• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

19 4.1. Hasil Penelitian

Terdapat tiga hasil utama yang didapat dari penelitian ini, yaitu hasil pengamatan secara visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon, pengamatan preparat segar, dan pengamatan preparat histologis. Pengamatan preparat segar meliputi dua parameter amatan yaitu densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Pengamatan preparat histologis meliputi empat parameter amatan yaitu densitas, mitotik indeks, dan luasan sel zooxanthellae serta rasio ketebalan lapisan endoderm terhadap ektoderm pada tentakel anemon.

4.1.1. Pengamatan visual terhadap keadaan bagian luar tubuh ane mon Kondisi anemon pada masa aklimatisasi menunjukan keada an kesehatan yang cukup baik kecuali pada parameter warna pada anemon satu perlakuan satu. Kondisi tersebut diperlihatkan dengan tidak adanya mucus yang terlihat, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi meseterial filaments yang normal (tidak mengembung pada bagian mulut). Kondisi kurang sehat yang diperlihatkan oleh anemon satu pada perlakuan satu yaitu menurunnya tingkat kecerahan warna.

Pada masa pemberian perlakuan yang pertama (peningkatan I), terjadi perubahan kondisi anemon terutama pada parameter warna dan keadaan

mesenterial filaments. Perubahan terjadi setelah 24 jam dari dimulainya

pemberian perlakuan, yaitu terjadinya perubahan warna menjadi agak pucat pada anemon satu dan tiga pada kontrol serta anemon tiga pada perlakuan satu.

(2)

mesenterial filaments yang abnormal (kotak merah pada Gambar 5(c)). Data hasil

pengamatan visual dapat dilihat pada Lampiran 3. Kondisi anemon yang mengalami perubahan kondisi dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

(c)

Gambar 5. Kondisi Anemon Pada Masa Perlakuan Pertama (Peningkatan I) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Tiga Perlakuan Satu (b), Anemon Tiga Perlakuan Satu (c)

Pada masa istirahat (tidak ada perlakuan), selain terjadinya penurunan

kesehatan anemon juga terjadi kematian anemon dan pulihnya kesehatan anemon. Penurunan kondisi kesehatan terjadi pada anemon tiga pada perlakuan satu yaitu cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang setengah mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments (data pada Lampiran 4 dan 5). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga mengakibatkan kematian anemon tersebut pada hari kedua masa istirahat (Gambar 6). Pulihnya

mesenterial filaments yang abnormal

(3)

kesehatan anemon ditunjukan oleh anemon tiga pada kontrol yaitu kembalinya keadaan warna menjadi cerah kembali.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6. Kondisi Anemon Tiga Perlakuan Satu Pada Masa Istirahat. Penurunan Kondisi Kesehatan Anemon Pada Jam ke-72 (a),(b),dan (c), Kematian Pada Jam ke-96 (d)

Pada masa pemberian perlakuan yang kedua (Peningkatan II), terjadi kembali penurunan kesehatan anemon. Penurunan kesehatan tersebut diperlihatkan oleh perubahan keadaan warna menjadi agak pucat pada anemon satu pada kontrol dan anemon dua pada perlakuan satu juga pucatnya anemon satu perlakuan satu (Gambar 7. (a), (b), (c)). Pada anemon dua perlakuan dua, keadaan tentakel juga kurang baik yaitu setengah mengembang. Keadaan tersebut terus berlanjut pada hari kedua sehingga mengakibatnya semakin parahnya kondisi anemon dua pada perlakuan dua yaitu tidak mengenbangnya tentakel (menyusut), keluarnya mucus, warna yang agak pucat, dan abnormalnya keadaan mesenterial filaments (data

mesenterial filaments yang abnormal Tentakel tida k menge mbang

(4)

pada Lampiran 5). Setelah perlakuan kedua dihentikan, kondisi anemon dua perlakuan dua tidak membaik dan mati pada hari berikutnya (Gambar 7.(d)).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 7. Kondisi Anemon Setelah Masa Perlakuan Kedua (Peningkatan II) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Satu Perlakuan Satu (b), Anemon Dua Perlakuan Satu (c), Anemon Dua Perlakuan Dua (d)

4.1.2. Pengamatan preparat segar 4.1.2.1. Densitas zooxanthellae

Kondisi densitas zooxanthellae pada masa perlakuan (Peningkatan I dan II) dapat dilihat pada Gambar 8. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon kontrol tidak terlalu berfluktuasi. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata densitas naik dari 5,23x104 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 6,86 x104 ind/ml. Pada masa istirahat sampai masa peningkatan II berakhir (jam ke 192), nilai rata-rata densitas mengalami penurunan yaitu menjadi 5,43x104 ind/ml.

Tentakel tida k menge mbang

Ke matian ane mon setelah masa peningkatan II selesai

Warna agak pucat

(5)

Gambar 8. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192)

catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul 10.00 WIB 0.00E+00 2.00E+04 4.00E+04 6.00E+04 8.00E+04 1.00E+05 1.20E+05 0 24 48 144 168 192 D e ns it a s (i nd/ m l)

Waktu (jam ke-)

Kontrol (28

o

C)

0.00E+00 2.00E+04 4.00E+04 6.00E+04 8.00E+04 1.00E+05 1.20E+05 0 24 48 144 168 192 D e ns it a s (i nd/ m l)

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 1 (29

o

C)

0.00E+00 2.00E+04 4.00E+04 6.00E+04 8.00E+04 1.00E+05 1.20E+05 0 24 48 144 168 192 D e ns it a s (i nd/ m l)

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 2 (30

o

C)

30oC 28oC 30oC 28oC 28oC 28oC 29oC 28oC 29oC 1,2x105 1,0x105 8,0x104 6,0x104 4,0x104 2,0x104 0 1,2x105 1,0x105 8,0x104 6,0x104 4,0x104 2,0x104 0 1,2x105 1,0x105 8,0x104 6,0x104 4,0x104 2,0x104 0

(6)

Anemon pada perlakuan satu memperlihatkan kondisi rata-rata densitas zooxanthellae yang berfluktuasi dengan perubahan yang cukup besar. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata densitas turun dari 8,35x104 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 5,46 x104 ind/ml. Pada masa istirahat, nilai rata-rata densitas mengalami kenaikan menjadi 7,17 x104 ind/ml (jam ke-144). Namun pada masa peningkatan II, nilai rata-rata densitas mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 6,33x104 ind/ml.

Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon dengan perlakuan dua juga mengalami fluktuasi dan perubahan yang cukup besar. Pada masa

peningkatan I nilai rata-rata densitas turun dari 6,98x104 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 4,16x104 ind/ml, walaupun sempat mengalami kenaikan pada jam ke-24. Pada masa istirahat nilai rata-rata densitas mengalami kenaikan menjadi 5,17 x104 ind/ml (jam 144). Namun pada masa peningkatan II, nilai rata-rata densitas mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 4,61x104 ind/ml yang sebelumnya mengalami peningkatan terlebih dahulu

pada jam ke-168.

Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data densitas

zooxanthellae saat jam ke-48, pada selang kepercayaan 95%, pemberian perlakuan menunjukkan adanya perbedaan densitas yang nyata. Berdasarkan hal tersebut, uji lanjut BNT dilakukan terhadap data pada jam ke-48 yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan suhu 30o C berbeda nyata dengan kontrol (suhu 28o C) dan perlakuan dengan suhu 29o C tidak berbeda nyata baik dengan perlakuan suhu 30o C maupun 28o C.

(7)

Analisis yang dilakukan terhadap data densitas pada jam ke-24, 144, 162, dan 192, pemberian perlakuan menunjukan tidak adanya perbedaan densitas

yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.1.2.2. Mitotik indeks (MI) zooxanthellae

Kondisi mitotik indeks zooxanthellae pada masa perlakuan (Peningkatan I dan II) dapat dilihat pada Gambar 9. Kondisi rata-rata MI zooxanthellae pada anemon kontrol tidak terlalu berfluktuasi. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata MI mengalami peningkatan dari 3,33% pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 3,82%. Pada masa istirahat nilai rata-rata MI mengalami peningkatan yang besar yaitu sebesar 3,02% menjadi 6,89% pada jam 144. Namun pada masa

peningkatan II, selain terjadi peningkatan nilai rata-rata juga terjadi penurunan yaitu pada jam ke-192 yang bernilai 7,11%.

Perlakuan satu dan dua memperlihatkan pola nilai rata-rata MI pada masa peningkatan I, istirahat, dan peningkatan II yang tidak jauh berbeda. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata MI mengalami kenaikan pada jam ke-24 dan penurunan pada jam ke-48. Namun sampai jam ke-48 secara keseluruhan perlakuan satu mengalami penururan sebesar 0,51%, sedangkan perlakuan dua mengalami kenaikan sebesar 0,36% . Pada masa istirahat, nilai rata-rata MI mengalami kenaikan kembali (jam ke-144) yaitu sebesar 4,88% untuk perlakuan satu dan 3,77% untuk perlakuan dua. Kemudian pada masa peningkatan II, terjadi penurunan yang diikuti kenaikan nilai rata-rata MI sehingga pada jam ke-192 nilai rata-rata MI berkurang sebanyak 3,04% untuk perlakuan satu dan 2,86% untuk perlakuan dua dari nilai rata-rata MI pada jam ke-144.

(8)

Gambar 9. Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul 10.00 WIB

0 2 4 6 8 10 12 14 0 24 48 144 168 192 M it ot ik I nde k s (% )

Waktu (jam ke-)

Kontrol (28

o

C)

0 2 4 6 8 10 12 14 0 24 48 144 168 192 M it ot ik I nde k s (% )

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 1 (29

o

C)

0 2 4 6 8 10 12 14 0 24 48 144 168 192 M it ot ik I nde k s (% )

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 2 (30

o

C)

28oC 28oC 28oC

29oC 28oC 29oC

(9)

Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data mitotik indeks zooxanthellae saat jam ke ke-24, pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan. Berdasarkan hal tersebut, uji lanjut BNT dilakukan terhadap data pada jam ke ke-24 yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan suhu 300C berbeda nyata dengan kontrol (suhu 280C) dan perlakuan dengan suhu 290C tidak berbeda nyata baik dengan perlakuan suhu 300C maupun 280C. Analisis yang dilakukan terhadap data densitas pada jam ke-48, 144, 162, dan 192 menunjukan tidak adanya perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.1.3. Pengamatan preparat histologi

Pengamatan pada preparat histologis dilakukan pada empat parameter yaitu densitas, luasan sel dan mitotik indeks zooxanthellae dan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm. Secara umum bagian-bagian tubuh pada tentakel anemon hasil pengamatan pada preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 10. Bagian preparat histologis yang diamati adalah zooxanthellae pada bagian endoderm (Gambar 10(c)) dan ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm.

4.1.3.1. Densitas zooxanthellae

Gambar 11 memperlihatkan adanya perubahan kondisi kepadatan

zooxanthellae pada lapisan endoderm tentakel anemon pasir pada perlakuan dua pada jam ke-24 dan 192. Terlihat semakin berkurangnya kepadatan sel

(10)

(a) (b) (c)

Gambar 10. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Tiga, Kontrol) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 4x10 Skala Bar 100µm (a) Pembesaran Objektif 10x10 Skala Bar 100 µm (b), Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm (c). Ektoderm (ect), Mesoglea (mes), Endoderm (end), Rongga Tentakel (R), Nematocyst (nem), Zooxanthellae (zoox)

(a) (b)

Gambar 11. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Dua) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 10x10 Skala Bar 100 dan 10 µm (a), Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm (b).

ect

end mes zoox

nem R Jam ke-24 Jam ke-192 zooxanthellae zooxanthellae enctoderm endoderm mesoderm

(11)

Pada Gambar 12, dapat terlihat kondisi rata-rata densitas zooxanthellae yang mengalami perubahan pada setiap 24 jam pengamatan. Pada masa peningkatan I anemon kontrol mengalami sedikit penurunan nilai rata-rata densitas dari

6,90x105 ind/cm2 pada jam 0 menjadi 6,49x105 ind/cm2 pada jam ke-48. Pada masa istirahat dan peningkatan II, nilai rata-rata densitas cenderung naik sampai pada densitas 1,01x106 ind/cm2 pada jam ke-192.

Anemon dengan perlakuan satu memperlihatkan hal yang berlawanan pada masa peningkatan I dan II. Pada masa peningkatan I terjadi penurunan nilai densitas dari 8,03x105 ind/cm2 pada jam ke 0 menjadi 5,97x105 ind/cm2 pada jam ke-48. Pada masa peningkatan II terjadi kenaikan densitas zooxanthellae dari 6,78x105 ind/cm2 pada jam ke-144 (setelah terjadi kenaikan terlebih dahulu pada masa istirahat) menjadi 7,51x105 ind/cm2 pada jam ke ke-192.

Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon dengan perlakuan dua menunjukan fluktuasi yang besar, terutama pada masa peningkatan I terjadi

peningkatan yang besar pada jam ke-24 yaitu dari 2,22x105 ind/cm2 pada jam ke-0 menjadi 7,45x105 ind/cm2 pada jam ke-24. Namun terjadi penurunan pada jam ke-48 menjadi 5,70x105 ind/cm2. Pada masa istirahat terjadi peningkatan nilai rata-rata densitas, sebelum terjadinya penurunan kembali pada masa peningkatan II sehingga nilai rata-rata pada jam ke-192 menjadi 5,65x105 ind/cm2 dari

7,87x105 ind/cm2 pada jam ke-144 setelah masa istirahat.

Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data densitas

zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukan adanya perbedaan nilai densitas yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

(12)

Gambar 12. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis

catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul 10.00 WIB 0.00E+00 2.00E+05 4.00E+05 6.00E+05 8.00E+05 1.00E+06 1.20E+06 1.40E+06 0 24 48 144 168 192 D e ns it a s (i nd/ cm 2)

Waktu (jam ke-)

Kontrol (28

o

C)

0.00E+00 2.00E+05 4.00E+05 6.00E+05 8.00E+05 1.00E+06 1.20E+06 1.40E+06 0 24 48 144 168 192 D e ns it a s (i nd/ cm 2)

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 1 (29

o

C)

0.00E+00 2.00E+05 4.00E+05 6.00E+05 8.00E+05 1.00E+06 1.20E+06 1.40E+06 0 24 48 144 168 192 D e ns it a s (i nd / cm 2)

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 2 (30

o

C)

28oC 28oC 28oC 30oC 28oC 30oC 29oC 28oC 29oC 1,4x106 1,2x106 1,0x106 8,0x105 6,0x105 4,0x105 2,0x105 0 1,4x106 1,2x106 1,0x106 8,0x105 6,0x105 4,0x105 2,0x105 0 1,4x106 1,2x106 1,0x106 8,0x105 6,0x105 4,0x105 2,0x105 0

(13)

4.1.3.2. Mitotik indeks zooxanthellae

Gambar 13 memperlihatkan beberapa contoh sel yang sedang mengalami pembelahan mitosis. Terlihat perbedaan antara sel pada kondisi normal dan sel pada kondisi pembelahan mitosis. Sel pada kondisi pembelahan dicirikan dengan terlihatnya dua inti sel dalam sel tersebut.

Gambar 13. Sel Zooxanthellae Anemon Dua Perlakuan Dua Pada Kondisi Pembelahan Mitosis (Lingkaran Merah) dan Pada Kondisi

Normal (Lingkaran Biru). Pembesaran Objektif 40x10. Skala Bar 100µm.

Kondisi rata-rata mitotik indeks (MI) pada anemon kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14. Secara keseluruhan perubahan kondisi rata-rata MI pada kontrol dan perlakuan mempunyai pola yang sama, yaitu mengalami

penurunan pada masa peningkatan I, kenaikan pada masa istirahat, dan penurunan kembali pada masa peningkatan II. Anemon kontrol mengalami penurunan yang tidak besar pada masa peningkatan I dan II (2,55% dari jam ke 0 sampai jam ke 48 dan sebesar 4,5% dari jam ke-144 sampai jam ke-192). Kenaikan yang cukup besar terjadi yaitu pada masa istirahat sebesar 7,5%. Anemon pada perlakuan satu, memperlihatkan penurunan yang tidak besar juga pada masa peningkatan I (2,73% dari jam ke-0 sampai jam ke-48). Kemudian terjadi kenaikan yang cukup besar pada masa istirahat yaitu sebesar 7,07%. Setelah itu terjadi penurunan

(14)

Gambar 14. Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis

catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul 10.00 WIB 0 5 10 15 20 25 0 24 48 144 168 192 M it ot ik I nde k s (% )

Waktu (jam ke-)

Kontrol (28

o

C)

0 5 10 15 20 25 0 24 48 144 168 192 M it ot ik I nde k s (% )

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 1 (29

o

C)

0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 144 168 192 M it ot ik I nd e k s (% )

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 2 (30

o

C)

30oC 28oC 30oC

28oC 28oC 28oC

(15)

yang besar pada jam ke-168 yaitu 8,20%, kemudian naik kembali sebesar 4,90% pada jam ke-192.

Anemon pada perlakuan dua memperlihatkan penurunan yang cukup besar pada masa peningkatan I dan II. Penurunan yang terjadi yaitu sebesar 8,67% dari nilai awal pada jam ke-0, sedangkan pada peningkatan II terjadi penurunan sebesar 7,68 % setelah terjadi peningkatan sebesar 6,28% pada masa istirahat. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data mitotik indeks zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai mitotik indeks yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.1.3.3. Rasio ketebalan endoderm dan ektode rm

Hasil pengamatan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm tentakel zooxanthellae pada preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar 15 memperlihatkan contoh terjadinya perubahan ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm pada tentakel anemon pasir (anemon dua pada perlakuan satu).

(a) (b)

Gambar 15. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 4x10 Skala Bar 100µm. Pada Jam ke-0 (a) dan Jam ke-192 (b)

enctoderm endoderm enctoderm endoderm 80,5 µm 80,5 µm 142 µm 72 µm Rongga

(16)

Gambar 16 menunjukan nilai rata-rata rasio ketebalan endoderm dan ektoderm (end/ect) pada masa peningkatan I, istirahat, dan peningkatan II. Secara

keseluruhan perubahan/fluktuasi nilai rasio cukup stabil walaupun cenderung menurun untuk perlakuan satu (jam ke-0 sampai jam ke-192). Tidak banyak perubahan yang terjadi, misalnya pada perlakuan satu dan dua pada masa peningkatan I, nilai rata-rata rasio meningkat tipis dari 0,92 pada jam 0 menjadi 0,95 pada jam ke-48 untuk perlakuan satu dan 0,83 pada jam 0 menjadi 0,85 pada jam ke-48 untuk perlakuan dua. Pada masa istirahat hanya perlakuan dua yang mengalami peningkatan nilai rata-rata rasio yaitu menjadi 1,02 pada jam ke-144. Pada masa peningkatan II, perlakuan satu cenderung mengalami peningkatan nilai rasio dibanding dengan perlakuan dua yang cenderung mengalami penurunan nilai rata-rata rasio.

Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data rasio ketebalan endoderm dan ektoderm saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai rasio yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.1.3.4. Luas sel zooxanthellae

Gambar 17 memperlihatkan beberapa contoh ukuran sel pada anemon yang diberikan perlakuan. Pada Gambar 17, terlihat adanya perubahan keberadaan sel yang berukuran besar menjadi sel yang berukuran lebih kecil (Gambar 17(b)) walaupun perubahan tersebut tidaklah terlihat terlalu besar.

(17)

Gambar 16. Nilai Rata-rata dan Standard Error Rasio Ketebalan Endoderm dan Ektoderm (end/ect) Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis

catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul 10.00 WIB 0 0.5 1 1.5 2 0 24 48 144 168 192 R a si o e nd / e ct

Waktu (jam ke-)

Kontrol (28

o

C)

0 0.5 1 1.5 2 0 24 48 144 168 192 R a si o e nd/ e ct

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 1 (29

o

C)

0 0.5 1 1.5 2 0 24 48 144 168 192 R a si o e nd/ e ct

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 2 (30

o

C)

28oC 28oC 28oC

29oC 28oC 29oC

(18)

(a) (b)

Gambar 17. Zooxanthellae Pada Lapisan Endoderm Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis. Pembesaran

Objektif 40x10 Skala Bar 10µm. Pada Jam ke-0 (a), Jam ke-192 (b)

Berdasarkan Gambar 18, secara keseluruhan rata-rata luas sel zooxanthellae pada secara keseluruhan berada pada kisaran 20-25 µm2 untuk kontrol dan 15-25 µm2 untuk akuarium yang diberikan perlakuan. Pada anemon kontrol, nilai rata-rata luas sel cenderung menurun (jam ke-0 sampai jam ke-192) yaitu 23,92 µm2 pada jam ke-0 menjadi 21,33 µm2 pada jam ke-192. Anemon pada perlakuan satu, mengalami penurunan yang terus menerus dari jam ke-0 sampai jam ke-168, kemudian nilai rata-rata naik pada akhir perlakuan menjadi 24,77 µm2 pada jam ke 192 dari 23,79 µm2 pada jam ke-0. Berbeda dengan perlakuan satu, perlakuan dua mengalami kenaikan pada masa peningkatan II mulai dari jam ke-144, walapun sebelumya mengalami penurunan pada masa istirahat maupun peningkatan I. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data luas sel zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan luasan sel yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

zooxanthellae zooxanthellae 6,25 µm 6,62 µm 6,55 µm 6,5 µm 4,77 µm 4,2 µm 4,23 µm

(19)

Gambar 18. Nilai Rata-rata dan Standard Error Luas Sel Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis

catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul 10.00 WIB 0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 144 168 192 L u a s m 2)

Waktu (jam ke-)

Kontrol (28

o

C)

0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 144 168 192 L u a s m 2)

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 1 (29

o

C)

0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 144 168 192 L u a s m 2)

Waktu (jam ke-)

Perlakuan 2 (30

o

C)

28oC 28oC 28oC

29oC 28oC 29oC

(20)

4.2. Pembahasan 4.2.1. Adaptasi fisiologi

Adaptasi merupakan penyesuaian atau perubahan dari tingkah laku, fisiologi, dan struktur untuk menjadi lebih sesuai dengan keadaan lingkungan (biology-online.org, 2011). Pada penelitian ini, proses adaptasi fisiologis H. malu terhadap kenaikan suhu perairan diamati pada beberapa parameter yaitu densitas, mitotik indeks dan ukuran luas sel zooxanthellae juga morfologi anemon berupa rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm. Pengamatan terutama dilakukan pada masa pemberian perlakuan yaitu peningkatan I dan II, sedangkan pada masa istirahat anemon di beri kesempatan untuk berada pada kondisi lingkungan yang normal (seperti kontrol) sebelum diberikan perlakuan kembali (peningkatan II). Masa peningkatan I (perlakuan) yang diberikan bertujuan sebagai masa adaptasi anemon terhadap stress yang diberikan. Masa istirahat yang diberikan bertujuan untuk memberikan waktu kepada anemon untuk kembali pulih

(diharapkan kondisi anemon kembali sehat) terutama untuk kondisi metabolisme oksigen (O2). Berdasarkan hasil penelitian Guldberg dan Smith (1989), kondisi

metabolisme oksigen (O2) hewan karang yang telah mengalami stress akibat

kenaikan suhu, akan mengalami ketidaknormalan hingga 4 hari. Masa peningkatan II, diberikan sebagai percobaan apakah anemon dapat

bertahan/beradaptasi terhadap perubahan suhu yang terjadi setelah menerima

stress terlebih dahulu pada masa peningkatan I.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat pola peningkatan dan penurunan kondisi kesehatan anemon yang diamati dari parameter densitas, mitotik indeks, luas sel dan rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Pola

(21)

tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Nilai Perubahan Untuk Setiap Parameter Pengamatan Pada Preparat Segar dan Histologis

No Para meter Perla kuan Peningkatan I Istirahat Peningkatan II

24 48 144 168 192 preparat segar 1 Densitas (ind/ml) Suhu 28oC -5,56x10 1,63 x104 -7,33 x103 -5,67 x103 -1,28 x103 Suhu 29oC -2,91 x104 2,22 x102 1,70 x104 -1.28 x104 4.42 x103 Suhu 30oC 5,67 x103 -3,39 x104 1,02 x104 6,11 x103 -1,18 x104 2 Mitotik indeks (%) Suhu 28oC 0,31 0,18 3,07 0,31 -0,09 Suhu 29oC 0,93 -1,44 4,88 -4,40 1,37 Suhu 30oC 2,67 -2,31 3,78 -3,16 0,29 preparat histologis 3 Densitas (ind/cm2) Suhu 28oC 1,18 x105 -1,69 x105 1,75 x105 -5,08 x104 2,35 x105 Suhu 29oC 5,99 x102 -2,06 x105 8,07 x104 -8,85 x104 1,62 x105 Suhu 30oC 5,23 x105 -1,75 x105 2,17 x105 -1,77 x105 -4,61 x104 4 Mitotik indeks (%) Suhu 28oC -3,29 0,73 7,50 -4,40 -0,08 Suhu 29oC 0,03 -2,77 7,10 -8,27 4,93 Suhu 30oC -6,69 -1,98 6,29 -4,18 -3,53 5 Rasio Suhu 28oC -0,18 0,13 -0,04 0,36 0,02 Suhu 29oC -0,03 0,06 -0,08 -0,15 0,16 Suhu 30oC 0,08 -0,06 0,17 -0,23 0,06 6 luas sel (µm2) Suhu 28oC -0,89 -0,02 -2,55 1,68 -0,81 Suhu 29oC -1,39 -1,38 -0,34 -1,56 5,65 Suhu 30oC -2,59 0,69 -2,97 1,16 1,26

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamatan densitas pada preparat segar memperlihatkan pola yang sama pada masa peningkatan I dan peningkatan II, namun dengan nilai perubahan yang berbeda. Nilai perubahan pada masa peningkatan I cenderung lebih besar dari pada peningkatan II, kemudian pada masa istirahat juga terjadi peningkatan nilai rata-rata densitas. Sehingga dapat dikatakan untuk parameter densitas pada preparat segar untuk perlakuan dua, anemon mengalami penyesuaian terhadap kenaikan suhu perairan. Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil analisis ragam dan juga uji BNT yang menya takan

(22)

adanya perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% antara kontrol (suhu 28oC) dan perlakuan dua (suhu 30oC) pada jam ke-48 (peningkatn I) sedangkan pada masa peningkatan II analisis ragam menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata.

Pengamatan mitotik indeks pada preparat segar memperlihatkan perbedaan pola perubahan nilai antara masa peningkatan I dan II. Pada masa peningkatan I terjadi kenaikan nilai mitotik indeks pada jam ke-24 sebagai respon stress, sedangkan pada peningkatan II tidak terlihat adanya respon stress berupa

kenaikan nilai mitotik indeks pada awal dimulainya peningkatan II. Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji BNT, pada masa peningkatan I (jam ke-24) terjadi perbedaan nilai yang nyata pada selang kepercayaan 95% antara kontrol (suhu 28oC) dan perlakuan dua (suhu 30oC), sedangkan pada masa peningkatan II analsis ragam menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata. Sehingga dapat dikatakan untuk parameter mitotik indeks pada preparat segar untuk perlakuan dua (suhu 30oC), anemon mengalami penyesuaian terhadap kenaikan suhu perairan.

Hasil pengamatan terhadap densitas dan mitotik indeks pada preparat histologis berdasarkan Tabel 2, memperlihatkan pola yang tidak jauh berbeda kecuali densitas untuk perlakuan satu. Pada masa peningkatan II, baik densitas maupun mitotik indeks mempunyai kondisi yang lebih buruk dari pada masa peningkatan I yang ditunjukan oleh besarnya penurunan yang terjadi pada masa peningkatan II dibanding peningkatan I. Berdasarkan hal tersebut, walaupun terjadi peningkatan nilai pada masa istirahat, tetapi anemon tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peningkatan suhu lingkungan khususnya pada

(23)

densitas untuk perlakuan dua dan mitotik indeks zooxanthellae. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil analisis ragam yang menunjukan tidak adanya perbedaan nilai densitas dan mitotik indeks yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa peningkatan I, dan II) diantara semua perlakuan dan kontrol.

Pengamatan parameter rasio endoderm dan ektoderm pada preparat histologis mempelihatkan adanya kecenderungan peningkatan nilai rasio pada masa

peningkatan I dan II kecuali perlakuan dua. Kenaikan nilai rasio dapat

dikarenakan betambahnya ukuran vakuola sebagai host cell zooxanthellae pada lapisan endoderm sebagai respon stress akibat kenaikan suhu. Penurunan nilai rasio (perlakuan dua) juga menunjukkan adanya penurunan kondisi lapisan endoderm akibat kemungkinan adanya kerusakan lapisan endoderm akibat mekanisme pelepasan zooxanthellae. Berdasarkan hal tersebut, walaupun terjadi peningkatan nilai pada masa istirahat (perlakuan dua), tetapi anemon tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peningkatan suhu lingkungan k hususnya pada parameter rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil analisis ragam yang menunjukan tidak adanya perbedaan nilai rasio yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa peningkatan I, dan II) diantara perlakuan dan kontrol.

Berbeda dengan kondisi densitas, mitotik indeks, da n rasio endoderm dan ektoderm, kondisi luasan sel zooxanthellae lebih baik pada masa peningkatan II daripada peningkatan I. Pada masa peningkatan II hanya sekali terjadi penurunan untuk perlakuan satu dan sama sekali tidak terjadi penurunan untuk perlakuan dua. Walaupun analisis ragam tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata nilai luasan sel yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa

(24)

peningkatan I, dan II) diantara kontrol dan perlakuan, namun berdasarkan perubahan kondisi yang menjadi lebih baik pada masa peningkatan II dapat terlihat bahwa anemon dapat menyesuaikan diri terhadap kenaikan

suhu lingkungan.

4.2.2. Pengaruh peningkatan suhu perairan terhadap H. malu

Berdasarkan hasil yang diperoleh, peningkatan suhu secara keseluruhan mempengaruhi kondisi H. malu. Kondisi anemon yang diberikan perlakuan peningkatan suhu cenderung lebih buruk dibandingkan kontrol. Kondisi tersebut diperlihatkan oleh nilai beberapa parameter amatan yaitu densitas, mitotik indeks, dan luasan sel zooxanthellae juga rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Pada pengamatan densitas zooxanthellae baik hasil pengamatan pada preparat segar maupun histologis, pemberian perlakuan cenderung menurunkan nilai densitas zooxanthellae pada H. malu. Menurunnya nilai densitas zooxanthellae akibat kenaikan suhu air (lingkungan), dapat disebabkan karena meningkatnya tingkat kerusakan sel zooxanthellae (hingga lebih dari empat kali lipat) yang kemudian dikeluarkan dari jaringan endoderm. Hal tersebut dapat terjadi karena, anemon sebagai inang mengalami stress akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung (pada penelitian ini berupa kenaikan suhu) sehingga anemon hanya menyediakan sedikit nutrisi (zat hara) untuk zooxanthellae sehingga tingkat kerusakan sel zooxanthellae betrambah (Ainsworth dan Hoegh-Gulsberg, 2008 dan Titlyanov et al., 1996 in Rachmawati, 2008).

Menurunnya nilai densitas juga dapat disebabkan oleh keluarnya

zooxanthellae akibat rusaknya sel jaringan anemon karena senyawa oksigen yang bersifat toksik yang dikeluarkan oleh zooxanthellae (Rachmawati, 2008).

(25)

Zooxanthellae akan mengeluarkan senyawa oksigen yang bersifat toksik, ketika zooxanthellae mengalami stress akibat kekurangan nutrisi/zat hara. Namun jika hewan karang ataupun anemon mempunyai antioksidan dari senyawa toksik tersebut, maka anemon ataupun hewan karang dapat mempertahankan

zooxanthellae tetap pada jaringan endoderm. Hal tersebut yang kemungkinan menjadi penyebab tejadinya peningkatan nilai densitas pada data yang didapat. Tidak berbeda dengan hasil pengamatan densitas, pada pengamatan mitotik indeks (MI) pemberian perlakuan juga cenderung menurunkan nilai MI

zooxanthellae pada H. malu. Selain nilai yang cenderung menurun, perlakuan peningkatan suhu juga menyebabkan nilai yang lebih berfluktuatif dari pada kontrol. Hal tersebut dapat terjadi karena MI dari zooxanthellae menjadi indikator yang lebih sensitif terhadap stress lingkungan dari pada respon bleaching

(kehilangan zooxanthellae dan atau pigment) (Zamani, 1995).

Penurunan nilai MI zooxanthellae akibat adanya kenaikan suhu lingkungan, juga ditunjukan oleh hasil penelitian Zamani, 1995 yang menyatakan jumlah pembelahan zooxanthellae berkurang seiring dengan bertambahnya suhu

lingkungan. Hal tersebut dikarenakan oleh berkurangnya kemampuan fotosintesis akibat tingginya suhu perairan (diatas normal) (Jokiel dan Coles, 1990 in Zamani, 1995). Fotosistesis menjadi faktor penting dalam mendukung kehidupan alga dan pertumbuhan jaringan tentunya. Terganggunya proses fotosintesis tentu saja dapat mempengaruhi tingkat pembelahan sel alga.

Namun pada beberapa hasil pengamatan, juga terlihat peningkatan nilai MI padahal, baik anemon ataupun zooxanthellae sedang terkena stress suhu (diberi perlakuan kenaikan suhu). Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari hormesis

(26)

(Zamani, 1995). Menurut Stebbing (1979) in Zamani (1995), hormesis merupakan efek dari stimulatory sebagai proses biologi untuk mencegah keracunan dari zat beracun. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan hormesis merupakan suatu bentuk pertahanan diri dari zooxanthellae.

Pengamatan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm baik pada

peningkatan I dan II memperlihatkan kecenderungan peningkatan rasio endoderm dan ektoderm terhadap peningkatan suhu. Peningkatan rasio dapat disebabkan karena bertambahnya ukuran vakuola (tempat sel zooxanthellae berada pada jaringan endoderm) sebagai akibat dari peningkatan suhu dan strees yang dialami oleh anemon. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Zamani (1995) yang

menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi tembaga (Cu) dan suhu lingkungan yang diberikan pada H. malu menyebabkan bertambahnya ukuran vakuola sebagai

host zooxanthellae pada jaringan endoderm.

Berdasarkan data yang diperoleh, selain peningkatan nilai rasio juga terdapat penurunan nilai rasio endoderm terhadap ektoderm. Penurunan rasio tersebut dapat disebabkan oleh berkurangnya lapisan endoderm yang dikarenakan

rusaknya vakuola sebagai host zooxanthellae akibat proses necrosis dan Pinching

off, ataupun rusaknya jaringan endoderm akibat lepasnya vakuola bersamaan

dengan lepasnya sel zooxanthellae (host cell detachment). Menurut Gates, et al. (1992), mekanisme pelepasan zooxanthellae pada umumnya adalah melalui proses

host cell detachment yang merupakan pelepasan host cell endoderm bersamaan

algae/zooxanthellae yang masih terdapat didalamnya.

Selanjutnya untuk pengamatan parameter luasan sel zooxanthellae pada peningkatan I, pemberian perlakuan suhu cenderung menurunkan ukuran luasan

(27)

sel. Namun pada peningkatan II, peningkatan suhu yang diberikan cenderung menaikan ukuran luasan sel. Terjadinya penurunan ukuran sel akibat kenaikan suhu, sesuai dengan hasil penelitian Zamani (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan dapat menyebabkan berkurangnya ukuran luasan sel zooxanthellae. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat stress yang dialami zooxanthellae sehingga fotosintesis terganggu dan akhirnya mempengaruhi kepada pertumbuhan sel. Kemudian ditambah dengan pasokan nutrisi/zat hara yang semakin sedikit akibat kondisi anemon yang mengalami stress.

Bertambahnya ukuran luasan sel zooxanthellae, dapat disebabkan karena sel sudah mengalami penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Hal tersebut dikarenakan terdapat masa istirahat yang sebelum masa penigkatan dua. Pada masa istirahat tersebut kemungkinan sel mengalami pemulihan sehingga pada masa peningkatan dua sel sudah dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi yang telah dialami sebelumnya (peningkatan I).

Mengenai kondisi kualitas air pada ketiga akuarium (kontrol, perlakuan satu dan perlakuan dua) berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 8), kondisi air laut masih baik dan aman untuk biota air laut khususnya hewan karang. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai pH yang masih dalam kisaran 7-8,5, salinitas pada kisaran 33-34 o/oo, ammonia <0,3 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Gambar

Gambar 5. Kondisi Anemon Pada Masa Perlakuan Pertama (Peningkatan I)  Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Tiga Perlakuan Satu (b),  Anemon Tiga Perlakuan Satu (c)
Gambar 6. Kondisi Anemon Tiga Perlakuan Satu Pada Masa Istirahat.
Gambar 7. Kondisi Anemon Setelah Masa Perlakuan Kedua (Peningkatan II)  Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Satu Perlakuan Satu (b),  Anemon Dua Perlakuan Satu (c), Anemon Dua Perlakuan Dua (d)
Gambar 8. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa  Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui apa yang menjadi latar belakang pihak gojek menerapkan sanksi penambahan denda tersebut, dasar hukum apa

[r]

Seyogyanya bagi pendidik harus mengerti dan memahami suatu bentuk analisa dan penilaian hasil belajar pada peserta didik, yang terdiri pada penilaian pada ranah

diperlukan suatu penelitian untuk mengukur dan menganalisis rasio/perbandingan antara NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB terhadap nilai pasar properti,

a. Hidromnion ringan jarang diberi terapi klinis, cukup diobservasi dan berikan terapi simptomatis.. Pada hidromnion yang berat dengan keluhan-keluhan, harus dirawat dirumah sakit

Tujuan dari penelitian ini selain untuk mengetahui kandungan mikrob dan memetakan populasi mikrob pada tempe (kapang-khamir dan bakteri asam laktat) pada beberapa jenis tempe yang

Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara intensitas konsumsi berita online terhadap loyalitas pembaca surat kabar cetak Suara

Seluruh variabel dalam penelitian ini menunjukkan nilai koefisien yang positif sehingga dapat disimpukan variabel kepemilikan institusional, latar belakang pendidikan akuntansi dewan