujuan untuk menyakinkan konseli bahwa persepsi atau
retribusi masalah dapat menyebabkan tekanan emosi. Tujuannya adalah agar konseli mengetahui alasan atau gambaran singkat
mengenai strategi reframing dan untuk menyakinkan konseli
38 Wiwoho, Reframing Kunci Hidup Bahagia 24 Jam Sehari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 60.
39 Pramudianto, I’m Coach Strategi Mengembangkan Potensi Diri dengan Coaching, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2015), hal. 137.
31
bahwa cara pandang terhadap suatu masalah dapat menyebabkan tekanan emosi.
b) Identifikasi persepsi dan perasaan konseli dalam situasi masalah Dalam tahap ini, konselor membantu konseli untuk
mengidentifikasi persepsi atau pikiran-pikiran yang muncul dalam situasi yang menimbulkan kecemasan berbicara di depan umum. Selain itu juga bertujuan untuk membantu konseli menjadi
waspada pada apa yang mereka hadapi dalam situasi masalah, karena konseli sering tidak memperhatikan detail-detail yang
mereka hadapi dan informasi tentang situasi yang mereka pikirkan.
c) Menguraikan peran dari fitur-fitur persepsi terpilih
Setelah konseli menyadari kehadiran otomatis mereka. Mereka diminta untuk memerankan situasi dan sengaja
menghadapi fitur-fitur terpilih yang telah mereka proses secara otomatis. Tujuannya adalah agar konseli dapat mengenali pikiran-pikiran dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang
menimbulkan kecemasan, yang dirasakan mengganggu diri konseli dan mengganti pikiran-pikiran tersebut agar tidak
menimbulkan kecemasan d) Identifikasi persepsi alternatif
Pada tahap ini konselor dapat membantu konseli
32
dari masalah yang dihadapi. Tujuannya adalah agar konseli mampu menyeleksi gambaran-gambaran lain dari perilaku yang
dihadapi
e) Modifikasi dan persepsi dalam situasi masalah
Konselor dapat membimbing konseli dengan mengarahkan konseli pada titik perhatian lain dari situasi masalah. Tujuannya adalah agar konseli dapat menciptakan respon dan pengamatan
baru yang didesain untuk memecahkan perumusan model lama dan meletakkan draft untuk perumusan baru yang lebih efektif.
Beralih dari pikiran-pikiran konseli dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dirasakan mengganggu konseli ke pikiran yang tidak
menimbulkan kecemasan.
f) Pekerjaan rumah dan penyelesaiannya
Konselor dapat menyarankan yang diikuti konseli selama situasi ini format yang sama dengan yang digunakan dalam terapi. Konseli diinstruksi menjadi lebih waspada akan fitur-fitur terkode
yang penting atau situasi profokatif dan penuh tekanan, untuk menggabungkan perasaan yang tidak nyaman, untuk melakukan
uraian peranan atau kegiatan praktik dan mencoba membuat pergantian perceptual selama situasi-situasi ini ke fitur-fitur lain dari situasi yang dulu diabaikan. Tujuannya adalah agar konseli
33
berlangsung serta bisa menggunakan pikiran-pikiran dalam situasi yang tidak mengandung tekanan dalam situasi masalah yang
nyata.
b. Reward and punishment
1) Reward
Reward dapat diartikan sebagai sebuah penguat
(reinforcement) terhadap perilaku peserta didik. Reinforcement
(penguatan) merupakan penggunaan konsekuensi untuk memperkuat perilaku.41 Artinya, bahwa sebuah perilaku yang dilakukan oleh
peserta didik dan dianggap sesuai kemudian diikuti dengan penguatan, maka hal tersebut akan meningkatkan peluang bahwa perilaku tersebut akan dilakukan lagi oleh anak.
Ganjaran dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak didik untuk melakukan perbuatan yang positif
dan bersikap progresif. Di samping juga dapat menjadi pendorong bagi anak-anak didik lainnya dan mengikuti anak yang telah memperoleh pujian dari gurunya. Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa metode ini juga mempunyai kelemahan diantaranya dapat menimbulkan dampak negatif apabila guru melakukannya tidak
secara profesional, sehingga mungkin bisa mengakibatkan murid
34
merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari teman-temannya (sombong).42
Penguatan (reinforcement) dibagi menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.
a) Penguatan positif
(1) Pengertian penguatan positif
Setiap kali sebuah stimulus khusus dihadirkan setelah
sebuah perilaku dan perilaku tersebut meningkat sebagai hasilnya, maka penguatan positif telah terjadi. Jangan
terkecoh dengan kata positif, di sini kata tersebut tidak memiliki hubungan dengan daya tarik yang menyenangkan atau yang membuat orang suka pada stimulus yang
dihadirkan. Penguatan positif dapat terjadi kalaupun stimulus yang dihadirkan mungkin dianggap tidak menyenangkan atau
tidak diinginkan. Kata positif disini hanya berarti menambahkan sesuatu pada situasi yang bersangkutan. Misalnya, beberapa siswa akan membuat sebuah respon
untuk memperoleh pujian dari guru, tetapi yang lainnya mungkin berperilaku dengan cara memancing omelan orang
lain.
Berikut merupakan contoh-contoh bentuk penguatan positif:
35
(a) Penguat konkret, adalah sebuah benda nyata yaitu sesuatu yang dapat disentuh. Misalnya, makanan ringan,
mainan, stiker, dll.
(b) Penguat sosial, adalah sebuah gerak isyarat atau tanda
(misalnya, senyum, perhatian, pujian atau ucapan terima kasih) yang diberikan seseorang kepada orang lain, seringkali untuk mengomunikasikan sesuatu yang positif.
(c) Penguat aktivitas, adalah kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas yang disukai. Siswa sering melakukan
suatu kegiatan, bahkan sesuatu yang tidak mereka sukai, jika kegiatan itu memudahkan mereka melakukan sesuatu yang mereka sukai.
(d) Terkadang pesan sederhana bahwa sebuah jawaban itu benar atau suatu tugas telah diselesaikan dengan baik
umpan balik positif dapat menjadi penguat. Umpan balik positif paling efektif dilakukan ketika umpan balik itu memberitahu siswa dengan istilah yang eksplisit dalam
hal-hal apa saja mereka bekerja dengan baik dan apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong performa
mereka menjadi lebih bagus lagi.43 (2) Prinsip-prinsip penerapan penguatan positif
36
Dalam menggunakan penguatan positif, konselor perlu memperhatikan prinsip-prinsip penguatan
(reinforcement) agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Prinsip-prinsip penguatan antara lain:
(a) Penguatan positif tergantung pada penampilan tingkah laku yang diinginkan
(b) Tingkah laku yang diinginkan diberi penguatan segera
setelah tingkah laku tersebut ditampilkan
(c) Pada tahap awal, proses perubahan tingkah laku yang
diinginkan diberi penguatan setiap kali tingkah laku tersebut ditampilkan
(d) Ketika tingkah laku yang diinginkan sudah dapat
dilakukan dengan baik, penguatan diberikan secara berkala dan pada akhirnya dihentikan.
(e) Pada tahap awal, penguatan sosial selalu diikuti dengan penguatan yang berbentuk benda.44
(3) Penerapan penguatan positif yang efektif
Untuk menerapkan penguatan positif yang efektif, konselor perlu mempertimbangkan beberapa syarat,
diantaranya adalah:
(a) Memberikan penguatann dengan segera
37
(b) Penguatan akan memiliki efek yang lebih bermakna bila diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan
dilakukan oleh konseli. Alasan pemberian penguatan dengan segera adalah untuk menghindari terdapat
tingkah laku lain yang menyela tingkah laku yang diharapkan. Dengan demikian tujuan pemberian penguatan terfokus pada tingkah laku yang diharapkan.
(c) Memilih penguatan yang tepat (d) Mengatur kondisi situasional
(e) Menentukan kuantitas penguatan (f) Memberikan sampel penguatan
(g) Memilih kualitas dan kebaruan penguatan
(h) Menangani persaingan asosiasi (i) Mengatur jadwal penguatan
(j) Mempertimbangkan efek penguatan pada kelompok (k) Menangani efek kontrol kontra.45
(4) Langkah-langkah pemberian penguatan (reinforcement)
Adapun langkah-langkah penerapan penguatan positif adalah sebagai berikut:
(a) Mengumpulkan informasi tentang permasalahan melalui analisis ABC
(i) Antecedent(pencetus perilaku)
38
(ii) Behavior(perilaku yang dipermasalahkan; frekuensi,
intensitas, dan durasi)
(iii)Concequence (akibat yang diperoleh dari perilaku tersebut)
(b) Memilih perilaku target yang ingin ditingkatkan (c) Menetapkan data awal perilaku awal
(d) Menentukan penguatan yang bermakna
(e) Menetapkan jadwal pemberian penguatan (f) Penerapan penguatan positif.46
b) Penguatan negatif
Perbedaan mendasar antara penguatan positif dan penguatan negatif ini terletak pada sifat penguatnya. Penguat pada
penguatan negatif haruslah tetap berupa hal-hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dengan cara mengurangi hal-hal
tertentu yang selama ini dirasakan sebagai hukuman atau sesuatu yang tidak menyenangkan, atau sesuatu yang selama ini menjadi beban dan memberatkan bagi si pelaku.
Contoh penguatan negatif adalah: Intan bangun tengah malam dan menangis, ia ingin tidur bersama orangtuanya. Agar
Intan berhenti menangis dan tidur, orangtuanya memperbolehkan Intan untuk tidur bersama mereka. Dengan diperbolehkannya
39
Intan tidur ditempat tidur orangtuanya meningkatkan perilaku menangis dan tidur bersama orangtuanya.47
2) Punishment
a) Pengertian hukuman (punishment)
Hukuman atau punishment merupakan intervensi operant
conditioning yang digunakan konselor untuk mengurangi tingkah
laku yang tidak diinginkan. Hukuman terdiri dari stimulus yang
tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari tingkah laku. Skinner berkeyakinan bahwa hukuman kerap kali digunakan
bukan untuk menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan tetapi hanya mengurangi kecenderungan tingkah laku. Ketika hukuman dihilangkan maka tingkah laku tersebut akan muncul
kembali.
Akan tetapi, hukuman memiliki efek emosional yang
negatif seperti kemarahan dan depresi. Bila hukuman digunakan harus diiringi dengan penguatan positif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Skinner menunjukkan bahwa penguatan positif
memberikan efek yang lebih efektif dibanding aversif dan hukuman.48
Ahmad Ali Budaiwi menjelaskan bahwa ada beberapa aspek fundamental yang selayaknya dipertimbangkan oleh orang yang hendak menjadikan hukuman (punishment) sebagai teknik
40
pendidikan untuk mengontrol siswa di dalam kelas, aspek tersebut adalah sebagai berikut:49
(1) Hukuman itu sendiri bukan merupakan tujuan, tetapi hukuman merupakan sarana untuk memperbaiki perilaku
siswa yang salah dan untuk meluruskan respons murid yang tidak sempurna.
(2) Penting sekali anak yang dikenai hukuman memahami tujuan
dibalik hukuman itu, yaitu keinginan guru kuat untuk memperbaiki muridnya dan membimbingnya pada jalan
pembelajaran. Perbaikan itu dilakukan melalui pemberian hukuman dan melalui kondisi psikologis guru. Namun hendaknya guru waspada agar murid tidak merasa
diintimidasi atau ingin balas dendam.
(3) Hukuman harus disesuaikan dengan besaran pelanggaran
yang dilakukan oleh murid; tidak boleh kurang atau lebih. Hal itu karena apabila siswa merasakan hukuma yang melebihi kesalahannya, timbullah dalam hatinya perasaan
diintimidasi dak dikhianati. Jika menurut penilaiannya hukuman itu tidak selaras dengan besarnya kesalahan yang
telah dilakukannya dan murid mengetahui keteledoran ini, maka dia akan mengulangi kesalahannya, dan barangkali hal itu akan menyebabkan dia jatuh ke dalam penyimpangan diri.
41
(4) Para guru hendaknya memahami bahwa siswa mereka itu bervariasi dan berbeda-beda. Murid yang tidak menjadi baik
kecuali dengan pukulan, berbeda dengan murid yang cukup diperbaiki dengan pandangan marah; bahwa hukuman yang
cocok untuk kesalahan tertentu belum tentu cocok untuk kesalahan lainnya; dan bahwa cara sebagian guru dalam menggunakan hukuman berbeda dengan cara guru lainnya.
(5) Hukuman dihentikan dengan terhentinya sikap yang menimbulkan hukuman itu. Tidak diperbolehkan
mempermalukan murid karena perbuatannya atau menceritakan kesalahan murid. Guru harus sadar betul bahwa sebagian murid suka mempermalukan teman-temannya yang
menerima hukuman. Hal ini tentu menyakiti perjalanan murid di jalan yang benar.
(6) Hukuman harus diberikan untuk memperbaiki perilaku individu demi kebaikan kelompok. Tatkala guru memberikan hukuman karena suatu kesalahan maka guru itu merupakan
bagian dari kelompok besar yang memiliki rasa tanggungjawab sosial. Oleh karenanya hukuman itu tidak
boleh sesuai dengan selera pribadinya atau demi keuntungan yang diharapkannya.
(7) Jika hukuman atas kesalahan itu dilaksanakan di depan
42
kelompok lain, imbalan pun harus diberikan di depan banyak orang dan di depan kelompok yang sama, sehingga
memungkinkan terjadinya penguatan perilaku positif.
(8) Penting bagi guru dan murid untuk memahami makna
kependidikan yang ada di balim hukuman, yaitu dengan menjelaskan sikap guru dan unsur-unsurnya secara lengkap setelah dia memberikan hukuman, agar guru tidak kehilangan
ikatan kasih sayang dengan murid-muridnya.
Diantara jenis hukuman yang digunakan di kelas ialah
hukuman fisik. Hukuman ini merupakan hukuman yang paling buruk, bukan karena ada jejaknya pada tubuh, melainkan karena ada jejak psikologisnya menimbulkan perasaan hina dan rendah
diri pada anak, dan barangkali menyebabkan pembangkangan dan pelaksanaan kesalahan secara terus-menerus.
Sebagian guru menggunakan hukuman psikologis, misalnya dengan memberikan teguran dan celaan, tetapi bukan dengan kata-kata kotor dan keji. Guru harus sangat waspada agar
tidak kehilangan nilai hukuman.
b) Hal-hal yang harus diperhatikan saat memberikan hukuman
Dalam pemberian hukuman terdapat beberapa prinsip
punishmentyang harus diperhatikan yaitu:
(1) Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak
43
memiliki keinginan untuk mengulang kembali perilaku tersebut bila berada pada situasi yang sama
(2) Penerapanpunishmentdalam pengubahan tingkah laku, lebih kepada fungsi konsekuensi yang memberi efek penurunan
perilaku
(3) Pemberian hukuman bisa dilakukan sebagai tambahan atas konsekuensi tingkah laku (tambahan tugas) atau
penghilangan sesuatu yang menyenangkan bagi siswa (mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diganti dengan tugas
tambahan).50
B. Adaptasi Diri
1. Pengertian Adaptasi diri
Adaptasi diri atau penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia
merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.51
Menurut Schneiders penyesuaian diri merupakan sebuah proses perubahan pada mental dan perilaku seseorang yang dilakukannya dengan
sungguh-sungguh untuk mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik yang dirasakan pada dirinya karena adanya ketidak harmonisan antara tuntutan
dari diri sendir dengan dunia nyata. Seseorang bisa dikatakan berhasil menyesuaikan diri dengan baik jika berhasil merespon dengan matang,
50 Gantika Komalasari dan Eka Wahyuni, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT Indeks, 2011), hal. 188.
44
misalnya seseorang dapat merespon dan mengikuti dengan baik terhadap tuntutan zaman.52
Menurut Mustofa Fahmi bahwa penyesuaian diri adalah proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah diri agar terjadi hubungan yang
lebih sesuai antara diri dengan lingkungannya sehingga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan yaitu lingkungan alam, sosial dan manusia.53
Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa menjelaskan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses mental dan tingkah laku individu
untuk menyesuaikan diri dengan kemauan yang berasal dari diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya.54
Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses seseorang dalam memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan tuntutan
yang harus dijalankan dalam lingkungan, sehingga merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.
Pentingnya adaptasi diri juga diterangkan dalam Al Quran Surat Al
Isra’ ayat 15
52Nasaruddin Umar,Tuntutan Keluarga Sakinah“Seri Psikologi”, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingnan Masyarakat Islam 2007), hal 13.
53 Mustafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal.25.
45
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka
sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian)itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus
seorang rasul.44
Dari ayat dapat disimpulkan bahwa manusia yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah dan Rosulnya, itu berarti dia telah berbuat untuk
menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia tersebut akan mendapatkan rasa bahagia pada dirinya karena mampu memenuhi beberapa keinginan dan
kebutuhan serta mampu menjalankan kehidupannya dengan puas dan bisa bertanggung jawab dengan melaksanakan norma-norma agama dan masyarakat secara baik sehingga bisa diterima oleh publik.
2. Unsur-unsur Adaptasi Diri
a. Adaptation
Adaptation artinya penyesuaian diri dipandang sebagai
kemampuan beradaptasi. Orang penyesuaian dirinya baik berarti ia mempunyai hubungan yang memuaskan dengan lingkungan.
Penyesuaian diri dalam hal ini diartikan dalam kondisi fisik, misalnya untuk menghindari ketidaknyamanan akibat cuaca yang tidak diharapkan, maka orang membuat sesuatu untuk bernaung.
b. Conformity
Conformity artinya seseorang dikatakan memiliki penyesuaian
46
c. Mastery
Masteryartinya orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik
adalah yang memiliki kemapuan untuk membuat rencana dan mengorganisasikan suatu respon diri sehingga dapat menyusun dan
menanggapi segala masalah dengan efisien.
d. Individual variation
Individual variation artinya ada perbedaan individual pada
perilaku dan responnya dalam menanggapi masalah. Setiap individu memiliki pola penyesuaian diri yang khas terhadap setiap situasi dan
kondisi serta lingkungan yang dihadapinya. Bagaimana individu menyesuaikan diri di lingkungan rumah dan keluarganya, disekolahnya, bagaimana individu dapat menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri.55
3. Bentuk-bentuk Adaptasi Diri a. Adaptasi diri personal
Penyesuaian diri personal adalah ppenyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Adaptasi diri personal meliputi
1) Adaptasi diri fisik dan emosi, penyesuaian diri ini melibatkan
respon-respon fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik merupakan pokok untuk pencapaian
penyesuaian diri yang sehat.