• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUAT SENJATA API ILEGAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUAT SENJATA API ILEGAL"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUAT SENJATA API ILEGAL

Oleh JOHAN AZIS

Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal dilaksanakan untuk menjamin bahwa hukum dapat dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan didalam pelaksanaannya. Demikian pula halnya dengan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah penegakkan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api illegal ? (2) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal ?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Narasumber penelitian terdiri dari Kasat Reskrim pada Polresta Bandar Lampung dan Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

(2)

Johan Azis

Saran dalam penelitian ini adalah : (1) Aparat penegak hukum (Kepolisian, Jaksa dan Hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana pembuat senjata api ilegal secara cepat, akuntabel dan benar. (2) Kesadaran peran aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membantu kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana pembuat senjata api ilegal, karena tindak pidana pembuat senjata api ilegal ini relatif sulit dan sering lolos dari pengawasan, oleh karena itu diperlukan laporan dari masyarakat.

(3)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUAT SENJATA API ILEGAL

Oleh JOHAN AZIS

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro, pada tanggal 11 Mei 1992, merupakan putra pertama dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Wahyudi dan Ibunda Sri Wahyuni.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-Kanak (TK) Pembina selesai tahun 1998, Sekolah Dasar Negeri 8 metro pusat selesai pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama Swasta Yos Sudarso Metro selesai pada tahun 2007,Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Metro diselesaikan pada tahun 2010.

(8)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ilmiah ini kepada:

Kedua Orang Tuaku, Ayah Wahyudi dan Ibu Sri Wahyuni

Sebagai kedua orang tua tercinta yang telah mendidik, membesarkan, dan membimbingku dalam menjalani kerasnya kehidupan

Tidak Ada Kata Yang Dapat Aku Ucapkan Untuk Menggantikan Semua Kasih Sayang Dan Pengorbananmu Sehingga Aku Bisa

Menjadi Orang Yang Berhasil

Adik-adikku, Shinta Julia Rachelita, Zalfha Febhua Robastian dan Zhoiner Ciantiwa Neegara

Yang selalu Memotivasi, Memberi Saran, Kritik, Doa untuk selalu berfikir maju dan jauh lebih baik lagi

Almamater Universitas Lampung

(9)

MOTO

“Guru membuka pintu tapi anda harus masuk sendiri”

(Pepatah Cina)

“Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis”

(Aristoteles)

“Belajarlah tentang arti kehidupan dari ayahmu dan

belajarlah tentang arti ketulusan dari ibumu”

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah. ... 1

B. Rumusan Masalah. ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual. ... 8

E. Sistematika Penulisan. ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penegakan Hukum Pidana. ... 15

B. Tinjauan tentang Senjata Api. ... 19

C. Dasar Hukum Pembuatan Senjata Api di Indonesia. ... 21

D. Tindak Pidana Pembuat Senjata Api Ilegal. ... 22

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana ... 23

III. METODE PENELITIAN A. Pendeketan Masalah. ... 26

B. Sumber dan Jenis Data. ... 26

C. Penentuan Narasumber. ... 27

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data. ... 28

E. Analisis Data. ... 29

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber... 30

B. Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Pembuat Senjata Api Ilegal. ... 31

(11)

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 56 B. Saran ... 58

(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Senjata api adalah alat yang boleh digunakan sebagai senjata yang ditembak pada satu atau berganda proyektil yang ditujukan pada kelajuan tinggi oleh gas yang dihasilkan melalui kecepatan. Pada senjata api kuno, pendorong ini lazimnya serbuk hitam, tetapi senjata api modern menggunakan serbuk tanpa asap, kordit, atau pendorong lain. Kebanyakan senjata api moderen mempunyai laras berpilin untuk memberikan putaran kepada projektil untuk menambah kestabilan semasa dalam penerbangan.

(13)

2

merakit senjata api secara ilegal. Pembuatan senjata api ini sebenarnya sudah diatur dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951.

Kontroversi kepemilikan senjata api ilegal merupakan suatu persoalan yang hangat dibicarakan. Ilegal yang dimaksud disini ialah tidak legal, atau tidak sah menurut hukum. Kepemilikan senjata api ilegal ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai suatu sarana kejahatan yang berbahaya oleh pelaku tindak pidana. Hal ini sejalan dengan meningkatnya dan maraknya tindak kejahatan disekitar kita, penembakan oleh orang tidak dikenal, teror penembakan disejumlah tempat-tempat umum, hingga kejahatan yang diikuti oleh ancaman bahkan pembunuhan dengan senjata api tersebut. Senjata api ilegal merupakan senjata yang beredar secara tidak sah dikalangan sipil, tidak diberi izin kepemilikan atau yang telah habis masa berlaku izinnya banyak dimiliki oleh orang-orang terlatih dan memiliki spesialisasi dibidang kejahatan tertentu sehingga kemudian membutuhkan dukungan senjata api dalam rangka memuluskan rencananya.

Kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Terdapat ketentuan tersendiri mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Kepemilikan senjata api secara umum diatur dalam Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana. Pasal 1 Ayat (1)

UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan : “Barangsiapa, yang tanpa hak

(14)

atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara

setinggi-tingginya dua puluh tahun.” 1

Sumber-sumber utama peredaran senjata api ilegal di Indonesia sangat beragam dan komplek, antara lain :

Pertama, pencurian dari gudang senjata aparat atau pembelian secara ilegal dari oknum TNI atau Polisi. Prosedur penyimpanan senjata oleh TNI dan Polri kelihatannya ketat, tetapi gudang senjata dibanyak wilayah tidak dijaga dengan baik ataupun diinventarisir seperti yang seharusnya, selain keterlibatan oknum militer ataupun oknum polisi karena memang mereka dilegalkan oleh UU untuk menyimpan, memiliki dan menggunakan senjata api. Kepemilikan senjata api yang legal tersebut sering disalahgunakan dengan cara menjual senjata api organik TNI/Polri dengan harga yang murah kepada masyarakat sipil, mudahnya penggunaan senjata api laras panjang yang biasa digunakan sebagai kelengkapan dari TNI/Polri dikalangan masyarakat luas termasuk dikalangan kriminal menimbulkan tanda tanya siapa oknum pelaku dari bebasnya peredaran senjata laras panjang yang merupakan tanggungjawab aparat.

PT Pindad sebagai produsen senjata api resmi milik Indonesia selain melayani permintaan dari dalam negeri juga melayani pembelian senjata api dari beberapa negara tetapi prosedurnya harus melalui Kementerian Pertahanan RI dan bersifat G to G (Government to Government). Jalur distribusi resmi ke TNI/Polri telah ditentukan seperti untuk AD ke Ditpalad (Direktorat Peralatan Angkatan Darat), AL ke Dissenlekal (Dinas Materil Senjata dan Elektronika Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut), AU ke Disaeroau (Dinas Aeronautika) dan Polri ke Slog Polri (Staf Logistik Kepolisian Republik Indonesia).

Kedua, senjata rakitan buatan local, pada dasarnya senjata rakitan juga disebut

small arms karena merupakan replika dan dirakit secara khusus mengikuti pola-pola senjata api standar tempur, hanya bedanya yang pertama diproduksi secara

1

(15)

4

legal oleh pabrik-pabrik pembuatan senjata sedangkan senjata rakitan bukan diproduksi oleh pabrik pembuatan senjata tetapi oleh home industri "kerajinan rumahan" ilegal yang dilakukan oleh masyarakat. Produksi ilegal senjata api terjadi diberbagai negara seperti Afrika Selatan, Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Ketiga, dari penyelundupan, senjata api ilegal didatangkan dengan banyak cara

dan selanjutnya akan menghiasi “pasar gelap” senjata api di Indonesia dimana

keberadaan senjata-senjata itu tidak pernah terpantau dengan jelas. Penyelundupan senjata api (arms smuggling) tidak hanya berkaitan dengan impor namun juga ekspor dan sering dilakukan baik oleh perusahaan–perusahaan eksportir/importir ataupun secara pribadi dengan cara melakukan pemalsuan dokumen tentang isi dari kiriman. Peredaran senjata api di Indonesia selain diramaikan produk dalam negeri juga didatangkan dengan cara impor tidak hanya secara resmi karena pesanan institusi negara, tetapi kerap dilakukan secara ilegal demi kepentingan perorangan. 2

Kepemilikan senjata api ini sendiri memang diatur secara terbatas, dilingkungan Kepolisian dan TNI sendiri terdapat peraturan mengenai prosedur kepemilikan dan syarat tertentu untuk memiliki senjata api. Dilingkungan masyarat sipil juga terdapat prosedur tertentu untuk memiliki senjata api secara legal. Prosedur tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 5 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1948 mewajibkan setiap senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan. Menurut Pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948, setiap orang atau warga sipil yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut

2

(16)

contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Surat izin pemakaian senjata api ini diberikan oleh Kepala Kepolisian atau orang yang ditunjukkannya.

Lebih lanjut, pengajuan izin kepemilikan senjata api non organik yang dilakukan oleh masyarakat yang biasa disebut dengan Izin Khusus Senjata Api (IKSHA), dilakukan sesuai ketentuan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.Pol : Skep/82/II/2004.

Sebagai contoh kasus adalah Lampung Tengah, Jajaran Polsek Terbanggi Besar membongkar rumah produksi senjata api rakitan, di Dusun IV. Kampung Karang Endah, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Dari lokasi polisi menyita tiga pucuk rangka senjata api rakitan jenis revolver, lima butir amunisi dan sejumlah peralatan untuk merakit senjata api.

(17)

6

itu buatannya. Dalam pemeriksaan, Sukiman mengaku baru tiga bulan belajar membuat senpi dan belum pernah menjualnya. Menurutnya, bahan-bahan senpi diperoleh dari mobil pengangkut barang rongsokan, sedangkan peluru didapat dari hasil temuan. 3

Contoh kasus buronan Polda Lampung dalam kasus pembuatan senjata api rakitan dibekuk petugas Polda Yogyakarta di Sleman, tersangka Pompy Armedi, diciduk karena menipu pedagang di Pasar Godean. Dalam aksinya, ia mengaku sebagai dukun pengganda uang. Kasat Reskrim Polresta Bandar Lampung, Kompol Dery Agung Wijaya menjelaskan, Pompy saat ini masih diperiksa di Polda Yogyakarta.

“Kami sudah koordinasi dengan Polda Yogyakarta. Pasalnya, Pompy merupakan

DPO (Daftar Pencarian Orang) Polda Lampung dalam kasus pembuatan senjata

api rakitan sejak tahun 2013 lalu.” Menurut Kompol Dery Agung Wijaya, saat digeledah dirumah kontrakannya di Jalan Tunggul Ametung, Kec. Kedaton, Bandar Lampung, pihaknya menyita barang bukti berupa uang palsu senilai Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), 8 (delapan) popor senjata laras panjang, 3 (tiga) plastik kayu berbentuk peluru, 1 (satu) alat press, 1 (satu) gergaji besi, komputer untuk membuat uang palsu, sepucuk senjata api laras panjang rakitan, enam galon cairan kimia dan tiga kotak peralatan untuk membuat senjata api.4

Maka dapat dilihat bahwa kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil jelas memerlukan prosedur permohonan izin tertentu mencakup syarat keterampilan dan psikologis. Hal ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Bahkan surat izin tersebut harus diperpanjang perjangka waktu tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil bukanlah hal yang sembarangan. Bahkan, kepemilikan tanpa hak atas senjata api dapat dijatuhkan

3

http://www.kupastuntas.co/?page=berita&&no=19510

4

(18)

sanksi pidana hingga hukuman mati. Hal ini terkait potensi besar penyalahgunaan senjata api ilegal yang bahkan dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara.5

Kejadian ini sangat meresahkan masyarakat sehingga pembuatan senjata api tanpa hak milik tidak dibenarkan. Atas dasar pemikiran tersebut, maka saya berinisiatif untuk meneliti lebih lanjut pemasalahan mengenai tindak pidana pembuatan senjata api ilegal dalam Tugas Akhir (Skripsi) dengan judul

“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembuat Senjata Api

Ilegal’’.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pemasalahan sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal ?

2. Apakah faktor–faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal.

5

(19)

8

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal.

2. Kegunaan Penulisan

a. Secara Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat memberikan masukan atau kontribusi secara teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama disiplin ilmu hukum pidana.

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan dapat dijadikan acuan bagi para penegak hukum dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum.6 Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

6

(20)

1. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana adalah upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual didalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.7

Penegakan hukum pidana dilaksanakan melalui beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut tahap Kebijakan Legislatif

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap Penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan

7

(21)

10

perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.8

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan HukumPidana

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:9

(1) Faktor perundang-undangan (substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum dilapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

8

Ibid. hlm. 25-26

9

(22)

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

(5) Faktor kebudayaan

(23)

12

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.10 Berdasarkan definisi diatas maka peneliti akan melakukan analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini serta memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yaitu: “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembuat Senjata Api Ilegal”. Adapun pengertian dari istilah yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adalah dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era moderenisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual didalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.11

b. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku.12

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana di rumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan umum.13

10

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.63

11

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penaggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23

12

Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46

13

(24)

d. Senjata api adalah setiap alat, baik yang sudah terpasang ataupun yang belum, yang dapat dioperasikan atau yang tidak lengkap, yang dirancang atau diubah, atau yang dapat diubah dengan mudah agar mengeluarkan proyektil akibat perkembangan gas-gas yang dihasilkan dari penyalaan bahan yang mudah terbakar didalam alat tersebut, dan termasuk perlengkapan tambahan yang dirancang atau dimaksudkan untuk dipasang pada alat demikian.14

e. Ilegal adalah tidak menurut hukum.15

E. Sistematika Penulisan

Untuk membahas masalah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal, agar supaya tersusun dengan baik, sistematis, dan mudah dipahami akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan, penulis menggunakan sistematika penulisan yang berurutan sebagai berikut :

I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi yang berjudul, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, perangkat teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan kepustakaan dari berbagai konsep yang digunakan dalam penelitian dan diambil dari berbagai refrensi yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji meliputi pengertian penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal.

14

http://www.bumn.go.id/pindad/berita/358/SENJATA.API,.DEFINISI.DAN.PENGATURANNY A

15

(25)

14

III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitan, meliputi pendekatan masalah, data, informan (responden) penelitian, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang penulis dapatkan selama penelitian yang meliputi uraian mengenai penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal.

V PENUTUP

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era moderenisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbngan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual didalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.16

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan

16

(27)

16

hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya.

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.17

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidak adilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam

17

(28)

rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control

suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.18

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

Secara toeritis penegakan hukum harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu19:

a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual. c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang

muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

18

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.7

19

(29)

18

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut Muladi yaitu due process of law yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.20

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum

20

(30)

dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur didalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi. Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

B. Tinjauan tentang Senjata Api

Sebelum mengenal senjata api, manusia menggunakan senjata tradisional dengan alat sederhana, seperti menggunakan busur panah atau ketapel. Setelah ditemukan bubuk mesiu untuk amunisi dan alat peledak, senjata api pun mulai berkembang diperadaban manusia. Penggunaan senjata api secara global pada perang dunia pertama menyebabkan penyebaran dan perkembangan inovasi dari senjata api sebagai alat pertahanan diri maupun alat serang. Pada masa sekarang senjata api digunakan pertahanan diri, sebagai sarana olahraga tembak reaksi, dan berburu hewan.

Senjata api dapat diartikan suatu alat yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam yang mempunyai komponen atau alat mekanik seperti laras, pemukul/pelatuk, trigger, pegas, kamar peluru yag dapat melontarkan anak peluru atau gas melalui laras dengan bantuan bahan peledak.

(31)

20

non pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya.

Lebih jauh dijelaskan dalam Ordonasi Senjata Api Tahun 1939 UU Darurat No. 12 Tahun 1951, yang juga senjata api adalah :

1. Bagian-bagian dari senjata api

2. Meriam-meriam dan vylamen werpers (penyembur api) termasuk bagiannnya

3. Senjata-senjata tekanan udara dan tekanan per dengan tanpa mengindahkan kalibernya

4. Slachtpistolen (pistol penyembelih /pemotong) 5. Sein pistolen (pistol isyarat)

6. Senjata api imitasi seperti alarm pistolen (pistol tanda bahaya), start revolvers (revolver perlombaan), shijndood pistolen ( pistol suar),

shijndood revolvers ( revolver suar ) dan benda-benda lainnya yang sejenis itu, yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau menakuti, begitu pula bagian-bagiannya.

Berdasarkan Surat Direktur Intelpan atas nama Kapolri Nomor : R/WSD

404/VII/98/Dit LPP tertanggal 21 Agustus 1998, peralatan keamanan yang dapat digunakan untuk mengancam atau menakuti/mengejutkan adalah :

1. Senjata gas air mata yang berbentuk : pistol/revelvor gas

stick/pentungan gas, spray gas, gantungan kunci gas, extinguising gun/pemadam api ringan, pulpen gas, dll

2. Senjata kejutan listrik yang berbentuk : stick/tongkat listrik, kejutan genggam, senter guna, dll

3. Senjata panah : model cross bow ( senjata panah ), panah busur, dll 4. Senjata tiruan/replika

(32)

Surat Direktur Intelpan Nomor : R/SWD-368/VII/1998/Dit LPP tertanggal 24 Juli 1998, senjata api tiruan :

1. Senjata api type clock 17 pistol dari plastik

2. Crossman 50 caliber poin gun

3. The cat pistol

4. Marksman semi auto pistol

5. 22 black revolver mini cross bow

6. Mainan berbentuk senjata api asli

7. Replika senjata api mainan menyerupai senjata api

8. Alat keamanan/ bela diri yang sejenis

Senjata api tidak hanya terbatas pada bentuk utuh senjata api tersebut, namun bagian-bagian dari padanya pun termasuk dalam definisi dan kriteria senjata api.

C. Dasar Hukum Pembuatan Senjata Api di Indonesia

(33)

22

Polri merupakan satu-satunya instansi yang berwenang untuk mengeluarkan izin pembuatan senjata api. Berikut dasar hukum pembuatan senjata api di Indonesia :

Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat 12/1951

Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan, atau menoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpaan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sebuah bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara setinggi-tingginya dua puluh tahun.21

D. Tindak Pidana Pembuat Senjata Api Ilegal

Kamus Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadareminta, dinyatakan bahwa

“tindak pidana adalah perbuatan pidana atau perbuatan kejahatan sebagai perilaku

yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dimana yang telah ditetakan dalam hukum yang mengaturnya’’.

Setiap orang yang melakukan tindak pidana pembuatan senjata api ilegal akan diproses secara hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena tindak pidana pembuatan senjata api ilegal dapat memberikan andil yang cukup besar bagi kejahatan bersenjata maupun kepemilikan senjata api secara ilegal. Tindak pidana pembuat snjata api ilegal menurut Pasal 1 Ayat (1)

UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan : “Barangsiapa, yang tanpa hak

memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati

21

(34)

atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.” 22

Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Ske/1205/ix/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Himpunan Juklak (Petunjuk pelaksanaan), Juknis (Petunjuk teknis), proses penyidikan tindak pidana, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan lainnya.

Tindak pidana menurut Abdussalam23 memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Perbuatan manusia

2. Melanggar peraturan pidana 3. Diancam dengan hukuman

4. Dilakukan oleh orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan.24

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:25

(1) Faktor perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum dilapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

(35)

24

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

(2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

(4) Faktor masyarakat

(36)

(5) Faktor kebudayaan

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian dilapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukanya wawancara.

2. Data sekunder

(38)

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

3. Undang-Undang No 12/Drt/1951 Pasal 1 Ayat (1) tentang Senjata Api

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti teori atau pendapat para ahli dalam buku-buku hukum, dokumen atau makalah yang terkait dalam penelitian.

C. Penentuan Narasumber

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam menentukan sampel, penulis menggunakan metode purposive sampling yaitu metode yang mengambil sampel melalui proses penunjukan berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh melalui responden, maka yang dijadikan sampel sebagai responden adalah sebagai berikut :

a. Kasat Reskrim pada Polresta Bandar Lampung 1 orang b. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung 1 orang

(39)

28

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder, yang dalam hal ini penulis melakukannya dengan cara membaca dan mengutip serta mencatat dari berbagai buku, dokumen, dan informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha untuk memperoleh data primer, maka penelitian ini dilakukan dengan wawancara yang dilakukan kepada para pihak yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Pengolahan data, dalam penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut :

a. Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data

(40)

E. Analisis Data

(41)

56

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal meliputi :

a. Formulasi meliputi badan pembuat undang-undang membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan, salah satunya membuat peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana pembuat senjata api ilegal, peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan hukum tindak pidana pembuat senjata api ilegal, yaitu Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 Pasal 1 Ayat (1).

(42)

Ayat (1), pengadilan terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal, dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri, untuk menegakkan keadilan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan.

c. Eksekusi meliputi pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dilakukan oleh Kejaksaan Negeri untuk melaksanakan pemidanaan sesuai dengan vonis Hakim.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pembuat senjata api ilegal adalah sebagai berikut :

a. Faktor perundang-undangan yaitu, keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

b. Faktor penegak hukum yaitu, adanya profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku pembuat senjata api ilegal.

c. Faktor sarana dan fasilitas yaitu, adanya dukungan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penyidikan sampai dengan putusan pengadilan, seperti peralatan komunikasi, transportasi dan teknologi informasi.

d. Faktor masyarakat yaitu, adanya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang bila terjadi tindak pidana dan kesediaan masyarakat menjadi saksi dalam pengadilan.

(43)

58

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum (Kepolisian, Jaksa dan Hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam menangani dan menyelesaikan tindak pidana pembuatan senjata api ilegal secara cepat, akuntabel dan benar.

2. Kesadaran perananan aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membantu kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana pembuatan senjata api ilegal, karena tindak pidana pembuatan senjata api ilegal ini relatif sulit dibuktikan dan sering lolos dari pengawasan, oleh karena itu diperlukan laporan dari masyarakat.

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adhitya Wijaya, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Nusantara. Surakarta. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penaggulangan

Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan

dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan

Pengabdian Hukum. Jakarta.1994.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan dan

Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan

Pengabdian Hukum. Jakarta.1994.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _, Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan dan

Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan

Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994.

Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. 1993.

Muladi, Hak Asasi Manusia. Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997.

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996.

Satjipto Rahardjo, BungaRampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983.

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _, Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1986.

(45)

Undang-Undang :

Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Prosedur Kepemilikan

Senjata Api Sipil

Undang-Undang lainya :

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1967 tentang senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok Angkatan Bersenjata dibidang pertahanan dan kemanan

Keutusan Kapolri No. Pol : Ske/1205/ix/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Himpunan Juklak, Juknis, Juknim Proses Penyidikan Tindak Pidana

Surat Direktur Intelpan Atas Nama Kapolri Nomor R/WSD 404/VII/98/Dit LPP tertanggal 21 Agustus 1998 tentang peralatan keamanan yang dapat digunakan untuk mengancam atau menakuti/mengejutkan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Napitupulu, R.P.S (Tahun 2009) dengan judul Analisis Efektivitas Promosi pada LPP Purnawarman Bogor dapat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jumlah, jenis, dan kelimpahan rajungan yang tertangkap dengan alat tangkap bubu lipat di TPI Tanjung Sari,Rembang,

Dalam pernikahan pasti dan selalu melibatkan keluarga baik keluarga mempelai wanita maupun mempelai pria, terkadang yang kita harapkan tak sesuai dengan realita

Teknik pencatuan yang digunakan catuan microstrip linefeed.Metode yang digunakan dalam perancangan antena antara lain multi substrat 3 layer untuk meningkatkan bandwidth dan

Untuk penyimpanan pada suhu 5°C, penambahan formalin tidak efektif untuk menghambat motilitas spermatozoa untuk sementara waktu dimana daya hidup spermatozoa setelah pengaktifan

Sistem fonologi dalam pembahasan ini mencakup identifikasi fonem segmental dan pembuktian fonem, distribusi fonem, vokal rangkap, gugus konsonan, dan pola persukuan.Masalah

In sum, I think that context relativism makes more sense than truth relativism, because it has a better story about what properties our moral terms express, and truth relativism

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah karakteristik auditor (umur KAP, Kebutuhan dorongan dan kesadaran dalam teknologi informasi, pengetahuan atau