• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. pejalan kaki ini sebenarnya telah diatur pada paasal 131 dan pasal 132 UU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. pejalan kaki ini sebenarnya telah diatur pada paasal 131 dan pasal 132 UU"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia, peraturan bagi pejalan kaki ini sebenarnya telah diatur pada paasal 131 dan pasal 132 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun lemahnya implementasi dari Undang-Undang tersebut akhirnya berdampak pada terjadinya perubahan fungsi jalur-jalur pejalan kaki di beberapa kota Indonesia. Kota Yogyakarta adalah salah satu yang gagal dalam mengimpelentasikan UU No. 22 Tahun 2009 tersebut. sebagai contoh, mayoritas jalur pedestrian yang seharusnya digunakan oleh para pejalan kaki ternyata lebih didominasi oleh keberadaan PKL (Pedagang Kaki Lima) dan juga sebagai lahan parkir kendaraan bermotor. Selain berubahnya fungsi trotoar, buruknya fasilitas pendukung bagi keselamatan pejalan kaki seperti rambu-rambu penyeberangan di perempatan atau pertigaan jalan, trotoar yang sempit dan rusak, terhalangnya jalur trotoar oleh benda-benda seperti tiang listrik, tiang telepon serta pot-pot bunga dengan ukuran besar merupakan hal yang sangat merugikan bagi para pejalan kaki.

Berangkat dari fakta tersebut, LSM bernama KPBB (Komite Penghapusan bensin Bertimbel), Walhi (Wahana Lingkungan Hiudp) Yogyakarta bersama dengan GIZ-SUTIP (Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit–Sustainable Urban Improvement Project) mendorong pemerintah kota Yogyakarta agar menyelesaikan

(2)

2

permasalahan pejalan kaki tersebut. Desakan dari KPBB, Walhi dan GIZ-SUTIP kemudian disambut baik oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota dalam hal ini sepakat mengenai isu tersebut dan berkomitmen untuk mewujudkan kota Yogyakarta ramah bagi pejalan kaki. Kemudian, hasil dialog antara Pemerintah Kota yogyakarta, KPBB, Walhi dan GIZ-SUTIP adalah terciptanya kegaitan yang dinamakan “Meningkatkan Kelaikan Pejalan Kaki di Kota Yogyakarta” atau lebih dikenal dengan kegiatan “Walkability”, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk Mengembalikan hak-hak pejalan kaki sebagai pelaku utama trotoar. Kegiatan ini menuntut adanya perbaikan fasilitas pejalan kaki serta dibuatkannya peraturan yang melindungi hak-hak pejalan kaki, sehingga aspek keselamatan, keamanan, dan kelancaran bagi pejalan kaki dalam mobilitas sehari-hari dapat terwujud. Posisi KPBB, Walhi dan GIZ-SUTIP dalam program ini adalah sebagai pihak yang mengangkat isu pejalan kaki. Selanjutnya mereka juga melakukan riset untuk mengkaji lebih dalam problem-problem dari isu pejalan kaki ini, melakukan kampanye dan mengajak peran aktif masyarakat kota Yogyakarta untuk ikut mensukseskan kegiatan ini dimana hasil dari kajian tersebut diserahkan kepada Pemerintah Kota untuk dijadikan bahan pembuatan kebijakan bagi pejalan kaki ini.

Rancangan yang dibangun oleh KPBB, Walhi dan GIZ-SUTIP dalam skema walkability adalah membuat program kegiatan yang terbagi dalam tiga kurun waktu yakni rancangan jangka pendek, mendengah dan panjang. Rancangan kegiatan kurun waktu pendek ini dilakukan dengan berbagai macam kegiatan, baik melalui kegiatan survei, peningkatan

(3)

3

kesadaran masyarakat akan pentingnya berjalan kaki, rencana aksi perbaikan secara simbolis di salah satu trotoar, maupun dialog dengan para pemangku kepentingan untuk mewujudkan regulasi/kebijakan yang mengatur hak pejalan kaki. Salah satu kegiatan penting dari Walkability adalah mengubah paradigma masyarakat tentang aktivitas berjalan kaki yang saat ini mulai ditinggalkan masyarakat karena ada anggapan yang sangat kuat dikalangan masyarakat bahwa aktivitas berjalan kaki adalah aktivitas orang miskin. Sehingga hasil yang didapat adalah berubahnya anggapan masyarakat tentang berjalan kaki dan terwujudnya perubahan budaya dan perilaku masyarakat mengenai moda berjalan kaki ini yang sejatinya merupakan bagian penting dari sistem trasnportasi kota yang baik.

Berdasarkan pembagian kurun waktu tersebut, kegiatan jangka pendek dilakukan dengan tujuan membangun fondasi mengenai kesadaran dan kepedulian seluruh elemen masyarakat terhadap aktifitas berjalan kaki melalui kegiatan survei, pemetaan masalah, membangun partisipasi antara masyarakat dan stakeholder/pemangku kepentingan, kampanye pendidikan kepada publik, dan dialog kebijakan pembuatan draf regulasi bagi pejalan kaki. Kurun jangka pendek ini sangat menetukan bagi upaya penerapan kegiatan dijangka menengah dan panjang dimana kegiatan jangka pendek ini merupakan baseline untuk kegiatan selanjutnya. Jangka menengah pada kegiatan ini lebih kepada tahapan persiapan pembenahan seluruh aspek yang menyangkut aktifitas berjalan kaki yang diwujudkan dalam pembuatan rencana pembangunan kota dan pembahasan terkait pengalokasian dana APBD yang kan digunakan untuk penataan dan

(4)

4

perbaikan fasilitas pedestrian. Terakhir kegiatan jangka panjang akan lebih diorientasikan pada upaya konkrit/implementasi pembangunan jalur pedestrian yang berstandar universal, pemabangunan lokasi PKL dan tempat parkir diluar jalur pejalan kaki seperti pada tujuan awal kegiatan ini yaitu untuk memposisikan trotoar dan fasilitas pejalan kaki semata-mata difungsikan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk lalu lintas pejalan kaki dan bukan untuk kepentingan yang mengganggu peruntukannya ini.

Berdasar pada pelaksanaan kegiatan walkability yang telah berlangsung kegiatan jangka pendek yang berlangsung pada tahun 2012. Dari kegiatan jangka pendek ini telah dilaksanakan survei trotoar, survei ke para pengguna jalan, pemetaan masalah pejalan kaki, empowering, kampanye pendidikan publik hingga sampai pada tahap FGD dengan pemangku kepentingan yang menghasilkan tersususnya position paper pejalan kaki. Hasil dari kegiatan jangka pendek ini berdampak pada terbangunya persepsi dari para pemangku kepentingan terhadap kondisi prasarana dan sarana ruang pejalan kaki yang disediakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta selama ini. Pelaksanaan FGD ini dilakukan di empat kecamatan di kota Yogyakarta. Keputusan empat kecamatan yang menjadi tuan rumah bagi 3 (tiga) atau 4 (empat) kecamatan ini diambil berdasarkan hasil pertemuan 14 Kecamatan yang difasilitasi oleh Bagian Kerjasama Pemerintah Kota Yogyakarta. Posisi masyarakat dalam hal kebijakan pengaturan ruang pejalan kaki dan fakta yang ada di lapangan, dikelompokkan pada 6 (enam) kategori, yaitu:

1. Lebar trotoar minimum

(5)

5

3. Keberadaan penghalang

4. Keberadaan Pohon Pelindung 5. Alih Fungsi Ruang Pejalan Kaki

6. Regulasi Penataan Fungsi Ruang Pejalan Kaki

Dari posisi masyarakat kota Yogyakarta terhadap kondisi ruang pejalan kaki yang didapat dari fakta dilapangan dan didiskusikan melalui FGD antar kecamatan, telah menghasilkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti. Diantaranya;

1. Kontinuitas Fasilitas Pejalan kaki

2. Desain Fasilitas pejalan kaki yang mendukung Aksesibilitas semua lapisan masyarakat

3. Pengadaaan pohon perindang di sepanjang jalur fasilitas pejalan kaki, 4. Resolusi terhadap konflik penggunaan ruang pejalan kaki bagi PKL,

terutama pada trotoar yang sempit.

5. Diskusi/urun rembug yang dilakukan masyarakat.

6. Upaya penataan fasilitas pejalan kaki yang dilakukan masyarakat. 7. Mengembangkan alternatif kegiatan untuk merelokasi kelompok

kepentingan yang selama ini memanfaatkan trotoar.

8. Evaluasi peraturan perundangan yang saat ini berlaku di kotamadya Yogyakarta.

Hasil dari program walkability ini adalah diajukanya 6 posisi masyarakat dalam hal kebijakan ruang pejalan kaki dan 8 rekomendasi dari masyarakat yang diserahkan kepada pemerintah kota Yogyakarta dalam bentuk position paper untuk ditindak lanjuti. Namun setelah diserahkanya position paper tersebut tidak ada respon/tanggapan yang

(6)

6

diberikan oleh pemerintah kota. Sehingga hasil dari FGD di 14 kecamatan tidak mendapat tindak lanjut dari pemerintah., sehingga upaya untuk menindaklanjuti mengenai 6 posisi pejalan kaki dan 8 rekomendasi ini gagal masuk ke dalam agenda pemerintah kota Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan diatas dapat dilihat bahwa telah terjadi masalah pada proses agenda setting, dimana isu pejalan kaki yang diangkat oleh KPBB, Walhi dan GIZ-SUTIP mengalami kegagalan untuk masuk ke dalam agenda pemerintah. Upaya yang ditempuh oleh KPBB, Walhi dan GIZ-SUTIP dalam membawa isu ini ke agenda pemerintah gagal karena tidak adanya tindak lanjut dari Pemerintah Kota dalam menanggapi rekomendasi dari masyarakat tentang masalah pejalan kaki ini. Maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimana proses berjalanya agenda setting isu pejalan kaki di Kota Yogyakarta?”

“Apa yang menjadi hambatan dalam proses agenda setting ini sehingga isu pejalan kaki gagal masuk ke dalam agenda pemerintah?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, untuk mengetahui bagaimana proses masuknya isu publik ke dalam agenda pemerintah dalam proses agenda setting berdasarkan kasus riil yang terjadi ranah publik. Kedua mencari tahu kendala yang bisa menggagalkan isu publik menjadi agenda pemerintah. Selain itu tujuan penelitian ini untuk

(7)

7

mengamati respon dan peran masyarakat terhadap pengangkatan suatu isu publik, serta akuntabilitas (tanggung jawab) dan dimensi politis pemerintah kota sebagai decision maker dalam menanggapi salah satu isu perkotaan. Tujuan penelitian ini dicapai dengan cara; mempelajari proses apa saja upaya yang dilakukan KPBB dan GIZ-SUTIP dalam mengelola isu pejalan kaki tersebut agar dapat menarik perhatian Pemerintah Kota sehingga kepentingan pejalan kaki dapat diprioritaskan. kedua, menganalisis sikap pemerintah kota Yogyakarta sebagai decison maker dalam mengatasi tuntutan publik terhadap suatu isu publik yang diangkat oleh NGO dan masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sisi akademis, diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada Ilmu sosial dan politik khususnya Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik melalui identifikasi dan eksplorasi dimensi politis proses kebijkan tingkat lokal.

2. Sisi praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada para stakeholder terkait dalam membuat solusi pemecahan permasalahan publik khususnya permasalahan pedestrian.

Referensi

Dokumen terkait

Latihan melakukan sesuatu dengan disiplin yang baik dapat dilakukan sejak kecil sehingga lamalama akan terbiasa melaksanakannya, jadi dalam hal ini sikap disiplin yang ada

19 Karena itu siapa yang meniada- kan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ternyata memberikan pemahaman secara normatif pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha untuk

Sukuk Negara Ritel adalah Sukuk Negara (SBSN) yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual. 10  Diversifikasi

stuterheim (Holt, 1967) membagi sejarah seni Bali ke dalam tiga periode, yang meliputi: (1) periode Bali Hindu, mulai dari abad VIII - x. Pada masa ini berkembang

Pada menu Laporan terdapat submenu laporan absensi karyawan, penjualan, transaksi masuk, transaksi keluar, buku besar, grafik penjualan menu dan grafik

Penulis melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir Ny.S. sesuai dari kebijakan teknis (kunjungan neonatus umur 6