• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Parameter Seismik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV Parameter Seismik"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV Parameter Seismik

Faktor yang menentukan dalam PSHA adalah input parameter yang berupa seismic hazard parameter. Seismic hazard parameter yang diperlukan meliputi recurrence rate b-value, magnitude maksimum, slip rate, dan fungsi atenuasi. Parameter seismic hazard yang akurat dan dapat diandalkan diperoleh melalui metode yang dimulai dengan melakukan studi terhadap data-data kejadian gempa historis yang pernah terjadi Pulau Sumatera dan sekitarnya. Selanjutnya data-data kejadian gempa tersebut dikumpulkan dan diolah sesuai kriteria yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil pengolahan tersebut dapat dibuat model seismotektonik pada area yang akan dianalisis dan dilakukan perhitungan dengan metode-metode tertentu untuk memperoleh parameter b-value dan annual rate, magnitude maksimum dan slip rate serta penentuan fungsi atenuasi yang paling sesuai.

Metode-metode untuk mendapatkan seismic hazard parameter secara lengkap dijelaskan dalam sub-bab berikut.

IV.1 Pengumpulan dan Pengolahan Data Gempa

Data gempa yang digunakan meliputi seluruh data kejadian gempa yang pernah terjadi di wilayah Pulau Sumatera dan sekitarnya dan mempengaruhi wilayah Pulau Sumatera dan sekitarnya yang dicatat oleh berbagai institusi seperti :

a. National Earthquake Information Center-United States Geological Survey (NEIC-USGS) Amerika Serikat yang merangkum beberapa katalog dari berbagai sumber yaitu The Bureau Central International de Seismologie (BCIS), The International Seismological Summaries (ISSN), The International Seismological Center (ISC), The Preliminary Determination of Epicenters (PDE), dan katalog-katalog perorangan seperti Abe, Abe & Noguchi, dan Gutenberg & Richter.

(2)

Data yang didapatkan dari berbagai katalog di atas selanjutnya dipilih dan dikumpulkan berdasarkan kriteria pencarian sebagai berikut :

Koordinat Lintang : 10o LU – 10o LS Koordinat Bujur : 90o BT – 145o BT Rentang Magnitude : 5,0 -9,0

Rentang Kedalaman : 0 - 250 km

Gambar IV-1 berikut menunjukkan sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia dan sekitarnya.

Gambar IV-1 Sebaran episenter gempa di Indonesia. tahun pengamatan 1897-2007 dengan magnitude minimum 5.0 dan kedalaman maksimum 250 km

Dalam PSHA, data kejadian gempa yang telah dipilih dan dikumpulkan harus diolah sesuai kaidah statistik yang bertujuan untuk meminimalisasi deviasi yang mungkin terjadi serta memberikan hasil analisis yang lebih akurat. Pengolahan data gempa yang dimaksud terdiri dari beberapa tahapan meliputi konversi skala magnitude, analisis pemisahan gempa utama dan gempa awalan/susulan dan analisis kelengkapan data gempa.

(3)

IV.1.1 Konversi Skala Magnitude

Besarnya suatu kejadian gempa dapat diketahui dengan mengetahui besarnya magnitude gempa yang diukur menggunakan berbagai skala magnitude seperti magnitude lokal (ML) atau umum dikenal dengan skala Richter (SR), magnitude

gelombang permukaan (Ms), magnitude gelombang badan (mb) dan momen

magnitude (Mw). Dalam analisis seismic hazard diperlukan data-data gempa yang

memiliki skala magnitude yang sama. Sedangkan data-data gempa yang dikumpulkan dari berbagai katalog memiliki skala yang berbeda-beda sehingga perlu di konversi ke dalam satu skala magnitude tertentu. Hubungan antar skala magnitude diperkenalkan oleh Idriss (1985) seperti terlihat dalam Gambar IV-2 berikut.

Gambar IV-2 Hubungan antar skala magnitude (Idriss, 1985)

Untuk memberikan hasil analisis seismic hazard yang akurat, skala magnitude yang digunakan dalam studi ini adalah skala momen magnitude (Mw) karena skala

(4)

Konversi skala magnitude ke dalam skala momen magnitude dilakukan menggunakan persamaan-persamaan yang diperkenalkan oleh Hendriyawan (2000) untuk wilayah Indonesia sebagai berikut :

Mw = 0.99mb+0.253 (IV.1)

Mw = 0.08Ms2+0.04Ms+3.01 (IV.2)

IV.1.2 Analisis Pemisahan Gempa Utama

Data-data yang diperoleh dari berbagai katalog gempa merupakan data –data kejadian gempa yang terdiri dari gempa utama (main shocks) dan gempa awalan/susulan (foreshocks/aftershocks) Analisis seismic hazard dengan metode probabilistik memerlukan input parameter berupa data gempa independent (main shocks) karena adanya data gempa dependent (foreshocks/aftershocks) dalam analisis akan memberikan hasil perhitungan yang overestimated dalam penentuan tingkat seismic hazard (Pacheco & Sykes, 1992).

Pemisahan gempa utama (main event) dengan gempa awalan/susulan (dependent event) dilakukan berdasakan kriteria waktu (time windows) dan kriteria jarak (distance windows). Kriteria ini menggunakan kontrol waktu dan jarak dari suatu kejadian gempa terbesar dalam suatu rangkaian kejadian gempa. Suatu gempa susulan diidentifikasi melalui kriteria ini apabila berada dalam suatu rentang waktu dan jarak yang ditentukan menurut suatu magnitude gempa tertentu. Terdapat beberapa kriteria waktu dan jarak yang diajukan oleh beberapa ahli seperti Gardner and Knopoff (1974), Arabasz and Robinson (1976), Uhrhammer (1986). Kriteria waktu dan jarak dari beberapa peneliti dapat dilihat dalam Gambar IV-3 dan Gambar IV-4.

(5)

Gambar IV-3 Kriteria time windows untuk analisis pemisahan gempa utama

Gambar IV-4 Kriteria distance windows untuk analisis pemisahan gempa utama

Dalam studi ini analisis pemisahan gempa utama dilakukan menggunakan kriteria time windows dan kriteria distance windows dari Gardner and Knopoff (1974) dengan bantuan program komputer SHAP (2005) dari SEER. Hasil analisis pemisahan gempa utama dapat dilihat dalam Gambar IV-5 dan Gambar IV-6 untuk wilayah Indonesi a dan dalam Gambar IV-7 untuk wilayah Sumatera ,

(6)

Gambar IV-5 Sebaran episenter gempa utama di indonesia. tahun pengamatan 1897-2007 dengan magnitude minimum 5.0 dan kedalaman maksimum 250 km

5.0 ≤ Mw ≤ 6.0 6 < Mw ≤ 7.0 7 < Mw ≤ 8.0 8 < Mw ≤ 9.0 Mw ≥ 9.0

Gambar IV-6 Sebaran episenter gempa utama di indonesia berdasarkan magnitude. tahun pengamatan 1893 – 2007 dengan magnitude minimum 5.0 dan kedalaman

(7)

5.0 ≤ Mw ≤ 6.0 6 < Mw ≤ 7.0 7 < Mw ≤ 8.0 8 < Mw ≤ 9.0 Mw ≥ 9.0

Gambar IV-7 Sebaran episenter gempa utama di pulau sumatera dan sekitarnya berdasarkan magnitude. tahun pengamatan 1893 – 2007 dengan magnitude

minimum 5.0 dan kedalaman maksimum 250 km

IV.1.3 Analisis Kelengkapan Data Gempa

Faktor yang menentukan dalam analisis seismic hazard secara probabilistik adalah kelengkapan data gempa. Pada umumnya catatan untuk kejadian gempa dengan magnitude besar lebih lengkap dibandingkan untuk kejadian gempa dengan magnitude kecil. Hal ini disebabkan oleh kesensitifan seismograf yang semakin berbeda dari waktu ke waktu dimana hal ini dipengaruhi oleh keberadaan stasiun seismograf dan kerapatan populasinya. Biasanya kesalahan lebih sering ditemukan pada periode pengamatan awal dimana data gempa tidak lengkap dan hanya gempa-gempa besar saja yang tercatat. Apabila data-data gempa seperti ini

(8)

digunakan untuk menentukan parameter seismic hazard berupa parameter a-b menggunakan formula Gutenberg-Richter, maka akan menghasilkan nilai parameter yang overestimated untuk gempa besar dan underestimated untuk gempa kecil.

Stepp (1973) mengajukan kriteria untuk menganalisis periode yang lengkap untuk independent event dari beberapa magnitude gempa dengan cara membuat kurva hubungan antara frekuensi independent event dalam interval magnitude yang berbeda-beda, sebagai fungsi dari waktu. Frekuensi kejadian yang diamati didefinisikan sebagai jumlah kejadian N yang tercatat selama T tahun terakhir dibagi dengan T. Apabila diasumsikan seismic rate adalah konstan untuk jangka waktu yang lama, maka waktu ketika observed rate mulai berkurang secara signifikan adalah waktu dimana data pada katalog gempa dianggap tidak lengkap. Hasil analisis kelengkapan data gempa untuk wilayah Sumatera menunjukkan gempa dengan magnitude Mw ≤ 7,0 lengkap dalam 36 tahun terakhir, magnitude 7 < Mw ≤ 8,0 lengkap dalam 42 tahun terakhir, dan magnitude Mw > 8,0 lengkap dalam 110 tahun terakhir. Kurva kelengkapan Stepp untuk lokasi studi dapat dilihat dalam Gambar IV-8 dan Gambar IV-9 berikut.

(9)

0.01 0. 1 1 10 10 0 100 0 1 10 100 1000 1000 0 Ti m e ( Y e a r) λ 5 ≤ M < 6 6 ≤ M < 7 7 ≤ M < 8 M ≥ 8

(10)

0. 0 1 0. 1 1 10 1 10 1 00 100 0 1 000 0 Ti m e ( Y e a r) σ 5 ≤ M < 6 6 ≤ M < 7 7 ≤ M < 8 M ≥ 8

(11)

IV.2 Pemodelan Sumber Gempa dan Profil Hiposenter

Dalam analisis seismic hazard, perlu dibuat suatu model analisis berupa model sumber gempa yang menggambarkan historis kejadian gempa dan karakteristik gempa yang terjadi dalam suatu wilayah. Pemodelan sumber gempa dilakukan berdasarkan interpretasi terhadap kondisi seismotektonik suatu wilayah yang diketahui dari data-data geologi, geofisika, dan seismologi. Selanjutnya model-model ini dikelompokkan ke dalam tiap-tiap zona sumber gempa berdasarkan profil hiposenter di sekitar lokasi yang ditinjau. Zona sumber gempa dalam studi ini meliputi 1) zona subduksi, dan 2) zona transformasi/shallow crustal. Zona subduksi merupakan zona pertemuan lempeng dimana lempeng samudera menunjam ke dalam lempeng benua atau dua benua yang saling menumpu dan menghasilkan gempa-gempa besar (Kertapati, 2006). Zona subduksi terbagi menjadi zona megathrust/interplate yang berada pada kedalaman kurang dari 50 km dan zona Benioff/intraslab yang berada pada kedalaman lebih dari 50 km seperti terlihat dalam Gambar IV-10.

Gambar IV-10 Model zona subduksi yang terdiri dari zona megathrust dan zona Benioff (Crouse, 1992)

(12)

Gambar IV-11 Zona sumber gempa bumi indonesia (Kertapati, E.K., Sonny

Mawardi. 2000)

Sebaran episenter gempa di Pulau Sumatera dan sekitarnya yang ditunjukkan dalam Gambar IV-13 menunjukkan bahwa distribusi kejadian gempa subduksi dimulai dari batas pertemuan lempeng samudra India-Australia dengan lempeng benua Eurasia hingga patahan Sumatera dan dilanjutkan dengan gempa-gempa dangkal pada patahan Sumatera tersebut. Berdasarkan model Newcomb dan McCann (1987) (Gambar IV-12) dan distribusi episenter Gambar IV-13, model sumber gempa yang terdiri dari beberapa segmen dibuat seperti dalam Gambar IV-14.

(13)

Gambar IV-12 Segmentasi dan potongan melintang profil hipisenter dalam zona gempa di wilayah Indonesia (Newcomb & McCAnn, 1987)

Newcomb & McCann memperkirakan besarnya sudut pennunjaman dalam Gambar IV-12 sebesar 40°~50° di bagian selatan Sumatera namun tidak teridentifikasi secara jelas di bagian utara Sumatera.

Profil hiposenter untuk masing-masing segmen dalm studi ini seperti terlihat dalam Gambar IV-15 sampai Gambar IV-24 menunjukkan bahwa zona subduksi dimulai dari zona megathrust pada batas pertemuan lempeng dengan sudut yang landai dilanjutkan dengan sudut penunjaman curam pada zona Benioff yang berjarak ± 200~300 dari batas pertemuan lempeng.

(14)

Subduksi Megathrust Subduksi Benioff Shallow Crustal

Gambar IV-13 Sebaran episenter gempa di pulau sumatera dan sekitarnya berdasarkan mekanisme gempa

Zona Subduksi Megathrust Zona Subduksi Benioff

Gambar IV-14 Zona sumber gempa subduksi megathrust dan benioff di pulau sumatera dan sekitarnya

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

(15)

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) Ke da la ma n ( m ) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal Banda Aceh

Gambar IV-15 Potongan melintang profil hiposenter segmen-1

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) Ke da la ma n ( m ) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal

Gambar IV-16 Potongan melintang profil hiposenter segmen -2

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K ed al aman ( m) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal

(16)

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K ed al aman ( m) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal

Gambar IV-18 Potongan melintang profil hiposenter segmen -4

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) Kedal a m a n ( m ) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal

Gambar IV-19 Potongan melintang profil hiposenter segmen -5

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K e da la m a n ( m ) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal Padang

(17)

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K ed al aman ( m) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal

Gambar IV-21 Potongan melintang profil hiposenter segmen -7

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K e da la m a n ( m ) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal Bengkulu

Gambar IV-22 Potongan melintang profil hiposenter segmen -8

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K e da la m a n ( m ) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal

(18)

0 50 100 150 200 250 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Jarak Horizontal (km) K edal aman ( m) Megathrust Interface Benioff Interface Megathrust Benioff Shallow Crustal Bandar

Gambar IV-24 Potongan melintang profil hiposenter segmen -10

Besarnya sudut penunjaman pada jalur subduksi Pulau Sumatera dan sekitarnya bervariasi antara 14,5°~19,5° untuk zona megathrust dan 58,0°~72,5° untuk zona Benioff. Sudut penunjaman rata-rata lebih curam pada sisi selatan dari jalur subduksi ini. Hasil lengkap sudut penunjaman untuk tiap-tiap zona dapat dilihat dalam Tabel IV-1. Guna keperluan analisis seismic hazard, sudut penunjaman untuk megathrust dan Benioff diambil sebesar rata-rata dari seluruh zona, yaitu 16,8° untuk zona megathrust dan 63,1° untuk zona Benioff.

Tabel IV-1 Sudut penunjaman tiap zona pada zona subduksi megathrust dan benioff pulau sumatera dan sekitarnya

Megathrust Benioff North Domain 1 14.5 58 North Domain 2 15.5 60 North Domain 3 16.5 58 Central Domain 4 19.5 63 Central Domain 5 19 60.5 South Domain 6 19.5 71.5 South Domain 7 16.5 72.5 South Domain 8 14.5 60 South Domain 9 16.5 61 South Domain 10 16 66.5 16.8 63.1 Sudut Penunjaman (°) Rata-rata Segmen Zona

(19)

IV.3 b-Value dan Annual Rate

Metode paling sederhana dalam menentukan parameter a-b ini adalah metode Least Square (LS) yang diperkenalkan oleh Gutenberg-Richter, dimana distribusi kejadian gempa umumnya diasumsikan mengikuti hubungan frekuensi magnitude. Nilai b dari Gutenberg-Richter recurrence relationship ini menngambarkan perbandingan probabilitas ukuran magnitude gempa yang terjadi sehingga parameter ini juga dapat dikatakan sebagai oarameter seismisitas yang menggambarkan karakteristik tektonik kegempaan suatu daerah. Sedangkan nilai a lebih menunjukkan karakteristik data pengamatan yang tergantung lamanya pengamatan dan tingkat seismisitas suatu daerah. Konstanta a dan b didapat dari hasil regresi catatan gemoa yang pernah terjadi pada sumber gempa. Hubungan antara banyaknya kejadian gempa dan parameter a-b dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :

log N(m) = a-bm atau Ln N(m) =α-βm (IV.3)

dimana N(m) adalah banyaknya gempa dengan magnitude lebih besar dari m yang terjadi pada periode tertentu, α=2,303a dan β=2,303b.

Kekurangan metode LS ini adalah metode ini tidak dapat digunakan secara langsung untuk menghitung mean annual rate dari kombinasi katalog gempa yang lengkap dengan periode pengamatan yang berbeda-beda dimana nantinya akan dihasilkan b-value yang overestimated sehingga untuk gempa-gemopa besar rate-nya akan underestimated.

Berdasarkan kondisi di atas beberapa peneliti telah mengajukan metode-metode untuk menentukan parameter a-bini seperti Weichert (1980) yang , serta Kijko, A. (1989) dan Sellevoll (1992).

a. Metode Weichert (1980)

Metode ini sangat sesuai digunakan untuk menentukan parameter a-bapabila jumlah data kejadian gempa cukup banyak (sekitar 40 atau lebih) dan memberikan

(20)

hasil yang cukup baik. Metode ini juga dapat digunakan untuk menganalisis gabungan data yang memiliki rentang pengamatan yang berbeda. Metode Weichert melakukan analisis secara iteratif dengan metode Newton untuk mendapatkan b-parameter melalui persamaan sebagai berikut :

(

)

(

)

m N m n m t m m t i i i i i i i i i i = = − −

. . exp . . exp . . β β (IV.4) dimana :

N = jumlah data kejadian gempa

ni = jumlah data kejadian gempa dalam suatu interval tertentu

mi = magnitude sentral untuk suatu interval tertentu

ti = periode pengamatan

β = rate kejadian gempa tahunan = 2.303

b. Metode Kijko & Sellevoll (1989)

Metode Kijko & Sellevoll mampu mengkombinasikan data-data gempa besar historik (gempa-gempa signifikan) dengan data-data gempa yang lebih lengkap yang tercatat dalam beberapa puluh tahun terakhir.

Parameter β dan λ diperoleh melalui persamaan sebagai berikut :

C E 1 1 1 φ φ λ = + (IV.5)

[

E C

]

C E X 2 2 3 3 1 φ φ λφ φ β = − − + + (IV.6) dimana :

(

)

(

max

)

2 ro E mo, m E = φ 1 2 2 3 r B B E o E φ φ = +

= = S l i i C n C T 1 1 φ 1 1 roB E = φ

(21)

( (

)

i i

)

S l i i C C D m m E r , / 1 max 2 =

= + φ

= = S l i i C n D T 1 3 φ

X adalah sama dengan magnitude gempa rata-rata yang dihitung dari bagian ekstrem dan complete catalog, n adalah jumlah total kejadian gempa, ri = ni/n

dan:

B1 = ((t)A2-(tA))/(A2-A1)

B2 = ((tX0A)-(t)mmaxA2)/(A2-A1)

Ci = 1-F(mi)

Di = E(mmin, mi)-E(mmin, mmax)F(mi),

E(x,y) = [xA(x)-yA(y)]/[A(x)-A2]

Katalog gempa yang ada umumnya memiliki dua jenis informasi observasi makroseismik dari kejadian gempa besar yang terjadi selama ratusan tahun dan data instrumental yang lengkap selama periode pengamatan yang relatif lebih singkat. Metode yang umum digunakan dalam menentukan parameter aktifitas gempa kurang tepat untuk jenis data seperti ini.

c. Back Allocation

Apabila jumlah data kejadian gempa yang dibutuhkan untuk menghitung a-b – arameter tidak mencukupi, maka parameter a-b yang telah diperoleh dari penggabungan data gempa perlu didistribusikan kembali sesuai dengan jumlah data yang didistribusikan (back allocation). Metode back allocation ini akan memberikan nilai b yang sama untuk tiap zona sumber gempa dan nilai a yang berbeda tergantung pada jumlah data yang didistribusikan.

Besarnya annual rate dan b-value untuk Pulau Sumatera dan sekitarnya dapat dilihat dalam Gambar IV-25 dan Tabel IV-2 di bawah ini.

(22)

Megathrust 1.00E-07 1.00E-06 1.00E-05 1.00E-04 1.00E-03 1.00E-02 1.00E-01 1.00E+00 1.00E+01 1.00E+02 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 Magnitude [N (M mo )] Data Leas t Square Kijko & Sellevol Weichert Benioff 1.00E-07 1.00E-06 1.00E-05 1.00E-04 1.00E-03 1.00E-02 1.00E-01 1.00E+00 1.00E+01 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 Magnitude [N (M mo )] Data Least Square Kijko & Sellevol Weichert Shallow Crustal 1.00E-07 1.00E-06 1.00E-05 1.00E-04 1.00E-03 1.00E-02 1.00E-01 1.00E+00 1.00E+01 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 8.5 Magnitude [N (M mo )] Data Least Square Kijko & Sellevol Weichert

Gambar IV-25 Frekuensi kejadian gempa tiap zona sumber gempa untuk Pulau Sumatera dan sekitarnya

(23)

Tabel IV-2 b-value dan annual rate untuk Pulau Sumatera dan sekitarnya KS W KS W North Domain 0.80 0.86 1.76 2.33 Central Domain 0.80 0.86 2.03 2.84 South Domain 0.80 0.86 5.15 6.85 North Domain 1.10 1.14 1.18 0.99 Central Domain 1.10 1.14 1.56 1.29 South Domain 1.10 1.14 3.08 2.54 North Domain 0.81 0.85 0.67 0.93 Central Domain 0.81 0.85 0.33 0.47 South Domain 0.81 0.85 0.89 1.27

KS : Kijko & Sellevol W : Weichert

b-Value Annual Rate

Benioff Shallow Crustall Megathrust Segmen Zona

IV.4 Magnitude Maksimum dan Slip Rate

Magnitude maksimum dari suatu sumber gempa menggambarkan magnitude terbesar yang diperkirakan dapat terjadi. Sedangkan slip rate menggambarkan kecepatan pergerakan suatu zona sumber gempa relatif terhadap zona lainnya. Magnitude maksimum ditentukan dengan membandingkan gempa historik maksimum dan gempa maksimum yang mungkin terjadi berdasarkan pertimbangan tektonik. Jika periode observasi cukup lama dibandingkan dengan periode ulang gempa maksimum yang mungkin terjadi, maka magnitude gempa historik maksimum dapat dipergunakan sebagai magnitude maksimum dalam perhitungan resiko gempa. Selain itu magnitude maksimum gempa juga dapat ditentukan dari data geologis berupa panjang keruntuhan, luas area keruntuhan, atau perpindahan maksimum yang terjadi di permukaan menggunakan hubungan empiris dalam Tabel II-3. Magnitude maksimum yang digunakan dalam studi dapat dilihat dalam Tabel IV-3.

Slip rate ditentukan berdasarkan hasil evaluasi terhadap data kejadian gempa suatu wilayah yang dimiliki serta kondisi tektonik di wilayah tersebut. Slip rate yang digunakan dalam studi ini diperoleh dari hasil penelitian beberapa ahli seperti Sieh & Natawidjaja tahun 2000 dan Petersen, dkk. tahun 2004 (Tabel IV-4).

(24)

Tabel IV-3 Magnitude maksimum untuk Pulau Sumatera dan sekitarnya North Domain 9.1 Central Domain 9.1 South Domain 9.1 North Domain 8.5 Central Domain 8.5 South Domain 8.5 Aceh Seulimeum 7.9 Tripa 7.9 Barumun-Sumpur 7.9 Renun 7.9 Toru 7.9 Dikit 7.9 Ketaun-Musi 7.9 Kumering 7.9 Manna 7.9 Semangko 7.9 Sianok-Sumani 7.9 Siulak 7.9 Suliti 7.9 Magnitude Maksimum (Mw) Subduksi Shallow Crustal Megathrust Benioff Segmen Mekanisme Gempa

Tabel IV-4 Slip rate untuk Pulau Sumatera dan sekitarnya (Sieh & Natawidjaja,

2000; Petersen, dkk., 2004) North Domain 52 Central Domain 57 South Domain 60 Aceh 27 Seulimeum 27 Tripa 27 Renun 27 Toru 27 Barumun-Sumpur 23 Sianok 11 Sumani 11 Suliti 11 Siulak 11 Dikit 11 Ketaun-Musi 11 Manna 11 Kumering 11 Semangko 11 Sunda 11 Zona Sesar Sumatra

Segmen Slip Rate

(mm/tahun)

(25)

IV.5 Fungsi Atenuasi

Fungsi atenuasi mengalami perkembangan yang signifikan dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh semakin lengkapnya data-data strong motion yang tercatat dari setiap kejadian gempa dimana sebagian besar dari fungsi atenuasi dikembangkan dari wilayah yang memiliki data strong motion tersebut. Namun hingga saat ini belum ada fungsi atenuasi spesifik untuk wilayah Indonesia karena masih kurangnya data peak ground acceleration yang dibutuhkan untuk pembuatan fungsi atenuasi. Oleh sebab itu, analisis seismic hazard untuk wilayah Indonesia dilakukan dengan menggunakan fungsi atenuasi dari daerah lain yang memiliki kemiripan tektonik dan geologi dengan wilayah Indonesia. Pemilihan fungsi atenuasi ini didasarkan pada mekanisme kejadian gempa yang terbagi menjadi zona gempa subduksi dan zona gempa shallow crustal.

Dalam studi ini digunakan fungsi atenuasi yang dikembangkan oleh Youngs (1997) untuk zona gempa subduksi dan fungsi atenuasi dari Boore, Joyner & Fumal (1997) serta Sadigh (1997) untuk zona gempa shallow crustal. Pemilihan fungsi atenuasi ini mengacu pada hasil studi yang dilakukan oleh Firmansjah dan Irsyam (2000) dimana ketiga fungsi atenuasi di atas memliki variabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan fungsi atenuasi lainnya yang ditandai dengan nilai standard error yang lebih rendah seperti terlihat dalam tabel-tabel berikut.

Tabel IV-5 Standard error dari fungsi atenuasi untuk mekanisme gempa reverse slip (Firmansjah & Irsyam, 2000)

Fukushima Campbell Midorikawa Boore JF Sadigh

5.3-5.7 0.31 0.39 0.33 0.3 0.35

5.8-6.2 0.29 0.28 0.28 0.26 0.27

6.3-6.7 0.26 0.22 0.26 0.22 0.23

6.8-7.2 0.2 0.21 0.21 0.21 0.19

σlogY REVERSE SLIP

(26)

Tabel IV-6 Standard error dari fungsi atenuasi untuk mekanisme gempa strike slip (Firmansjah & Irsyam, 2000)

Fukushima Campbell Midorikawa Boore JF Sadigh

5.3-5.7 0.3 0.31 0.28 0.26 0.29

5.8-6.2 0.29 0.28 0.27 0.27 0.27

6.3-6.7 0.24 0.24 0.24 0.25 0.23

6.8-7.2 0.21 0.19 0.22 0.22 0.19

σlogY STRIKE SLIP

MW

Tabel IV-7 Standard error dari fungsi atenuasi untuk mekanisme gempa subduksi (Firmansjah & Irsyam, 2000)

Fukushima Midorikawa Youngs Crouse McVerry

5.3-5.7 0.25 0.29 0.28 0.3 0.25 5.8-6.2 0.27 0.27 0.28 0.28 0.29 6.3-6.7 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 6.8-7.2 0.4 0.36 0.37 0.34 0.32 7.3-7.7 0.54 0.44 0.34 0.33 0.42 7.8-8.2 0.4 0.36 0.37 0.35 0.41

σlogY SUBDUCTION ZONE

MW

Perbandingan dari fungsi atenuasi di atas dapat juga dilihat melalui kurva median untuk tiap-tiap fungsi atenuasi seperti dalam gambar-gambar berikut.

Gambar IV-26 Perbandingan berbagai fungsi atenuasi untuk gempa strike slip dan reverse slip (Firmansjah & Irsyam, 2000)

(27)

Gambar IV-27 Perbandingan berbagai fungsi atenuasi untuk gempa subduksi (Firmansjah & Irsyam, 2000)

1. Youngs (1997)

Fungsi atenuasi di batuan dasar untuk gempa subduksi dibedakan untuk gempa subduksi interface, yaitu gempa subduksi denan sudut penunjaman landai yang terjadi di batas pertemuan lempeng subduksi dan lempeng lainnya dan gempa subduksi intraslab, yaitu gempa subduksi dengan sudut penunjaman tajam yang terjadi pada lempeng subduksi. Fungsi atenuasi terebut berbeda pada konstanta ZT

yang membentuk persamaan sebagai berikut :

( )

(

)

(

M

)

rup e r C M C C M y 0.2418 1.414 1 2 10 3 3ln 1.7818 0.554 ln = + + + − + + T Z H 0.3846 00607 . 0 + + M C C y 4 5 ln = − σ (IV.7) dimana : y = spectral acceleration (g) M = moment magnitude

(28)

H = kedalaman (km) ZT = tipe sumber gempa

= `0 untuk gempa interface dan 1 untuk gempa intraslab

Tabel IV-8 Koefisien yang digunakan dalam fungsi atenuasi Youngs (1997) untuk menentukan pseudo acceleration response spectra dengan 5% damping untuk rock

Site Period (s) C1 C2 C3 C4 C5 PGA 0 0 -2.552 1.45 -0.1 0.075 1.275 0 -2.707 1.45 -0.1 0.1 1.188 -0.0011 -2.655 1.45 -0.1 0.2 0.722 -0.0027 -2.528 1.45 -0.1 0.3 0.246 -0.0036 -2.454 1.45 -0.1 0.4 -0.115 -0.0043 -2.401 1.45 -0.1 0.5 -0.4 -0.0048 -2.36 1.45 -0.1 0.75 -1.149 -0.0057 -2.286 1.45 -0.1 1 -1.736 -0.0064 -2.234 1.45 -0.1 1.5 -2.634 -0.0073 -2.16 1.45 -0.1 2 -3.328 -0.008 -2.107 1.45 -0.1 3 -4.511 -0.0089 -2.033 1.45 -0.1

2. Boore, Joyner & Fumal (1997)

Fungsi atenuasi ini dapat digunakan untuk gempa dengan rentang magnitude M 5.5-7.5 dan jarak episenter tidak lebih dari 80 km. Fungsi atenuasi ini dapat memberikan hasil yang overestimated untuk gempa dengan kedalaman mendekati 20 km atau kurang dari 10 km. Oleh karena itu, persamaan ini tidak disarankan untuk gempa shallow crustal dengan focal depth lebih besar dari 20 km dan jarak episenter lebih kecil dari 10 km. Fungsi atenuasi tersebut adalah sebagai berikut :

(

)

(

)

a s v V V b r b M b M b b Y 6 6 ln ln ln = 1+ 2 − + 3 − 2 + 5 + 2 2 h r r= jb + (IV.8)

b1 = b1SS untuk gempa strike slip

b1 = b1RV untuk gempa reverse slip

(29)

dimana :

Y = peak horizontal accekeration/pseudo acceleration response (g)

M = moment magnitude

rjb = jarak Joyner-Boore (km)

VS = kecepatan geser rata-rata (m/sec)

h = fictitious depth yang ditentukan dari hasil regresi

Fungsi atenuasi ini menggunakan ukuran kuantitatif (kecepatan gelombang geser rata-rata pada 30 m lapisan teratas) untuk mempresentasikan kondisi tanah lokal dan merekomendasikan penggunaan kapasitas gelombang geser untuk kondisi tanah tertentu.

Tabel IV-9 Koefisien yang digunakan dalam fungsi atenuasi Boore et.al. (1997) untuk menentukan pseudo acceleration response spectra dengan 5% damping

Period (s) b1SS b1RV b1ALL b2 b3 b5 bV VA (m/s) h (km) PGA -0.313 -0.117 -0.242 0.527 0 -0.778 -0.371 1396 5.57 0.1 1.006 1.087 1.059 0.753 -0.226 -0.934 -0.212 1112 6.27 0.2 0.999 1.17 1.089 0.711 -0.207 -0.924 -0.292 2118 7.02 0.3 0.598 0.803 0.7 0.769 -0.161 -0.893 -0.401 2133 5.94 0.4 0.212 0.423 0.311 0.831 -0.12 -0.867 -0.487 1954 4.91 0.5 -0.112 0.087 -0.025 0.884 -0.09 -0.846 -0.553 1782 4.13 0.75 -0.737 -0.562 -0.661 0.979 -0.046 -0.813 -0.653 1507 3.07 1 -1.133 -1.009 -1.08 1.036 -0.032 -0.798 -0.698 1406 2.9 2 -1.552 -1.538 -1.55 1.085 -0.044 -0.796 -0.704 1479 3.92 3 -1.699 -1.801 -1.743 1.085 -0.085 -0.812 -0.655 1795 5.85

Tabel IV-10 Rekomendasi nilai kecepatan geser rata-rata untuk digunakan dalam fungsi atenuasi Boore et.al. 1997 (Boore, Joyner, Fumal, 1997)

NEHRP site class B 1070 m/sec

NEHRP site class C 520 m/sec

NEHRP site class D 250 m/sec

Rock 620 m/sec

Soil 310 m/sec

Recommended values of average shear velocity for use in BJF 97 equation

(30)

3. Sadigh (1997)

Fungsi atenuasi dari Sadigh (1997) memisahkan kejadian gempa dengan magnitude lebih besar dari 6.5 dan kejadian gempa dengan magnitude lebih kecil dari 6.5 untuk memperhitungkan near field situation. Fungsi atenuasi untuk gempa strike slip pada kondisi site rock adalah sebagai berikut :

(

8.5

)

ln

[

exp

(

)

]

ln

(

2

)

lny=c1 +c2 +c3M 2.5 +c4 rrup + c5 +c6M +c7 rrup +

(IV.9)

dimana :

y = spectral acceleration (g)

rrup = jarak terdekat ke rupture surface

M = moment magnitude

Fungsi atenuasi untuk reverse/thrust faulting diperoleh dengan mengalikan korelasi untuk strike slip dengan faktor 1.2.

Tabel IV-11 Koefisien yang digunakan dalam fungsi atenuasi Sadigh (1997) untuk M<6.5 Period (s) C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 PGA -0.624 1 0 -2.1 1.29649 0.25 0 0.075 0.11 1 0.006 -2.128 1.29649 0.25 -0.082 0.1 0.275 1 0.006 -2.148 1.29649 0.25 -0.041 0.2 0.153 1 -0.004 -2.08 1.29649 0.25 0 0.3 -0.057 1 -0.017 -2.028 1.29649 0.25 0 0.4 -0.298 1 -0.028 -1.99 1.29649 0.25 0 0.5 -0.588 1 -0.04 -1.945 1.29649 0.25 0 0.75 -1.208 1 -0.05 -1.865 1.29649 0.25 0 1 -1.705 1 -0.055 -1.8 1.29649 0.25 0 1.5 -2.407 1 -0.065 -1.725 1.29649 0.25 0 2 -2.945 1 -0.07 -1.67 1.29649 0.25 0

(31)

Tabel IV-12 Koefisien yang digunakan dalam fungsi atenuasi Sadigh (1997) untuk M>6.5 Period (s) C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 PGA -1.274 1.1 0 -2.1 -0.4845 0.524 0 0.075 -0.54 1.1 0.006 -2.128 -0.4845 0.524 -0.082 0.1 -0.375 1.1 0.006 -2.148 -0.4845 0.524 -0.041 0.2 -0.497 1.1 -0.004 -2.08 -0.4845 0.524 0 0.3 -0.707 1.1 -0.017 -2.028 -0.4845 0.524 0 0.4 -0.948 1.1 -0.028 -1.99 -0.4845 0.524 0 0.5 -1.238 1.1 -0.04 -1.945 -0.4845 0.524 0 0.75 -1.858 1.1 -0.05 -1.865 -0.4845 0.524 0 1 -2.355 1.1 -0.055 -1.8 -0.4845 0.524 0 1.5 -3.057 1.1 -0.065 -1.725 -0.4845 0.524 0 2 -3.595 1.1 -0.07 -1.67 -0.4845 0.524 0 3 -4.35 1.1 -0.08 -1.61 -0.4845 0.524 0 4 -4.88 1.1 -0.1 -1.57 -0.4845 0.524 0

Gambar

Gambar IV-1 berikut menunjukkan sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia  dan sekitarnya
Gambar IV-4 Kriteria distance windows untuk analisis pemisahan gempa utama
Gambar IV-5 Sebaran episenter gempa utama di indonesia. tahun  pengamatan  1897-2007 dengan magnitude minimum 5.0 dan kedalaman maksimum 250 km
Gambar IV-7 Sebaran episenter gempa utama di pulau sumatera dan sekitarnya  berdasarkan magnitude
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengumuman informasi dari suatu perusahaan yang mengalami audit delay akan memberikan sinyal kepada para investor untuk melanjutkan atau mencabut investasinya pada perusahaan

34 LENGKER : PERMAINAN GASING DAERAH LOMBOK TIMUR.. kurang halus karena pembuatannya benar-benar dengan ketekunan dari para pengrajinnya. Teknologi pembuatan gasing,

an gerak dasar berirama Tes lisan, tertulis  Pecahan  Jarak dan waktu  Data cacahan  Ekosistem  Makanan dan rantai makanan  Bentuk dan sifat dinamika

Semakin banyak rasa ketidakpastian pada perilaku penjualan yang ditunjukkan oleh para penjual, maka hal ini akan mempengaruhi para pembeli untuk tertarik terhadap barang

Penilaian atau identifikasi awal ini merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data yang telah ada sebelumnya atau data dari informasi sekunder, seperti laporan instansi

Bahwa Peraturan Menteri tersebut dapat pula pula dilihat dari perspektif Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 6 ayat (2),

Dengan berlakunya Peraturan Bupati ini, maka Peraturan Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 33 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten

Seperti halnya tradisi bakar tongkang yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa atau etnis Cina di bagansiapiapi yang merupakan suatu tradisi yang dilakukan