• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi 7 (tujuh) kasus mutilasi di Jakarta Utara, (sumber : jejak kasus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi 7 (tujuh) kasus mutilasi di Jakarta Utara, (sumber : jejak kasus"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kurun waktu 3 minggu pertama pada bulan Januari tahun 2008, telah terjadi 7 (tujuh) kasus mutilasi di Jakarta Utara, (sumber : jejak kasus Indosiar). Salah satunya kasus yang terjadi di hotel klas Melati di daerah Koja Jakarta Utara, sesosok mayat tergeletak di lantai kamar tidurnya dalam keadaan bugil, tragis di TKP di mayat wanita tersebut ditemukan dengan tanpa kepala, alias badan dan kepala korban pisah, hanya badan saja yang ada disana, diperkirakan korban berusia 24 Tahun. Peristiwa mutilasi, makin banyak dan makin mengkhawatirkan saja. Dalam satu tahun terakhir saja, dihitung sejak tahun 2007, sedikitnya telah terjadi 14 kali kasus mutilasi. Tentu saja yang terjadi di tahun 2008 ini pantas membuat kita kaget. Karena dari 14 kasus itu, 7 di antaranya terjadi di bulan Januari, hanya dalam tempo 24 hari terakhir.

Tentunya masih teringat dengan kasus pembunuhan berantai yang disertai dengan mutilasi yang dilakukan oleh Ferry Idham Heniansyah alias Ryan, kasus yang terjadi pada tahun 2008 ini sempat menggegerkan, seorang Ferry Idham Heniansyah alias Ryan, tega melakukan pembunuhan berantai kepada beberapa orang, yang disertai dengan mutilasi.

Very Idham Henyansyah, atau dikenal dengan panggilan Ryan (lahir di Jombang, 1 Februari 1978; umur 33 tahun) adalah seorang tersangka

(2)

pembunuhan berantai di Jakarta dan Jombang. Kasusnya mulai terungkap setelah penemuan mayat termutilasi di Jakarta. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, terungkap pula bahwa Ryan telah melakukan beberapa pembunuhan lainnya dan dia mengubur para korban di halaman belakang rumahnya di Jombang.

Maraknya metode Mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi gangguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena keadaan rumah tangga dari pelaku Kejahatan.

Kalangan ahli tidak seragam dalam melihat perilaku mutilasi, karena motif dan karakter prilaku pelakunya memang beragam. Tapi banyak yang melihat tindakan ini termasuk kelainan, prilaku Psikopat. Pelaku mutilasi adalah orang-orang yang tidak memiliki suara hati dan cenderung mengalami gangguan jiwa. Melihat kasus-kasus mutilasi yang terjadi, ada dua hal yang bisa kita ketahui. Pertama, motifnya kebanyakan terkait dengan prilaku seksual, dan kedua, kasusnya relatif sulit diungkap, bahkan sebagian besar, tidak berhasil diungkap Polisi. Situasi dan kondisi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi Polri sebagai institusi yang dipercaya masyarakat dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Menegakan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tentunya. Karena seperti yang kita ketahui bahwa kehidupan manusia seakan tidak mengenal ruang dan

(3)

waktu dimana dengan di dukung derasnya arus informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, kualitas dan kuantitas kejahatan semakin meningkat dengan modus operandi yang lebih bervariasi dan canggih serta sulit pembuktiannya seperti dalam contoh kasus pembunuhan yang disertai dengan Mutilasi misalnya.

Mutilasi, adalah tragedi anak manusia. Pelakunya, juga adalah musuh peradaban manusia, karena tak memiliki perasaan dan belas kasih. Tidak dipikirkan bagaimana keluarga korban harus menanggung luka perasaan karenanya. Semoga hukum masih berpihak pada mereka yang kini tak punya pilihan kecuali mengharap, keadilan masih ditegakkan untuk mereka.

Dari uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul “KAJIAN KRIMINOLOGI DAN POLA PEMBINAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MENGHILANGKAN NYAWA ORANG YANG DISERTAI DENGAN MUTILASI DI LP KLS 1 KESAMBI CIREBON (Study Kasus Very Idham Henyansyah)”

B. Identifikasi Masalah

1. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi

2. Bagaimanakah pola pembinaan terhadap narapidana pelaku Tindak Pidana Pembunuhan yang disertai dengan mutilasi.

(4)

C. Tujuan Penelitian

1 Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tidak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi

2 Untuk mengetahui pola pembinaan terhadap narapidana pelaku tindak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi.

D. Kegunaan Penelitian Secara Teoritis

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang hukum, khususnya latar belakang penyebab terjadinya tidak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi yang di tinjau dari Ilmu Kriminologi

Secara Praktis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan terhadap pembinaan dan perkembangan Hukum Nasional.

E. Kerangka Pemikiran

Sebab terjadinya kejahatan telah menjadi subyek yang cukup banyak mengundang spekulasi, teoritisasi, penelitian dan perdebatan di antara para ahli maupun masyarakat umum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka muncullah berbagai teori yang berusaha memberikan penjelasan terhadap persoalan tersebut, walaupun harus diakui teori-teori yang dikemukakan

(5)

tersebut dipengaruhi oleh agama, filsafat, politik, ekonomi, sosial dan kecenderungan ilmiah pada waktu itu.

Kejahatan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan merupakan peristiwa sehari-hari. Perampokan, pemerkosaan, penipuan, pembunuhan dan beberapa bentuk lainnya memperlihatkan suatu dinamika sosial dan suatu bentuk normal kehidupan sosial. Jauh sebelumnya seorang filsuf bernama Cicero mengatakan “Ubi Sosiatas, Ibi Ius, Ibi Crim” (ada Masyarakat, ada hukum dan ada Kejahatan)1. Masyarakat saling menilai, menjalin interaksi dan komunikasi, tidak jarang timbul konflik atau pertikaian. Satu kelompok akan menganggap kelompok lainnya memiliki prilaku menyimpang, apabila prilaku kelompok lainnya itu tidak sesuai dengan prilaku kelompoknya. Perilaku menyimpang itu seringkali dianggap sebagai perilaku “jahat”, Howard Becker berpendapat bahwa seseorang menjadi “jahat” karena cap yang diberikan kepadanya.2

Mengapa orang menjadi jahat, mengapa masyarakat melakukan kejahatan dan kapan suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai kejahatan? Merupakan pertanyaan yang telah mengganggu pikiran semua kalangan pemerhati sosial, dan kriminologi. Namun, hingga kini belum dijumpai jawaban yang memuaskan. Gambaran paling lengkap hanya berupa deskriptif yang saat ini banyak dijumpai dalam berbagai literatur. Kejahatan tatap merupakan misteri, sulit ditembus, tetapi sekaligus fenomena yang tidak pernah habis dan selalu menarik untuk dikaji.

1

Mien Rukmini. Aspek Hukum dan Kriminologi : PT Alumni, Bandung, 2006, hlm 94 2

Howard Becker. Outsiders. Studies in the Sociology of Deviance. The Free Press Macmillan

(6)

Banyak orang sepakat bahwa meskipun kejahatan bukan sesuatu yang dapat diberantas atau dihapuskan, tetapi perlu ditanggulangi dan disikapi dengan serius. Suatu study di Inggris oleh Steven Box memperlihatkan bahwa kejahatan dalam setiap saat cenderung meningkat, yang apabila dibiarkan menimbulkan kerusakan permanen bagi masyarakat, karena kejahatan ternyata lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang lebih muda (generasi potensial), pengangguran dan kaum-kaum Negro (kaum yang termarjinalisasi di Inggris).3 Apabila ditelaah, terlihat semacam ketimpangan, kejahatan seolah-olah melekat kepada kelompok masyarakat yang memiliki ciri-ciri seperti miskin, menganggur, kaum gelandangan, dan orang-orang frustasi di dalam keluarga atau masyarakatnya. Maka jahat, atau kejahatan melekat kepada status sosial masyarakat yang lebih rendah. Kejahatan dalam perspektif ini dikenal dengan istilah Blue Collar Crime. Apabila benar, maka kita hanya mengenal sebuah dunia kejahatan yang kecil, sederhana, sekaligus sempit. Artinya kita sesungguhnya tidak mengenal kejahatan dalam arti sebenarnya.

Perilaku kejahatan dapat timbul karena berbagai alasan, seperti alasan ekonomi, sosial, politik, tekanan, gangguan kejiwaan dan banyak hal lainnya. Kejahatan juga merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diferential opportunity structure, kemiskinan, rasisme dan lainnya, sebagai factor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini adalah Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan

3 Steven Box, Power,Crime, and Mysitivication. Dalam buku Mien Rukmini, Aspek …. Ibid hlm 95

(7)

Sutherland.4 Howard Becker dengan teorinya yakni teori Labbeling (labeling

theory) mengungkapkan bahwa pada dasarnya kejahatan merupakan suatu

proses dalam konteks dipengaruhi oleh kondisi sosial.5 Begitu juga terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi misalnya, Pelaku pembunuhan di sini merasa tidak puas dengan hanya membunuh korbannya. Akhirnya selain di bunuh, bagian-bagian tubuh korbannya pun dipotong-potong.

Mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong sadis, pelaku kejahatan tersebut tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan ia juga memotong-motong setiap bagian tubuh si korbannya. Menurut beberapa ahli kejahatan pidana, biasanya kejahatan ini terjadi tergantung pada keadaan Psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan, dengan maksud untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut maka dilakukanlah pemutilasian tubuh korban, sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap identitasnya. Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi kerap sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku sering sekali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya.

4 Mien Rukmini, Aspek … Ibid hlm. 100 5

(8)

Beberapa aliran dalam kriminologi telah berusaha mengungkap mengapa kejahatan bisa terjadi atau mengapa mereka berbuat/bertindak jahat termasuk dengan kasus pembunuhan yang diserati dengan mutilasi yang dilakukan oleh Ryan dari Jombang ini misalnya, alasan yang mereka lakukan dipaparkan dengan jelas dengan beberapa teori dan aliran yang dikemukakan oleh beberapa para ahli, mulai dari aliran klasik seperti tokohnya Cesare Beccaria, atau aliran positivis, Lambroso mencari sebab-sebab dari fisik manusia, sampai kepada aliran Kritis, Marxis atau terakhir yang disebut oleh Chambliss dan Seidman sebagai aliran kriminologi radikal.

Teori kriminologi tidak hanya ditujukan untuk menjelaskan prilaku kejahatan, tetapi juga untuk menjelaskan prilaku polisi dan prilaku jaksa, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan, korban dan aktor-aktor lain pada sistem peradilan pidana. Pada tahap ini kriminologi muncul dalam tahap ilmu pengetahuan yang berorientasi kebijakan. Padahal pada awal mulanya kriminologi ditetapkan dalam ilmu medis hukum (medical legal science), psikiatri, sebuah ilmu pengetahuan yang berorientasi psikologis dan di abad kesembilan belas terjadi gerakan revolusi sosial yang pada paruh kedua kriminologi lebih cenderung didominasi oleh sosiologi.

Ilmu hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini, masih lebih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana daripada sanksi pidana. Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh

(9)

isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi.6 Seperti halnya krimonologi sebagai seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang tersebut.

Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tidak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapatkan perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana, yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka masalah pidana dan pemidanaan sebagai salah satu masalah pokok dalam ilmu hukum pidana tidak dapat dianggap lagi sebagai “anak tiri ilmu hukum pidana” seperti apa yang pernah dikatakan oleh Maurach. Persoalan tentang pemberian pidana serta pelaksanaan pidana, tidak hanya berkaitan dengan hukum acara pidana saja, tetapi juga hukum pelaksanaan pidana7

Peninjauan tentang pelaksanaan pidana penjara sebagai mata rantai penegakan hukum yang intinya terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah yang mantap dan sikap tindak berupa rangkaian penjabaran nilai tahap terakhir untuk menciptakan, memelihara dan

6 Bambang Purnomo. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Liberty. Yogyakarta 1985. Hlm 1

7

(10)

mempertahankan hidup. Konkretisasi penegakan hukum secara konsepsional ini mempunyai esensi dan tolak ukur efektivitas digantungkan kepada hubungan lima faktor penegakan hukum.

Kelima faktor penegakan hukum terdiri atas substansi hukum, penegakan hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat dan kebudayaan yang berkaitan secara erat serta mempunyai faktor pengaruh yang berdampak positif ataupun negatif.

Sistem pemasyarakatan merupakan suatu pilihan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang penyelenggaraannya memerlukan dukungan dari komponen-komponen sistem. Tiga komponen sistem pemasyarakatan adalah komponen manusia selaku petugas hukum, narapidana dan masyarakat, komponen upaya pembinaan yang tersusun dalam manual pembinaan dan komponen Perundang-undangan pelaksana pidana penjara diasumsikan menjadi faktor yang mempengaruhi proses pemasyarakatan8

Perundang-undangan pelaksanaan pidana penjara yang disusun sesuai dengan perkembangan pembaharuan pidana penjara, mempunyai peranan yang penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja dalam rangka perubahan hukum pidana yang fundamental. Tegasnya pembaharuan pidana penjara tidak akan terwujud tanpa diimbangi peraturan perundang-undangan pelaksanaan pidana penjara yang baru.

Seperti yang kita ketahui saat ini bahwa Pelaksanaan pidana Penjara dengan sistem Pemasyarakatan di Indonesia mengacu kepada Undang-undang

8

(11)

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Penjelasan Umum Undang-undang Pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa: 1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.

2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem peminjaman. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi narapidana yang bersalah. 3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam

dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.

(12)

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi Narapidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.

Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.

Pemberantasan terhadap faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana atau alasan fundamental kenapa seseorang bisa melakukan suatu tindak pidana bisa kita pelajari dari kriminologi sebagai ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai sebuah fenomena sosial.

Diharapkan setelah faktor-faktor penyebab kenapa terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang diketahui, bisa menjadi sebagai bahan

(13)

pertimbangan bagi Lembaga Pemasyarakatan untuk mencari suaru formulasi yang tepat bagi proses pembinaan yang akan diberlakukannya kepada narapidana tersebut.

F. Metode penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yuridis yang sangat kaya dan syarat dengan deskripsi, yaitu mencari gambar – gambar yang ada di lapangan, kemudian berdasarkan gambar tersebut penulis menganalisa dengan teori – teori dan dapat ditarik kesimpulan. 2. Objek penelitian

Objek penelitian ini adalah seorang Pria asal Jombang yang bernama Ferry Idham Heniansyah alias Ryan Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan yang disertai dengan mutilasi yang saat ini sedang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan kelas I A Kesambi Cirebon.

3. Metode Pendekatan

Di dalam penelitian ini difokuskan kepada masalah pokok, yaitu kajian Krimonologi terhadap Tindak pidana pembunuhan yang disertai dengan Mutilasi. Berangkat dari fokus penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dengan penelitian hukum normatif sekaligus penelitian hukum sosiologis.

(14)

Penelitian hukum normatif atau juga penelitian hukum doktrinial adalah penelitian hukum yang menggunakan data skunder atau disebut juga penelitian kepustakaan. Penelitian hukum sosiologis atau disebut juga penelitian empiris adalah penelitian hukum yang menggunakan data primer.

4. Jenis dan Sumber Data

Tahap penelitian kepustakaan yakni dengan mengumpulkan sumber data primer dan data sekunder

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yakni melalui wawancara, dengan objek penelitian yaitu Very Idham Henyansyah.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari : dokumen-dokumen resmi berupa Laporan-laporan tentang pembinaan narapidana khususnya Veri Idham Henyansyah sebagai objek penelitian, buku-buku yang terkait dengan topik penelitian

5. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui teknik wawancara mendalam (deph interview) dan bentuk wawancara ini dapat berupa : a. Wawancara terstruktur, dengan pelaku tindak pidana pembunuhan

yang disertai dengan mutilasi sebagai objek penelitian dan petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I kesambi Cirebon. dalam melakukan bentuk wawancara ini peneliti telah mempersiapkan permasalahan dan beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada informan

(15)

b. Wawancara Tak Berstruktur, pada jenis wawancara ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan secara lebih leluasa dan bebas, tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

c. Tinjauan Study Kepustakaan, yaitu melakukan penelitian kepustakaan khususnya yang ada hubungannya dengan ruang lingkup penelitian ini, mempelajari teori – teori dari buku ilmiah atau dari materi pembahasan guna memperoleh gambaran secara teoritis dan sistematis.

6. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Normatif Kualitatif untuk menggambarkan penyebab terjadinya tindak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi dan bentuk pembinaan terhadap narapidana pelaku tindak pidana pembunuhan yang disertai dengan mutilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Kesambi Cirebon.

G. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas I Kesambi Cirebon.

Referensi

Dokumen terkait

Zat ini diklasifikasikan sebagai sama berbahayanya dengan debu mudah terbakar oleh Standar Komunikasi Bahaya OSHA 2012 Amerika Serikat (29 CFR 1910.1200) dan Peraturan Produk

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu manager functional Talent Management, Byantara Mandala, didapatkan keterangan bahwa kinerja dan komitmen

Berdasarkan hasil penelitian dari perancangan Information System Architecture pada UMKM J&C Cookies Bandung dapat disimpulkan bahwa perancangan Information System

(5) Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak atau penanggung pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam kurun waktu tertentu dengan dikenakan

Rancangan hierarki ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau interaksi ter- padu semua komponen yang terkait dengan pengelolaan perikanan di kawasan Selat

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh

India termasuk bangsa di Asia yang menderita karena di jajah bangsa barat. Pada pertengahan tahun 1700-an dinasti mughal di india yang di pimpin oleh Sultan Ahmad mulai

• Rata-rata 95% dari biaya kualitas adalah dalam bentuk failure cost dan appraisal cost.. • Upaya untuk meningkatkan daya