• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang ingin maju dan meningkatkan diri. Semua yang diperoleh melalui bahan bacaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang ingin maju dan meningkatkan diri. Semua yang diperoleh melalui bahan bacaan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Hakikat Membaca

Kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat diperlukan oleh siapapun yang ingin maju dan meningkatkan diri. Semua yang diperoleh melalui bahan bacaan akan memungkinkan orang mampu mempertinggi daya dan pikiran, mempertajam pandangan, dan memperluas wawasan. Mulyati (2009:12) menyatakan bahwa “membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis yang bersifat reseptif.” Disebut reseptif karena dengan membaca seseorang dapat memperoleh informasi, memperoleh ilmu dan pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru sehingga dapat meningkatkan dirinya. Sejalan dengan hal tersebut Nuryani (2016: 161) menjelaskan bahwa “membaca merupakan keterampilan berbahasa, seseorang yang gemar membaca dimungkinkan kemampuan berbahasanya akan lebih baik, begitu pula dengan pengetahuannya.”

Prasetyono (2008: 57) berpendapat bahwa “membaca merupakan kegiatan pikiran yang dilakukan dengan penuh perhatian untuk memahami suatu informasi melalui indera penglihatan dalam bentuk simbol-simbol yang rumit, yang disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai arti dan makna.” Pendapat lain dikemukakan Tarigan (2008: 7) “membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata kata/bahasa tulis.” Dengan demikian, membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak

(2)

disampaikan. Pesan atau makna yang terkandung dalam teks bacaan merupakan interaksi timbal balik, interaksi aktif, dan interaksi dinamis antara pengetahuan dasar yang dimiliki pembaca dengan kalimat-kalimat, fakta, dan informasi yang tertuang dalam teks bacaan.

Kematangan anak untuk belajar membaca tercemin pada beberapa kemampuan tertentu pada anak. misalnya kemampuan melihat, kemampuan mendengar, kemampuan memahami, dan besarnya perhatian. Pada hakikatnya membaca merupakan memahami dan merekonstruksikan makna yang terkandung dalam bahan bacaan. Pesan atau makna yang terkandung dalam teks bacaan merupakan interaksi timbal balik, interaksi aktif, dan interaksi dinamis antara pengetahuan dasar yang dimiliki pembaca dengan kalimat-kalimat, fakta dan informasi yang tertuang dalam teks bacaan.

Pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar bertujuan meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi secara efektif, baik lisan maupun tertulis, baik dalam situasi resmi maupun non resmi, kepada siapa, kapan, di mana, untuk tujuan apa. Bertumpu pada kemampuan dasar membaca dan menulis juga perlu diarahkan pada tercapainya kemahiran wacanaan.

Proses membaca sangat komplek dan rumit. Proses ini melibatkan sejumlah aktivitas, baik yang meliputi kegiatan mental atau fisik. Menurut Burns dan Syaie dalam Tarigan (2008: 32) proses membaca terdiri atas delapan aspek, kedelapan aspek tersebut adalah:

(3)

a. Aspek sensori, yaitu kemampuan untuk memahami simbol-simbol tertulis. b. Aspek perseptual, yakni aspek kemampuan untuk menginterpretasikan apa yang

dilihatnya sebagai simbol atau kata.

c. Aspek sekuensial, yakni kemampuan mengikuti pola-pola urutan, logika dan gramatikal teks.

d. Aspek asosiasi, yakni aspek kemampuan mengenal hubungan antara simbol dan bunyi dan antara kata-kata dan yang dipresentasikan.

e. Aspek pengalaman, yakni aspek kemampuan menghubungkan kata-kata dengan pengalaman yang telah dimiliki untuk memberikan makna itu.

f. Aspek berfikir, yakni kemampuan untuk membuat interferensi dan evaluasi dari materi yang dipelajari.

g. Aspek belajar, yakni aspek kemampuan untuk mengingat apa yang telah dipelajari dan menghubungkan dengan apa yang telah dipelajari dan menghubungkannya dengan gagasan dan fakta yang baru dipelajari.

h. Aspek afektif, yakni aspek yang berkenaan dengan minat pembaca yang berpengaruh terhadap keinginan membaca.

Nuriadi (2008: 29) menyatakan bahwa “membaca dalam pengertian yang luas merupakan proses awal bagi manusia untuk berfikir dan memutuskan sikap dan perilakunya.” karena membaca sebagai aktifitas yang sangat umum setiap orang mempunyai serangkaian kebiasaan membaca yang tentu berbeda dengan orang-orang lainnya. Serangkaian kebiasaan ini terjadi karena dilakukan secara terus menerus dalan jangka waktu yang relatif lama yang melibatkan proses mental maupun fisik.

(4)

Zubaidah dalam Tarman (2016: 8) menjelaskan bahwa “membaca dimulai dari sebuah kesan sensori yang berwujud rangsang penglihatan, pendekatan dan rabaan (untuk siswa yang buta).” Kemampuan penginderaan dan kualitas kognisi untuk memahami tulisan yang dilakukan oleh seseorang pada saat membaca berpengaruh terhadap daya bacanya.” Membaca merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sebuah informasi, memperoleh ilmu dan pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru.

Pendapat lain dikemukakan oleh Broto dalam Abdurahman (2012: 158) bahwa “membaca bukan hanya mengucapkan bahasa tulisan atau lambang bunyi bahasa, melainkan juga menanggapi dan memahami isi bahasa tulisan. Dengan demikian, membaca pada hakekatnya merupakan suatu bentuk komunikasi tulis. Sementara menurut Hartati dalam Susanto (2011: 84) “membaca pada hakekatnya adalah kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan, walaupun dalam kegiatan ini terjadi pengenalan huruf-huruf. Membaca dikatakan sebagai kegiatan fisik karena pada saat membaca bagian-bagian tubuh khususnya mata membantu melakukan proses membaca. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Orang dapat membaca dengan baik jika mampu melihat huruf-huruf dengan jelas, mampu menggerakkan mata secara lincah, mengingat simbol bahasa dengan tepat dan memiliki penalaran yang cukup untuk memahami bacaan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah kecakapan dalam menggunakan olah pikir dan perbuatan untuk melakukan aktifitas

(5)

visual dengan menyuarakan rangkaian huruf menjadi kata dan kalimat dengan menguasai teknik membaca dan menangkap isi bacaan dengan baik.

a. Kemampuan Membaca Permulaan

Membaca permulaan diperuntukan untuk siswa sekolah dasar tingkat rendah hususnya kelas 1. Putra (2008: 4) mengungkapkan bahwa “membaca permulaan menekankan pengkondisian siswa untuk masuk dan mengenal bahan bacaan.” Dalam membaca permulaan belum sampai pada membaca pemahaman yang mendalam akan materi secara menyeluruh, lalu menyampaikan hasil pemerolehanya dari membacanya. Membaca permulaan merupakan tahapan awal dalam belajar membaca dan merupakan ketrampilan awal yang harus dipelajari dan dikuasai oleh pembaca. Selanjutnya Dalman (2013: 56) menyatakan bahwa “pada tahap membaca permulaan siswa diperkenalkan dengan bentuk huruf abjad dari A/a sampai dengan Z/ z. Huruf-huruf tersebut perlu dihafalkan dan dilafalkan siswa sesuai dengan bunyinya.” Mendukung pernyataan diatas, Anderson dalam Nurbiana (2008: 5) mengungkapkan bahwa “membaca permulaan adalah membaca yang diajarkan secara terpadu sehingga menitik beratkan pada pengenalan huruf dan kata menghubungkannya dengan bunyi.”

Kemampuan membaca dibagi kedalam dua kelompok, yaitu pembaca pemula dan pembaca lanjut. Menurut Abidin dalam Tarman (2016: 30) menyatakan bahwa “pembaca pemula adalah pembaca yang biasanya dilakukan oleh peserta didik dikelas-kelas rendah pada jenjang Sekolah Dasar (SD) yaitu dikelas-kelas 1,2 dan 3.” Kemampuan membaca tersebut adalah sekedar melek huruf yaitu hanya untuk mengenal huruf dan membaca deretan huruf tersebut yang telah menjadi kata. Pada jenjang ini, tidak

(6)

diharuskan memaknai kata yang di bacanya. Manfaat kemampuan permulaan pada masa kelas 1 SD akan menambah rasa percaya diri peserta didik. Kemampuan membaca dapat menambah rasa percaya diri seseorang sehingga dapat berbicara di depan umum. Sejalan dengan itu, Wahyuni (2015: 5) mengemukakan bahwa “kemampuan membaca bisa memperbesar rasa percaya diri anak, baik dihadapan guru maupun dihadapan teman-temannya.” Hal tersebut akan terjadi pada peserta didik yang kemampuan bacanya lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya. Sebaliknya, peseta didik yang kemampuan membacanya lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya akan mengalami rasa rendah diri. Berkaitan dengan hal tersebut, Noviana (2009: 3) menjelaskan bahwa “kemampuan membaca merupakan sarana mencerdaskan peserta didik sebagai investasi dalam membangun karakakter dan kesempatan baginya untuk merasa istimewa.” Dengan demikian maka pembaca pemula harus mendapatkan perhatian utama karena pembaca pemula akan menjadi modal dan pondasi peserta didik mengembangkan potensi yang dimilikinya

b. Tujuan Membaca

Membaca merupakan kegiatan menerjemahkan simbol dan memahami arti atau maknanya melalui indera penglihatan. Membaca tidak sekedar melihat tulisan tetapi aktivitas ini mempunyai tujuan, yaitu untuk mendapatkan informasi baru yang terkandung di dalam bahan bacaan. Kemampuan membaca merupakan kemampuan yang sangat penting. Menurut Prasetyono (2008: 60) tujuan membaca sebagai berikut: 1) Membaca merupakan aktivitas yang menyenangkan tidak melibatkan proses

(7)

2) Membaca dapat berpengaruh pada kognitif anak karena disesuaikan dengan tahap perkembangan membaca anak.

3) Membaca dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan. 4) Membaca merupakan salah satu aktivitas pekerjaan atau profesi.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Blanton dalam Rahim (2008:11) mengemukakan tujuan membaca berikut ini.

1) Kesenangan, belajar membaca dengan dasar senang tidak akan menjadi beban bagi yang mempelajarinya.

2) Menyempurnakan membaca nyaring, membaca nyaring biasanya digunakan untuk membaca dikelas rendah dalam menyempurnakan fonem, dikelas tinggi untuk melatih menyimak pada anak.

3) Menggunakan strategi tertentu, membaca merupakan kegiatan yang kompleks sehingga membutuhkan berbagai srategi untuk mengajarkannya.

4) Memperbaharui pengetahuannya tentang satu topik, topik yang diketahui dapat diperbaharui dengan membaca.

5) Mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, membaca akan menambah referensi sehingga informasi yang satu dengan yang lainnya dapat dikaitkan untuk menjadi sebuah referensi baru.

6) Memperoleh informasi untuk laporan lisan atau tertulis, membaca erat kaitannya dengan menulis dan berbicara, pembaca dapat menulis dan berbicara dengan informasi yang diperolehnya dari kegiatan membaca.

(8)

7) Menginformasikan atau menolak prediksi, prediksi yang dimilki oleh seseorang dapat dikonfirmasi atau ditolak dengan informasi dari sebuah bacaan.

8) Menampilkan atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari satu teks dengan beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks

9) Menjawab pertannyaan yang spesifik, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dapat terjawab dengan membaca.

Tujuan membaca menurut Prasetyono (2008: 60) dan Blanton dalam Rahim (2008: 11) merupakan tujuan membaca secara umum. Sedangkan tujuan membaca permulaan adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Berkaitan dengan hal tersebut Wassid dan Sunendar dalam Tarman (2016: 19) mengemukakan tujuan membaca permulaan sebagai berikut

1) Mempelajari lambang-lambang (simbol-simbol bahasa) 2) Mempelajari kata dan kalimat

3) Mempelajari ide pokok dan kata-kata kunci 4) Menceritakan kembali isi bacaan pendek.

Melihat pentingnya tujuan membaca maka terangkum tujuan permulaan di kelas 1 adalah agar siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat.” Menambahkan, Jamaris (2013: 134) “pelaksanaan membaca permulaan di kelas 1 Sekolah Dasar dilakukan dalam dua tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan menggunakan buku.” Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan dengan cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga selain buku

(9)

misalnya kartu gambar, alat peraga yang tentu saja harus memberikan kesan yang menarik agar anak merasa sangat senang. Sedangkan, pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan menggunakan buku sebagai bahan pembelajaran agar anak rajin untuk membacanya.

Depdiknas dalam Retnaningrum (2015: 82) menyatakan hasil belajar yang diharapkan dalam pembelajaran membaca permulaan di kelas 1 sekolah dasar antara lain siswa mampu membaca nyaring suku kata, kata, dan kalimat sederhana, selanjutnya siswa bisa membaca bersuara kalimat sederhana terdiri atas tiga sampai lima kata. Dalam penelitian ini aspek kecepatan dan ketepatan membaca lebih ditekankan dalam membaca permulaan pada siswa kelas 1 sekolah dasar, karena siswa kelas satu belum mengenal adanya tanda baca seperti tanda koma (,), tanda tanya (?), dan tanda seru (!).

Berdasarkan pendapat tentang tujuan membaca maka dapat ditegaskan bahwa tujuan membaca permulaan pada siswa sekolah dasar adalah untuk memperoleh kesenangan, meningkatkan pengetahuan, serta mempersiapkan kemampuan anak dalam membaca ke tahap selanjutnya. Standar kompetensi tersebut dispesifikasikan dalam bentuk kemampuan membaca permulaan.

c. Tahapan Perkembangan Membaca

Membaca merupakan proses yang kompleks. Proses ini melibatkan sejumlah kegiatan fisik dan mental. Glen dalam Susanto (2011: 84) menjelaskan bahwa “mengajar membaca harus dimulai dengan mengeja, dimulai dengan pengenalan huruf kemudian mengenal suku kata, barulah mengenal kata dan akhirnya kalimat.” Belajar

(10)

membaca dan menulis merupakan hal yang sangat sulit bagi anak karena anak harus belajar huruf dan bunyi. Sementara itu Mercer dalam Abdurrahman (2012: 159-161) membagi tahapan membaca menjadi lima, yaitu:

1) Kesiapan Membaca

Tahap perkembangan kesiapan membaca mencakup rentang waktu dari sejak dilahirkan hingga pelajaran membaca diberikan.

2) Membaca Permulaan

Tahap membaca permulaan umumnya dimulai sejak anak masuk kelas 1 sekolah dasar, yaitu pada saat berusia sekitar enam tahun. Meskipun demikian, ada anak yang sudah belajar membaca lebih awal dan ada pula yang baru belajar membaca pada usia tujuh atau delapan tahun.

3) Keterampilan Membaca Cepat

Ketrampilan membaca cepat atau membaca lancar umumnya terjadi pada saat anak-anak duduk di kelas dua atau kelas tiga SD.

4) Membaca Luas

Tahap membaca luas umumnya terjadi pada saat anak-anak telah duduk di kelas empat atau lima SD. Pada tahap ini anak-anak gemar dan menikmati sekali membaca.

5) Membaca yang Sesungguhnya

Tahap membaca yang sesungguhnya umumnya terjadi ketika anak-anak sudah duduk di SLTP dan berlanjut hingga dewasa. Pada tahap ini anak-anak tidak lagi belajar membaca tetapi membaca untuk belajar.

(11)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak umumnya sebagai pembaca awal berada pada tahap membaca permulaan. Lebih khususnya, anak-anak berada pada tahap pertama dan kedua dalam proses membaca, yaitu tahap logografis dan alfabetis. Pembagian tahapan ini berdasarkan kemampuan yang harus dikuasai anak, yaitu penguasaan kode alfabetik yang hanya memungkinkan anak untuk membaca secara teknis atau secara benar, belum sampai memahami bacaan seperti pada tahap membaca lanjut.

Proses pembelajaran membaca secara garis besar harus terdiri atas tiga tahapan atau tingkatan yakni tahapan prabaca, tahapan membaca dan tahapan pascabaca. Ketiga tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai

1) Kegiatan Prabaca

Kegiatan prabaca adalah kegiatan pengajaran yang dilaksanakan sebelum siswa melakukan kegiatan membaca. Dalam kegiatan prabaca, guru mengarahkan perhatian pada pengaktifan skemata siswa yang berhubungan dengan topik bacaan. Menurut Rahim (2008: 99) “Skemata ialah latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa tentang suatu informasi atau konsep tentang sesuatu.” teknik yang bisa dilakukan guru untuk mengaktifkan skemata siswa melalui kegiatan prabaca. Pertama, guru membaca judul bacaan dengan nyaring, kemudian memperkenalkan para pelaku dengan menceritakan nama-nama mereka dan beberapa pertanyaan yang menceritakan tentang para pelaku, tokoh dan akhirnya guru menyuruh siswa memprediksi kelanjutan siswa. Kedua, kegiatan memprediksi, untuk memunculkan minat siswa pada bacaan. Untuk memunculkan prediksi dari siswa pada kegiatan

(12)

prabaca dapat dilakukan kegiatan membaca nyaring beberapa halaman dari sebuah buku. Jika tebalnya 100 halaman, suruh siswa mengambil 3 halaman antara halaman 1-100. Baca 3 halaman tersebut dengan nyaring, kemudian siswa disuruh memprediksi isi cerita. Kegiatan ini membangkitkan rasa ingin tahu dan minat siswa kepada buku tersebut. Ketiga menurut Abidin (2016:19) “kegiatan lain yang mencakup dalam kegiatan prabaca ialah menggunakan berbagai stimulus untuk mempertahankan perhatian siswa pada pelajaran.”

2) Kegiatan Membaca

Setelah kegiatan prabaca, kegiatan berikutnya ialah kegiatan saat baca. Beberapa strategi dan kegiatan bisa digunakan dalam kegiatan saat baca untuk meningkatkan pemahaman siswa. Akhir-akhir ini perhatian banyak dicurahkan pada penggunaan strategi metakognitif siswa selama membaca. Menurut Rahim (2008: 100) metakognitif ialah kegiatan berfikir kritis, yang merujuk pada hasil analisis. Apabila diaplikasikan pada membaca, membaca merupakan pembelajar yang aktif dan konsumen informasi. Dalam kegiatan ini pengetahuan siswa tentang proses kognitif mereka sendiri pembaca membangun tujuan belajar dan menentukan urutannya dalam pengajaran.

3) Kegiatan Pascabaca

Kegiatan pascabaca merupakan kegiatan pemantapan terhadap hasil belajar yang telah diperoleh sebelumnya. Burns dalam Rahim (2008: 111) mengemukakan bahwa kegiatan pascabaca digunakan untuk membantu siswa memadukan informasi baru yang dibacanya kedalam skemata sehingga diperoleh tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

(13)

Dengan demikian kegiatan pascabaca digunakan untuk membantu siswa memadukan informasi baru yang dibacanya kedalam skemata yang telah dimilikinya sehingga diperoleh tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

d. Aspek-Aspek Dalam Kelancaran Membaca

Membaca dapat dilihat dari banyak aspek salah satunya adalah kelancaran membaca. Aspek dalam kelancaran membaca menurut Windiarini dalam Retnaningrum (2015: 82) yaitu:

1) Kecepatan

Mengasumsikan bahwa kecepatan membaca merefleksikan pemanggilan kata secara otomatis (tanpa pengejaan) dengan kata-kata yang dibaca dengan benar tiap menit. Membaca cepat merupakan refleksi otomatisasi dalam pengenalan kata dan penilaian bacaan dalam efisiensi waktu yang telah di tentukan. Cara mengukur kecepatan membaca adalah dengan menghitung jumlah kata yang terbaca setiap menit. Somadayo dalam Retnaningrum (2016: 82) menyatakan “standar kecepatan membaca siswa kelas 1 sekolah dasar adalah 40-70 kata per menit, kelas dua 90-110 kata per menit, kelas tiga 120-140 kata per menit, kelas empat 150-160 kata per menit, kelas lima 170-180 kata per menit, dan kelas enam 190-250 kata permenit.”

2) Ketepatan

Kemampuan menguraikan kata secara tepat. Direfleksikan melalui kata-kata yang dibaca secara tepat pada tiap kalimat yang diberikan. Dalam ketepatan diperlukannya kemampuan awal yaitu mengenal bunyi huruf yang terdapat dalam bacaan sehingga

(14)

kemampuan membaca awal atau tingkat dasar dapat dikuasai anak melalui pelatihan atau proses belajar yang menggunakan asosiasi bunyi dan simbol

3) Prosodi/Nada/ Tanda baca.

Berhubungan dengan ekspresi atau intonasi, tekanan irama yang mempengaruhi pengutaran tanda baca dalam suatu bacaan. Direfleksikan melalui tampilan-tampilan tanda baca sehingga pembaca mampu membaca tepat dan akurat dengan intonasi yang cocok untuk menghasilkan teks bahasa lisan yang ekspresif.

e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca pemulaan menurut Lamb dan Arnold dalam Rahim (2008: 16) sebagai berikut:

1) Faktor fisiologis

Mencakup kesehatan fisik, pertimbangan neurologis, dan jenis kelamin. Selain faktor tersebut, faktor lain yang juga berpengaruh yaitu kelelahan. Kelelahan merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi anak untuk belajar, khususnya belajar membaca. Gangguan pada alat bicara, alat pendengaran, dan alat penglihatan, bisa memperlambat kemajuan belajar membaca anak. Siswa akan mengalami hambatan dalam menganalisis bunyi jika terdapat permasalahan pada alat pendengaran dan alat penglihatannya.

2) Faktor Intelektual

Istilah intelejensi didefinisikan sebagai suatu kegiatan berfikir yang terdiri dari pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan meresponnya secara cepat.

(15)

3) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ini mencakup latar belakang dan pengalaman siswa di rumah, serta keadaan sosial ekonomi keluarga siswa. Orang tua yang hangat, demokratis dan bisa mengarahkan anak-anak mereka pada kegiatan yang berorientasi pendidikan, suka menantang anak untuk berfikir, dan suka mendorong anak untuk mandiri merupakan orang tua yang memiliki sikap yang dibutuhkan anak sebagai persiapan yang baik untuk belajar di sekolah. Disamping itu, komposisi orang dewasa dalam lingkungan

rumah juga berpengaruh pada kemampuan membaca anak. 4) Faktor Psikologis

a) Motivasi

Kunci motivasi itu sederhana, tetapi tidak mudah untuk mencapainya. Menurut Eaners dalam Rahim (2008: 19) mengemukakan bahwa “kuncinya adalah guru harus mendemonstrasikan kepada siswa praktik pengajaran yang relevan dengan minat dan pengalaman anak sehingga anak memahami belajar itu sebagai suatu kebutuhan.” Dapat disimpulkan motivasi merupakan dorongan seseorang melakukan kegiatan.

b) Minat

Minat baca menurut Rahim (2008: 28) ialah “keingingan yang kuat disertai usaha-usaha seseorang untuk membaca. Orang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkannya dalam kesediaan untuk mendapatkan bahan bacaan dan kemudian membacanya atas kesadarannya sendiri.

(16)

Terdapat tiga aspek kematangan emosi dan sosial yaitu stabilitas emosi, kepercayaan diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kelompok. Anak akan lebih mudah memusatkan perhatian pada teks yang dibacanya. Glazer & Searfoss dalam Rahim (2008:30) mengemukakan bahwa “siswa perlu menghargai segi-segi positif dalam dirinya.” Dengan demikian, siswa akan menjadi yakin terhadap dirinya sendiri, penuh percaya diri, dan dapat mengerjakan tugas seuai kemampuannya dengan baik.

Pendapat yang lain dikemukakan Suryabrata dalam Retnaningrum (2015: 82) “faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca yaitu faktor internal, digolongkan menjadi faktor fisiologis dan psikologis.” Faktor fisiologis yang memengaruhi proses belajar adalah kondisi jasmani pada umumnya misalnya nutrisi yang cukup, kondisi jasmani yang sehat, adanya penyakit seperti pilek, batuk, adanya kekurangan secara fisik. Intelegensi juga sangat berperngaruh terhadap kemampuan membaca seseorang. Intelegensi manusia dipandang sebagai sebuah komponen proses kognitif yang berhubungan dengan pemrosesan informasi. Intelegensi ditandai dengan adanya kemampuan memahami bahasa secara umum, dan faktor psikologis antara lain adanya dorongan dan minat yang kuat dari dalam diri untuk belajar membaca.

Faktor eksternal dari individu yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan menjadi faktor sosial dan non sosial. Faktor sosial diantaranya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, bahkan media seperti televisi, radio, dan lain-lain. Faktor non sosial misalnya metode yang digunakan untuk belajar, cuaca, suhu udara, dan lain-lain.

(17)

f. Metode Pengajaran Membaca

Dalam membaca diperlukan metode yang tepat untuk mengajarkannya. Sejalan dengan hal tersebut Abdurrahman (2012: 171-174) mengemukakan metode pengajaran membaca bagi anak pada umumnya, antara lain:

1) Metode Membaca Dasar

Metode membaca dasar pada umumnya menggunakan pendekatan eklektik yang menggabungkan berbagai prosedur untuk mengajarkan kesiapan, perbendaharaan kata, mengenal kata, pemahaman, dan kesenangan membaca. Metode ini umumnya dilengkapi rangkaian buku yang disusun dari taraf sederhana hingga taraf yang lebih sukar, sesuai dengan kemampuan atau tingkat kelas anak-anak.

2) Metode Fonik

Metode fonik menekankan pada pengenalan kata melalui proses mendengarkan bunyi huruf. Pada mulanya anak diajak mengenal bunyi bunyi huruf, kemudian mensintesiskannya menjadi suku kata, dan kata. Bunyi huruf dikenalkan dengan mengaitkannya dengan kata benda, misalnya huruf “a” dengan gambar “ayam”. Dengan demikian, metode ini lebih bersifat sintesis daripada analitis.

3) Metode Linguistik

Metode linguistik didasarkan atas pandangan bahwa membaca adalah proses memecahkan kode atau sandi yang berbentuk tulisan menjadi bunyi yang sesuai dengan percakapan. Anak diberikan suatu bentuk kata yang terdiri dari konsonan dan vokal atau konsonan-vokal-konsonan, seperti “bapak” atau “lampu”.

(18)

Kemudian anak diajak memecahkan kode tulisan. itu menjadi bunyi percakapan. Dengan demikian, metode ini lebih bersifat analitik daripada sintetik.

4) Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)

Metode ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara metode fonik dan linguistik. Perbedaannya adalah jika di dalam metode linguistik kode tulisan yang dipecahkan berupa kata, di dalam SAS berupa kalimat pendek yang utuh. Metode ini berdasarkan asumsi bahwa pengamatan anak mulai dari keseluruhan (gestalt) dan kemudian ke bagian-bagian.

5) Metode Alfabetik

Metode ini menggunakan dua langkah, yaitu memperkenalkan kepada anak berbagai huruf alfabetik dan kemudian merangkaikan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata, kata, dan kalimat.

6) Metode Pengalaman Bahasa

Metode ini terintegrasi pada perkembangan anak dalam ketrampilan mendengarkan, bercakap-cakap, dan menulis. Bahan bacaan yang digunakan didasarkan atas pengalaman anak.

Pembelajaran membaca yang dimaksud disini ialah proses pembelajaran untuk menimbulkan kebiasaan dan minat membaca pada anak. Proses pembelajaran ini digunakan terutama bagi tingkat dasar, agar anak memperoleh pengalaman belajar yang baik dan menyenangkan dalam pembelajaran membaca permulaan.

(19)

2. Bidang Kajian Fonologi

Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ‘ilmu bunyi’. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi, baik yang diucapkan (etik, parole), maupun yang masih dalam pikiran (emik, langue). Menurut Verhaar dalam Anggaira (2016: 216) “fonologi adalah salah satu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam bahasa tersebut.” Objek garapan fonologi meliputi dua macam yaitu (1) fonetik dan (2) fonemik. Objek kajian fonologi yang pertama adalah bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai makna atau tidak disebut fonetik. Adapun objek kajian fonologi yang kedua adalah bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna disebut fonemik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya, dan perubahannya.

Pada pembahasan ini akan lebih fokus membahas fonemik. Objek kajian fonemik adalah Fonem. Menurut Schane dan Bendixen dalam Wardana (2014: 77) mengemukakan bahwa “fonem merupakan wujud abstrak dari bunyi bahasa atau sekelompok bunyi berbeda yang memiliki fungsi sama.” Lebih lanjut Alwi dkk (2003: 26) mengemukakan bahwa "fonem adalah bunyi bahasa yang minimal membedakan bentuk dan makna kata. Menambahkan Kridalakasana dalam Anggaira (2016: 217) “fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukan perbedaan makna.” Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan fonem merupakan bunyi dan jika dikaitkan

(20)

dengan huruf bahwa setiap huruf memiliki bunyi. Untuk menentukan sebuah bunyi dinamakan fonem atau bukan, bisa dilakukan dengan cara membandingkannya dengan kata yang mirip. Seperti kata lupa dan rupa, kedua kata tersebut memiliki perbedaan makna karena terdapat perbedaan bunyi /r/ dan /l/ dapat disimpulkan bahwa bunyi /r/ dan /l/ adalah fonem yang berbeda karena kedua bunyi itu ternyata membedakan makna.

Dalam ilmu bahasa fonem ditulis diantara dua garis miring /…/. Jadi, dalam bahasa Indonesia /p/ dan /b/ adalah dua fonem arena kedua bunyi p dan b dapat membedakan bentuk dan arti. Seperti contoh Pola - /Pola/: bola - /bola/. Fonem dalam bahasa dapat mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ mempunyai dua macam lafal bila berada pada awal kata atau suku kata, fonem dilafalkan secara lepas untuk kemudian pada kata /Pola/, misalnya, fonem /p/ diucapkan secara lepas untuk kemudian diikuti oleh fonem /o/. bila berakhir pada akhir kata fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas. Bibir tertutup rapat waktu mengucapkan bunyi ini misalnya /suap/, /atap/, dan /katup/.

Fonem sangat erat kaitannya dengan grafem. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Depdiknas (2016: 466) grafem adalah satuan terkecil sebagai pembeda dalam sebuah sistem aksara. Menurut Alwi dkk (2003: 26) mengemukakan bahwa grafem adalah pelambang fonem yang berbentuk huruf. Antara fonem dan grafem terlihat tidak mempunyai perbedaan. Misal kata pagi terdiri atas empat grafem atau huruf p-a-g-i dan memiliki empat fonem yaitu /p/, /a/, /g/, /i/. Contoh lain terdapat pada kata sangat terdiri atas enam huruf atau grafem, apabila ditinjau dari bunyi

(21)

(fonem) memiliki lima fonem yaitu /s/, /a/, /ŋ/, /a/, /t/. Contoh kata lain adalah nyanyi terdiri atas enam grafem dan memiliki empat fonem yaitu /ñ/, /a/, / ñ/, /i/. Huruf ng pada sangat melambangkan satu fonem, demikian pula huruf ny pada nyanyi melambangkan satu fonem. Dalam bahasa Indonesia ada yang dikenal dengan khazanah. Chaer (2009: 62) mengemukakan bahwa “khazanah adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa.” Menurut Saekan (2009: 162-163). khazanah fonem terdiri dari enam buah fonem vokal (/a/, /i/, /u/, /e/, /ә/, dan /o/) dan Ada dua tiga dua konsonan fonem dalam bahasa Indonesia (/p/, /t/, /k/, /b/, /d/, /g/, /c/, /j/, /f/, /v/, /s/, /š/, /x/, /h/, /m/, /n/, /ň/, /ŋ/, /z/, /r/, /l/, /w/ dan /y/).

Dalman (2013: 78) mengemukakan bahwa “khazanah adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa.” Menurut Saekan (2014: 162) mengemukakan bahwa “fonem Bahasa Indonesia yang berupa vokal terdapat sebanyak enam vokal yaitu: /i/, /e/, /ә/, /a/, /u/ dan /o/.” Klasifikasi vokal-vokal dalam bahasa Indonesia dapat ditemukan di awal, di tengah maupun di akhir suku kata bahasa Indonesia. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Data Posisi Vokal Bahasa Indonesia Dalam Suku Kata Fonem Posisi diawal suku

kata

Posisi di tengah suku kata

Posisi di akhir suku kata /i/ ingat/ iņat/ Jitu/ jitu/ duri/ duri/

/u/ ubi/ ubi/ duduk/ duduk/ tebu/ tebu/

/ e/ enak/ enak/ desa/ desa/ tempe/ tempe/ /ә/ empat/ әmpat/ iseng/ isәŋ/ tante/ tantә/ /a/ ada/ ada/ dendam/ dendam/ dua/ dua/ /o/ obat/obat/ koran / koran/ kado/ kado/

(22)

Saekan (2009: 163) mengemukakan bahwa:

Ada dua puluh tiga konsonan fonem dalam bahasa Indonesia. Konsonan yang diperoleh dari cara artikulasi terdapat pasangan konsonan hambat /p/, /t/, /k/, /b/, /d/ /g/. Pasangan konsonan afrikat /c/, dan /j/. Pasangan konsonan frikatif /f/, /v/, /s/, /q/, /x/, /h/. Pasangan konsonan nasal /m/, /n/, /ǹ/, /η/ Pasangan konsonan getar /z/, /r/. Pasangan konsonan lateral /l/. Pasangan konsonan semivokal /w/, dan /y/.

Jika diklasifikasi posisinya dalam suku kata terdapat beberapa konsonan yang hanya berada di posisi awal suku kata dan di tengah suku kata tetapi tidak ditemukan di akhir suku kata. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2

Data Posisi Konsonan Bahasa Indonesia Dalam Suku Kata Fonem Posisi diawal suku

kata

Posisi di tengah suku kata

Posisi di akhir suku kata /p/ Pagi /pagi/ Topi /topi/ Mantap /mantap/

/t/ Toko /toko/ Kata /kata/ Catat /catat/ /k/ Kuda /kuda/ Kakak /kakak/ Adik /adik/ /b/ Budak /budak/ Tabu /tabu/ adab /adab/

/d/ Dari /dari/ Roda /roda/ Abad /abad/

/g/ Got /got/ Juga /juga/ Tablig /tablig/

/c/ Cat /cat/ Baca /baca/ -

/j/ Jalan /jalan/ Baju /baju/ Bajaj /bajaj/ /f/ Fajar /fajar/ Kafan /kafan/ Wakaf /wakaf/ /s/ Surat /surat/ Pasti /pasti/ Kapas /kapas/

/x/ - Extra /ekstra/ Borax /boraks/

/q/ Qurban /qurban/ Aqua/ aqua Taufiq /taufiq/ /h/ Hujan /ujan/ Pahala /pahala/ Sudah /sudah/ /m/ Main /main/ Demam /demam/ Malam /malam/

/n/ Naik /naik/ Anak /anak/ Teman /teman/

/ǹ/ Nyiur /ǹiur/ Sunyi /suǹi/ -

/η/ Ngarang /ηaraη/ Dengan /deηan/ Gudang /gudaη/

/z/ zaman /zaman/ Azab /azab/ Juz /juz/

/r/ rajin /rajin/ duri /duri/ Sadar /sadar/ /l/ Lidah /lidah/ jalan /jalan/ Jual /jual/ /w/ waktu /waktu/ awan /awan/ / -

/v/ visa /visa/ Travel /travel/ -

(23)

3. Kesadaran Fonemik

Pembelajaran kesadaran fonemik merupakan awal yang penting dalam mempersiapkan kemampuan membaca permulaan bagi siswa guna mencapai penguasaan prinsip alfabetik. Wyse dan Styles dalam Retnaningrum (2015: 82) menyatakan bahwa “kesadaran fonemik bisa digunakan untuk instruksi membaca.” Dengan demikian, jika kesadaran fonemik sudah dapat dirasakan, maka akan mudah untuk memperlancar bacaan. Retnaningrum (2015: 83) dalam penelitiannya menyatakan bahwa “kesadaran fonemik adalah metode terbaik untuk mengajar siswa yang mengalami kesulitan membaca.”

Ehri et al., 2001 dalam Lerkkanen menyatakan (2015: 140) “whereas phonemic awareness consists of the ability to explicitly and accurately analyse, synthesize, manipulate and separate phoneme size sound units within words.” Bahwa kesadaran fonemik (phonemic awareness) terdiri dari kemampuan untuk secara eksplisit dan akurat menganalisis, mensintesis, memanipulasi, dan memisahkan unit suara ukuran fonem dalam kata-kata. Gordon dalam Sumarti (2017: 224) fonemik sangat melekat dengan keterampilan menyimak. Oleh karena itu keterampilan ini perlu dilatih sejak dini.

Sumarti (2017: 225) mengemukakan “kesadaran fonemik adalah kemampuan memahami bunyi yang bermakna dari bahasa tutur yang didengar oleh anak. Unsur terkecil yang yang bermakna pada bahasa adalah bunyi (fonem). Kesadaran berbahasa diawali dengan kesadaran bunyi sebagai unsur pembentuk kata yang pada akhirnya pada pembentukan kalimat. Oleh karena itu kesadaran berbahasa diawali dengan

(24)

kesadaran bunyi atau phonemic awareness. Kemampuan ini akan membantu anak memahami pesan lisan, kemampuan berbicara dan persiapan kemampuan membaca dan menulis awal.

Dalam kaitannya dengan keterampilan membaca, kesadaran fonemik anak mempengaruhi terhadap kemampuan memahami bacaan dan proses menjadi pembaca mandiri. Kesadaran fonemik lebih dulu dilatihkan sebelum anak mengenal huruf. Bunyi-bunyi vokal dilatihkan dengan cerita berima, sedangkan bunyi konsonan dilatihkan dalam bentuk suku kata yang terdapat pada kata. Pada saat kegiatan di kelas kesadaran fonemik dilatihkan melalui beberapa kegiatan yaitu permainan menyimak, sajak, lagu, permainan kata dan kalimat, mencari bunyi pada awal dan akhir suku kata, dan permainan eja atau spelling skill. Permainan menyimak melatih anak membedakan bunyi yang bermakna yang akan membantu meningkatkan kemampuan menyimak bahasa lisan. Sajak, lagu dan cerita yang dibacakan akan membantu anak memahami kosa kata dan permainan eja membantu anak siap membaca dan menulis. Kesadaran fonemik sangat penting bagi anak untuk menguasainya dengan alasan:

a. Kesadaran fonemik berhubungan dengan perkembangan kemampuan menyimak dan berbicara.

b. Kesadaran fonemik membantu keberhasilan anak melatih membaca pemahaman. c. Kesadaran fonemik melatih anak memahami pola bahasa.

d. Bersifat terbuka yaitu guru dapat secara mandiri menggunakan materi sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak

(25)

Dari paparan di atas dapat disintesakan bahwa pengembangan materi bahasa Indonesia tentang kesadaran fonemik meliputi: bunyi bahasa Indonesia sebagai data bahasa, mulai dari bunyi vokal dan konsonan bahasa Indonesia, bunyi huruf dan bunyi yang ada pada kata dan kalimat, cara pembelajarannya mengaktifkan proses berpikir anak sehingga lebih disarankan banyak bertanya, melibatkan semua aspek keterampilan berbahasa.

Frith et al., 1998; Wimmer and Goswami, 1994 dalam Lerkkanen menyatakan (2015: 142) “Phonemic awareness may have a language-specific role in the early phases of learning to read” bahwa kesadaran fonemik memiliki peran spesifik bahasa dalam fase awal pembelajaran membaca. Menurut Pratiwi dkk (2018:3) Kesadaran Fonem dapat diberikan melalui beberapa metode dengan tingkat kesulitan yang berbeda, yaitu:

a. Deteksi Aliterasi

Pada metode deteksi tunggal anak dikenalkan dengan mengenali kata yang diakhiri dengan silabel yang sama dan kata yang tidak diawali dengan silabel yang sama. Misalnya pada kata: ikal akal, rusuk, rusak; kata mana yang diawali dengan silabel yang sama dan anak mampu menyebutkannya kembali dengan tepat.

b. Deteksi Fonem Tunggal

Pada metode deteksi fonem tunggal anak dikenalkan berupa deteksi fonem awal dan teteksi fonem akhir. Anak dilatih untuk mengenali kata-kata yang diawali dengan fonem yang sama dan menyebutkan kata yang tidak diawali dengan fonem yang sama. Seperti kata: duri, dari, dara

(26)

c. Mengeja Kata

Pada metode mengeja kata anak dilatih untuk mengeja, seperti guru menyebutkan satu kata mata, kemudian guru mendampingi anak untuk mengeja d-a-s-i.

d. Menggabungkan Fonem

Pada metode menggabungkan fonem anak diajarkan mesintesis bunyi-bunyi yang disajikan secara terpisah n-y-a-n-y-i, kemudian anak menjawab nyanyi.

e. Ketukan Fonem

Pada metode ketuk fonem anak dilatih untuk mengetuk jumlah fonem dari kata-kata yang diperdengarkan. Contohnya empat ketukan untuk kata mama. Anak berbaris, satu anak satu kata dengan mencoba mengetuk menggunakan tepukkan tangan. Selain fonem, bisa juga ketukan kata dan suku kata. Metode ini dapat dilakukan dengan cara siswa berbaris dan satu orang maju dengan menepuk satu kali atau dengan menggunakan media stempel huruf untuk mendapatkan ketukan fonem. Berdasarkan metode diatas, pada pembahasan ini akan lebih fokus membahas ketuk fonem yang diinovasi dengan menggunakan permainan. Cara memainkannya setiap anak akan diberikan satu kata, kemudian anak mengetuk telapak tangan guru sekaligus menyebutkan fonem yang terdapat dari kata tersebut.

4. Permainan Bahasa Untuk Membaca Permulaan

Sekolah Dasar merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang harus ditempuh oleh siswa sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Menurut piaget dalam Slavin (2009: 45) “karakteristik siswa SD cenderung berfikir operasional konkrit dan pada masa usia anak-anak cenderung berinteraksi dengan bermain.” Dari

(27)

pernyataan tersebut dapat disimpulkan proses pembelajaran untuk siswa kelas 1 harus berorientasi pada hal yang konkrit dan dikemas dalam bentuk permainan sehingga proses pembelajaran lebih bermakna karena siswa dilibatkan secara langsung atau student center. Menurut Steinberg dalam Susanto Ahmad (2011: 83) mengemukakan bahwa: Membaca permulaan adalah membaca yang dikenalkan secara terprogram kepada anak, memberikan bacaan utuh, bermakna dalam isi yang disesuaikan pada pribadi anak-anak dan bahan- bahan yang diberikan melalui permainan serta kegiatan yang menarik sebagai media pembelajaran.

Menurut Tarigan dalam Samsiyah dkk (2014: 217) “kegiatan bermain sangat penting dalam pengembangan kemampuan berbahasa anak.” Seringkali mereka berperilaku sebagai anak atau orang yang lebih tua, bahkan ada yang berperan sebagai guru atau murid dalam permainan sekolah-sekolahan. Dalam permainan itu mereka seolah-olah berdrama dan tanpa disadari mereka berlatih berbicara dan menyimak. Berkaitan dengan permainan Pellegrini dan Saracho dalam Samsiyah dkk (2014: 218) berpendapat bahwa: Permainan memiliki sifat:

a. Permaianan dapat menimbulkan rasa puas sehingga dapat termotivasi secara personal

b. Permaianan dilakukan secara spontan agar asyik dalam pelaksanaanya c. Aktivitas permainan bersifat bebas dari segala teori (nonliteral)

d. Permainan bersifat bebas dari aturan-aturan

(28)

Dalam hal ini permainan dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau mengasyikkan, bahkan ketika siswa terlibat dalam permainan secara serius dan menegangkan sifat sukarela dan motivasi datang dari dalam diri siswa sendiri secara spontan. Sejalan dengan hal tersebut Hidayat dalam Samsiyah dkk (2014: 219) “permainan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya seperangkat peraturan yang eksplisit yang mesti diindahkan oleh para pemain dan (2) adanya tujuan yang harus dicapai pemain atau tugas yang mesti dilaksanakan.”

Permainan bahasa merupakan permainan untuk memperoleh kesenangan dan untuk melatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Apabila suatu permainan menimbulkan kesenangan tetapi tidak memperoleh keterampilan berbahasa, maka permainan tersebut bukan permainan bahasa. Sebaliknya, apabila suatu kegiatan melatih ketrampilan bahasa, tetapi tidak ada unsur kesenangan maka bukan disebut permainan bahasa. Dapat disebut permainan bahasa apabila suatu aktivitas tersebut mengandung kedua unsur kesenangan dan melatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).

Setiap permainan bahasa yang dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran harus secara langsung dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Menurut Samsiyah dkk (2014: 219) Anak-anak pada usia 6-8 tahun masih memerlukan dunia permainan untuk membantu menumbuhkan pemahaman terhadap diri mereka.” Pada usia tersebut, anak-anak mudah merasa jenuh belajar di kelas apabila dijauhkan dari dunianya yaitu dunia bermain. Permainan hampir tak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Baik bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa semua membutuhkan permainan.

(29)

Permainan pembelajaran bahasa, dapat melakukan simulasi pembelajaran dengan menggunakan kartu berseri (flash card). Kartu-kartu berseri tersebut dapat berupa kartu bergambar, kartu huruf, kartu kata, dan kartu kalimat. Dalam pembelajaran membaca permulaan guru dapat menggunakan strategi bermain dengan memanfaatkan kartu-kartu huruf. Kartu-kartu-kartu huruf tersebut digunakan sebagai media dalam permainan menemukan kata. Siswa diajak bermain dengan menyusun huruf-huruf menjadi sebuah kata yang berdasarkan teka-teki atau soal-soal yang dibuat oleh guru. Titik berat latihan menyusun huruf ini adalah keterampilan mengeja suatu kata.

5. Ketuk Fonem

Ketuk fonem merupakan metode yang digunakan dalam mengajarkan membaca hususnya dalam mengajarkan membaca permulaan baik huruf, suku kata dan kata. Menurut Ayriza (1997: 164) Phoneme tapping (Ketukan fonem), anak dilatih untuk mengetuk jumlah fonem dari kata-kata yang diperdengarkan kepadanya. Contoh, 3 ketukan untuk cat, dan 4 ketukan untuk silk. Ketuk fonem dapat dilakukan dengan cara yang bermacam macam salah satunya dapat dilakukan dengan permainan. Liberman pernah melakukan penelitian tentang permainan ketuk fonem pada tahun 1974 dalam jurnalnya dijelaskan prosedur permainan ketukan fonem. Liberman, et.al. (1974: 205):

“Procedure Under the guise of a tapping game,” the child was required to repeat a word or sound spoken by the examiner and to indicate, by tapping a small wooden dowel on the table, the number (from one to three) of seg- ments (phonemes in Group P and syllables in Group S) in the stimulus items. The test items in both the syllable and phoneme tasks were pre- sented by the examiner (and repeated by the child) in a natural speak ing manner. Testing was continued or until the child reached criterion of tapping six consecutive items correctly without demonstration. Each child was tested individually by the same examiner in a single session”

(30)

Bahwa anak diminta untuk mengulangi kata atau suara yang diucapkan oleh penguji dan untuk menunjukkan setiap bunyi dengan dilakukan mengetuk pasak kayu kecil di atas meja, jumlah dari satu hingga tiga fonem dan suku kata. (Fonem di Grup P dan suku kata di Grup S). Item-item tes suku kata dan fonem disampaikan oleh penguji dan diulangi oleh anak dalam bunyi bahasa natural (fonem). Uji coba tes terdiri dari 42 individu secara acak dari satu, dua, atau tiga segmen yang disajikan tanpa demonstrasi sebelumnya dan diperbaiki oleh penguji apabila terdapat kesalahan dalam penyebutan bunyi. Pengujian dilanjutkan sampai anak mencapai kriteria mengetuk enam item berturut-turut dengan benar tanpa demonstrasi. Setiap anak diuji secara individual oleh penguji yang sama dalam satu sesi.

Menurut Pratiwi dkk (2018: 15) “ketukan fonem merupakan mengetuk jumlah fonem dari kata-kata yang diperdengarkan. Contohnya empat ketukan untuk mata. Anak berbaris, satu anak satu kata dengan mencoba mengetuk menggunakan tepukan tangan”

Permainan ketuk fonem dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Untuk memudahkan permainan ketuk fonem maka langkah-langkah permainan ketuk fonem yang akan dilakukan sebagai berikut:

a. Guru menjelaskan setiap huruf memiliki bunyi dan ketukan b. Guru akan memperlihatkan gambar atau tulisan.

c. Siswa menyebutkan kata dari gambar atau tulisan yang diberikan. d. Setiap siswa akan giliran mendapatkan soal.

(31)

e. Bagi siswa yang bisa menjawab, maka harus maju menuju ibu guru kemudian menemukan tangan kepada guru sesuai fonemnya. Misal kata aku. Siswa maju kedepan dan menyebutkan bunyi /a/, /k/, /u/.

f. Bagi siswa yang bisa menjawab akan mendapatkan penghargaan (reward).

Permainan bahasa bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan, tetapi untuk belajar keterampilan berbahasa tertentu misalnya menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Aktivitas permainan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan cara yang menyenangkan. Setiap metode pembelajaran pasti memiliki manfaat. Adapun Manfaat dari permainan bahasa menurut Polito dalam Samsiyah (2014:218) yaitu:

a. Memberikan pengalaman belajar yang sangat penting bagi anak-anak b. Memberikan situasi belajar yang santai dan menyenangkan.

c. Siswa dilibatkan seacara aktif dan dituntut untuk memberikan tanggapan dan keputusan.

d. Dapat memacu motivasi dan prestasi siswa dalam belajar

e. Siswa belajar menghubungkan konsep baru dengan konsep lama yang telah mereka terima

f. Siswa dapat belajar sambal melakukan

g. Siswa belajar aspek-aspek yang penting dalam proses sosialisasi.

6. Permainan Ketuk Fonem Terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Di Sekolah Dasar kelas rendah khususnya kelas 1 kegiatan pengembangan meliputi seluruh aspek pengembangan yaitu kognitif, sosial, emosional, moral, bahasa,

(32)

seni, dan fisik-motorik. Guru berperan, bertugas, dan bertanggung jawab sebagai perencana, pelaksana, dan penilai. Peran, tugas, dan tanggung jawab yang harus guru kembangkan untuk seluruh aspek perkembangan anak, termasuk juga dalam mengembangkan kemampuan pembaca permulaan anak di Sekolah Dasar. Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan berbagai jenis pembelajaran bahasa khususnya membaca permulaan yang berkualitas. Guru harus mampu merancang pembelajaran bahasa yang dapat mendorong pencapain kompetensi bahasa. Bahwa kegiatan pembelajaran bahasa khususnya membaca permulaan selain melatih kemampuan berpikir logis dan abstrak, juga harus melatih daya ingat anak. Beberapa kiat yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengingat yaitu pelajaran harus bermakna bagi anak dan kegiatan pembelajaran harus mampu menghubungkan antara berbagai pengetahuan yang telah dimiliki anak dengan berbagai topik yang diajarkan dalam pembelajaran membaca permulaan. Sejalan dengan hal tersebut kemampuan menurut kamus besar bahasa Indonesia (2016: 225) adalah kesanggupan, kecapakan kekuatan. Dari definisi tersebut dapat diartikan kesanggupan untuk menerjemahkan symbol-simbol visual kedalam suara serta mengubahnya menjadi sesuatu yang memiliki makna melalui proses kognitif.

Permainan ketuk fonem dapat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan untuk terjadinya proses belajar. Dengan permainan anak mendapat banyak informasi sehingga materi akan semakin jelas dan mudah dimengerti. Dalam permainan ketuk fonem tidak lepas dari media (gambar dan tulisan). Media juga dapat mengurangi keterbatasan guru atau buku dan meningkatkan daya tarik terhadap

(33)

materi yang sedang diajarkan sehingga anak lebih berminat untuk belajar. Dalam pembelajaran membaca permulaan digunakan media yaitu agar dapat menjembatani antara konsep-konsep membaca yang abstrak menjadi lebih kongkrit, sehingga anak dapat memahami bacaan yang disajikan oleh guru. Penggunaan permainan ketuk fonem dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk dapat mengembangkan kemampuan membaca permulaan. Pelaksanaan permainan ketuk fonem dapat dilakukan secara bersama-sama baik dilakukan di dalam kelas atau di luar kelas. Dalam permainan ketuk fonem anak praktek langsung sehingga menjadi aktif dalam pembelajaran.

Keterampilan berbahasa hususnya membaca dapat distimulasi melalui permainan ini misalnya mengenal huruf, kata, sebagainya. Keterampilan sosial yang dilatih dalam permainan ketuk fonem diantaranya kemauan mengikuti dan mematuhi aturan permainan, bermain secara bergiliran. Keterampilan kognitif menyebutkan fonem pada setiap kata serta menyebutkan grafem yang terdapat dari setiap kata yang disediakan. Penggunaan permainan ketuk fonem terhadap kemampuan membaca permulaan membawa dampak positif bagi kegiatan pembelajaran. Beberapa keunggulan permainan ketuk fonem yaitu permainan ketuk fonem memungkinkan anak berinteraksi langsung dengan benda-benda disekitarnya, dapat membangkitkan motivasi belajar anak, dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan lebih membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar, dapat menstimulasi aspek perkembangan kognitif, bahasa, dan sosial.

(34)

Peran guru dalam pelaksanaan permainan ketuk fonem sangat penting yaitu sebagai fasilitator dalam permainan sehingga dapat memberikan kemudahan dan keleluasaan terhadap anak dalam melakukan permainan, dan sebagai wasit dalam permainan ini sehingga dapat berjalan dengan baik dan menyenangkan bagi setiap anak yang bermain.

B. Kajian Penelitian Yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan membaca permulaan yaitu Pembelajaran Kesadaran Fonemik Dengan Menggunakan Metode Struktural Analisis Sintesis (SAS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Kelas Satu Sekolah Dasar (Retnaningrum dkk, 2015). Metode penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Posttest Design Subjek dalam penelitian ini adalah siswa yang direkomendasikan oleh guru mengikuti tes screening dan tes CPM dengan kriteria sebagai berikut:1. Siswa kelas satu sekolah dasar. 2. Siswa yang belum bisa membaca huruf, suku kata, kata, dan kalimat dengan tepat (berdasarkan hasil tes screening memiliki nilai 5 ke bawah). 3. Siswa yang memiliki intelegensi rata-rata berdasarkan tes CPM Grade III+. Dari hasil tersebut diperoleh 7 siswa yang belum bisa membaca permulaan sehingga dijadikan sebagai subjek penelitian. Diperoleh hasil bahwa melalui metode SAS Ada perbedaan kemampuan membaca permulaan siswa kelas satu sekolah dasar. Kemampuan membaca permulaan siswa kelas satu sesudah pembelajaran lebih tinggi daripada sebelum pembelajaran dengan menggunakan kesadaran fonemik metode SAS.

(35)

Penelitian lainya adalah Penerapan Metode Membaca Permulaan Abecedarian Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Peserta Didik Berkesulitan Membaca (Tarman, 2016). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP negeri 8 Banjar yang berinisial HN. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah single subjek research. Diperoleh hasil bahwa penerapan metode Abecedarian ini sangat membantu anak dalam belajar membaca khususnya bagi peserta didik berkesulitan membaca.

Penelitian lainya adalah Penerapan Metode Sas (Struktural Analitik Sintetik) Pada Pembelajaran Membaca Permulaan Siswa Kelas 1 MI Ma’arif Nu Sokawera Padamara Purbalingga Tahun Pelajaran 2017/2018 (Larasshinta Dessy, 2018). Subjek penelitian tersebut adalah siswa kelas I MI Ma‟arif Sokawera dan Kepala Madrasah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (field research) penelitian ini peneliti turun langsung ke tempat penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati. Diperoleh hasil bahwa penerapan metode SAS ini sangat membantu anak dalam belajar membaca khususnya membaca permulaan, karena pada prinsipnya model ini memiliki langkah operasional dengan urutan struktural ialah menampilkan keseluruhan, analitik merupakan proses penguraian dari bentuk kalimat ke dalam bentuk kata, dari bentuk kata ke suku kata dari suku kata ke huruf dan sintetik merupakan penggabungan kembali kepada bentuk struktural semula. Dibandingkan dengan metode belajar membaca yang lain metode

(36)

SAS ini sangat membantu siswa dalam belajar membaca khususnya membaca permulaan karena metode ini dapat sebagai landasan berfikir analisis.

Penelitian keempat adalah Keterampilan Membaca Permulaan Dengan Menggunakan Media Kartu Kata Pada Siswa Kelas I SD Negeri 1 Pandeyan Jatinom Klaten (Istanto Budi, 2014). Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Tindakan yang dilakukan sebanyak 3 siklus. Subjek penelitian tersebut Siswa Kelas I SD Negeri 1 Pandeyan Jatinom Klaten. Siswa kelas 1 sejumlah 31 anak yang berusia antara 7 sampai dengan 9 tahun. Dari 31 siswa ini nilai rata-rata kelas yang pada pra tindakan adalan 62, 74 dan jumlah siswa yang tuntas ada sebanyan 48 % atau 15 siswa dan untuk siswa yang belum tuntas ada sebanya 52 % atau sejumlah 16 siswa. Pada siklus pertama pembelajaran membaca dengan menggunakan media kartu kata dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa, dari rerata siswa pada pra tindakan 62,74 meningkat menjadi 69,9 dan ketuntasan siswa juga mengalami peningkatan daari kondisi awal 15 meningkat menjadi 23 siswa. Pembelajaran membaca dengan media kartu kata pada siklus II nilai rerata kelas mengalami peningkatan sebesar 13,96 (dari kondisi awal 62,74 meningkat menjadi 76,7). Pembelajaran membaca dengan menggunakan media kartu kata dengan tema transportasi terdapat beberapa siswa yang masih mengalami kesukaran. Diperoleh hasil bahwa media kartu kata dapat meningkatkan keterampilan membaca permulaan

Keempat penelitian diatas memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu penerapan metode tertentu untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan, akan tetapi ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini. Ada satu perbedaan yang

(37)

mendasar yaitu metode yang digunakan. Pada penelitian ini menggunakan permainan ketuk fonem. Kemudian jika dilihat dari metode penelitian yang digunakan berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan desain One-Group Pretest-Posttest Design. Perlakuan yang diberikan sebanyak empat kali pertemuan. Dalam setiap satu pertemuan siswa diberikan 7 fonem. Setiap pertemuan diberikan perlakuan selama 30 menit.

C. Kerangka Pikir

Keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari kemampuan yang meningkat karena adanya pengaruh pembelajaran kasadaran fonemik. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah penggunaan media dan metode pembelajaran. Penggunaan media dan metode yang tepat akan membantu guru maupun peserta didik dalam proses pembelajaran.

Keterampilan membaca permulaan ini menggunakan permainan ketuk fonem karena permainan ketuk fonem merupakan salah satu metode dalam pengajaran kesadaran fonem. Permainan ketuk fonem merupakan permainan sederhana dan tidak mengeluarkan biaya, serta mudah dilaksanakan karena dikemas dalam bentuk permainan yang disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas 1.

Langkah-langkah permainanya dapat diinovasi pada kemudian hari hususnya dalam menentukan kegiatan ketukan bisa diganti dengan menepuk pundak teman atau menepuk tangan teman secara berhadapan.

(38)

Adapun kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut

Bagan 1. Kerangka Pikir Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian yaitu terdapat pengaruh kemampuan membaca permulaan siswa kelas satu sebelum dan sesudah dilakukan pembelajaran melalui kesadaran fonemik dengan menggunakan metode permainan ketuk fonem.

Ho = tidak terdapat perbedaan kemampuan membaca permulaan sebelum dan

sesudah dilakukan pembelajaran menggunakan permainan ketuk fonem.

H1 = terdapat perbedaan kemampuan membaca permulaan sebelum dan sesudah

dilakukan pembelajaran menggunakan permainan ketuk fonem Kondisi Awal

Perlakuan

Kondisi Akhir

Belum menggunakan permainan ketuk fonem

penggunaan permainan ketuk fonem dalam pembelajaran

Hasil pengaruh penggunaan permainan ketuk fonem dalam pembelajaran Dilakukan dalam 4 kali pertemuan setiap pertemuan diberikan 7 fonem

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian branding telah berkembang, dari sekadar merek atau nama dagang dari suatu produk, jasa atau perusahaan, yang berkaitan dengan hal-hal yang kasat mata dari merek;

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi. Pendidikan Jasmani Kesehatan

On June 19, 2015, ANTAM announced that the company has successfully commenced the ferronickel production through first metal tapping of the Electric Smelting

Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah secara parsial persepsi gender, pengalaman mengajar, tingkat pendidikan dan prestasi belajar memiliki pengaruh

Jika dalam spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh Pertamina mensyaratkan Pemilik Kapal untuk menyediakan peralatan untuk Ship to Ship (STS) Transfer, maka Pemilik Kapal

Bank Kustodian akan menerbitkan dan mengirimkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan jumlah Unit Penyertaan yang dibeli dan dimiliki serta

Buah picung/pangi ini belum diketahui dan daging biji buah picung/pangi ini banyak digunakan /dikonsumsi di Indonesia, sangat relevan kalau dipelajari dan

Berdasarkan uraian perancangan sistem informasi pembelajaran jarak jauh materi komputer berbasis web ini dapat diambil kesimpulan yaitu : pembelajaran jarak jauh (praktek)