• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan lingkungan yang terjadi dalam berbagai bentuk dan peristiwa pada hakekatnya merupakan ketidakseimbangan dalam hubungan antar komponen lingkungan akibat adanya suatu perubahan yang mempengaruhi kelangsungan hidup di sekitarnya. Konsistensi global dalam pelestarian lingkungan hidup dewasa ini semakin rentan terhadap berbagai ujian, mengingat laju kerusakan yang terus meningkat, tidak terkecuali pada penyedia jasa lingkungan yang sangat penting untuk dipertahankan yakni hutan. Pembangunan kehutanan merupakan bagian dari pembangunan nasional dengan tujuan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pengelolaan sumber daya alam yang berupa hutan (Pamulardi, 1994), sebagaimana dikemukakan oleh Zain (1998), bahwa hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Dunia Internasional meyepakati bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia harus dibina dan dilindungai dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia. Seperti dikemukakan oleh Bawa dan Gadgil (1997) dalam Djajadiningrat, dkk. (2011), bahwa ekosistem alami memegang peranan penting sebagai tempat terjadinya proses-proses ekologis yang mendukung keberlanjutan hidup manusia dan berperan penting, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyokong kehidupan perekonomian manusia.

Proses yang terjadi dalam hubungan saling kebergantungan antar makhluk hidup dan lingkungannya menjadi satu kondisi yang diberikan oleh hutan kepada kehidupan disekitarnya, baik itu bersifat produktif maupun sebagai penyangga kelestarian lingkungan, dalam hal ini dikenal dengan hutan produksi/hutan produksi terbatas dan hutan lindung. Apapun bentuk penggunaan kawasannya, hutan adalah penyedia jasa lingkungan yang seharusnya dipelihara

(2)

2 keberadaannya, namun dengan adanya desakan oleh kebutuhan hidupnya, manusia seringkali lalai dengan kesempatan baik sebagai agen lingkungan, yang membawa pada aktifitas perambahan hutan.

Kerusakan hutan merupakan kejadian hasil alam dan buatan manusia. Bagaimanapun, mayoritas sebab-sebabnya yang berhubungan dengan aktivitas perkembangan manusia semakin bertambah. Menurut Kanninen, dkk (2009), transisi hutan merupakan proses yang amat panjamh dimana pembangunan ekonomi mengakibatkan pola hilangnya hutan yang diikuti dengan pemulihan hutan. Seperti diperlihatkan pada gambar 1.1, deforestasi yang terjadi pada fase awal pembangunan dipicu oleh kebutuhan akan produk pertanian dan pembangunan infrastruktur.

Gambar 1.1 Transisi hutan mengindikasikan dinamika sewa pertanian dan hutan dari waktu ke waktu (Sumber : Angelsen, 2007 dalam Kanninen, 2009)

Bersamaan dengan perubahan sosial yang relatif pesat, telah terjadi peningkatan kebutuhan sosial yang disertai melemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan yang membuat gangguan keamanan terhadap hutan meningkat (Utari, 2012) . Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan kebudayaannya, manusia memanfaatkan SDA di lingkungannya dari cara yang sederhana sampai dengan cara yang paling canggih. Mereka memiliki kemampuan untuk memanfaatkan SDA dalam skala yang besar yang seringkali tidak memperhatikan potensi dan persebarannya, sehingga semakin mengancam keberlanjutan SDA dan sangat berpotensi merusak lingkungannya (Alikodra, 2012).

(3)

3 Efek gangguan terhadap lingkungan yang timbul sebagai akibat aktivitas manusia dengan segala kompleksitas permasalahannya telah dirasakan secara global dan telah menyebabkan keseimbangan planet bumi yang kita tempati mengalami gangguan yang cukup serius dari perspektif keterlanjutan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam. Sifat dari gangguan-gangguan terhadap sistem lingkungan alam, baik dalam skala global maupun lokal, umumnya bersifat sistemik, yaitu gangguan pada salah satu komponen lingkungan akan menyebabkan terganggunya dan/atau mempengaruhi komponen lingkungan lainnya, untuk selanjutnya menimbulkan gangguan baru pada komponen lingkungan yang dipengaruhi tersebut (Asdak, 2012).

Asoka (2011) menyatakan bahwa pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang popular selama dasawarsa terakhir ini, karena dikenal sebagai salah satu kawasan hutan yang paling tinggi laju kerusakan hutannya di dunia. Menurut Purnama (2006), laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia disebabkan oleh 5 (lima) persoalan utama, yaitu (1) sistem manajemen perijinan yang tak terkendali, (2) pembukaan hutan untuk pembangunan sektor lain, (3) kebakaran hutan, (4) pencurian kayu, dan (5) perambahan. Sejalan dengan Salim (1988) dalam Tandjung dan Gunawan (2006), yang mengartikan berbagai kerusakan lingkungan/degradasi lingkungan adalah sebagai gangguan lingkungan, sedang berbagai gangguan lingkungan tersebut mempunya satu cirri yang sama, yaitu bahwa manusialah penyebab utama timbulnya bencana yang menyebabkan kerusakan/degradasi lingkungan.

Dalam laporan Abt Associates Inc. (2013), disebutkan bahwa menteri Kehutanan telah menetapkan suatu tim riset terpadu (Tim Terpadu/TIMDU) untuk memverifikasi dan merekomendasikan suatu perubahan dalam status hukum bagi beberapa Kawasan Hutan Berbasis TGHK, sehingga pemerintah propinsi dapat melaksanakan proses perencanaan tata ruang secara semestinya. kriteria utama yang digunakan oleh TIMDU untuk merekomendasikan langkah-langkah selanjutnya untuk menyetujui suatu perubahan dalam fungsi dan peruntukkan Kawasan Hutan adalah Dampak Penting dengan Cakupan Luas dan Strategis (DPCLS) yang berkaitan dengan Kawasan Hutan dengan fungsi pelestarian dan

(4)

4 perlindungan, seperti misalnya Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Perlindungan Alam (KPA).

Kawasan Hutan yang dianggap sebagai DPCLS membutuhkan persetujuan dari Menteri Kehutanan, sementara kawasan non-DPCLS harus disetujui oleh DPR. sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang tentang Kehutanan (Undang-undang No. 41 Tahun 1999). Masalah ini selalu menjadi topik hangat perdebatan di rapat-rapat BKPRN. Landasa hukum ini (Pasal-pasal 1 dan 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999) memfasilitasi mekanisme penyelesaian untuk status kehutanan, sebagaimana dinyatakan dalam revisi RTRWK. Terdapat dua peraturan lain yang dapat memfasilitasi suatu perubahan dalam fungsi dan alokasi Kawasan Hutan, yaitu PP 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2010 mengenai Tim Terpadu untuk Tukar Menukar Kawasan Hutan). Berdasarkan PP 10 tersebut, suatu perubahan atas fungsi Kawasan Hutan hanya boleh dilakukan di wilayah pemerintahan dari suatu propinsi atau lokasi parsial. Proses perundingan yang panjang untuk menyetujui persentase APL dan Kawasan Hutan, bahkan dengan keterlibatan TIMDU, merupakan penyebab keterlambatan yang umum, terutama di propinsi-propinsi dimana Kawasan Hutan sudah lama digunakan untuk keperluan-keperluan lain seperti misalnya perluasan fasilitas-fasilitas pemerintah dan komersial dan pemukiman-pemukiman. Pemerintah propinsi membuat usulannya berdasarkan fakta bahwa beberapa Kawasan Hutan sudah tidak lagi sesuai dengan peta TGHK. Sementara itu, Kementerian Kehutanan bersikeras bahwa sedikitnya 30% dari wilayah pemerintahan harus menjadi Kawasan Hutan,

Salah satu kasus pembukaan lahan masyarakat dalam kawasan hutan juga terjadi pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang berada pada wilayah Propinsi Sulawesi Tengah, yang pada akhirnya menjadi pemicu usulan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Secara administrasi, lokasi perambahan berada diantara dua wilayah desa dan kecamatan namun lebih

(5)

5 dikenal masyarakat sebagai kesatuan wilayah hutan “Kebun Kopi”. Luas areal yang diusulkan di Kebun Kopi adalah 464.74 Ha terdiri dari :

1) Tipologi usulan dari Hutan Lindung menjadi APL seluas 159.24 Ha

2) Tipologi usulan dari Hutan Produksi Terbatas menjadi APL seluas 305,47 Ha Tipologi HPT menjadi APL telah diakomodir oleh SK. 635/Kpts-II/2014 tanggal 24 September 2013, menyusul tipologi HL menjadi APL telah disetujui DPR RI dan diakomodir dalam SK. 869/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014. Motivasi usulan oleh instansi terkait adalah karena adanya eksisting lahan pemukiman dan lahan garapan masyarakat Kebun Kopi dalam kawasan hutan. Kenampakan kondisi lahan terbuka di sekitar hutan kebun kopi tersebut dapat dilihat pada gambar 1.2 dimana posisi pembukaan lahan berada di sekitar jalan raya antar provinsi.

Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia banyak yang terjadi karena tuntutan hidup dan rendahnya pengetahuan tentang lingkungan hidup itu sendiri dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang mendesak membuat masyarakat miskin berusaha untuk mempertahankan hidupnya tanpa memikirkan tentang kelestarian lingkungan. Apalagi jika masyarakat miskin itu tinggal di sekitar hutan, maka hutan akan menjadi sasaran eksploitasi yang menyebabkan kerusakan hutan.

Aktivitas pembukaan lahan dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di area kebun kopi dipandang sebagai suatu tindakan yang menurunkan kualitas lahan yang kemudian memunculkan indikasi kerusakan lingkungan, namun dengan disahkannya perubahan status kawasan, maka secara hukum kegiatan masyarakat di lokasi tersebut menjadi legal. Walaupun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi awal yang berupa hutan telah terdegradasi, dimana seiring dengan pembangunan yang diikuti dengan reformasi ekonomi, maka berpotensi tekanan terhadap hutan alam. Menyikapi hal tersebut, sekiranya perlu untuk melakukan kajian kerusakan lingkungan di wilayah area penggunaan lain (APL) Kebun Kopi sebagai dasar manajemen sumber daya lahan .

(6)

6 Gambar 1.2. Peta Citra Satelit Kondisi Pembukaan Lahan lokasi Penelitian

(7)

7 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan di muka, dapat dirumuskan permasalahan penelitian berikut ini.

(1) Bagaimanakah perubahan penggunaan lahan pada areal penggunaan lain (APL) kebun kopi?

2) Bagaimana menentukan dan memetakan zona kerusakan lingkungan dan hubungannya dengan perubahan penggunaan lahan lahan pada area penggunaan lain (APL) kebun kopi?

(3) Bagaimanakah strategi pengelolaan lingkungan di Area Penggunaan Lain (APL) kebun kopi untuk pelestarian lingkungan?

Untuk mengungkap permasalahan seperti telah dirumuskan di atas, maka penting untuk dilakukan penelitian secara mendetil tentang: “Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL) Kebun Kopi di Provinsi Sulawesi Tengah”. Lokasi penelitian mencakup areal perubahan peruntukan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas di wilayah kebun kopi Provinsi Sulawesi Tengah.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengkaji perubahan penggunaan lahan pada areal penggunaan lain (APL)

Kebun Kopi

(2) Menentukan dan memetakan zona kerusakan lingkungan dan hubungannya dengan perubahan penggunaan lahan di areal penggunaan lain (APL) Kebun Kopi

(3) Menyusun strategi pengelolaan lingkungan di areal penggunaan lain (APL) Kebun Kopi untuk pelestarian lingkungan.

(8)

8 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat utama penelitian ini diharapkan dapat mencakup manfaat secara akademik maupun praktis, seperti diuraikan berikut ini:

(1) hasil diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam proses pembangunan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan;

(2) hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi kepada masyarakat secara umum dalam memahami pentingnya peran lingkungan sebagai acuan dasar dalam setiap perencanaan pembangunan, khusunya perspektif lingkungan dalam kajian kerusakan lingkungan, dimana pengenalan kawasan sekitar tempat tinggal sebenarnya bukan hanya hak para praktisi ilmu pengetahuan/ akademisi tetapi juga akan menjadi lebih baik apabila masyarakat yang lebih dekat dengan kehidupannya dari generasi ke generasi menerapkan pembangunan yang sadar lingkungan dengan memahami betul hal-hal yang disebut ‘lingkungan” sekitarnya.

1.5. Keaslian dan Batasan Penelitian

Penelitian tentang kajian kerusakan lingkungan akibat perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL) Kebun Kopi di Provinsi Sulawesi Tengah sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Berdasarkan itu, penulis berkeinginan melakukan penelitian sejalan dengan permasalahan lingkungan di Provinsi Sulawesi Tengah. Sebagai Pembanding dalam penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian-kajian lingkungan mengenai kerusakan lahan hutan hutan terdahulu , dapat dijadikan referensi sekaligus sebagai perbandingan untuk menunjukkan keaslian penelitian ini disajikan dalam tabel 1. berikut ini.

(9)

9 Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil

1 Mahro Syihabuddin, 2014, Kajian Kerusakan Lingkungan akibat Alih Fungsi Lahan di DAS Brantas Hulu, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur.

Mengkaji alih fungsi lahan berdasarkan kondisi eksisting DAS, Mengkaji bentuk kerusakan lingkungan, merumuskan strategi pengelolaan lingkungan Metode survei, Sampling dan analisis dekriptif kualitatif

1. Alih fungsi yang banyak terjadi yaitu hutan kering menjadi hutan tanaman 2. Tutupan lahan yang

rentan terhadap degradasi lahan pada tanah dan air

3. Berkurangnya tutupan vegetasi dan limpasan permukaan

menyebabkan longsor 2 Irwan Swandana, 2013,

Evaluasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Tingkat Lahan Kritis Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Lingkungan (Kasus di Daerah Tondanan Blora Jawa Tengah) Merancang strategi pengelolaan lingkungan berdasarkan tingkat kekritisan lahan, yang mengacu pada kelas kemampuan lahan. Metode survey pada tingkat satuan lahan di daerah Tondanan, zonasi lahan kritis berdasarkan kemampuan lahan dan metode deskriptif kuantitatif untuk menggambarkan objek penelitian

1. Faktor endogen lebih berpengaruh terhadap terjadinya lahan kritis pada lahan dengan kategori kritis, sedangkan penggunaan lahan lebih berpengaruh pada lahan agak kritis, 2. Kemampuan lahan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan, 3. Kendala yang dihadapi masyarakat petani berkaitan dengan kekeringan dan lamanya panen 4. Adanya usaha masyarakat petani dan juga pemerintah untuk peningkatan pertanian

3 Muhammad Ramdhan Oli’I, 2013, Analisis Kekritisan dan Arahan Konservasi Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Limboto Provinsi Gorontalo

Mengetahui tingkat kekritisan DAS Limboto dan metode

konservasi yang akan dilakukan

Penentuan Kriteria Lahan kritis dengan keriteria yang ditentukan oleh Balai Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah (BRLKT) Departemen Kehutanan, Analisis spasial untuk metode konservasi lahan

1. DAS Limboto terdiri atas empat kawasan peruntukan lahan, 2. Persentase tingkat kekritisan lahan di DAS Limboto yang berada pada kategori tidak kritis, potensi kritis, agak kritis, dan sangat kritis, 3. Rekomendasi metode

(10)

10 Lanjutan Tabel 1.1

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil

4

Abditama Srifitriani, 2011, Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar Kota Bengkulu

Mengkaji perubahan penggunaan lahan, Mengkaji bentuk-bentuk kerusakan, dan Menyusun strategi pengelolaan lingkungan yang tepat guna pada Kawasan CAgar Alam Danau Dusun Besar

Metode overlay dan analisis peta serta analisis kondisi lingkungan terdegradasi.

1. Arahan fungsi pemanfaatan lahan Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar 2. Strategi Pengelolaan

Lingkungan Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar.

5 Kolins Taridala Gamoro, 2010, Kajian

Perambahan Hutan dan Pengaruhnya terhadap Kerusakan Lingkungan Perairan di DAS Roraya Hulu Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Menginventarisasi kerusakan vegetasi di kawasan hutan lindung akibat perambahan hutan, Mengkaji perubahan vegetasi, Mengkaji pengetahuan dan sikap penduduk sekitar hutan dan menyusun strategi pengelolaan lingkungan.

Metode survei dan purposive sampling dengan analisis deskriptif dan kuantitatif. 1. Terjadinya kerusakan hutan berdasarkan kriteria baku kerusakan hutan dengan kerapatan vegetasi 0,8%, 2. Fungsi hidrologi tanah terganggu menyebabkan penurunan debit dan kualitas air sungai, 3. Tingkat pengetahuan

dan kesejahteraan masyarakat rendah.

Sumber: Telaah Pustaka, 2015

1.6 Batasan Operasional Penelitian

Penelitian tentang ” Kajian kerusakan lingkungan akibat aktivitas masyarakat pada wilayah perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL) sebagai dasar manajemen sumberdaya lahan (kasus di kawasan hutan Kebun Kopi, Sulawesi Tengah)” dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut:

(1) Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

(11)

11 lainnya (Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009).

(2) Kerusakan lingkungan

Kerusakan lingkungan adalah berubahnya struktur, bentuk, komposisi, susunan suatu lingkungan hidup sehingga kualitas lingkungan hidup tersebut menurun.

(3) Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan).

(4) Kawasan hutan

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan).

(5) Area Penggunaan Lain (APL)

Area Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL adalah area bukan kawasan hutan. (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor; P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan). (6) Lahan (Land)

Lahan mengandung makna yang lebih luas dari tanah, yang juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Dari segi kepentingan manusia, lahan merupakan wilayah (region) yang berfungsi selaku lingkungan pemapanan masyarakat manusia.

(7) Kerusakan Hutan

Kerusakan Hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya (UU 41/1999 dalam Winarto, 2010).

Gambar

Gambar 1.1  Transisi hutan mengindikasikan dinamika  sewa               pertanian dan hutan dari waktu ke waktu                            (Sumber :  Angelsen, 2007 dalam Kanninen, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Langkah untuk menyelesaikan transaksi diatas ke dalam Zahir yaitu pilih Modul Pembelian > Pembayaran Hutang Usaha > Isi data sesuai dengan transaksi >

2012 Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi (dana Tugas Pembantuan/TP dan Dekon) melalui program pengelolaan.. Upaya yang telah dilakukan Direktorat Budidaya Aneka

Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk mencari petanda (marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim, keberadaan suatu senyawa

3.1 Proses Bongkar Muat Kondisi Existing Data kondisi existing yang dikumpulkan adalah data mengenai waktu standar bongkar muat existing dengan menggunakan bantuan

Jadi hipotesa menyatakan masalah siswa dalam kemampuan menulis teks naratif dari kelas sebelas IPA A di SMA Islam Tuan Sokolangu Gabus Pati tahun ajaran

1). Membahas soal – soal aplikasi peluang kejadian pada program keahlian yang bersesuaian 2). Guru memberikan contoh soal dan membahas penyelesaiannya bersama siswa.. Guru

Jika kedua ujung plat metal diberi tegangan listrik, maka muatan-muatan positif akan mengumpul pada salah satu kaki (elektroda) metalnya dan pada saat yang sama muatan-muatan