• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Seksual

Seksualitas merupakan gabungan dari perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasarkan pada ciri seks secara biologis, tetapi juga merupakan suatu aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan lain (Semaoen, 2000). Sarwono (2007) menjabarkan aktivitas seksual mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, bercumbu, meraba bagian tubuh yang sensitif, menggesekkan alat kelamin sampai pada senggama. Agama Islam juga menjelaskan perihal seksual sebagai sesuatu yang harus dibahas secara santun karena merupakan sunnah rasul setelah menikah (Fillah, 2008). Suami isteri yang saling berpadangan, saling bercanda dan merayu saja akan bernilai pahala apalagi bila lebih daripada itu karena tujuan utama berhubungan seksual dalam Islam adalah untuk memperoleh keturunan dan itu sangat dianjurkan oleh Rasulullah (Adhim dkk., 2013).

1. Definisi Penyesuaian Seksual

Penyesuaian seksual menurut Bowman & Spanier (1978) adalah penyesuaian yang berhubungan dengan seksualitas dan penyesuaian paling intim yang dilakukan oleh seorang suami dan seorang istri dalam ikatan pernikahan. Penyesuaian seksual merupakan aspek paling penting dari komponen penyesuaian pernikahan. Jika ada penyesuaian pernikahan yang mengalami masalah dalam suatu pernikahan kemungkinan besar ada kesulitan yang dialami dalam penyesuaian seksual pernikahan tersebut.

(2)

Sejalan dengan itu Gershaw (1992) menuliskan bahwa penyesuaian seksual bukan semata-mata soal kinerja atau keterampilan yang harus dikuasai. Penyesuaian seksual lebih kepada komunikasi dan perluasan keseluruhan hubungan. Hal ini dikarenakan penyesuaian seksual dari pasangan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hubungan. Konflik yang terjadi di luar penyesuaian seksual juga dapat menyebabkan masalah pada penyesuaian seksual itu sendiri. Sebaliknya, lancarnya hubungan berdampak positif terhadap penyesuaian seksual.

Penyesuaian seksual adalah salah satu bagian dari penyesuaiaan pernikahan yang penting dan merupakan penyesuaian tersulit (Hurlock, 2002). Sejalan dengan itu Lestari (2012) juga menyatakan penyesuaian seksual merupakan penyesuaian tersulit yang akan menentukan keberhasilan penyesuaian pernikahan yang lain. Biasanya penyesuaian seksual bisa dilakukan setelah beberapa hari atau beberapa minggu menikah, perasaan canggung dan bingung saat behubungan seksual yang pertama kali akan menghilang seiring dengan saling memahami satu sama lain (Fahmi,2012).

Penyesuaian seksual pada pasangan pernikahan secara ta‘aruf juga dibahas dalam ayat-ayat Al-Quran, yang dalam hal ini menjadi pedoman umat muslim. Pada surat Al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa suami istri harus saling memberi dan menerima, seperti pakaian, saling menyentuh, saling menjaga, dan saling menutup cela (Fillah, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian seksual adalah penyesuaian yang berhubungan erat dengan seksualitas dan penyesuaian paling intim serta kompleks bukan saja sebuah keterampilan namun juga harus

(3)

melibatkan komunikasi dan keseluruhan hubungan sebagai wujud cinta yang dilakukan oleh pasangan dalam ikatan pernikahan.

2. Aspek-Aspek Penyesuaian Seksual

Penyesuaian seksual bukanlah tindakan fisik semata. Penyesuaian seksual merupakan seperangkat penyesuaian kompleks yang tidak dapat dibilang sederhana. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyesuaian seksual menurut Bowman & Spanier (1978), yakni:

a. Komunikasi (communication)

Sebagian besar pasangan tidak melakukan komunikasi seksual padahal komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam penyesuian seksual. Baik atau tidak penyesuaian seksual pada pasangan dapat diukur dari komunikasi seksual yang mereka lakukan. Kuhn (1996) menjelaskan bahwa aspek paling penting dalam komunikasi seksual adalah empati, yakni saling pengertian dan perhatian antara suami dan istri. Menurutnya ada 3 alasan mengapa komunikasi seksual sulit dilakukan yakni bahasa, kondisi sosial dan keterbukaan diri (self-exposure). Bahasa menjadi alasan karena kurangnya bahasa yang tepat untuk menggambarkan seks secara baik dan santun. Dalam Islam sendiri tidak ada larangan untuk memakai bahasa yang bisa meningkatkan gairah seksual, namun dianjurkan untuk menyepakati bahasa kiasan yang hanya dipahami pasangan tersebut saja karena dikhawatirkan akan memancing syahwat orang lain yang mendengarnya (Basyir, 2005).

(4)

Kondisi sosial kita juga berkontribusi pada munculnya perilaku dan tanggapan negatif tentang seks serta rasa malu yang berlebihan untuk menyikapi seks. Padahal seks tidak selalu berarti buruk. Hal ini biasanya karena kita mendapatkan hukuman bila membicarakan seks sewaktu masih kecil (Fahmi, 2012) karena membicarakan seksual (dalam hal hubungan suami isteri) dikhawatirkan akan menimbulkan syahwat maka tidak diperkenankan untuk dibahas oleh orang yang belum siap menikah. Terakhir, keterbukaan diri juga menjadi alasan karena sebagian orang takut untuk melakukan komunikasi seksual karena dengan berbicara soal seks, orang menempatkan dirinya pada posisi menghakimi, mengkritik dan penolakan. Sebenarnya dalam Islam tidak ada pembatasan membicarakan untuk tujuan menambah ilmu. Seperti ‗Aisyah yang kagum pada wanita anshar yang mau membuka diri mereka untuk mendapatkan banyak ilmu bahkan untuk urusan haid, nifas, janabat dan sebagainya (Hamid, 2010). Dalam Islam, dianjurkan adanya keterbukaan diri pada pasangan terkait masalah seksual agar bisa saling memahami satu sama lain (An-Nu‘aimi, 2005).

b. Ketakutan (fear)

Adanya ketakutan-ketakutan tertentu yang dirasakan oleh pasangan pernikahan sangat berpengaruh terhadap kualitas penyesuaian seksual mereka. Ketakutan akan rasa sakit bagi istri dan ketakutan akan kegagalan pada suami dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kehidupan seksual pasangan. Ketakutan ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan dalam rumah

(5)

tangga atau yang paling parah, dapat menimbulkan trauma. Maka dari itu, dalam Islam pasangan yang akan menikah diminta untuk mempersiapkan ilmu, iman dan takwa, mental, finansial dan fisiknya (Adhim, dkk., 2013) c. Peran Suami

Walaupun penyesuaian seks dilakukan oleh suami dan istri, tanggung jawab terbesar tetap ada pada suami. Suami harus paham bahwa kepuasan dalam kehidupan seks mereka berdua berada ditangannya. Hal ini karena jika suami telah mencapai puncak, maka biasanya hubungan seksual yang sedang terjadi akan usai padahal si istri mungkin masih menginginkannya. Dalam Islam jelas peran suami sebagai imam, Qur‘an surat An-Nisaa‘ ayat 34 jelas menyatakan ―Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)..‖ Pria memang diciptakan dengan memiliki fitrah dan watak yang dipersiapakan untuk dapat mengarahkan wanita dalam urusan-urusan dunianya (Hammad, 2002). Dalam hal ini terkait dengan hubungan seksual.

d. Frekuensi

Penyesuaian seksual yang baik memperhatikan frekuensi didalamnya. Pasangan hendaknya menetapkan waktu-waktu khusus untuk melakukan hubungan seksual dan membicarakan tentang aktivitas seksual mereka. Frekuensi yang telah disepakati ini harus dijalani baik dalam kondisi tidak ada masalah dalam pernikahan maupun ada masalah yang sedang dialami.

(6)

Ajaran Islam menetapkan ada beberapa waktu yang disunnahkan untuk berhubungan seksual. Dalam surat An-Nur ayat 58 Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sesudah shalat Isya‟. (Itulah) tiga „aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu . Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.

24:58)

Selain ketiga waktu di atas ada juga hadist yang menjelaskan tentang anjuran untuk berhubungan di hari jum‘at sebelum shalat jum‘at.

“Barang siapa yang menggauli isterinya pada hari Jumat dan mandi janabah serta bergegas pergi menuju masjid dengan berjalan kaki, tidak berkendaraan, dan setelah dekat dengan Imam ia mendengarkan khutbah serta tidak menyia-nyiakannya, maka baginya pahala untuk setiap langkah kakinya seperti pahala amal selama setahun,yaitu pahala puasa dan sholat malam didalamnya” (HR Abu Dawud, An nasai, Ibnu Majah

dan sanad hadist ini dinyatakan sahih)

Jika ada waktu yang disunnahkan, ada pula waktu yang diharamkan, yaitu ketika wanita sedang mengalami haid atau nifas maka ia tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan suaminya (Takariawan, dkk, 2005). e. Cara menyikapi seks.

Cara seseorang menyikapi seks menentukan perilakunya terhadap seks. Seseorang yang menganggap seks sebagai suatu cara untuk meraih kepuasan belaka berbeda penyesuaian seksualnya dengan seseorang yang menganggap seks sebagai pengekspresian cinta terhadap pasangan. Dalam agama Islam tujuan utama berhubungan seksual memang untuk menghasilkan keturunan, namun disamping itu ada pula alasan lain yaitu

(7)

untuk mengeluarkan cairan dalam tubuh yang bila dibiarkan akan menjadi penyakit serta sebagai kesenangan untuk menyalurkan syahwat. Dalam Islam juga ada adab-adab berhubungan seksual yang dapat menuntun perilaku seksual seseorang (Arifin, 2013). Islam yang memandang urusan seksual secara santun memang memberi pandangan khusus tentang seks ini yang membuat pengikutnya akan memandang hubungan seks sebagai ibadah (positif) bila dilakukan setelah menikah, sedangkan sebelum menikah hubungan seks adalah zinah (negatif) (Adhim, dkk., 2013)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan aspek yang menyusun penyesuaian seksual adalah ketakutan, komunikasi, tanggung jawab suami, frekuensi serta cara menyikapi seks.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual.

Menurut Bowman & Spanier (1978) ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual:

a. Pengetahuan tentang seks (knowledge of sex)

Suami dan istri harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang anatomi tubuh dirinya dan pasangan, kebutuhan dan reaksi pasangan. Fahmi (2012) menyatakan bahwa pengetahuan tentang seksual merupakan hal yang penting dalam penyesuaian seksual. Pengetahuan tentang anatomi dan mitos-mitos sampai cara memuaskan pasangan merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi penyesuaian seksual yang dilakukan.

(8)

Mempersiapkan ilmu memang merupakan hal yang dianjurkan sebelum menikah karena kunci bagi kebahagiaan adalah ilmu (Adhim, dkk. 2013). b. Faktor fisiologis (physiological)

Kondisi fisik masing-masing sangat penting dan mempengaruhi penyesuaian seksual. Adanya penyakit atau kondisi fisik yang tidak fit dapat mengganggu penyesuaian seksual yang dilakukan oleh pasangan. Masing-masing pasangan harus mengetahui kondisi fisik dirinya dan pasangannya. Dalam Islam, salah satu kunci untuk menentukan pasangan adalah fisiknya, yang dimaksud adalah ia bisa memiliki keturunan dan sehat (Hammad, 2002). Islam juga menganjurkan untuk menjaga penampilan, memakai wangi-wangian, menjaga kebersihan tubuh, memasang wajah berseri, agar mendapatkan kenikmatan sehingga tidak tercipta kebosanan dan mencari pelarian untuk kebutuhan biologisnya (Hamid, 2010)

4. Sikap Wanita terhadap Seks

Secara umum Matlin (2008), menjabarkan beberapa pandangan mengenai seksualitas terhadap wanita yang membentuk sikap wanita terhadap seksualitas dan ini juga dijelaskan dalam ajaran Islam. Pandangan tersebut yaitu:

a. Wanita dengan pandangan tradisional mempercayai bahwa ia diharuskan menjadi objek seksual dan bertindak pasif. Dalam Islam juga menjelaskan bahwa wanita adalah objek yang dinyatakan dalam Al-qur‘an:

“Istri-istimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” (Q.S. Al-Baqarah: 223)

(9)

Namun meski jelas dikatakan sebagai objek bukan berarti wanita hanya pasif saja, karena Islam juga mengatur canda dan rayuan bagi suami istri. Istri yang dapat bertutur lembut, merayu dengan kata-kata manis dan bersenda gurau dapat mengurangi kepenatan suami setelah bekerja dan menyenangkan hatinya (Al-Mashri, 2010).

b. Wanita lebih memilih mengikuti keinginan pria. Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa seorang isteri harus memenuhi ajakan suaminya dengan segera dalam hal senggama. Salah satu hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang penjelasan Rasulullah yang menyatakan bahwa seorang wanita yang tidak mengikuti ajakan suaminya untuk berhubungan suami isteri dan suaminya marah, maka wanita itu akan dilaknat hingga pagi (Hamid, 2010).

c. Wanita lebih menyenangi komunikasi verbal seperti rayuan dan pujian, namun wanita juga melaporkan kalau mereka kesulitan mengkomunikasikan pesan secara verbal. Rasulullah juga telah memberikan contoh pergaulan yang baik dengan isteri-isterinya. Beliau pernah mengumpulkan isteri-isterinya, kemudian mengajak berbincang-bincang dan merayu mereka (Hammad, 2002). Dikisahkan pula rasa senang ‗Aisyah (isteri Rasulullah) menerima perlakuan Rasulullah yang baik (Al-Mashri, 2010).

d. Wanita ragu-ragu untuk lebih mementingkan dirinya sendiri dengan permintaan macam-macam aktivitas seksual yang mereka nikmati, seperti belaian lembut atau perangsangan pada klitoris. Stereotype menyarankan

(10)

agar wanita lebih baik memberi daripada meminta. Sebenarnya tanpa dimintapun Islam telah menyarankan suami untuk menggauli isterinya dengan baik, membelainya dengan lembut, merayu dan bercanda dengannya (Hammad, 2002). Ada pula anjuran bagi wanita untuk bersikap

qana‟ah (berpuas diri) dengan apa yang diberikan oleh suaminya

(Al-Mashri, 2010)

e. Daya tarik fisik lebih ditekankan pada wanita daripada pria, dan wanita lebih fokus pada penampilan fisik, daripada kenikmatan hubungan seksualnya. Hamid (2010) menyatakan bahwa agama Islam memang mengajarkan untuk menyenangi keindahan. Bagi seorang isteri, mempercantik diri dan memakai wewangian merupakan bagian yang dapat membuat suami berlapang dada dan membahagiakan pandangan. Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah bersabda kepada Umar:

“Maukah aku beritahukan akan kebaikan perhiasan seseorang? Yakni wanita shalehah adalah apabila suami melihat kepadanya, menjadikannya bahagia, apabila memerintahkannya, ia menaatinya dan apabila pergi menginggalkannya, ia menjaganya”(HR. Abu Daud)

5. Hambatan dalam Penyesuaian Seksual

Bowman & Spanier (1978) mengatakan bahwa setiap pasangan mengalami hambatan atau masalah dalam penyesuaian seksual mereka. Masalah ini bisa menyangkut tentang seksualitas itu sendiri maupun masalah-masalah pernikahan yang justru tidak ada hubungannya sama sekali dengan seksualitas. Contohnya adalah masalah ekonomi, kelahiran anak, kesibukan masing-masing pasangan dan

(11)

lain-lain. Apapun masalahnya, semuanya harus segera dibicarakan dan dicari solusinya agar pernikahan tetap bertahan dan bahagia.

Sejalan dengan hal di atas, Sadarjoen (2005) menambahkan hambatan lain dalam penyesuaian seksual adalah hambatan komunikasi terbuka. Beberapa pasangan yang melaporkan bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan baik pada area kehidupan yang lain, namun mengalami kesulitan dalam membahas mengenai masalah seksual. Banyak pasangan sangat ragu-ragu untuk mengomentari perilaku seksual pasangannya ataupun hal-hal yang diinginkannya terhadap pasangan saat melakukan hubungan seksual.

Islam sudah menganjurkan suami isteri untuk bergaul dengan baik. Isteri diwajibkan untuk berhias dan menaati perintah suaminya. Begitu pula suami diwajibkan untuk mempergauli isterinya dengan baik, tidak saling merendahkan dan saling percaya satu sama lain. Bila isteri sudah tidak lagi memperhatikan kecantikannya maka bisa membuat suami tidak tertarik lagi padanya dan akan menghambat hubungan seksual. Isteri juga dianjurkan untuk bersegera memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan seksual, dan bila tidak memenuhinya maka akan membuat suami tidak senang, tidak percaya diri bahkan merasa isterinya tidak mencintainya. Hal-hal tersebut akan menjadi masalah dalam kehidupan berumah tangga dan hubungan suami isteri (Hamid, 2010).

Hambatan lain dalam penyesuaian seksual semasa tahun-tahun awal pernikahan adalah desakan kebutuhan ekonomi. Misalnya sebuah keluarga yang tinggal di rumah yang sempit dengan jumlah anak yang cukup banyak dan masih kecil-kecil. Suami yang terlampau berat dalam mencari nafkah dan istri yang

(12)

terlalu lelah mengurusi urusan rumah tangga maka akan mengalami masalah dalam penyesuaian seksual (Hurlock, 2002).

6. Penyesuaian Seksual yang Baik dalam Pernikahan

Bowman & Spanier (1978) juga mengatakan bahwa penyesuaian seksual yang baik adalah jika suami dan istri mengetahui segala kondisi pasangannya, baik sebelum dan sesudah menikah. Kondisi ini menyangkut kondisi fisik dan kondisi psikologis.

White (1983) menuliskan beberapa hal yang harus dilakukan untuk pasangan suami istri dalam meraih penyesuaian seksual yang baik dalam pernikahan:

a. Mengetahui latar belakang masing-masing pasangan sebelum menikah. Seseorang harus mengetahui latar belakang fisiologis dan sosial calon pasangannya sebelum menikah. Alangkah baiknya sebelum menikah, seseorang mengetahui riwayat kesehatan pasangannya, berasal dari keluarga dan kondisi sosial seperti apa, pergaulannya bagaimana dan lain-lain. Hal ini untuk menghindari kekecewaan setelah menikah jika mengetahui kondisi pasangan yang tidak diinginkan, misalkan pasangan kita sudah pernah melakukan hubungan intim, pernah aborsi dan sebagainya.

b. Mendiskusikan seks secara terbuka satu sama lain.

Diskusi tentang seks dalam suasana yang rileks akan sangat membantu penyesuaian seksual. Alangkah baiknya jika suami dan istri saling

(13)

menanyakan dan membicarakan keinginan masing-masing, kekhawatiran dan kritik secara terbuka tetapi dengan kata-kata yang baik dan tidak memojokkan pasangan. Dalam Islam mendiskusikan perihal seksual dengan suami bukanlah sesuatu yang dilarang namun hal yang harus dibicarakan dengan santun (Fillah, 2008)

c. Memperhatikan kesehatan, baik itu kesehatan tubuh secara menyeluruh maupun kesehatan reproduksi. Suami dan istri harus saling menjaga kebersihan diri, melakukan olahraga, pemeriksaan kesehatan secara rutin dan mengatur pola makan.

d. Menjaga cinta, menjaga kestabilan emosi dan saling memahami karakter serta keinginan pasangan.

Penyesuaian seksual yang baik, akan mudah dilakukan jika masing-masing pasangan mau terbuka satu sama lain. Suami dan istri harus mengerti dan memahami bahwa penyesuaian seksual adalah tindakan mutual, saling memberi dan saling menerima. Suami dan istri harus paham bahwa dalam penyesuaian seksual ada kewajiban dan ada hak. Dalam Islam juga sudah rinci petunjuk-petunjuk untuk dapat saling menjaga hubungan antara suami isteri agar berjalan dengan baik. Jika masalah-masalah tidak dapat diatasi berdua, konseling terhadap pakar merupakan jalan alternatif.

B. Memilih Pasangan

Memilih pasangan, berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi teman hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan untuk menjadi orang

(14)

tua dari anak–anak kelak (Lykken dan Tellegen, 1998). Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh individu, biasanya didasari dengan memilih calon yang dapat melengkapi apa yang dibutuhkan dari individu tersebut dan berdasarkan suatu pemikiran bahwa seorang individu akan memilih pasangan yang dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan (Degenova, 2008).

Menurut Degenova (2008), ada dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan, yaitu latar belakang keluarga dan latar belakang pribadi. Lata belakang keluarga berupa kelas sosioekonomi, pendidikan, agama dan etnis. Sedangkan latar belakang pribadi berupa sikap, nilai, tingkah laku dan perbedaan usia.

Agama Islam menganjurkan seseorang untuk memilih pasangan hidup dengan mengutamakan ilmu agamanya dan akhlaknya. Rasulullah pernah bersabda ―Apabila datang kepadamu sekalian orang-orang yang suka agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia‖. Apabila dasar pemilihan karena kedalaman agama dan membiasakan hidup dengan tuntunan agamanya dan akhlak yang baik, pendidikan Islam, prbadi ideal yang kosong dari penyimpangan maka jabatan, gelar, kekayaan, dan nasab tidaklah dianggap sebagai ukuran dalam memilih (Hammad, 2002).

Pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan yang dilakukan individu dalam memilih calon pasangan hidup sampai akhirnya terpilihnya calon pasangan hidup yang sesuai menurut individu tersebut. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Degenova (2008), mengenai teori proses perkembangan, yang menjelaskan tentang variasi proses yang dilakukan dalam proses memilih pasangan, yaitu :

(15)

a. Area yang ditentukan (The Field of Eligibles)

Faktor pertama yang harus dipertimbangkan dalam proses pemilihan pasangan adalah pasangan tersebut memenuhi syarat sesuai yang telah ditentukan oleh individu tersebut. Bagi wanita, pengaruh kekurangan dari pernikahan, mungkin bukan hanya berasal dari pernikahan itu sendiri, tapi juga berasal dari kualitas pada pasangan hidupnya. Pernikahan yang baik cenderung berasal dari pernikahan yang mempunyai pasangan dengan status yang tinggi dibandingkan pernikahan dengan status yang rendah (bila diukur dari kondisi pendidikan dan pekerjaan) (Lichter, Anderson, & Hayward, dalam Degenova 2008). Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa dasar tuntunan Islam memilih pasangan dari ilmu agama dan akhlaknya (Hammad, 2002)

b. Kedekatan (Propinquity)

Faktor lain yang termasuk dalam proses pemilihan adalah kedekatan (Davis-Brown, Salamon, & Surra dalam Degenova, 2008). Kedekatan secara geografi adalah faktor lain yang dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Bagaimanapun, ini tidak berarti kedekatan kediaman dapat memastikan; kedekatan institutional juga penting. Hal ini disebabkan karena banyak individu yang berjumpa dengan pasangannya di tempat–tempat yang sering dikunjungi oleh individu tersebut, seperti, sekolah, tempat kerja dan lainnya.

(16)

c. Daya Tarik (Attraction)

Ketertarikan yang termasuk disini adalah ketertarikan secara fisik, dan ketertarikan spesifik dari kepribadian individu. Pada dasarnya, setiap wanita dan pria memiliki perbedaan dalam memilih pasangan. Setiap individu pasti memiliki kebutuhan dan perbedaan yang spesifik ketika akan memilih pasangan hidup, banyak alasan–alasan yang dapat membuat seseorang jatuh cinta dalam rangka biologi. Agama Islam menganjukan untuk terlebih dahulu mencari tahu tentang seseorang yang akan dinikahi. Seperti perintah Rasulullah saw untuk melihat terlebih dahulu siapa yang akan dinikahi agar tidak timbul penyesalan setelah menikah dan untuk melanggengkan hubungan keduanya (Hammad, 2002)

d. Homogamy dan Heterogamy

Seorang individu akan memilih pasangan yang dapat membagi pribadi dan karakteristik sosial seperti usia, ras, etnik, pendidikan, kelas sosial dan agama (Dressel, Rogler, Procidano, Steven, & Schoen dalam Degenova, 2008). Kecenderungan untuk memilih pasangan yang memilki kesamaan disebut dengan homogamy dan memilih pasangan yang cenderung mempunyai perbedaan dengan dirinya disebut dengan heterogamy. Pernikahan yang homogeneus cenderung akan lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan yang heterogeneous, meskipun ada harapan. Faktor utama yang biasanya menjadi alasan dalam pernikahan yang homogeneus adalah ketika kebanyakan individu akan lebih memilih pasangan yang seperti dirinya dan kurang merasa nyaman bila berada di dekat individu

(17)

yang berbeda dengan dirinya. Menurut Hammad (2002) adanya kesetaraan dalam lingkungan keluarga dan biaya kehidupan membuat keduanya tidak ada yang saling menghina keadaan keluarga yang lainnya apabila salah satu kondisi keluarganya dari keduanya ada yang lebih rendah.

e. Kecocokan (Compability)

Kecocokan yang dimakasud disini lebih kepada kemampuan seorang individu untuk hidup bersama dalam keadaan yang harmonis. Kecocokan mungkin akan lebih mengarah kepada evaluasi dalam pemilihan pasangan menurut tempramen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran dan kebiasaan pribadi. Dalam memilih pasangan, seorang individu akan berjuang untuk memilih pasangan yang mempunyai kecocokan dalam berbagai area.

f. Proses Penyaringan (The Filtering Process)

Proses pemilihan pasangan dimulai dari field of eligible yang paling luas. Ada berbagai variasi proses yang akan dilakukan seorang individu dalam memlih pasangan, seperti mengeliminasi individu yang tidak memenuhi syarat, ini merupakan alasan yang utama sebelum berlanjut ke proses selanjutnya. Sebelum membuat keputusan terakhir, dua orang individu akan menuju periode terakhir, seperti lamaran. Jika mereka dapat bertahan dalam proses ini, individu ini akan mencapai keputusan terakhir untuk menikah. Orang tua memiliki peran yang cukup besar untuk melakukan penyaringan pada calon pasangan bagi anak-anaknya. Dalam Islam anak memiliki hak terhadap orang tuanya untuk dipilihkan pasangan baginya (Hammad, 2002).

(18)

C. Ta’aruf

1. Definisi Ta’aruf

Basyir (2001) menyatakan bahwa secara bahasa ta‟aruf bisa bermakna ‗berkenalan‘ atau ‗saling mengenal‘. Asalnya berasal dari akar katata‟aarafa. Kemudian dalam makna khusus proses pengenalan sesorang terhadap pria atau wanita yang akan dipilih sebagai pasangan hidup sering juga disebut sebagai

ta‟aruf.

Imtichanah (2006) menuliskan bahwa ta‟aruf adalah proses saling mengenal dan memperkenalkan diri yang berkaitan dengan masalah nikah antara pria dan wanita dengan tujuan untuk memantapkan diri masing-masing sebelum melangkah ke jenjang pernikahan sesuai dengan aturan Islam dan dalam proses pertemuannya kedua belah pihak didampingi mediator. Proses ta‟aruf memungkinkan seseorang untuk menolak ketika ia tidak berkenan dengan calon yang akan dijodohkan. Proses ta‟aruf tidak membuka kontak fisik dalam bentuk apapun sehingga para calon tidak dapat bebas melakukan apa saja. Proses ta‟aruf menuntut pasangan untuk tidak mengembangkan rasa cinta sebelum menikah

Menurut Winaris (2012) Ta‟aruf merupakan suatu tindakan pengenalan dan pendekatan terhadap calon pasangan yang dilakukan sebelum menikah. Dengan tujan untuk mengetahui kriteria pasangan.

Konsep ta‟aruf merupakan suatu proses perkenalan antara dua insan yang dibingkai dengan akhlak yang benar, yang di dalamnya ada aturan main yang melindungi kedua pihak dari pelanggaran berperilaku atau maksiat (Jundy/majalah izzah, no. 30/th. 3, 19 juli—18 agustus 2002 ).

(19)

Menurut Assyarkham (dalam Mustika & Rihardini, 2007) ta‟aruf adalah proses bertemunya seorang pria dan wanita dengan didampingi orang yang dipercaya untuk dijadikan pasangan dalam hidup rumah tangga. Dalam proses ini Assyarkham menjelaskan bahwa ta‟aruf memiliki kriteria yang membedakannya dengan pacaran yakni tidak berduaan, tidak melihat lawan jenis dengan syahwat dan tidak berhias berlebihan. Pernikahan akan terjadi apabila kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan hubungannya ke tahap pernikahan dan sebaliknya pernikahan tidak akan terjadi bila kedua belah pihak tidak sepakat untuk melakukannya, dengan begitu maka proses ta‟aruf berakhir sampai di situ dan masing-masing pihak akan berusaha kembali melakukan ta‟aruf dengan calon pasangan yang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta‟aruf merupakan proses saling mengenal dan memperkenalkan diri sesuai dengan aturan Islam antara pria dan wanita yang ingin menikah yang didampingi oleh mediator dengan tujuan untuk memantapkan pilihan masing-masing orang sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

2. Proses Ta’aruf

Menurut Basyir (2001) proses ta‟aruf berbeda dengan proses-proses lain yang dilakukan untuk mendapatkan calon pasangan hidup. Winaris (2012) menambahkan beberapa prosedur dan tata cara yang dapat dilakukan seseorang sebelum ta‟aruf sampai proses ta‟aruf itu sendiri:

(20)

a. Saling bertukar biodata. Basyir (2001) menjelaskan bahwa biodata ini dapat berisi foto, harapan, cita-cita pernikahan, tipe pasangan yang diinginkan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pernikahan.

b. Melakukan istikharah dengan khusuk. Saat melakukan shalat istikharah untuk mendapatkan petunjuk dari Allah, luruskanlah niat bahwa yang diingikan adalah menikah dengan pasangan hidup untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah bukan karena sudah timbul ketertarikan dengan calon yang akan dikenalkan.

c. Menentukan jadwal pertemuan (nadzor). Sesudah mendapatkan petunjuk dari Allah dengan shalat istikharah, maka kedua belah pihak segera melaporkan ke mediator. Mediator ini bisa merupakan mahram dari pihak wanita atau pihak ketiga yang dapat dipercaya. Pada umumnya pihak ketiga ini adalah guru ―ngaji” atau sering disebut murobbi.

d. Gali pertanyaan sedalam-dalamnya. Tanyalah semua hal yang dirasa penting dan akan mempengaruhi pernikahan seperti keluarga, hobi, penyakit, visi, misi tentang rumah tangga. Pertemuan ini selalu didampingi mediator yang juga akan berperan mencairkan suasana pada keadaan ini. e. Merencanakan ta‟aruf keluarga. Pertemuan keluarga akan didampingi juga

oleh mediator. Hal ini untuk membedakan orang yang berpacaran dengan yang dalam masa ta‟aruf.

f. Menentukan waktu khitbah (lamaran). Setelah keluarga saling mengenal dan setuju, segeralah menentukan waktu pelaksanaan khitbah. Khitbah atau lebih akarab disebut lamaran sebenarnya bukanlah hal yang menjadi

(21)

syarat sah menikah, hanya saja ini merupakan janji untuk segera menikahi seorang wanita. Tanpa lamaran kedua orang bisa saja langsung menikah. g. Tentukan waktu dan tempat pernikahan. Dianjurkan untuk melaksanakan

pernikahan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, sederhana, mengundang anak yatim, memisahkan tamu pria dan wanita, tidak berdandan berlebihan, makan dan minuman juga tidak berlebihan.

3. Perbedaan Ta’aruf dan Pacaran

Berikut ini adalah perbedaan antara ta‟aruf dengan pacaran menurut Imtichanah (2006):

Tabel. 2.1. Perbedaan Ta‟aruf dan Pacaran

No Keterangan Ta’aruf Pacaran

1 Waktu untuk memulai

jika kedua belah pihak benar-benar siap untuk menikah

kapan saja kedua pihak menginginkannya walaupun belum siap menikah

2 Waktu proses maksimal tiga bulan hingga kedua belah pihak siap menikah

3 Metode komunikasi harus didampingi mediator atau perantara dalam setiap prosesnya

boleh berdua saja

4 Perolehan informasi

lewat biodata, bertanya pada orang yang dipercaya atau dengan komunikasi langsung yang harus didampingi mediator

komunikasi langsung tanpa mediator, beraktivitas bersama dan lain-lain

5 Jika tidak mantap untuk melanjutkan ke tahap

pernikahan

proses pengenalan harus segera diputus dan mencari calon ta‟aruf lain dengan menjaga kerahasiaan proses sebelumnya

masih bisa dilanjutkan hubungannya, bisa juga diputuskan segera atau bisa berlanjut lagi setelah diputuskan

(22)

4. Wanita yang Melakukan Ta’aruf

Wanita yang melakukan ta‟aruf sudah mempelajari syari‘at Islam tentang interaksi pria dan wanita. Syariat Islam menuliskan dengan jelas di dalam Al-Qur‘an tentang aturan-aturan interaksi antara pria dan wanita. Tidak semua interaksi diperbolehkan dan tidak semua dilarang. Beberapa etika berinteraksi yang dijabarkan Takariawan,dkk (2005), yaitu:

a. Menutup aurat

Wanita diperintahkan untuk menutup aurat, senantiasa menggunakan pakaian yang tidak transparan, tidak ketat, tidak menampakkan bagian-bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat lelaki non mahram

b. Menjaga pandangan

Baik pria maupun wanita diharuskan untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang menimbulkan fitnah berupa rangsangan syahwat dan sebagainya

c. Tidak memanjakan suara

Terutama bagi wanita disarankan agar bersikap sewajarnya saja dan tidak dengan sengaja mendayu-dayukan suara.

d. Bermaksud serius ketika berkomunikasi

Pada suatu agenda yang mengharuskan wanita dan pria berkomunikasi, maka hendaknya mereka hanya mengkomunikasikan yang penting dan serius saja, tidak untuk iseng dan kesia-siaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari timbulnya fitnah.

(23)

e. Tidak bercampur baur

Semestinya etika sosial memisahkan antara tempat pria maupun wanita, selayaknya seperti kondisi shalat. Misalnya di kendaraan umum ataupun fasilitas umum lainnya. Namun dengan kondisi yang tak terhindarkan, wanita dan pria disarankan untuk berusaha memisahkan diri misalnya dalam majelis ilmu, rapat kerja dan sebagainya.

f. Tidak berdua-duaan

Berdua-duaan yang dimaksud adalah hanya ada seorang pria dan wanita di tempat sepi. Hal ini dilarang dalam Islam karena mendatangkan kemudharatan.

D. Dinamika Penyesuaian Seksual pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf

Ta‟aruf yang secara umum diartikan sebagai perkenalan juga digunakan

sebagai istilah untuk saling mengenal antara pria dan wanita yang ingin melakukan pernikahan secara Islami. Ta‟aruf merupakan salah satu proses pemilihan pasangan yang dilakukan dengan tata cara Islam di mana selama proses mengenal itu, ada batasan-batasan sehingga kedua belah pihak tidak dibiarkan untuk mengembangkan perasaan cinta sebelum menikah. Proses yang dijalani juga sejalan dengan proses pemilihan pasangan hidup yang dikemukakan oleh Degenova (2008) di mana seseorang yang menjalani proses pemilhan pasangan akan mempertimbangkan pasangannya mulai dari kecocokan, sikap, usia, latar belakang keluarga etnis dan agamanya. Meskipun dengan teknis yang berbeda

(24)

proses ta‟aruf ini sebenarnya sama. Seperti yang dikemukakan oleh Basyir (2001) di mana proses ta‟aruf dimulai dari bertukar biodata untuk mengetahui latar belakang calonnya, bertemu untuk saling membicarakan visi, misi dan tujuan pernikahan, serta melihat fisik satu sama lain. Hingga sampai memutuskan untuk menikah atau tidak. Jika tidak ada kecocokan maka tidak ada paksaan untuk melanjutkan (Imtichanah, 2006).

Setiap wanita yang baru menikah akan melewati masa-masa penyesuaian, salah satu penyesuaian yang harus dilewati adalah penyesuaian seksual karena antara seks dan pernikahan sangat berhubungan erat. Wanita yang menikah melalui proses ta‟aruf juga akan melewati masa penyesuaian ini. Menurut Hurlock (2002), penyesuaian seksual merupakan penyesuaian yang sulit dari semua penyesuaian dalam pernikahan. Sejalan dengan itu, Fillah (2002) mengutarakan kesulitan pada penyesuaian seksual biasanya dikarenakan orang-orang yang menikah secara ta‟aruf menganggap penyesuaian seksual tidak penting malah cenderung diabaikan karena orang-orang tersebut kebanyakan lebih disibukkan dengan aktivitas keagamaan. Selain itu, pihak istri mayoritas belum siap untuk melakukan hubungan seksual dengan suami di tahun-tahun awal pernikahan karena pernikahan bagi seorang muslimah biasanya untuk kebutuhan akan perlindungan, kasih sayang, motivasi dan aktualisasi diri. Bahkan sebagian menganggap hal itu adalah sesuatu yang menakutkan. Bowman & Spanier (1978) memberi penguatan dengan menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual yaitu pengetahuan dan fisiologis.

(25)

Menurut Kertamuda (2009), perasaan malu dan merasa tidak pantas membicarakan tentang seks membuat pasangan suami istri melakukan hubungan seksualnya hanya sebatas kewajiban saja. Kewajiban istri melayani suami dan hanya untuk memuaskan hasrat suami saja terkadang membuat istri tidak dapat menikmati hubungan seksual. Selain itu beberapa wanita mengaku canggung untuk mengomentari perilaku seksual suaminya ataupun hal-hal yang diinginkannya terhadap pasangan saat melakukan hubungan seksual.

Sejalan dengan hal di atas, Sadarjoen (2005) menambahkan untuk dapat melewati masa penyesuaian seksual dengan baik, harus ada komunikasi terbuka. Menurut An-Nu‘aimi (2005), istri perlu memahami keadaan suaminya begitu pula sebaliknya. Keadaan istri yang lebih menuntut romantisme dan tidak dipahami oleh suami akan menyebabkan konflik dalam rumah tangga. Begitupula istri yang harus memahami bahwa suaminya bukan ingin menyakitinya. Hal ini bila tidak disadari akan menimbulkan rasa ketidakpuasan setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pasangan.

Bila pasangan dapat mengkomunikasikan dengan baik, hubungan seksual dapat menjadi sumber kebahagiaan dan kenikmatan, meskipun kepuasan seksual memang tidak mudah dijalani dan dilakukan. Hal ini memerlukan kepekaan, keikhlasan dan kesabaran keduanya saat hendak, selama, dan setelah terjadinya proses hubungan seksual. Melalui ketiganya akan dapat terlihat bagaiamana kualitas seksual yang terjadi pada pasangan suami istri tersebut (Kertamuda, 2009).

(26)

E. Paradigma Penelitian Bagan 2.1. Paradigma Penelitian

Wanita

- Ada mediator - Komunikasi minim - Masa perkenalan singkat - Tidak ada kontak fisik - Keakraban belum terbangun

Berpacaran Perjodohan Ta’aruf

Penyesuaian Pernikahan Menikah Penyesuaian Keuangan Penyesuaian Seksual Penyesuaian dengan Pasangan Penyesuaian dengan Keluarga dari Pihak

Masing-Masing Pasangan Faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Seksual Aspek Penyesuaian Seksual Cara Menyikapi Seks Ketakutan Pengetahuan tentang seks Fisiologis Komunikasi Frekuensi Tanggungjawab suami

Referensi

Dokumen terkait

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa informan terkait pendapat informan definisi SISRUTE, informan mengatakan bahwa SISRUTE adalah Sistem rujukan

Sistem informasi perpustakaan sekarang ini sangatlah penting untuk sekolah, instansi maupun pihak lainnya, dengan menggunakan sistem informasi perpustakaan, proses peminjaman,

Dapat menjadi sumber ilmu tambahan untuk berbagai pihak misalnya Aparatur penegak hukum seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa yang mengawal jalannya penyelesaian kasus-kasus

Gigi tiruan sebagian lepasan merupakan pergantian gigi yang mengenai sebagian dari lengkung gigi dan jaringan sekitarnya, dapat terjadi pada rahang atas maupun

(Raise The Red Lantern, 01:01:04-01:01:18) Dari tindakan Yan'er di atas dapat terlihat bahwa Yan'er tidak menyukai kehadiran Song Lian sebagai istri baru Chen Zuoqian dengan

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah