• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

DEFRI YOZA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi Hutan (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

Defri Yoza E 015014091

(3)

DEFRI YOZA. Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan ANI MARDIASTUTI.

Fragmentasi habitat pada taman hutan raya Sultan Syarif Hasyim (tahura SSH) menciptakan berbagai daerah tepi (edges) di sekelilingnya. Daerah tepi ini memiliki pola, tipe dan keanekaragaman hayati yang berbeda dengan habitat lainnya. Dalam penelitian ini dianalisis pola, tipe dan keanekaragaman hayati khususnya burung yang terdapat pada berbagai tipe edge dengan asumsi bahwa edge ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal kelimpahan dan keanekaragaman jenis dibanding dengan habitat sekitarnya. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung disurvei dengan menggunakan kombinasi metode titik contoh (point count) dan jalur. Perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung diuji dengan menggunakan uji t-student.

Keanekaragaman jenis burung untuk tipe makanan insektivora dan karnivora sebagian besar jumlah jenisnya lebih tinggi di edge dibandingkan dengan di habitat hutan. Sedangkan untuk tipe makanan frugivora dan nektarivora sebagian besar jumlah jenisnya mengalami penurunan pada edge dibandingkan dengan habitat hutan.

Respon beberapa spesies menunjukkan adanya spesies yang merupakan habitat generalist dan habitat specialist . Ada juga spesies yang berperan sebagai edge exploiter species dan edge avoider species.

Pola edge yang terdapat di tahura SSH memiliki 2 karakteristik yaitu (1) edge yang merupakan daerah tepi hutan, terdapat pada edge antara hutan dengan jalan dan hutan dengan hotel (2) edge yang merupakan daerah peralihan, terdapat pada edge antara hutan dengan semak belukar, belukar akasia, danau dan kebun. Tipe edge yang ditemukan pada lokasi penelitian terdiri atas (1) edge hutan dengan semak belukar, (2) edge hutan dengan belukar akasia, (3) edge hutan dengan danau, (4) edge hutan dengan kebun campuran, (5) edge hutan dengan kebun sawit (6) edge hutan dengan hotel dan (7) edge hutan dengan jalan.

Berdasarkan tingkat kesamaan jenis burung dan tingkat keanekaragaman jenis burung terdapat perbedaan yang signifikan di antara tipe habitat dalam satu jalur pengamatan sehingga penempatan dan penentuan tipe habitat dan tipe edge dapat ditentukan dengan indikator jenis burung

Burung dapat dijadikan indikator ekologi daerah tepi berdasarkan komposisi dan kelimpahan burung jenis-jenis tertentu. Di daerah tepi ditemukan jenis ruang terbuka dan jenis semi interior.

(4)

© Hak cipta milik Defri Yoza, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

(5)

DEFRI YOZA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sekolah Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

Bogor

2006

(6)

Riau Nama : Defri Yoza

NIM : E015014091

Disetujui :

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo MSc Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti MSc

Ketua Anggota

Diketahui

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr.Ir. Dede Hermawan MSc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto MSc

(7)

Kupersembahkan untuk istri, anak dan keluarga besarku

(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan hidayah dan rakhmat- Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan tema daerah tepi hutan (edge) dengan judul Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi Hutan ( Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau.

Tesis ini sangat penting artinya bagi penulis sendiri dan penulis berharap dapat memperkaya ilmu pengetahuan bidang biologi konservasi dan ekologi lanskap, memberikan informasi-informasi berharga dan bahan masukan bagi pembuat keputusan dalam mengelola hutan dan kawasan yang dilindungi.

Pada kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil se hingga kajian ini dapat diselesaikan. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo MSc dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

2. Ibu Ir.Yeni A.Mulyani MSc, PhD selaku dosen penguji saat ujian tesis Keanekaragaman Jenis Burung ini diselenggarakan

3. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau yang telah memberikan akses dan data dalam pelaksanaan penelitian di Tahura Sultan Syarif Hasyim.

4. Pihak Pemda Riau yang telah memberikan bantuan dana penelitian dan beasiswa untuk studi S-2 di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Pihak Pemko Pekanbaru yang telah memberikan bantuan dana penelitian

6. Pihak Pemkab Kampar yang telah memberikan bantuan dana penelitian

7. Pak Naryo yang membantu dalam pengumpulan data dan analisa vegetasi dan penentuan jenis-jenis tumbuhan.

8. Istriku Reni Trisnawaty dan anakku Hibrizi Refi Arrantisi atas dorongan dan pengertian serta kasih sayangnya

(9)

menyelesaikan studi ini.

10. Mahasiswa Jurusan Manajemen 2002 Fakultas Kehutanan Unilak yang telah membantu pengumpulan data

11. Adik-adik di Asrama Riau yang telah membantu dalam menyelesaikan segala rangkaian studi ini.

Bogor, Maret 200 6

(10)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 6 Mei 1976 dari ayah Nazaruddin B. dan ibu Rukiaty A. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pekanbaru dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan.

Tahun 2000 penulis menyelesaikan program sarjana (S1) dan tahun 2001 mulai mengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning. Tahun 2002 penulis mendaftar pada Program Pascasarjana IPB dan diterima pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Tahun 2004 penulis diterima menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Riau. Saat ini mengajar di Fakultas Pertanian UNRI, FMIPA UNRI dan Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning. Materi yang diajar mulai dari ekologi, perilaku satwa, konservasi sumberdaya alam hayati dan biologi konservasi.

(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang... 1 B. Perumusan Masalah ... 3 C. Hipotesa ... 4 D. Tujuan Penelitian... 4 E. Manfaat Penelitian ... 4 F. Kerangka Pemikiran ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengusahaan Hutan dan Deforestasi... 7

B. Fragmentasi Habitat ... 8

C. Dampak Fragmentasi terhadap Spesies ... 9

D. Keanekaragaman ... 10

E. Keanekaragaman Jenis Burung . ... 12

F. Ekologi Lanskap... 12

G. Struktur Lanskap ... 13

H. Efek Tepi (Edge effect) ... 17

I. Komposisi Jenis Burung di Daerah Tepi (edge) ... 18

J. Respon Spesies terhadap Edges (Daerah Tepi) ... 20

K. Taman Hutan Raya ... 21

III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah ... 22

B. Lokasi dan Waktu Penelitian... 22

C. Bahan dan Alat ... 22

D. Pengumpulan Data ... 23

E. Orientasi Lapangan... 25

F. Analisis Data ... 26

IV. KONDISI UMUM TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM A. Letak, Luas dan Batas ... 30

(12)

xi

B. Kondisi Fisik Dasar Daerah ... 30

C. Iklim... 31

D. Kondisi Tanah ... 32

E. Kondisi Hidrologi ... 33

F. Flora dan Fauna... 34

G. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya ... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Penentuan Edge ... 37

2. Kondisi Jalur Pengamatan... 38

3. Jumlah Individu dan Komposisi Jenis Vegetasi ... 41

4. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi dan Burung... 42

5. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung ... 64

6. Indeks Kemerataan Jenis Burung... 65

7. Uji Kesamaan Dua Komunitas Burung ... 67

B. Pembahasan 1. Penentuan Edge Berdasarkan Tingkat Kesamaan dan T-hitung ... 76

2. Pengaruh Penutupan Vegetasi terhadap Jumlah dan Komposisi Jenis Burung ... 79

3. Pengaruh Ketersediaan Makanan terhadap Jumlah Jenis Burung ... 84

4. Respon Jenis Burung di Tiap Jalur Pengamatan ... 94

5. Edge sebagai Habitat Burung... 104

6. Tipe-Tipe Daerah Tepi (Edge) ... 106

7. Burung sebagai Indikator Daerah Tepi (edge) ... 106

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 110

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Rata-Rata Curah Hujan (CH) dan Hari Hujan (HH) Beberapa Stasiun Iklim

Terdekat di Sekitar Tahura SSH... 31

2. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) ... 45

3. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Tepi Jalan 2 (TJ 2) ... 46

4. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Semak Belukar (SB) ... 48

5. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Belukar Akasia (BA) ... 51

6. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Danau (DN) ... 54

7. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Kebun Campuran (KC)... 57

8. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur Kebun Sawit (KS) ... 60

9. INP Jenis Burung Tertinggi di Jalur HR (HR) ... 63

10. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung pada Masing- Masing Jalur Pengamatan ... 65

11. Indeks Kemerataan Jenis Burung pada Masing-Masing Jalur Pengamatan ... 67

12. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1 (TJ 1) ... 68

13. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Tepi Jalan 2 (TJ 2) ... 69

14. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) ... 70

15. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) ... 71

16. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Danau (DN) ... 72

17. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC) ... 73

18. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) ... 74

19. Matriks Indeks Kesamaan Jenis Burung antar Habitat pada Jalur Pengamatan Rindu Sempadan (HR) ... 75

20.Ordo, Famili dan Jumlah Jenis Burung pada Lokasi Penelitian ... 79

(14)

xiii 22.Jumlah Jenis dan Jumlah Individu di Jalur Pengamatan ... 82 23.Komposisi Famili Buru ng Berdasarkan Jenis Makanan... 83

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alur berpikir penelitian ... 6

2. Patch-patch yang tersebar dalam matriks... 14

3. Patch yang terdiri dari edge dan core... 15

4. Hubungan spasial dari daerah perbatasan (boundary), garis batas (border) dan daerah tepi (edge) (Forman, 1995) ... 15

5. Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 1992) ... 20

6. Jalur pengamatan burung dan peletakannya di lapangan ... 24

7. Inventarisasi vegetasi metode jalur berpetak (Irawan dan Kusmana, 1995) ... 25

8. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) ... 44

9. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Semak Belukar (SB) ... 47

10. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Belukar Akasia (BA) ... 50

11. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Danau (DN) ... 53

12. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Kebun Campuran (KC) ... 56

13. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Kebun Sawit (KS) ... 59

14. Peta Profil Pohon di Daerah Tepi (edge) Jalur Hotel Rindu (HR) ... 62

15. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Tepi Jalan 1 (TJ 1) ... 68

16. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Tepi Jalan 2 (TJ 2) ... 69

17. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Semak Belukar (SB) ... 70

18. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Belukar Akasia (BA) ... 71

19. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Danau (DN) ... 72

20. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Kebun Campuran (KC)... 73

21. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Kebun Sawit (KS) ... 74

22. Dendrogram Tingkat Kesamaan Jenis Burung antar Habitat Jalur Pengamatan Hotel (HR) ... 75

(16)

xv

23. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) ... 85

24. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Tepi Jalan 2 (TJ 2) ... 86

25. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Semak Belukar (SB) ... 87

26. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Belukar Akasia (BA) ... 88

27. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Danau (DN)... 89

28. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Kebun Campuran (KC) ... 90

29. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Kebun Sawit (KS) ... 91

30. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Jalur Hotel (HR) ... 92

31. Perbandingan Jumlah Jenis Tiap Habitat ... 93

32. Jumlah Jenis Berdasarkan Makanan di Tiap Tipe Habitat ... 94

33. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Tepi Jalan 1 (TJ 1) ... 95

34. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Tepi Jalan 2 (TJ 2) ... 96

35. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Semak Belukar (SB) ... 97

36. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Belukar Akasia (BA) ... 98

37. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Danau (DN) ... 100

38. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Kebun Campuran (KC) ... 101

39. Respon Berbagai Jenis Burung di Jalur Kebun Sawit (KS) ... 102

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Kawasan Tahura... 116

2. Lokasi Pengamatan di Tahura SSH ... 117

3. Jenis Burung yang Ditemukan di Lokasi Penelitian ... 118

4. INP dan IS Tingkat Semai pada Tepi Jalan... 120

5. INP dan IS Tingkat Pancang pada Tepi Jalan ... 121

6. INP dan IS Tingkat Tiang pada Tepi Jalan ... 122

7. INP dan IS Tingkat Pohon pada Tepi Jalan ... 123

8. INP dan IS Tingkat Semai pada Semak Belukar... 124

9. INP dan IS Tingkat Pancang pada Semak Belukar... 125

10. INP dan IS Tingkat Tiang pada Semak Belukar ... 126

11. INP dan IS Tingkat Pohon pada Semak Belukar ... 127

12. INP dan IS Tingkat Semai pada Belukar Akasia ... 128

13. INP dan IS Tingkat Pancang pada Belukar Akasia... 129

14. INP dan IS Tingkat Tiang pada Belukar Akasia ... 130

15. INP dan IS Tingkat Pohon pada Belukar Akasia... 131

16. INP dan IS Tingkat Semai pada Danau ... 132

17. INP dan IS Tingkat Pancang pada Danau... 133

18. INP dan IS Tingkat Tiang pada Danau ... 134

19. INP dan IS Tingkat Pohon pada Danau ... 135

20. INP dan IS Tingkat Semai pada Kebun Campuran... 136

21. INP dan IS Tingkat Pancang pada Kebun Campuran... 137

22. INP dan IS Tingkat Tiang pada Kebun Campuran ... 138

23. INP dan IS Tingkat Pohon pada Kebun Campuran... 139

24. INP dan IS Tingkat Semai pada Kebun Sawit... 140

25. INP dan IS Tingkat Pancang pada Kebun Sawit... 141

26. INP dan IS Tingkat Tiang pada Kebun Sawit ... 142

27. INP dan IS Tingkat Pohon pada Kebun Sawit... 143

28. INP dan IS Tingkat Semai pada Hotel... 144

29. INP dan IS Tingkat Pancang pada Hotel... 145

30. INP dan IS Tingkat Tiang pada Hotel ... 146

31. INP dan IS Tingkat Pohon pada Hotel... 147

(18)

xvii

33. Uji Kesamaan dengan t-student pada Komunitas Burung ... 149

34. INP Burung di Tepi Jalan 1 ... 150

35. INP Burung di Tepi Jalan 2 ... 151

36. INP Burung di Semak Belukar ... 152

37. INP Burung di Belukar Akasia... 153

38. INP Burung di Danau ... 154

39. INP Burung di Kebun Campuran ... 155

40. INP Burung di Kebun Sawit ... 156

(19)

A. Latar Belakang

Deforestasi dan fragmentasi kawasan lindung meningkat di seluruh wilayah Indonesia. Proses ini menyebabkan perubahan struktur lanskap dan berpengaruh terhadap populasi satwa. Indonesia memiliki kawasan lindung yang terdiri atas kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan kawasan lindung serta hutan lindung. Kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya sedangkan kawasan suaka alam mencakup cagar alam, suaka margasatwa dan taman buru (UU No.5 tahun 1990). Berdasarkan data IUCN, 48% taman nasional dan kawasan yang dilindungi luasnya kurang dari 100 km2, 50% kurang dari 10.000 km2 dan hanya 2% yang luasnya 10.000 km2 – 100.000 km2 (IUCN 1982 dalam Primack, 1993).

Kawasan lindung memiliki karakteristik ekologi yang berbeda dari satu tapak dengan tapak yang lain. Fungsi dan tipe ekologi kawasan lindung dipengaruhi oleh keberadaan manusia yang berinteraksi dengan kawasan lindung tersebut. Keberadaan manusia menimbulkan efek positif dan negatif terhadap kawasan lindung. Tindakan manusia yang menimbulkan efek negatif pada kawasan lindung berupa pembalakan liar, perkebunan, okupasi dan pembuatan jalan. Pengaruh yang timbul akibat tindakan manusia menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Perubahan kondisi lanskap ini berpengaruh terhadap kelimpahan dan komposisi jenis satwa yang menggunakan lanskap tersebut sebagai habitatnya (Leopold, 1933 dalam Sisk & Margules, 1995). Perubahan lanskap terutama daerah tepi menyebabkan fluktuasi jumlah jenis dan komposisi jenis burung (Johnson & Williams, 2000).

Fragmentasi habitat dan perubahan lanskap menyebabkan Indonesia masuk ke dalam negara-negara yang mempunyai jenis burung terancam punah terbesar di dunia, 4 jenis (3,8%) diantaranya termasuk dalam kategori Kritis, 16 jenis (15,4%) termasuk dalam kategori Genting, dan 84 jenis (80,8%) termasuk dalam kategori Rentan. Jika dilihat dari ancaman kategori tertinggi (Punah di alam, Kritis dan Genting) kedudukan Indonesia turun ke peringkat lima di bawah Brazil, Filipina, Kolombia dan Amerika Serikat. (Shannaz et al. 1995).

Fragmentasi habitat pada kawasan lindung dapat memperluas daerah tepi (edge) dan mengurangi luas daerah inti (core). Daerah tepi memiliki keunikan dan ciri khas dibandingkan ha bitat utama. Daerah tepi juga sering disebut

(20)

daerah peralihan atau ekoton. Daerah tepi memiliki asosiasi vegetasi yang merupakan integrasi dari 2 habitat yang berbeda. Sebagai contoh, daerah tepi antara hutan dengan kebun dan hutan dengan semak belukar. Daerah tepi menjadi salah satu alternatif pengelolaan habitat satwa liar. Terjadinya hubungan antara satwa dengan ekosistem daerah tepi menjadikan dan menciptakan relung ekologi tersendiri.

Penggunaan daerah tepi oleh satwa terlihat dari jenis satwa burung dan serangga. Disamping cepat merespon perubahan, burung dapat beradaptasi terhadap penggunaan habitat dalam waktu yang relatif singkat. Ada jenis- jenis satwa liar khususnya burung yang menyukai daerah tepi (edge exploiter species) dan menghindari daerah tepi (edge avoider species) (Sisk & Margules, 1995)

Daerah tepi banyak ditemukan di kawasan lindung daerah Riau yakni Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH). Daerah tepi yang tercipta merupakan peralihan antara jalan dengan hutan, kebun masyarakat dengan hutan, belukar dengan hutan dan akasia dengan hutan, sehingga kawasan lindung ini menjadi penting dari sisi ekologi. Lanskap dengan proporsi habitat asli yang rendah merupakan efek dari fragmentasi habitat dan kehilangan habitat. Pengurangan terhadap ukuran habitat tersisa (remnant) menyebabkan terpecah dan berubahnya matrik dan meningkatnya proporsi habitat yang dekat dengan perbatasan (Wiens, 1994 dalam Mortberg, 2001) . Disamping itu juga kawasan lindung Tahura SSH perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat lokasi kawasan ini secara geografis terletak di 3 kabupaten/kota yakni Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Siak. Menurut Dishut Riau (2003), Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) sebagai salah satu kawasan yang dilindungi di daerah Riau pada umumnya dan Pekanbaru pada khususnya memiliki beberapa fungsi antara lain :

• Sebagai kawasan yang dapat dimanfaatkan potensi alamnya, baik yang alami maupun yang tidak alami, jenis asli ataupun bukan asli untuk koleksi tumbuhan dan satwa, untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan, serta wisata alam, khususnya bagi masyarakat Riau dan sekitarnya serta masyarakat luas dan wisatawan mancanegara umumnya. • Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan (melestarikan

fungsi ekologi dan hidrologi, ekonomi dan sosial budaya hutan).

• Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta keunikan alam yang diharapkan menjadi kebanggaan Provinsi Riau

(21)

B. Perumusan Masalah

Daerah hutan yang terfragmentasi terdapat hampir di seluruh kawasan hutan baik kawasan budidaya hutan maupun hutan alam. Hutan terfragmentasi terjadi diakibatkan oleh adanya gangguan dari luar baik yang alami maupun buatan. Gangguan manusia sebagai salah satu contoh yang mengubah hutan menjadi kebun atau kawasan budidaya lainnya telah menciptakan fragmentasi dan keterputusan antara dua buah hutan yang pada mulanya merupakan satu kesatuan ekosistem.

Peran, karakteristik dan fungsi hutan setelah terjadinya fragmentasi masih sedikit sekali menarik perhatian untuk diteliti secara ilmiah. Begitu pula dengan daerah tepi yang tercipta dan terbentuk hampir di setiap hutan. Daerah tepi tersebut berbatasan dengan kawasan budidaya pertanian. Daerah tepi hutan memiliki luas dan tipe yang bermacam- macam. Daerah tepi ini sering dijumpai membentuk sebuah asosiasi dan tipe ekosistem sendiri. Penentuan daerah tepi selama ini menggunakan unsur-unsur cuaca sebagai indikatornya dan masih sedikit sekali yang menggunakan indikator burung dan vegetasi dalam penentuannya. Keberadaan dan fungsi daerah tepi bagi konservasi jenis sedikit sekali mendapatkan perhatian dari para ilmuwan dan ahli konservasi di Indonesia. Namun yang menjadi permasalahan sekarang bagaimana mengidentifikasi daerah tepi, parameter jenis burung apa saja yang menentukan daerah tersebut, dan bagaimana peran daerah tepi bagi konservasi keanekaragaman jenis burung.

Sedangkan permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1 Bagaimana komposisi dan kelimpahan jenis burung di daerah tepi (edge) dan daerah inti (core) sebagai akibat fragmentasi hutan di Tahura SSH ?

2 Apakah daerah tepi memiliki kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2 habitat yang berbatasan ?

3 Bagaimana pola dan tipe daerah tepi (edge) yang terbentuk seiring dengan perubahan kondisi abiotik remnant forest ?

4 Bagaimana perbedaan pola dan tipe daerah tepi (edge) menyebabkan terjadinya perbedaan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung ?

5 Apakah jenis-jenis burung dan vegetasi dapat menjadi indikator daerah tepi (edge) ?

(22)

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian adalah :

1. Perbedaan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung terjadi di berbagai tipe daerah tepi (edges).

2. Daerah tepi memiliki keanekaragaman jenis burung yang paling tinggi dibandingkan daerah inti hutan (core) dan tipe penggunaan lahan lainnya. 3. Penggunaan lahan yang berbeda menciptakan pola dan tipe daerah tepi

yang beragam.

4. Setiap jenis burung memiliki respon yang berbeda terhadap keberadaan daerah tepi (edge) dan jenis makanan yang tersedia di habitatnya

5. Keanekaragaman dan kelimpahan jenis burung dapat dijadikan sebagai indikator ekologi keberadaan daerah tepi.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. menganalisis komposisi dan kelimpahan jenis burung di daerah tepi (edge) dan daerah inti (core) yang terbentuk oleh fragmentasi hutan di Tahura SSH 2. menganalisis perbedaan keanekaragaman jenis burung di berbagai tipe

daerah tepi (edge)

3. menganalisis pola dan tipe daerah tepi (edge) sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) Propinsi Riau

4. menganalisis respon berbagai spesies burung terhadap pola dan tipe daerah tepi (edge) yang terbentuk

5. menganalisis indikator daerah tepi ( edge) berdasarkan kelimpahan dan keanekaragaman jenis burung

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai :

1. bahan masukan bagi pemegang kebijakan tentang bentuk dan pola daerah tepi yang cocok bagi sebuah kawasan yang dilindungi.

2. bahan untuk mencari keterhubungan (connectivity) dan kekompakan bagi habitat yang berdekatan

3. bahan informasi habitat bagi spesies target dalam manipulasi habitat terkait dengan respon spesies tersebut terhadap keberadaan edge.

(23)

4. referensi ilmiah dalam penentuan daerah tepi berdasarkan parameter biotik (burung dan vegetasi)

F. Kerangka Pemikiran

Kondisi hutan yang terdapat di sekitar pemukiman penduduk rentan terhadap perubahan. Baik perubahan yang mencakup luas hutan maupun yang meliputi perubahan fungsi hutan. Perubah an ini terjadi akibat tekanan penduduk yang mengalihfungsikan hutan untuk kepentingan hidupnya. Hutan diokupasi menjadi kebun, ladang dan diambil kayunya secara ilegal. Tindakan ini menciptakan fragmentasi dan kehilangan habitat yang sangat cepat. Perilaku penduduk ini secara langsung menimbulkan perubahan terhadap luas dan fungsi hutan.

Perubahan yang terbentuk menciptakan kondisi abiotik dan biotik yang sangat berbeda dari semula. Kondisi ini secara ekologis disebut fragmentasi habitat dan hutan yang ditinggalkan disebut remnant forest (edge dan core area). Fragmentasi habitat adalah perubahan kondisi habitat sebagai akibat tindakan manusia yang menimbulkan keterputusan dan kehilangan suatu kesatuan habitat. Remnant forest adalah hutan sisa yang terjadi akibat terganggunya suatu matriks hutan. Remnant forest terdiri dari edge dan core area.

Lanskap yang terjadi oleh aktivitas manusia dapat mengubah kisaran keragaman tipe-tipe habitat, termasuk vegetasi alami, lahan pertanian, areal transmigrasi dan lahan yang terdegradasi oleh industri ekstraksi seperti pemanenan kayu, pertambangan dan pertanian yang tidak berkelanjutan. Suatu habitat yang berbeda dengan keterputusan struktur vegetasi disebut daerah tepi (edge). Efek dari habitat daerah tepi terhadap distribusi dan kelimpahan jenis satwa mendapatkan perhatian besar dalam literatur ekologi dan manajemen hidupan liar (Giles 1978 dalam Sisk & Margules, 1995).

Daerah tepi yang semakin luas memberikan dampak terhadap kemampuan kolonisasi dan distribusi serta laju kepunahan jenis-jenis satwa liar. Dengan mengetahui peran, fungsi dan karakteristik dari daerah tepi sangat berguna sebagai alat (tool) dalam manajemen kawasan yang dilindungi berbasiskan keanekaragaman hayati.

(24)

Gambar 1. Diagram alur berpikir penelitian

Tekanan manusia :

Ilegal logging , kebun,

ladang, pemukiman

Komposisi Jenis Burung

Peran, fungsi, karakteristik edge

Pengelolaan Kawasan untuk Konservasi Kehati TAHURA SSH

FRAGMENTASI HUTAN

Daerah Tepi (Edge)

Indikator Vegetasi - Kerapatan tajuk - Spesies tertentu Komposisi dan Struktur Vegetasi Kelimpahan dan

Keanekaragaman Jenis Burung Pola dan Tipe Edge

(25)

A. Pengusahaan Hutan dan Deforestasi

Bapedal (1995) dalam Defriyoza (2000), menyebutkan laju konversi hutan di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan bahwa 900 ribu hektar sampai 1,3 juta hektar hutan dibuka se tiap tahun di Indonesia untuk berbagai macam keperluan. Diperkirakan juga hanya 61 persen habitat alami yang tersisa. Di pulau Jawa dan Bali, lenyapnya habitat mungkin mencapai 91 persen, sementara di Papua hanya 7%. Di Jawa laju penebangan adalah 1,7% nomor dua tertinggi setelah di Sumatera. Khusus di Propinsi Riau menurut Pemda Riau dalam Defriyoza (2000) terjadi pengurangan hutan konversi dari 4.770.085 ha pada tahun 1986 menjadi 1.560.044 ha pada tahun 1992 yang ditujukan untuk penggunaan perkebunan dan transmigrasi.

Lebih lanjut Defriyoza (2000) mengatakan konversi hutan dilakukan baik oleh pengusaha maupun masyarakat untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Selain untuk kebutuhan tempat tinggal (transmigrasi) juga untuk memenuhi keperluan dalam bidang pertanian dan kehutanan. Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan perkebunan menjadi pilihan utama dalam konversi dan penggunaan lahan, baik HTI dan perkebunan yang berskala kecil dan besar.

Hasil studi FAO pada tahun 1990 yang dikutip oleh Sunderlin dan Resosudarmo (1996) menyebutkan bahwa kondisi hutan di Indonesia mengalami penurunan luas dari 74% menjadi 50% dalam selang waktu 30-40 tahun terakhir. Mengacu pada penelitian yang dilakukan FAO (1990) dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1996) terjadi peningkatan deforestasi dalam estimasi setiap tahunnya : pada tahun 1970-an sebesar 300.000 ha/tahun; pada tahun 1987 sebesar 600.000 ha/tahun; sedangkan pada tahun 1990 mencapai 1 juta ha/tahun.

Sedangkan di Propinsi Riau sendiri menurut data RePPProt tahun 1985 luas total 9.859.700 ha, yang berhutan 5.936.500 ha (60,2%). Sedangkan data dari Dephutbun pada tahun 1997 luas total 9.661.817 ha (tubuh air tidak dimasukkan dalam perhitungan luas), yang berhutan 5.071.891 ha (52,5%) dan lain-lain (berawan/tidak ada data) 2.506 ha. Dari data tersebut laju pengurangan hutan selama 12 tahun seluas 864.609 ha (14,6%) (BLK Pekanbaru, 2001)

(26)

B. Fragmentasi Habitat

Fragmentasi habitat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebanyakan habitat mengalami fragmentasi oleh pembuatan jalan, tanah pertanian, perkotaan atau kegiatan manusia lain. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen (Wilcove et al. 1986; Shafer 1990 dalam Primack et al. 1998). Sewaktu habitat dirusak, sebagian darinya mungkin dibiarkan begitu saja. Fragmen- fragmen yang ditinggalkan ini adakalanya terisolasi satu dengan lainnya oleh adanya daerah yang terdegradasi. Situasi seperti ini mirip dengan model biogeografi pulau. Fragmen habitat berlaku seperti pulau yang dikelilingi oleh lautan daerah yang telah diubah oleh manusia. Fragmentasi dapat terjadi pada daerah yang sangat tereduksi atau pada daerah yang hanya sedikit mengalami reduksi ( Schonewald-Cox dan Buecher 1992 dalam Primack et al. 1998). Habitat yang telah terfragmentasi berbeda dari habitat asal dalam hal fragmen yang memiliki daerah tepi. Satu contoh permasalahan yang akan diikuti oleh masalah- masalah yang lain dalam kaitannya dengan daerah tepi.

Lebih lanjut Forman dan Godron (1986) menyatakan bahwa fragmentasi habitat adalah proses dinamis yang menghasilkan perubahan pada pola habitat pada lansekap berdasarkan waktu. Istilah fragmentasi secara umum digunakan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi ketika blok luas dari vegetasi dimana penebangan memisahkan blok yang lebih kecil dengan yang lainnya. Proses dari fragmentasi memiliki 3 komponen yang dikenal dengan :

q Kehilangan menyeluruh dari habitat pada lanskap (kehilangan habitat)

q Pengurangan pada ukuran blok dari habitat yang diikuti dengan pembagian dan pembersihan (pengurangan habitat) dan

q Meningkatnya isolasi habitat untuk penggunaan lahan baru yang diokupasi pada lingkungan yang terganggu

Habitat terisolasi pada daratan utama, seperti puncak gunung, danau, hutan terfragmentasi dan cagar alam, dapat dilihat sebagai “pulau” yang dikelilingi “laut” dari habitat yang tidak sesuai. Selanjutnya teori equilibrium menjadi teori kerangka kerja pertama untuk menginterpretasi distribusi dan dinamika fauna pada habitat yang terganggu. Ini diperkuat dengan penelitian tentang ukuran tubuh pada konsekuensi dari fragmentasi habitat dan isolasinya bagi satwa (Simberloff 1974; Gilbert 1980; Shafer 1990 dalam Bennet 1999).

(27)

C. Dampak Fragmentasi terhadap Spesies

Fragmentasi habitat dapat mengancam keberadaan spesies dengan berbagai cara. Pertama, fragmentasi dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan kolonisasi. Banyak spesies burung, mamalia dan serangga pada daerah pedalaman hutan tidak akan dapat menyeberangi daerah terbuka oleh karena adanya bahaya dimakan pemangsa, walaupun daerah terbuka ini tidak begitu luas. Akibatnya, banyak spesies yang tidak mengkolonisasi lagi daerah asalnya setelah populasi awalnya hilang (Lovejoy et al. 1980 dalam Primack et al. 1998). Primack et al. (1998) melanjutkan bahwa penurunan kemampuan penyebaran hewan yang diakibatkan oleh fragmentasi habitat dapat mempengaruhi pula kemampuan penyebaran tumbuhan yang bergantung padanya. Hal ini berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah berdaging (yang menjadi makanan hewan) dan tumbuh-tumbuhan yang bijinya dapat melekat pada hewan tertentu. Dengan demikian, fragmentasi habitat yang terisolasi tidak akan dikolonisasi oleh spesies asli yang sebenarnya dapat tumbuh di daerah tersebut. Jika pada setiap fragmen spesies punah melalui proses populasi dan suksesi, spesies baru tidak akan mengkolonisasi daerah ini oleh karena adanya penghalang penyebaran, dan akhirnya jumlah spesies pada fragmen habitat tersebut akan mengalami penurunan.

Aspek kedua menurut Primack et al. (1998) yang berbahaya oleh adanya fragmentasi habitat adalah pengurangan daerah jelajah dari hewan asli. Kebanyakan spesies hewan, baik sebagai individu atau kelompok sosial, harus memiliki daerah jelajah yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan-hewan ini harus dapat berjalan dari satu sumber makanan ke sumber makanan yang lain atau yang kadang- kadang tersedia berdasarkan musimnya seperti buah, biji, rumput, genangan air dll. Suatu sumber makanan mungkin saja dibutuhkan hanya beberapa minggu atau bahkan sekali per tahunnya. Jika habitat terfragmentasi, spesies yang berada dalam satu fragmen tidak dapat berjalan ke fragmen lain yang awalnya merupakan daerah jelajahnya juga. Misalnya, pagar dapat menghalangi migrasi ilmiah yang dilakukan oleh hewan pemakan rumput seperti bison di Amerika atau wildebeest di Afrika, sehingga memaksa hewan-hewan ini untuk mengeksploitasi daerah yang sebenarnya tidak sesuai sehingga menyebabkan meraka kelaparan dan mengakibatkan pula penurunan kualitas daerah tersebut.

(28)

Fragmentasi habitat dapat mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding depression), genetic drift, dan masalah-masalah lain yang terkait dengan populasi yang berukuran kecil. Suatu habitat yang luas dapat mendukung suatu populasi yang besar, tetapi jika sudah terbagi dalam fragmen mungkin saja tidak ada satu fragmen pun mendukung sub populasi yang cukup untuk bertahan (Primack, 1993).

Beberapa studi yang dilakukan di beberapa pulau sebagai lokasi pengamatan, baik di kawasan temperate maupun tropis menunjukkan hasil yang sama, yang dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu bila luas pulau berkisar 1 hingga 25 km2

, seperti luas cagar alam dan suaka margastawa pada umumnya, maka laju kepunahan jenis-jenis burung dalam 100 tahun mencapai 10- 50% laju kepunahan diduga akan semakin tinggi di kawasan yang kecil dan mengalami fragmentasi. Menurut penelitian Willis 1979 dalam Wilson (1993), di areal seluas 0,2 sampai 14 km2 di kawasan hutan di Brazil yang terisolasi oleh lahan pertanian, menunjukkan laju kepunahan burung berkisar 14% sampai 64% dalam 100 tahun.

Menurut Harris (1984); Wilcove, et al. (1986); Saunders (1991) dalam Entebe (2005) aktivitas manusia menyebabkan terganggunya status dan distribusi populasi serta habitat satwa liar dalam dua hal yaitu (1) pengurangan total area dari habitat alami dan jumlah populasi sebagai akibat kegiatan pembangunan dan (2) habitat alami dan kisaran distribusi spesies yang sensitif mengalami fragmentasi ke dalam potongan-potongan areal yang disebut “pulau”. Konsekuensi dari terbentuknya “pulau-pulau” habitat, menyebabkan kualitas habitat bagi spesies bervariasi secara spasial dan kebanyakan spesies yang terdistribusi dalam sistem metapopulasi dari populasi lokal yang terhubung oleh penyebaran. Ketahanan metapopulasi sangat tergantung pada efisiensi penyebaran individual spesies dari satu patch ke patch lain (Meffe et al, 1994; dalam Entebe, 2005).

D. Keanekaragaman

Menurut Odum (1971) dalam Entebe (2005) keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam mempelajari suatu komunitas baik tumbuhan

(29)

maupun hewan. Keanekaragaman jenis (species diversity) merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan menarik dalam ekologi, baik teori maupun terapan (Magurran, 1988). Oleh karena itu ahli ekologi harus mengetahui bagaimana mengukur keanekaragaman jenis dan memahami hasil pengukurannya. Permasalahannya adalah banyak sekali metode pengukuran yang telah dikembangkan dan sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara ahli ekologi tentang metode tersebut.

Namun banyaknya metode pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen yaitu (1) jumlah jenis (species richness) yang disebut kepadatan jenis (species density), berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan (2) kesamaan/kemerataan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Krebs, 1992; Magurran, 1988).

1 Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh McIntossh tahun 1967. Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis/spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut : (1) metode rarefaction yang pertama kali dikemukakan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Magurran, 1988), (2) indeks kekayaan jenis Margalef; (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis Jacknife.

2 Kemerataan Jenis

Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Llyod dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) yang dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah : (1) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shannon-Wiener, (3) indeks kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs (1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam

(30)

Ludwig dan Reynolds (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill’s evenness number.

3 Kelimpahan jenis

Kelimpahan jenis atau species abundance merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Magurran, 1988). Diantara sekian banyak indeks kelimpahan jenis, ada tiga indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yaitu indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin (Poole, 1974, Krebs, 1992).

E. Keanekaragaman Jenis Burung

Keanekaragaman jenis burung berbeda dari satu tempat ke tempat lain, tergantung kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah keragaman konfigurasi dan ketinggian pohon; sehingga hutan yan g memiliki ukuran pohon dan bentuk yang berbeda-beda dari satu jenis pohon akan memiliki keanekaragaman jenis burung lebih tinggi daripada tegakan pohon dari jenis yang berbeda namun memiliki struktur bentuk yang seragam (MacArthur and MacArthur 1961 dalam Welty 1982).

Menurut Keast (1985), tingginya keanekaragaman jenis burung di hutan tropis disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang relatif stabil dan bersahabat yang memungkinkan terjadinya relung ekologi dan “ species packing” terbentuk, struktur vegetasi habitat yang beragam, tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan (floristic), beragamnya tipe pakan yang tersedia serta tingginya jumlah jenis burung yang jarang (rare) dan spesialis (specialized).

F. Ekologi Lanskap

Lanskap adalah suatu wilayah daratan yang heterogen dimana sekelompok interaksi terjadi dan ekosistem-ekosistem yang homogen ditemukan berulang dalam bentuk yang sama. Lanskap dibentuk oleh tiga mekanisme yang bekerja didalamnya proses geomorfologi alami, pola kolonisasi organisme dan gangguan lokal terhadap kedudukan komponennya. Gangguan termasuk aktivitas manusia seperti kegiatan pertanian dan penebangan hutan (Forman, 1995).

Ekologi lanskap adalah studi tentang pola lanskap, interaksi antara patch-patch dalam sebuah mosaik lanskap dan bagaimana pola dan interaksi ini

(31)

berubah sepanjang waktu. Lebih lanjut ekologi lanskap terlibat dalam hal penerapan prinsip-prinsip ini dalam formulasi pemecahan masalah yang ada di dunia. Ekologi lanskap mempertimbangkan perkembangan dan dinamika dari ruang heterogen dan dampaknya terhadap proses-proses ekologi dan manajemen dari ruang yang heterogen tersebut. (McGarigal, 2004).

Ekologi lanskap memfokuskan perhatiannya pada tiga karakter lanskap yaitu : (1) struktur, merupakan hubungan spasial di antara ekosistem atau elemen yang terdapat didalamnya seperti aliran energi, materi dan spesies yang berhubungan dengan ukuran bentuk, jumlah dan macam konfigurasi ekosistem; (2) fungsi, yaitu interaksi antara elemen spasial seperti aliran energi, materi dan spesies di antara komponen ekosistem; (3) perubahan, yaitu perubahan struktur dan fungsi yang berlangsung terus- menerus ( McGarigal, 2004).

G. Struktur Lanskap

G.1. Patch dan Matriks Habitat

Menurut Forman dan Godron (1986) patch adalah daerah yang relatif homogen yang berbeda dengan sekitarnya yang biasanya patch terdapat dalam suatu matrik yaitu wilayah yang mengelilinginya yang mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda. Patch lanskap dapat dicirikan dengan mengacu pada beberapa tipe dasar dimana asal- usulnya melibatkan gangguan, heterogenitas habitat dan aktivitas pertanian, yaitu :

a. Disturbance patch, terjadi mengikuti gangguan lokal (kebakaran, penggundulan) di dalam suatu matriks dan secara normal dicirikan oleh vegetasi suksesi.

b. Remnant patch adalah satu patch dari matriks habitat asli yang merupakan sisa ketika gangguan yang luas terjadi disekitarnya, misalnya suatu kumpulan tegakan dari hutan asli dikelilingi oleh tanah pertanian.

c. Environmental resource patch, adalah suatu patch dimana kumpulan sumberdaya fisik berbeda dari yang mengelilingi mereka dan mempengaruhi komposisi biotik (contoh : tipe tanah khusus, suatu selokan atau parit).

d. Introduced patch, terjadi mengikuti introduksi spesies dan dipelihara oleh manusia

Untuk lebih jelas posisi patch dalam matriks dan definisi patch dapat dilihat pada Gambar 2.

(32)

Keterangan : patch matriks Gambar 2 : Patch-patch yang tersebar dalam matriks

Pada Gambar 2, dimana keadaan matrik yang terfragmentasi menyebabkan terjadinya patch-patch, dengan kata lain fragmentasi menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi pulau-pulau kecil yang terpencar (patch-patch dianggap sebagai pulau-pulau). Di bidang biologi konservasi pernah terjadi debat berkepanjangan, mengenai pada keadaan manakah kekayaan spesies akan dapat dicapai secara maksimal : satu cagar alam (tunggal) yang berukuran besar atau cagar alam yang berukuran sama namun terpecah-pecah dalam beberapa lokasi yang lebih kecil (Diamond 1975; Simberloff dan Abele 1976, 1982; Terborgh 1986). Perdebatan ini dikenal sebagai SLOSS debate (single large or several small, satu besar atau beberapa kecil). Para pendukung cagar alam tunggal berpendapat bahwa bagi spesies yang berukuran besar yang memiliki jelajah luas serta memiliki kerapatan individu yang kecil (misalnya karnivora besar) hanya cagar alam yang besar akan dapat mempertahankannya dalam jumlah yang mencukupi sehingga mewujudkan populasi umur panjang.

Di lain pihak, beberapa ahli biologi konservasi berpendapat bahwa cagar alam kecil yang ditempatkan secara baik akan mempunyai berbagai kelebihan (dibandingkan satu blok cagar alam yang berukuran serupa) karena dapat mencakup tipe-tipe habitat yang lebih beragam, serta dapat menampung lebih banyak populasi spesies langka (Simberloff dan Gotelli, 1984). Namun pada akhirnya terbentuk juga konsensus, bahwa strategi mengenai ukuran cagar alam akan disesuaikan dengan kelompok spesies yang akan dilindungi (Soule dan Simberloff 1986). Telah dapat diterima bahwa dibandingkan dengan cagar alam yang kecil), cagar alam yang berukuran besar akan lebih menampung banyak

(33)

spesies, karena mampu menampung lebih banyak individu dan karena memiliki habitat yang lebih beragam. Bagaimanapun, cagar alam yang berukuran kecil namun dikelola dengan baik juga bermanfaat, karena dapat menyediakan perlindungan bagi banyak spesies tumbuhan, avertebrata dan vertebrata ukuran kecil (Lesica dan Alendorf, 1992).

Struktur lanskap mempengaruhi pergerakan satwa (Forman dan Godron, 1986), karena fragmentasi lanskap yang terjadi menyebabkan gap yang memisahkan populasi satwa ke dalam patch-patch habitat dan menghalangi pergerakan satwa. Sampai sejauh mana suatu matrik (gap) dapat menghalangi pergerakan satwa sangat tergantung pada konfigurasi spasial gap tersebut yang kemudian diterima oleh satwa secara berbeda pada skala spasial yang sangat spesifik (Kotliar dan Wiens, 1990, Keith et al . 1997 dalam St. Clair et al. 1988 dalam Cahyadi, 2002). Pergerakan satwa melintasi gap antar patch akan bervariasi antar tiap spesies, tipe patch habitat, tipe matrik dan faktor lain seperti variasi cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi (predator, jarak perjalanan) (St.Clair, et al. 1988 dalam Cahyadi, 2002)

G.2. Struktur Patch (Daerah Tepi (Edge) dan Daerah Inti (Core))

Thomas et al. (1979), mendefinisikan edge sebagai tempat pertemuan dua komunitas tumbuhan yang berbeda, yang jika dilihat dari struktur lanskapnya, edge dapat dibedakan menjadi 1). Inheren edge yaitu edge yang terbentuk dari pertemu an dua komunitas yang berbeda tingkat suksesinya dan 2). Induced edge yaitu edge yang terbentuk karena adanya gangguan, misalnya penggembalaan, logging, kebakaran. Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi (edge). Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya beradaptasi untuk suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Ilustrasi patch yang memiliki edge dan core dapat dilihat pada Gambar 3.

Tingkat keanekaragaman hayati pada setiap edge juga berbeda dengan daerah core (bagian tengah hutan). Edge dipandang sebagai suatu ekosistem tersendiri yang diakibatkan oleh pertemuan dua tipe ekosistem. Keanekaragaman pada edge lebih tinggi dari pada daerah core. Leopold (1933) menyatakan bahwa edge mempunyai kelimpahan jenis dan spesies yang besar,

(34)

karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch dan matriks yang berbeda.

Bentuk, luas, dan konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak edge. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen dan kompak, menjadi matriks yang heterogen dan terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terfragmentasi ini akan berbeda dengan matriks awal dalam hal : (a) matriks yang terfragmen akan mempunyai area edge yang lebih luas, (b) jarak pusat matriks dengan edge menjadi lebih dekat (c) core area menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi/biodiversitasnya.

Gambar 3. Patch yang terdiri dari edge dan core

Masing- masing patch yang elemen lanskapnya terdiri dari edge, akan menunjukkan edge effect (misalnya pada edge didominasi oleh spesies yang hanya ditemukan di daerah tepi). Daerah terdalam dari elemen lanskap yang dianggap sebagai core, didominasi oleh spesies yang hanya ditemukan pada daerah yang jauh dari daerah tepi. Border adalah garis yang memisahkan edge dari elemen lanskap yang berbatasan. Dua edge membentuk wilayah perbatasan (boundary), dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan spasial dari daerah perbatasan (boundary), garis batas (border) dan daerah tepi (edge) (Forman, 1995).

patch

(35)

H. Efek Tepi (Edges effect)

Fragmentasi habitat secara dramatis menambah luas daerah tepi. Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis (Kapos 1989, Bierregaard et al. 1992 dalam Primack et al. 1998). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 m ke dalam hutan (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya teradaptasi untuk suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tertentu, perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies dari fragmen-fragmen hutan. Spesies tumbuhan liar yang toleran pada naungan di daerah beriklim sedang, spesies pepohonan yang muncul belakangan pada suksesi di daerah tropik dan hewan-hewan yang sensitif pada kelembaban seperti amfibi biasanya dapat dengan cepat termusnahkan oleh fragmentasi habitat dan akhirnya akan menyebabkan perubahan komposisi spesies dari suatu komunitas.

Spesies tumbuhan belukar dan spesies pemula (pionir) yang lain dapat tumbuh dengan cepat sebagai reaksi terhadap meningkatnya intensitas cahaya. Tetumbuhan ini dapat berfungsi sebagai penghalang yang mengurangi efek dari gangguan lingkungan bagi bagian dalam fragmen. Dalam hal ini, daerah tepi hutan memegang peranan yang penting untuk menjaga komposisi spesies dari fragmen hutan, tetapi dalam proses selanjutnya, komposisi spesies dari daerah tepi hutan akan berubah sehingga daerah sebelah dal am akan berkurang (Primack, 1993).

Jika hutan telah terfragmentasi, pertambahan kecepatan angin, rendahnya kelembaban dan tingginya suhu pada daerah tepi akan menyebabkan daerah itu lebih mudah mengalami kebakaran. Kebakaran hutan dapat menyebar ke fragmentasi habitat dari tanah pertanian di dekatnya yang dibakar secara teratur. Misalnya pada saat pemanenan tebu atau dari kegiatan petani yang melakukan perladangan berpindah (Gomez- Pompa dan Kaus 1992 dalam Primack 1993). Di Kalimantan seluas jutaan hektar hutan hujan tropik terbakar selama musim kemarau yang panjang antara tahun 1982 dan 1983. Penyebab dari bencana alam ini adalah gabungan dari praktek-praktek pertanian dan tebang pilih, serta kegiatan manusia lainnya (Leighton dan Wirawan 1986 dalam Primack et al. 1998).

(36)

Fragmentasi habitat memperbesar kerentanan fragmen akan invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu. Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan (Paton 1994 dalam Primack, 1993). Di Amerika Serikat, hewan-hewan omnivora seperti raccoons, sigung, dan bluejays dapat bertambah jumlahnya di tepi fragmen. Hewan-hewan ini dapat memperoleh makanan baik dari habitat yang terganggu maupun dari daerah yang tidak terganggu. Pemangsa yang agresif ini akan memakan telur dan anak-anak burung hutan sehingga mencegah keberhasilan reproduksi dari banyak spesies burung yang berada beberapa ratus meter dari daerah tepi. Burung parasit yang hidup di lapangan terbuka dan tepi hutan mempergunakan habitat tepi sebagai basis untuk menginvasi bagian dalam fragmen hutan. Disini, anak-anak mereka menghancurkan telur dan mengganggu kehidupan anak-anak burung penyanyi. Gabungan dari fragmentasi habitat, kenaikan pemangsa selama masa kecil dan perusakan hutan tropik menyebabkan penurunan yang drastis pada spesies burung migran di Amerika Utara, seperti red-eyed vireo, eastern wood pe wee, dan hooded warbler (Terborgh 1989 dalam Primack et al. 1998), walapun belum ada kata sepakat mengenai penyebab sebenarnya serta seberapa jauh mereka menyebar (James et al. sedang naik cetak dalam Primack dkk, 1998).

Primack (1993) melanjutkan bahwa fragmentasi habitat juga menyebabkan spesies liar menjadi dekat dengan tumbuhan dan hewan peliharaan. Penyakit spesies peliharaan ini akan dengan mudah menular ke spesies lain yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tersebut. Keadaan yang sebaliknya dapat terjadi, yaitu penyakit menular dari spesies liar ke spesies peliharaan bahkan juga ke manusia.

Fragmentasi hutan tidak sama dengan forests patch dilihat dari komposisi dan bentuk dari areal hutan yang terjadi sebagai akibat dari gangguan dan tekanan dari manusia. (Harris, 1992).

I. Komposisi Jenis Burung di Daerah Tepi (edge)

Komunitas burung pada berbagai tempat mewakili tahapan-tahapan suksesi yang berbeda sebagai contoh adanya perubahan secara langsung pada komposisi spesies dari awa l hingga akhir suksesi, spesies dan kekayaan jenis paling tinggi terdapat pada hutan umur medium (Karr, 1971; May, 1982 dalam

(37)

Parody et al. 2001). Hasil-hasil tersebut menyatakan bahwa hutan-hutan yang telah matang komposisi komunitas menunjukkan spesies dan kekayaan jenis paling tinggi terdapat pada hutan umur medium..

Komposisi jenis burung tajuk bawah mengikuti permudaan menunjukkan dipengaruhi perubahan cepat pada penutupan vegetasi yang digambarkan oleh (Stoneman et al (1988) dalam Johnson & Williams 2000). Populasi spesies tajuk bawah menyediakan bahan untuk rekolonisasi, saat kembalinya struktur vegetasi yang sesuai (Rowley & Russel, 1991). Sebagaimana jenis tajuk bawah-permukaan yang bertentangan melalui studi setelah penebangan (White breasted robin, Grey fantail dan Red- winged fairy wren) umum pada kepadatan vegetasi di luar hutan, ini sepertinya mereka secara cepat meningkat kembali dalam lingkungan daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. (Johnson & Williams, 2000).

Perubahan tidak sebesar jenis tajuk bawah permukaan pada jalur dibandingkan daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. Dampak lokal kebakaran terhadap avifauna terjadi sementara, karena permudaan yang cepat pada tajuk bawah di Hutan Karri. Bagaimanapun juga, terdapat sedikit perubahan pada jalur lain yang dapat ditambahkan pada kegiatan terpisah berkaitan dengan kegiatan penebangan. Sebagai contoh kenampakan dari Splendid wren diobservasi pada tahun kedua setelah penebangan dapat ditambahkan dengan pembangunan jalan dalam kaitannya dengan kegiatan penebangan. Kegiatan penebangan berpengaruh terhadap kehadiran dan kelimpahan jenis, oleh karena, memperluas areal pada kegiatan penebangan diperlukan. Pendekatan segala arah pada studi mungkin saja dibutuhkan untuk mengindikasi perubahan di berbagai bentuk komunitas di seluruh daerah celah dan daerah celah-daerah tepi. (Johnson & Williams, 2000).

Jokimaki & Suhone (1993), Blair (1996) dalam Parody et al. (2001) menyatakan bahwa hutan-hutan yang telah matang komposisi komunitas menunjukkan perubahan secara langsung ketika kekayaan jenis mencapai puncak dan kemudian menurun mendekati tahap klimaks. Perbandingan komunitas burung sepanjang peningkatan urbanisasi di lain pihak menunjukkan peningkatan kekayaan jenis pada kondisi kawasan yang berpenghuni sedikit atau menengah tetapi akan menurun menuju pusat hunian. Hal ini mengimplikasikan bahwa level gangguan pada tingkat intermediate mempertahankan level yang paling tinggi dalam diversitas.

(38)

J. Respon Spesies terhadap Daerah Tepi (Edge)

Pandangan umum melihat bahwa terdapat tiga kategori respon terhadap edge yaitu beberapa spesies meningkat kelimpahannya, beberapa menurun dan beberapa secara relatif tidak berpengaruh. Variasi ketiga kemungkinan tersebut muncul tergantung apakah spesies tersebut habitat generalis yang terjadi pada kedua sisi dari edge atau habitat spesialis yang terjadi hanya pada satu tipe habitat yang berbatasan. Klasifikasi respon terhadap edge memungkinkan analisis pada level populasi terhadap efek daerah tepi. Menurut Sisk dan Margules (1995) ada enam klasifikasi respon spesies terhadap daerah tepi dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 1992)

Habitat 1 Edge Habitat 2

Habitat 1 Edge Habitat 2 Habitat 1 Edge Habitat 2

Habitat 1 Edge Habitat 2 Habitat 1 Edge Habitat 2

Habitat 1 Edge Habitat 2 a) HABITAT GENERALIST e) HABITAT GENERALIST EDGE AVOIDER f) HABITAT SPESIALIST EDGE AVOIDER c) HABITAT GENERALIST EDGE EXPLOITER

d) HABITAT SPECIALIST EDGE EXPLOITER b) HABITAT SPECIALIST

(39)

Keterangan :

a) Habitat Generalist; merupakan spesies yang dapat hidup pada semua wilayah (habitat 1, edge dan habitat 2)

b) Habitat Specialist; merupakan spesies yang hanya dapat hidup pada habitat 1, pada edge mengalami penurunan kelimpahan, ditunjukkan dengan respon yang tajam (hard response) sedangkan pada habitat 2 mengalami penurunan kelimpahan, ditunjukkan dengan respon yang tidak begitu tajam (soft response).

c) Habitat Generalist Edge Exploiter; merupakan spesies yang dapat hidup di semua wilayah (habitat 1, habitat 2 dan khusus pada edge kelimpahannya meningkat

d) Habitat Specialist Edge Exploiter; merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat 1 dan pada edge kelimpahannya meningkat, spesies ini cenderung mendekati edge.

e) Habitat Generalist Edge Avoider; merupakan spesies yang dapat hidup pada Habitat 1 dan habitat 2 dan khusus pada edge kelimpahannya menurun, jadi spesies ini cenderung menghindari edge.

f) Habitat Specialist Edge Avoider; merupakan spesies yang dapat hidup pada habitat 1 dan pada edge kelimpahannya menurun, spesies ini cenderung menghindari edge.

K. Taman Hutan Raya

Berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1990 Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Sedangkan berdasarkan Dephut (1988), Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensifnya pemanfaatan sumberdaya alam telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan potensi sumberdaya alam, hal ini mendorong upaya untuk berusaha menetapkan kawasan konservasi yang tidak saja berfungsi sebagai penyangga proses ekologi dan pelestarian sumberdaya alam, namun juga pemanfaatan sumberdaya alam tersebut untuk kesejahteraan masyarakat secara luas dan berwawasan lingkungan.

(40)

A. Pembatasan Masalah

Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk menganalisis :

1. Keanekaragaman jenis burung dan komposisi vegetasi sebagai akibat dari terbentuknya daerah tepi.

2. Daerah tepi yang tercipta akibat fragmentasi hutan dari lingkungan sekitar.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim dilakukan pada Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Pekanbaru Blok Pemanfaatan (Lampiran 1). Penelitian berlangsung selama 6 bulan (termasuk pengolahan data) yakni bulan Mei-Oktober 2005.

C. Bahan dan Alat

Obyek yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah ordo burung yang terdiri atas berbagai jenis burung di kawasan sekitar Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim. Data biotik meliputi data jenis burung dan vegetasi. Selain itu pengaruh daerah tepi terhadap keli mpahan burung juga menjadi obyek pengamatan. Pengamatan vegetasi dilakukan untuk melihat perubahan tipe dan deskripsi vegetasi di daerah edge dan core .

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dan pengumpulan data meliputi : 1. Binokuler (teropong) 7x50 mm

2. Tambang plastik sepanjang 20 m

3. Pita ukur, phiband dan meteran berukuran 50 m 4. Peta kerja/lokasi dan potret udara/citra satelit. 5. Kompas brunton

6. Kamera SLR, lensa tele 200 mm beserta filmnya 7. Arloji atau alat pengukur waktu

8. GPS (Global Positioning System) merk Garmin

9. Buku Panduan Lapangan Pengenalan Burung “Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan” John Mackinnon.

(41)

10. Alat perekam suara burung beserta kasetnya 11. Christen meter

12. Kompas Suunto

D. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan burung dan analisis vegetasi. Pengamatan pada burung dilakukan dengan menggunakan metode transek sepanjang 300-500 m (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998). Pengamatan burung dilakukan pada pagi dan sore hari antara pukul 06.00 – 09.00 WIB dan pukul 15.00-18.00 WIB dalam cuaca cerah, baik pada jalur pengamatan yang telah ditentukan dengan lama pengamatan selama 20 menit interval waktu 5 menit untuk setiap pengamatan.

Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. Data sekunder merupakan data pendukung yang sangat penting dan dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain buku teks, skripsi, tesis dan jurnal penelitian.

Pengamatan burung dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan mengidentifikasi dari suaranya. Burung yang tidak teridentifikasi secara langsung akan direkam suaranya dengan tape recorder dan diidentifikasi berdasarkan contoh suara burung dari Birdlife International.

Jenis data yang dikumpulkan ada dua macam yaitu : 1. Data primer

a. Keanekaragaman jenis burung

Data yang berhubungan dengan komposisi, kelimpahan dan jumlah jenis burung. Pengamatan burung menggunakan kombinasi titik dan metode transek. Pengamatan dilakukan di hutan terfragmentasi dan daerah tepi hutan. Pengamatan dilakukan dari transek-transek dengan panjang 300-500 m tegak lurus 2 tipe habitat, sehingga panjang jalur bervariasi tergantung dari kondisi lapangan namun mencakup kedua tipe habitat yang berdekatan. Masing- masing kondisi ekosistem diletakkan beberapa transek. Banyak transek disesuaikan dengan kondisi dan tipe edge. Peletakan titik di lapangan ditunjukkan oleh Gambar 6, dimana setiap titik pengamatan mewakili daerah tepi hutan dengan penggunaan habitat lain seperti belukar akasia, kelapa sawit, kebun masyarakat, danau, semak belukar, hotel dan jalan.

(42)

Gambar 6. Jalur Pengamatan Burung dan Peletakannya di Lapangan Keterangan :

a. Edge antara hutan dengan tegakan akasia b. Edge antara hutan dengan semak belukar c. Edge antara hutan dengan kebun kelapa sawit d. Edge antara hutan dengan kebun campuran e. Edge antara hutan dengan tepi danau f. Edge antara hutan dengan jalan g. Edge antara hutan dengan hotel

b. Vegetasi

Data yang berhubungan dengan INP (untuk hutan yang terfragmentasi dan edge/daerah tepi hutan). Pengumpulan data vegetasi dilakukan pada jalur pengamatan burung dan tegak lurus dengan daerah tepi hutan. Metode yang digunakan adalah garis berpetak. Data yang dikumpulkan untuk tingkat tiang dan pohon adalah jenis, jumlah individu setiap jenis dan diameter setinggi dada. Untuk tingkat semai dan pancang, data yang dikumpulkan hanya jenis dan jumlah individu. Bentuk petak tersaji pada Gambar 7.

(43)

Arah rintis

Gambar 7. Inventarisasi Vegetasi Metode Jalur Berpetak (Irawan & Kusmana, 1995).

Keterangan :

a. (20m x 20m) untuk tingkat pohon b. (10 m x 10m) untuk tingkat tiang c. (5m x 5 m) untuk tingkat pancang d. (2m x 2m) untuk tingkat semai

Pembuatan jalur pengamatan untuk burung dan vegetasi

1. Sebelum dilakukan pembuatan jalur pengamatan, terlebih dahulu melakukan orientasi lapangan dengan peta kerja atau remnant forest. 2. Penetapan jalur dilakukan secara purposive sampling berupa jalur-jalur

analisis vegetasi yang ditempatkan mulai dari tepi remnant forest sampai ke dalam hutan dengan panjang jalur 300- 500 m (Laurance, 1991 dalam Primack et al. 1998) dan jarak antar jalur yang bervariasi bergantung dengan kondisi keberadaan vegetasi di lapangan.

2. Data Sekunder

a. Peta dan potret udara/citra satelit Taman Hutan Raya SSH b. Data gangguan terhadap Tahura SSH

c. Data penutupan vegetasi

E. Orientasi Lapangan

Orientasi lapangan dilakukan sebelum penelitian dimulai. Hal ini bertujuan untuk mengetahui areal penelitian, mencocokkan peta kerja dengan kondisi lapangan, menentukan lokasi dan titik-titik awal jalur pengamatan. Pada setiap titik awal jalur pengamatan yang sudah ditentukan, selanjutnya diberi tanda dan

a b

c d

(44)

kode untuk memudahkan pengamatan. Pengenalan lapangan direncanakan selama ± 1 min ggu.

F. Analisis Data

F.1. Analisis Keanekaragaman Jenis Burung (Magurran, 1988) F.1.1. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung

Untuk menentukan kekayaan jenis burung digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus :

s

H’ =

- (pi) ln pi i :1

Dimana

H’ = indeks diversitas Shanon s = jumlah jenis

pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni/N) ln = log natural

F.1.2. Indeks Kemerataan Jenis Burung

Untuk menentukan proporsi kelimpahan jenis burung dan yang ada di masing- masing tipe penggunaan lahan digunakan indeks kemerataan (Index of Equitability or evennes) yaitu jumlah individu dari suatu jenis atau kelimpahan masing- masing jenis dalam suatu komunitas

E = H’/ln S Dimana

E = indeks kemerataan

H’= indeks keanekaragaman Shannon S = jumlah jenis

F.1.3. Analisis Penyebaran Burung

Analisis penyebaran digunakan untuk melihat penyebaran secara horisontal pada masing-masing habitat pengamatan dengan menggunakan nilai frekuensi ditemukannya jenis burung dalam plot contoh.

Adapun rumus yang digunakan adalah :

Frekuensi Jenis (FJ) = Jumlah plot ditemukan jenis burung Jumlah seluruh plot contoh

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis

(45)

F.1.4. Analisis Dominansi Jenis Burung

Analisis dominansi jenis burung digunakan untuk melihat bagaimana komposisi jenis burung yang dominan, sub dominan dan non dominan atau jarang dalam komunitas burung yang diamati. Analisis menggunakan parameter kerapatan relatif sesuai dengan kategori yang dikemukakan oleh Jorgensen (1974), yaitu kategori burung dominan bila kerapatan relatif > 5%, sub dominan bila kerapatan relatif antara 2% - 5% dan non dominan atau jarang bila kerapatan relatif < 2%.

Rumus yang digunakan :

Kerapatan jenis (KJ) = Jumlah suatu jenis burung Luas plot contoh

Kerapatan relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis

F.1.5. Indeks Kesamaan Jenis Burung

Perubahan komposisi jenis burung dalam suatu komunitas berkaitan dengan kondisi habitat. Perubahan tersebut diukur dengan indeks kesamaan jenis (Similarity Index) terhadap jenis burung yang menghuni antara dua tipe habitat yang dibandingkan. Data yang digunakan adalah jumlah spesies yang hadir dan yang tidak hadir. Berikut pendekatan rumus Jaccard (1901) dalam Utari (2000) :

Indeks Kesamaan Jenis Jaccard (Sj) = a a + b +c

dimana : a = jumlah jenis yang umum di komunitas A dan B,

b = jumlah jenis yang unik di komunitas A tetapi tidak di komunitas B, dan

c = jumlah jenis yang unik di komunitas B tetapi tidak di komunitas A Untuk mengetahui kedekatan atau kekariban antar komunitas burung di berbagai tipe habitat dianalisis dengan dendrogram

F.1.6. Uji t-student

Uji t- student digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan keanekaragaman jenis burung antara berbagai fragmentasi-fragmentasi yang terjadi dan pada masing-masing jenis ruang terbuka hijau pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan menggunakan hipotesa :

Gambar

Gambar 1. Diagram alur berpikir penelitian
Gambar 4  Hubungan spasial dari daerah  perbatasan (boundary), garis batas  (border) dan daerah tepi (edge)   (Forman, 1995)
Gambar 5. Berbagai respon spesies terhadap edge (Sisk dan Margules, 1992)
Gambar 6.  Jalur Pengamatan Burung dan Peletakannya di Lapangan  Keterangan :
+7

Referensi

Dokumen terkait

Latar belakang yang diuraikan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) sudah Latar belakang yang diuraikan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) sudah dapat menjawab, kenapa akhirnya

Penelitian yang pertama dilakukan oleh Rudi Hartoyo pada tahun 2013, berjudul “Perancangan Sistem Pendukung Keputusan Menetukan Status Karyawan Kontrak Sales Promotion Girl

Objek pada penelitian ini adalah perencanaan proyek, maka untuk melakukan perencanaan proyek dibutuhkan data-data awal sebagai input dalam pembuatan perencanaan

Dan menerapakan metode CPM dalam penjadwalan kembali proyek penataan bangunan kawasan strategis masjid raya sumbar kota padang dengan mengunakan metode CPM

Bukti  bahwa  yang  diuntungkan  dengan  sistem  MLM  adalah  Upline,  sedangkan  Downline  akan  selalu  dirugikan  adalah  bahwa 

Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa bounding box adalah proses terakhir dari alur pendeteksian objek yang bergerak pada image sequence.Berfungsi untuk menandai objek

Hipotesis keenam yang diajukan dalam penelitian ini: Brand Loyalty menjadi variabel intervening antara pengaruh Brand Affect dan Brand Quality terhadap Consumer’s Brand Extension

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa tepung daun jaloh kurang sesuai dijadikan bahan baku pakan ikan lele dumbo, karena menghasilkan laju pertumbuhan harian lebih