• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala Mendukung. Indonesia. Menuju UHC. Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi dalam. Kemaritiman. p. 06 p. 02. Edisi 15, Vol. I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kendala Mendukung. Indonesia. Menuju UHC. Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi dalam. Kemaritiman. p. 06 p. 02. Edisi 15, Vol. I."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Meningkatkan

Peran

Perguruan

Tinggi

dalam

Mendukung

Pembangunan

Kemaritiman

p. 02

Kendala

Indonesia

dalam Transisi

Menuju UHC

p. 06

Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685

(2)

Update APBN

P

erekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2016 mencapai Rp3.086,6 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.353,2 triliun.

Ekonomi Indonesia triwulan II-2016 terhadap triwulan II-2015 (y-on-y) tumbuh 5,18 persen, meningkat dibanding triwulan II-2015 sebesar 4,66 persen dan triwulan I-2016 sebesar 4,91 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, dimana pertumbuhan tertinggi dicapai Jasa Keuangan dan Asuransi yang tumbuh 13,51 persen. Dari sisi pengeluaran didukung oleh hampir semua komponen dengan pertumbuhan tertinggi dicapai Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga yang tumbuh 6,72 persen. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial pada triwulan II-2016 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kelompok provinsi di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni sebesar 58,81 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 22,02 persen, dan Pulau Kalimantan 7,61 persen.

Dewan Redaksi

Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.

Pemimpin Redaksi

Slamet Widodo, S.E., M.E.

Redaktur

Robby Alexander Sirait, S.E., M.E. Dahiri, S.Si., M.Sc

Adhi Prasetyo S. W., S.M. Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM.

Editor

Marihot Nasution, S.E., M.Si. Ade Nurul Aida, S.E.

Daftar Isi

Update APBN...p.01

Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Pembangunan Kemaritiman...p.02 Kendala Indonesia dalam Transisi Menuju UHC...p.06

(3)

Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi

dalam Mendukung Pembangunan Kemaritiman

Dahiri1)

P

emerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo telah menetapkan kebijakan bahwa isi pembangunan Indonesia harus didasari pada kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam pidato pelantikannya, Presiden RI menegaskan bahwa “kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita.”2 Hal ini jelas

menegaskan bahwa Presiden memiliki harapan untuk bisa mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. Harapan tersebut telah terangkum dalam RPJMN 2015-2019, yaitu tercapainya target kemaritiman pada tahun 2019. Dalam kurun waktu tiga tahun mendatang, harapan untuk mewujudkan negara maritim masih menjadi tantangan bagi pemerintah mengingat masih banyak problematika terkait kemaritiman.

Kemaritiman merupakan suatu konsep yang terintegrasi antara sumber daya laut dan infrastruktur kelautan baik itu armada kapal, pelabuhan, keamanan pelayaran, dan konektivitas daratan menuju laut atau pelabuhan. Untuk mewujudkan kemaritiman diperlukan kerjasama yang kuat antar sektor kelautan, sektor energi sumber daya mineral (ESDM), sektor pariwisata, dan sektor perhubungan. Sektor kelautan yang berfokus pada hasil laut berupa hasil penangkapan ikan dan budi daya laut, sektor ESDM fokus pada bagaimana optimalisasi penambangan minyak dan gas bumi supaya tidak mencemari ekosistem laut, sektor pariwisata memberikan pendapatan tambahan kepada masyarakat pesisir namun wisata ini bisa maju atau tidak tergantung dari pelayanan masyarakat pesisir seperti keamanan dan

kebersihan lingkungan pantai. Semua hal tersebut juga tidak lepas dari kinerja perhubungan karena jika akses menuju pantai atau pelabuhan buruk maka akan menghambat kemajuan kemaritiman. Kemaritiman ini tidak lepas dari kehidupan masyarakat pesisir khususnya nelayan, hal ini juga termuat dalam target pemerintah yaitu termanfaatkan sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir.

Masyarakat pesisir cenderung berkaitan erat dengan kemaritiman. Namun, harapan untuk mewujudkan kemaritiman tidak bisa fokus pada masyarakat pesisir saja. Kemaritiman harus dibangun dari masyarakat yang majemuk, misalnya perdagangan yang tidak bisa hanya mengandalkan dari masyarakat pesisir. Keikutsertaan semua elemen masyarakat untuk bergerak dalam bidang kemaritiman sangatlah diharapkan. Jika semakin banyak masyarakat yang ikut serta, maka kemaritiman bisa terwujud. Kemaritiman pernah terwujud pada masa sebelum penjajahan. Namun, setelah masa penjajahan sampai saat ini sangat sulit untuk mewujudkannya kembali. Lebih mirisnya lagi, jumlah penduduk Indonesia yang bergerak di bidang maritim masih minim. Supandi (2015) menjelaskan bahwa data sensus penduduk 2010 menyatakan jumlah penduduk Indonesia ada 237.556.363 orang. Dari jumlah tersebut, hanya 2.313.006 orang yang menggeluti bidang maritim, atau hanya 1 persen dari total penduduk yang bergiat di bidang maritim. Ini berbanding jauh dengan luas lautan 74,26 persen dari total luas wilayah Indonesia. Jumlah ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak tertarik untuk

bergerak di bidang terkait kemaritiman. Hilangnya orientasi dan karakter 1) Dewan Redaksi Buletin APBN

2) Pidato Kenegaraan Presiden, Ir. Joko Widodo, seusai pelantikan Presiden dan Wapres RI terpilih periode 2014-2019, pada tanggal 20 Oktober 2014

(4)

mempunyai program ini. Artinya hanya ada sekitar 0,44 persen dari 3.151 PT memiliki prodi kemaritiman. Selain universitas, Kementerian Perikanan juga memiliki lembaga pendidikan terkait kemaritiman yaitu dua Sekolah Tinggi Prikanan dan tiga Politeknik. Jumlah ini menunjukkan bahwa wadah untuk meningkatkan SDM bidang maritim masih minim. Sementara itu, program studi yang ada juga masih terpisah-pisah belum menjadi fakultas tersendiri. Harapan kedepannya, Pemerintah bisa membentuk fakultas kemaritiman. Dengan adanya fakultas tersebut, program studi terkait

kemaritiman bisa terintegrasi dan lebih fokus.

Rendahnya Penelitian Bidang Maritim

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat berkaitan erat dengan kegiatan penelitian. Jika kegiatan penelitian tidak ada, maka IPTEK tidak bisa berkembang seperti sekarang ini. Perkembangan penelitian maritim berdasarkan total 8 parameter masih rendah, hanya peringkat ke 20 dari 23 kategori. Peringkat ini menunjukkan bahwa penelitian kemaritiman masih belum bisa

menopang terwujudnya kemaritiman. Setidaknya peringkat penelitian bisa masuk dalam tiga besar. Rendahnya penelitian bidang kemaritiman ini karena selama ini kemaritiman bukanlah menjadi isu pembangunan yang prioritas. Dengan agenda pembangunan Pemerintah yang telah menegaskan akan mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, penelitian bidang kemaritiman ini diharapkan bisa lebih meningkat lagi.

Rendahnya penelitian berdasar total 8 parameter juga tidak lepas dari berbagai penelitian di bidang kemaritiman. Penelitian berdasar jurnal nasional terakreditasi belum ada, sedangkan penelitian nasional berdasar jurnal internasional ada 38 atau peringkat ke 19. Padahal jurnal nasional terakreditasi ini merupakan wadah bagi akademisi maupun profesional untuk bisa mengasah dan mengembangkan keilmuan dan teknologi yang bisa bermanfaat. Hal ini jelas membutuhkan tenaga yang ekstra bagi Pemerintah untuk bisa mendorong terbentuknya jurnal nasional terakreditasi sebagai upaya kemaritiman ini tidak lepas dari

dampak masa penjajahan. Untuk bisa mengembalikan orientasi dan karakter tersebut, perguruan tinggi merupakan wadah yang sangat diharapkan. Oleh karena itu, peran perguruan tinggi juga menjadi penting untuk bisa mendukung terwujudnya negara maritim. Konsep dasar tridharma perguruan tinggi merupakan potensi untuk bisa mendukung terwujudnya negara maritim. Konsep tersebut meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal tersebut sangat signifikan untuk bisa menciptakan sumber daya manusia yang berkompetensi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan berkarakter. Selain meningkatkan sumber daya manusia, perguruan tinggi berperan dalam penelitian dan pengembangan teknologi yang tepat guna, sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat.

Program Studi Kemaritiman Masih Terbatas

Harapan Pemerintah untuk bisa mewujudkan negara maritim begitu besar. Harapan tersebut perlu upaya untuk bisa mewujudkannya. Upaya pada sektor pendidikan masih belum optimal. Pendidikan bisa merupakan investasi jangka pendek dan panjang. Yang dimaksud investasi jangka pendek bisa berupa pelatihan-pelatihan yang sifatnya non-formal. Pelatihan bermaksud memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Pelatihan ini dalam jangka pendek bermanfaat, tapi tidak untuk jangka panjang. Misalnya masyarakat hanya diberi pengetahuan menggunakan kapal penangkap ikan yang modern. Sedangkan yang dimaksud investasi jangka panjang berupa pendidikan formal yang memakan waktu yang cukup lama yaitu perguruan tinggi. Di pergururuan tinggi pengetahuan bisa bertambah dan berkembang. Tidak hanya itu pengembangan teknologi pun cenderung dilakukan dalam penelitian di perguruan tinggi. Namun, perguruan tinggi yang membuka program studi terkait kemaritiman masih terbatas. Menurut Wimbarti (2014) pada tahun 2014 hanya ada 14 perguruan tinggi (PT) yang mempunyai 31 program studi (prodi) kemaritiman, serta tiga politeknik yang

(5)

mendukung program Pemerintah mewujudkan kemaritiman. Selain ke dua penelitian tersebut, penelitian nasional berdasarkan teknologi tepat guna juga masih rendah, maritim hanya memiliki dua atau berada pada peringkat ke 13. Padahal penelitian berdasar tepat guna bersinggungan langsung dengan kemaritiman. Artinya hasil penelitian bisa bermanfaat langsung bagi kemajuan kemaritiman.

Berdasarkan pembahasan di atas, Indonesia sebenarnya sudah kehilangan orientasi dan visi kemaritiman. Menurut Sampono (2015), terdapat 4 poin yang selama ini telah tergerus dan menjadi

kehilangan orientasi visi kemaritiman, yaitu:

Kehilangan orientasi akan 1.

geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (maritim) terbesar di dunia.

Kehilangan orientasi dan 2.

kesadaran diri sendiri sebagai bangsa maritim.

Kehilangan orientasi terhadap 3.

wawasan nasional (wawasan nusantara) yang pada gilirannya memperlemah ketahanan

Sumber: Radjasa, Kemenristek Dikti Tahun 2016

nasional.

Kehilangan orientasi dan kesadaran 4.

tentang pentingnya laut bagi Indonesia.

Rekomendasi

Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas laut 2/3 dari luas keseluruhan sehingga Indonesia bisa dikatakan sebagai negara kelautan. Kelautan memiliki potensi untuk menopang perekonomian negara yaitu meliputi sumber daya alam dan pariwisata kelautan. Sumber daya alam kelautan meliputi hasil penangkapan dan pengolahan ikan maupun sejenisnya, budidaya rumput laut, budidaya udang/ lobster, minyak bumi dan gas bumi. Pariwisata kelautan meliputi tempat-tempat wisata kelautan seperti pantai-pantai untuk wisata. Selain itu, kelautan juga berfungsi sebagai penghubung antar pulau sehingga kelautan menjadi sarana transportasi. Namun apakah indonesia sudah menjadi negara kemaritiman, hal ini masih menjadi pertanyaan. Negara kelautan belum tentu merupakan negara kemaritiman, oleh karena itu Indonesia dengan pemerintahan yang

(6)

sekarang membentuk kementerian kemaritiman dengan harapan Indonesia kelak menjadi negara maritim. Untuk bisa mewujudkan harapan tersebut, Pemerintah perlu melakukan perbaikan orientasi dan visi masyarakat. Wadah yang tepat untuk melakukan perubahan tersebut adalah perguruan tinggi (PT). Konsep dasar tridharma

perguruan tinggi merupakan potensi untuk bisa mendukung terwujudnya negara maritim. Konsep tersebut meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Empat belas PT yang sudah ada prodi kemaritimannya diharapkan bisa mendorong PT yang lain supaya bisa membentuk prodi dan meningkatkan lagi penelitian bidang kemaritiman, serta membuat jurnal nasional terakreditasi sebagai wadah bagi akademisi maupun profesional untuk bisa mengasah dan mengembangkan keilmuan dan teknologi yang bisa bermanfaat. Kemudian Pemerintah melalui APBN perlu meningkatkan lagi dana penelitian bidang maritim, khususnya dana penelitian yang tepat guna.

Daftar Pustaka

Radjasa, Ocky Karna. (2016). Peran

dan Fungsi Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Bidang Perikanan dan Kelautan. Makalah disampaikan

dalam Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan. Universitas Lampung

Sampono, Nono. (2015). Perguruan

Tinggi Sebagai Agen Perubahan Menuju Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia. Makalah disampaikan

dalam Seminar Lembaga Kajian Indonesia FIB UI “Maritim Indonesia”. UI

Supandi, Ade. (2015). SDM Bidang

Maritim Masih Minim. Diambil kembali

dari http://nasional.sindonews. com/read/981967/149/sdm-bidang-maritim-masih-minim

Wimbarti, Supra. (2014). Dukung

Poros Maritim, Prodi Kemaritiman Harus Ditambah. Diambil kembali

dari http://news.okezone.com/ read/2014/11/07/65/1062587/ dukung-poros-maritim-prodi-kemaritiman-harus-ditambah

(7)

Kendala Indonesia dalam Transisi Menuju

UHC

Ade Nurul Aida1) Abstrak

Target pemerintah dalam menerapkan Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2019 masih memiliki sejumlah kendala baik berupa perluasan cakupan bagi tenaga kerja informal; integrasi Jamkesda ke dalam JKN; pelayanan kesehatan; pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan; serta nilai kegotong-royongan. Untuk itu perlu peran pemerintah dalam menentukan formulasi kebijakan yang mampu mengatasi hal tersebut demi peningkatan layanan kesehatan dan target UHC yang akan dicapai.

S

etiap warga negara tanpa terkecuali berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas. Kesehatan pun menjadi salah satu prioritas yang tertuang dalam Nawacita. Guna menjamin kesehatan tiap warganya secara menyeluruh, pemerintah Indonesia telah memulai proses reformasi jaminan sosial dengan membentuk Undang-undang (UU) Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana bentuk pelaksanaan amanah konstitusi UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dan sejak 1 Januari 2014, Pemerintah Indonesia meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kesejahteraan

bagi masyarakat Indonesia dari kekhawatiran persoalan kesehatan. JKN secara bertahap direncanakan sebagai jaminan kesehatan semesta/

universal health coverage (UHC)

bagi seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019. Sebagai bentuk keseriusan pencapaian UHC, Presiden bahkan mencantumkan UHC sebagai visi misi utama untuk pengembangan sistem jaminan kesehatan. Namun, sayangnya target yang akan dicapai Indonesia untuk menjadi kepesertaan UHC, nyatanya masih mengalami sejumlah kendala. Untuk menghadapi kendala yang dihadapi saat ini,

kiranya perlu peran pemerintah untuk menentukan formulasi kebijakan yang mampu mengatasi hal tersebut demi peningkatan layanan kesehatan dan

target UHC yang akan dicapai.

Sekilas UHC

Sistem pembiayaan kesehatan yang tepat untuk suatu negara adalah sistem yang mampu mendukung tercapainya UHC (Murti, 2011). UHC ditetapkan berdasarkan konstitusi WHO tahun 1948 yang menyatakan kesehatan merupakan hak asasi manusia. Penetapan ini diperkuat dengan deklarasi Alma-Ata pada 1978. Deklarasi ini membuat istilah UHC menjadi semakin populer dalam dunia internasional. UHC sendiri merupakan sistem kesehatan di mana setiap masyarakat memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang bermutu dan dibutuhkan, dengan biaya yang terjangkau. UHC mengandung dua elemen inti: (1) akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga; dan (2) perlindungan risiko finansial ketika warga

menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005).

Negara-negara di dunia melalui badan kesehatan internasinal WHO telah menyepakati pencapaian UHC di tahun 20142, sementara di Indonesia

sendiri penerapan dan pencapaian kepesertaan UHC ditargetkan di tahun 2019 nanti. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) di Indonesia telah menjawab prinsip dasar UHC dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau komprehensif. 1) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian DPR RI. e-mail: dhena_adhe@yahoo.com

2) ISMKI, Kumpulan Kajian Institusi Wilayah diakses dari http://wilayah4.ismki.org/wp-content/uploads/2016/03/Kastrat-Online-Mentah.pdf (2 Agustus 2016).

(8)

Gambar 1. Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional

Sumber: Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019, Kemenkes RI Sementara UU Nomor 24 tahun

2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana bentuk pelaksanaan amanah konstitusi UU SJSN merupakan salah satu bentuk upaya guna mengakselerasi rencana penyelenggaraan jaminan kesehatan secara adil dan menyeluruh sekaligus menjadi acuan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bersama Kementerian dalam penyusunan peta jalan yang menjabarkan arah dan langkah– langkah sistematis, konsisten, koheren dan terpadu sesuai dengan kerangka waktu yang diberikan. Peta jalan DJSN yang disusun pada tahun 2012 terdapat di gambar 1.

Peta jalan ini disusun untuk persiapan beroperasinya BPJS Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 dan tercapainya UHC pada Tahun 2019. Namun, dalam upaya mencapai kepesertaan UHC ternyata masih banyak sejumlah kendala yang harus dihadapi seperti cakupan tenaga kerja (sektor informal); integrasi Jamkesda ke dalam JKN; pelayanan kesehatan; pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan; serta nilai kegotong-royongan.

Sulitnya Memperluas Cakupan Jaminan Kesehatan kepada Sektor Informal

Proporsi jumlah tenaga kerja

informal di Indonesia mencapai sekitar 60 persen atau setara dengan 70.3 juta pekerja informal3. Saat ini, masih

banyak jumlah tenaga kerja yang belum mempunyai jaminan kesehatan terutama tenaga kerja sektor informal, diperkirakan pada tahun 2013 sekitar 32,5 juta pekerja informal belum ter-cover jaminan kesehatan4. Sektor

informal merujuk pada mereka yang tidak menempati lokasi usaha yang permanen, tidak mendapat hubungan kerja yang jelas, penghasilan yang tidak stabil dan regular, maupun kurang terlibatnya dalam jasa keuangan. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya proses pengumpulan iuran yang reguler dan berpotensi

3) Kepala BPS, Suryamin mengatakan bahwa dari tujuh kategori status pekerjaan utama yang terdapat pada data BPS, Kategori pekerja formal mencakup berusaha dengan dibantu buruh tetap/buruh dibayar dan kategori buruh/karyawan, sementara yang termasuk kategori pekerja informal yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian, pekerja keluarga/tak dibayar

4) Bappenas, 2013, Universal Health Coverage Bagi Sektor Informal

Gambar 2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Formal dan Informal

(9)

menyebabkan tingginya angka

drop-out untuk membiayai jaminan

kesehatan tersebut.

Integrasi Jamkesda & Jaminan Kesehatan Nasional Belum Ada

Cakupan jaminan kesehatan perlu diperluas untuk kelompok lainnya secara bertahap dengan tujuan dalam mencapai UHC. Hal ini termasuk mengintegrasikan ratusan program Jamkesda yang masih terpisah dengan jumlah jamkesda lebih dari 15,4 per juta orang (tabel 1). Namun dalam tujuan pengintegrasian Jamkesda tersebut, variasi Jamkesda yang ada di level Provinsi menjadi kendala yang harus dihadapi pemerintah. Sedangkan Kabupaten dan Kota, dihadapkan pada berbagai faktor antara lain kemampuan fiskal daerah, komitmen pimpinan daerah serta penyesuaian regulasi antara daerah dengan pusat5.

Pelayanan Kesehatan Baru Memenuhi Pelayanan Kuratif

Prinsip UHC mengharuskan setiap warga masyarakat memiliki akses yang

adil terhadap pelayanan kesehatan baik dari segi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Sementara selama ini prinsip pelayanan kesehatan yang diterapkan di Indonesia melalui BPJS hanya terbatas pada penerapan konsep kuratif saja, artinya mengobati masyarakat yang telah terlanjur sakit dan belum melakukan pencegahan sebelum jatuh sakit pada masyarakat. Selain itu biaya kesehatan pada masyarakat tersebut merupakan pelayanan pemerintah paling mendasar hanya melakukan belanja obat dan biaya dokter.

Untuk membiayai pengobatan (kuratif) pun membutuhkan biaya yang cukup besar. Hal ini terlihat dari laporan aktivitas Dana Jaminan Sosial (DJS) (tabel 2), dimana beban yang dibutuhkan untuk pengobatan cukup besar, dan pendapatan iuran(klaim) yang dikumpulkan ternyata tidak mampu menutupi besarnya beban pengobatan tersebut, sehingga nampak pada laporan aktivitas DJS hingga akhir tahun 2015 mengalami defisit mencapai Rp9,06 triliun.

Dengan status laporan tersebut, dapat 5)Aulia, Puti. 2015. Polemik Kebijakan Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah ke Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Menuju Universal Health Coverage (UHC)

Tabel 2. Laporan Aktivitas Dana Jaminan Sosial Kesehatan

Sumber: BPJS Kesehatan, 2016

Tabel 1. Cakupan Asuransi Kesehatan di Indonesia per Juta Orang

Sumber: Pembiayaan Kesehatan dan Cakupan Kesehatan Semesta, Kemenkes RI

(10)

dicermati bahwa sulitnya beban BPJS untuk membiayai pengobatan (kuratif), apalagi jika ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan dalam aspek lainnya (promotif, preventif dan rehabilitatif).

Premi Rendah, Kualitas Pelayanan Rendah

Iuran jaminan kesehatan nasional untuk peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja mengalami perubahan sebagaimana terdapat dan tertuang dalam

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (tabel 3). Salah satu sebab kenaikan iuran yaitu untuk menekan defisit klaim pembayaran JKN. Namun dengan iuran baru pun dimungkinkan defisit masih tetap terjadi lantaran iuran baru Penerima Bantuan Iuran (PBI) lebih rendah dari usulan DJSN sebesar Rp36.000 per orang per bulan6. Dengan nilai iuran yang

rendah itu, sulit mewujudkan layanan kesehatan bermutu dan akan sulit

memenuhi pelayanan kesehatan yang merata, baik dari segi jumlah maupun kualitas pelayanannya. Umumnya peserta mengharapkan (menuntut) pelayanan yang lebih baik dari suatu sistem asuransi/jaminan kesehatan. Kalau premi terlalu rendah akibatnya pembayaran kepada Penyedia

Pelayanan Kesehatan (PPK) juga rendah dan akan sulit bagi PPK melakukan peningkatan mutu pelayanan (Gani et al., 2008).

Fasilitas & SDM Kesehatan Belum Merata

Distribusi dan ketersediaan fasilitas maupun tenaga kesehatan amat penting dalam rangka mempersiapkan UHC di tahun 2019. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, nyatanya sebaran dan distribusi sarana maupun tenaga kesehatan belum tersebar merata. Contohnya, Papua Barat memiliki rasio Puskesmas per 30 ribu penduduk tertinggi diantara provinsi lainnya yang tersebar di Indonesia. Sementara rasio puskesmas terendah ditempati oleh provinsi Kalimantan Utara. Walaupun Papua Barat memilki rasio puskesmas tertinggi, sayangnya rasio dokter umum terhadap jumlah puskesmas yang tersedia justru paling kecil diantara provinsi lainnya (gambar 3).

Indeks Gotong Royong Masih Rendah

UU SJSN sebagai bentuk upaya akselerasi dari penerapan UHC mengandung prinsip kegotong-royongan sebagai mana tercantum pada Pasal 4 UU SJSN yang menyatakan

6) Berdasarkan Perpres No 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan, Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta PBI naik menjadi Rp 23.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp 19.225. Dan berlaku berlaku sejak 1 Januari 2016

Tabel 3. Perubahan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Peserta Pekerja Bukan Penerima

Upah dan Peserta Bukan Pekerja

Sumber: Perpres No 19 Tahun 2016

Gambar 3. Rasio Puskesmas per 30 Ribu Penduduk dan Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Jumlah Puskesmas Tahun 2014

(11)

bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip kegotong-royongan. Kegotong-royongan merupakan upaya bersama supaya semua penduduk berkontribusi (membayar iuran/ pajak) agar terkumpul (pool) dana untuk membiayai pengobatan siapa saja yang sakit. Prinsip gotong royong yang termaktub pada UU SJSN tersebut sayangnya tidak sejalan dengan nilai-nilai gotong royong yang diterapkan masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini terlihat dari indeks gotong royong yang hanya sebesar 0,55 persen pada tahun 2012 (skala 1).

Rekomendasi

Melihat masih terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaan jaminan kesehatan, hal ini akan menjadi salah satu hambatan dalam pencapaian UHC di tahun 2019 nantinya,

Untuk menghadapi kendala tersebut, perlu upaya pemerintah untuk mengidentifikasi dan membawa skema iuran ke dalam sektor informal, sehingga membantu percepatan proses kepesertaan dalam mendapatkan jaminan kesehatan; membentuk berupa formulasi kebijakan sentralisasi dinamis yaitu suatu formulasi kebijakan dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang tersentralisasi tetapi secara dinamis masih memberikan space atau peluang dalam kerangka desentralisasi kepada pemerintah daerah untuk ikut andil dan

berpartisipasi aktif dalam menentukan arah kebijakan pemerintahan

daerah tersebut dalam mewujudkan integrasi Jamkesda ke Jaminan Kesehatan Nasional7; perlu adanya

penciptaan kapasitas fiskal untuk membiayai besarnya kebutuhan pelayanan kesehatan baik mencakup kuratif, preventif, promotif maupun rehabilitatif; perbaikan mutu layanan yang komprehensif dan melibatkan semua pihak serta memperhatikan

keadaan daerah-daerah tertinggal/ kekurangan dalam hal fasilitas dan tenaga kesehatan; di sisi lain gotong royong perlu diperkuat dan harus dapat ditransformasikan ke dalam semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk untuk meningkatkan produktivitas nasional.

Daftar Pustaka

Gani A, et al. (2008). Laporan Kajian

Sistem Pembiayaan Kesehatan di Beberapa Kabupaten dan Kota,

Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan dan Analisis Kebijakan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Kementerian Kesehatan. (2015).

Pembiayaan Kesehatan dan Cakupan Semesta: Kumpulan Nota Kebijakan.

Kementerian Keuangan. (2016). Nota

Keuangan APBN Tahun Anggaran 2016. Indonesia

Nappoe, Stevie A. (2014). Nasib Mutu

Layanan di Era JKN diakses dari http://

www.mutupelayanankesehatan. net/index.php/component/content/ article/22-editorial/1587-nasib-mutu-layanan-di-era-jkn (3 Agustus 2016) Republik Indonesia. (2004). UU No 40

Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

________________. (2011). UU

No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial

________________. (2016).Peraturan

Presiden No 60 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016

Supriyantoro. (2014). Formulasi

Kebijakan Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah Ke Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Menuju Universal Health

Coverage. Yogyakarta Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan. (2015).

JKN: Perjalanan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jakarta

7) Supriyantoro. (2014). Formulasi Kebijakan Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah Ke Sistem Jaminan Kesehatan Nasional Menuju Universal Health Coverage. Yogyakarta

(12)

Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635/5715528, Fax. 021-5715528

Gambar

Gambar 1. Keunggulan Riset Nasional (Berdasar Total 8 Parameter)
Gambar 1. Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional

Referensi

Dokumen terkait

Skenario pada sistem ini adalah user (mahasiswa) melakukan pelaporan kerusakan dengan mengisikan form yang telah disediakan, kemudian data tersebut akan

Berdasarkan hasil analisis tanah, karakteristik morfologi dan fisika profil tanah serta karakteristik kimia tanah di lokasi penelitian (Profil Gle Gapui), maka dapat

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (quasi eksperimen) yang terdiri dari dua kelompok siswa, dimana kedua kelompok tersebut dipilih secara

Dalam Undang-Undang Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf

Bedasarkan data dari penelitian, diduga bahwa pola makan tinggi lemak dapat menjadi faktor risiko dari seseorang yang mempunyai kadar kolesterol yang tinggi, karena menurut

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dengan cara mengukur kadar asam askorbat dari sampel tablet vitamin C setelah disimpan pada

(2) Secara bersama-sama (simultan) variabel tradisi adat, kebiasaan kemasyarakatan, pergaulan di lingkungan sekolah dan di lingkungan rumah memiliki pengaruh signifikan