• Tidak ada hasil yang ditemukan

: MlPA/Matematika SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI. umk, Pengeluaran Daerah, Dan sektor Pariwisata Tahun z0lz-2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": MlPA/Matematika SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI. umk, Pengeluaran Daerah, Dan sektor Pariwisata Tahun z0lz-2017"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS UDAYANA

UPT PERPUSTAKAAN

Alamat : Kampus Unud Bukit Jimbaran Badung, Bali - 80364 Telepon (0361) 702772, Fax (0361) 70t907

E-mai I : perpustakaanudaJ-ana@yahpo. co. id Laman : wwu{. e- I ib. unud. ac. id

SURAT

PERNYATAAN PUBLIKASI

NO : 000l/UN. 14.I.2. 1/Perpus/00.0 9 12018 Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama NIP.

Fakultas/Pro gram Studi

: I Putu Winada Gautama, S.Si., M.Sc : 199105282018012001

:

MlPA/Matematika

Menyatakan bersedia menyerahkan hak publikasi kepada

UPT

Perpustakaan Universitas Udayana. Judul Laporan Penelitian yang akan dipublikasikan adalah:

Potret KabupatenlKota

Di

Provinsi Bali Berdasarkan Indeks Gini, Populasi Penduduk,

umk, Pengeluaran Daerah, Dan sektor Pariwisata Tahun z0lz-2017

Demikian surat pemyataanini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bukit Jimbaran,

3l

Juli 2018

2001 Yang memberi pernyataan,

Winada Gautama, S.Si., M.Sc)

ri,-'r = ,i5 ,l

(2)

-:P-KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TTNGGI

UNIVERSITAS UDAYANA

UPT PERPUSTAKAAN

Alamat : Kampus Unud Bukit Jimbaran Badung, Bali - g0364 Telepon (0361) 702772, Fax (0361) 70t907

E-mail : pemustakaanuda)rana@yahoo. co. id Laman : gnvw. e-

I ib.unud. ac. id

SURAT

KETERANGAN

NO :0001/UN. 14.I.2. l/perpus/00.0 9 t20tg

Yang bertanda tangan dibawah ini Kepala UPT Perpustakaan Universitas Udayana menerangkan bahwa:

: I Putu Winada Gautama, S.Si., M.Sc : 19910528201 8012001

Fakultas/Program

Studi

:

MlpA/Matematika

Memang benar telah menyerahkan

I

eksemplar Laporan Penelitian dan

I

keping CD di UpT Perpustakaan Universitas Udayana, dengan j udul :

Potret KabupatenlKota Di Provinsi Bali Berdasarkan Indeks Gini, populasi penduduk,

umk, Pengeluaran Daerah, Dan Sektor pariwisata Tahun 2012-2017

Demikian surat pemyataanini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bukit Jimbaran,

3l

Juli 2018 Mengetahui,

Ka. Perpustakaan Universitas Udayana a.n.

dan Pengolahan Koleksi Nama

NIP.

(3)

POTRET KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI BERDASARKAN

INDEKS GINI, POPULASI PENDUDUK, UMK, PENGELUARAN

DAERAH, DAN SEKTOR PARIWISATA TAHUN 2012-2017

I Putu Winada Gautama, S.Si., M.Sc

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “POTRET KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI BERDASARKAN INDEKS GINI, POPULASI PENDUDUK, UMK, PENGELUARAN DAERAH, DAN SEKTOR PARIWISATA TAHUN 2012-2017”.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki laporan penelitian ini.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Denpasar, 30 Juli 2018

(5)

iii

DAFTAR ISI

JUDUL ... I DAFTAR ISI ... III DAFTAR GAMBAR ... V DAFTAR TABEL ... VI RINGKASAN ... VII BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Batasan Masalah ... 3 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 5

2.2 Distribusi Pendapatan ... 6

2.3 Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Indeks Gini ... 7

2.4 Populasi Penduduk ... 8

2.5 Upah Minimum Regional ... 9

2.6 Sektor Pariwisata ... 12

2.7 Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 13

2.7.1 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Waktu dan Tempat Kegiatan ... 16

(6)

iv

3.4 Metode Analisis ... 17

BAB IV HASIL ... ..19

4.1 Indeks Gini ... 19

4.2 Penduduk ... 20

4.3 Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah...21

4.4 Sektor Pendukung Pariwisata...23

4.5 Upah Minimum Kota...24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...26

5.2 Saran...27

(7)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian ... 17

Gambar 4.1 Koefisien Gini Berdasarkan Kab/Kota di Bali Tahun 2012-2017...20

Gambar 4.2 Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kab/Kota di Bali...21

Gambar 4.3 Persentase Belanja Daerah Berdasarkan Kabupaten / Kota di Bali...22

Gambar 4.4 Persentase Jumlah Biro Penjalanan dan Restauran Berdasarkan Kabupaten / Kota di Bali...23

(8)

vi

DAFTAR TABEL

(9)

vii

RINGKASAN

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat hakekatnya adalah tujuan dari pembangunan ekonomi. Namun tidaklah mudah untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi distribusi pendapatan yang merata. Tersebar 8 kabupaten dan 1 kota madya di Bali yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini. Salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi adalah tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, baik faktor ekonomi maupun nonekonomi. Adapun tujuan dari penelitian ini mengetahui potret kabupaten/kota Provinsi Bali berdasarkan indeks gini, pengeluaran pemerintah daerah (pengeluaran rata-rata perkapita), upah minimal regional, populasi penduduk, dan kontribusi sektor pariwisata (agen perjalanan wisata, restoran, dan rumah makan). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis data panel yaitu gabungan dari data time series dari tahun 2012-2017 dengan data cross section dari 8 kabupaten dan 1 kota di Bali. Sumber data utama yang akan digunakan dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistika Provinsi Bali. Data diolah dengan Software SPSS. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai gambaran kabupaten/kota di Provinsi Bali berdasarkan indeks gini, pengeluaran pemerintah daerah (pengeluaran rata-rata perkapita), upah minimal regional, populasi penduduk, dan kontribusi sektor pariwisata (agen perjalanan wisata, restoran, dan rumah makan).

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan seluruh rakyat dapat melalui peningkatan pembangunan ekonomi. Pembangunan terarah dan terukur dilakukan agar tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan dan memaksimalkan potensi serta sumber daya yang ada. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi merupakan suatu upaya yang terencana dengan baik dari suatu bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Menurut Sukirno dalam Bantika (2015;2), peningkatan kesejahtaraan ini antara lain dapat diukur dari kenaikan tingkat pendapatan nasional atau laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi setiap tahunnya.

Menurut Tambunan dalam Bantika (2015;3) kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dengan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan salah satu persoalan yang harus diselesaikan dengan solusi yang tepat. Satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh adalah koefisien gini (Gini Ratio). Koefisien Gini dinyatakan dalam bentuk rasio yang nilainya antara 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan pemerataan yang sempurna di mana semua nilai sama sedangkan nilai 1 menunjukkan ketimpangan yang paling tinggi yaitu satu orang menguasai semuanya sedangkan yang lainnya nihil. Menurunkan gini ratio bukanlah hal mudah, namun dengan aturan dan kebijakan yang terarah diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian daerah sehingga mampu mengatasi masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Tingkat dan laju pertumbuhan ekonomi provinsi Bali didukung oleh sektor-sektor usaha yang berkembang di daerah. Tingkat dan laju pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terlepas dari perkembangan kinerja dan struktur perekonomian di Bali. Sektor pariwisata mempunyai peranan cukup besar dalam perekonomian Bali dari tahun ke tahun. Bali menjadi salah satu tujuan wisata Indonesia yang sudah terkenal di Dunia. Selain keindahan alamnya, terutama pantainya, Bali juga menyajikan adat budaya warisan leluhur yang saat ini masih lestari. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa sektor pariwisata

(11)

2

merupakan sektor yang sangat potensial dan berpengaruh bagi perekonomian untuk meningkatkan distribusi pendapatan di Bali Pada tahun 2003, sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada industri pariwisata (wikipedia, Bali). Struktur perekonomian Bali yang bergeser dari tumpuannya di sektor Primer menjadi sector Tersier yaitu sektor Pariwisata . Propinsi Bali, dikenal sebagai kantong devisa bagi perekonomian Indonesia karena kegiatan pariwisatanya. Sejauh ini sektor pariwisata, serta sektor pendukung pariwisata lainnya masih menjadi ujung tombak perekonomian Bali. Pada tahun 2016, jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi sebesar 728.757 orang (30,16%) (Bali dalam angka, 2017 : 97). Hal ini berarti banyak usaha yang dapat digerakkan oleh sektor pariwisata seperti kegiatan biro perjalanan, transportasi, perhotelan, restoran/rumah makan, kesenian dan budaya daerah, industri kerajinan rakyat, pramuwisata (guide), tempat hiburan dan rekreasi, pameran dan olahraga internasional yang diselenggarakan di daerah-daerah, serta kegiatan informal seperti pedagang acung dan kegiatan-kegiatan lainnya. Hal tersebut menandakan bahwa sektor pariwisata perlu mendapat perhatian sebagai sektor utama dalam mendukung perekonomian makro Bali dan perekonomian Indonesia pada umumnya.

seriusnya persoalan rendahnya kesempatan kerja dan pengangguran terbuka.

Laju pertumbuhan penduduk pertahun (2015-2016) mencapai 1,14% (Provinsi Bali dalam angka,2017). Tentunya ini bukan menjadi suatu hal yang baik, mengingat pertambahan jumlah penduduk menjadikan kompetisi memperoleh pekerjaan semakin ketat. Penawaran tenaga kerja yang lebih besar dari permintaan akan tenaga kerja menjadikan pekerja kelas bawah mau dibayar dibawah standar. Hal ini lah berdampak pada semakin tingginya angka ketimpangan. Salah satu faktor penyebab ketimpangan distribusi pendapatan di Sub-Saharan Afrika adalah peningkatan populasi penduduk (Fulgsang, 2013).

Berbagai penelitian telah dilakukan oleh ilmuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi pendapatan suatu daerah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Estudilo Jonna P dalam Musfidar (2012) yang melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di Filipina, dimana dari hasil penelitian menemukan ada pengaruh antara populasi/ penduduk dengan distribusi pendapatan dan selain itu pendapatan dari upah yang memiliki kontribusi dalam mempengaruhi distribusi pendapatan.

Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan dari pemerintah daerah. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak

(12)

3

produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah. Pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah, tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Bali.

1.2 Perumusan Masalah

Tingkat pendapatan yang diterima oleh masyarakat khususnya di Bali dapat dilihat atau diacu dari distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan yang timpang yang tidak merata akan sulit menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya di Provinsi Bali. Kesejahteraan hanya tercipta bagi golongan-golongan tertentu jika terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Memperhatikan latar belakang masalah di atas sebelumnya maka permasalah utama yang ingin dikaji dalam usulan penelitian ini adalah

1. Bagaimana kondisi ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Bali selama tahun 2012-2017?

2. Bagaimana kondisi jumlah penduduk, upah minimum kota, pengeluaran daerah, dan sektor pariwisata antar kabupaten/kota di Provinsi Bali selama tahun 2012-2017.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, untuk memperjelas masalah yang diteliti maka diperlukan batasan-batasan dalam usulan penelitian ini. Penelitian ini difokuskan melihat kondisi Ketimpangan distribusi pendapatan berdasarkan indeks gini, Upah Minimum Kota (UMK), Pengeluaran Daerah (rata-rata pengeluaran perkapita), Populasi Penduduk yang menunjukkan jumlah penduduk yang menempati suatu wilayah, Kontribusi Sektor Pariwisata (banyaknya biro perjalanan wisata, restoran, dan rumah makan) pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Bali selama tahun 2012-2017.

(13)

4

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk menjawab hal-hal berikut :

1. Untuk mengetahui kondisi ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Bali yang dilihat dari Indeks Gini selama tahun 2012-2017.

2. Untuk mengetahui kondisi jumlah penduduk, upah minimum kota, pengeluaran daerah, dan sektor pariwisata antar kabupaten/kota di Provinsi Bali selama tahun 2012-2017.

1.5 Manfaat Penelitian

Secara umum manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai potret kabupaten / kota di Provinsi Bali berdasarkan Indeks Gini, Populasi, Upah Minimum Kota, Pengeluaran Pemerintah Daerah, dan Sektor Penunjang Pariwisata tahun 2012-2017.

(14)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Schumpeter (dalam Musfidar 2012) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Menurut Sukirno (dalam Bantika 2015) Pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan ekonomi karena dalam pembangunan ekonomi tingkat pendapatan perkapitanya terus-menerus meningkat sedangkan pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti oleh kenaikan pendapatan perkapita. Masalah kesenjangan dalam pengelolaan perekonomian sangat berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan perekonomian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan aktivitas perekonomian daerah. Aktivitas produksi barang dan jasa, konsumsi, dan investasi yang semakin berkembang dapat berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan kemakmuran masyarakat. Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan mengacu pada pertumbungan perekonomian daerah yang tinggi.

Menurut Boediono (dalam Rahmat 2014) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, sehingga persentase pertambahan output tersebut harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi regional. Sasaran analisis pertumbuhan ekonomi regional ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat tumbuh cepat dan ada ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis pertumbuhan ekonomi regional ini juga dapat menjelaskan mengapa terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah/daerah.

Pertumbuhan ekonomi yang berlaku belum tentu menghasilkan pembangunan ekonomi dan peningkatan dalam kesejahteraan (pendapatan) masyarakat, hal ini disebabkan karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku

(15)

6

pula pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat (pendapatan perkapita) akan mengalami penurunan. Menurut Sukirno (dalam Bantika 2015), apabila dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajauan.

2.2 Distribusi Pendapatan

Teori ketimpangan distribusi pendapatan dapat dikatakan dimulai dari munculnya suatu hipotesa yang terkenal yaitu Hipotesis U terbalik (inverted U curve) oleh Simon Kuznets tahun 1955 (dalam Musfidar 2015). Beliau berpendapat bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata. Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau sangat erat hubungannya dengan kemiskinan.

Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan sebagai suatu ukuran dibedakan menjadi dua ukuran pokok, baik untuk tujuan analisis maupun untuk tujuan kuantitatif (dikutip dalam Musfidar 2015) yaitu:

1. Pendapatan ”personal” atau distribusi pendapatan berdasarkan ukuran atau besarnya pendapatan. Distribusi pendapatan pribadi atau distribusi pendapatan berdasarkan besarnya pendapatan paling banyak digunakan ahli ekonomi. Distribusi ini hanya menyangkut orang per orang atau rumah tangga dan total pendapatan yang mereka terima, dari mana pendapatan yang mereka peroleh tidak dipersoalkan. Tidak dipersoalkan pula berapa banyak yang diperoleh masing-masing individu, apakah merupakan hasil dari pekerjaan mereka atau berasal dari sumber-sumber lain. Selain itu juga diabaikan sumber-sumber pendapatan yang menyangkut lokasi (apakah di wilayah desa atau kota) dan jenis pekerjaan.

2. Distribusi pendapatan “fungsional” atau distribusi pendapatan menurut bagian faktor distribusi. Sistem distribusi ini mempertimbangkan individu-individu sebagai totalitas yang terpisah-pisah. Menurut Ahluwalia (1997) dalam Musfidar (2015) mengenai keadan distribusi pendapatan di beberapa negara dapat digambarkan dalam 2 (dua) hal yaitu:

(16)

7

a). Adalah perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan penerima pendapatan dan golongan ini didasarkan pada besar pendapatan yang mereka terima. Ahluwalia (1997) menggolongkan penduduk penerima pendapatan:

1) 40 persen penduduk menerima pendapatan paling rendah. 2) 40 persen penduduk menerima pendapatan menengah. 3) 20 persen penduduk menerima pendapatan paling tinggi.

b). Distribusi pendapatan mutlak adalah persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai suatu tingkat pendapatan tertentu atau kurang dari padanya. Ukuran umum yang dipakai biasanya adalah kriteria Bank Dunia yaitu ketidakmerataan tertinggi bila 40 persen penduduk dengan distribusi pendapatan terendah menerima kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan sedang apabila 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima 12-17 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan rendah bila 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih dari 17 persen dari seluruh pendapatan nasional.

2.3 Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Indeks Gini

Simon Kuznets mengatakan bahwa pada awal tahap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan cenderung membaik. Observasi tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Kuznet “U-Terbalik”. Beberapa ekonom berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan yang dikemukakan oleh Kuznets tidak dapat dihindari, namun semua tergantung pada proses pembangunan yang dijalankan di masing-masing negara.

Indeks Gini merupakan suatu ukuran kemerataan yang dihitung dengan membandingkan luas antara diagonal dan kurva lorenz dibagi dengan luas segitiga di bawah diagonal. Rasio Gini bernilai antara 0 dan 1. Nilai 1 menunjukkan complete inequality atau perfectly inequal, di mana seluruh penduduk menempati satu lokasi di suatu negara dan tidak ada penduduk di lokasi lainnya. Nilai 0 menunjukkan perfectly equal, yaitu penduduk terdistribusikan sempurna di seluruh wilayah suatu negara. Jadi, semakin besar nilai rasio konsentrasi Gini, semakin besar ketidakmerataan antara distribusi penduduk dan jumlah lokasi (sumber:http://sirusa.bps.go.id). Rumus Indeks Gini atau koefisien Gini diformulasikan dalam rumus berikut:

(17)

8

1

1 1 i i n pi c c i GR f x F F   

 dengan: GR : Koefisien Gini pi

f : Frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i

i

c

F :Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i

1

i

c

F : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i-1

Indeks Gini memiliki beberapa kelebihan untuk dijadikan acuan mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, kelebihan tersebut antara lain:

a. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. b. Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus).

c. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan.

d. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan.

1. G < 0,3 → ketimpangan rendah 2. 0,3 ≤ G ≤ 0,5 → ketimpangan sedang 3. G > 0,5 → ketimpangan tinggi

2.4 Populasi Penduduk

Penduduk berfungsi ganda dalam perekonomian. Dalam literatur-literatur kuno, pada umumnya penduduk dipandang sebagai penghambat pembangunan. keberadaannya, yang dalam jumlah besar dan dengan pertumbuhan yang tinggi, dinilai hanya menambah beban pembangunan. Artinya, jumlah penduduk yang besar memperkecil pendapatan perkapita dan menimbulkan masalah ketenagakerjaan, sedangkan dalam literatur-literatur moderen, penduduk justru dipandang sebagai pemacu pembangunan. berlangsungnya kegiatan produksi adalah berkat adanya orang yang membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan. Dumairy 1996 (dalam Emilda 2017) menyatakan peningkatan konsumsi agregat memungkinkan usaha-usaha produktif berkembang, begitu pula perekonomian secara kesaluruhan. Menurut pandangan ahli-ahli

(18)

9

ekonomi klasik, pertumbuhan penduduk pada suatu saat akan mengakibatkan keadaan yang disebut dengan stationary state, yaitu suatu saat dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Setelah itu perekonomian akan terus menurun sampai dengan tingkat yang lebih rendah dimana upah buruh sangat minimal, hanya cukup untuk hidup (subsistence level). Pertumbuhan penduduk dan kemerosotan pertumbuhan modal sebagai akibat bekerjanya The Law of Diminishing Return sebagai penghalang pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, teori Neo Klasik mengganggap penduduk memberikan sumbangan yang sangat positif terhadap pembangunan, terutama karena:

1. Perkembangannya akan memperluas pasar.

2. Perbaikan dalam kemahiran dan mutunya dapat menciptakan berbagai akibat yang positif kepada pembangunan.

3. Penduduk menyediakan pengusaha yang inovatif yang akan menjadi unsur penting dalam menciptakan pembantukan modal.

Konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns) dirumuskan oleh para ahli ekonomi klasik. Suatu kecenderungan universal bahwasannya jumlah populasi di suatu negara akan meningkat sangat capat pada deret ukur atau tingkat geometrik (pelipatan ganda), kecuali jika hal tersebut terjadi oleh bencana kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik. Oleh karena pertumbuhan pengadaan pangan tidak dapat terpacu secara memadai atau mengimbangi kecapatan pertambahan penduduk, maka pendapatan perkapita cendrung terus mengalami penurunan sampai sedemikian rendahnya sehingga segenap populasi harus bertahan pada kondisi sedikit diatas tingkat subsisten (semua penghasilan hanya cukup dikonsumsi sendiri).

2.5 Upah Minimum Regional

Sadono Sukirno 2005 dikuti dalam Musfidar 2012 menyatakan bahwa dalam teori ekonomi, upah dapat diartikan sebagai pembayaran atas jasa- jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha . Menurut Sonny Sumarsono (2003), perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan. Apabila digunakan asumsi bahwa tingkat upah naik, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut.

(19)

10

1. Pertama naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit barang yang diproduksi. Konsumen akan memberikan respon apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan tidak lagi mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan terpaksa produsen menurunkan jumlah produksinya. Turunnya target produksi, mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena pengaruh turunnya skala produksi disebut dengan efek skala produksi atau scale effect.

2. Kedua apabila upah naik (asumsi harga dari barang-barang modal lainnya tidak berubah), maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya dan menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin dan lainnya. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena adanya penggantian atau penambahan penggunaan mesin-mesin disebut dengan efek substitusi tenaga kerja (substitution effect).

Kontroversi tentang upah minimum bukanlah isu baru. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat dari perselisihan antara kelompok serikat pekerja yang menghendaki kenaikan upah minimum yang signifikan, sementara kelompok pengusaha melihat bahwa tuntutan ini bertentangan dan tidak kompatibel dengan upaya pemerintah mendorong pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Perdebatan yang muncul antara lain ; menyangkut sejauh mana upah riil mengikuti pertumbuhan produktivitas, kebutuhan terhadap penentuan upah minimum. Yang pertama berkait dengan upaya mempertahankan daya saing industri padat karya Indonesia, sementara yang kedua berkait dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh termasuk di dalamnya dimensi pemerataan yang sering harus mengalami trade-off dengan tujuan pertumbuhan ekonomi (daya saing). Bagi para ekonom, masalah ini pun sering mengundang perdebatan baik dalam aplikasinya di negara maju maupun berkembang. Satu kelompok ekonom melihat, upah minimum akan menghambat penciptaan lapangan kerja dan menambah persoalan pemulihan ekonomi. Sementara sekelompok lain dengan bukti empirik menunjukkan, penerapan upah minimum tidak selalu identik dengan pengurangan kesempatan kerja, bahkan akan mampu mendorong proses pemulihan ekonomi.

(20)

11

Teori ekonomi klasik (antara lain Stopler-Samuelson) menunjukkan, koreksi harga relatif input (upah relatif terhadap biaya kapital) melalui liberalisasi ekonomi, akan mengarahkan alokasi faktor produksi dengan menggunakan input yang berlebih, dalam hal ini tenaga kerja. Teori ekonomi ini juga menunjukkan, untuk negara yang tenaga kerjanya berlimpah seperti Indonesia, liberalisasi ekonomi cenderung meningkatkan pangsa nilai produksi marjinal tenaga kerja relatif terhadap total output, sementara pangsa balas jasa faktor modal (keuntungan) cenderung akan menurun. Kenaikan pangsa nilai produksi marjinal tenaga ini akan meningkatkan tingkat upah riil. Dengan demikian, sebetulnya tidak akan terjadi keraguan bahwa dalam pasar yang makin bebas, kenaikan marginal product

of labor (produktivitas tenaga kerja) akan selalu diikuti kenaikan upah riil. Dengan

demikian, penetapan upah minimum tidak berarti banyak, bahkan hanya menciptakan distorsi baru dalam perekonomian. Munculnya ketentuan upah minimum akan mendorong terjadinya distorsi dalam pasar tenaga kerja. Artinya dengan ketentuan upah minimum, maka buruh mempunyai kekuatan monopoli yang cenderung melindungi buruh yang telah bekerja dalam industri itu. Kekuatan serikat buruh yang cenderung memaksimumkan pendapatan dari buruh yang ada akan mendiskriminasi pendatang baru dalam pasar tenaga kerja.

Pandangan serupa valid dalam kondisi di mana perusahaan tidak mempunyai kekuatan monopsoni untuk menekan buruh. Jika ada monopsoni dalam pasar tenaga kerja, maka pengaruh ketentuan upah minimum dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja. Teori lain yang berseberangan dengan teori neoklasik adalah efficiency

wage theory. Dalam pandangan teori ini, penetapan upah minimum memungkinkan tenaga

kerja meningkatkan nutrisinya sehingga dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan upah juga memungkinkan buruh untuk menyekolahkan anaknya dan memberi nutrisi yang lebih baik bagi anak-anaknya. Keduanya dalam jangka panjang akan memberi dampak yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Tetapi, bagaimana mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja dalam jangka pendek (masa transisi), karena dampak peningkatan nutrisi terhadap produktivitas membutuhkan waktu. Pandangan teori ekonomi neoklasik sejalan dengan temuan empirik baru yang dihasilkan SMERU Research Institute dan Direktorat Ketenagakerjaan Bappenas. Ditemukan hanya 40 persen unit usaha di Indonesia yang membayar upah sesuai ketentuan upah minimum; kenaikan upah minimum mempunyai hubungan negatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan. Setiap 10 persen kenaikan upah minimum mempunyai asosiasi

(21)

12

dengan pengurangan kesempatan kerja 1,1 persen; kenaikan upah minimum lebih dinikmati buruh terdidik (white collar workers) dibanding buruh tidak terdidik (blue collar workers) karena perusahaan cenderung melakukan substitusi antartenaga kerja dan antara tenaga kerja dan mesin.

2.6 Sektor Pariwisata

Pariwisata pada dasarnya adalah melakukan perjalanan untuk tujuan dan maksud tertentu dalam memenuhi kebutuhan, baik psikologis maupun fisik. Di dalam buku Nyoman S. Pendit (1999), pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerja sehari harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut, ini mencakup kepergian untuk berbagai maksud, termasuk kunjungan seharian atau darmawisata/ ekskursi. Aktivitas dilakukan selama mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Keseluruhan kegiatan usaha yang dilakukan sehingga dapat dinikmati wisatawan mulai awal ketertarikan untuk berwisata, menikmati lokasi DTW sampai pada proses akhir wisatawan tersebut pulang merupakan industri pariwisata. Industri pariwisata mempunyai sifat yang khas, tidak hanya melibatkan banyak industri, seperti transportasi, akomodasi, jasa boga, atraksi, retail, juga bersifat menyerap banyak tenaga kerja. Spillane (1994) mengkategorikan lima bidang dalam industri pariwisata antara lain : hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, pusat wisata dan souvenir, serta bidang pendidikan kepariwisataan. Sedangkan Damardjati dalam Rendy (2014) menggolongkan usaha-usaha pariwisata dalam 4 golongan besar yaitu: (1) Transportasi (2) Akomodasi dan perusahaan pangan (3) Perusahaan Jasa Khusus (4) Penyediaan barang. Baik dalam perencanaan nasional maupun perencanaan pembangunan daerah, terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan, diantaranya pendekatan sektoral dan pendekatan regional/wilayah. Pendekatan sektoral adalah dimana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokan atas sektor-sektor, selanjutnya setiap sektor di analisis satu per satu. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat kaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya dikenal dengan nama analisis masukan-keluaran ( input-output analysis). Sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lain dan bagaimana ruang itu berinteraksi untuk diarahkan kepada tercapainya kehidupan yang efisien dan nyaman. Perencanaan ruang wilayah adalah perencanaan

(22)

13

penggunaan atau pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan pergerakan pada ruang tersebut.

2.7 Pengeluaran Pemerintah Daerah

Anaman (2004), dikutip dari Rustiono (2008) menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi.

2.7.1 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah Daerah 2.7.1.1 Pengeluaran Rutin

Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran untuk pemeliharaan atau penyelenggaraan roda pemerintahan sehari-hari, meliputi: belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga), angsuran dan bunga utang pemerintah serta jumlah pengeluaran lain. Anggaran belanja rutin memegang peranan penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi pengeluaran rutin perlu dilakukan untuk menambah besarnya tabungan pemerintah yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan melalui penajaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen/lembaga negara non departemen dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.

2.7.1.2 Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik dan nonfisik. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu dapat disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang direncanakan. Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat digolongkan sebagai berikut:

(23)

14

1. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa 2. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai.

3. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payments.

Transfer payment adalah pos yang mencatat pembayaran atau pemberian pemerintah langsung kepada warganya yang meliputi pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pension, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Menurut Boediono dalam Rahmat (2014), secara ekonomis, transfer payment mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan gaji pegawai, meskipun administrasi keduanya berbeda. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar dan semakin banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan.

2.7.2 Teori Pengeluaran Pemerintah 2.7.2.1 Teori Makro

a. Model Pembangunan Tentang Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave dalam Ernawati (2015) yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan, menurut mereka rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relatif besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah harus menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas.

b. Hukum Wagner

Pengamatan empiris oleh Wagner dalam Ernawati (2015) terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke-19 menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung semakin meningkat. Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity). c. Teori Peacock dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Pandangan mereka mengenai pengeluaran pemerintah adalah bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk

(24)

15

memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut.

Menurut Peacock dan Wiseman dalam Ernawati (2015), perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak meningkat yang meskipun tarif pajaknya mungkin tidak berubah pada gilirannya mengakibatkan pengeluran pemerintah meningkat pula. Jadi dalam keadaan normal, kenaikan pendapatan nasional menaikkan pula baik penerimaan maupun pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal jadi terganggu, katakanlah karena perang atau ekstenalitas lainnya maka pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan dimaksud. Konsekuensinya timbul tuntutan untuk memperoleh penerimaan pajak lebih besar. Pungutan pajak yang lebih besar menyebabkan dana swasta untuk investasi dan modal kerja menjadi berkurang.

2.7.2.2 Teori Mikro

Tujuan dari teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan permintaan akan barang publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran untuk barang publik menentukan jumlah barang publik yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan disediakan tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh, misalnya pemerintah menetapkan akan membuat sebuah pelabuhan udara baru. Pelaksanaan pembuatan pelabuhan udara baru tersebut menimbulkan permintaan akan barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat pengangkutan dan sebagainya.

(25)

16

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Pertambahan jumlah penduduk menjadikan kompetisi dalam memperoleh lapangan kerja menjadi lebih ketat. Penawaran tenaga kerja yang lebih besar dari permintaan akan tenaga kerja menjadikan pekerja kelas bawah mau dibayar dibawah standar. Hal ini lah berdampak pada semakin tingginya angka ketimpangan.

Sektor pariwisata memberikan peranan yang sangat dominan untuk perkembangan ekonomi di Denpasar. Kenaikan proporsi masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata akan meningkatkan distribusi pendapatan, karena adanya kesenjangan tingkat upah yang cukup tinggi antar pekerja yang bekerja di sektor pariwisata, dimana sebagian kecil pekerja bekerja sebagai manajer, teknisi, dan atau yang memiliki keahlian tinggi.

Ketimpangan disebabkan secara alami karena proses pembangunan, dan ketidakseimbangan kebijakan, seperti investasi pemerintah yakni dalam bentuk pengeluaran pemerintah daerah. Anaman (kutipan dalam Noegroho. Y.S dan Soelistianingsih (2007) menyatakan bahwa semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah, tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut, juga akan diteliti pengaruh upah minimum regional (UMR) terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien gini (Gini Ratio) adalah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Berdasarkan uraian kerangka berpikir sebelumnya maka disusunlah model penelitian ini sebagai berikut :

3.2 Waktu dan Tempat Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan kira-kira 8 bulan kalender dimulai sejak persiapan hingga penyusunan laporan akhir penelitian. Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan Mei 2018 hingga Desember 2018. Wilayah kajian untuk penelitian ini adalah Provinsi Bali.

(26)

17

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis data panel yaitu gabungan dari data time series dari tahun 2012-2017 dengan data cross

section dari 8 kabupaten dan 1 kota di Bali. Sumber data utama yang akan digunakan

dalam penelitian ini dari Badan Pusat Statistika Provinsi Bali. Data yang dibutuhkan antara lain:

1. Indeks Gini 8 kabupaten dan kota Denpasar periode 2012-2017

2. Pengeluaran Pemerintah Daerah (rata-rata pengeluaran per kapita) kabupaten/kota Denpasar periode 2012-2017

3. Upah minimum regional kabupaten dan kota Denpasar periode 2012-2017 4. Populasi penduduk kabupaten dan kota Denpasar periode 2012-2017

5. Kontribusi sektor pariwisata (jumlah travel agen, restoran , dan tempat makan) kabupaten dan kota Denpasar periode 2012-2017

3.4 Metode Analisis

Berikut ini merupakan diagram alur yang menggambarkan proses dalam penyusunan penelitian ini.

FENOMENA RESEARCH GAP LATAR BELAKANG ANALISIS KETIMPANGAN TINGKAT PENDAPATAN RUMUSAN MASALAH PENELITIAN TELAAH PUSTAKA GRAND THEORETICAL MODEL MODEL PENELITIAN EMPIRIK DATA UJI EMPIRIK KESIMPULAN TEMUAN PENELITIAN RINGKASAN TEMUAN PENELITIAN LAPORAN

(27)

18

Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya fenomena-fenomena di masyarakat yang memiliki dampak besar bagi kesejahteraan dan kerukunan masyarakat khususnya di Bali serta penelitian-penelitian sebelumnya mengenai tingkat ketimpangan dengan sudut pandang variabel prediktor yang berbeda. Rumusan masalah kemudian disusun berdasarkan latar belakang tersebut. Berbagai pustaka sebagai sumber informasi dikaji dan ditelaah untuk menghasilkan hipotesa untuk penelitian ini. Bermula dari kenyatan objektif yang diamati secara empirik, kemudian ditelaah melalui analisis untuk disusun sebagai laporan ilmiah.

Tahapan selanjutnya adalah mengumpulkan data yang bersumber dari Badan Pusat Statistika Bali. Data yang terkumpul, selanjutnya diperiksa integritasnya (data

integrity) dan dilakukan analisis. Analisis data pada penelitian ini menggunakan bantuan software SPSS.

(28)

19

BAB IV Hasil Penelitian

Pada Bab ini akan dibahas hasil dari penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Bali pada periode 2012-2017. Deskripsi data dan analisis data panel akan disajikan lebih lanjut pada bab ini.

4.1 Indeks Gini

Ukuran ketimpangan distribusi bisa dilihat dari koefisien gini. Koefisien gini adalah indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Ukuran ini pertama kali dikembangkan oleh statistikawan dan ahli sosiologi Italia bernama Corrado Gini pada tahun 1912. Koefisien gini memiliki rentang nilai antara 0 dan 1. Pemerataan pendapatan yang sempurna ditunjukkan dengan nilai nol. Semakin kecil nilai koefisien gini maka semakin merata distribusi pendapatannya. Sebaliknya, semakin koefisien gini atau mendekati satu maka semakin tidak merata distribusi pendapatannya. Kriteria ketimpangan pendapatan berdasarkan koefisien gini, yaitu :

a. 0,71-1,00 menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi; b. 0,50-0,70 menunjukkan ketimpangan tinggi/tajam; c. 0,36-0,39 menunjukkan ketimpangan sedang; d. 0,20-0,35 menunjukkan ketimpangan rendah.

Tabel 4.1 Koefisien Gini Berdasarkan Kabupaten/Kota di Bali

Kabupatan/Kota Koefisien Gini

2012 2013 2014 2015 2016 2017 Kab. Jembrana 0.37 0.37 0.39 0.31 0.36 0.32 Kab. Tabanan 0.35 0.39 0.40 0.36 0.34 0.31 Kab. Badung 0.33 0.35 0.34 0.31 0.32 0.32 Kab. Gianyar 0.34 0.33 0.38 0.32 0.30 0.27 Kab. Klungkung 0.35 0.36 0.35 0.37 0.36 0.37 Kab. Bangli 0.31 0.31 0.33 0.38 0.35 0.30 Kab. Karangasem 0.29 0.33 0.34 0.31 0.29 0.32 Kab. Buleleng 0.33 0.38 0.39 0.34 0.34 0.31 Kota Denpasar 0.42 0.36 0.38 0.36 0.33 0.34 Sumber : BPS Bali

(29)

20

Gambar 4.1 Koefisien Gini Berdasarkan Kab/Kota di Bali Tahun 2012-2017

Berdasarkan Gambar 4.1 diatas, pada tahun 2012 dan 2016 Kab. Karangasem menunjukkan ketimpangan pendapatan kriteria rendah dibandingkan kabupaten/kota lainnya dengan nilai koefisien gini 0,29. Kriteria ketimpangan sedang terjadi di Kab. Tabanan dengan koefisien gini terbesar diatara kab/kota lainnya, yaitu pada tahun 2013 sebesar 0,39 dan tahun 2014 sebesar 0,40. Pada tahun 2015 Kab. Bangli menunjukkan ketimpangan sedang dengan koefisien gini sebesar 0,38, kemudian pada tahun 2017 Kab. Klungkung terjadi ketimpangan sedang dengan koefisien gini sebesar 0,37. Kota Denpasar yang notabene jantung Provinsi Bali pada tahun 2012-2017 rata-rata terjadi ketimpangan sedang, kecuali pada tahun 2016 dan 2017 menunjukkan ketimpangan rendah dengan nilai koefisien gini secara berturut-turut sebesar 0,33 dan 0,44.

4.2 Penduduk

Penduduk merupakan jiwanya suatu daerah dan sangat mengambil peranan vital dalam pembangunan suatu daerah. Pemberdayaan penduduk yang optimal tentunya akan berdampak positif bagi pembangunan, namun apabila pemberdayaan tidak diim-bangi dengan kualitas SDM yang memadai pada suatu daerah maka bisa menjadi beban pembangunan. Kepadatan penduduk yang tinggi akan mengakibatkan persaingan di dunia kerja. Salah satu dampaknya adalah munculnya ketimpangan sosial ekonomi di dalam masyarakat dan menimbulkan perbedaan yang signifikan diantara masyarakat karena perbedaan batas kemampuan finansial dan yang lainnya diantara masyarakat yang hidup di suatu daerah

(30)

21

Gambar 4. 2 Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kab/Kota di Bali

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya dari tahun 2012 sampai tahun 2017 terjadi di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Berdasarkan angka proyeksi jumlah penduduk, terjadi peningkatan drastis di tahun 2013. Tercatat pada tahun 2013 jumlah penduduk kabupaten Badung 589 ribu jiwa dan Kota Denpasar 846,2 ribu jiwa. Jumlah penduduk Kab. Badung naik sebesar 40,21 % dari sebelumnya 420 ribu jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kota Denpasar naik sebesar 58,80% dari sebelumnya 532,8 jiwa. Rata-rata penduduk di kab Badung dan Kota Denpasar mengalami kenaikan setiap tahunnya pada periode 2012-2017. Melihat fenomena yang terjadi di Kota Denpasar , cukup masuk akal apabila masalah kependudukan menjadi sorotan dalam kehidupan sosial ekonomi.

4.3 Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah

Pengeluaran Pemerintah daerah dalam suatu periode anggaran adalah hal yang lazim dilakukan di berbagai daerah, termasuk kab/kota di Provinsi Bali. Mengingat untuk kelangsungan pembangunan di suatu daerah pemerintah daerah harus lebih tepat sasaran dalam menggunakan dana anggaran belanja daerah. Sektor-sektor yang dapat membuat masyarakat menjadi lebih produktif menjadi prioritas dalam pembiayaan pembangunan tanpa harus mengesampingkan sektor-sektor lainnya yang. Sektor lain yang dimaksud adalah sektor

(31)

22

Gambar 4.3 Persentase Belanja Daerah Berdasarkan Kabupaten / Kota di Bali yang mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, penyediaan sumber-sumber produksi, dan lain sebagainya. Pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, dan transportasi juga harusnya menjadi prioritas. Apabila sektor-sektor tersebut dikelola dengan baik, maka akan meningkatkan jumlah investasi di suatu daerah mampu mempercepat pembangunan ekonomi dan mengurangi ketimpangan yang ada dalam kab/kota di Bali.

Gambar 3 menunjukkan bahwa Kab. Badung menduduki peringkat pertama dalam pengeluaran daerah di setiap tahunnya dalam periode 2012-2016. Puncaknya terjadi pada tahun 2014 realisasi anggaran belanja daerah mencapai 25,86%. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Klungkung, Jembrana, dan Bangli dengan realisasi anggaran belanja sekitar 6 % setiap tahun dalam periode 2012-2016. Realisasi anggaran belanja Kota Denpasar di tahun 2016 11,32 % mengalami penurunan sekitar 1 % yang sebelumnya 12,39%.

Pulau Bali, pulau seribu pura terkenal akan destinasi wisata. Pulau bali merupakan salah satu pulau terindah didunia. Hampir disetiap kab/kota terdapat ciri khas yang menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Oleh karena itu, salah satu sumber mata pencarian penduduk Bali terfokus pada sektor pariwisata. Berbagai macam usaha yang dapat dikembangkan pada sektor parawisata seperti membuka rumah makan restoran, agen perjalanan, dan lain-lain. Bahkan tidak sedikit pendapatan masyarakat yang bergerak di sektor wisata lebih dari cukup. Hal ini tentunya berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.

(32)

23

4.4 Sektor Pendukung Pariwisata

Salah satu sektor yang sangat vital di Provinsi Bali adalah sektor Pariwisata. Industri Pariwisata di Bali menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja. Banyak usaha yang dapat digerakkan di sektor pariwisata seperti seperti kegiatan biro perjalanan, transportasi, perhotelan, restoran/rumah makan, kesenian dan budaya daerah, industri kerajinan rakyat, pramuwisata (guide), tempat hiburan dan rekreasi, pameran dan olahraga internasional yang diselenggarakan di daerah-daerah, serta kegiatan informal seperti pedagang acung dan kegiatan-kegiatan lainnya. pariwisata, serta sektor pendukung pariwisata lainnya masih menjadi ujung tombak perekonomian Bali. Pada tahun 2016, jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi sebesar 728.757 orang (30,16%) (Bali Dalam Angka 2017).

Gambar 4.4 Persentase Jumlah Biro Penjalanan dan Restauran Berdasarkan Kabupaten / Kota di Bali

Gambar 4 menunjukan bahwa di kabupaten Badung, Gianyar, dan kota Denpasar menjadi daya tarik wisatawan, dimana penduduknya rata-rata membuka rumah makan dan agen perjalanan. Namun hal tersebut belum tentu pertanda baik, Gambar 4 menunjukkan adanya penurunan kegiatan ekonomi pada tahun 2014-2017, ditandai dengan berkurangnya masyarakat bergerak dalam usaha restoran maupun agen perjalanan yang awal tahun 2014 sebesar 39,66 % menjadi 36,11 % pada tahun 2017. Kab. Bangli pada tahun 2017 dengan persentase 1,17 % menunjukkan sedikitnya aktivitas pariwisata yang ada di daerah Bangli. Kemudian, diikuti oleh kab. Klungkung yaitu dengan persentase sebesar 1,21%. Rata-rata semua kabupaten / kota di Bali aktivitas masyarakat yang

(33)

24

bergerak dalam usaha restoran dan biro penjalan mengalami penurunan dari tahun 2016 ke tahun 2017 kecuali Tabanan, Bangli, dan Denpasar.

4.5 Upah Minimum Kota

Gambar 4.5 Upah Minimum Kota Berdasarkan Kab/Kota di Bali

Upah minimum Kab/kota merupakan upah minimum yang didasari pada Kebutuhan Hidup Layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 mengenai Upah Minimum (Permen Upah Minimum) adalah

1. Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman.

2. UMK adalah Upah Minimum yang berlaku di wilayah kabupaten atau Kota. Gambar 5 menunjukkan upah minimum masing-masing kab/kota berbeda-beda. Rata-rata setiap tahunnya periode 2012-2017 upah minimum masing-masing kabupaten/kota mengalami peningkatan yang signifikan. Upah minimum kabupaten Badung merupakan yang tertinggi setiap tahunnya diantara kabupaten/kota lainnya. Puncaknya UMK kab. Badung pada tahun 2017 sebesar Rp 2.299.311. Selanjutnya, diikuti kota Denpasar dengan UMK Rp 2.173.000. UMK Bangli merupakan UMK terendah pada tahun 2017 yaitu sebesar Rp 1.957.734.

(34)

25

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada Bab sebelumnya bahwa dapat diperoleh kesimpulan bahwa Kabupaten Klungkung berdasarkan indeks gini menunjukan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan sedang. Sebaliknya Kabupaten Gianyar dengan indeks gini 0,27 menunjukkan ketimpangan rendah. Berdasarkan angka proyeksi jumlah penduduk, terjadi peningkatan drastis di tahun 2013. Tercatat pada tahun 2013 jumlah penduduk kabupaten Badung 589 ribu jiwa dan Kota Denpasar 846,2 ribu jiwa. Jumlah penduduk Kab. Badung naik sebesar 40,21 % dari sebelumnya 420 ribu jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kota Denpasar naik sebesar 58,80% dari sebelumnya 532,8 jiwa. Rata-rata penduduk di kab Badung dan Kota Denpasar mengalami kenaikan setiap tahunnya pada periode 2012-2017. Melihat fenomena yang terjadi di Kota Denpasar, cukup masuk akal apabila masalah kependudukan menjadi sorotan dalam kehidupan sosial ekonomi. Kab. Badung menduduki peringkat pertama dalam pengeluaran daerah di setiap tahunnya dalam periode 2012-2016. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Klungkung, Jembrana, dan Bangli dengan realisasi anggaran belanja sekitar 6 % setiap tahun dalam periode 2012-2016. Realisasi anggaran belanja Kota Denpasar di tahun 2016 11,32 % mengalami penurunan sekitar 1 % yang sebelumnya 12,39%.

Penurunan kegiatan ekonomi pada tahun 2014-2017, ditandai dengan berkurangnya masyarakat bergerak dalam usaha restoran maupun agen perjalanan yang awal tahun 2014 sebesar 39,66 % menjadi 36,11 % pada tahun 2017. Rata-rata semua kabupaten / kota di Bali aktivitas masyarakat yang bergerak dalam usaha restoran dan biro penjalan mengalami penurunan dari tahun 2016 ke tahun 2017 kecuali Tabanan, Bangli, dan Denpasar. Rata-rata setiap tahunnya periode 2012-2017 upah minimum masing-masing kabupaten/kota mengalami peningkatan yang signifikan. Puncaknya UMK kab. Badung pada tahun 2017 sebesar Rp 2.299.311. Selanjutnya, diikuti kota Denpasar dengan UMK Rp 2.173.000. UMK Bangli merupakan UMK terendah pada tahun 2017 yaitu sebesar Rp 1.957.734.

(35)

26

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Untuk

selanjutnya bisa dilakukan analisis lebih lanjut bagaimana pengaruh jumlah penduduk, upah minimum kota, pengeluaran daerah, dan kontribusi sektor pariwisata terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Bali tahun 2012-2017

(36)

27

DAFTAR PUSTAKA

Akai, Nobuo dan Masayo Sakata. 2005. Fiscal Decentralization, Commitment, and Regional Inequality: Evidence fram Statel-level Cross-sectional Data for the United States. CIRJE-F-315. Diakses dari

http://www.e.u-tokyo.ac.jp/cirje/research/03research02dp.html pada 7 September 2015.

Bank Dunia. 2012. Mempercepat Laju: Revitalisasi Pertumbuhan di Sektor Manufaktur Indonesia. Indonesia: Jakarta.

Bappeda Kota Semarang. 2012. Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011.

Bantika,Vredich.2015. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sulawesi Utara .Ejournal Unsrat. Vol 6, No 17 (2015)

BPS. . Pendapatan Nasional. Diakses dari http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/11 pada 11 April 2018. BPS. 2017. Bali dalam Angka. Denpasar: BPS.

Fulgsang S, 2013. Determinants of Income Inequality : Sub-Saharan Perspective, Aarhus. Gujarati, D. N. and D.C. Porter. 2004. Basic Econometrics, Fourth Edition. New York:

McGraw-Hill.

Hadi Sasana. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 10, Nomor 1. Universitas Diponegoro.

Joko Tri Handoyo. 2015. Desentralisasi Fiskal Seutuhnya. Diakses dari http://www.kemenkeu.go.id/en/node/46912 pada 25 April 2018.

Kementrian Keuangan. 2010. Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Diakses dari http://www.djpk.kemenkeu.go.id/attachments/article/186/GrandDesignFD 2.pdf pada 11 September 2015.

Lincolin Arsyad. 2010. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.

Lintantia Fajar Apriesa. 2013, Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan (Studi Kasus : Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah). Diponegoro Journal Of Economics Volume 2, Nomor 1. Universitas Diponegoro.

Muhammad Amir Arham. 2014. Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Sektoral, Dan Ketimpangan Antar kabupaten/Kota Di Sulawesi Tengah. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia Vol. 14 No. 2, Januari 2014: 1-ISSN 1411-5212. Universitas Gorontalo

Musfidar,Ma’mun. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sulawesi Selatan Tahun 2001-2010.Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanudin Makasar

Nachrowi Djalal Nachrowi. 2008. Penggunaan Teknik Ekonometri. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

(37)

28

Nana Syaodih Sukmadinata. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Pendit, Nyoman.1999. Wisata Konvensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rahmat. 2014. Analisis Peran Sektor Pertanian dalam Perekonomian Kabupaten Lampung Tengah 2000-2011. Master thesis, Fakultas Pertanian Unila Lampung

Simonsen Sianturi. 2011. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah (Studi Kasus Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Utara). diakses dari http://eprints.undip.ac.id/29289/1/Jurnal.pdf pada 20 April 2018.

Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Spillane, J J. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tulus T.H. Tambunan. 2011. Perekonomian Indonesia: Kaian Teoritis dan Analisis Empiris. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ulfie Efriza. 2014. Analisis Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Timur Di Era Desentralisasi Fiskal. Malang: Universitas Brawijaya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

(38)

Gambar

Gambar 3. 1 Diagram Alur Penelitian
Tabel 4.1 Koefisien Gini Berdasarkan Kabupaten/Kota di Bali
Gambar 4. 2 Persentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kab/Kota di Bali
Gambar 4.3  Persentase Belanja Daerah Berdasarkan Kabupaten / Kota di Bali  yang  mampu  meningkatkan  kualitas  sumber  daya  manusia,  penyediaan  sumber-sumber  produksi,  dan  lain  sebagainya
+3

Referensi

Dokumen terkait

15.1 Peraturan keselamatan, kesihatan, dan alam sekitar yang khusus untuk bahan dan campuran Tidak terdapat

PERHUBUNGAN • PeMen Perhubungan No.18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Mencegah Penyebaran Virus Covid-19 • PeMen Perhubungan No.41 Tahun 2020

13 Berdasarkan hasil pra survey pada Brand Image body mist The Body Shop ditemukan beberapa masalah pada dimensi Brand Image yang akan mempengaruhi

Walaupun dalam penelitian ini menunjukkan hasil peningkatan yang signifikan antara permainan halang rintang terhadap kemampuan gerak dasar lokomotor anak autis,

Aktifitas siswa dalam kegiatan pembelajaran Penerapan metode tutor sebaya Guna Meningkatkan Pemahaman Siswa Kelas XII IPS MAN 1 Kota Mojokerto Tahun Pelajaran 2014/2015

Sonchus oleraceus yang ditumbuhkan pada 3 jenis media berbeda dan diberi cekaman Cr 3+ dan Cr 6+ menunjukkan respon akumulasi Cr 6+ dan Cr total pada akar dan pucuk

Kekurangan ampas di PG selayaknya dapat diatasi karena tebu memiliki kadar ampas yang cukup untuk bahan bakar ketel, dengan instalasi yang seimbang, peralatan yang

Terdapat 5 siswa yang memperoleh skor 4 karena mereka sudah tepat dalam menentukan ide pokok cerpen tetapi belum lengkap.. Hanya 1 siswa yang memperoleh skor 3 karena ide