• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN TEORITIS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan masyarakat merupakan koreksi terhadap proses perencanaan pembangunan top down yang selama ini dilakukan, dimana seringkali menimbulkan kesenjangan yang lebar antara program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dengan kebutuhan nyata masyarakat. Menurut Korten (1993), masalah pembangunan yang kritis untuk tahun 1990an bukanlah pertumbuhan, masalahnya adalah transformasi. Menurutnya transformasi ini harus menangani tiga kebutuhan pokok masyarakat global yaitu : keadilan, keberlanjutan, ketercakupan. Masalah pertama yaitu keadilan, semua orang di dunia ini harus memperoleh kesempatan untuk bekerja sehingga dia beserta keluarganya bisa hidup dengan layak. Kedua yaitu kesinambungan sumber daya alam, setiap generasi manusia harus memelihara sumber daya alam untuk generasi mendatang. Ketiga masalah partisipasi, pembangunan harus memberikan kesempatan bagi semua kelompok dimasyarakat untuk berpartisipasi, menyumbang tenaga dan pikirannya.

Salah satu ciri dari paradigma pengembangan masyarakat adalah pendekatan partisipasi. Pendekatan ini mendorong partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pembangunan, baik tahap identifikasi masalah dan potensi, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tahap tindak lanjut. Brokensha dan Hodge dalam Adi (2001) mengemukakan bahwa pengembangan masyarakat merupakan : Suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisifasi aktif dan jika memungkinkan, berdasarkan prakarsa komunitas. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan tingkat distrik, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh lembaga-lembaga pengembangan masyarakat non pemerintah harus memanfaatkan gerakan koperasi dan haru s dilakukan melalui kerjasama yang erat dengan lembaga-lembaga pemerintah setempat. Menurut Sumardjo dan Saharuddin (2005), partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila dipenuhi tiga faktor yang mendukung, yaitu: kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi.

(2)

Program pengembangan masyarakat haruslah dilakukan dalam kerangka keberlanjutan. Dalam konteks ini apabila pengembangan masyarakat bermaksud membangun tatanan sosial, ekonomi, dan politik baru, maka struktur dan prosesnya harus berkelanjutan. Struktur yang berkelanjutan ditandai dengan pelembagaan pelaksanaan pengembangan masyarakat tidak hanya ditingkat pelaksana proyek tetapi akhirnya beralih ke masyarakat. (Gunardi dan Sarwoprasodjo,2004).

Menurut Adi (2001) sasaran pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat berarti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk meng embangkan kehidupannya, tanpa ada kesan bahwa pengembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal. Memberdayakan masyarakat berarti menempatkan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

Dharmawan (2000) dalam Nasdian dan Dharmawan (2004) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai : a process of having enough

energy enabling people to expand their capabilities, to have greater bargaining power to make their own decisions, and to more easly access to a source of better living. Dari pengertian tersebut pemberdayaan mengandung makna :

1. Memperbesar peluang dalam melakukan pilihan -pilihan ekonomi dan politik. 2. Meningkatkan derajat kebebasan seseorang atau suatu komunitas tertentu

dalam mengembangkan kehidupannya.

3. Meningkatkan kapasitas dalam penguasaan sumberdaya ekonomi. 4. Memiliki posisi dan kewenangan lebih besar dalam menentukan sesuatu.

Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinyanya serta berusaha untuk mengembangkannya. Selanjutnya dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan adalah meningkatkan kemampuan dan memandirikan masyarakat (Mubyarto, 1999)

(3)

Menurut Hary Hikmat (2001), konsep pemberdayaan itu sendiri mempunyai dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan mandiri melalui organisasi. Kecenderungan kedua, menekankan para proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Pemberdayaan masyarakat sangat berkaitan dengan proses kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi di pedesaan dengan istilah lain pemberdayaan masyarakat identik dengan perekonomian rakyat untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Mubyarto (2000), mengatakan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah kebijaksanaan dan program yang telah lama dikembangkan oleh pemerintah dalam membantu ekonomi rakyat sebagai kegiatan produksi bukan kegiatan konsumsi.

Pemberdayaan sebagai suatu program harus tetap direncanakan secara serius dan lebih memfokuskan pada upaya-upaya yang membuat masyarakat agar lebih pandai, mampu mengembangkan komunikasi antara mereka, sehingga pada akhirnya mereka dapat saling berdiskusi secara konstruktif dan mengatasi permasalahan yang ada. Jadi tatkala agen perubahan yang berasal dari luar komunitas baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah telah menyelesaikan programnya, maka pemberdayaan sebagai proses tetap berlangsung pada komunitas tersebut.

2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal

Menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmaja (2004), Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan kerjasama seluruh komponen masyarakat di suatu daerah (lokal) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kualitas hidup seluruh masyarakat di dalam komunitas. PEL diperlukan karena selama ini daerah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam, manusia dan sosial budaya,

(4)

belum termanfaatkan secara optimal dalam rangka pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Keberhasilan program PEL sangat ditentukan oleh motivasi pemerintah Pusat/Daerah dalam merencanakan, memformulasikan dan mengimplementasikan program-program Otonomi Daerah.

Menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmaja (2004), Pengembangan ekonomi lokal memberi kesempatan kepada pemerintah lokal, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat lokal untuk secara bersama-sama pro-aktif berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan lingkungan bisnisnya sehingga mereka mampu berkompetisi dengan daerah lainnya, bahkan internasional. Pengemb angan ekonomi lokal difokuskan pada upaya peningkatan daya saing (competitiveness), peningkatan pertumbuhan, dan restribusi pertumbuhan tersebut melalui pembentukan usaha kecil dan menengah (SME:

small and medium enterprises ) dan penciptaan lapangan kerja (job creation ).

Pengembangan Ekonomi Lokal pada lintasan terakhir adalah perbaikan kesejahteraan dan terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, sedangkan kemiskinan tersebut dicirikan : rendahnya kemampuan masyarakat dalam meningkatkan penguasaan sumb er daya lokal (Syaukat dan Hendrakusumaatmaja, 2004). PEL yang mampu menyentuh kelompok lemah tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi memerlukan keberpihakan terhadap kelompok sasaran berupa kebijakan pemerintah daerah dan upaya pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat, harus dilakukan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan yaitu pemanfaatan sumber daya alam dengan memperhatikan kelestarian sumber daya tersebut. Syaukat dan Sumarti (2004) menjelaskan bahwa, sumber -sumber daya saing ekonomi lokal antara lain : lahan, tenaga kerja, dan modal.

Lebih lanjut Syaukat dan Sumarti (2004), mengatakan bahwa pada umumnya tingkat kepemilikan modal di desa rendah, karena banyaknya masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Ekonomi petani peasant (petani gurem) dapat ditingkatkan melalui pembentukan modal yang efektif dalam aktivitas-aktivitas tradisional. Tabungan dalam masyarakat peasant (petani gurem) bisa dilakukan dalam bentuk uang atau benda seperti : perhiasan, padi dan sebagainya. Dalam masyarakat peasant (petani gurem), asset yang dipunyai bisa

(5)

digolongkan dalam beberapa kategori yang tidak bisa dipertukarkan posisinya, mancakup : (1) makanan dan barang -barang; (2) barang-barang modal regular seperti sapi, logam dan; (3) kepemilikan yang lebih berharga seperti hak pemilikan lahan (Firth dan Yamey, 1969) sebagaimana dikutip oleh Syaukat dan Sumarti (2004).

Berdasarkan pendapat tersebut di atas pengembangan ekonomi lokal melalui kegiatan usaha simpan pinjam sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki komunitas . Menurut Sumodiningrat (1996) bahwa dalam penyaluran kredit kepada pengusaha kecil menengah harus melalui lembaga keuangan pedesaan yang sesuai dengan pola usaha masyarakatnya. Untuk itu diperlukan syarat-syarat bagi lembaga keuangan pedesaan supaya mampu berkembang, yaitu: (1) harus mencerminkan kebutuhan masyarakat; (2) mudah diawasi, dipantau dan dikelola oleh masyarakat setempat; (3) menguntungkan bagi masyarakat maupun lembaga; (4) memberikan pelayanan keuangan yang menjangkau masyarakat sesuai kondisi masyarakat setempat. Dalam hal ini pengaruh kredit pedesaan adalah sebagai berikut : (1) meningkatkan pendapatan masyarakat dilihat dari keragaman usaha, jejaring, peluang kerja dan peningkatan volume usaha; (2) memperbaiki gizi keluarga; (3 ) melepaskan masyarakat miskin dari belenggu pemberi pinjaman gelap; (4) meningkatkan posisi masyarakat dalam pasar produk maupun pasar input; (5) meningkatkan harapan akan masa depan.

Menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmaja (2004), untuk dapat mengukur keberhasilan suatu pembangunan khususnya dalam pengembangan ekonomi lokal dapat menggunakan beberapa indikator-indikator keberhasilan, yaitu :

1. Indikator Masukan

Adanya kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk program -program terpadu yang berwawasan penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan pada instansi pemerintah, swasta, ornop dan masyarakat. Kebijakan ini haruslah ditopang dengan adanya alokasi dana dari APBN maupun Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk program-program tersebut.

(6)

Terselenggaranya kegiatan-kegiatan program penanggulangan kemiskinan sesuai dengan alokasi jadwal kegiatan dan anggaran dengan mempertimbangkan kesinambungan program.

3. Indikator Keluaran a. Indikator Penghasilan

Jika penghasilan kelompok masyarakat men ingkat dari waktu ke waktu, ini menunjukkan adanya perbaikan tingkat kesejahteraan. Indikatoenya adalah pendapatan perkapita penduduk dan persentase penduduk miskin.

b. Indikator Ketahanan dan Kecukupan Pangan

Dapat dilihat dari sejauh mana ada peningkatan konsumsi bahan pangan, indikatornya antara lain: ketersediaan pangan yang mencukupi, distribusi pangan yang lancar dan konsumsi pangan yang memadai, serta proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bahan bukan makanan.

c. Indikator Pendidikan

Indikator sektor pendidikan untuk mengukur keberhasilan penanggulangan kemiskinan adalah: partisipasi sekolah dan putus sekolah, dan proporsi orang dewasa yang buta huruf.

d. Indikator Kesehatan.

Indikator sektor kesehatan untuk mengukur keberhasilan antara lain: angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan dan angka harapan hidup. e. Indikator Kesempatan Kerja

Indikator kesempatan kerja sebagai alat untuk mengukur keberhasilan penanggulangan kemiskinan antara lain: tingkat upah riil; proporsi tenaga kerja di sektor formal; jum lah pengangguran; tenaga kerja dibawah umur. f. Indikator Sarana dan Prasarana

Indikator sarana dan prasarana yang penting adalah: ketersediaan transportasi, penerangan (listrik), informasi dan ketersedian akses untuk memperoleh air bersih, air minum, dan san itasi yang sehat.

g. Indeks Pembangunan Jender

Merupakan indeks yang menunjukkan upaya untuk mengurangi kesenjangan dalam pencapaian kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Indeks Pembangunan Jender antara lain: angka harapan hidup

(7)

laki-laki dan perempuan; persentase tingkat melek huruf laki-laki dan perempuan; rata-rata lamanya sekolah laki-laki dan perempuan; persentase konstribusi pendapatan laki-laki dan perempuan.

2.3. Usaha Ekonomi Desa – Simpan Pinjam

Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) adalah kegiatan usaha ekonomi desa dalam bidang simpan pinjam yang diusahakan oleh pemerintah desa dan dibentuk berdasarkan hasil musyawarah desa untuk menentukan calon pengurus/pengelola UED-SP yang kemudian dibahas dalam rapat Badan Perwakilan Desa (BPD) agar mendapatkan pengesahan melalui Keputusan Desa (Dirjen PMD,1995)

Tujuan dibentuknya UED-SP adalah (Dirjen PMD, 1995):

1. Menciptakan iklim permodalan yang kondusif dan mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa.

2. Memberikan pinjaman bag i masyarakat yang membutuhkan modal untuk usaha baru dan pengembangan usaha.

3. Membantu pemerintah desa dalam peningkatan sumber Pendapatan Asli Desa (PAD).

4. Mengurangi dan mengatasi praktek negatif sistem ijon, pelepas uang, gadai gelap dan kegiatan lain yang sejenis.

5. Menciptakan pemerataan kesempatan berusaha bagi usaha kecil, tradisional dan usaha informal.

6. Meningkatkan pendapatan dan tabungan masyarakat desa.

7. Membantu masyarakat dalam penyediaan modal yang murah, cepat dan mudah dalam rangka menumbihkembangkan usaha ekonomi desa.

8. Memperkecil ketergantungan akan dana bantuan pemerintah dalam pengembangan usaha ekonomi d esa.

9. Menciptakan jiwa kewirausahaan bagi masyarakat desa.

Hak dan kewajiban anggota UED-SP diatur dalam anggaran dasar, antara lain (a) setiap anggota masyarakat yang berdomisili di desa berhak menjadi anggota UED-SP apabila memenuhi persyaratan sebagai anggota; (b) persyaratan menjadi anggota UED-SP adalah masyarakt desa yang telah membayar simpanan

(8)

pokok pendirian; (c) simpanan pokok pendirian untuk setiap anggota ditetapkan minimal Rp. 2000,- per anggota, dapat dibayar secara angsuran paling lama dua bulan sejak permohonan menjadi anggota; (d) simpanan pokok tidak boleh diambil pemiliknya selama yang bersangkutan menjadi anggota UED -SP ; (e) setiap peminjam pada UED-SP wajib menyetor simpanan wajib pinjam (simwapin). Besarnya simwapin ditetapkan minimal 10 persen dari pokok pinjaman; (f) simwapin dapat diambil oleh anggota setelah pinjaman lunas.

Pengelola UED-SP terdiri dari : Ketua, Kasir dan Tata Usaha yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan musyawarah LMD/BPD yang dinyatakan dengan Surat Keputusan Desa serta mempunyai masa kerja jabatan maksimal lima tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali. Besarnya honorarium pengelola ditetapkan 2,5 persen dari jumlah pokok pinjaman yang diterima. Dalam anggaran dasar dijelaskan bahwa fungsi pengawasan terhadap pengelolaan UED-SP dilakukan oleh komisaris yang beranggotakan : Ketua LKMD, Kepala Desa/Lurah dan salah satu anggota yang ditunjuk untuk mewakili anggotanya.

Sumber modal UED-SP diperoleh dari : (1) modal sendiri : simpanan pokok, simpanan wajib pinjam, modal cadangan, modal gabungan, hibah; (2) modal bantuan ; berasal dari pemerintah atau bantuan pihak luar yang tidak mengikat; (3) modal pinjaman dan lembaga perbankan atau lembaga-lembaga lain serta dari masyarakat/anggota. Selanjutnya Sisa Hasil Usaha (SHU) UED-SP adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil transaksi dikurangi dengan pengeluaran dan penyusutan barang-barang inventaris dalam satu tahun buku. Pembagian SHU ditetapkan berdasarkan anggran dasar yaitu : 25 persen untuk modal cadangan; 10 persen untuk anggota; 40 persen untuk honorarium pengelola; 10 persen untuk kontribusi pemerintahan desa; 10 persen untuk tenaga asistensi dan 5 persen untuk pendidikan pengelola UED-SP. Administrasi keuangan UED -SP menggunakan tahun buku dari 1 Januari sampai 31 Desember, dan UED-SP dapat saja dibubarkan jika terjadi kebangkrutan atau kerugian berdasarkan keinginan masyarakat melalui musyawarah BPD.

2.4. Pengembangan Kapasitas dalam Penguatan Kelembagaan

Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung istilah social

(9)

istilah social institution tersebut, yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku masyarakat. Koentjaraningrat (1964) dalam Nasdian dan Utomo (2004) mengatakan pranata sosial sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas -aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Bertrand (1974) dalam Nasdian dan Utomo (2004) mendefinisikan kelembagaan sosial sebagai tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi, dan sistem sosial lainnya.

Menurut Syahyuti (2003), di dalam setiap kelembagaan terdapat dua bagian yang membangun kelembagaan tersebut. Kedua bagian tersebut adalah aspek-aspek kelembagaan dan aspek-aspek organisasi. Pembedaan dalam melihat kelembagaan melalui aspek kelembagaan dan aspek organisasi bertujuan agar dapat menganalisa kelembagaan tersebut secara mendalam. Aspek kelembagaan merupakan sisi dinamis yang lebih bersifat kultural dari suatu kelembagaan, sedangkan aspek keorganisasian merupakan sisi statisnya yang lebih bersifat struktural. Jika aspek kelembagaan fokus utama kajian adalah perilaku dengan inti kajiannya adalah nilai (value), aturan (rule), dan norma (norm), maka fokus utama dari aspek keorganisasian adalah struktur dengan inti kajiannya pada peran (roles) Syahyuti (2003), mengidentifikasikan permasalahan dalam pengembangan kelembagaan, khususnya kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution) sebagai berikut :

1. Kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal bukan vertikal. Kelembagaan tersekat-sekat atas komoditas tertentu tanpa ada struktur yang komprehensif yang dapat menyatukan mereka dengan pihak lain yang melakukan kegiatan berbeda secara vertikal.

2. Kelembagan dibentuk untuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan kontrol dari pelaksana program, bukan untuk peningkatan sosial

capital masyarakat.

3. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam dan tidak memberikan ruang pada kenyataan pluralisme yang ada di masyarakat.

4. Pembinaan yang dijalankan cenderung individual.

5. Pengembangan kelembagaan selalu mengutamakan jalur struktural dan lemah dari pengembangan aspek kultural.

(10)

6. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya materialistik. 7. Kelembagaan yang baru kadang merusak kelembagaan yang telah ad a.

8. Pengembangan kelembagaan lebih merupakan jargon politik dari pada kenyataan riil dilapangan.

Menurut Eade (1997) dalam Nasdian dan Utomo (2004), pengembangan kapasitas kelembagaan terfokus pada lima isu pokok berikut :

1. Pengembangan kapasitas sering digunakan secara sederhana untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif mengimplementasikan proyek -proyek pembangunan. Kelembagaan dengan demikian merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Pengembangan kapasitas dapat juga menunjuk pada upaya mendukung organisasi untuk menjadi katalis dialog politik dan atau memberikan kontribusi dalam mencari alternatif pembangunan. Pandangan ini menekankan peran mendemokratisasikan organisasi non pemerintah dan organisasi berbasiskan masyarakat dalam “masyarakat madani”.

3. Jika pengembangan kapasitas adalah suatu cara untuk mencapai tujuan, kemudian yang dimaksudkan oleh lembaga-lembaga yang ikut serta, maka fokus pengembangan adalah mengembangkan hubungan antara struktur, proses, dan kegiatan organisasi yang menerima dukungan dan kualitas serta jumlah output dari hasil kerjanya.

4. Jika pengembangan kapasitas adalah tujuan akhir itu sendiri, maka fokusnya adalah misi organisasi yang berimbang, dan pertautannya dengan lingkungan eksternalnya, strukturnya dan aktivitasnya.

5. Jika pengembangan kapasitas adalah suatu proses penyesuaian, maka fokusnya adalah membantu mitra kerja menjadi lebih mandiri dan aktor otonom dalam hubungan jangka panjang atau penyertaan donor dan agen -agen yang relevan lainnya.

Keberhasilan suatu kelembagaan dipengaruhi oleh kuatnya kepemimpinan serta adanya manajemen yang baik dalam kelembagaan tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Israel (1992) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kekembagaan adalah:

(11)

1. Faktor-faktor eksogen: faktor yang mempengaruhi seluruh negara, wilayah atau sektor untuk periode tertentu, misalnya: banjir, kekeringan, peperangan, krisis ekonomi, perubahan-perubahan penting dalam kebijakan ekonomi.

2. Kepemimpinan individu-individu yang menonjol.

3. Manajemen yang baik mulai dari perencanaan, pengorganisasiaan, pelaksanaan serta pengawasan.

4. Komitmen.

Pemberdayaan masyarakat selain meliputi penguatan individu anggota masyarakat sendiri, juga meliputi penguatan pranata. Pranata atau kelembagaan yang dimaksud baik berupa kelembagaan atau yang bersifat “badan” atau organisasi, maupun kelembagaan sosial. Kelembagaan sosial disini merupakan bentuk nyata dari pemanfaatan modal sosial serta kemandirian yang dimiliki masyarakat.

Konsepsi modal sosial merupakan konsepsi yang luas, Puthnam (1993) dalam Tonny dan Utomo (2004) mendefinisikan modal sosial sebagai elemen -elemen dalam masyarakat yang digunakan untuk memudahkan tindak kolektif (collective action). Elemen -elemen tersebut berupa kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Ini senada dengan yang diungkapkan oleh Fedderke dkk (1999) dalam Tonny dan Utomo (2004) bahwa “modal sosial” berarti ciri-c iri dari organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan sosial yang memfasiltasi koord inasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama.

2.5. Kerangka Analisis

Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk memberikan kemampuan kepada masyarakat agar dapat mandiri dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah. Setiap komunitas memiliki potensi atau kekuatan yang dapat didayagunakan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tidak semua komunitas menyadari hal tersebut, khususnya kelompok miskin yang memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu diperlukan dorongan/motivasi dari pihak lain untuk memberdayakan masyarakat miskin.

(12)

Dari pengertian pemberdayaan yang dikemukan oleh Dharmawan (2000), pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi dapat dilakukan dengan memperbesar peluang masyarakat dalam melakukan pilihan-pilihan ekonomi dan politik serta menin gkatkan kapasitas masyarakat dalam penguasaan sumberdaya ekonomi. Hal ini sejalan dengan tujuan pengembangan ekonomi lokal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan dapat dicirikan dengan rendahnya kemampuan masyarakat dalam meningkatkan penguasaan sumber daya lokal.

Salah satu sumber daya saing ekonomi lokal di samping ketersediaan lahan dan tenaga kerja adalah ketersediaan modal yang ada pada masyarakat. Rendahnya kepemilikan modal terutama di masyarakat desa, dapat diatasi dengan keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Saefuddin (2003) mengatakan bahwa keberadaan LKM telah lama menjadi sarana yang efektif untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil, di samping itu LKM merupakan pendekatan terbaik dalam menanggulangi kemiskinan, karena dapat berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan berbagai jasa keuangan, untuk kegiatan produktif maupun konsumtif bagi keluarga miskin.

Salah satu lembaga mikro tersebut adalah Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), yang merupakan program pemerintah untuk menggerakkan usaha ekonomi produktif di pedesaan dengan jalan membuka akses terhadap modal usaha. Tujuan pokok UED-SP diantaranya adalah menciptakan iklim permodalan yang kondusif dan mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa dan memberikan pinjaman bagi masyarakat yang membutuhkan modal untuk usaha baru dan pengembangan usaha. Jika dilihat dari derajat pencapaian tujuan pokok tersebut, maka kinerja UED-SP sebagai lembaga ekonomi lokal belum mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat desa terutama masyarakat ekonomi lemah.

UED-SP merupakan kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted

institution), dimana UED -SP dijadikan alat untuk menjalankan program

pengembangan masyarakat dari pemerintah. Karena UED-SP adalah kelembagaan yang diintroduksikan oleh pemerintah dan bukan merupakan kelembagaan tumbuh dan berkembang dari masyarakat, menyebabkan kurangnya pemahaman

(13)

masyarakat tentang norma-norma dan aturan -aturan yang berlaku di UED-SP. Kurangnya pemaham an ini sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam kegiatan UED-SP. Masyarakat tidak memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai anggota UED-SP. Pemahaman yang kurang terhadap norma dan aturan SP juga mengakibatkan pemanfaatan bantuan modal dari UED-SP untuk kegiatan-kegiatan yang konsumtif.

Kelembagaan UED-SP sebagai lembaga keuangan desa memegang peranan yang penting dalam pengembangan ekonomi lokal di Desa Koto Teluk. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang efektif. Efektivitas lembaga dapat ditingkatkan melalui penguatan kapasitas baik secara kelembagaan maupun inidividu. Umumnya keterbatasan kapasitas individu dipengaruhi oleh aspek pengetahuan tentang norma yang berlaku pada kelembagaan UED-SP dan juga dipengaruhi oleh ketrampilan anggota dalam mengelola usahanya. Keterbatasan pengetahuan tentang norma UED-SP ini berimbas pada rendahnya partisipasi anggota pada kegiatan -kegiatan kelembagaan. Kapasitas kelembagaan (aspek Keorganisasian) dapat ditinjau melalui manajemen yang dijalankan oleh kelembagaan tersebut dan bagaimana kepemimpinan suatu kelembagaan itu.

Agar kelembagaan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam dapat berkembang dan melaksanakan fungsinya dalam pengembangan eko nomi lokal, maka harus diupayakan penguatan kelembagaan dengan memperhatikan dan memanfaatkan modal sosial dan faktor sosio -kultural serta struktur yang ada di masyarakat. Untuk memujudkan hal tersebut diperlukan program pemberdayaan masyarakat yang didukung partisifasi masyarakat itu sendiri. Keberhasilan program pengembangan kelembagaan UED-SP ini diharapkan dapat meningkatkan keberdayaan masyarakat baik secara institusional dan individual.

Berdasarkan uraian diatas, maka alur kerangka pemikiran yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

(14)

PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UEDSP DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Performa Organisasi 1. Perkembangan Modal 2. Perkembangan Anggota 3. Perkembangan Jenis Kegiatan Kapasitas Anggota 1. Karakteristik 2. Pengetahuan 3. Ketrampilan Kapasitas Kelembagaan 1. Karakteristik Pengurus 2. Manajemen 3. Kepemimpinan Kelembagaan UED-SP Performa Anggota 1. Tingkat Partisipasi 2. Pemanfaatan Modal Potensi Ekonomi Lokal Modal Sosial Keberdayaan Kelembagaan 1. Kemandirian 2. Internalisasi Norma Pengembangan Ekonomi Lokal

Referensi

Dokumen terkait

GNAPS berawal apabila host rentan yang terpapar kuman Streptokokus grup A strain nefritogenik bereaksi untuk membentuk antibodi terhadap antigen yang menyerang. GNAPS merupakan

yang sangat erat, masing-masing konstrak tersebut mencerminkan satu konstrak yang lain Frawley dalam (Forrester, 1996). 222) pendapat yang ada tentang keberhubungan antara bahasa

eksorsis umumnya bukan imam, tetapi sekarang yang dapat melakukan eksorsisme resmi hanya seorang imam. Tetapi itu pun tidak setiap imam, hanya imam yang telah ditunjuk uskup

Variabel independent adalah tingkat pengetahuan Wanita Penjaja Seks (WPS) tentang HIV/AIDS Variabel dependent adalah perilaku terhadap tes HIV/AIDS Jenis penelitian

Pengetahuan siswa menjadi lebih luas dan siswa lebih mudah dalam memahami pelajaran, karena internet dapat membantu siswa untuk mencari materi yang tidak dipahami oleh

Ilmu astronomi berasal dari kata aster yang berar Ɵ bintang disebut juga ilmu falak atau kosmografi ( kosmos = ruang semesta). Ilmu astronomi atau yang lebih dikenal dengan

Development of gonad maturity stage of anchovy (Stolephorus insularis) caught by bagan rambo in Makassar Strait during the experiment (Number of samples were 6444

skor dari observer I yaitu 54 dari skor maksimal 65 dengan presentase nilai rata-rata yaitu 64.62% termasuk kategori baik, sedangkan jumlah skor yang diperoleh dari