• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Inklusif

Ada beberapa pandangan mengenai definisi dari pendidikan inklusif. UNESCO (2009) menuliskan bahwa “inclusive education is a process of strengthening

the capacity of the education system to reach out to all learners and can thus be understood as a key strategy to achieve EFA”, (pendidikan inklusif adalah proses

penguatan kapasitas sistem pendidikan untuk menjangkau semua siswa dan dengan demikian dapat dipahami sebagai strategi utama untuk mencapai Pendidikan Untuk Semua). Sementara itu, Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education pasal 2 (1994 dalam Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar 2012) berbunyi bahwa “sekolah

reguler dengan orientasi inklusif tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua;...”. Dalam Deklarasi Bukittinggi (2005 dalam Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar 2012), pendidikan inklusif disebutkan sebagai “sebuah pendekatan terhadap

peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk PUS adalah benar-benar untuk semua”. Berdasarkan ketiga

(2)

10

pendidikan inklusi merupakan program layanan Pendidikan Untuk Semua (PUS), dimana siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dalam satu kelas yang sama atau kelas reguler.

Pendidikan inklusif tidak hanya berkaitan dengan layanan PUS bagi ABK untuk belajar bersama siswa reguler di kelas umum. Lebih dari itu, pendidikan inklusif diberikan kepada ABK dengan jenis kebutuhan khusus atau kelainan yang bervariasi. Direktorat Pembinaan PKLK Dikdas (2012) menyebutkan bahwa pendidikan inklusif diberikan kepada “semua anak

terlepas dari kemampuan ataupun ketidakmampuan mereka, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa dan agama menyatu dalam komunitas sekolah yang sama”. Sedangkan,

salah satu landasan filosofis dari penerapan pendidikan inklusif menjelaskan bahwa pendidikan inklusif merupakan pelaksanaan pendidikan multikultural sehingga membantu peserta didik untuk bisa mengerti, menerima, dan menghargai sesama manusia yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik atau psikologis. Sementara, Ahsan (2014) mendefenisikan, dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahwa “pendidikan inklusif sekarang

dianggap sebagai strategi yang layak untuk menciptakan pembelajaran lingkungan yang ramah untuk anak-anak/penyandang cacat, anak-anak dari etnis yang berbeda dan keragaman bahasa, anak-anak yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung secara sosial dan juga isu-isu gender”. Dengan

(3)

11 demikian, definisi ini memperkuat kedua definisi sebelumnya dimana pendidikan inklusif diberikan kepada siswa yang memiliki kasus atau hambatan yang bervariasi baik dari segi cacat fisik, etnografis, lingkungan/sosial budaya, latar belakang, maupun gender.

Penerapan pendidikan inklusif memberikan dampak yang baik bagi semua pihak, terkhususnya bagi ABK. Rallis & Anderson (1994 dalam Devi & Andrews 2007) mendefinisikan, dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahwa “pendidikan inklusif adalah

praktek yang menjamin bahwa setiap anak naik ke potensinya penuh sementara memvalidasi keunikan mereka”. Melalui pendidikan inklusif, dalam Deklarasi

Bandung (2004 dalam Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar 2012), ABK mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan sehingga menjadi generasi penerus yang handal, mendapatkan perlakuan yang manusiawi, mendapatkan pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat serta mampu mengembangkan keunikan potensi secara optimal. Oleh karena itu, pendidikan inklusif dikatakan sebagai program pendidikan dalam rangka upaya mengembangkan kemampuan ABK dalam ranah kognitif, psikomotorik, soft skills, dan karakter. Dengan demikian, ABK akan hidup semakin bermakna setelah memperoleh pendidikan (Mudjito dkk. 2012).

Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 31 menjamin bahwa ayat (1) “setiap warga negara berhak

(4)

12

mendapat pendidikan” dan ayat (2) “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pemerintah di sini

adalah Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten atau Kota. Dalam hal ini, pendidikan diberikan untuk semua orang termasuk untuk ABK. Hal ini sejalan dengan seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global yaitu World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000 bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015 lalu. Untuk itu, kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dijabarkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 telah mengatur Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Implementasinya dijabarkan melalui Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 yaitu dengan memberikan kesempatan atau peluang kepada ABK untuk memperoleh pendidikan di sekolah reguler baik SD, SMP, dan SMA/SMK terdekat.

Terkait implementasi dari penuntasan wajar dikdas 9 tahun bagi ABK, maka salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kota melalui Disdikpora adalah melalui piloting/model pendidikan inklusif. Dengan pencanangan Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif, Disdikpora menunjuk sekolah-sekolah piloting/model sekolah inklusif sebagai percontohan di sekolah lain khususnya di lingkungan Disdikpora Kota Palangka Raya. Penunjukkan sekolah piloting/model sekolah inklusif ditetapkan dengan Keputusan Kepala

(5)

13 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Palangka Raya.

2.2 Evaluasi Program

2.2.1 Pengertian Evaluasi Program

Pengertian evaluasi mengalami perkembangan sesuai dengan masanya. Pada masa awal, evaluasi sering diartikan sebagai upaya untuk menilai hasil belajar, berdasarkan bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan suatu perlakuan pembelajaran kepada peserta didik. Namun seiring dengan perkembangannya, evaluasi bukan hanya menilai hasil belajar saja melainkan penilaian terhadap proses dan hasil belajar karena terdapat faktor-faktor lain yang mendukung keberhasilan pencapaian hasil belajar siswa, seperti kondisi fisik dan psikis siswa, kapasitas guru, sarana prasarana penunjang, serta lingkungan pembentuk sekitarnya.

Evaluasi berasal dari kata evaluation artinya nilai atau penilaian. Definisi dari Oxford AS, evaluasi adalah suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Sedangkan menurut Suchman (1995 dalam Arikunto 2008), evaluasi adalah sebuah proses dalam menentukan hasil yang telah dicapai dalam beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Lebih lanjut, Stufflebeam dan Shinkfield (2007) menjelaskan pengertian evaluasi adalah proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif

(6)

14

keputusan. Dari ketiga definisi tersebut, evaluasi dapat disimpulkan sebagai upaya untuk menentukan hasil dari pelaksanaan suatu kegiatan dan pencapaian suatu tujuan, hingga pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternatif keputusan.

Sugiyo (2011) menyatakan bahwa “evaluasi

program merupakan sebuah proses penilaian terhadap penyusunan program, pelaksanaan program, penilaian dan analisis hasil serta tindak lanjut kegiatan yang dilaksanakan”. Melalui evaluasi program, sejauh

mana ketercapaian berjalannya suatu rangkaian program dapat dinilai dan tindak lanjut program dapat diputuskan oleh pembuat keputusan (Arikunto 2012). Menurut Arikunto (2012), tindak lanjut yang bisa diambil terhadap suatu keputusan kebijakan program terdiri dari empat macam. Pertama, program tetap dilanjutkan, dengan alasan bahwa program sangat bermanfaat. Kedua, program tetap dilanjutkan namun dengan penyempurnaan, dengan alasan bahwa dalam pelaksanaan program kurang baik/lancar. Ketiga, program dimodifikasi ulang, dengan alasan bahwa manfaat program kurang tinggi. Dan keempat, program dihentikan, dengan alasan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan ternyata hasil evaluasi tidak menunjukkan adanya manfaat dari program.

Sementara itu, program dapat diartikan sebagai “rencana” atau dalam pengertian yang lebih praktis program adalah suatu unit atau satuan kegiatan. Dengan demikian, program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya

(7)

15 satu kali tetapi berkesinambungan. Dengan demikian, dari beberapa definisi ‘evaluasi’ dan ‘program’ maka evaluasi program adalah upaya menentukan hasil dari pelaksanaan serangkaian kegiatan sehingga pencapaian tujuan dari kegiatan tersebut dapat dinilai, hingga pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternatif keputusan bagi kegiatan selanjutnya.

2.2.2 Model Evaluasi CIPP

Dalam penelitian ini, model evaluasi yang digunakan adalah model CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP merupakan sebuah singkatan dari

context, input, process, dan product. Model CIPP adalah

model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Stufflebeam (1983) mengemukakan bahwa model evaluasi CIPP adalah “sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented evaluation

approach structured) untuk memberikan bantuan

kepada administrator atau leader pengambil keputusan”. Hasil evaluasi akan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP menurut Stufflebeam (1983) diuraikan sebagai berikut:

Evaluasi konteks berkaitan dengan merencanakan keputusan, mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan tujuan program; segala sesuatu yang berpengaruh terhadap proses pelaksanaan evaluasi harus disiapkan dengan benar. Input evaluasi ini akan memberikan bantuan agar dapat menata keputusan, menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan, mencari berbagai alternatif yang akan dilakukan,

(8)

16

menentukan rencana yang matang, membuat strategi yang akan dilakukan dan memperhatikan prosedur kerja dalam mencapainya; evaluasi proses berkaitan dengan implementasi suatu program. proses pelaksanaan program dapat dimonitor, diawasi, atau bahkan diperbaiki; evaluasi hasil digunakan untuk menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya, berkaitan dengan manfaat dan dampak suatu program setelah dilakukan evaluasi secara seksama.

Stufflebeam dan Shinkfield (2007) menjelaskan substansi dari evaluasi konteks adalah menilai kebutuhan, masalah, aset dan peluang, mengidentifikasi target populasi, dan mendiagnosa permasalahan dalam suatu lingkungan umum. Evaluasi masukan menilai pendekatan alternatif, rencana kerja, rencana kepegawaian, dan angggaran untuk kelayakan dan potensi efektivitas biaya untuk memenuhi kebutuhan sasaran dan mencapai tujuan. Evaluasi proses bertujuan untuk memberikan sebuah penilaian dalam implementasi kegiatan, serta memberikan umpan balik bagi kinerja staff. Evaluasi produk bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan dan menilai hasil pencapaian suatu program. Pendapat Stufflebeam memiliki kesamaan dengan pendapat Wirawan (2012). Substansi komponen CIPP dijelaskan bahwa evaluasi konteks berupaya mengidentifikasi kebutuhan yang mendasar pembuatan program; evaluasi input mengidentifikasi program, SDM, sarpras, pembiayaan, prosedur kerja, dan perencanaan; evaluasi proses menilai wujud program, pelaksana, waktu pelaksanaan dan anggaran; dan evaluasi produk menilai dampak program.

(9)

17 Evaluasi terhadap program PI membutuhkan jenis model yang cocok untuk melakukan kegiatan evaluasi tersebut. Model CIPP dianggap sesuai dengan kajian evaluasi penyelenggaraan program PI dengan beberapa pertimbangan. Pertama, model ini memiliki langkah-langkah yang jelas dalam pengungkapan setiap urutan program. Kedua, penulis dapat menganalisa secara detail mulai dari hal yang melatarbelakangi penyelenggaraan program (context), bentuk perencanaan program (input), pelaksanaan program (process) dan produk yang dihasilkan dari penyelenggaraan program (product). Ketiga, model ini sudah banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Akhir dari evaluasi akan memberikan rekomendasi atas keberadaan program. Oleh karena itu, penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya dievaluasi dengan menggunakan model CIPP.

2.3 Hasil Penelitian Relevan

Penelitian tentang evaluasi penyelenggaraan program PI ini relevan dengan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian dikaji dari sisi yang berbeda namun tetap pada lingkup topik yang sama yakni implementasi program pendidikan inklusi. Terkait dengan topik tersebut, Nono (2013) sudah melakukan penelitian dengan judul penelitian “Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif Bagi ABK di Sekolah Dasar Kabupaten Pontianak”. Penelitian ini menggunakan model evaluasi CIPP. Hasil yang ditemukan adalah evaluasi komponen konteks

(10)

18

menunjukkan konteks landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita. Evaluasi komponen input menunjukkan input ABK yang bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi seluruh siswa yang ada. komponen proses menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek dinilai masuk dalam katagori baik dan cukup baik. Evaluasi komponen produk menunjukkan produk perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS dan UN dinilai cukup menggembirakan.

Penelitian terhadap evaluasi implementasi program PI juga dilakukan oleh Isabella dkk. (2014) dengan judul “Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus di SDN-131/IV Kota Jambi”. Model CIPP adalah model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun hasil temuan menunjukkan bahwa SDN-131/IV kota Jambi memiliki kriteria baik/bagus dengan prosentasi 68,35 sub-indikator implementasi PI di sekolah yang sudah sesuai dengan standar. Dari temuan ini, saran yang disampaikan adalah program dilanjutkan atas dasar revisi melalui penyesuaian dan perbaikan di beberapa komponen yang belum sesuai, demi mendapatkan kualitas program yang lebih baik.

Penelitian lain dilakukan oleh Maftuhatin (2014) dengan judul penelitian “Evaluasi Pembelajaran ABK di Kelas Inklusif (Studi Pelaksanaan Evaluasi

(11)

19 Pembelajaran ABK di SD Plus Darul ‘Ulum Jombang)”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa evaluasi pembelajaran sudah cukup bagus karena guru sudah menerapkan dua metode dalam evaluasi yaitu dengan soal yang disamakan dengan reguler dan yang kedua dengan soal sesuai dengan kebutuhan mereka, disertai dengan portofolio yang mencatat perkembangan mereka selama pembelajaran.

Selain itu, penelitian yang dilakukan Mitiku et al. (2014) dengan judul “Challenges and Opportunities to Implement Inclusive Education”, menemukan bahwa ada beberapa peluang yang mendukung pendidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusif dan harus ada kerjasama yang kuat di antara para pemangku kepentingan, LSM, dan badan-badan yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusif.

Penelitian lain dilakukan oleh Akinyi et al. (2015) dengan judul penelitian “Challenges Facing Implementation of Inclusive Education in Public Secondary Schools in Rongo-Sub County, Migori County, Kenya”. Hasil temuan menunjukkan bahwa sumber daya secara fisik dan kritis/penting untuk belajar mengajar tidak memadai atau cukup bobrok. Guru khusus tidak memadai, untuk menangani

(12)

20

kurikulum pendidikan kebutuhan khusus. Ada beberapa variabel sosial-ekonomi dan budaya yang menjadi kendala/membatasi pengajaran & pembelajaran yang efektif di sekolah-sekolah tercontoh/percontohan. Peneliti menganjurkan agar pemerintah Kenya melalui departemen pendidikan harus meletakkan/menempatkan di tempat yg memadai dan sumber daya fisik dan manusia yang sesuai untuk meningkatkan pelaksanaan SNE, tidak hanya di dalam lokal studi tetapi semua daerah lain yang mengalami kendala yang sama.

Sementara itu, Mohammed (2014) dalam penelitian yang berjudul “Implementation of Inclusive Education in Ghanaian Primary Schools: A Look at Teachers’ Attitudes”, menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi, tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek inklusif. Hal ini terbukti dalam penggunaan adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan individu. Oleh karena itu, SD di Ghana yang mengimplementasikan program inklusi menitikberatkan pada perilaku/sikap guru yang berbeda dalam memperlakukan ABK.

Penelitian yang dilakukan oleh Irenewaty dan Aman (2010) dengan judul “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta”, menunjukkan bahwa tidak ada standar/kriteria khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pelaksanaan pendidikan inklusif tergantung dari kesediaan sekolah itu sendiri. Kendala-kendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

(13)

21 ada empat. Pertama, kendala-kendala yang sifatnya praktis sebagai contoh kondisi geografis, saranaprasarana, dan kondisi keuangan. Kedua, yaitu psikologi baik dari masyarakat maupun guru. Ketiga, value yaitu penilaian/persepsi negatif masyarakat terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keempat, power yaitu hambatan-hambatan dari penguasa, misalnya penguasa membuat kebijakan dimana sekolah hanya menerima siswa-siswa normal bukan siswa yang memiliki kelainan atau kecerdasan luar biasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2013) dengan judul “Sekolah Inklusi Sebagai Perwujudan Pendidikan Tanpa Diskriminasi (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta)”, menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem pendidikan inklusi di sekolah tersebut masih banyak terdapat kelemahan. Dari segi pelaksanaan proses pembelajaran di kelas, sekolah tidak mempunyai GPK dan kurang mendapat perhatian pemerintah. Selain itu, keberadaan sekolah PI sangat baik karena semua ABK yang mendaftar dapat diterima, namun sekolah belum maksimal dalam memenuhi kebutuhan ABK yang dikarenakan keterbatasan sarpras penunjang dan sistem penilaian diberlakukan sama dengan kelas normatif.

Beberapa hasil penelitian yang relevan di atas memberikan gambaran terhadap pelaksanaan program PI. Sebagian sekolah sudah menjalankan program dengan maksimal. Sementara itu, beberapa sekolah terbukti belum maksimal menjalankan program PI yang

(14)

22

disebabkan oleh beberapa kendala yang dihadapi. Oleh karena itu, hasil temuan-temuan ini dapat memberikan saran atau rekomendasi terhadap perbaikan pelaksanaan program PI di sekolah, dinas atau pemerintahan terkait. Terkait dengan beberapa penelitian yang relevan ini, penelitian dari evaluasi terhadap penyelenggaraan program PI di kota Palangka Raya ini dapat menunjukkan dan menggambarkan sejauh mana pelaksanaan program. Dengan demikian, hasil evaluasi dapat memberikan manfaat dan rekomendasi bagi perbaikan terhadap keberlanjutan pelaksanaan program.

2.4 Kerangka Pikir

Kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Walikota Kota Palangka Raya Nomor 26 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus, Pendidikan Inklusif dan Pusat Sumber di kota Palangka Raya, mendorong Disdikpora untuk membentuk kelompok kerja (Pokja) PI. Pokja PI kota Palangka Raya berupaya intensif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program-program pembangunan PI. Pencanangan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif mewajibkan semua sekolah se-kota Palangka Raya untuk menjalankan program tersebut.

Dalam penelitian ini, sekolah yang diteliti adalah SD Negeri 6 Bukit Tunggal, SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 4. Fokus penelitian pada ketiga sekolah ini dikarenakan sekolah tersebut merupakan sekolah

(15)

23 penyelenggara program PI. Penelitian melihat dan mengumpulkan informasi terhadap evaluasi pelaksanaan program PI berdasarkan komponen CIPP.

Sejauh ini, program sudah berjalan sesuai dengan perencanaan yang dibuat dalam kalender atau agenda tahunan Pokja PI yaitu agenda tahun 2014-2018. Namun pelaksanaan program ini belum pernah dievaluasi oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penulis berupaya melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan program di beberapa lokasi penelitian. Adapun model evaluasi yang digunakan adalah model CIPP dimana penulis menilai evaluasi penyelenggaraan program dari segi context, input, process dan product.

Secara rinci, substansi yang dievaluasi pada komponen context meliputi penilaian terhadap kebutuhan yang belum terpenuhi, populasi yang dilayani, dan peluang/manfaat dari pelaksanaan program. Sementara itu, substansi evaluasi dari komponen input meliputi kemampuan sekolah, keterlibatan berbagai pihak, anggaran, dan ketersediaan SDM. Sementara, substansi yang dievaluasi pada komponen process meliputi monitoring dan evaluasi, kompetensi SDM dalam penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanan kegiatan, efektivitas sarpras dan kendala yang dihadapi. Evaluasi pada komponen product menilai dampak dari penerapan program terhadap perkembangan/prestasi ABK dan jumlah siswa yang terlayani oleh sekolah. Hasil dari keempat komponen evaluasi nantinya akan disimpulkan dan menjadi rekomendasi bagi sekolah

(16)

24

penyelenggara program PI dan Dinas terkait perihal perbaikan pelaksanaan program.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH/KOTA MELALUI PERWALI NO. 26 TAHUN 2014

PENCANANGAN KOTA SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN INKLUSIF

PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH-SEKOLAH

SE-KOTA PALANGKA RAYA

EVALUASI CIPP

HASIL EVALUASI

Gambar 2.1

Kerangka Pikir Penelitian

KESIMPULAN SEBAGAI REKOMENDASI/

PERBAIKAN SD Negeri 6

Referensi

Dokumen terkait

yang dinyatakan dalam Y.. Variabel bebas yaitu variabel yang mendahului atau mempengaruhi.. variabel terikat. Variabel bebas

Manajemen Penerbitan Memastikan Proses Submission Naskah sampai Publish secara elektronik Editor @ Section Editor Reviewer Copy Editor Layout Proofreader 1.. Editor

Kegiatan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pembantu Pada Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Banten tahun anggaran 2016 harus ditunjang oleh kemudahan

Pada Bab II ini akan dikaji pustaka yang relevan dengan penelitian yang berjudul: “Penerapan Pendekatan Konstruktivistik Melalui Dialog untuk Meningkatkan Kemampuan

Halim dan Damayanti (2007) menyebutkan bahwa anggaran merupakan informasi atau pernyataan mengenai rencana atau kebijakan bidang keuangan dari suatu organisasi atau badan

(2) Prekursor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-Prekursor atau penunjukan

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan

Hasil tersebut berbeda dengan penelitian lainnya yang dilakukan langsung kepada pasien serta dilengkapi dengan data rekam medis pasien di Swedia yang menunjukkan bahwa