• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilitas Lereng dengan Perkuatan Geogrid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Stabilitas Lereng dengan Perkuatan Geogrid"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Stabilitas Lereng dengan Perkuatan Geogrid

Ghufran Fauzan

Geotechncal Engineer – GW & Associates, Bandung, Indonesia.

Budijanto Widjaja

Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia.

Freddy Gunawan

Senior Geotechnical Engineer – GW & Associates, Bandung, Indonesia.

ABSTRAK: Kegagalan pada suatu konstruksi timbunan dapat diakibatkan oleh peningkatan tekanan air pori, tingginya sudut kemiringan lereng dan adanya lapisan tanah lunak di bawah timbunan. Studi yang dilakukan yaitu pada proyek pembangunan jalan akses pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) yang berlokasi di Jawa Barat. Lokasi longsor yang terjadi terletak pada lereng jalan akses yang dibangun dengan cara menimbun material tanah setempat berupa pasir berlanau dari hasil galian tanah untuk pembentukan geometri jalan. Posisi timbunan jalan akses berada di atas lapisan tanah asli berupa batuan yang diikuti dengan lapisan tanah asli berupa lempung dan pasir di sisi lembah lereng timbunan. Adanya lapisan tanah pasir lepas diindikasikan sebagai penyebab utama kelongsoran, di samping timbunan lereng jalan akses yang

relatif tinggi yaitu 16 m dengan kemiringan 50. Analisis balik dilakukan untuk mendapatkan parameter

tanah sesuai kondisi aktual di lapangan, di mana saat longsor tepat akan terjadi (faktor keamanan sebesar 1) dan untuk merepresentasikan posisi bidang gelincir yang terjadi. Oleh karena itu, dilakukan rehabilitasi timbunan jalan akses yang dibatasi oleh lahan relatif sempit menggunakan tanah merah untuk material

timbunan geogrid setinggi 24 m. Kemiringan lereng timbunan direncanakan dengan kemiringan 45 dan

dibuat dengan sistem terasering. Analisis numerik yang dilakukan menggunakan metode kesetimbangan batas dan metode elemen hingga. Hasil analisis rehabilitasi longsoran diperoleh besar deformasi pada timbunan arah vertikal 14 cm dan arah horisontal 12 cm serta nilai faktor keamanan sebesar 1.53.

Kata Kunci: kegagalan timbunan, tanah lunak, rehabilitasi, geogrid, deformasi, nilai faktor keamanan

ABSTRACT: Failure in embankment construction could be affected by increasing of pore water pressure, slope steepness, and existence of soft soil layer below the embankment. This study conducted on access road of micro hydro power plant construction project located in West Java. Landslide occurred on access road slope made by embanking local soil material. This local soil material is silty sand from soil excavation for establishment of road geometry. Access road embankment is located above existing soil layer formed by rocks, clay, and sand on valley side of slope embankment. Existence of loose sand layer indicated as the main cause of landslide, besides the 16 m height of access road embankment with slope with an angle of

50. Back analysis was conducted to gain soil parameters according to actual condition, which is at the exact

time landslide was about to occur (safety factor value of 1) and to represent the position of occurred sliding plane. Therefore, rehabilitation of access road embankment was conducted limited by relatively narrow land using red soil for 24 m high of geogrid embankment material. Embankment angle slope was planned with

angle of slope 45 and made with terracing system. Numerical analysis was undertaken using limit

equilibrium method and finite element method. Landslide rehabilitation analysis results 14 cm length of embankment vertical deformation, 12 cm length of embankment horizontal deformation, and safety factor value of 1.53.

(2)

1 PENDAHULUAN

Kegagalan suatu konstruksi timbunan dapat diakibatkan oleh peningkatan tekanan air pori, tingginya sudut kemiringan lereng dan adanya lapisan tanah lunak di bawah timbunan. Makalah ini membahas mengenai kegagalan suatu konstruksi timbunan pada proyek pembangunan jalan akses pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) yang berlokasi di Jawa Barat.

Konstruksi timbunan pada tanah lempung lunak maupun pasir lepas merupakan suatu masalah yang sangat kompleks terhadap kestabilan lereng. Posisi timbunan jalan akses berada di atas lapisan tanah asli berupa batuan yang diikuti dengan lapisan tanah asli berupa lapisan tanah lempung dan pasir di sisi lembah lereng timbunan. Adanya lapisan tanah pasir lepas di bawah timbunan, diindikasikan sebagai penyebab utama kelongsoran, di samping timbunan yang relatif tinggi yaitu 16 m dengan kemiringan 50.

Untuk memprediksi parameter tanah yang sesuai dengan kondisi aktual di lapangan, dilakukan dengan analisis balik (back analysis). Analisis numerik dilakukan menggunakan program komputer dengan metode kesetimbngan batas Slide dan metode elemen hingga Plaxis menggunakan model Mohr Coulomb.

2 KONDISI LAPANGAN DAN KONDISI TANAH

2.1 Kondisi Lapangan

Timbunan jalan akses telah di bangun menggunakan material pasir berlanau yang merupakan hasil penggalian lereng setempat untuk geometri jalan. Gambar. 1 menunjukkan layout rencana jalan akses dan lokasi penyelidikan tanah (dilakukan setelah kelongsoran terjadi).

Timbunan jalan akses eksisting dilindungi dengan konstruksi dinding penahan tanah (DPT) batu kali dengan tinggi ±16 m (Gambar 2) dan kondisi kelongsoran pada jalan akses dapat dilihat pada Gambar 3.

2.2 Penyelidikan Tanah

Di lokasi proyek dilakukan pemboran teknik dengan variasi kedalaman antara 10 m sampai dengan 16 m. Pengujian lapangan yang

dilakukan adalah Standard Penetration Test (SPT). SPT dilakukan untuk memperoleh informasi konsistensi dan kepadatan dari tanah. BH-9 BH-7 BH-8 BH-5 BH-6 BH-4 BH-3 BH-2 Legenda : Titik Bor A A Area Longsor Legenda : Titik Bor Batas Lahan U

Gambar 1. Layout Rencana dan Lokasi Titik Bor

Gambar 2. Konstruksi Jalan Akses dengan DPT Batu Kali

Gambar. 3. Kondisi Longsoran pada Jalan Akses

Dari hasil coring yang dirangkum dalam borlog dapat diketahui kondisi pelapisan tanah di lokasi proyek. Selain SPT, juga

(3)

direncanakan pengambilan sampel tak terganggu (UDS) dan sampel terganggu (DS) untuk kemudian dilakukan pengujian di laboratorium. Dalam pelaksanaan di lapangan, UDS tidak dapat diperoleh dari setiap titik bor karena pelapisan tanah yang didominasi oleh lapisan batuan.

2.3 Hasil Uji Laboratorium

Pengujian laboratorium dilakukan pada sampel tanah terganggu (DS) yang diambil pada saat pemboran teknik. Gambar 4 menunjukkan nilai kadar air (wn), batas plastis (PL), dan

batas cair (LL) terhadap kedalaman. Nilai kadar air berkisar antara 24.0% – 63.6%. Gambar 5 menunjukkan nilai indeks plastisitas (PI) terhadap kedalaman yang berkisar antara 17 - 64. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 K ed al am an ( m ) wn, PL, LL wn PL LL

Gambar. 4. Nilai Kadar Air (wn), Batas Plastis

(PL) dan Batas Cair terhadap Kedalaman

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 K ed al am an ( m ) PI

Gambar. 5. Nilai Indeks Plastisitas (PI) terhadap Kedalaman

Gambar. 6 menunjukkan bahwa sebagian besar perilaku tanah yang diuji di laboratorium berdasarkan kurva plastisitas dari Cassagrande didominasi oleh tanah lempung dengan

plastisitas tinggi (CH) dan lempung dengan plastisitas rendah (CL). 0 10 20 30 40 50 60 70 0 20 40 60 80 100 120 P la s ti c it y I n d e x ( % ) Liquid Limit (%) ML CH CL MH CL - ML U-Line A-Line

Gbr. 6. Perilaku Tanah pada Lokasi Proyek Berdasarkan Kurva Plastisitas Cassagrande

Pada sampel batuan yang diperoleh dari hasil coring dilakukan uji tekan uniaksial (Uniaxial Cempressive Strength Test) dan uji slaking (Slake Durability Test). Uji tekan uniaksial pada prinsipnya adalah memeberikan suatu beban aksial yang menyebabkan sampel batuan pecah tanpa adanya kekangan dalam arah larteral. Tegangan maksimum hingga sampel mengalami keretakan atau bahkan pecah disebut dengan kuat tekan uniaksial (qu).

Selain itu uji slaking juga dilakukan untuk mengetahui apakah material tersebut tergolong tanah atau batuan. Jika terjadi slaking, maka material tersebut dapat digolongkan sebagai tanah. Batuan durabilitasnya sangat tinggi sehingga sulit mengalami slaking karena pori-porinya lebih kuat menahan tekanan air dan udara yang terjadi. Oleh karena itu, uji slaking dilakukan untuk menentukan durabilitas tanah/batuan di laboratorium dengan beberapa siklus pengeringan dan penjenuhan. Pengeringan dan penjenuhan merupakan faktor utama dalam proses pelapukan. Tabel 1 memberikan informasi resume hasil uji laboratorium batuan.

Tabel 1. Rangkuman Hasil Uji Laboratorium untuk Sampel Batuan No Titik BH-4 BH-5 BH-6 Depth (m) 6.5 – 7.0 8.0 – 8.5 13.75 – 14.25 qu (MPa) 27 16.3 2.2  0.2 0.3 0.42 E (MPa) 4440 4333 1105 Deere & Miller (1966) mengembangkan klasifikasi batuan secara umum berdasarkan hubungan antara kuat tekan uniaksial (qu) dan

modulus elastisitas (E) seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Berdasarkan nilai i, batuan

(4)

diklasifikasikan dalam 5 kelas, mulai dari kekuatan sangat rendah hingga sangat tinggi. Berdasarkan nilai modulus, batuan dibagi menjadi 5 kelas yaitu dari kekakuan sangat rendah (deformasi non elastis) hingga sangat kaku.

Gambar 7. Klasifikasi Batuan (Deere & Miller, 1966)

Dari hasil uji uniaksial dapat dikategorikan berdasarkan Gambar 7 untuk sampel batuan pada BH-4 tergolong pada batuan lunak (low strength) dengan nilai qu 270 kg/cm2

sedangkan pada sampel batuan BH-5 dan BH-6 nilai qu berada pada rentang 22 kg/cm2 –

163 kg/cm2 termasuk dalam kategori sangat lunak (very low strength). Gamble (1971) mengembangkan klasifikasi batuan berdasarkan nilai slake durability index (Id)

(Tabel 2). Klasifikasi batuan berdasarkan hasil uji slaking dapat diperiksa pada Tabel 3.

Tabel 2. Klasifikasi Batuan berdasarkan Uji Slake Durability Test (Gamble, 1971)

Id(2) Classification 0 – 30 Very Low 30 – 60 Low 60 – 85 Medium 85 – 95 Medium High 95 – 98 High 98 – 100 Very High

Tabel 3. Slake Durability Index

No Depth Slake Durability Index

Titik Id(2) Tingkat

Bor (m) (%) Durabilitas

BH-4 6.5 – 7.0 99 Very high

BH-5 8.0 – 8.5 97 High

BH-6 13.75 – 14.25 21 Very low

2.4 Kondisi Pelapisan Tanah

Dari hasil penyelidikan tanah dapat dilakukan pendugaan pelapisan tanah pada jalan akses (potongan A-A). Kondisi pelapisan tanah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kondisi Pelapisan tanah pada Jalan Akses

Berdasarkan data pemboran BH-4 dari permukaan jalan akses pelapisan tanah didominasi oleh tanah pasir kelanauan kepadatan sedang hingga sangat padat dengan nilai NSPT 7 – 45 hingga kedalaman 7.5 m.

Pada kedalaman lebih dari 7.5 m ditemukan lapisan batuan dasar. Pada titik BH-5 di mana lokasi pemboran berada tepat di sisi bawah area timbunan jalan akses, pelapisan tanah pada kedalaman 4 m terdiri dari lapisan lempung kelanauan konsistensi sangat teguh dengan NSPT 28, kemudian pada kedalaman 4

m sampai dengan 8.5 m ditemukan lapisan pasir kepadatan sangat lepas hingga sedang dengan rentang NSPT anatara 3 sampai 15 dan

dikuti oleh lapisan batuan dasar pada kedalaman lebih dari 8.5 m. Pada titik BH-6 pelapisan tanah pada kedalaman 0 m sampai 10 m terdiri dari lapisan lempung kelanauan konsistensi teguh dengan rentang NSPT 9 – 14.

Dari hasil uji laboratorium dapat diketahui bahwa lapisan tanah lempung merupakan lempung dengan plastisitas tinggi (CH) dengan nilai indeks plastisitas (PI) 26. Di bawah lapisan lempung ditemukan lapisan batu lanau (mudstone) hingga kedalaman 13 m dengan rentang NSPT antara 27 – 40 dan lapisan

lempung keras hingga kedalaman 15 m dengan NSPT lebih dari 50. SILTY SAND SILTY CLAY SILTY CLAY MUDSTONE CLAY SAND CLAY ROCK

(5)

3 ANALISIS STABILITAS LERENG DAN DESAIN PERKUATANNYA

Longsoran pada jalan akses dapat diprediksi akibat:

1. Kuat geser tanah menurun akibat peningkatan tekanan air pori

2. Timbunan yang relatif tinggi dengan sudut kemiringan yang relatif tinggi (curam)

Analisis stabilitas lereng dilakukan pada potongan jalan akses sampai dengan lembah sisi selatan yang berbatasan dengan batas lahan. Sehubungan dengan telah terjadi kelongsoran pada lereng eksisting, perlu dilakukan analisis balik (back analysis) untuk mengetahui parameter kuat geser tanah pada saat longsor terjadi.

Berdasarkan data uji lapangan (SPT) dan uji laboratorium dapat dilakukan analisis pendugaan parameter tanah yang dikonfirmasi dengan hasil back analysis. Pemodelan dan pelapisan tanah dapat dilihat pada Gambar 9 dan parameter tanah dengan model Mohr Coulomb yang digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter Tanah yang Digunakan dalam Analisis

Soil  c’  E 

Layer kN/m3 kPa  kPa

1 Upper Clay 15 10 26.85 8000 0.33 2 Sandy Clay 16 6 24.80 6400 0.33 3 Clay 16 8 25.8 32000 0.33 4 Silty Clay 16.5 4.43 26 30400 0.33 5 Clay 16 4 24 4800 0.33 6 Silty Sand 18 13 40 20000 0.3 7 Silty Clay 16 7 28.1 14400 0.33 8 Sand 17 1 28 10000 0.3 9 Mudstone 17.5 10 29 24000 0.33 10 Clay 17 10 29 20000 0.33 11 Rock 20 500 - 250000 0.35 12 Fill 16 60 - 10000 0.33 Hasil perhitungan back analysis menunjukkan bahwa indikasi longsor yang terjadi diakibatkan adalnya lapisan pasir lepas di bawah timbunan lereng jalan akses (Gambar 10).

Gambar 9. Pemodelan dan Pelapisan Tanah pada Jalan Akses

Gambar 10. Hasil Back Analysis pada Lereng Jalan Akses Menggunakan Metode Elemen Hingga (FK = 1.007)

Untuk rehabilitasi diperlukan perkuatan dan perubahan geometri lereng agar meningkatkan stabilitas lereng. Dengan perlunya pelebaran jalan akses dan lahan di sisi bawah lereng yang sempit, maka tinggi timbunan lereng yang relatif tinggi dengan sudut kemiringan lereng yang curam tidak dapat dihindarkan. Rehabilitasi untuk perkuatan lereng jalan akses direncanakan dengan menggunakan perkuatan geogrid. Tipe dan spesifikasi geogrid yang digunakan adalah sebagai berikut:

 Tipe : P150

 Ultimate tensile strength : 178 kN/m

 Long term all. Design load : 98 kN/m

 Elongation : <12% Analisis perkuatan lereng dengan geosintetik dilakukan dengan metode konvensional, metode kesetimbangan batas dengan bantuan program komputer Slide dan metode elemen hingga dengan bantuan program Plaxis untuk mengetahui deformasi yang terjadi. Penentuan jumlah lapis

(6)

mempertimbangkan nilai faktor keamanan dan deformasi yang akan terjadi pada timbunan. Gbr. 11 menunjukkan pemodelan geometri rehabilitasi lereng jalan akses dengan kemiringan 45 dengan tinggi masing-masing timbunan adalah ±6 m. Beban kerja (surcharge load) jalan akses direncanakan sebesar 1.5 ton/m2.

EL. ±428.505

EL. ±422.505

EL. ±416.505

EL. ±410.505

Gambar 11. Model Geometri Lereng Jalan Akses

Dari perhitungan metode konvensional perkuatan geogrid yang direncanakan pada model geometri lereng di atas terdiri dari 2 jenis interval. Pada bagian timbunan paling bawah, jarak interval geogrid adalah 0.5 m dan 1 m (Gambar 12) pada tiga bagian timbunan atas. Panjang minimum geogrid dapat ditentukan dengan menentukan panjang pengangkuran (Le) terlebih dahulu (Koerner,

2005) sebagai berikut:

Untuk kesetimbangan horizontal dengan

H = 0, maka

2ELe = Tall (SF) (1)

L = L + Le (2)

Di mana

 = kuat geser tanah pada geotekstil E = effiensi transfer kuat geser tanah pada

geotekstil

Le = panjang pengangkuran perlu di luar

potensi bidang gelincir Tall= kuat tarik ijin geotekstil

SF = nilai faktor keamanan (1.5)

L = jarak maksimum dari permukaan lereng ke bidang gelincir arah horizontal

L = panjang total setiap lapis geotekstil Dengan panjang total setiap lapis geogrid (L) adalah 22.0 m maka untuk mencapai

panjang minimum geogrid, lapisan batuan di belakang lereng timbunan perlu digali hingga panjang total geogrid memenuhi kriteria desain. Material timbunan direncanakan menggunakan tanah merah yang dipadatkan lapis per-lapis dengan tinggi maksimum setiap lapisan 15 cm.

Jarak perkuatan geogrid lapis per-lapis @ 1.0 m

Jarak perkuatan geogrid lapis per-lapis @ 0.5 m

Geogrid Lmin = 22 m

Gambar 12. Model Perkuatan Geogrid pada Lereng Jalan Akses

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai faktor keamanan (FK) stabilitas lereng untuk kondisi effective stress analysis (ESA) adalah 1.52 (Gambar 13). Nilai FK ini masih lebih besar dari batas minimum yang diisyaratkan yaitu 1.30.

Gambar 13. Hasil Analisis Stabilitas Lereng Jalan Akses dengan Perkuatan Geogrid kondisi ESA (FK = 1.52)

Untuk mengetahui besarnya deformasi timbunan dan gaya-gaya yang bekerja pada geogrid, dilakukan analisis dengan menggunakan metode elemen hingga. Hasil analisis menunjukkan bahwa deformasi yang terjadi adalah 14 cm arah vertikal dan 12 cm untuk arah horizontal (lihat Gambar 14 sampai Gambar 16).

(7)

GEOGRID L = 22.0 m Spasi = 1.0 m GEOGRID L = 22.0 m Spasi = 0.5 m Detail - A Detail - B

Gambar 17. Geometri Pemasangan Geogrid pada Lereng Jalan Akses Gambar 14. Deformasi Arah Vertikal Hasil

Analisis dengan Metode Elemen hingga sebesar 14 cm

Gambar 15. Deformasi Arah Horizontal Hasil Analisis dengan Metode Elemen hingga sebesar 12 cm

Gambar 16. Perpindahan Total Hasil Analisis

Stabilitas Lereng Jalan Akses dengan

Menggunakan Metode Elemen Hingga

Gaya tarik maksimum yang terjadi pada geogrid adalah sebesar 2 kN/m, nilai ini masih lebih kecil dari batas tarik ijin dari spesifikasi geogrid. Gbr. 17 menunjukkan geometri pemasangan geogrid, detail pemasangan secondary reinforcement, panjang lipatan geogrid, dan geotekstil non wooven pada sisi permukaan lipatan (facing) dapat diperiksa pada Gambar 18 dan Gambar 19.

(8)

DETAIL - A

Geogrid Geotextile non wooven

Primary Reinforcement

45°

Gambar 18. Pemasangan Geogrid Detail A untuk Spasi 0.5 m

Geogrid Geotextile non wooven

Secondary Reinforcement

(Primary Reinforcement) 45°

DETAIL - B

Gambar 19. Pemasangan Geogrid Detail B untuk Spasi 1 m

4 ANALISIS STABILITAS LERENG DAN DESAIN PERKUATANNYA

Berdasarkan hasil analisis dan rehabilitasi lereng pada kasus ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kegagalan pada lereng timbunan jalan akses diprediksi akibat lemahnya daya dukung tanah pondasi timbunan, oleh karena itu perlu dilakukan pembersihan pada lapisan tanah lunak maupun timbunan lama. Dasar timbunan harus ditempatkan di atas tanah yang baik. 2. Perkuatan geogrid yang direncanakan

dengan panjang 22 m dan terdiri dari dua jenis interval lapisan yaitu; jarak interval geogrid 0.5 m untuk timbunan paling

bawah dan 1 m untuk tiga bagian timbunan atas (lihat Gambar 17).

3. Hasil analisis stabilitas lereng menunjukkan bahwa nilai faktor keamanan lereng timbunan jalan akses dengan perkuatan geogrid adalah 1.52. Selain itu hasil analisis menunjukkan bahwa deformasi yang terjadi pada arah vertikal adalah sebesar 14 cm dan arah horizontal adalah sebesar 12 cm.

4. Agar panjang total geogrid tercapai, maka lapisan batuan di belajang lereng timbunan perlu digali.

5. Material timbunan perlu diuji terlebih dahulu di laboratorium untuk mengetahui kelayakannya sebagai material timbunan. Uji yang dilakukan seperti uji kompaksi dan CBR

6. Untuk memeperoleh mutu timbunan yang diisyaratkan, dapat dilakukan trial embankment. Dari hasil trial embankment dapat digunakan sebagai acuan untuk kontrol pelaksanaan timbunan

7. Untuk uji mutu timbunan selama masa konstruksi, dapat dilakukan dengan uji sondir (CPT) dengan memenuhi nilai minimum tahanan ujung rata-rata (qc)

sebesar 20 kg/cm2.

DAFTAR PUSTAKA

Das, M. Braja. Principles of Geotechnical Engineering,

Sixth Edition. Sacramento: Thomson.

FHWA. 2001. Mechanically Stabilized Earth Walls and

Reinforced Soil Slopes Design and Construction Guidelines. FHWA-NHI-00-043.

Jeager, Charles. 1979. Rock Mechanics and Engineering, Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Koerner, Robert. M. 2005. Designing with Geosynthetics. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Sivakugan, Ngaratnam. Sanjay Kumar Shukla, and Braja M. Das. 2013. Rock Mechanics An

Gambar

Gambar  2.  Konstruksi  Jalan  Akses  dengan  DPT  Batu Kali
Gambar 5 menunjukkan nilai indeks plastisitas  (PI)  terhadap  kedalaman  yang  berkisar  antara   17 - 64
Gambar  8.  Kondisi  Pelapisan  tanah  pada  Jalan  Akses
Gambar  9.  Pemodelan  dan  Pelapisan  Tanah  pada  Jalan Akses
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kelongsoran pada lereng yang disebabkan karena menurunnya kekuatan geser tanah sehingga tidak dapat memikul beban kerja yang terjadi dapat diperbaiki dengan menggunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah memperbaiki stabilitas lereng terhadap longsor dengan perkuatan tanah menggunakan susunan roda-roda karet pada bidang longsor..

Tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk menemukan mekanisme perkuatan lereng dengan membandingkan daya dukung tanah pada lereng pasir tanpa perkuatan terhadap

Pada penelitian ini digunakan pemodelan fisik lereng tanah pasir dengan dan tanpa perkuatan geogrid dengan Rc 74% dengan variabel tetap yaitu kemiringan sudut 46° dan

Pada penelitian ini digunakan pemodelan fisik lereng tanah pasir dengan dan tanpa perkuatan geogrid dengan Rc 74% dengan variabel tetap yaitu kemiringan sudut 46° dan

Tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk menemukan mekanisme perkuatan lereng dengan membandingkan daya dukung tanah pada lereng pasir tanpa perkuatan terhadap

Kelongsoran pada lereng yang disebabkan karena menurunnya kekuatan geser tanah sehingga tidak dapat memikul beban kerja yang terjadi dapat diperbaiki dengan menggunakan

Data parameter tanah yang digunakan pada penelitian ini diambil berdasarkan hasil penyelidikan tanah di Mulai Kajian Pustaka Pengumpulan Data Pemodelan Lereng setelah penggalian